Anda di halaman 1dari 12

Materi Kasus Etika dan Hukum Kesehatan

Kasus dr.Setyaningrum

Disusun oleh :
Farras Putri Aulia 25000119130107 2019
Firgia Gindha Blorika 25000119140277 2019
Nisrina Shafa Tamita 25000119130213 2019

UNIVERSITAS DIPONEGORO

SEMARANG

2019
Kasus dr.Setyaningrum

Dokter Setyaningrum adalah dokter di Puskesmas Kecamatan Wedarijaksa, Kabupaten


Pati, Jawa Tengah. Kasus dokter Setyaningrum ini terjadi pada awaltahun 1979. Pada sore
hari, dokter Setyaningrum menerima pasien, Nyonya Rusmini (28 tahun). Nyonya Rusmini
ini merupakan istri dari Kapten Kartono (seorang anggota Tentara Nasional Indonesia).
Nyonya Rusmini ini menderita pharyngitis (sakit radang tenggorokan). “Orang dahulu”
jika belum disuntik maka ia belum merasa sembuh. Jadi, pada zaman dahulu banyak orang
yang dalam sakit apapun, diminta untuk disuntik baik dalam sakit ringan maupun berat.

Pada saat itu, dokter Setyaningrum langsung menyuntik/menginjeksi pasiennya (Nyonya


Rusmini) dengan Streptomycin. Streptomycin adalah obat yang termasuk
kelompok aminoglycoside. Streptomycin ini bekerja dengan cara mematikan bakteri
sensitif, dengan menghentikan pemroduksian protein esensial yang dibutuhkan bakteri
untuk bertahan hidup. Streptomycin ini berguna untuk mengobati tuberculosis (TB) dan
infeksi yang disebabkan oleh bakteri tertentu. Ternyata, beberapa menit kemudian,
Rusmini mual dan kemudian muntah. Dokter Setyaningrum sadar bahwa pasiennya itu
alergi dengan penisilin. Oleh karena itu, ia segera menginjeksi Nyonya rusmini
dengan cortisone. Cortisone merupakan obat antialergi. Tapi, hal itu tak membuat
perubahan. Tindakan itu malah memperburuk kondisi Nyonya Rusmini. Dalam keadaan
yang gawat, dokter Setyaningrum meminumkan kopi kepada Nyonya Rusmini. Tapi, tetap
juga tidak ada perubahan positif. Karena itu, sang dokter kembali memberi
suntikan delladryl (juga obat antialergi).

Nyonya Rusmini semakin lemas, dan tekanan darahnya semakin rendah. Dalam keadaan
gawat itu, dokter Setyaningrum segera mengirim pasiennya ke RSU R.A.A. Soewondo,
Pati, sekitar 5 km dari desa itu untuk mendapat perawatan. Pada saat itu, kendaraan untuk
mengantarkan ke rumah sakit, belum semudah yang dibayangkan sekarang. Untuk mencari
kendaraan saja memerlukan waktu beberapa menit. Setelah lima belas menit sampai di RSU
Pati, pasien tidak tertolong lagi. Nyonya Rusmini meninggal dunia. Kapten Kartono
kemudian melaporkan kejadian itu kepada polisi.

Pengadilan Negeri Pati di dalam Keputusan P.N. Pati No.8/1980/Pid.B./Pn.Pt tanggal 2


September 1981 memutuskan bahwa dokter Setyaningrum bersalah melakukan kejahatan
tersebut pada pasal 359 KUHP yakni karena kealpaannya menyebabkan orang lain
meninggal dunia dan menghukum terdakwa dengan hukuman penjara 3 bulan dengan masa
percobaan 10 bulan.

Tahapan Pengadilan Kasus

Pertimbangan hakim dala, hal ini antara lain adalah sebagai berikut:

1. Menimbang, bahwa dari pengakuan/keterangan terdakwa dan saksi-saksi: Tamirah,


Imam Suyudi, Dr. Imam Parsudi dipersidangan ternyata: bahwa terdakwa telah menyuntik
pasien Rusmini (korban) empat kali:

1. Streptomycin 1 gram

2. Cortisone 2 cc

3. Delladryl 2 cc

4. Adrenalin 0,5 cc

2. Bahwa terdakwa untuk keamanan suntikannya tidak menyatakan apa pasien mengerti
ciri-ciri/kegunaan obat Streptomycin, kapan suntikan itu pernah diterimanya, siapa yang
menyuntiknya, bagaimana reaksinya, apa sakitnya dulu smaa dengan di deritanya ini,
apakah penderita pernah mempunyai penyakit lain yang berhubungan dengan alergi, dan
tidak memeriksa tekanan darah guna menegakkan diagnosanya.

3. Bahwa penderita Rusmini setelah menerima suntikan I, Streptomycin merintih


kesakitan merasa tidak kuat, mual, muntah-muntah, gelisah, pucat, lemas, kulitnya dingin,
sesak nafas, nadi kecil, tekanan darah rendah, dan bersuara grok-grok/klek-klek seperti
orang akan mati.

4. Bahwa tanda-tanda tersebut menunjukkan pasien telah menderita ketidaktahanan


obat Streptomycin (alergi), sehingga pasien Rusmini saat itu telah mengalami
anaphylactic-shook.

5. Menimbang, bahwa terdakwa dituntut atas tuduhan melanggar pasal 359 jo. 361 Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana. Menimbang, bahwa pasal 359 KUHP, menentukan:
Barang siapa karena kealpaannya menyebabkan matinya orang lain dihukum penjara
selama-lamanya lima tahun atau kurungan selama-lamanya satu tahun. Menimbang, bahwa
pasal 359 KUHP, unsur-unsurnya adalah:

a. Barang siapa
b. Karena kealpaanya

c. Menyebabkan orang lain mati

Menimbang, bahwa barang siapa berarti siapapun juga orangnya tanpa terkecuali termasuk
seorang dokter yang dapat menjadi subyek hukumnya.

6. Menimbang, bahwa karena kealpaannya. Bahwa undang-undang sendiri tidak


memberikan definisi tentang pengertian alpa/culpa/schuld, hal mana diserahkan pada ilpu
pengetahuan hukum, maka kami berpedoman pendapat dari Mr. J.E. Jonkers dan Prof. Mr.
D. Hazewinkel Surinca masing-masing dalam bukunya “han book van hot nederlandsch
Srefrecht” yang mengartikan kealpaan/schuld sebagai kurang/tidak mengadakan penduga-
duga dan kurang/tidak mengadakan penghati-hati yang perlu menurut hukum, karena
kurang memperhatikan akibat-akibat yang tiba-tiba dan kurang menduga-duga yang perlu,
karena lalai atau kurang memikirkan kemungkinan akan timbulnya korban, akibat
kelalaiannya itu (bandingkan Keputusan M.A. tanggal 18-7-1974 No.53 K/Kr./1973).
Menimbang, bahwa sikap bathin terdakwa memang menghendaki/tidak menyetujui akibat
(kematian) yang terlarang itu, tetapi kekeliruannya adalah kurang
mengindahkan/lalai/teledor.

7. Menimbang, bahwa tidak mengadakan penduga-duga yang perlu ada dua kemungkinan
yakni terdakwa berfikir akibat itu tidak akan terjadi karena perbuatannya, tetapi
kenyataannya terjadi, kekeliruannya adalah salah fikir/salah pandang yang seharusnya
disingkiri, atau terdakwa sama sekali tidak mempunyai pikiran akibat yang terlarang itu
mungkin timbul dari perbuatannya, kesalahannya tidak mempunyai pikiran yang
seharusnya dipikirkan, hal mana merupakan sikap yang berbahaya bagi ketertiban
masyarakat, (bandingkan: Prof. Mr. C.A. Van Humel dalam bukunya “Inleiding tot de
studie van hot Nederlan sche Strefrech” dan Prof. Mr. T. Noyon-langumayor” Hot wotbook
van Strafrecht”).

Menimbang, bahwa dalam syarat tidak mengadakan penduga-duga yang perlu ini
diletakkan hubungan batin terdakwa dengan akibat yang timbul dari perbuatannya yakni
kematian Rusmini.

Menimbang, bahwa hubungan ini dalam senyatanya tidak perlu ada dalam payche
terdakwa, sebab kesalahan dipandang secara normatif, tidak lagi psychologis, maka yang
menentukan adalahh apakah hubungan itu dipernilai atau tidak.
Menimbang, bahwa tidaklah mungkin diketahui bagaimana sikap batin seseorang
(terdakwa) sesungguhnya, maka haruslah ditetapkan dari luar, bagaimana seharusnya ia-
terdakwa-berbuat, dengan mengambil ukuran sikap bathin orang pada umumnya/dokter
umum pada umumnya, dalam keadaan/situasi yang sama dengan sipembuat itu.

8. Menimbang, bahwa terdakwa sebagai dokter umum sebelum


menyuntik Streptomycin Rusmini hemat kami seharusnya dapat menduga ada
kemungkinan pasiennya tidak tahan obat itu, sebab menurut teori ilmu kedokteran ketidak
tahanan obat (alergi) seseorang bisa timbul karena bawaan/alami ataupun pengaruh obat
yang diterimanya/dapatan, sehingga diperlukan ketelitian dan kewaspadaan terhada
pasiennya (Saksi Dr. Imam Parsudi, Dr. Moch Prihadi, Dr. Goesmoro Suparno, Dr. Likas
Susiloputro).

Menimbang, bahwa kemungkinan timbulnya ketidak tahanan obat (alergi) pasiennya


seharusnya bisa diduga-duga sebab terdakwa sebagi dokter umum dapat mengadakan
kewaspadaan/penelitian secara menanyakan apakah pasien mempunyai riwayat alergi lain
(anammesis), test kulit, sehingga bisa mengetahui adaya dan jelas penyebab alerginya
(saksi-saksi dr. Imama Parsudi, dr. Lukas Susiloputro dan bandingkan: dr, Ichsan M.D.M.
M.Sc. dalam bukunya “alergi).

Menimbang, bahwa alergi antaranya dapat berwujud pilek, reaksi mendadak terhadap
suntikan, peradangan pernapasan, influensa, hal mana ada dan tanda-tanda mana diderita
pasiennya, maka terdakwa sebagai dokter umum seharusnya dengan cermat, teliti
menyelidiki keadaan (onstandinghoden) itu, sehingga ia dapat menduga perbuatannya itu
mungkin akan menimbulkan yang akibat/kematian yang dilarang hukum.

Menimbang, bahwa kematian Rusmini bukan sekedar acident sebab kemungkinan ketidak
tahan obat seseorang terhadap suntikan antibiotika/Streptomycin menurut ilmu kedokteran,
dan para saksi ahli, bisa karena alamiah/bawaan atau pengaruh obat yang diterimanya
(dapatan) serta sebagian besar dokter Puskesmas pernah mengalami kasus analphylactic
shook (88%) dan kejadian tersebut sering dijumpai pada usia dewasa, sesuai pasien, 25-40
tahun (60%), sehingga terdakwa sebagai dokter umum seharusnya bisa menduganya untuk
bertindak waspada, cermat, cepat, dan tepat.

9. Menimbang, kurang hati-hatinya terdakwa: bahwa sebelumnya untuk keamanan


penyuntikannya ia tidak meneliti dengan menanyakan riwayat, sakitnya si pasien yang
berhubungan dengan alergi (annamesis), melainkan hanya percaya saja katanya pasien
yang berpendidikan rendah dan awam obat-obatan, tanpa meneliti kapan, dimana, siapa
dulu yang menyuntiknya, apa jenis sakitnya dulu sama dengan yang diderita sekarang,
bagaimana reaksinya.

Bahwa sebelumnya, terdakwa juga tidak memeriksa tekanan darahnya pasien, tidak
melakukan test kulit untuk menyelidiki apakah pileknya merupakan manifestasi dari
keadaan alergi dan juga untuk mengungkapkan enis alergi penyebab (bandingkan dr. Ichsan
M.D.M. Sc.).

Bahwa terdakwa baru kemudian, setelah penyuntikan ke 3 memeriksa nadinya ternyata


kecil dan cepat, tekanan darah rendah, kesadarannya menurun, sehingga baru ia mengerti
terjadinya anaphylactic shook bukan anaphylaxia ringan, sehingga ia terlambat
memberikan Adrenalin, yang semestinya didahulukan penyuntikannya
setelah Streptomycin, dan diulanginya bila yang pertama belum berhasil.

Bahwa terdakwa juga tidak mencoba melakukan: vena saksi untuk pemberian cairan per-
infus, pemberian oksigen (O2), dan pemberian obat-obatan lain sebagai ulangan serta
pemjatan jantung merangsang geraknya.

10. Menimbang, bahwa kekurangan hati-hatinya terdakwa tampakj juga dari


keterlambatannya memberikan suntikan Adrenalin (suntikan yang ke 4). Yang menurut
terdakwa, ke 4 suntikan itu dilakukan dalam waktu 3 menit, hal mana kurang dapat diterima
karena di antara suntikan –suntikan itu diselingi pengurusan untahan, pembuatan, dan
pemberian wedang kopinya, si pasien sudah tidak mampu minum sendiri, yang tak
mungkin diminumkan bila masih panas, lagi pula spet/alat suntikannya bukan dari plastik-
sekali pakai buang-dimana untuk menjaga sterilnya perlu pencucian setiap ganti obatnya,
sehingga membutuhkan waktu yang cukup lama.

11. Bahwa terdakwa mengaku kemungkinan matinya Rusmini karena tidak tahan
obat Streptomycin yang diterimanya (alergi), bukan karena hal lain, kemungkinan mana
juga dibenarkan saksi-saksi: dr. Goesmoro Suparno, dr. Lukas Susiloputro, Dr. Imam
Parsudi, dr. Moch. Prihadi, dr. Mualip Muchiya.

Menimbang bahwa, di dalam ilmu kedokteran kehakiman (forensik) dikenal 3 cara


kematian:

a.Kematian yang wajar


b. Kematian yang tak wajar

c. Kecelakaan

d. Pembunuhan

e. Bunuh diri

f. Kematian yang dapat ditentukan.

Bahwa berdasarkan pengakuan terdakwa, visum et repertumnya, keterangan saksi-saksi


(Imam Suyudi, dr. Goesmoro Supartni, dr. Lukas, Dr. Imam Parsudi, Dr, Moch, Prihadi)
cukup petunjuk matinya Rusmini, karena ketidak tahanan obat yang diterimanya.
(bandingkan: dr. A, Mun’im Idris”Majalah bantuan hukum I/1981).

12. Menimbang bahwa, bedah mayat untuk menentukan secara pasti sebab kematian tidak
dapat dilakukan karena perkara baru masuk pengadilan Negeri setelah selang lama kira-
kira setahun dari kejadiannya dan menurut saksi ahli dr. Mualip Munhiya bila kini
diperinyahkan bedah mayatnya Rusmini, sudah tidak ada gunanya, bahkan karena hukum
pidana bukan ilmu matematika/eksak maka meskipun tanpa dialkukan bedah mayat tapi
berdasarkan hal-hal/fakta-fakta di atas cukup petunjuk kematiannnya Rusmini disebabkan
ketidak tahanan obat yang diterimanya.

13. Menimbang bahwa, selanjutnya untuk menegakkan diagnosis kematian (Rusmini)


akibat anaphylactic-shock yang terjadi setelah pemberian obat (suntikan) cukup petunjuk-
petunjuk jugs yakni:

a. Sebelum kematiannya pasien telah menunjukkan gejala-gejala anaphylactic shock.

b. Sebelum kematian tidak terdapat proses patologik lain, yang dapat menyebabkan
kematiannya yang mendadak itu: sakit keras/sakit jantung, sakit paru-paru dan lain-lain.

c. Di tempat suntikan terdapat obat-obatan yang telah


disuntikkan; Streptomycin, cortisone, delladryl , Adrenalin. (bandingkan dr. Arief
Budijanto”kematisn akibat Anaphylactic shock”).

14. Menimbang bahwa, karenanya dapat disimpulkan ada hubungan causal antara
perbuatan terdakwa/penyuntikannya dengan kematiannya Rusmini.

Menimbang bahwa, menurut ilmu kedokteran obat-obatan yang sering/pernah


menimbuk=lkan anaphylactic shock antara lainnya: Penicillin
(35%), Streptomycin (19,3%), delladryl (5,4%), maka bila setelah Rusmini
disuntik Streptomycin tidak tahan, masih pula diberikan delladryl yang dapat menambah
anaphylactic shock. (bandingkan: dr. Ny. Ristiti Ati Gunawan “Pandangan dan Sikap
Dokter Puskesmas terhadap Anaphylactic Shock).

15. Menimbang bahwa, kekurangan-kekurangan yang sering dihadapi dalam penanganan


anaphylactic shock bagi dokter-dokter Puskesmas bisa juga karena
pengetahuan/ketrampilan yang kurang memadai, di samping kurangnya sasaran/peralatan,
sehingga perlu lebih berhati-hati dalam melakukan tindakan, terutama tang mengandung
kemungkinan terjadinya anaphylactic shock misal: dengan anmnisis yang teliti, yang
berhubungan dengan reaksi alergi t=yang pernah dialami si pasien menyuntik dengan
indikasi yang jelas, melakukan skin eye test, mencari alternatif pengobatan lain, hal mana
tidak dilakukan terdakwa.

16. Menimbang bahwa, andaikan ketidak tahanan obat yang diterimanya (alergi) yang
menyebabka kematiannya Rusmini itu karena adanya persenyawaan/pertarungan antara
bahan/zat asing, yang disuntikkan terdakwa (koncia) dengan bahan/zat penolak/anti, yang
telah ada dalam tubuh koran (lubang konci) yang tidaak dapat dipastikan/ditentukan mana
yang lebih relevan dalam menyebabkan maut itu, yang berarti kedua pihak terdakwa dan
pasien ada kelalaian maka menurut ilmu hukum pidana khususnya teori kealpaan hal itu
tidak bisa menghapuskan kesalahan terdakwa. (bandingkan keputusan M.A. 19-5-1976 No.
54 K/Kr/1975 dan Dr. Wirjono Prodjodikoro S.H. “Tuindakan-tindakan Pidana tertentu di
Indonesia”)

17. Menimbang bahwa, berdasarkan pengakuan terdakwa, keterangan saksi-saksi, barang-


barang bukti serta pertimbangan di atad dipandang dari hubungan dan persesuaiannya,
maka kesalahan terdakwa telah terbukti dengan sah dan meyakinkan menurut undang-
undang, yakni karena kealpaannya menyebabkan orang lain meninggal dunia.

Atas dasar keputusan Pengadilan Negeri Pati tersebut Pengadilan Tinggi di Semarang
melalui Putusan No. 203/1981/Pid/P.T. Semarang tanggal 19 Mei 1982 telah memperkuat
putusan Pengadilan Negeri Pati tertanggal 2 September 1981 No. 8/1980/Pid.B/Pn.Pt, dan
sekaligus menerima permohonan banding Jaksa Penuntut Umum.

Selanjutnya berdasarkan kasasi yang diajukan (kuasa) terdakwa, Mahkamah Agung telah
membatalkan putusan Pengadilan Tinggi Jawa Tengah di Semarang tanggal 19 Mei 1982
No. 203/1981 No. 8/1980/Pid.B/PT. Semarang dan putusan Pengadilan Negeri Pati
tertanggal 2 September 1981 No. 8/1980/Pid.B/Pn.PT. dan mentakan, bahwa kesalahan
terdakwa dokter Setyaningrum binti Siswoko atas dakwaan yang didakwakan kepadanya
tidak terbukti dan membebaskan terdakwa dari dakwaan tersebut. Dalam hal ini sepanjang
menyangkut unsur kealpaan dan elemen-elemen malpraktik. Mahkamah Agung
mengemukakakn alasan-alasan sebagai berikut:

Bahwa sepanjang mengenai penafsiran unsur kealpaan keberatan ini dapat dibenarkan, oleh
karena judex facil kurang tepat dalam menetapkan tolak ukur untuk menentukan ada
tidaknya unsur kealpaan dalam perbuatan terdakwa dalam arti sejauh mana terdakwa
berusaha secara maksimal untuk menyelamatkan nyawa jiwa pasiennya, sesuai dengan
kemampuan yang sewajarnya harus dimiliki dan sarana yang tersedia padanya.

Bahwa untuk memeberikan keterangan dari segi ilmu pengetahuan medis yaitu yang
berkenaan dengan apa yang seharusnya dilakukan terdakwa sebelum melakukan
penyuntikan Streptomycin terhadap pasien dan tindakan penanggulan apa pula yang
dilakukan jika ternyata setelah disuntik itu pasien menunjukkan tanda-tanda reaksi tidak
tahan terhadap obat yang disuntikkan, Pengadilan telah mendengar kesaksiaan 6 (enam)
orang dokter sebagai saksi ahli.

Bahwa dari keterangan keenam dokter itu, terkecuali keterangan saksi dr. Imam Parsudi,
Mahkamah Agung menyimpulkan bahwa tindakan terdakwa menanyakan kepada
pasiennya apakah sudah pernah mendapat suntikan Streptomycin dan kemudian berturut-
turu memberikan suntikan cotisone, delladryl , dan Adrenalin, setelah melihat ada tanda-
tanda penderita mengalami alergi terhadap Streptomycin melakukan upaya yang
sewajarnya dapat dituntut dari padanya sebagai dokter dengan pengalaman kerja sama 4
(empat) tahun dan yang sedang melaksanakan tugasnya pada Puskesmas dengan sarana
yang serba terbatas.

Bahwa dari terdakwa sebagai dokter yang baru berpengalaman kerja selama 4 (empat)
tahun yang sedang bertugas di Puskesmas yang serba terbatas sarananya tidaklah mungkin
untuk diharapkan melakukan hal-hal seperti yang dikehendaki saksi dr. Imam Parsudi,
misalnya melakukan penyuntikan Adrenalin langsung ke jantung atau pemberian cairan
infus, pemberian zat asam dan lain tindakan yang memerlukan sarana yang lebih rumit.

Bahwa dengan demikian salah satu unsur yaitu unsur kealpaan yang dikehendaki oleh pasal
359 KUHP tidsk terbukti ada dalam perbuatan terdakwa, sehingga karenanya terdakwa
dharus dibebaskan dari dakwaan yang ditimpakan padanya.
Dampak kasus dr. Setyaningrum bagi perkembangan hukum kesehatan di Indonesia

1. Menimbulkan pro dan kontra atas masuknya hukum dalam dunia kedokteran
Dokter lebih banyak berhati-hati dengan apa yang diperbuat terhadap pasiennya. Bagi
golongan yang pro, hukum itu perlu untuk membatasi sejauh mana kewenangan dokter.
Bagi golongan yang kontra, hukum kesehatan/kedokteran tidak perlu mengatur bagaimana
dokter harus berbuat, cukup peraturan internal di dalam kedokteran sendiri.
2. Perubahan pola hubungan pasien dan tenaga kesehatan dari paternalistic menjadi
partnership
Paternalistik adalah pola hubungan yang bersifat vertikal seperti hubungan orang tua
dengan anak yang dimana orang tua tidak akan mencelakai anaknya. Karakteristik dari pola
hubungan pasien dan tenaga kesehatan yang bersifat paternalistik antara lain :
 Menimbulkan sikap pasrah dari pasien. Tingkat kepercayaan pasien terhadap dokter
sangat tinggi
 Komunikasi verbal sangat intens menimbulkan ikatan batin yang kuat antara
dokter/tenaga kesehatan dengan pasien
 Pasien tidak sadar akan hak-haknya terutama hak untuk mendapatkan informasi dan
hak untuk mendapatkan second opinion
 Teknologi kedokteran belum berkembang
 Pasien tidak pernah meminta haknya, yang muncul hanya kewajiban, misalnya pasien
mematuhi apa yang dikatakan oleh dokter dan membayar biaya kesehatan
 Tenaga kesehatan/dokter tidak pernah dianggap bersalah

Partnership adalah pola hubungan yang bersifat horizontal. Pasiendi anggap sebagai rekan
kerja dokter. Hubungan ini terjadi tahun 1979-sekarang. Karakteristik dari pola hubungan
pasien dan tenaga kesehatanyang bersifat partnership antara lain :

 Dokter tidak lagi dominan. Pasien menjadi sangat kritisterhadap tindakan medis yang
dilakukan dokter
 Komunikasi verbal tidak intens antara dokter dan pasien. Doktermerasa tidak punya
waktu yang cukup untuk berbincang-bincang denganpasiennya, sehingga pasien hanya
bertanya seperlunya
 Pasien dan Tenaga kesehatam/dokter mengenal dan menghormati hak dan kewajiban
para pihak
 Teknologi kedokteran berkembang dengan pesat
Arti hukum kesehatan
Hukum kesehatan termasuk hukum “lex specialis”, melindungi secara khusus tugas profesi
kesehatan (provider) dalam program pelayanan kesehatan manusia menuju ke arah tujuan
deklarasi “health for all” dan perlindungan secara khusus terhadap pasien “receiver” untuk
mendapatkan pelayanan kesehatan. Dengan sendirinya hukum kesehatan ini mengatur hak
dan kewajiban masing-masing penyelenggara pelayanan dan penerima pelayanan, baik
sebagai perorangan (pasien) atau kelompok masyarakat.

Sumber hukum kesehatan tidak hanya bertumpu pada hukum tertulis (undangundang),
namun juga pada jurisprudensi, traktat, konsensus, dan pendapat ahli hukum serta ahli
kedokteran (termasuk doktrin).8 Hukum kesehatan dilihat dari objeknya mencakup segala
aspek yang berkaitan dengan pemeliharaan kesehatan (zorg voor de gezondheid). Dengan
demikian dapat dibayangkan bahwa sumber hukum kesehatan cukup luas dan kompleks.
Bentuk hukum tertulis atau undangundang mengenai hukum kesehatan diatur dalam:

 Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (selanjutnya disebut UU No.


36 Tahun 2009).
 Undang-Undang No. 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit (selanjutnya disebut UU
No. 44 Tahun 2009).
 Undang-Undang No. 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran (selanjutnya disebut
UU No. 29 Tahun 2004).

Pentingnya hukum dalam dunia kesehatan / kedokteran


Fungsi hukum sebagai instrument pengatur dan instrument perlindungan ini diarahkan
pada satu tujuan, yaitu untuk menciptakan suasana hubungan hukum antar subjek hukum
secara harmonis, seimbang, damai, dan adil. Oleh karena itu, hukum dalam dunia
kesehatan atau kedokteran sangat dibutuhkan. Hukum kesehatan berfungsi melindungi
hak-hak pasien dari perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh tenaga kesehatan.
Selain itu, hukum kesehatan juga membatasi kewenangan tenaga kesehatan agar tidak
melakukan perbuatan yang menyimpang dari undang-undang sehingga ada tanggung
jawab dalam pelayanan yang diberikan kepada pasien dan setiap pasien mendapatkan
pelayanan kesehatan yang optimal dari tenaga kesehatan.
Manfaat adanya hukum kesehatan

1. Menekan pelaku kejahatan secara mental, bahkan menghindari adanya kejahatan


malpraktek. Dengan melemahkan hati manusia agar tidak sampai melakukan tindakan
diluar batas kewajaran.
2. Terjamin ketertiban di dalam masyarakat. Meskipun hanya mengatur tata kehidupan di
dalam sub sektor yang kecil kesehatan, tetapi keberadaannya dapat memberi
sumbangan yang besar bagi ketertiban masyarakat secara keseluruhan.
3. Sengketa yang timbul di dalam masyarakat dapat terselesaikan (khususnya di bidang
kesehatan). Benturan antara kepentingan individu dengan kepentingan masyarakat.
4. Menjadi pedoman setiap lembaga kesehatan dalam rangka meningkatkan pelayanan
kesehatan.
5. Menciptakan, memelihara dan menjaga kenyamanan, keamanan dan ketertiban
bersama.
Cara agar hukum kesehatan berjalan dengan baik
1. Memberikan wawasan mengenai hukum kepada setiap masyarakat yang terjun ke
dalam dunia kesehatan.
2. Pembenahan sistem hukum dalam bidang kesehatan yang lebih terstruktur dengan
adanya pengawasan baik dari lembaga berwenang.
3. Lembaga penegak hukum harus berpartispasi dalam menegakkan hukum dengan adil.
Kesimpulan
Dengan adanya kasus dr.Setyaningrum ini mampu menjadi pembelajaran penting dalam
penegakkan hukum kesehatan. Pembenahan sistem hukum kesehatan dan juga aparat
penegak hukum menjadi tombak utama dalam berlakunya hukum secara berkeadilan. Oleh
karena itu, hukum kesehatan memiliki peranan penting sebagai pedoman dalam rangka
peningkatan pelayanan kesehatan.

Anda mungkin juga menyukai