Anda di halaman 1dari 11

ANALISIS PUTUSAN KASUS BURUNG CENDRAWASIH PENGADILAN

NEGERI SORONG NOMOR KASUS 97/PID/1984.PN.SRG

A. Latar Belakang

Kasus Burung Cenderawasih merupakan kasus pertama pidana


lingkungan, yang diputus oleh Pengadilan Negeri Sorong tahun 1984
(putusan No 97/PID/1984.PN.SRG. Kasus tersebut merupakan perkara
pidana lingkungan, yang posisi kasusnya mengenai penyelundupan burung
Cebderawasih. Perkara ini diputus oleh hakim yang menyidangkan perkara
tersebut dengan menggunakan dasar hukum Undang-Undang Nomor 4
Tahun 1982 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan
Hidup. Untuk lebih jelasnya akan diuraikan mengenai duduk perkaranya
sebagaimana surat tuntutan pidana yang diajukan oleh jaksa penuntut
umum. Dalam dakwaan jaksa penuntut umum,khususnya dakwaan primer
dinyatakan sebagai berikut.

Terdakwa dr. Peter Suhanda dihadapkan ke PN Sorong secara


singkat pada tanggal 6 Agustus 1984 dan dalam dakwaan jaksa penuntut
umum bahwa dalam tahun 1983 atau 1984 bertempat disekitar pulau
Batanta dan Waigeo wilayah Kabupaten Dati II Sorong atau setidak-
tidaknya ditempat lain dalam wilayah hukum PN Sorong, dengan pemberian
perjanjian, salah memakai kekuasaan atau pengaruh, kekerasan, ancaman
atau tipu daya atau dengan memberi kesempatan, daya upaya atau
keterangan, sengaja membujuk untuk melakukan perbuatan yang
menyebabkan rusaknya lingkungan hidup yang diatur dalam Undang-
Undang Nomor 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok
Pengelolaan Lingkungan Hidup atau undang-undang lainnya.

Terdakwa adalah direktur CV Fauna Indah yang bergerak dalam


bidang kegiatan penangkapan dan pengiriman beberapa jenis satwa tertentu
yang diizinkan pemerintah. Penduduk digerakkan untuk melakukan
penangkapan burung Cenderawasih atau setidak-tidaknya burung jenis
lainnya yang dilindungi, tanpa izin resmi dari instansi pemerintah yang
berwenang dalam jumlah besar, yaitu sekitar 163 ekor atau lebih atau
setidak-tidaknya sejumlah lain yang diakuinya, dalam keadaan hidup
dan/atau mati untuk dikirim secara gelap melalui pelabuhan udara Jefman
Sorong.

Tindakan tersebut secara langsung ataupun tidak langsung


menimbulkan perubahan terhadap sifat-sifat fisik dan/atau hayati
lingkungan, yang mengakibatkan lingkungan itu kurang atau tidak
berfungsi lagi dalam menunjang pembangunan yang yang berkelanjutan
atau berkesinambungan.

B. Pertimbangan Hukum
Penangkapan dan pengiriman burung Cenderawasih secara besar-
besaran jelas merusak lingkungan hidup sebagaimana dimaksud dalam UU
No. 4 Tahun 1982;
Apabila burung Cenderawasih yang dilindungi diambil satu ekor saja,
maka peluang burung tersebut untuk berkembang biak menjadi terhenti,
padahal jenis burung tersebut daya pennagkarannya untuk berkembang
biak kecil sekali dalam satu tahun;
Pengambilan dan Pengiriman burung-burung Cenderawasih secara besar-
besaran secara langsung merusak lingkungan hidup karena, menghalang-
halangi pengembangbiakan burung tersebut ditempat habitatnya, sehingga
hubungannya dengan sumber daya alam hayati yang ada, habitat
ketenteraman akan rusak dan besar sekali kemungkinannya burung-burung
tersebut akan berpindah tempat atau setidak-tidaknya pengaruhnya
terhadap pengembangbiakan burung tersebut besar sekali;
Pengambilan burung-burung Cenderawasih secara besar-besaran secara
tidak langsung juga merusak lingkungan hidup, karena memberi kesan yang
negatif terhadap masyarakat disekitarnya yang baik secara moril/materiil
menderita kerugian;
Dalam pengertian lingkungan hidup dipulau Waigeo, termasuk masyarakat
di sekitarnya dengan permasalahan yang memengaruhi lingkungannya.
Tindakan mengambil burung dan sarang burung, atau burung Cenderawasih
tanpa sarangnya secara besar-besaran merusak lingkungan hidup, karena
mengakibatkan perubahan yang langsung terhadap sifat fisik hayati
lingkungan, sebagaimana dimaksudkan dalam ketentuan Pasal 1 angka 8
UU Nomor 4 Tahun 1982.
Menurut jaksa, unsur-unsur pasal 22 ayat (1) UULH adalah
a. Barang siapa;
b. Dengan sengaja;
c. Melakukan perbuatan;
d. Yang menyebabkan rusaknya lingkungan hidup; atau
e. Tercemarnya lingkungan hidup;
f. Yang diatur dalam undang-undang ini; atau
g. Undang-undang lain.
Setelah membahas unsur-unsur perbuatan pidana dalam kasus
burung Cenderawasih tersebut dan mengemukakan bebebrapa alat bukti
yang sah, dikuatkan dengan adanya petunjuk serta barang-barang bukti yang
diajukan di muka persidangan, Jaksa Penuntut Umum berkeyakinan
terdakwa telah melakukan perbuatan “ sengaja membujuk seseoramg
melakukan perbuatan.

yang menyebabkan rusakya lingkungan hidup” yang diatur dalam


Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1982 atau undang-undang lain,
sebagaimana dimaksud dalam dakwaan primer, melanggar Pasal 22 ayat (1)
jo. Pasal 1 angka 8 UU Nomor 4 Tahun 1982 jo. Pasal 55 ayat (1) ke-2
KUHP.

Berhubung dakwaan primer dianggap sudah terbukti, maka dakwaan


subsider dan selanjutnya tiak akan dibuktikan lagi. Kesimpulannya,
terdakwa secara sah dan meyaknkan terbukti bersalah melakukan tindak
pidana sebagaimana tersebut dalam dakwaan.
C. Proses Pemeriksaan

Dalam pemeriksaan perkara terhadap saksi ahli Ir. Resubun, Pjs.


Kepala Subbalai PPA Sorong, diperoleh keterangan bahwa : Terhadap
satwa yang dilindungi jenis Burung Cenderawasih, belum pernah PPA
Sorong memberikan izin kepada dr. Peter Suhanda atau CV Fauna Indah;

Terhadap satwa yang dilindungi dapat diberikan izin oleh Menteri


Kehutanan kecuali terhadap Burung Cenderawasih, Biawak, Komodo,
Orang Hutan, Benteng, dan Harimau Jawa, izin diberikan oleh Presiden.
Penangkapan dan pengiriman burung Cenderawasih secara besar-besaran
jelas merusak lingkungan hidup sebagaimana dimaksud dalam UU No. 4
Tahun 1982;

Apabila burung Cenderawasih yang dilindungi diambil satu ekor


saja, maka peluang burung tersebut untuk berkembang biak menjadi
terhenti, padahal jenis burung tersebut daya pennagkarannya untuk
berkembang biak kecil sekali dalam satu tahun;

Pengambilan dan Pengiriman burung-burung Cenderawasih secara


besar-besaran secara langsung merusak lingkungan hidup karena,
menghalang-halangi pengembangbiakan burung tersebut ditempat
habitatnya, sehingga hubungannya dengan sumber daya alam hayati yang
ada, habitat ketenteraman akan rusak dan besar sekali kemungkinannya
burung-burung tersebut akan berpindah tempat atau setidak-tidaknya
pengaruhnya terhadap pengembangbiakan burung tersebut besar sekali;

Pengambilan burung-burung Cenderawasih secara besar-besaran


secara tidak langsung juga merusak lingkungan hidup, karena memberi
kesan yang negatif terhadap masyarakat disekitarnya yang baik secara
moril/materiil menderita kerugian;

Dalam pengertian lingkungan hidup dipulau Waigeo, termasuk


masyarakat di sekitarnya dengan permasalahan yang memengaruhi
lingkungannya.
Tindakan mengambil burung dan sarang burung, atau burung
Cenderawasih tanpa sarangnya secara besar-besaran merusak lingkungan
hidup, karena mengakibatkan perubahan yang langsung terhadap sifat fisik
hayati lingkungan, sebagaimana dimaksudkan dalam ketentuan Pasal 1
angka 8 UU Nomor 4 Tahun 1982.

Menurut jaksa, unsur-unsur pasal 22 ayat (1) UULH adalah

a. Barang siapa;

b. Dengan sengaja;

c. Melakukan perbuatan;

d. Yang menyebabkan rusaknya lingkungan hidup; atau

e. Tercemarnya lingkungan hidup;

f. Yang diatur dalam undang-undang ini; atau

g. Undang-undang lain.

Setelah membahas unsur-unsur perbuatan pidana dalam kasus


burung Cenderawasih tersebut dan mengemukakan bebebrapa alat bukti
yang sah, dikuatkan dengan adanya petunjuk serta barang-barang bukti yang
diajukan di muka persidangan, Jaksa Penuntut Umum berkeyakinan
terdakwa telah melakukan perbuatan “ sengaja membujuk seseoramg
melakukan perbuatan. yang menyebabkan rusakya lingkungan hidup” yang
diatur dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1982 atau undang-undang
lain, sebagaimana dimaksud dalam dakwaan primer, melanggar Pasal 22
ayat (1) jo. Pasal 1 angka 8 UU Nomor 4 Tahun 1982 jo. Pasal 55 ayat (1)
ke-2 KUHP.

Berhubung dakwaan primer dianggap sudah terbukti, maka dakwaan


subsider dan selanjutnya tiak akan dibuktikan lagi. Kesimpulannya,
terdakwa secara sah dan meyaknkan terbukti bersalahmelakukan tindak
pidana sebagaimana tersebut dalam dakwaan. Pengadilan Negeri Sorong
tanggal 29 November 1984 menjatuhkan hukuman penjara selama 4 (empat)
tahun 6 (enam) bulan dan enda sebesar Rp.20.000.000,00 (dua puluh juta
rupiah), dengan ketentuan bahwa jika denda tidak dibayar harus diganti
dengan hukuman kurungan selama 6 (enam) bulan. Sidang pengadilan
memerintahkan barang bukti berupa 43 ekor burung Cendrawasih (40 ekor
dalam keadaan mati dan 3 ekor masih hidup), 10 tabung freezpack
(pendingin) dan dua koper merek “Echolac” dan “American” dirampas
untuk negara, sedangan 20 tabung karton dirampas untuk dimusnahkan.

Dr. Peter Suhanda, menurut Majelis, terbukti bersalah dengan


sengaja membujuk/menganjurkan dengan pemberian, perjanjian atau salah
memakai kekuasaan atau pengaruh melakukan perbuatan perusakan
lingkungan hidup. Setelah putusan majelis itu, terdakwa langsung
menyatakan menolak dan naik banding. Pengadilan Tinggi Irian Jaya di
Jayapura dalam sidang tanggal 2 Maret 1984 memperbaiki putusan
pengadilan Negeri Sorong Tanggal 29 November 1984
No.97/PID/S/1984.PN.SRG, yang dimohonkan banding sekadar mengenai
beratnya hukuman yang dijatuhkan terhadap dakwaan dan mengenai barang
bukti berupa 43 (empat puluh tiga) ekor burung Cendrawasih (40 ekor dalam
keadaan mati dan 3 eor dalam keadaan hidup) diserahkan depada
Perlindungan an Pelestarian Alam (PPA).

Sebagaimana diketahui, Putuan Pengadilan Negeri Sorong tahun


1984 di atas merupakan merupakan perkara pidana lingkungan yang
pertama diajukan ke lembaga peradilan, sehingga sangat menarik perhatian.
Terobosan di bidang hukum dengan memakai UULH sebagai dasar
penuntutan telah dibawa oleh Jaksa S.Santoso, S.H., menerima hadiah
Kalpataru sebagai Pembina Lingkungan Hidup paha tahun 1989. Perlu
dikemukakan di sini, bahwa belakangan timbul informasi baru sehubungan
dengan hadiah Kalpataru tersebut; siapa yang pertama menggunakan UU
No. 4 Tahun 1982? Hal ini sehubungan dengan kenyataan bahwa perkara
terdakwa lain, Vicky Tueyeh dilimpahkan ke pangadilan 28-7-84 dengan
dakwaan melanggar Pasal 22 ayat (1) UU No.4 Tahun 1982, diputus
Pengadilan Negeri Sorong tanggal 28 Oktober 1983 No.
96/Pid/S/1984/PN.SRG, selama 3 tahun 6 bulan, dengan Jaksa J.A Hutapea
sebagai jaksa penuntut umum, jadi satu bulan lebih dahulu dari putusan
terhadap terdakwa dr. Peter Suhanda oleh Jaksa S. Santoso, S.H., yaitu
tanggal 29 November 1984.

Sejalan dengan adalanya putusan atas dua perkara lingkungan hidup


yang telah diputus oleh pengadilan, Siti Sundari Rangkuti mengatakan
bahwa hambatanyang biasanya dihadapi dalam detik lingkungan adalah
mengenai beban pembuktian yang sangat sulit dikemukakan oleh penyidik,
terutama terhadap perkara pencemaran lingkungan yang menyangkut zat-
zat kimiawi atau baha berbahaya dan beracun. Dalam kasus burung
Cendrawasih di Sorong, jaksa membahas secara yuridis unsur-unsur delik
lingkungan Pasal 22 ayat (1) UULH da berupaya membuktikan unsur-unsur
tersebut dalam kaitannya dengan perbuatan terdakwa dr. Peter Suhanda,
terutama pada penekanan kepaa keteangan saksi ahli. Lebih jauh Siti
Sundari Rangkuti mengatakan bahwa pada saat putusan Pengadilan Negeri
Sorong dijatuhkan sebenarnya disamping berlakunya UULH sebagai dasar
hukum, masih berlaku Dierenbeschermings Ordonantie 1931 (Ordonansi
Perlindungan Satwa Liar), Stb. 1931 No. 134 dan Dierenbeschermings-
verondening 1931 (Peraturan Perlindungan Satwa Liar 1931), stb. 1931 No.
226 jis. 1932 No. 28 dan 1953 No. 513. Perbuatan terdakwa dr. Peter
Suhanda jelas melanggar Pasal 1 Dierenbeschermings Ordonantie 1931 jo.
Dierenbeschermings Ordonantie 1931, yang antara lain berlaku terhadap
burung Cendrawasih. Menurut Pasal 5 Ordonanti tersebut, dalam hal-hal
luar biasa, hanya presiden yang dapat memberikan dispensasi terhadap
ketentuan ordonanti tersebut.

Dengan demikan, lebih lanjut Siti Sundar Rangkuti mengaktakan,


mengingat dasar hukum yang berlaku pada saat kasus burung Cendrawasih
diajukan ke Pengadilan Negeri Sorong, Dierenbeschermings Ordonantie
1931 dan UULH, maka jaksa maupun hakim telah menerapkan adagium
ilmu hukum ”lex posterior derogat legi priori”. Dengan demikian, dapat
dimengerti mengapa terdakwa dijatuhi pidana penjara 4 (empat) tahun 6
(bulan) dan denda 20 juta rupiah, yaitu berdasarkan ancaman pidana terbaru
dalam Pasal 22 UULH mengenai perbuatan yang menyebabkan rusaknya
lingkungan hidup. Menurut Pasal 12 UULH, ketentuan tentang Sumber
Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya yang ditetapkan dengan unang-
undang. Dewasa ini undang-undang dimaksud adalah Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan
Ekosistemnya sebagai undang-undang baru yang mencabut berlakunya:
Ordonansi Perburuan (Jachtordonantie 1931 Stb. 1931 No. 133), Ordonansi
Perlindungan Binatang-Binatang Liar (Dierenbeschermings Ordonantie
1931 No. 134), Ordonansi Perburuan Jawa dan Madura (Jachtordonantie
Java en Madoera 1940 Stb. 1939 No. 733), dan Ordonansi Perlindungan
Alam (Natuurbescherming Ordonantie 1941 Stb. 1941 No.167).

D. Pertimbangan Hakim
Penerapan Pasal 22 ayat (1) jo. Pasal 1 angaka 8 uu Nomor 4 Tahun
1982 jo. Pasal 55 ayat (1) Majelis Hakim dalam perkara ini, yang mana
dalam amar putusan Majelis Hakim menerapkan dan menggunakan Pasal
22 ayat (1) jo. Pasal 1 angka 8 Nomor 4 tahun 1982 jo. Pasal 55 ayat (1)
Dilihat dalam pertimbangan majelis hakim dan tuntutan jaksa memang
benar unsur-unsur yang termuat memenuhi syarat suatu tindak pidana
perdagangan illegal satwa liar, sehingga harus melihat berdasarkan
kepastian hukum, kemanfaatan dan keadilan. Sehingga apa yang telah
tertuang didalam Peraturan Perundang-undangan yang berlaku, tujuan
hukum dapat tercapai. Tujuan hukum adalah akhir dari rangkaian
pemeriksaan atas suatu perkara hukum. Dimana menjadi suatu tolak ukur
terhadap penegakan hukum, apakah tujuan hukum dapat memberikan
kepastian, kemanfaatan bagi pelaku tindak pidana ataupun korban
sebagaimana yang tertuang dalam peraturan hukum yang berlaku.
Disamping itu peningkatan kualitas para penegak hukum dimata masyarakat
dan para pihak yang berperkara juga dinilai berdasarkan ketepatan dalam
memutus perkara sebagai wujud.
E. Putusan Hakim
Terdakwa dijatuhi pidana penjara 4 (empat) tahun 6 (bulan) dan
denda 20 juta rupiah, yaitu berdasarkan ancaman pidana terbaru dalam Pasal
22 UULH mengenai perbuatan yang menyebabkan rusaknya lingkungan
hidup. Menurut Pasal 12 UULH, ketentuan tentang Sumber Daya Alam
Hayati dan Ekosistemnya yang ditetapkan dengan unang-undang. Dewasa
ini undang-undang dimaksud adalah Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990
tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya sebagai
undang-undang baru yang mencabut berlakunya: Ordonansi Perburuan
(Jachtordonantie 1931 Stb. 1931 No. 133), Ordonansi Perlindungan
Binatang-Binatang Liar (Dierenbeschermings Ordonantie 1931 No. 134),
Ordonansi Perburuan Jawa dan Madura (Jachtordonantie Java en Madoera
1940 Stb. 1939 No. 733), dan Ordonansi Perlindungan Alam
(Natuurbescherming Ordonantie 1941 Stb. 1941 No.167).
F. Analisis terhadap pertimbangan dan putusan Hakim

Penerapan Pasal 22 ayat (1) jo. Pasal 1 angaka 8 uu Nomor 4 Tahun


1982 jo. Pasal 55 ayat (1) Majelis Hakim dalam perkara ini, yang mana
dalam amar putusan Majelis Hakim menerapkan dan menggunakan Pasal
22 ayat (1) jo. Pasal 1 angka 8 Nomor 4 tahun 1982 jo. Pasal 55 ayat (1)
Dilihat dalam pertimbangan majelis hakim dan tuntutan jaksa memang
benar unsur-unsur yang termuat memenuhi syarat suatu tindak pidana
perdagangan illegal satwa liar, sehingga harus melihat berdasarkan
kepastian hukum, kemanfaatan dan keadilan. Sehingga apa yang telah
tertuang didalam Peraturan Perundang-undangan yang berlaku, tujuan
hukum dapat tercapai.

Terdakwa dijatuhi pidana penjara 4 (empat) tahun 6 (bulan) dan


denda 20 juta rupiah, yaitu berdasarkan ancaman pidana terbaru dalam Pasal
22 UULH mengenai perbuatan yang menyebabkan rusaknya lingkungan
hidup. Menurut Pasal 12 UULH, ketentuan tentang Sumber Daya Alam
Hayati dan Ekosistemnya yang ditetapkan dengan unang-undang. Dewasa
ini undang-undang dimaksud adalah Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990
tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya sebagai
undang-undang baru yang mencabut berlakunya: Ordonansi Perburuan
(Jachtordonantie 1931 Stb. 1931 No. 133).

G. Kesimpulan

Kesimpulan dalam kasus ini yaitu terdakwa dijerat dengan Pasal 22


ayat (1) jo. Pasal 1 angaka 8 uu Nomor 4 Tahun 1982 jo. Pasal 55 ayat (1)
dengan hukuman pidana penjara 4 (empat) tahun 6 (bulan) dan denda 20
juta rupiah, yaitu berdasarkan ancaman pidana terbaru dalam Pasal 22
UULH mengenai perbuatan yang menyebabkan rusaknya lingkungan hidup.
Menurut Pasal 12 UULH, ketentuan tentang Sumber Daya Alam Hayati dan
Ekosistemnya yang ditetapkan dengan unang-undang. Dewasa ini undang-
undang dimaksud adalah Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang
Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya sebagai undang-
undang baru yang mencabut berlakunya: Ordonansi Perburuan
(Jachtordonantie 1931 Stb. 1931 No. 133). Atas perbuatan merusak
lingkungan hidup.

H. Rekomendasi

Rekomendasi dari kelompok kami yaitu sudah benar dengan


penerapan pasal tersebut kepada terdakwa namun agar tidak terjadi lagi
maka harus ada penjaga satwa satwa langka dan penegakan hukum harus
ditegakan agar mendapat keadilan yang seadil-adilnya.

I. Daftar Pustaka

Rahmadi, Takdir, 2012, Hukum Lingkungan di Indonesia, Rajawali Pers, Jakarta.


Undang-undang nomor 4 tahun 1982 ketentuan-ketentuan pokok kelola lingkungan
hidup.
http://www.profauna.net/id/faktasatwaliardiindonesia#.VD0f2dwaZPI

Anda mungkin juga menyukai