Anda di halaman 1dari 23

Korban Meninggal Usai Operasi Caesar

ndosiar.com, Surabaya - Dugaan kasus malpraktek kembali terjadi, korbannya


hampir sama namanya dengan Prita Mulyasari yakni Pramita Wulansari. Wanita ini
meninggal dunia tidak lama setelah menjalani operas caesar di Rumah Sakit Surabaya
Medical Service. Korban mengalami infeksi pada saluran urin dan kemudian menjalar
ke otak. Saat dikonfirmasi, pihak Rumah Sakit Surabaya Medical Service belum
memberikan jawaban terkait dugaan malpraktek ini.

Lita, dipanggil pihak Rumah Sakit Medical Service di Jalan Kapuas Surabaya terkait
laporannya pada salah satu media tentang anaknya Pramita Wulansari (22), yang
meninggal dunia setelah menjalani operasi caesar di Rumah Sakit Medical Service.

Menurut cerita Lita, ibu dari Pramita, sebelumnya Pramita melakukan operasi
persalinan disalah satu praktek bidan di Jalan Nginden, Surabaya. Karena kondisinya
terus memburuk, Pramita lalu dirujuk ke Rumah Sakit Surabaya Medical Service
untuk dilakukan operasi caesar.

Operasi berjalan mulus yang ditangani oleh dr Antono. Dua minggu kemudian
Pramita kembali ke Rumah Sakit Surabaya Medical Service untuk melakukan chek
up. Dr Antono menyarankan Pramita dioperasi karena dideteksi saluran kencingnya
bocor dan Pramita kembali menjalani operasi.

Pramita juga disarankan meminum jamu asal Cina untuk memulihkan tenaga. Namun
kondisinya malah memburuk dan Pramita sempat buang air besar bercampur darah.
Melihat kondisi Pramita semakin memburuk, pihak keluarga meminta dirujuk ke
Rumah Sakit Dr Soetomo Surabaya. Pramita sempat dua hari dirawat di Rumah Sakit
Dr Soetomo namun dinyatakan terlambat, karena infeksi sudah menjalar ke otak dan
Pramita akhirnya meninggal dunia.

Anak yang dilahirkan Pramita kini sudah berumur satu bulan dan diberi nama Kevin.
Si bayi terpaksa dirawat oleh ayahnya dan kedua mertuanya.

Sementara itu saat dikonfirmasi wartawan, pihak Rumah Sakit Surabaya Medical
Service tidak mau memberi komentar mengenai dugaan malpraktek ini. (Didik
Wahyudi/Sup)

Sumber : http://www.indosiar.com/fokus/80541/korban-meninggal-usai-operasi-
caesar
Dugaan Mal Praktek, Polisi Panggil Perawat RS Siloam
Selasa, 01 Juni 2004 | 15:46 WIB

TEMPO Interaktif, Tangerang: Kepolisian Resor Metro Tangerang memanggil tiga perawat Rumah Sakit (RS)
Siloam Gleaneagles untuk diperiksa pada Rabu (2/6). Pemeriksaan terkait dengan dugaan mal praktek yang
dilakukan rumah sakit swasta itu terhadap korban Ade Irma Effendi, 37 tahun.

"Ketiga perawat adalah tim medis RS Siloam yang menangani perawatan Ade Irma," kata Kepala Satuan Reserse
dan Kriminal Polres Metro Tangerang, Ajun Komisaris Polisi Asep Adisaputra di Tangerang, Selasa (1/6). Ade Irma
adalah pasien langganan RS Siloam yang merasa dirugikan karena mengalami keguguran setelah ditangani dan
diberi obat oleh pihak rumah sakit. Lantaran diduga pihak rumah sakit sudah melakukan mal praktek, Ade Irma
melaporkannya ke Polres Metro Tangerang, Kamis (27/5).
Menurut Asep, ketiga perawat akan dimintai keterangan seputar proses terjadinya keguguran. Dalam laporannya,
Ade Irma tidak memasukkan RS Siloam ke dalam penuntutan, melainkan menuntut kelalaian seorang dokter yang
menanganinya.
Ade Irma yang didamping kuasa hukumnya, Yasrin Febrian Marly, SH mengatakan, kasus berawal ketika ibu
beranak satu itu memeriksa kandungannya ke dokter Anthonius Heri yang membuka praktek di salah satu apotik di
kawasan Bumi Serpong Damai. Saat memeriksa kehamilan keduanya yang berusia 15 minggu, Ade Ade
mengeluhkan adanya flek merah pada celana dalam kepada dokter tetap keluarganya itu.

Melihat kondisi Ade yang lemah, Anthonius menyarankannya untuk diperiksa lebih lanjut ke RS Siloam. Saat
dilakukan pemeriksaan dengan ultra sonografi di RS Siloam pada 16 April 2004 malam, pihak dokter yang juga
terdapat dokter Anthonius itu menyatakan, kandungan korban dalam kondisi baik dan sehat. Tapi, untuk
menguatkan kandungan, dokter menawarkan Ade untuk beristirahat di rumah sakit atau di rumah. "Karena tidak
ingin terjadi apa-apa, saya memilih dirawat di rumah sakit saja," kata Ade.

Setelah Ade dimasukkan ke ruangan bersalin, salah satu perawat langsung memberi infus. Walau tidak didampingi
seorang dokterpun, si perawat mengatakan, infus diberikan berdasarkan saran dokter Anthonius. Sekitar 15 menit
kemudian, obat bereaksi dan kandungan Ade mengalami kontraksi. Alhasil, janin bayi dalam kandungan Ade, keluar
yang mengakibatkan kelahiran premature (abortus terancam) dan meninggal dunia.
Bantahan mal praktek jua sudah diberikan pihak rumah sakit. "Tidak benar, pihak rumah sakit melakukan mal
praktek. Abortus Imenen (aborsi dalam proses) terhadap pasien, dikarenakan kondisi dan situasi pasien yang saat
itu memang membutuhkan perawatan intensif. Tidak benar, pasien mengalami keguguran setelah meminum obat
yang diberikan dokter. Karena pemberian obat selalu diberikan sesuai dengan petunjuk dokter dan diagnosa juga
dilihat dari kondisi pasien," kata Manajer Operasional RS Siloam, Andre.

Joniansyah - Tempo News Room

Sumber : http://www.tempointeraktif.com/hg/jakarta/
Malpraktek RS OMNI Internasional Akibatkan Bayi Menjadi
Buta

N ama RS Omni Internasional lagi-lagi muncul ke permukaan, kali ini berkenaan dugaan

malpraktek yang di lakukan oleh salah satu dokter RS ini, bernama dr A yang mengakibatkan 2 bayi
kembar pasangan Juliana dan T Kurniadi, mengalami kebutaan. Dua bayi kembar yang malang ini
bernama, Jared yang buta total dan Jayden mengalami cacat mata
Sebenarnya kasus malpraktek ini telah di laporkan hampir 1 tahun lalu kepihak kepolisian, namun
kasusnya sempat fakum, bahkan pada tanggal 16 November 2009 kemarin kepolisian sempat
mengeluarkan Surat Penghentian Pemeriksaan Perkara (SP3) karena di anggap kurang bukti

Sekarang bersama tim pengacara OC Kaligis pasangan Jualiana dan T Kurniadi kembali melayangkan
gugatan kepada RS Omni.

“Saya dan tim pengacara dari OC Kaligis akan melanjutkan dan terus berusaha melengkapi bukti, kami
tidak akan mundur, saya akan perjuangkan keadilan untuk anak saya”, kata ibu dari kembar Jared dan
Jaynet, Juliane di kantor pengacara OC. Kaligis, Jl. Majapahit, Jakarta Pusat (20/4/2010).

Kali ini pihak penggugat mengaku membawa bukti kuat, untuk menuntut pertanggung jawaban RS
Omni dan meminta status hukum kedua putranya. Bukti-bukti yang telah mereka kantongi berupa hasil
diagnosa dari dokter kompeten dari RS di Australia, bahwa anak mereka tidak seharusnya mengalami
kebutaan karena lahir secara sempurna walaupun prematur. Penyebab kebutaan terjadi karena
banyaknya oksigen saat kedua bayi mereka di rawat dalam inkubator

“Saya sudah datang ke dokter yang kompeten dengan masalah kebutaan,selama sebulan mereka
sudah melakukan diagnosa, hasilnya anak saya seharusnya tidak mengalami kebutaan, anak saya
sempurna saat lahir”, katanya.

Diagnosa ini di dukung oleh sebuah rekaman yang diambil secara diam-diam oleh Jualiani saat ia
melakukan dialog dengan dokter A. Dalam rekaman tersebut, dr A menyatakan bahwa kedua bayi
mereka sempurna dan dapat melihat.

dr A mengakui bahwa Jared dan Jayden tidak mengidap retinopathy of prematurity (ROP) saat lahir.
Potensinya ada, tetapi dr A mengakui bahwa ROP itu hanya mungkin muncul karena kelalaian pada
perawatan anak prematur setelah lahir
Di tambah lagi kenyataan bahwa kelalaian dr. Ferdi Limawa yang tidak membentuk tim dokter untuk
menangani anak mereka yang lahir secara prematur, meskipun dari pihak Juliani, tidak punya masalah
finansial. Mereka mengaku telah keluarkan biaya sebesar 125 juta rupiah

Sumber berita: Kompas dan DetikNews

Sumber : http://rumahabi.info/malpraktek-rs-omni-internasional-akibatkan-bayi-
menjadi-buta.html
Kesalahan Diagnosa Membuat Suamiku Meregang Nyawa
Pdpersi, Jakarta - Kehilangan orang yang kita cintai akibat kematian
selalu menorehkan luka hati yang cukup dalam. Namun, jika kematian itu
terjadi karena kesalahan yang sebetulnya dapat dihindari tentunya akan
membuat penyesalan dan kesedihan yang jauh lebih menyakitkan.

Gambaran itulah yang umumnya dialami oleh keluarga korban kesalahan


praktek medis atau mal praktek. Kepergian anak, orang tua, kerabat dan
sahabat akibata kesalahan diagnosa, terapi atau obat terkadang
membuat kegeraman dan rasa kehilangan yang sangat mendalam.
Terlebih lagi, jika kematian itu sebenarnya dapat dihindari seandainya
dokter atau tenaga medis bersikap lebih hati-hati dan waspada.

Terlepas dari faktor ajal yang menjadi hak preogratif Tuhan, namun kasus
mal praktek telah banyak menelan korban. Kematian dan kecacatan
adalah harga yang harus dibayar pasien karena keteledoran tenaga-
tenaga medis.

Beberapa bulan ini, seorang rekan wartawan ekonomi makro yang cukup
senior telah kehilangan suami dari satu anaknya yang masih balita dan
bayi yang dikandungnya. Kisah sedih yang dialami rekan wartawan yang
dikenal cukup energik di lapangan itu membuat rekan-rekannya turut
bersimpati. Bagaimana tidak, suami dari K, perempuan muda yang
bekerja di sebuah situs berita itu juga adalah wartawan.

Kematian suami K dipicu oleh kesalahan diagnosis yang dijatuhkan dokter


saat mengkonsultasikan penyakitnya. Demam tinggi serta kesulitan
bernafas yang dialami suami K didiagnosa sebagai asma. Padahal tegas-
tegas K menjelaskan bahwa suaminya tak pernah menderita asma.

Namun dokter seakan tak menggubris penjelasan K, ia tetap memberikan


obat anti sesak napas. Sepulang dari dokter, kesehatan lelaki yang
bekerja di media internal milik suatu maskapai penerbangan itu semakin
memburuk.

Saat itulah K kemudian membawa suaminya ke RS. Namun, semuanya


telah terlambat. Suami K semakin kritis dan akhirnya terdiagnosa
menderita malaria. Penyakit itu disebabkan gigitan nyamuk yang
dialaminya saat menjalani tugas ke Lampung. Dokter yang merawat
terakhir mengungkapkan bahwa nyama suami K sebenarnya dapat
tertolong jika diagnosis malaria dapat diketahui sejak awal. Ketika dibawa
ke RS malaria telah menyerang ganas ke otak.
Tanpa didampingi keluarga terdekat, K mendampingi suaminya saat
meregang nyawa. Kematian mendadak yang tidak disangka-sangka itu
membuatnya harus sendiri menanggung beban hidup yang tidak ringan. K
dan anaknya, serta jabang bayi yang dikandungnya hanya bisa
merasakan geram terhadap kasus mal praktek yang dialami suaminya.

Kesalahan yang Bisa Dihindari


Kasus mal parktek umumnya dipicu oleh ketidakhati-hatian.
Kewaspadaan tenaga medis termasuk dokter menjadi faktor utama
terjadinya mal praktek. Kesalahan yang fatal itu umumnya terjadi pada
saat diagnosis, terapi, pemberian obat sampai operasi. Mal praktek tidak
hanya dapat mengantarkan pada penurunan derajat kesehatan pasien,
namun juga dapat mendatangkan ajal dan kecatatan seumur hidup.

Namun, kasus kesalahan tindakan medis bukan hanya terjadi di Indonesia


yang saat ini kualitas pelayanan kesehatannya masih rendah, namun juga
masih sering terjadi di negara-negara maju. Pada Januari lalu, dunia
kedokteran Amerika Serikat dikejutkan dengan berita mal praktek yang
mengakibatkan seorang wanita kehilangan kedua payudaranya karena
divonis kanker. Kesalahan fatal itu dipicu oleh hal yang sangat sepele,
kertas ronsen tertukar di meja dokter.

Di Indonesia sendiri, kasus mal praktek masih sangat sedikit yang


terungkap. Kebanyakan pasien atau keluarganya memilih untuk
menyimpan penderitaannya dalam hati. Umumnya mereka tidak
mengetahui bahwa kasus mal praktek dapat diajukan ke meja hinau.
Sebagian lagi memilih untuk pasrah dan enggan terlibat dalam konflik
hukum yang biasanya sangat melelahkan.

Secara regulasi, kasus mal praktek di Indonesia belum diatur secara


jelas. UU Kesehatan belum dilengkapi dengan aturan teknis yang
mengatur secara khusus mengenai mal praktek. Biasanya jika kasus mal
praktek maju ke pengadilan, yang dipakai adalah aturan pidana.
Beberapa pihak, termasuk parlemen telah lama mendesak agar
Departemen Kesehatan segera memformulasikan aturan mengenai mal
praktek secara gamblang. (iis)

Sumber : http://www.pdpersi.co.id/?show=detailnews&kode=1026&tbl=psejati
Pasien Dioperasi Tanpa Pemberitahuan Keluarga
indosiar.com, Jakarta - 24 hari sudah Nina Dwi Jayanti, putri pasangan Gunawan
dan Suheni warga Jalan Perum Pucung Baru Blok D2 No.6 Kecamatan Kota Baru,
Cikampek ini terbaring ditempat tidur Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo.

Menurut cerita orangtuanya yang juga karyawan Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo
atau RSCM, Nina masuk ke rumah sakit pada tanggal 15 Februari 2009 lalu karena
mengeluh tak bisa buang air besar.

Setelah sampai di rumah sakit, dokter langsung memberikan obat untuk


memperlancar buang air besarnya. Namun karena tak kunjung sembuh, dokter
kemudian menebak sakit Nina kemungkinan karena menderita apendik atau usus
buntu.

Nina pun langsung dibedah dibagian ulu hati hingga dibawah puser, tapi anehnya,
dokter yang menangani pembedahan tidak memberitahukan atau tidak minta ijin
terlebih dahulu kepada orangtuanya, sebagai prosedur yang harus ditempuh dokter
bila ingin melakukan tindakan operasi atau pembedahan.

Ternyata setelah dibedah, dugaan bahwa Nina menderita usus buntu tidak terbukti.
Dokter lalu membuat kesimpulan berdasarkan diagnosa, Nina menderita kebocoran
kandung kemih. Nina kemudian dioperasi tapi juga tidak memberitahukan
orangtuanya. Bekas-bekas operasi itu terlihat di perut Nina yang dijahit hingga 10
jahitan lebih.

Kedua orangtua Nina hanya bisa pasrah dan minta pertanggungjawaban pihak Rumah
Sakit RSCM atas kesehatan anaknya. Ayah Nina yang juga bekerja di RSCM ini akan
mengadukan kasusnya ke Menteri Kesehatan dan siap dipecat dari pekerjaannya.
(Endro Bawono/Sup)

Sumber : http://www.indosiar.com/fokus/78979/pasien-dioperasi-tanpa-
pemberitahuan-keluarga
Pasca Caesar Pasien Koma
indosiar.com, Kupang - Seorang pasien di Rumah Sakit Umum Daerah Kupang
mengalami koma selama 8 hari setelah menjalani operasi caesar. Sampai saat ini
korban belum juga sadarkan diri dan masih dalam kondisi kritis. Pasien diduga
sebagai korban malpraktek dokter yang melakukan operasi.

Antonia Dando, seorang ibu rumah tangga di Kupang hanya bisa terbaring tak
sadarkan diri di ruang ICU Rumah Sakit Umum Kupang. Antonia telah mengalami
koma selama 8 hari setelah menjalani operasi caesar Kamis 26 Februari lalu. Antonia
warga Jalan Herwila Kelurahan Naikoten II ini diduga menjadi korban malpraktek
dokter yang melakukan operasi terhadapnya.

Pihak keluarga menyayangkan sikap pihak rumah sakit yang belum juga menjelaskan
penyebab Antonia koma usai menjalani operasi. Mereka pun berharap pihak rumah
sakit dan dokter yang melakukan operasi terhadap Antonia mau bertanggungjawab
atas kejadian tersebut, karena sebelum caesar kondisi Antonia normal dan sehat.

Pihak rumah sakit sendiri masih menunggu laporan status medis dari Dokter Frans
yang melakukan operasi caesar terhadap Antonia. Sementara itu bayi perempuan dari
Antonia kondisinya baik, saat dilahirkan berat badannya mencapai 3,6 kilogram dan
saat ini masih berada di rumah sakit, namun kebutuhan akan asi tidak bisa dipenuhi
karena ibunya sedang sekarat.

Keluarga dari Antonia kini hanya bisa berdoa menunggu kesembuhan Antonia,
mereka setiap hari selalu memadati lobi ruang ICU untuk menunggu perkembangan
dari korban. (Jeffrie Taulin/Sup)

Sumber : http://www.indosiar.com/fokus/78868/pasca-caesar-pasien-koma
Korban Malpraktek
Tubuh Menghitam Setelah Minum Obat

indosiar.com, Blitar - Diduga akibat malpraktek dokter Blitar,


seorang gadis asal Blitar , Jawa Timur terpaksa dirujuk ke Rumah
Sakit Dokter Saiful Anwar Malang, Jawa Timur. Seluruh tubuhnya
berubah menghitam setelah meminum obat dari dokter tempat dia
berobat di asalnya.

Beginilah kondisi Nita Nur Halimah (21), warga Desa Talun, Blitar,
Jawa Timur setelah meminum obat yang diberikan oleh salah satu
dokter ditempat asalnya. Kulit wajah, tangan hingga sekujur
tubuhnya berubah menjadi hitam.

Menurut Marsini, ibu korban, awalnya Nita hanya menderita luka


ngilu dibagian persendian tubuhnya saat diperiksakan ke dokter.
Nita mendapatkan resep obat tanpa bungkus, namun setelah
meminumnya suhu tubuhnya semakin panas. Mulut dan kulit
wajahnya berubah kehitaman hingga merebak kesekujur tubuhnya.
Pihak keluarga menganggap kondisi ini disebabkan oleh kesalahan
dokter Andi yang memberikan resep obat tersebut.

Penanganan medis yang dilakukan untuk saat ini adalah


memberikan penambahan nutrisi serta elektrolit untuk
memperbaiki jaringan yang rusak dan memberikan antibiotik untuk
membersihkan luka pasien dari bakteri.

Hingga Senin (02/03) kemarin, Nita ditangani oleh 11 tim dokter


spesialis bedah kulit. Indikasi sementara Nita menderita Steven
Jhonson Sindrom atau alergi pada reaksi obat akibat rendahnya
ketahanan tubuh pasien. (Nurochman/Sup)

Sumber : http://www.indosiar.com/fokus/78794/tubuh-menghitam-setelah-minum-
obat
Bocah Lumpuh
Diduga Malpraktek Setelah Menjalani Operasi Usus Buntu

indosiar.com, Labuhan Batu - Seorang bocah berusia 5 tahun di


Sumatera Utara menjadi lumpuh dan bisu, setelah menjalani
operasi usus buntu. Pihak keluarga mencurigai pihak rumah sakit
melakukan malpraktek terhadap anak mereka. Hingga saat ini
pihak rumah sakit belum memberikan keterangan.

Beginilah kondisi Elvi Boru Simamora, bocah berusia 5 tahun ini


tiba - tiba lumpuh setelah menjalani operasi usus buntu.
Penderitaan buah hati pasangan Tarsan Simamora dan Rominta
Boru Simanjuntak ini bertambah, karena kini ia juga menjadi bisu.

Penderitaan warga Desa Sidomulyo, Labuhan Batu, Sumatera Utara


ini berawal dari penyakit usus buntu yang dideritanya. Pada bulan
Juni 2008 tim medis Rumah Sakit Umum Ranto Parapatan, Labuhan
Batu, Sumatera Utara melakukan operasi.

Saat itu tim medis membuat saluran buatan, untuk buang air besar
dibagian perut. Operasi kedua dilakukan 11 September lalu untuk
mengembalikan saluran tersebut. Usai operasi Elvi tidak sadar
hingga 15 hari dan menjadi lumpuh dan bisu.

Hingga kini tim medis rumah sakit tidak bersedia memberikan


keterangan, terkait peristiwa tersebut meski telah berkali - kali
dihubungi sejumlah wartawan. (Edi Iriawan/Dv).
Diduga Kasus Malpraktek
9 Tahun Alami Bocor Usus

indosiar.com, Jakarta - Satu lagi kasus dugaan malpraktek


rumah sakit terjadi. Seorang wanita selama 9 tahun mengalami
kebocoran usus usai menjalani operasi tumor rahim disebuah
rumah sakit swasta dikawasan Tebet, Jakarta Selatan tahun 2000.
Namun pihak rumah sakit membantah telah melakukan
malpraktek.

Hanya inilah yang dapat dilakukan Sisi K Chalik meratapi nasibnya,


menangis. Bagaimana tidak, sudah 9 tahun dia menanggung
penderitaan akibat kebocoran usus yang dialaminya. Bahkan setiap
saat dia harus menyediakan tissu serta air untuk membersihkan
kotoran yang terus keluar dari ususnya yang berada diluar perut.

Menurut Sisi, musibah yang menimpanya terjadi pada tahun 2000


lalu. Saat itu dirinya terserang tumor rahim yang harus dioperasi di
sebuah rumah sakit ibu dan anak swasta di wilayah Tebet, Jakarta
Selatan. Namun tiga hari setelah operasi, perut Sisi justru
mengembung seperti orang hamil. Dia kemudian dirujuk ke dokter
bedah dan kembali dioperasi di rumah sakit yang sama. Empat hari
sesudah operasi kedua, Sisi makan bubur saring dan betapa
terkejut dirinya ketika melihat kotoran keluar dari ususnya yang
berada diluar perut.

Segala cara telah ditempuh Sisi, termasuk menempuh jalur hukum


dengan melaporkan kasus dugaan malpraktek yang dialaminya ke
pihak Polda Metro Jaya. Saat ini kasusnya tengah menjalani proses
persidangan perdata di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dengan
menggugat dua dokter rumah sakit yang mengoperasinya.

Sementara itu kuasa hukum RSIA Budi Jaya, Hotma Sakim


menyangkal jika kliennya telah melakukan malpraktek seperti
tuduhan Sisi. Hal tersebut dibuktikannya dari hasil rekaman video
proses operasi terhadap Sisi. (Dedi Irawan/Sup)

Sumber : http://www.indosiar.com/fokus/78707/9-tahun-alami-bocor-usus
Pasien Tewas Setelah Diinfus

indosiar.com, Tegal - Seorang warga di Tegal, Jawa Tengah tewas diduga akibat mal
praktek saat dirawat di rumah sakit. Korban diberi cairan infus yang sudah kadaluarsa
saat menjalani perawatan di Rumah Sakit Mitra Siaga Tegal sehingga kondisinya
terus memburuk dan akhirnya tewas. Sementara itu pihak Rumah Sakit Mitra
Siaga mengatakan, pemberian infus kadaluarsa tersebut bukan merupakan
kesengajaan.

Solihul, warga Surodadi, Tegal, Jawa Tengah meninggal Selasa (25/03/08) kemarin,
di Rumah Sakit Harapan Anda Tegal. Tangis keluarga korban pun tak terbendung
saat mengetahui korban sudah meninggal.

Istri korban Eka Susanti bahkan berkali-kali tak sadarkan diri. Salah satu keluarga
korban berteriak-teriak histeris sambil menunjukkan sisa infus kadaluarsa yang
diberikan ke korban saat menjalani perawatan di Rumah Sakit Mitra Siaga Tegal
Sabtu pekan lalu tempat sebelumnya korban dirawat.

Pada kemasan infus tertera tanggal kadaluarsa 14 Januari 2008. Keluarga korban
menuding pemberian infus kadaluarsa inilah yang menyebakan korban meninggal.
Pihak Rumah Sakit Mitra Siaga dinilai teledor karena memberikan infus yang sudah
kadaluarsa.

Menurut keluarga korban, sejak diberi infus kadaluarsa, kondisi korban terus
memburuk. Korban yang menderita gagal ginjal awalnya dirawat di Rumah Sakit
Mitra Siaga Tegal selama 10 hari. Karena tak kunjung sembuh, pihak keluarga
kemudian memutuskan merujuk korban ke RSI Islam Harapan Anda Tegal. Korban
langsung menjalani perawatan di ruang ICU. Namun tiga hari menjalani perawatan di
ICU kondisi korban terus memburuk, hingga akhirnya meninggal dunia.

Direktur Rumah Sakit Mitra Siaga Tegal, Dokter Wahyu Heru Triono mengatakan,
tidak ada unsur kesengajaan dalam kasus infus kadaluarsa yang di berikan kepada
pasien Solihul, namun pihaknya mengakui insiden ini menunjukkan adanya
kelemahan monitoring logistik farmasi.

Meski belum dapat dipastikan meninggalnya korban akibat infus kadaluarsa,


pihaknya akan menjadikan kasus ini sebagai evaluasi untuk memperbaiki monitoring
logistik farmasi.

Sementara itu keluarga korban mengaku tetap akan menuntut pertanggungjawaban


pihak Rumah Sakit Mitra Siaga atas terjadinya kasus ini. Pasalnya, tidak saja telah
kehilangan nyawa, namun keluarga korban tetap harus membayar biaya perawatan
sebesar 7 juta rupiah. (Kuncoro Wijayanto/Sup)
RAGAM
Bayi Sehat Korban Mal praktek

ndosiar.com - Maulana adalah seorang anak berusia 18 tahun. Dulunya adalah anak
yang mengemaskan dan pernah menjadi juara bayi sehat. Namun makin hari
tubuhnya makin kurus. Dan organ tubuhnya tidak bisa berfungsi secara normal.
Tragedi ini terjadi ketika Maulana mendapat imunisasi dari petugas kesehatan.
Diduga korban kuat Maulana adalah korban mal praktek.

Maulana, kini berusia 18 tahun. Namun ia hanya bisa terbaring lemah di tempat tidur.
Tidak ada aktivitas yang bisa dilakukan. Ia juga tidak bisa berbicara. Berat badannya
hanya enam koma delapan kilogram, seperti anak berusia lima tahun. Bungsu dari
empat bersaudara, anak pasangan Lina dan Adul ini mengalami kegagalan multi
organ.

Tragedi ini bermula saat usianya empat puluh lima hari. Seperti balita pada
umumnya, Maulana mendapatkan imunisasi dari petugas Dinas Kesehatan. Petugas
memberikan tiga imunisasi sekaligus, yaitu imunisasi BCG, imunisasi DPT dan
imunisasi Polio.

Namun setelah dua jam menerima imunisasi, Maulana mengalami kejang-kejang, dan
suhu tubuhnya naik tajam. Sehingga orang tuanya panik dan langsung membawanya
ke rumah sakit. Namun kondisinya justru makin menburuk. Setelah lima hari dirawat,
Maulana malah tidak sadarkan diri, selama tiga minggu. Sejak itu, tubuh Maulana
selalu sakit sakitan dan hampir seluruh organ tubuhku tidak berfungsi normal.

Dokter mendiagnosa Maulana mengalami radang otak. Namun setelah itu, satu
persatu penyakit akut menggerogoti kesehatannya. Semakin hari badannya semakin
kecil, dan mengerut. Maulana sering mengalami sesak nafas, dan kejang kejang.

Lina yakin, Maulana menjadi korban malpraktek. Karena beberapa dokter yang
perawat Maulana menyatakan, anaknya mengalami kesalahan imunisasi.

Kini Lina, hanya bisa pasrah. Ia merawat Maulana, seperti merawat bayi. Saat makan
Maulana tetap harus disuapi, demikian juga ketika buang air besar dan kencing.
Orangtuanya selalu memakaikan popok.

Sebelum tragedi itu datang, Maulana adalah bayi yang menggemaskan. Tubuhnya
montok, dan sangat sehat. Bahkan Maulana sempat dinobatkan sebagai pemenang
bayi sehat. Karena lahir dengan bobot tiga koma delapan kilogram dan panjang
lima puluh satu cintimeter.
Orang tua Maulana sudah berusaha untuk membawa ke rumah sakit di kawasan Kota
Siantan, Pontianak. Namun Maulana tidak juga kunjung sembuh. Orangtuanyapun
menyerah.

Yang lebih menyedihkan, Linapun kemudian diceraikan suaminya, di saat harus


menanggung beban berat merawat Maulana. Ayah Maulana kesal dan marah dengan
Lina, karena mengijinkan petugas kesehatan memberikan imunisasi kepada Maulana.

Kini tubuh Maulana makin lemah, dan tidak berdaya. Ia hanya bisa berbaring
ditempat tidur. Jika ingin menghirup udara segar, linapun membawanya ke luar
rumah. Lina sudah tidak berpikir lagi untuk membawa Maulana ke rumah sakit,
karena tidak memiliki biaya. Sejak anaknya menderita sakit, Lina telah mengeluarkan
uang jutaan rupiah. Bahkan rumahnya dijual untuk biaya pengobatan.

Lina juga beberapa kali berusaha meminta pertanggungjawaban kepada pemerintah


Kalimantan Barat, dengan mengajukan tuntutan di pengadilan. Lina kemudian
menemui sejumlah instansi pemerintah daerah, termasuk menemui Walikota
Pontianak, dan Gubernur Kalimantan Barat, untuk menuntut keadilan.

Namun para pejabat tersebut tidak menanggapi pengaduan Lina. Lina tidak
menyerah. Ia kemudian membawa Maulana ke Jakarta, untuk menemui Menteri
Kesehatan. Namun lagi lagi usahanya kembali menemui jalan buntu.

Lina kemudian memilih prosedur hukum. Ia melaporkan pemerintah Kalimantan


Barat secara pidana, dan juga menggugatnya secara perdata. Namun di pengadilan,
hakim meminta Lina dan perwakilan pemerintah sebagai tergugat, untuk berdamai.
Hasilnya cukup menjanjikan. Pemerintah Daerah Kalimantan Barat, berjanji akan
menanggung penuh obat dan kebutuhan perawatan maulana di rumah sakit seumur
hidup.

Janji Pemerintah Daerah Kalimantan Barat, sungguh melegakan. Karena upayanya


mencari keadilan, kini menemui titik terang. Namun harapan lina kembali pupus.
Ternyata kesanggupan Pemerintah Daerah Kalimantan Barat hanya janji janji kosong.
Setelah berjalan lebih sepuluh tahun, Pemerintah Daerah Kalimantan Barat tidak
memenuhi janjinya.

Kini Lina hanya bisa pasrah menerima kenyataan pahit. Lina dan Maulana bersama
ketiga anaknya yang lain, tinggal di rumah sangat sederhana, di Komplek Perumahan
Kopri, di kawasan Pinggiran Sungai Raya Dalam Kabupaten Kubu Raya. Untuk
hidup sehari hari, Linapun membuka warung kecil-kecilan di teras rumahnya.

Lina sebenarnya masih punya keinginan untuk kembali menggugat Pemerintah


Daerah Kalimantan Barat. Namun ia mengaku tidak lagi memiliki dana. Yang
membuat Lina pasrah, adalah tidak ada dokter yang bersedia menjadi saksi ahli dalam
kasus ini.

Sementara itu, Lembaga Bantuan Hukum Kesehatan, meminta pihak pemerintah


bertanggungjawab atas kasus yang menimpa Maulana. Menurut Direktur LBH
Kesehatan, Iskandar Sitorus, kasus dugaan mal praktik yang menimpa Maulana,
mencerminkan lemahnya tanggung jawab pemerintah, dalam hal ini Departemen
Kesehatan.

Aturan atau kebijakan yang diterapkan sudah kadaluarsa. Sementara hingga saat ini
publik sendiri masih menunggu kapan akan disosialisasikan rancangan undang
undang tentang pasien. Jika UU Pasien sudah ada, diharapkan tidak akan ada lagi
Maulana Maulana lainnya.

Ketua Umum Ikatan Dokter Indonesia, Fachmi Idris menyatakan, profesi dokter,
diikat oleh sebuah etika profesi dalam sebuah payung Majelis Kode Etik Kedokteran
atau MKEK. Seorang dokter dapat dikatakan melakukan pelanggaran saat praktek,
jika sudah dibuktikan dalam suatu sidang majelis kode etik.

Hukuman yang dijatuhkan majelis kode etik biasanya berkisar pada skorsing praktek,
disuruh kembali sekolah untuk memperdalam ilmunya hingga dicabut ijin praktek
kedokterannya.

Kasus dugaan mal praktek seperti kasus Maulana memang tak sedikit jumlahnya.
Beberapa kasus yang sempat terangkat ke masyarakat umumnya terjadi setelah pasca
imunisasi, operasi bahkan tak jarang setelah si pasien berobat ke ahli kesehatan
karena sebelumnya diindikasikan menderita suatu penyakit.

Seperti halnya kasus kasus sejenis, kasus Maulana pun membutuhkan waktu berbulan
bulan bahkan bertahun tahun duduk dikursi persidangan untuk memperoleh keadilan.

Dan ironisnya perdebatan sengit menyoal kasus dugaan mal praktik di pengadilan
hampir dipastikan berakhir dengan bertambahnya sakit hati bagi sang korban. Sakit
hati karena kasusnya tak bisa diteruskan, atau bahkan ditolak majelis hakim karena
kurang lengkapnya data pendukung.

LBH Kesehatan, sebagai wadah bantuan hukum bagi mereka yang merasa abaikan
haknya oleh oknum aparat kesehatan memiliki data yang tidak sedikit. Saat ini saja
LBH Kesehatan membantu menangani 58 kasus dugaam mal praktik di sejumlah
wilayah Indonesia. Sementara kasus yang telah dilaporkan di sejumlah aparat
penegak hukum mencapai 130 kasus. Namun ironisnya, hanya sedikit kasus dugaan
mal praktek yang maju ke meja hijau yang menang dalam persidangan.

Upaya hukum untuk mencari keadilan bagi korban dugan mal praktik kerap
berlangsung di sejumlah ruang pengadilan. Dari upaya hukum pidana, perdata bahkan
hingga tun atau tata usaha negara. Dari catatan LBH Kesehatan, dari beberapa bentuk
tata peradilan tersebut, bisa dibilang peradilan perdatalah yang paling memungkinkan
seorang korban dugaan mal praktik memperoleh haknya. Sementara tata peradilan
lainnya umumnya jauh panggang dari api.

Pertanyaannya sekarang, mengapa sejumlah kasus dugaan mal praktik yang bertarung
dipengadilan pidana, menjadikan korban seolah tak mampu untuk mendapatkan
keadilan ? Padahal mereka jelas jelas menjadi korban.

Kasus Maulana membuktikan, sudah bertahun tahun Maulana tak punya kuasa saat
berusaha mencari keadilan di pengadilan pidana. Bertahun tahun pula Maulana hanya
terbentur masalah tidak adanya saksi ahli yang mau hadir dalam persidangannya
tersebut.(Sup/Ijs)
FOKUS
Malpraktek, Akibatkan Empat Jari Bocah Putus
indosiar.com, Sukabumi - Bocah laki-laki berusia 4 tahun asal Kecamatan Gunung
Puyuh Kota Sukabumi menjadi korban malpraktek yang dilakukan oleh seorang
mantri gadungan. 4 jari tangan sebelah kanan korban putus satu persatu setelah
sebelumnya disuntik oleh sang mantri sebanyak 20 kali.

Ilham Zulfikar Setiadi anak dari pasangan Irwan Syarif dan Lestari kini harus
menanggung cacat seumur hidupnya. Empat jari tangan kanan bocah ini copot yang
tersisa hanya bagian ibu jarinya saja.

Peristiwa tragis yang menimpa bocah asal Kelurahan Sri Wedari Kecamatan Gunung
Puyuh, Kecamatan Sukabumi ini berawal saat tangannya tergilir akibat jatuh dari atas
sepeda motor di daerah Kampung Tulung Tengah Sumedang Utara. Oleh orangtuanya
Ilham kemudian dibawa ke dukung tulang bernama Herman.

Di dukun tulang itu jari Ilham kemudian dilumuri cairan refano dan dibungkus
dengan perban. Namun bukannya sembuh, tangan Ilham bertambah bengkak. Oleh
orangtuanya Ilham kembali dibawa ke tempat dukun tulang itu. Namun Herman
kemudian memanggil temannya yang bernama Kirmanus yang mengaku berprofesi
sebagai mantri dan disuntik hingga 20 kali. Bukannya sembuh Ilham malah menderita
demam tinggi.

Takut terjadi apa-apa dengan anaknya, Ilham kemudian dibawa ke rumah sakit saat
tiba di Sukabumi. Namun saat dokter membuka perban, empat jari Ilham putus,
tangan Ilham juga dalam keadaan gosong dan melepuh.

Sementara itu pihak Rumah Sakit R Samsudin belum bisa memberikan


keterangannya mengenai penyakit yang menimpa korban karena dokter yang merawat
Ilham masih liburan tahun baru. (Wulan Sapto Hadi/Sup)

Sumber : http://www.indosiar.com/
FOKUS
Bayi Tewas Pasca Imunisasi, Diduga Akibat Malpraktek

indosiar.com, Minahasa - Setelah diimunisasi seorang bayi mungil warga Minahasa


Selatan, Sulawesi Utara mengalami demam, muntah dengan luka bekas suntikan yang
terus berdarah hingga akhirnya tewas. Orangtua bayi menduga terjadi tindak
malpraktek dalam proses imunisasi tersebut.

Jenazah P Kumayas, bayi laki-laki berusia 1 tahun 6 hari akhirnya dibawa ke


Laboratorium Forensik Rumah Sakit Kandau Malalayang, Manado, Sulawesi Utara
untuk diotopsi guna mengetahui penyebab pasti kematiannya.

Putra pasangan Fanly Kumayas dan Maya Londa ini tewas setelah sempat menjalani
perawatan di rumah sakit selama beberapa hari karena mengalami pendarahan di luka
bekas suntikan imunisasi di paha kirinya.

Selain itu usai menerima suntikan imunisasi, bayi ini juga menderita muntah-muntah
dan demam hebat hingga harus dilarikan ke rumah sakit, namun akhirnya tak
tertolong.

Orangtua korban menduga putra mereka tewas akibat adanya kesalahan penanganan
medis atau malpraktek saat diimunisasi di salah satu Pos PIN di desa mereka.

Sementara itu dokter forensik yang melakukan bedah otopsi belum bisa
menyimpulkan penyebab kematian korban karena harus menunggu hasil penelitian
laboratorium. Usai menjalani otopsi, jenazah korban akhirnya diambil pihak keluarga
untuk dimakamkan.

Jika hasil penelitian laboratorium membuktikan kematian korban akibat tindakan


malpraktek, pihak keluarga berencana mengajukan upaya hukum guna meminta
pertanggungjawaban petugas pos PIN yang melakukan suntikan imunisasi kepada
korban hingga mengakibatkan kematian. (Alamsyah Johan/Sup)

Sumber : http://www.indosiar.com/
Korban Malpraktek
Mata Diobati Terancam Buta

indosiar.com, Jakarta - Tidak terima matanya menjadi buta,


Haslinda bersama tim kuasa hukum dari Lembaga Bantuan Hukum
Kesehatan mendatangi ke Polda Metro Jaya untuk melaporkan
dugaan malpraktek dokter, Waldensius Girsang di Rumah Sakit
Jakarta Eyes Center.

Haslinda menuturkan, pada 6 Maret lalu, keluhan cepat lelah dan


berat dalam penglihatannya disampaikan ke dokter Darwan Purba
yang kemudian didiagnosis sebagai penyakit Hipermethropy.

Namun beberapa hari kemudian setelah ditangani oleh dokter


Waldensius dengan tindakan laser, mata Haslinda tidak kembali
berfungsi normal atau menjadi buta.

Sementara itu, Dokter Waldensius Girsang yang ditemui di Rumah


Sakit Jakarta Eyes Center membantah telah melakukan malpraktek
terhadap Haslinda.

Dalam pengaduannya ke ruang pengaduan Polda Metro Jaya,


Haslinda warga Kayu Mas, Pulogadung, Jakarta Timur ini tidak
menyebutkan tuntutan materil dan inmateril kepada dokter
Waldensius Girsang dan Rumah Sakit Jakarta Eyes Center sebagai
pihak yang diduga melakukan malpraktek.(Novi Hartoyo/Her)

Sumber : http://www.indosiar.com/
Bocah SD Tewas Setelah Dioperasi

indosiar.com, Ambon - Mengalami patah tangan akibat bermain layang-layang bisa


jadi biasa terjadi di kalangan anak-anak. Tapi tidak demikian bagi Aldo Mandua Pesi,
seorang bocah SD di Ambon Maluku yang harus kehilangan nyawanya menyusul
lengan patah yang dialaminya akibat bermain layang-layang. Aldo meninggal setelah
menjalani operasi untuk mengobati patah lengannya. Diduga hal itu akibat kelalaian
tim medis rumah sakit yang mengoperasinya.

Tangis keluarga tak dapat dibendung saat jenazah Aldo Mandua Pesi tiba di rumah
duka di Kelurahan Uri Tetu Kecamatan Cirimau Kota Ambon. Ibu dan nenek Aldo
tampak histeris dan tak sadarkan diri disamping jasad putra pertama dari 2 bersaudara
pasangan Edwin dan Eti Mandua Pesi.

Kematian Aldo dipastikan lantaran kelalaian tim medis Rumah Sakit Tentara Dokter
Latumeten Ambon. Pada Rabu pagi, Aldo dilarikan ke rumah sakit akibat lengan
kanannya patah saat bermain layang-layang. Oleh dokter rumah sakit setempat
langsung melakukan tindakan operasi pemasangan platina di lengan kanan Aldo.

Operasi berlangsung lancar, namun hingga beberapa jam Aldo belum sadarkan diri
bahkan seluruh anggota tubuhnya membiru. Dokter kemudian memutuskan untuk
kembali mengoperasi Aldo pada siang harinya.

Sejak saat itu korban tidak sadarkan diri hingga menghembuskan napas terakhir
Kamis (29/03/07) pagi. Sementara itu pihak Rumah Sakit Tentara Dokter Latumeten
Ambon menolak memberi keterangan mengenai kasus dugaan malpraktek tersebut.

Namun menurut Edwin, ayah korban yang menghubungi dokter Sugiadap, Dokter
Ahli Tulang yang menangani operasi Aldo mengakui, kematian Aldo akibat over
dosis pemberian obat bius oleh dokter anastesia saat operasi. Keluarga korban
berharap pihak berwajib mengusut tuntas dugaan malpraktek yang telah merengut
nyawa siswa kelas 2 SD ini. (Jabar Tianotak/Sup)

Sumber : http://www.indosiar.com/
Dugaan Malpraktek

Balita Tewas Usai Imunisasi

indosiar.com, Cirebon - Diduga menjadi korban malpraktek, seorang bayi berusia 4


bulan tewas. Sebelum meninggal bayi tersebut mendapatkan imunisasi di posyandu.
Saat menjalani imunisasi suntik tersebut bayi dalam kondisi sakit parah.

Turini dan Suheli warga Beberan Timur Palimanan Cirebon ini tak mampu menahan
rasa dukanya. Mereka tampak shok diselasar Rumah Sakit Gunung Jati Cirebon saat
menyaksikan Saskia, buah hatinya telah tak bernyawa di kamar rawat anak.

Pihak keluarga berkeyakinan Saskia meninggal akibat dugaan malpraktek yang


dilakukan bidan posyandu di desanya. Saskia sempat mendapatkan suntikan
imunisasi dari bidan tersebut, meski kondisinya saat itu tengah demam dan muntah.

Setelah mendapatkan imunisasi, Saskia mengalami diare, kejang serta demam tinggi
hingga dua hari dua malam. Saskia sempat dilarikan ke Rumah Sakit Arjowinangun.
Namun karena kondisinya semakin memburuk, Saskia langsung dirujuk ke RSUD
Gunung Jati Cirebon. Malang baru beberapa jam mendapat perawatan Saskia
menghembuskan napas terakhirnya.

Namun sejauh ini pihak Rumah Sakit Gunung Jati sendiri memiliki dugaan lain
tentang penyakit Saskia. Berdasarkan hasil pemeriksaan sementara, Saskia
mempunyai penyakit cukup parah yakni radang otak.

Sementara pihak keluarga Saskia sendiri masih memikirkan kemungkinan mengugat


pihak-pihak yang dianggapnya telah melakukan kelalaian. (Masyuri Wahid/Sup)

Sumber : http://www.indosiar.com/
Gara-Gara Malpraktek, Separuh Wajah Tumini
Rusak

indosiar.com, Purbalingga - Tumini harus menjalankan hari-harinya dengan


kondisi setengah wajah rusak. Semua berawal pada 6 tahun silam, warga Kabupaten
Purbalingga, Jawa Tengah itu semula merasa terganggu dengan jerawat di pipi
kanannya sehingga ia berobat ke Rumah Sakit Wirasana Purbalingga.

Setelah pemeriksaan, pihak rumah sakit langsung meminta agar jerawat tersebut
segera dioperasi. Bukannya tambah membaik, bekas jahitan operasi lepas dan pipi
Tumini jadi berlubang. Karena bertambah parah, akhirnya pihak Rumah Sakit
Wirasana menganjurkan Tumini untuk berobat ke Rumah Sakit Sarjito Yogyakarta.

Disana, ibu tiga anak itu harus menjalani operasi. Namun setelah dilakukan, lagi-lagi
kondisi luka di wajah Tumini semakin parah, bahkan lubang di pipinya semakin
lebar. Saking mengenaskannya, dari lubang tersebut bisa terlihat lidah Tumini.

Kini Tumini hanya bisa pasrah menjalani hari-harinya. Karena kondisinya, ia hanya
bisa makan bubur cair secara perlahan dan kerap mengalami kesulitan menelan.
Tidak hanya itu, suaranya juga tak jelas lagi.(Nanang Anna Nurani/Sup)

Sumber : http://www.indosiar.com/
Usus Terburai Pasca Operasi
Kanker

indosiar.com, Brebes - Setelah menjalani operasi kanker rahim, derita panjang tetap
harus dialami Masriyah, warga Desa Pegejugan, Brebes, Jawa Tengah. Saat operasi
yang berhasil mengangkat kanker rahimnya beberapa waktu lalu, dokter
mengeluarkan usus dalam perutnya dan membiarkannya hingga kini. Keterbatasan
fasilitas rumah sakit dijadikan dalih dokter yang menangani operasinya.

Masriyah sepintas tampak sehat, namun ibu 3 anak ini harus rela menjalani hidup
dengan usus besarnya terburai keluar. Penderitaannya berawal saat dirinya menjalani
operasi kanker rahim di Rumah Sakit Dedi Jaya, Brebes Agustus lalu.

Saat menjalani operasi, tim dokter berhasil mengangkat kanker rahimnya, namun
tidak langsung mengembalikan ususnya. Dokter berdalih, ususnya akan dikembalikan
ke kondisi semula pada tahap operasi selanjutnya, karena harus menunggu luka
operasi bertambah mengering. Namun hingga tiga kali operasi, tetap saja dibiarkan
ususnya terburai keluar. Dokter menyatakan, usus Masriyah tidak bisa dikembalikan
karena keterbatasan peralatan di rumah sakit.

Jika buang air besar, tidak lagi melalui anus, namun melalui ususnya. Berat badannya
pun kini terus merosot dan sering merasakan mual serta nyeri dibagian ususnya.

Masriyah menduga dokter telah melakukan kesalahan saat operasi. Bahkan Masriyah
mengaku diminta membayar 7,5 juta rupiah meski menggunakan kartu JPS Askin.

Said Hasan menambahkan, Masriyah merupakan pasien dengan kartu Askin. Biaya
sebesar 7,5 juta rupiah hanya untuk membayar obat-obatan maupun kelengkapan
operasi yang tidak ditanggung dalam kartu Askin. (Kuncoro Wijayanto/Sup)

Sumber : http://www.indosiar.com/
FOKUS
Perut Berlubang Setelah Operasi Perut

indosiar.com, Semarang - Pelaporan dugaan malpraktek dilakukan oleh Sigit


Prasetyo, pelajar SMK Texmaco yang menjalani operasi usus buntu di RSUD M
Ashari Pemalang pada November tahun lalu ke Polda Jawa Tengah. Hingga kini pada
luka bekas operasi di perut Sigit terlihat lubang kecil yang terus mengeluarkan darah
dan cairan lain.

Didampingi orangtua dan aktivis LBH Kesehatan Jakarta, pasien korban malpraktek
bernama Sigit Prasetyo, Jumat (03/11/06) kemarin melaporkan dugaan kasus
malpraktek yang menimpa dirinya ke Polda Jawa Tengah.

Korban merasa dirugikan oleh tindakan medis seorang dokter di RSUD M Ashari
Pemalang karena pasca operasi usus buntu di bekas luka jahitan di perut terlihat
lubang kecil yang terus mengeluarkan darah. Awalnya tahun 2005 lalu, korban di
diagnosa menderita usus buntu hingga harus operasi pada 1 November 2005 di RSUD
Pemalang.

Kendati sukses memotong usus yang infeksi, namun di bekas luka sayatan operasi
dibagian perut terus mengeluarkan cairan tertentu. Dengan bantuan LBH Kesehatan
korban akhirnya diboyong ke RSCM Jakarta untuk dirawat lebih intensif.

Pihak LBH Kesehatan Jakarta yang mendampingi pelaporan dugaan kasus


malpraktek ini berharap polisi bisa menjerat dokter yang terlibat malpraktek tersebut
dengan pasal 360 KUHP serta pelanggaran Undang Undang Praktek Kedokteran.
(Agus Hermanto/Sup)

Sumber : http://www.indosiar.com/

Anda mungkin juga menyukai