Anda di halaman 1dari 34

essay kebijan pemerintah mengenai kesehatan

Kesehatan adalah sesuatu hal yang sangat penting bagi semua umat manusia di dunia ini.
kesehatan merupakan kunci dari kesuksesan untuk mewujudkan Indonesia menuju Indonesia
yang maju dan sejahtera dan kemakmuran. Agar Indonesia menjadi negara Indonesia yang maju.
Karena Indonesia masih menjadi negara yang berkembang.
Jika sesorang sakit, dia tidak akan mampu melakukan kegiatan apapun dan akan menyusahkan
banyak orang di sekitar. Jika orang sakit, akan mengakibatkan ekonomi negara menurun karena
orang yang sakit tidak akan bisa mencari nafkah atau pekerjaan untuk kehidupan sendiri ataupun
keluarganya.
pemerintah juga melakukan berbagai kebijakan terkait dengan Kebijakan Prioritas Pembangunan
Kesehatan. Kebijakan tersebut yaitu melakukan upaya Promotif – Preventif,
terutama penyakit menular dan penyakit tidak menular.
Kebijakan pemerintah juga melibatkan peran masyarakat seperti posyandu, Posyandu,
Poskestren, Posbindu, Poskesdes / Ponkesdes dan PKD (Poliklinik Kesehatan Desa).
Pemerintah juga menciptakan kartu BPJS untuk orang-orang atau warga masyarakat yang
kurang mampu. BPJS adalah badan penyelenggara jaminan sosial. BPJS merupakan kartu ganti
untuk kartu askes. Para pengawai negri sipil tadinya menggunakan kartu askes sekarang diganti
dengan kartu BPJS. BPJS Kesehatan mulai beroperasi pada 1 Januari 2014 sebagai transformasi
PT Asuransi Kesehatan Indonesia (Persero) dalam memberi jaminan kesehatan. Peserta BPJS
adalah peserta PT Askes Indonesia, PT Jamsostek, program Jaminan Kesehatan Masyarakat,
program Penerima Bantuan Iuran, dan peserta mandiri.

BPJS juga digunakan untuk semua warga masyarakat. Baik digunakan oleh pegawai negri sipil
maupun warga yang kurang mampu.
Kemenkes melakukan berbagai inovasi melalui peningkatan penggunaan teknologi informasi (e-
government), yaitu e-Recruitment, e-Procurement, e-Prescription, e-Health, e-Planning, e-
Monev, e-Accreditation , e-Budgeting dan e-Office.
Kebijakan lain terkait dengan pencapaian program MDGs, pemerintah meminta peranan dari
rumah sakit. Rumah sakit memiliki peran untuk mendukung program Jampersal/Jamkesmas,
Pelayanan darah, RS Sayang Ibu Sayang Bayi (RSSIB), RS PONEK, RS rujukan ODHA dan
klinik VCT maupun RS DOTS TB.

Selain kebijakan-kebijakan tersebut, pemerintah juga menjalankan


program BPJSKesehatan. BPJS merupakan badan penyelenggara sistem JKN (Jaminan
Kesehatan Nasional). Sesuai Undang-undang, JKN akan menjamin kesehatan seluruh
masyarakat Indonesia.

BPJS kesehatan akan menjadi solusi kesehatan bagi masyarakat karena berbagai manfaat dan
fasilitasnya. Manfaat yang didapat oleh peserta BPJS kesehatan mencakup pelayanan
pencegahan dan pengobatan termasuk pelayanan obat dan bahan medis habis pakai sesuai
dengan kebutuhan medis.
Bpjs juga masih banyak kekurangan salah satunya adalah belum menyeluruh bisa menggunakan
bpjs.
Tidak semua rumah sakit bisa dapat menggunakan kartu bpjs. Seperti rumah sakit swasta. Hanya
rumah sakit milik daerah saja yang bisa menggunakan kartu BPJS.
Untuk membikin kartu bpjs juga tidak mudah memerlukan persyaratan yang cukup sulit. Orang-
orang yang tidak mampu dipersulit untuk membuat kartu BPJS. Mereka harus membontang
banting kemana untuk mengurus kartu BPJS.
Orang-orang yang tidak mampu kasihan jika tidak mempunyai kartu BPJS jika mereka
sakit di rawat di rumah sakit swasta.
Orang-orang miskin hanya mempunyai atau memiliki kartu jamkesda saja untuk mereka berobat.
Dan itupun mereka bisa dirawat hanya di puskesmas saja yang ada kebijakan menggunakan kartu
jamkesda.
Berharap pemerintah dapat meciptakan masyarakat Indonesia yang sakit agar
mendapatkan pelayanan yang cukup mewadai dan nyaman buat mereka.
Biar mereka mendapat kesehatan yang cukup baik agar Indonesia bisa menjadi negara yang maju
dalam bidang kesehatn agar tidak ada warga masyarakatnya yang sakit dan terlantar karena tidak
mendapatkan pelayanan yang cukup mewadai.

Sebagai negara yang berkembang, Indonesia memiliki banyak masalah di bidang


kesehatan termasuk dalam pelayanan kesehatan. Masih banyak masyarakat Indonesia yang belum
menikmati fasilitas kesehatan di negara ini. Baik penduduk yang tinggal di daerah perkotaan maupun
yang tinggal di daerah pedesaan. Masih kurangnya tenaga medis (dokter, dokter gigi, bidan, perawat,
tenaga kesehatan masyarakat) pun masih jauh dari kata memadai. Terutama bagi masyarakat yang tinggal
di daerah pedesaan, yang tempat tinggalnya jauh dari pusat kesehatan masyarakat (puskesmas). Maka dari
itu kita juga perlu meningkatkan pengetahuan masyarakat pedesaan tentang dunia medis. Akhir-akhir ini
kita pasti sudah pernah mendengar yang namanya BPJS (Badan Penyelenggaraan Jaminan Sosial). Masih
banyak pro dan kontra tentang asuransi ini. BPJS juga menjadi harapan utama pemerintah dalam dalam
menjamin kesehatan untuk setiap warganya, pelaksanaan program BPJS sampai saat ini masih banyak
menuai respon positif maupun negatif dari masyarakat. Jika dibandingkan dengan respon positif, respon
negatif masyarakat terhadap program Jaminan Kesehatan Nasional ini lebih banyak terasa. Bukannya
kenyamanan dan kelancaran fasilitas kesehatan yang dirasakan tetapi kerumitan sistem dan kesulitan
masyarakat saat mengajukna pelayanan kesehatan menjadi salah satu alasan utama. Contohnya adalah
ketika saya ingin berobat ke rumah sakit memakai BPJS, namun dalam sehari BPJS hanya melayani satu
pelayanan kesehatan saja. Seperti pemeriksaan laboratorium (cek darah). Pelayanan BPJS kurang
fleksibel karena harus mengikuti jadwal yang sudah ditentukan. Pelayanan kepada pasien BPJS selalu
dinomorduakan dibandingkan dengan pasien yang menggunakan biaya pribadi. Hal tersebut
mengakibatkan pelayanan kepada masyarakat yang menggunakan BPJS tidak maksimal dan hal ini
berimbas kepada masyarakat yang kurang mampu. Pemberian obat-obatan terhadap pasien yang
menggunakan BPJS tidak dibiayai seluruhnya oleh pemerintah karena ada beberapa obat-obatan yang
tidak diganggung oleh BPJS seperti obat bagi penderita hemofilia A dan obat untuk penanganan
kemoterapi. BPJS juga harus lebih berpihak pada rakyat yang kurang mampu dan menggunakan sistem
subsidi silang untuk menutupi biaya kesehatan tersebut. BPJS dalam hal ini perlu melakukan perbaikan
sistem yang baik untuk mengurangi kasus-kasus yang timbul akibat dampak sistem pelayanan kesehatan
yang tidak berjalan sebagaimana mestinya karena selama sistem belum diperbaiki, kritikan masyarakat
terhadap BPJS akan terus bermunculan.

BPJS Kesehatan: Perlindungan Kesehatan atau Jasa Keuangan Negara?

PADA 25 November 2011, pemerintah mengesahkan UU No. 24 Tahun 2011 Tentang Badan
Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS).[1] Dengan adanya UU BPJS,[2] pengelolaan program
asuransi sosial yang sebelumnya tersebar, hendak ditata ulang dan disentralisasi di bawah BPJS.

Jaminan kesehatan yang dulu dikelola secara tersebar, seperti PT Askes untuk PNS, PT
Jamosostek untuk pekerja swasta, dan sebagainya, dikonsolidasikan di bawah BPJS Kesehatan.
Sementara, program jaminan kecelekaan kerja, jaminan hari tua, jaminan pensiun dan jaminan
kematian yang dulu dikelola oleh PT Jamsostek, PT Taspen dan PT Asabri, disentralisasi di
bawah BPJS Ketenagakerjaan.

Selain mensentralisasi pengelolaan program asuransi sosial, UU BPJS juga memperluas


kepesertaan program asuransi sosial. Dulu cakupan program asuransi sosial bersifat terbatas,
seperti program Jamsostek hanya untuk pekerja swasta, program Taspen dan Askes untuk PNS,
serta program Asabri untuk Polri, TNI dan PNS Departemen Pertahanan.
Sekarang, pasal 14-18 UU BPJS mewajibkan semua penduduk yang memenuhi persyaratan
program jaminan sosial untuk mendaftarkan diri dan keluarganya sebagai peserta BPJS.
Tercakup di sini adalah pekerja asing yang sudah bekerja paling sedikit 6 bulan di Indonesia.
Mereka yang memenuhi syarat, tetapi tidak mendaftarkan diri, diancam dengan sanksi
administratif.

BPJS Kesehatan mulai beroperasi sejak 1 Januari 2014, sementara BPJS Ketenagakerjaan
beroperasi penuh pada 1 Juli 2015. Pada tanggal 1 Januari 2014, PT Askes dan PT Jamsostek
juga bubar dan berubah menjadi BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan. Terkait program
yang berada di bawah pengelolaan PT Asabri dan PT Taspen, pengalihannya ke BPJS
Ketenagakerjaan diberi waktu sampai 2029.

Buruknya Layanan Kesehatan Pasien BPJS

Selama beroperasi, BPJS Kesehatan mengalami banyak masalah, terutama terkait warga miskin
yang menjadi peserta Penerima Bantuan Iuran (PBI). Salah satu masalah yang mencolok adalah
buruknya pelayanan kesehatan yang dialami oleh pasien BPJS Kesehatan. Misalnya, masalah
yang dialami oleh suami Ibu Iing (Siti Jamilah), anggota Serikat Perjuangan Rakyat Indonesia
(SPRI), sebuah organisasi rakyat miskin.[3] Suami Ibu Iing terlambat didiagnosa menderita
penyakit jantung, sehingga akhirnya meninggal dunia.

Almarhum baru menerima diagnosa yang tepat setelah menerima berbagai diagnosa lain yang
tidak tepat. Pasalnya, pihak RS enggan menggunakan alat yang tepat dalam melakukan diagnosa.
Baru pada diagnosa yang kesekian, di RS yang kesekian, dengan menggunakan alat yang disebut
“teropong,” akhirnya diketahui fungsi jantung almarhum sudah menurun hingga hanya 30
persen. Tindakan yang harus dilakukan adalah operasi pemasangan ring pada jantung almarhum
dengan resiko kematian yang besar. Peristiwa ini pun berujung pada meninggalnya suami Ibu
Iing.

Masalah lain adalah penolakan pasien PBI oleh RS dengan alasan ketiadaan ruang rawat inap
kelas III. Dalam Perpres No. 111 Tahun 2013 Tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden
Nomor 12 Tahun 2013 Tentang Jaminan Kesehatan,[4] manfaat kelas ruang perawatan yang bisa
didapat pasien PBI adalah ruang perawatan kelas III.

Meski penolakan ini bisa disebabkan oleh karena kamarnya memang tidak ada. Tetapi, bisa juga
kamarnya sebenarnya ada, namun pihak RS berbohong, karena enggan fasilitasnya dipakai oleh
pasien PBI. Pihak RS memang sering berbohong tentang ketersediaan ruang rawat inap bagi
pasien BPJS Kesehatan. Karena itu, ketika mengadvokasi pasien BPJS Kesehatan yang
membutuhkan ruang rawat inap, organiser SPRI biasanya memeriksa sendiri ke seluruh lantai RS
apakah ada kamar yang kosong atau tidak.

Kebohongan serupa juga ada saat pengambilan obat. Seringkali awalnya dikatakan bahwa obat
tertentu yang dibutuhkan tidak bisa diklaim. Namun, setelah ditekan, baru diakui bahwa obat
tersebut sebenarnya bisa diklaim. ”Tapi tetap obat dimainin juga, ada suruh beli, karena tidak
ditanggung katanya…. Saya langsung mengadu ke Rio. Ternyata Rio telepon. Tidak lama, itu
obat lancar. Tidak pakai beli, tidak apa,” kata Ibu Iing.[5] Petugas obat itu baru jujur kepada Ibu
Iing, setelah mendapat tekanan dari Rio Ayudhia, Sekretaris Wilayah SPRI DKI Jakarta.

Pertanyaannya, kenapa bisa muncul banyak masalah pelayanan buruk dalam BPJS Kesehatan?
Kenapa RS terlihat enggan fasilitasnya dipakai atau tidak serius dalam menangani pasien BPJS
Kesehatan? Banyak masalah pelayanan buruk ini berujung pada sistem tarif BPJS Kesehatan dan
logika akumulasi laba dari dunia fasilitas kesehatan Indonesia. Yang dimaksud dengan sistem
tarif di sini adalah sistem pembayaran klaim fasilitas kesehatan oleh BPJS Kesehatan.

Sistem Tarif BPJS Kesehatan

Sistem tarif BPJS Kesehatan diatur dalam Permenkes No. 59 Tahun 2014 Tentang Standar Tarif
Pelayanan Kesehatan Dalam Penyelenggaraan Program Jaminan Kesehatan.[6] Di situ, kita bisa
lihat bahwa BPJS Kesehatan menerapkan sistem tarif yang berbeda untuk Fasilitas Kesehatan
Tingkat Pertama (FKTP) dan Fasilitas Kesehatan Rujukan Tingkat Lanjutan (FKRTL).

Yang dimaksud dengan FKTP adalah fasilitas kesehatan yang melakukan pelayanan kesehatan
yang bersifat non-speialistik, seperti Puskesmas atau klinik pratama. Sementara FKRTL adalah
fasilitas kesehatan yang melakukan pelayanan yang bersifat spesialistik atau subspesialistik,
seperti RS atau klinik utama. Untuk FKTP, diterapkan sistem tarif kapitasi dan non-kapitasi,
sementara untuk FKRTL diterapkan sistem tarif Indonesian-Case Based Groups (INA-CBG’s).

Sistem tarif kapitasi adalah sistem pembayaran klaim yang dibayar di muka setiap bulan kepada
suatu fasilitas kesehatan, yang besarannya didasarkan pada jumlah peserta yang terdaftar di
fasilitas kesehatan tersebut, tanpa memperhitungkan jenis dan jumlah layanan kesehatan yang
diberikan. Sementara, sistem tarif non-kapitasi adalah sistem pembayaran klaim yang didasarkan
pada jenis dan jumlah layanan kesehatan yang diberikan. Adapun sistem INA-CBG’s adalah
sistem pembayaran klaim secara paket, yang didasarkan pada pengelompokan diagnosis penyakit
dan prosedur.

Baik sistem tarif kapitasi maupun INA-CBG’s tergolong dalam sistem pembayaran prospektif,
yaitu sistem pembayaran layanan kesehatan yang besarannya sudah ditetapkan sebelum layanan
kesehatan diberikan. Sistem pembayaran alternatifnya adalah sistem pembayaran restropektif,
yaitu sistem pembayaran layanan kesehatan setelah layanan diberikan dan didasarkan pada
aktivitas layanan yang diberikan.[7]

Meskipun ada sistem tarif non-kapitasi dalam BPJS Kesehatan, sistem ini sebenarnya hanya
diterapkan pada FKTP yang memberikan layanan tertentu saja. Sistem tarif yang menjadi “aturan
main” adalah sistem tarif prospektif. Sistem tarif prospektif menguntungkan BPJS Kesehatan,
karena membuat mereka memiliki kapasitas untuk mengontrol dan menekan biaya klaim.

Namun, sistem pembayaran prospektif menekan dunia fasilitas kesehatan yang memiliki
kepentingan akumulasi laba. Mereka resisten terhadap upaya BPJS Kesehatan menggunakan
fasilitas mereka dengan tarif rendah. Muncullah kontradiksi antara BPJS Kesehatan dengan
dunia fasilitas kesehatan.

Sebagian RS swasta hanya mau bekerjasama dengan BPJS Kesehatan untuk layanan tertentu
saja, tidak sepenuhnya. RS Royal Trauma di Grogol, misalnya, hanya bekerjasama dengan BPJS
untuk layanan Instalasi Gawat Darurat (IGD).[8] Di tingkat diskursus, muncul perdebatan
tentang apakah tarif kapitasi dan INA-CBG’s membuat dunia fasilitas kesehatan Indonesia rugi
atau tidak.[9] Efek lain dari kontradiksi ini, pelayanan yang diberikan kepada pasien BPJS pun
seadanya, asal-asalan atau buruk.

BPJS Kesehatan: Jasa Keuangan Negara?

Pertanyaannya, kenapa BPJS Kesehatan menerapkan sistem tarif prospektif? Karena BPJS
Kesehatan dirancang bukan hanya untuk memberikan perlindungan kesehatan, tetapi juga untuk
menggalang dana dari masyarakat dalam rangka membantu keuangan Negara. Oleh sebab itu,
sampai derajat tertentu, BPJS Kesehatan harus beroperasi dengan logika bisnis, menambah
pendapatan dan menekan pengeluaran. Sistem tarif prospektif yang menjadi salah satu penyebab
masalah pelayanan buruk, diterapkan dalam rangka menekan pengeluaran.

Fungsi BPJS Kesehatan sebagai lembaga jasa keuangan Negara dapat dilihat dari pola batasan
investasi yang dapat dilakukan BPJS Kesehatan. UU BPJS dan PP No. 87 Tahun 2013 Tentang
Pengelolaan Aset Jaminan Sosial Kesehatan[10] membolehkan aset yang dikelola BPJS
Kesehatan untuk diinvestasikan pada berbagai instrumen investasi. Namun, ada batasan-batasan
dari investasi tersebut. Batasan dari tiap instrumen investasi dapat dilihat dalam tabel berikut:

Tabel 1

Batasan-Batasan Investasi Aset Jaminan Sosial Kesehatan


Sumber: Disusun berdasarkan pasal 24-30 PP No. 87 Tahun 2013 Tentang Pengelolaan Aset
Jaminan Sosial Kesehatan.

Dalam tabel di atas, kita bisa lihat bahwa ada dua jenis aset yang dikelola BPJS Kesehatan, yaitu
Aset BPJS Kesehatan dan Dana Jaminan Sosial Kesehatan. Aset BPJS Kesehatan adalah aset
badan penyelenggaranya dan tidak mencakup iuran dari peserta, sementara Dana Jaminan Sosial
Kesehatan mencakup iuran dari peserta.

Untuk Aset BPJS Kesehatan, jenis instrumen investasi yang boleh disasar, cukup banyak.
Namun, hampir semua instrumen investasi tersebut dikenakan batasan tertentu. Misalnya, paling
tinggi hanya 50 persen dari keseluruhan investasi BPJS Kesehatan yang boleh ditanam pada
surat utang korporasi, saham dan reksadana. Tetapi, ada dua instrumen investasi yang tidak
dikenakan batasan jumlah dan presentase, yaitu surat berharga Negara dan Bank Indonesia (BI).

Untuk Dana Jaminan Sosial Kesehatan, hanya ada tiga jenis instrumen investasi yang boleh
disasar, yaitu deposito berjangka, surat berharga Negara dan surat berharga BI. Untuk deposito
berjangka, terdapat batasan paling tinggi hanya 15 persen dari keseluruhan investasi BPJS
Kesehatan yang boleh ditanam pada satu bank. Untuk surat berharga Negara dan BI, tidak
terdapat batasan jumlah dan persentase.

Pertanyaannya, kenapa surat berharga Negara dan BI tidak dikenakan pembatasan sama sekali
seperti instrumen investasi lain? Kenapa kedua instrumen investasi ini tampak diutamakan? Ini
merupakan tanda bahwa BPJS Kesehatan dirancang untuk menyerap surat berharga Negara dan
BI. Jika benar bahwa BPJS Kesehatan dirancang untuk menyerap surat berharga Negara dan BI,
itu berarti BPJS Kesehatan dibangun untuk membantu keuangan Negara. Dengan membeli surat
berharga Negara atau BI, BPJS Kesehatan bukan hanya menyuntik dana ke Negara atau BI, tapi
juga bisa menaikkan nilai surat berharga Negara dan BI tersebut.

Fenomena lain yang menunjukkan BPJS Kesehatan sebagai lembaga jasa keuangan Negara
adalah penandatanganan Nota Kesepahaman antara Kementrian Keuangan dengan BPJS
Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan pada 1 September 2014 untuk berkoordinasi dalam rangka
melaksanakan stabilisasi pasar Surat Berharga Negara (SBN) melalui pembelian SBN.
Sebelumnya, pada 2010, Kementerian Keuangan juga sudah menandatangani Nota serupa
dengan Kementerian BUMN.

Skema kerjasama ini disebut Bond Stabilization Framework (BSF). Upaya stabilisasi ini
diharapkan dapat meningkatkan kepercayaan pelaku pasar pada SBN.[11] Jika tingkat
kepercayaan atas SBN meningkat, maka SBN akan lebih laku dan nilainya naik di pasar
keuangan, sehingga dana yang didapatkan Negara melalui SBN pun bisa meningkat.

Catatan Penutup

Berdasarkan paparan di atas, salah satu penyebab pelayanan yang buruk terhadap pasien BPJS
Kesehatan adalah kontradiksi antara sistem tarif prospektif BPJS Kesehatan dengan dunia
fasilitas kesehatan yang dikuasai oleh logika akumulasi laba. Adapun sistem tarif prospektif
digunakan BPJS Kesehatan, karena mereka juga memiliki fungsi membantu keuangan Negara,
sehingga harus menekan pengeluaran dan menambah pendapatan. Korbannya adalah rakyat
miskin dan pekerja yang akhirnya mendapatkan pelayanan kesehatan yang buruk.

Belum lama ini, BPJS Kesehatan menyatakan bahwa mereka mengalami mismatch
(ketidaksesuaian) rasio klaim. Total iuran premi yang didapat sampai Desember 2014 adalah
Rp41,06 triliun, sementara biaya klaim yang dikeluarkan mencapai Rp42,6 triliun, sehingga
terjadi mismatch rasio klaim sebesar 103,88 persen. Akibatnya, mereka dibantu oleh Negara
sebesar Rp5 triliun dalam bentuk Penyertaan Modal Negara (PMN).[12] Fenomena ini tampak
bertentangan dengan kesimpulan kita di atas. Jika BPJS Kesehatan berfungsi membantu
keuangan Negara, kenapa malah dibantu oleh keuangan Negara?

Pertama-tama, adanya masalah keuangan di BPJS Kesehatan, sehingga harus dibantu Negara,
tidak berarti BPJS Kesehatan pada awalnya tidak dirancang untuk membantu keuangan Negara.
Analoginya, meruginya suatu perusahaan swasta tidak berarti perusahaan swasta tersebut pada
awalnya tidak dibangun untuk mengejar laba. Sebuah lembaga bisa saja dirancang untuk X,
tetapi dalam perjalanannya mengalami masalah, sehingga tidak atau belum memenuhi tujuan X.

Kemudian, masalah keuangan BPJS Kesehatan tampaknya tidak begitu serius dan bisa diatasi.
Chazali H. Situmorang, Ketua Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN), lembaga perumus
kebijakan umum jaminan sosial dan pengawas BPJS, menyatakan bahwa mismatch yang terjadi
“belum sampai mengancam sustainability program JKN dan BPJS Kesehatan.”[13] Lagipula,
meski terjadi mismatch pada Dana Jaminan Sosial Kesehatan, Aset BPJS Kesehatannya
mengalami surplus senilai Rp1,017 triliun.[14] Artinya, meski mengalami masalah, BPJS
Kesehatan masih mungkin untuk mengatasinya, dan memainkan peran membantu keuangan
Negara di masa depan.

Essay Permasalahan Pelayanan Kesehatan di Indonesia

Pelayanan Buruk Bagi Warga Kurang Mampu


Pelayanan kesehatan di Indonesia telah mengalami kemajuan di beberapa aspek. Salah
satu contohnya adalah askes. Namun semenjak 2014 askes telah ditiadakan dan telah
diperbaharui menjadi Badan Penyelenggara Jaminan Sosial atau yang sering kita dengar sebagai
BPJS. BPJS atau yang mempunyai nama lain sebagai JKN yaitu program yang mempunyai
peranan penting dalam meningkatkan mutu pelayanan kesehatan bagi warga negara Indonesia.
Jaminan Kesehatan Nasional atau JKN mempunyai peranan penting bagi masyarakat yang
kurang mampu. Program ini membatu masyarakat untuk mendapatkan pelayanan kesehatan di
beberapa rumah sakit nasional atau puskesmas tanpa khawatir dengan biaya yang akan
ditanggung. Namun, dari berbagai keuntungan yang ada masih terdapat beberapa kekurangan
didalam pelayananan BPJS.

BPJS atau badan penyelenggara jaminan sosial mempunyai beberapa kelebihan yakni.
a. Pelayanan kesehatan tingkat pertama, yaitu pelayanan kesehatan non spesialistik mencakup:
1. Administrasi pelayanan
2. Pelayanan promotif dan preventif
3. Pemeriksaan, pengobatan dan konsultasi medis
4. Tindakan medis non spesialistik, baik operatif maupun non operatif
5. Pelayanan obat dan bahan medis habis pakai
6. Transfusi darah sesuai kebutuhan medis
7. Pemeriksaan penunjang diagnosis laboratorium tingkat pertama
8. Rawat inap tingkat pertama sesuai indikasi
b. Pelayanan kesehatan rujukan tingkat lanjutan, yaitu pelayanan kesehatan mencakup:
1. Rawat jalan, meliputi:
a) Administrasi pelayanan
b) Pemeriksaan, pengobatan dan konsultasi spesialistik oleh dokter spesialis dan sub spesialis
c) Tindakan medis spesialistik sesuai dengan indikasi medis
d) Pelayanan obat dan bahan medis habis pakai
e) Pelayanan alat kesehatan implant
f) Pelayanan penunjang diagnostic lanjutan sesuai dengan indikasi medis
g) Rehabilitasi medis
h) Pelayanan darah
i) Peayanan kedokteran forensik
j) Pelayanan jenazah di fasilitas kesehatan
2. Rawat Inap yang meliputi:
a) Perawatan inap non intensif
b) Perawatan inap di ruang intensif
c) Pelayanan kesehatan lain yang ditetapkan oleh Menteri
namun, dari berbagai kelebihan BPJS terdapat beberapa kekurangan dan kendala yang mungkin
dialami oleh pengguna BPJS yakni.

1.Metode berjenjang
Nah jika di asuransi lain anda bisa langsung ke berobat ke rumahsakit yang bekerja sama atau
rekanan,maka kalau di bpjs anda harus ke faskes 1,biasanya klinik atau puskesmas setelah di
faskes 1 dapat rujukan baru anda ke rumah sakit yang bekerja sama dengan bpjs,sebenarnya
langsung ke rumah sakit bisa tapi ada prosedurnya seperti kritis atau kecelakaan dan lain
sebagainya namun jika anda yang biasa pakai asuransi swasta pasti akan mengeluh dengan
prosedur seperti ini.

2.Hanya Indonesia
Perlindungan asuransi bpjs hanya melindungi di indoensia berbeda dengan asuransi swasta
sebelah yang bisa melindungi dan rumah sakit yang bekerja sama hingga seluruh dunia

3.Antri Sana Sini


Untuk pendaftaran dan pengubahan data di kantor bpjs antrian kadang tidak terbendung
contohnya saja hari senin silahkan anda lihat di kantor bpjs antrian lumayan banyak tidak cukup
disitu saja jika anda berobat ke rumah sakit dan sudah dapat rujukan dari faskes 1 antrian
berobat di rumah sakit juga banyak,boleh dibuktikan

4.Jarang dapat kelas 1


Nah saat mengurus istri saya yang melahirkan saya coba gunakan BPJS selain untuk mereview
juga menilai bagaimana sistemnya dan hasilnya saya hanya dapat kelas 3 padahal kelas bpjs
saya bukan 3 itupun kata rumah sakit kelas 3 hanya tinggal 1 kamar,begitu juga cerita dari
teman teman saya gak ada yang dapat kelas 1 kalau berobat menggunakan bpjs,heran
saya,mungkin memang kamar penuh atau jawab sendiri saja ya.

Dan masih banyak kekurangan bpjs akan saya update lagi, sebagai warga yang baik walaupun
saya menilai masih banyak kekurangan saya juga peserta BPJS terkadang juga berfikir saya kalau
sistem bpjs tidak dibenahi karena sudah terlanjur berjalan dan juga bpjs sudah banyak
membantu masyarakat indonesia.

Solusi
Jika anda sudah terdaftar dan sudah bayar rutin iuran setiap bulanya sebelum tanggal 10
maka lanjutkan jangan sampai terlambat jika terlambat maka akan dikenakan dende 2%
jika anda tetap tidak bayar atau telat selama 3 bulan maka layanan akan dihentikan
sementara dan untuk cara buka layanan kesehatan yang dihentikan sementara bisa datang
langsung ke kantor BPJS terdekat di kota anda. Sehingga untuk anda yang sudah terdaftar
untuk segera membayar iuran setiap bulannya secara rutin sebelum tanggal 10 supaya
tidak terkena denda. Dan diusahakan tidak telat selama 3 bulan supaya layanan BPJS tidak
dihentikan sementara.

BPJS Kesehatan – Sebuah Penyelesaian yang masih belum bisa


menyelesaikan
Kesehatan merupakan salah satu anugrah terbesar manusia dan hal yang sangat penting
bagi semua manusia. Jika seseorang sakit, dia tidak akan mampu melaksanakan berbagai
kegiatan dan aktifitasnya. Hal tersebut tentu akan berdampak bagi kelangsungan hidupnya dan
orang lain terutama keluarganya. Kita hidup di negara Indonesia yang berlandaskan Pancasila.
Salah satu sila Pancasila yaitu sila ke 5 berbunyi “keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”.
Keadilan sosial disini salah satunya adalah keadilan dalam akses kesehatan. Oleh karena itu,
pemerintah mengeluarkan program Jaminan Sosial Nasional. Berdasarkan ketetapan Undang-
Undang No. 24 Tahun 2011, Jaminan Sosial Nasional akan diselenggarakan oleh BPJS, yang
terdiri atas BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan. Khusus untuk Jaminan Kesehatan
Nasional (JKN) akan diselenggarakan oleh BPJS Kesehatan yang implementasinya dimulai 1
Januari 2014.
Bila mengacu pada UU No 24 Tahun 2011 Badan Penyelenggara Jaminan Sosial yang
selanjutnya disingkat BPJS adalah badan hukum yang dibentuk untuk menyelenggarakan
program jaminan sosial. BPJS terdiri dari BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan. BPJS
Kesehatan adalah badan hukum yang dibentuk untuk menyelenggarakan program jaminan
kesehatan (Situs BPJS Kesehatan, 2014). Setiap peserta BPJS kesehatan berhak memperoleh
manfaat jaminan kesehatan yang bersifat pelayanan kesehatan perorangan, mencakup pelayanan
promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif termasuk pelayanan obat dan bahan medis habis
pakai sesuai dengan kebutuhan medis yang diperlukan. Manfaat jaminan kesehatan sebagaimana
dimaksud terdiri atas manfaat medis dan manfaat non medis. Manfaat medis tidak terikat dengan
besaran iuran yang dibayarkan. Manfaat non medis meliputi manfaat akomodasi, dan ambulans
(Supriyantoro, 2013).
Sejak dilaksanakannya program BPJS kesehatan, banyak masalah yang dihadapi serta
keluhan yang dirasakan oleh peserta antara lain sosialisasi BPJS yang kurang mengena dan tidak
sesuai dengan kondisi masyarakat ditingkat yang paling bawah. Selain itu, praktek percaloan di
Kantor Cabang BPJS dan rumah sakit yang marak juga menjadi masalah dalam pelaksanaan
BPJS kesehatan. BPJS menerapkan aturan bahwa kartu pengguna BPJS baru bisa aktif sepekan
setelah pendaftaran diterima. Padahal sakit menimpa tanpa terduga dan tak mungkin bisa
ditunda.
Masalah lain adalah rujukan lembaga jasa kesehatan yang ditunjuk BPJS Kesehatan
terbatas dan tidak fleksibel. Peserta BPJS hanya boleh memilih satu fasilitas kesehatan untuk
memperoleh rujukan dan tak bisa ke faskes lain meski sama-sama bekerja sama dengan BPJS.
Tentu ini menyulitkan orang yang sering bepergian dan bekerja di tempat jauh. Rumitnya alur
pelayanan BPJS Kesehatan karena menerapkan alur pelayanan berjenjang juga dikeluhkan oleh
peserta BPJS. Sebelum ke rumah sakit, peserta wajib terlebih dulu ke faskes tingkat pertama,
yaitu puskesmas. Selain itu, banyak peserta BPJS mengeluhkan pembayaran biaya pengobatan
yang tak ditanggung sepenuhnya oleh BPJS. Biaya ambulance ditanggung sendiri oleh pasien
pada saat dirujuk ke rumah sakit lain. Lalu, ada indikasi adanya permainan dalam penetapan
jenis dan merk obat oleh dokter rumah sakit yang bersifat komersial. Padahal menurut Undang-
Undang Nomor 24 Tahun 2011, BPJS seharusnya menyelenggarakan sistem jaminan sosial
berdasar asas kemanusiaan, manfaat, dan keadilan sosial bagi semua rakyat Indonesia.

Melihat daftar masalah diatas tentu perlu menjadi perhatian pemerintah agar pelaksanaan
BPJS Kesehatan bisa terlaksana dengan baik dan dapat dirasakan oleh seluruh rakyat Indonesia
karena sejatinya BPJS kesehatan merupakan sebuah penyelesaian yang baik dalam mengatasi
masalah kesehatan di Indonesia dan setiap orang mempunyai hak yang sama dalam memperoleh
akses atas sumber daya di bidang kesehatan dan memperoleh pelayanan kesehatan yang aman,
bermutu, dan terjangkau.

Problematika Dalam Pelaksanaan Jaminan Kesehatan Masyarakat melalui BPJS


Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2009 tentang
Kesehatan pasal 4 yang menyatakan bahwa setiap orang berhak atas kesehatan. Dan dipertegas
dengan pasal 5 ayat 1 yang menyatakan bahwa setiap orang mempunyai hak yang sama dalam
memperoleh akses atas sumber daya di bidang kesehatan. Kemudian Undang-Undang Dasar
1945 mengamanatkan bahwa kesehatan adalah merupakan hak asasi manusia. Pada pasal 28 H
dinyatakan bahwa setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal dan
mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh
pelayanan kesehatan. Selanjutnya pada pasal 34 ayat 3 dinyatakan bahwa negara bertanggung
jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak.
Hal tersebut menunjukkan bahwa pemerintah berkewajiban untuk menyehatkan rakyatnya guna
menciptakan kesejahteraan bagi rakyatnya. Salah satu program pemerintah dalam hal ini yaitu
BPJS Kesehatan (Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan).
BPJS Kesehatan (Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan) merupakan Badan
Usaha Milik Negara yang ditugaskan khusus oleh pemerintah untuk menyelenggarakan jaminan
pemeliharaan kesehatan bagi seluruh rakyat Indonesia, terutama untuk Pegawai Negeri Sipil,
Penerima Pensiun PNS dan TNI/POLRI, Veteran, Perintis Kemerdekaan beserta keluarganya dan
Badan Usaha lainnya ataupun rakyat biasa. Transformasi badan penyelenggara diatur lebih rinci
dalam UU No. 24 tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (UU BPJS).

Berikut ini merupakan salah satu contoh kasus dari pelaksanaan BPJS Kesehatan.

Senin, 06 Januari 2014 , 06:58:


Koordinasi Kurang, Banyak Pasien BPJS Ditolak RS
JAKARTA- Banyak warga masyarakat yang harus ditolak oleh rumah sakit akibat belum
siapnya proses integrasi jaminan kesehatan di setiap daerah dengan Badan Penyelenggara
Jaminan Sosial (BPJS) kesehatan. Baru-baru ini, dua kasus di Jakarta dan Surabaya menjadi
sorotan karena kurangnya koordinasi tersebut. Padahal, pihak pemerintah pusat telah sejak awal
memberi peringatan agar pihak rumah sakit maupun dokter tidak menolak pasien selama proses
integrasi berlangsung. Namun sayangnya, banyak rumah sakit yang masih bingung dengan data-
data dan harus kembali menolak pasien karena kurang data atau persyaratan yang ada.
"Kami sudah sejak awal mengingatkan bahwa jangan ada penolakan pasien oleh pihak
rumah sakit. Kalau masalah proses integrasi kan bisa diatasi dengan manual dulu," ungkap Wakil
Menteri Kesehatan Ali Ghufron Mukti saat dihubungi kemarin.
Kebijakan ini bukan hanya karena belum selesainya pemindahan data atau kelengkapan
yang lain, tapi sejak awal pasien dengan keadaan darurat harus diterima untuk mendapatkan
pertolongan.
"Penolakan gawat darurat tidak boleh, tentu jika menolak dalam keadaan emergency ada
sanksi. Sanksi tergantung kasusnya," tegasnya.
Sementara itu, pihak BPJS Kesehatan mengatakan dua kasus yang terjadi di Jakarta dan
Surabaya hanya miskomunikasi saja. Pada kasus penolakan pasien di RS Dr Soetomo misalnya,
Kepala BPJS Jawa Timur Kisworo mengatakan bahwa pasien ditolak oleh Badan Penyelenggara
Jaminan Kesehatan Daerah (BPJKD) karena hanya membawa rekomendasi dari dinas sosial saja.
Sementara, lanjut dia, data yang bersangkutan juga tidak ada dalam peserta yang masuk
dalam penerima bantuan iuran (PBI) yang ada dalam master file BPJS kesehatan. Sehingga
penolakan tersebut harus disayangkan terjadi.
"Bukan BPJS kesehatan yang menolak, namun BPJKD tapi sudah diselesaikan. Pasien
telah dipanggil kembali," tutur Kisworo. Pihaknya juga telah kembali melakukan koordinasi
dengan pemerintah Provinsi Jawa Timur beserta Dinas Kesehatan untuk menjelaskan bahwa
selama proses integrasi pasien harus tetap dilayani.
Kendati demikian, Kisworo menolak dikatakan bahwa masih banyak pasien yang harus
menderita akibat lambatnya proses integrasi ini.
"Kasusnya seberapa banyak" Jika dalam sehari rumah sakit Dr Soetomo misalnya
melayani hampir 2.500 pasien dan hanya ada dua kasus kan tidak masuk dalam kategori cukup
banyak," pungkasnya.
Sementara itu, dari pihak BPJS kesehatan pusat masih belum mengambil langkah tegas
apa yang akan diambil jika ada hal serupa kembali terjadi. Kepala BPJS kesehatan, Fahmi Idris
hanya mengemukakan bahwa pihaknya akan terus melakukan koordinasi dengan pemerintah
provinsi agar semua peserta dapat dilayani.

Di atas merupakan salah satu kasus yang terjadi akibat kurangnya koordinasi tentang
BPJS , tidak hanya di Jakarta dan Surabaya akan tetapi hampir disetiap daerah yang berada di
Indonesia mengalami kasus yang sama yaitu penolakan BPJS. Penolakan tersebut terjadi karena
banyak masyarakat yang kurang memahami bagaimana untuk menjadi peserta BPJS,cenderung
masyarakat tidak mau melakukan proses yang rumit dan panjang dari meja satu ke meja yang
lainnya sehingga hal itu yang memunculkan penolakan BPJS di Rumah Sakit (RS). Kejadian
tersebut bukan salah masyarakat saja namun dari pihak RS yang melayani Masyarakat yang
menggunakan Kartu BPJS pun banyak yang dihiraukan atau diabaikan karena kurangnya
koordinasi dari pemerintah kepada RS pemerintah. Mengingat BPJS Kesehatan belum
melakukan kerja sama dengan rumah sakit atau klinik swasta, maka sudah seharusnya RS
pemerintah berempati dan mengutamakan keselamatan pasien Tidak heran lagi kalau banyak
masyarakat yang ditolak. Hal itu menyebabkan banyak kerugian terhadap masyarakat yang
menggunakan kartu BPJS karena dari penolakan tersebut banyak masyarakat kesusahan untuk
melakukan pengobatan yang tadinya mudah dengan menggunakan Jamsostek untuk melalakukan
pengobatan tanpa biaya, masyarakat yang meninggal karena kurangnya penolongan utama atau
telantarkan oleh pihak RS. Pelaksanaan Program Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS)
dinilai oleh sejumlah kalangan masyarakat masih bermasalah dan beranggapan program tersebut
belum memihak kepada rakyat miskin.
Kelebihan sebagai peserta BPJS diantaranya adalah sebagai berikut :
 Peserta BPJS sendiri membayar iuran jaminan yang lebih kecil dan terjangkau, namun mendapat
pelayanan kesehatan yang memadai mulai dari preventif, promotif, kuratif sampai rehabilitatif.
 Program Jaminan Kesehatan Nasional yang diselenggarakan oleh BPJS adalah program subsidi
silang bagi peserta yang kurang mampu secara ekonomi. Karena, seluruh warga Indonesia
nantinya wajib menyisihkan sebagian kecil uangnya untuk jaminan kesehatan di masa depan.
Sehingga, rakyat miskin tidak perlu ragu untuk memeriksakan kesehatannya semua rakyat
miskin atau PBI (Penerima Bantuan Iuran) ditanggung kesehatannya oleh pemerintah.
 Jaminan yang diberikan berlaku seumur hidup dari anak baru lahir hingga lansia.
 Pihak BPJS akan menjamin biaya pengobatan medis untuk semua peserta BPJS. Misalkan ada
peserta yang sakit jantung dan harus operasi, misalnya biayanya Rp 160 juta ditanggung oleh
pemerintah. Ada lagi misalnya sakit terus harus cuci darah seminggu 3 kali, misalnya sekali cuci
darah Rp 800 ribu dikali sebulan sudah berapa, itu pemerintah akan bayarkan walaupun seumur
hidup.
Solusi dari kasus diatas untuk pemerintah adalah memperbaiki kinerja dari BPJS itu
sendiri. Sehingga proses integrasinya menjadi lebih mudah. Karena, meskipun pihak pemerintah
pusat telah sejak awal memberi peringatan agar pihak rumah sakit maupun dokter tidak menolak
pasien selama proses integrasi berlangsung, tetapi tetap saja pihak rumah sakit membutuhkan
dana agar dapat pelayanannya dapat terus berlangsung.
Lalu, untuk pihak rumah sakit sendiri solusinya adalah tetap menerima dan melayani
pasien dengan sebaik-baiknya, meskipun hanya membawa surat rekomendasi dari dinas sosial
saja. Karena pada dasarnya bagaimanapun keadaan sakit pasien, rumah sakit berkewajiban untuk
menampung dan memberikan pelayanannya. Kemudian, pihak rumah sakit juga harus lebih
memperbaiki koordinasi dengan pihak pemerintah agar tidak terjadi kebingungan sampai
penolakan pasien seperti pada kasus diatas.

Jokowi dodo telah resmi meluncurkan 3 kartu sakti pada Hari Senin, 3 November 2014.
Salah satu diantaranya adalah Kartu Indonesia Sehat atau yang disingkat KIS. Sebelumnya,
mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono telah meluncurkan Jaminan Kesehatan Nasional
(JKN) yang dikelola oleh Badan Penyelenggaraan Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan. Masyarakat
banyak yang mengalami kebingungan tentang perbedaan antara dua kartu tersebut. Sebenarnya
kedua kartu tersebut berprinsip. Penggunaan KIS dapat digunakan di klinik, puskesmas, dan
rumah sakit di mana pun yang tersebar di seluruh Indonesia. Dengan kata lain wilayah
pemakaian KIS bebas. Sedangkan untuk JKN yang dikelola BPJS hanya terbatas di wilayah
yang didaftarkan.
Sasaran KIS adalah untuk orang – orang yang kurang mampu. Namun dalam prakteknya
ternyata mengalami penyimpangan. Ada beberapa warga yang tergolong mampu mendapatkan
KIS sedangkan mereka yang berhak mendapatkan KIS malah tidak mendapatkan KIS. Mungkin
itu terjadi karena adanya kesalahan data. Seharusnya pemerintah benar – benar serius untuk
mendata orang – orang yang kurang mampu agar mereka bisa mendapatkan haknya. Kalau bisa
tidak hanya meminta data dari RT, RW, atau kelurahan. Tetapi bisa dengan mengecek lagi data
yang sudah diterima supaya tidak terjadi kesalahan. Serta perlu adanya sosialisasi lebih lanjut
dari ketua RT setempat.
JKN yang dikelola oleh BPJS lebih menjurus pada iuran yang harus dibayarkan per
bulannya oleh peserta mandiri. BPJS wajib dimiliki oleh seluruh warga negara Indonesia baik
yang mampu maupun tidak mampu. Untuk masyarakat yang kurang mampu, iuran yang harus
ditanggung setiap bulannya menjadi ditanggung oleh pemerintah sebagai Penerima Bantuan
Iuran atau PBI. Jadi, masyarakat kurang mampu seharusnya memiliki 2 kartu, yaitu KIS dan
BPJS. Itu menjadi keuntungan tersendiri bagi masyarakat kurang mampu. Seharusnya, karena
masyarakat kurang mampu sudah mendapat KIS, mereka tidak perlu mendaftar BPJS. Karena
menurut saya dana yang diberikan oleh pemerintah untuk membayar iuran BPJS masyarakat
kurang mampu dapat digunakan untuk program – program atau kebijakan – kebijakan yang lain.
Seperti membangun puskesmas di wilayah terpencil yang susah mendapatkan pelayanan
kesehatan.
KIS dapat digunakan untuk segala perawatan kesehatan. Baik untuk mencegah maupun
mengobati. Sedangkan dalam praktiknya, BPJS hanya bisa dipakai ketika benar – benar sedang
sakit atau dirawat. Masyarakat kurang mampu biasanya jarang terkena penyakit – penyakit yang
serius atau terjadi kecelakaan yang mengharuskan mereka dirawat di rumah sakit. Jadi menurut
saya yang lebih dibutuhkan oleh masyarakat kurang mampu ada KIS. Karena penyakit yang
diderita masyarakat kurang mampu bisa dibilang jarang yang sampai parah sekali. Masyarakat
juga tidak perlu membayar iuran setiap bulannya.
Dalam pelaksanaan KIS maupun BPJS, setiap puskesmas, klinik, rumah sakit dan tempat
pelayanan kesehatan lainnya sebaikanya mendapatkan pengawasan dari pemerintah supaya
masyarakat yang memiliki kartu tersebut benar – benar dapat menggunakannya. Jika ada yang
melanggar maka pemerintah harus mengambil tindakan tegas. Karena KIS dan BPJS adalah
salah satu kebijakan pemerintah yang harus mendapatkan dukungan dari semua pihak agar dapat
berjalan dengan lancar. Jangan sampai ternyata masyarakat masih tetap membayar dengan alasan
untuk pembayaran yang tidak diketahui masyarakat. Jangan sampai ada rumah sakit atau tempat
pelayanan kesehatan yang lain menolak untuk memberika pelayana bagimasyarakat pengguna
KIS atau BPJS dengan alasan – alasan tertentu.
Sistem Kesehatan di Indonesia: Upaya Memahami BPJS Melalui Undang-Undang Nomor 24 Tahun
2011 Tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS)
Tujuan sebuah negara adalah memberikan kesejahteraan kepada seluruh rakyatnya. Siapapun dan
apapun statusnya, berhak mendapatkan kesejahteraan dalam hidupnya. Jadi keberadaan institusi
bernama BPJS (Badan Penyelenggara Jaminan Sosial) adalah salah satu cara untuk dapat memenuhi
kebutuhan dasar hidup yang layak dan meningkatkan martabatnya menuju terwujudnya masyarakat
Indonesia yang sejahtera, adil dan makmur.

ABSTRAK

Undang-undang No. 24 tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS)
implementasi dari Undang-undang No. 40 tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional
(SJSN). BPJS bertujuan untuk mewujudkan terselenggaranya pemberian jaminan terpenuhinya
kebutuhan hidup yang layak bagi peserta dan keluarganya. Jadi dengan terbentuknya BPJS
(baik BPJS Kesehatan maupun Ketenagakerjaan) adanya jaminan kesehatan yang merupakan
kebutuhan dasar hidup yang layak bagi semua warga negara Indonesia.

Jaminan kesehatan nasional diprogramkan untuk menjangkau seluruh penduduk


Indonesia. JKN yang dilaksanakan oleh BPJS (telah mengintegrasikan program Jamkesmas,
Jamkesda, jaminan kesehatan PT (Persero) Jamsostek, dan jaminan kesehatan bagi pegawai
negeri dan penerima pensiun PNS/TNI/Polri yang dikelola PT (Persero) Askes. BPJS akan
melaksanakan sistem pelayanan berjenjang, yaitu melalui pelayanan dasar seperti puskesmas,
dokter keluarga, dan selanjutnya dapat dirujuk ke rumah sakit baik pemerintah maupun swasta.

Kata kunci: Memahami BPJS, kesehatan rakyat

I. Latar Belakang
Tujuan sebuah negara adalah memberikan kesejahteraan kepada seluruh rakyatnya. Siapapun dan
apapun statusnya, berhak mendapatkan kesejahteraan dalam hidupnya. Jadi keberadaan institusi
bernama BPJS (Badan Penyelenggara Jaminan Sosial) adalah salah satu cara untuk dapat
memenuhi kebutuhan dasar hidup yang layak dan meningkatkan martabatnya menuju
terwujudnya masyarakat Indonesia yang sejahtera, adil dan makmur. Tujuan Sistem Jaminan
Sosial Nasional memberikan jaminan terpenuhinya kebutuhan dasar hidup yang layak bagi setiap
peserta dan/atau anggota keluarganya. Dengan demikian BPJS mendistribusikan kesejahteraan
sekaligus perlindungan bagi seluruh rakyat Indonesia.

Sebelum BPJS yang dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 berdiri, telah
menjalankan beberapa program jaminan sosial, yaitu Jaminan Sosial Tenaga Kerja
(JAMSOSTEK) berdasarkan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1992 tentang JAMSOSTEK yang
mencakup program jaminan pemeliharaan kesehatan, jaminan kecelakaan kerja, jaminan hari tua,
dan jaminan kematian bagi tenaga kerja.

Selanjutnya untuk Pegawai Negeri Sipil (PNS) telah dikembangkan program Dana Tabungan
dan Asuransi Pegawai Negeri (TASPEN) yang dibentuk dengan Peraturan Pemerintah Nomor 26
Tahun 1981, dan program Asuransi Kesehatan (ASKES) yang diselenggarakan berdasarkan
Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 1991 yang bersifat wajib bagi PNS/Penerima
Pensiun/Perintis Kemerdekaan/Veteran dan anggota keluarganya. Untuk Prajurit Tentara
Nasional Indonesia (TNI), anggota Kepolisian Republik Indonesia (POLRI) dan PNS
Kementerian Pertahanan/TNI/Polri beserta keluarganya telah dilaksanakan program Asuransi
Sosial Angkatan Bersenjata Indonesia (ASABRI) sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 67
Tahun 1991 yang merupakan perubahan atas Peraturan pemerintah Nomor 44 Tahun 1971.

Berbagai program tersebut di atas, baru mencakup sebagian kecil masyarakat. Sebagian besar
rakyat belum memperoleh perlindungan yang memadai. Di samping itu, pelaksanaan berbagai
program jaminan sosial tersebut mampu memberikan perlindungan yang adil dan memadai
kepada para peserta sesuai dengan manfaat program yang menjadi hak peserta. Sehubungan
dengan hal di atas, dipandang perlu menyusun Sistem Jaminan Sosial Nasional yaitu suatu tata
cara penyelenggaraan program jaminan sosial oleh beberapa badan penyelenggara jaminan sosial
yang dapat menjangkau kepesertaan yang lebih luas serta memberikan manfaat yang lebih besar
bagi setiap peserta. Oleh karena itu, untuk mewujudkan tujuan sistem jaminan sosial nasional
maka dibentuklah BPJS yaitu BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan.

Selanjutnya adapun kepesertaan dalam program jaminan sosial nasional BPJS bidang kesehatan
adalah kepesertaan dari PT Askes (Persero) yang selama ini mengelola pemeliharaan kesehatan
bagi para PNS/Penerima Pensiun/Perintis Kemerdekaan/Veteran dan anggota keluarganya.
Namun sejak 1 januari 2014 lalu, setelah menjadi BPJS Kesehatan lembaga tersebut harus
mengelola sekitar 116 juta penduduk Indonesia mulai dari PNS, TNI/Polri, pekerja swasta, dan
bahkan rakyat miskin, yang sebelumnya masuk dalam sistem Jamkesmas (jaminan kesehatan
masyarakat) maupun Jamkesda (jaminan kesehatan daerah).

Selanjutnya kepesertaan dalam program jaminan sosial nasional BPJS bidang ketenagakerjaan
adalah kepesertaan dari PT Jamsostek (Persero) yang selama ini mengelola program jaminan
pemeliharaan kesehatan, jaminan kecelakaan kerja, jaminan hari tua, dan jaminan kematian bagi
tenaga kerja. Namun sejak 1 Januari 2014 setelah menjadi BPJS Ketenagakerjaan lembaga
tersebut mengelola program jaminan sosial nasional, berupa jaminan kecelakaan kerja, jaminan
hari tua, jaminan pensiun, dan jaminan kematian bagi peserta dan keluarganya.

II. Prinsip Sistem Jaminan Sosial Nasional

Sehubungan dengan hal tersebut diatas, untuk menerapkan SJSN, perlu menyusun prinsip-prinsip
dasar. Prinsip diartikan patokan ataupun landasan yang dijadikan pegangan atau acuan untuk
melakukan sesuatu. Dengan demikian prinsip SJSN mengandung pengertian ketentuan-ketentuan
mendasar yang dapat menjadi kenyataan dalam praktek penyelenggaraan jaminan sosial. Prinsip
tersebut adalah:

1. Prinsip kegotongroyongan. Prinsip ini diwujudkan dalam mekanisme gotong royong dari
peserta yang mampu kepada peserta yang kurang mampu dalam bentuk kepesertaan
wajib bagi seluruh rakyat;
2. Prinsip nirlaba. Pengelolaan dana amanat tidak dimaksudkan mencari laba (nirlaba) bagi
BPJS, akan tetapi tujuan utama penyelenggaraan jaminan sosial adalah untuk memenuhi
sebesar-besarnya kepentingan peserta;
3. Prinsip keterbukaan, kehati-hatian, akuntabilitas, efisiensi dan efektifitas. Prinsip-prinsip
manajemen ini diterapkan dan mendasari keseluruhan kegiatan pengelolaan dana yang
berasal dari iuran peserta dan hasil pengembangannya;
4. Prinsip portabilitas. Jaminan sosial dimaksudkan untuk memberikan jaminan yang
berkelanjutan meskipun peserta berpindah pekerjaan atau tempat tinggal dalam wilayah
NKRI;
5. Prinsip kepesertaan bersifat wajib. dimaksudkan agar seluruh rakyat menjadi peserta
sehingga dapat terlindungi;
6. Prinsip dana amanat. Dana yang terkumpul dari iuran peserta merupakan titipan kepada
BPJS untuk dikelola sebaik-baiknya dalam rangka mengoptimalkan dana tersebut untuk
kesejahteraan peserta; dan.
7. Prinsip hasil pengelolaan Dana Jaminan Sosial Nasional adalah hasil berupa deviden dari
pemegang saham yang dikembalikan untuk kepentingan peserta jaminan sosial.

III. Kapasitas Kelembagaan dan Pendanaan


3.1 Kapasitas Kelembagaan

Sebelum BPJS terbentuk, Penyelenggara jaminan sosial di wadahi oleh beberapa perusahaan
sesuai dengan jenis dan ruang lingkup kepesertaan. Perusahaan tersebut dalam bentuk
perusahaan perseroan disingkat “persero”, yaitu PT Jamsostek (Persero), PT Askes (Persero),
dan PT Asabri (Persero). Dalam prakteknya PT. Persero ini hampir tidak ada bedanya dengan
PT-PT biasa. yang pada prinsipnya mencari keuntunga (profit). PT Persero merupakan Badan
Usaha Milik Negara (BUMN), merupakan bentuk usaha di bidang-bidang tertentu yang
umumnya menyangkut dengan kepentingan umum, di mana peran pemerintah di dalamnya relatif
besar, minimal dengan menguasai mayoritas pemegang saham. Eksistensi BUMN adalah sebagai
konsekuensi dan amanah dari konstitusi di mana ha-hal yang penting atau cabang-cabang
produksi yang penting dan menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara.

Semenjak 1 Januari 2014 penyelenggara jaminan sosial diserahkan kepada BPJS sebagai
penyelenggara jaminan sosial nasional yang merupakan merger/penggabungan dari tiga
perusahaan tersebut di atas dan berstatus berbadan hukum publik yang pola pengelolaannya
menjadi sangat berbeda. Salah satu yang utama adalah orientasinya tidak lagi mencari
keuntungan/profit, melainkan bersifat nirlaba dimana yang dikembangkan sepenuhnya akan
dikembalikan kepada peserta dan dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk pekerja/pegawai yang
menjadi peserta.

Saat ini BPJS Kesehatan telah memiliki kantor cabang di seluruh kabupaten/kota di Indonesia.
Dan lebih dari itu, BPJS Kesehatan juga telah memiliki sistem informasi yang modern serta terus
dikembangkan sehingga masyarakat bisa mendaftarkan diri melalui internet atau bahkan di
berbagai kantor cabang bank berkerja sama dengan BPJS. BPJS Kesehatan akan menerima
pelimpahan peserta program jaminan pemeliharaan kesehatan dari PT Jamsostek, TNI/Polri,
PNS, Jamkesmas, dan Jamkesda. dan menambah peserta baru yang mencapai 80 juta orang.
Sesuai dengan fungsinya sebagai penyelenggara Jaminan Kesehatan Nasional (JKN), Pemerintah
wajib mencari solusi agar kualitas pelayanan JKN bisa maksimal.

Oleh karena itu BPJS fokus pada penguatan kapasitas kelembagaan secara berkelanjutan, sebagai
hulu dari Sistem Jaminan Kesehatan Nasional. Pembenahan itu jadi modal perluasan cakupan
kepesertaan dan peningkatan mutu pelayanan peserta yang prima. Kelembagaan yang perlu
dibenahi itu, termasuk Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP) dan Fasilitas Kesehatan
Tingkat lanjutan (FKTL). FKTP, seperti puskesmas, dokter keluarga, dan klinik, serta FKTL,
yakni Rumah Sakit pemerintah dan swasta, dan termasuk penguatan kelembagaan adalah
bagaimana menyediakan layanan kesehatan dengan biaya efisien tanpa menurunkan mutu
layanan maka peran pemerintah sangat dibutuhkan, yaitu:

1. Pemerintah Pusat
Program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang digelar lewat BPJS Kesehatan. Salah satunya
adalah dalam upaya meningkatkan mutu pelayanan kesehatan dalam penyelenggaraan Jaminan
Kesehatan Nasional sesuai amanat UU No. 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial
Nasional (SJSN), dan UU No. 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial
(BPJS). Pemerintah memandang perlu pengaturan tentang pengelolaan dan pemantauan dana
kapitasi JKN pada fasilitas kesehatan tingkat pertama.
Berkaitan dengan kapasitas kelembagaan Undang-undang BPJS tidak diberi kewenangan untuk
penyidikan, namun pengelola BPJS bisa mengajukan pihak yang tidak bersedia membayar premi
ke pengadilan.

2. Pemerintah daerah BPJS yang berkoordinasi dengan pemerintah daerah harus menjamin
bahwa rakyat miskin tidak boleh ditolak oleh rumah sakit (daerah). Perusahaan yang belum
mendaftarkan pekerjanya sebagai peserta BPJS maka kepada perusahaan maupun pekerja tidak
akan mendapatkan pelayanan publik bahkan dimungkinkan mendapatkan sanksi bakal tidak
diberikan izin usaha, dan izin-izin lainnya. sementara bagi tenaga kerja informal atau individu
mereka juga nantinya tidak akan mendapatkan pelayanan publik misalnya tidak dapat mengurus
SIM. gambaran sanksi ke depannya akan seperti itu sesuai amanat UU No. 24 Tahun 2011
tentang BPJS semua pekerja baik formal maupun nonformal harus menjadi peserta BPJS. BPJS
bekerjasama dengan pemerintah setempat yang berwenang memberikan sanksi kepada
perusahaan yang tidak mendaftarkan pekerjanya sebagai anggota BPJS. Jadi dapat dikatakan
bahwa kunci suksesnya program BPJS tersebut berada di tangan pemerintah daerah setempat,
karena pemerintah daerah melalui dinas-dinas terkait seperti badan perizinan maupun disnaker
berwenang melakukan pegawasan dan menjatuhkan sanksi. Karena BPJS program pemerintah
pusat maka pemda juga wajib menyukseskan program tersebut.

Sebagaimana diketahui bahwa BPJS ketenagakerjaan fokus pada pengelolaan program jaminan
sosial, yakni jaminan kecelakaan kerja, jaminan hari tua, jaminan pensiun dan jaminan kematian
tenaga kerja Indonesia. Untuk membantu penyelenggaraan SJSN dibentuklah Dewan Jaminan
Sosial Nasional. Dewan ini mempunyai tugas pokok:
a. melakukan kajian dan penelitian yang berkaitan dengan penyelenggaraan jaminan sosial;
b. menguslukan kebijakan investasi dana Jaminan Sosial Nasional; dan
c. mengusulkan anggaran jaminan sosial bagi penerima bantuan iuran dan tersedianya anggaran
operasional kepada pemerintah.

Dalam melaksanakan tugasnya Dewan ini dapat meminta masukan dan bantuan tenaga ahli
sesuai kebutuhan. Sedangkan fungsi Dewan ini adalah merumuskan kebijakan umum dan
sinkronisasi penyelenggaraan Sistem Jaminan Sosial Nasional.
3.2 Pendanaan
Siapa yang membayar iurannya? Sebagian masyarakat beranggapan bahwa jaminan tersebut
semestinya disediakan pemerintah secara gratis untuk rakyat. Cara berpikir seperti itu tidak
keliru, sepanjang pemerintah mampu menyediakannya. Namun untuk bisa melaksanakannya,
negara mesti sudah masuk dalam kategori negara maju yang memiliki pendapatan setara dengan
negara-negara kaya seperti negara-negara di Eropa ataupun negara-negara di Timur Tengah yang
penghasilannya sangat besar. Namun ketika negara masih dalam tahap menuju negara maju dan
pendapatan negara masih terbatas, maka sistem jaminan sosial hanya bisa diselenggarakan
dengan prinsip gotong royong. Artinya, masyarakat kaya membantu masyarakat miskin, mereka
yang sehat membantu mereka yang sakit. Pekerja usia muda membantu para pensiunan. Inilah
hakikat jaminan sosial untuk mendistribusikan kesejahteraan dan perlindungannya.

Setiap peserta wajib membayar iuran yang besarnya ditetapkan berdasarkan persentase dari upah
atau suatu jumlah nominal tertentu. Setiap pemberi kerja wajib memungut iuran dari pekerjanya,
menambahkan iuran yang menjadi kewajibannya dan membayarkan iuran tersebut kepada BPJS,
Di sini bagi pekerja formal dibayarkan secara patungan antara pemberi kerja dan pekerja itu
sendiri. Bagi PNS dipotong melalui bendahara yang dananya bersumber dari Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara/Daerah (APBN/APBD). Namun bagi pekerja mandiri atau
pekerja di sektor informal membayar sendiri. Sedangkan iuran program jaminan sosial bagi fakir
miskin dan orang-orang tidak mampu dibayar oleh pemerintah.
Penetapan iuran jaminan kesehatan bagi pekerja formal sekaligus pembagian forsi antara pekerja
dan pemberi kerja. Pemerintah telah menetapkan 5 persen bagi pegawai negeri dengan komposisi
3 persen ditanggung negara dan 2 persen dibayar pegawai negeri. Besarnya iuran jaminan
kesehatan juga dirancang dalam tiga kelas layananan sesuai kemampuan keuangan peserta. Iuran
pelayanan kelas III senilai Rp 25.000,- perorang, kelas II (Rp 42.000), perorang dan kelas 1
(Rp59.000) perorang.

IV. Simpulan

Dengan jaminan sosial setiap orang dapat memenuhi kebutuhan dasar hidup mereka dengan
layak. Apabila terjadi risiko pendapatan berkurang atau hilang akibat kehilangan pekerjaan, sakit
cacat tetap akibat keceakaan kerja, pemutusan hubungan kerja, atau pensiun, sesuai amanat UU
No. 40/2004 tentang SJSN dan UU No. 24/2011 tentang BPJS, ditanggung oleh BPJS sesuai
dengan kepesertaannya.

Oleh karena itu BPJS fokus pada penguatan kapasitas kelembagaan secara berkelanjutan, sebagai
hulu dari Sistem Jaminan Kesehatan Nasional. Pembenahan itu jadi modal perluasan cakupan
kepesertaan dan peningkatan mutu pelayanan peserta. Perlu dibenahi agar bisa memberikan
layanan menyeluruh bermutu prima.

Presidium Forum Alumni Aktivis Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia Harli Muin mengatakan
program Jaminan Kesehatan Nasional yang pelaksanaannya dipercayakan pada Badan Penyelenggara
Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan masih jauh dari makna keadilan. Dia menilai penerapan BPJS Kesehatan
masih memiliki persoalan dalam banyak hal.

Yang pertama, ucap Harli, persoalan BPJS Kesehatan sudah muncul sejak proses aktivasi kartu. BPJS
menerapkan aturan bahwa kartu pengguna BPJS baru bisa aktif sepekan setelah pendaftaran diterima.
"Padahal sakit menimpa tanpa terduga dan tak mungkin bisa ditunda," ujar Harli di Jakarta, Ahad, 9
Agustus 2015.

Selanjutnya, rujukan lembaga jasa kesehatan yang ditunjuk BPJS Kesehatan juga disebut Harli terbatas
dan tidak fleksibel. Peserta BPJS hanya boleh memilih satu fasilitas kesehatan untuk memperoleh
rujukan dan tak bisa ke faskes lain meski sama-sama bekerja sama dengan BPJS. Keterbatasan itu, tutur
Harli, menyulitkan orang yang sering bepergian dan bekerja di tempat jauh.

Masalah lain, menurut Harli, adalah rumitnya alur pelayanan BPJS Kesehatan karena menerapkan alur
pelayanan berjenjang. Sebelum ke rumah sakit, peserta wajib terlebih dulu ke faskes tingkat pertama,
yaitu puskesmas.
Persoalan keempat, kata Harli, banyak peserta BPJS mengeluhkan pembayaran biaya pengobatan yang
tak ditanggung sepenuhnya oleh BPJS. Harli menilai, sesuai dengan Pasal 2 Undang-Undang Nomor 24
Tahun 2011, BPJS seharusnya menyelenggarakan sistem jaminan sosial berdasar asas kemanusiaan,
manfaat, dan keadilan sosial bagi semua rakyat Indonesia.

Harli mendesak pemerintah segera memperbaiki sistem dan pelaksanaan BPJS Kesehatan. "Agar
pelayanan kesehatan yang layak dapat segera terpenuhi."

Badan Penyelenggara Jaminan Sosial atau BPJS merupakan lembaga yang dibentuk untuk
menyelenggarakan program jaminan sosial di Indonesia menurut Undang-undang Nomor 40
Tahun 2004 dan Undang-undang Nomor 24 Tahun 2011. Sesuai Undang-undang Nomor 40
Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional, BPJS merupakan badan hukum nirlaba.

Berdasarkan Undang-undang Nomor 24 Tahun 2011, BPJS akan menggantikan sejumlah


lembaga jaminan sosial yang ada di Indonesia yaitu lembaga asuransi jaminan kesehatan PT
Askes Indonesia menjadi BPJS Kesehatan dan lembaga jaminan sosial ketenagakerjaan PT
Jamsostek menjadi BPJS Ketenagakerjaan.[1] Transformasi PT Askes dan PT Jamsostek menjadi
BPJS dilakukan secara bertahap. Pada awal 2014, PT Askes akan menjadi BPJS Kesehatan,
selanjutnya pada 2015 giliran PT Jamsostek menjadi BPJS Ketenagakerjaan.[2]

Lembaga ini bertanggung jawab terhadap Presiden. BPJS berkantor pusat di Jakarta, dan bisa
memiliki kantor perwakilan di tingkat provinsi serta kantor cabang di tingkat kabupaten kota.

Setiap warga negara Indonesia dan warga asing yang sudah berdiam di Indonesia selama
minimal enam bulan wajib menjadi anggota BPJS. Ini sesuai pasal 14 UU BPJS. [3]

Setiap perusahaan wajib mendaftarkan pekerjanya sebagai anggota BPJS. Sedangkan orang atau
keluarga yang tidak bekerja pada perusahaan wajib mendaftarkan diri dan anggota keluarganya
pada BPJS. Setiap peserta BPJS akan ditarik iuran yang besarnya ditentukan kemudian.
Sedangkan bagi warga miskin, iuran BPJS ditanggung pemerintah melalui Program Bantuan
Iuran.

Menjadi peserta BPJS tidak hanya wajib bagi pekerja di sektor formal, namun juga pekerja
informal. Pekerja informal juga wajib menjadi anggota BPJS Kesehatan. Para pekerja wajib
mendaftarkan dirinya dan membayar iuran sesuai dengan tingkatan manfaat yang diinginkan.

Jaminan kesehatan secara universal diharapkan bisa dimulai secara bertahap pada 2014 dan pada
2019, diharapkan seluruh warga Indonesia sudah memiliki jaminan kesehatan tersebut. Menteri
Kesehatan Nafsiah Mboi menyatakan BPJS Kesehatan akan diupayakan untuk menanggung
segala jenis penyakit namun dengan melakukan upaya efisiensi.[4]

Dasar hukum

1. Undang-undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial.


2. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional, Pasal 5 ayat (1)
dan Pasal 52.

Sejarah pembentukan

Sejumlah fraksi di DPR dan pemerintah menginginkan agar BPJS II (BPJS Ketenagakerjaan)
bisa beroperasi selambat-lambatnya dilakukan 2016. Sebagian menginginkan 2014. Akhirnya
disepakati jalan tengah, BPJS II berlaku mulai Juli 2015. Rancangan Undang-undang tentang
BPJS pun akhirnya disahkan di DPR pada 28 Oktober 2011. [5]

Menteri Keuangan (saat itu) Agus Martowardojo mengatakan, pengelolaan dana sosial pada
kedua BPJS tetap perlu memerhatikan prinsip kehati-hatian. Untuk itu, pemerintah mengusulkan
dibuat katup pengaman jika terjadi krisis keuangan maupun kondisi tertentu yang memberatkan
kondisi perekonomian.[6]
Besaran iuran

Di tahap awal program BPJS kesehatan, pemerintah akan menggelontorkan dana Rp 15,9 triliun
dari APBN untuk menyubsidi asuransi kesehatan 86 juta warga miskin.[7]

Pada September 2012, pemerintah menyebutkan besaran iuran BPJS Kesehatan sebesar Rp22
ribu per orang per bulan. Setiap peserta BPJS nanti harus membayar iuran tersebut, kecuali
warga miskin yang akan ditanggung oleh pemerintah.[8].

Namun pada Maret 2013, Kementerian Keuangan dikabarkan memotong besaran iuran BPJS
menjadi Rp15,500, dengan alasan mempertimbangkan kondisi fiskal negara.[9]

Pemangkasan anggaran iuran BPJS itu mendapat protes dari pemerintah DKI Jakarta. DKI
Jakarta menganggap iuran Rp15 ribu per bulan per orang tidak cukup untuk membiayai
pengobatan warga miskin. Apalagi DKI Jakarta sempat mengalami kekisruhan saat
melaksanakan program Kartu Jakarta Sehat. DKI menginginkan agar iuran BPJS dinaikkan
menjadi Rp23 ribu rupiah per orang per bulan.[10]

Ketua Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Dr. Zaenal Abidin menilai bahwa iuran untuk Penerima
Bantuan Iuran (PBI) sebesar Rp15.500 yang akan dibayarkan pemerintah itu belumlah angka
yang ideal untuk mewujudkan pelayanan kesehatan yang layak. IDI telah mengkaji besaran iuran
yang ideal berdasarkan pengalaman praktis dari PT Askes, dimana untuk golongan satu sebesar
Rp38.000.[11]

Sementara itu kalangan anggota DPR mendesak pemerintah agar menaikkan pagu iuran BPJS
menjadi sekitar Rp 27 ribu per orang per bulan. [12]

Direktur Konsultan Jaminan Sosial Martabat Dr. Asih Eka Putri, menilai bahwa rumusan iuran
JKN belum mampu menyertakan prinsip gotong-royong dan keadilan. Formula iuran juga belum
mampu mengoptimalkan mobilisasi dana publik untuk penguatan sistem kesehatan, khususnya
penyelenggaraan pelayanan kesehatan perorangan. [13]

Proses transformasi

Kementerian Sosial mengklaim Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan yang
berlaku pada awal 2014 akan menjadi program jaminan sosial terbaik dan terbesar di Asia.[14]

Namun pelaksanaan Sistem Jaminan Sosial Nasional oleh BPJS pada 2014 diperkirakan
terkendala persiapan dan infrastruktur. Misalnya, jumlah kamar rumah sakit kelas III yang masih
kurang 123 ribu unit. Jumlah kamar rumah sakit kelas III saat ini tidak bisa menampung 29 juta
orang miskin. Kalangan DPR menilai BPJS Kesehatan belum siap beroperasi pada 2014
mendatang.[15]

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sejumlah persoalan masih dihadapi Badan Penyelenggara


Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan. Dari mulai kesenjangan antara suplai pendanaan dan
pengeluaran hingga ketidaksiapan struktur fasilitas kesehatan. Semua itu bisa mengganggu
pelayanan terhadap pasien peserta jika tidak diatasi

Anggota Dewan Jaminan Sosial Nasional Ahmad Ansori mengatakan, salah satu persoalan dasar
dalam BPJS yakni ketidaksesuaian suplai dengan biaya yang dikeluarkan untuk membayar
klaim. BPJS mengusulkan agar iuaran premi bagi penerima bantuan iuran (PBI) sebesar Rp 36
ribu per bulan namun yang ditetapkan pemerintah hanya Rp 23 ribu. "Ini akar masalahnya,"
ujarnya dalam diskusi yang digelar Aliansi Jurnalis Indonesia, FES dan DJSN kemarin di
Jakarta.

Namun begitu, kata Ansori, berdasarkan Undang-Undang, semua kekurangan tersebut telah
ditanggung oleh pemerintah. DPR dan pemerintah telah menyepakati dana talangan yang bisa
digunakan jika uang BPJS tidak mencukupi untuk membayar.
Menurutnya, kekurangan BPJS Kesehatan itu sudah bisa diprediksi dari awal. Ia pun tak mau
menyebutnya defisit lantaran semua perhitungan yang telah diperhitungkan. Ansori lebih
melihatnya sebagai ketidakcukupan. "Sistem ini tidak rugi, tapi persoalannya apakah mau
seperti ini terus?" tanyanya.

Ansori pun berpandangan prinsip gotong royong yang seharusnya menjadi dasar dalam sistem
BPJS Kesehatan tidak berjalan semestinya. Saat ini, banyak peserta BPJS yang sakit mendaftar.
Padahal, orang-orang yang masih sehat juga mendaftar. Sehingga memberikan subsidi silang
bagi yang sakit. "Kita targetkan sampai seluruh penduduk terdaftar pada 2019, suplainya harus
mendekat," kata Ansori.

Ia juga menyoroti keterlambatan pembayaran BPJS. Menurutnya, keterlambatan bisa


menyebabkan pelayanan berkurang. Persoalan lain yang tak kalah penting yakni kesiapan dari
fasilitas kesehatan.

Jumlah peserta BPJS, kata dia, tumbuh dengan cepat. Sementara pertumbuhan rumah sakit tak
bisa mengimbangi. AKibatnya bisa berpengaruh terhadap penumpukan pasien.

Kepala Grup Penelitian dan Pengembangan BPJS Kesehatan Togar Siallagan mengatakan,
peningkatan rumah sakit juga harus diimbangi kualitas. Karena BPJS ingin agar RS kerja sama
memenuhi standar akreditasi yang telah ditetapkan. Ia juga menyoroti perilaku peserta BPJS
yang bisa mengganggu pelayanan. "Begitu sembuh sudah tidak lagi bayar," tuturnya.

Hingga saat ini setidaknya ada tiga persoalan yang masih mendera Badan Penyelenggara
Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan. Ketiga persoalan itu adalah kepesertaan, biaya operasional,
dan pelayanan.

Pertama, dalam hal kepesertaan, setidaknya sampai saat ini terdapat dua wujud fisik kartu yang
berbeda, yakni kartu yang didominasi logo dan tulisan BPJS Kesehatan serta Jaminan Kesehatan
Nasional (JKN) dan kartu yang didominasi tulisan Kartu Indonesia Sehat, disertai logo dan
tulisan BPJS Kesehatan dengan ukuran yang lebih kecil.

Bagi kita, “dualisme” kartu kepesertaan BPJS Kesehatan bisa memunculkan diskriminasi
pelayanan. Pemegang Kartu Indonesia Sehat (KIS) pasti adalah warga miskin yang iuran
kepesertaannya dibayar oleh pemerintah (penerima bantuan iuran/PBI) yang dialokasikan dalam
APBN. Seperti diketahui KIS, merupakan salah satu dari tiga “kartu sakti” yang dijanjikan Joko
Widodo (Jokowi) diberikan kepada rakyat miskin saat kampanye Pilpres 2014.

Dua kartu lainnya adalah Kartu Indonesia Pintar (KIP) dan Kartu Keluarga Sejahtera (KKS).
Persoalannya, KIS diluncurkan saat program pelayanan kesehatan gratis bagi rakyat miskin
dengan nama Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas) pada era pemerintahan Presiden
Susilo Bambang Yudhoyono telah diintegrasikan ke BPJS Kesehatan dan diberi nama baru
sebagai Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) masih berlaku.

Tak heran bila saat ini masih dijumpai warga miskin yang berobat menggunakan KIS, kartu
BPJS Kesehatan, bahkan mungkin kartu Jamkesmas.

Kalau selama ini kita masih menjumpai perlakuan diskriminatif terhadap peserta BPJS
Kesehatan dengan pasien asuransi swasta, apalagi pasien yang membayar tunai, belakangan ini
muncul juga diskriminasi terhadap peserta BPJS Kesehatan yang membayar iuran secara mandiri
dan PBI. Oleh karena itu, kita mengusulkan agar BPJS Kesehatan hanya menerbitkan satu jenis
kartu untuk pesertanya, baik yang mandiri maupun PBI. Tak perlu lagi ada “dualisme” kartu bagi
sekitar 152 juta peserta, termasuk 86,4 juta penerima PBI.

Kedua, biaya operasional. Pada 2014, biaya operasional, terutama klaim dari ribuan fasilitas
pelayanan kesehatan mencapai Rp 42,65 triliun, sedangkan premi yang diterima hanya Rp 40
triliun atau terjadi defisit sekitar Rp 2,6 triliun. Tahun ini diperkirakan BPJS mengalami defisit
lebih besar lagi, yakni Rp 6 triliun.
Salah satu penyebab defisit adalah perilaku curang dari sebagian peserta. Mereka buru-buru
menjadi peserta dan membayar iuran saat sedang sakit dan langsung mendapat pelayanan. Tak
tanggung-tanggung, penyakit yang diderita tergolong berat, sehingga biaya perawatan dan
pengobatannya mencapai belasan juta hingga puluhan juta rupiah, sementara iuran yang dibayar
hanya puluhan ribu atau ratusan ribu rupiah.

Kita berharap BPJS Kesehatan dan pemerintah yang dibantu para pakar bisa menemukan rumus
jitu untuk mencegah kecurangan sebagian peserta. Hal lain yang juga penting dilakukan adalah
terus mengampanyekan perilaku hidup sehat sebagai upaya pencegahan. Perilaku hidup sehat
dapat menghindarkan seseorang dari penyakit berat, sehingga biaya perawatan dan
pengobatannya ketika sakit pun tak terlalu besar.

Ketiga, pelayanan merupakan masalah yang paling banyak dikeluhkan peserta maupun penyedia
jasa pelayanan kesehatan. Dari sisi pasien, sering kali terdengar keluhan bahwa mereka
mendapat pelayanan yang kurang menyenangkan, bila dibanding sesama pasien yang membayar
tunai atau menjadi peserta asuransi swasta.

Pemeriksaan dilakukan terburu-buru dan diobati seadanya. Tak jarang, pasien masih harus
mengeluarkan sejumlah uang karena obat tertentu tidak di-cover oleh BPJS Kesehatan.

Dari sisi pelayan kesehatan, khususnya dokter, terdengar keluhan imbal jasa yang sangat minim,
tak sebanding dengan tenaga dan keahlian mereka. Sedangkan dari penyedia fasiltas kesehatan,
khususnya rumah sakit, hingga kini masih saja ada laporan tentang pembayaran klaim yang tak
tepat waktu.

Untuk mengatasi persoalan tersebut, BPJS Kesehatan harus melakukan perbaikan sejumlah
peraturan, khususnya untuk mencegah moral hazard peserta serta memperbaiki pelayanan kepada
pasien dan lebih menghargai dokter. Bahkan, kalau memang besaran iuran yang berlaku saat ini
dinilai kurang memadai dan harus ditingkatkan, hendaknya disampaikan ke pemerintah dan
DPR.

Bila kenaikan iuran dianggap tindakan tidak populer, pemerintah bisa mengalokasikan lebih
banyak dana ke BPJS Kesehatan, termasuk menambah jumlah PBI, sejalan dengan peningkatan
signifikan anggaran kesehatan yang kini mencapai 5 persen belanja APBN. ***

JAKARTA, KOMPAS.com - Permasalahan yang terjadi dalam penyelenggaaran Badan


Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan bukan hanya lantaran melonjaknya jumlah
peserta dan keterlambatan pembayaran iuran.

Menurut Staf Ahli Kementerian Kesehatan Donald Pardede, banyaknya orang dengan penyakit
kronis yang mulai berani berobat ke fasilitas kesehatan juga memberikan andil membengkaknya
klaim yang harus dibayar BPJS Kesehatan kepada pihak rumah sakit.

"Masalahnya, di samping tingkat kunjungannya (naik), orang yang dulu takut berobat dan
sekarang berobat itu adalah yang terlanjur parah. Sehingga ada dua hal yang kita hadapi. Ada
kunjungan yang meningkat berlimpah-limpah karena pada waktu lalu tidak dapat kesempatan
(tidak mampu berobat). Kedua, yang berobat memang yang sudah kronis," kata Donald di
Jakarta, Sabtu (19/3/2016).

Donald mengatakan, ada beberapa penyakit kronis di antaranya diabetes melitus, kanker, gagal
ginjal, thalasemia, dan stroke.

Kunjungan peserta BPJS Kesehatan dengan penyakit kronis tersebut tercatat hanya 7 persen dari
total kunjungan.

"Tetapi biaya yang dihabiskan sampai 35 persen (dari klaim). Jadi, itu memang menggambarkan
kita punya persoalan di penyakit kronis, yang pada waktu lalu secara jujur kita katakan upaya
pencegahannya belum efektif," jelas Donald.

Lebih lanjut dia mengatakan, tentu saja harus ada upaya untuk menyeimbangkan sisi demand dan
supply agar pelayanan BPJS Kesehatan berkesinambungan.
Sebetulnya, dia bilang, ada tiga upaya yang bisa dilakukan.

"Pertama, mengurangi manfaat. Tapi ini tidak mungkin dilakukan. Kedua adalah dana talangan
dari pemerintah. Itu sudah dilakukan, meskipun dengan segala keterbatasan. Ketiga, penyesuaian
iuran," pungkas Donald.

Setiap orang memiliki risiko jatuh sakit dan membutuhkan biaya cukup besar ketika berobat ke rumah
sakit. Apalagi, jika sakit yang dideritanya merupakan penyakit yang kronis atau tergolong berat. Untuk
memberikan keringanan biaya, pemerintah mengeluarkan Program JKN (Jaminan Kesehatan Nasional).
Program pelayanan kesehatan yang merata dan tidak diskriminatif, diatur dalam Undang-undang Nomor
40 tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN), kemudian diimplementasikan ke dalam
Undang-Undang (UU) Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Pengelola Jaminan Sosial (BPJS).

Kedua aturan itu, dimaksudkan untuk menjamin pemerataan dan keadilan serta kemandirian
masyarakat. Pada bidang kesehatan akan dikelola dan dilaksanakan BPJS Kesehatan, yang
merupakan transformasi PT Askes (Persero) dan bidang jaminan hari tua, dilaksanakan BPJS
Ketenagakerjaan, yang merupakan transformasi PT Jamsostek (persero).

Dalam kwartal pertama pelaksanaan JKN yang dioperatori BPJS Kesehatan, memang sudah
berjalan relatif baik. Namun upaya reformasi program jaminan sosial untuk memberikan
perlindungan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, masih dihadapkan dengan berbagai
permasalahan di lapangan.

Sebagai suatu sistem yang besar dan baru berlangsung dalam tempo yang masih relatif singkat,
implementasi BPJS terutama BPJS Kesehatan masih jauh dari sempurna. Dalam monitoring dan
evaluasi yang telah lakukan oleh berbagai pihak, khususnya DJSN (Dewan Jaminan Sosial
Nasional) yang telah diberikan mandat oleh konstitusi untuk melakukan monitoring dan
evaluasi, banyak permasalahan di lapangan.

Permasalahan ini harus dipahami sebagai koreksi positif bagi BPJS. Sedangkan, DJSN dan
Pemerintah terutama dari aspek regulasi dan teknis operasional yang harus dibenahi dan
disempurnakan. Karena kalau tidak, SJSN ini akan rapuh. Penerapan pelayanan berjenjang,
sistem kapitasi, dan standardisasi penggunaan obat mutlak dilakukan agar sistem asuransi
kesehatan sosial berjalan baik.

Sejak dioperasionalkan 1 Januari 2014, BPJS Kesehatan memiliki beragam permasalahan,


banyak aspek yang belum matang dan menjadi persoalan. Kurangnya sosialisasi dan perubahan
struktur di dalam BPJS dinilai menjadi penyebab munculnya permasalahan tersebut. Padahal,
BPJS Kesehatan sangat dibutuhkan dan harus tetap dilaksanakan.

Masalah itu, justru muncul pada unsur pengaplikasiannya, seperti di rumah sakit tersier,
khususnya pada aspek rujukan, biaya, dan kepersertaan BPJS. Banyak masyarakat yang belum
tahu teknis mendapatkan pelayanan sesuai dengan aturan main BPJS Kesehatan. Dengan
diberlakukannya BPJS Kesehatan, masyarakat yang akan berobat ke rumah sakit umum
pemerintah dengan kartu BPJS harus mendapat rujukan dari dokter, klinik/puskesmas, atau
rumah sakit umum daerah

Kebanyakan masyarakat belum tahu mengenai sistem rujukan. Inilah yang menjadi persoalan,
ketika sudah datang ke rumah sakit tersier pasien akan dilayani jika sudah mendapatkan rujukan
dari peyanan kesehatan primer. Sistem rujukan sudah diatur dalam Peraturan Menteri Kesehatan
No. 001/2012 Tentang Sistem Rujukan Pelayanan Kesehatan Perorangan (PMK).

Sistem rujukan adalah suatu sistem penyelenggaraan kesehatan yang melaksanakan pelimpahan
tanggung jawab yang timbal balik terhadap satu kasus penyakit atau masalah kesehatan secara
vertikal dalam arti dari unit yang berkemampuan kurang kepada unit yang lebih mampu atau
secara horizontal dalam arti unit-unit yang setingkat kemampuannya. Sistem rujukan mengatur
alur dari mana dan harus ke mana seseorang yang mempunyai masalah kesehatan tertentu untuk
memeriksakan masalah kesehatannya.

Sistem ini diharapkan semua memperoleh keuntungan. Misalnya, pemerintah sebagai penentu
kebijakan kesehatan (policy maker), manfaat yang akan diperoleh di antaranya, membantu
penghematan dana dan memperjelas sistem pelayanan kesehatan. Bagi masyarakat sebagai
pemakai jasa pelayanan akan meringankan biaya pengobatan karena pelayanan yang diperoleh
sangat mudah. Bagi pelayanan kesehatan (health provider), mendorong jenjang karier tenaga
kesehatan, selain meningkatkan pengetahuan maupun keterampilan, serta meringankan beban
tugas.

Sistem rujukan pelayanan kesehatan dilaksanakan secara berjenjang sesuai dengan kebutuhan
medis. Pada pelayanan kesehatan tingkat pertama, peserta dapat berobat ke fasilitas kesehatan
primer seperti puskesmas, klinik, atau dokter keluarga yang tercantum pada kartu peserta BPJS
Kesehatan. Apabila peserta memerlukan pelayanan lanjutan oleh dokter spesialis, maka peserta
dapat dirujuk ke fasilitas kesehatan tingkat kedua atau fasilitas kesehatan sekunder. Pelayanan
kesehatan di tingkat ini hanya bisa diberikan jika peserta mendapat rujukan dari fasilitas primer.
Rujukan ini hanya diberikan jika pasien membutuhkan pelayanan kesehatan spesialistik dan
fasilitas kesehatan primer yang ditunjuk untuk melayani peserta, tidak dapat memberikan
pelayanan kesehatan sesuai dengan kebutuhan peserta karena keterbatasan fasilitas, pelayanan,
dan atau ketenagaan. Jika penyakit peserta masih belum dapat tertangani di fasilitas kesehatan
sekunder, maka peserta dapat dirujuk ke fasilitas kesehatan tersier. Di sini, peserta akan
mendapatkan penanganan dari dokter sub-spesialis yang menggunakan pengetahuan dan
teknologi kesehatan sub-spesialiastik.

Peserta JKN harus mengikuti sistem rujukan yang ada. Sakit apa pun, kecuali dalam keadaan
darurat, harus berobat ke fasilitas kesehatan primer, tidak boleh langsung ke rumah sakit atau
dokter spesialis. Jika ini dilanggar peserta harus bayar sendiri.

Namun realitas di lapangan tak semudah membalikkan telapak tangan. Perpindahan jaminan
kesehatan ini banyak mengalami kendala. Sistem rujukan pasien dirasakan masih tidak efektif
dan efisien, masih banyak masyarakat belum mendapat menjangkau pelayanan kesehatan,
akibatnya terjadi penumpukan pasien yang luar biasa di rumah sakit besar tertentu. Pemahaman
masyarakat tentang alur rujukan sangat rendah sehingga mereka tidak mendapatkan pelayanan
sebagaimana mestinya. Pasien menganggap sistem rujukan birokrasinya cukup rumit, sehingga
pasien langsung merujuk dirinya sendiri untuk mendapatkan kesehatan tingkat kedua atau ketiga.

Keluhan lain terkait sIstem rujukan BPJS yang dirasakan adalah ketidaksiapan tenaga
kesehatan dan kurangnya fasilitas di layanan kesehatan primer, kasus yang seharusnya dapat
ditangani di layanan primer/sekunder tetapi langsung dirujuk ke rumah sakit tersier. Lain halnya
dengan keluhan PNS di mana jika rujukan harus melalui puskesmas sementara mereka harus
bekerja lamanya proses pengurusan tersebut menghabiskan jam kerja para PNS. Sistem rujukan
seharusnya tidak membuat PNS kesulitan. Idealnya rujukan tidak hanya berasal dari Puskesmas,
namun juga layanan primer lain, misalnya klinik tempat pekerja tersebut. Kasus lain yang
menuai protes program JKN adalah mutasi peserta Jamsostek ke BPJS, seorang manula gagal
mendapat pelayanan perawatan kesehatannya karena salah satu rumah sakit swasta yang
sebelumnya merupakan rujukan Jamsostek menolaknya.

Seharusnya ada masa transisi yang memberi peluang penerapan sistem tidak secara kaku.
Masyarakat yang tinggal di kepulauan juga menjadi korban kurangnya sosialisasi mengenai
sistem rujukan pada BPJS. Perjalanan jauh yang telah ditempuh dengan menyeberangi pulau dan
biaya tidak sedikit menjadi sia-sia karena rumah sakit terpaksa menolak pasien. Pelayanan
rujukan juga menjadi sesuatu yang rumit di daerah seperti Papua. Banyak daerah yang tidak bisa
dijangkau oleh kendaraan darat, sehingga diperlukan heli-ambulans untuk mengangkut pasien
gawat atau pasien rujukan. Namun fasilitas ini tidak tersedia di BPJS. Tidak jarang juga
penolakan oleh rumah sakit dilakukan karena ruangan benar-benar penuh. Ini tentu saja
menyebabkan mutu pelayanan rumah sakit jadi menurun. Seharusnya pasien tersebut dapat
dirujuk ke rumah sakit lain yang setingkat. Namun ada banyak rumah sakit yang menolak
(swasta) atau belum siap (swasta dan pemerintah) untuk bekerjasama dengan BPJS.

Untuk menjamin berjalannya sistem rujukan berjenjang BPJS maka perlu dilakukan langkah-
langkah yaitu sosialisasi yang terus-menerus guna menamankan kesadaran masyarakat tentang
sistem rujukan berjenjang, masyarakat menilai sistem rujukan terkesan berbelit-belit ini dipicu
oleh keengganan masyarakat untuk antre di layanan primer seperti Puskesmad. Pembenahan
sarana dan prasarana yang memadai di setiap tingkat pelayanan kesehatan sesuai kebutuhan.
Kompetensi petugas kesehatan perlu disiapkan dan ditingkatkan sehingga mampu menangani
kasus sesuai tingkat layanannya. Kebijakan sistem rujukan yang ditetapkan harus lebih
komprehensif mencakup jejaring yang melibatkan swasta, dan membuka seluas-luasnya
kesempatan bagi klinik yang mau bergabung dengan BPJS sehingga tidak terjadi antrean di
Puskesmas.

Peran perawat dalam sistem rujukan berjenjang adalah memahami secara jelas mengenai sistem
rujukan karena perawat adalah petugas garda depan yang selalu menjadi tempat bertanya pasien
atau masyarakat yang membutuhkan dan perawat harus selalu meningkatkan kompetensi agar
dapat memberikan pelayanan kesehatan secara professional yang dibutuhkan pasien.

Monitoring dan evaluasi pelaksanaan sistem rujukan perlu dilakukan secara terus-menerus oleh
pemerintah agar menjamin setiap masyarakat mendapatkan layanan kesehatan yang sesuai
dengan haknya.

Sumber: Kompasiana

Jakarta, HanTer - Maraknya keluhan pasien peserta BPJS Kesehatan disebut-sebut berakar dari `bobroknya` manajemen rumah sakit di
Indonesia. Hal ini diperparah oleh lemahnya pengawasan dan sanksi yang seharusnya diberikan oleh pemerintah.

"Masalah ini juga tidak akan selesai bila proses pengawasan dan penegakan hukum UU Nomor 44/2009 tentang rumah sakit tidak berjalan.
Selama ini Dinas Kesehatan dan Kementerian Kesehatan sangat lemah dalam hal pengawasan," kata Koordinator Advokasi BPJS Watch, Timboel
Siregar kepada Harian Terbit di Jakarta, Sabtu (16/1/2016).

Menurut dia, Peraturan Pemerintah Nomor 49/2013 tentang Badan Pengawas RS tidak berjalan. Sampai saat ini kinerja Badan Pengawas RS
sangat lemah. Terlebih pemerintah tak bersungguh meminimalisir diskriminatif sejumlah rumah sakit sehingga penelantaran pasien terjadi.

"Sepertinya pemerintah, BPJS dan BPRS tidak berkutik dengan perlakuan-perlakuan yang dilakukan pihak rumah sakit. Pemerintah harus tegas.
Bahwa rumah sakit adalah institusi publik dan oleh karena itu seluruh informasi tentang kamar perawatan, ketersediaan dokter, ICU, Picu, Nicu
harusnya menjadi informasi publik," ungkapnya.

Timboel menegaskan, ikatan kerja sama yang dilakukan antara BPJS dan rumah sakit juga harus terbuka. "Harus ada transparansi tentang ikatan
kerjasama tersebut. Yang pasti perbaikan perlakuan diskriminasi ini harus dilakukan oleh Kemenkes termasuk dinas kesehatan, direksi BPJS dan
BPRS," ungkapnya.

Disamping itu, lanjut dia, masalah diskriminasi rumah sakit akan terus terjadi sepanjang tahun apabila tidak ada perbaikan dalam pembiayaan
rumah sakit sebagaimana yang diatur dalam Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 59/2014 tentang Indonesia Case Base Groups (INA CBGs).

Sementara, anggota Komisi IX DPR Irgan Chairul Mahfiz, mendorong rumah sakit menambah jumlah ruangan perawatan mengingat banyaknya
peserta BPJS Kesehatan. Dia mengatakan rumah sakit tidak boleh menolak pasien dengan berbagai alasan.

"Menurut undang-undang kesehatan rumah sakit enggak boleh menolak pasien, kalau kamar ada ya diterima," kata Irgan.

Politisi Partai Persatuan Pembangunan (PPP) itu mengatakan, kinerja BPJS Kesehatan lemah dalam mengawasi rumah sakit yang ada. Sehingga
perbedaan perlakuan pelayanan kesehatan di tengah masyarakat masih terus terjadi.

"Jadi BPJS ini perlu meningkatkan pelayanan agar maksimal. Jangan ini didiskriminasikan karena dia penerima bantuan iuran beda dengan
peserta lain jangan terjadi perbedaan ya," paparnya.

Sejumlah persoalan muncul dalam pelaksanaan Jaminan Kesehatan Nasional dan Badan
Pelaksana Jaminan Sosial Kesehatan. Padahal program sosial ini baru dua pekan bergulir.

Koordinator Advokasi BPJS Watch Timboel Siregar mengatakan, permasalahan masih


didominasi ketidaksiapan pemerintah dan BPJS Kesehatan --sebelumnya bernama PT Askes
(Persero)-- dalam menyelenggarakan jaminan sosial bagi masyarakat.

Di antaranya keterlambatan pembuatan regulasi operasional seperti Peraturan Pemerintah,


Peraturan Presiden, Keputusan Presiden, dan Peraturan Menteri Kesehatan berkontribusi,
sehingga menimbulkan masalah di lapangan.

"Salah satu contoh, sampai saat ini masih banyak pengusaha tidak mengetahui berapa iuran yang
harus dibayarkan, manfaat, serta fasilitas yang akan didapat pekerja," kata Timboel dalam siaran
persnya di Jakarta, Rabu 15 Januari 2014.
Sementara itu, dari pengakuan seorang pekerja di KBN Cakung pemegang kartu JPK Jamsostek
merasa dirugikan karena BPJS Kesehatan hanya mengcover biaya sebatas Rp250 ribu, sementara
biaya rumah sakit yang harus dikeluarkan Rp1,6 juta.

BPJS watch menilai, keputusan pemerintah menetapkan Penerima Bantuan Iuran (PBI) sebesar
Rp19.225 per bulan per orang, dan penetapan biaya kapitasi ke Pelaksana Pelayanan Kesehatan
yang relatif rendah menyebabkan protes para dokter dan rumah sakit mitra.

Belum lagi peserta KJS yang juga otomatis sebagai peserta BPJS Kesehatan kerap kali
diharuskan membeli obat sendiri sehingga memberatkan pasien KJS. Selain itu regulasi tentang
harga obat juga sampai saat ini belum jelas. "Seharusnya harga obat tidak boleh memberatkan
peserta dan BPJS Kesehatan juga harus mengcover obat," ujarnya.

Menurutnya, ketidaksiapan BPJS Kesehatan di lapangan juga sangat mempengaruhi pelayanan


peserta. Proses transformasi JPK Jamsostek ke BPJS Kesehatan tidak dilakukan dengan baik.

"Pekerja JPK Jamsostek yang otomatis menjadi peserta BPJS Kesehatan ternyata harus disuruh
mendaftar lagi ke BPJS Kesehatan. Ini yang membuat pekerja dan pengusaha protes," kata
Timboel.

Seharusnya kata Timboel, data dari Jamsostek bisa digunakan BPJS Kesehatan untuk membuat
kartu BPJS Kesehatan untuk pekerja formal. Demikian juga data purnawirawan TNI/Polri
harusnya sudah bisa digunakan BPJS Kesehatan untuk membuat kartu baru tanpa keharusan para
purnawirawan tersebut mendaftar ulang ke BPJS Kesehatan.

Masalah lainnya, transformasi JPK Jamsostek ke BPJS Kesehatan meninggalkan peserta JPK
Pekerja Mandiri yang tidak otomatis menjadi peserta BPJS Kesehatan. Padahal sesuai UU
24/2011 tentang BPJS sangat jelas dinyatakan peserta JPK Jamsostek otomatis menjadi peserta
BPJS Kesehatan.

Selain itu pada saat di Jamsostek, program JPK Pekerja Mandiri melingkupi keluarga tetapi saat
ini peserta Pekerja Mandiri di BPJS Kesehatan merupakan peserta individual saja. "Harusnya
BPJS Kesehatan juga menerima peserta pekerja mandiri berbasis keluarga dengan iuran yang
khusus, tidak mengacu pada hitungan pekerja mandiri," katanya.

Permasalahan pendaftaran menjadi peserta BPJS Kesehatan juga dikeluhkan masyarakat, karena
banyak lokasi pendaftaran hanya ada di lokasi-lokasi tertentu saja, sehingga terjadi penumpukan
calon pendaftar

"Seharusnya pendaftaran BPJS Kesehatan dilakukan di Puskesmas-Puskesmas atau rumah sakit-


rumah sakit yang mudah diakses masyarakat," ujar Timboel.(IRIB Indonesia/Vivanews)

Dasar Penyelenggaraan :
• UUD 1945
• UU No. 23/1992 tentang Kesehatan
• UU No.40/2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN)
• Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 1241/MENKES/SK/XI/2004 dan Nomor
56/MENKES/SK/I/2005,

Manfaat Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) BPJS Kesehatan meliputi :


a. Pelayanan kesehatan tingkat pertama, yaitu pelayanan kesehatan non spesialistik mencakup:
1. Administrasi pelayanan
2. Pelayanan promotif dan preventif
3. Pemeriksaan, pengobatan dan konsultasi medis
4. Tindakan medis non spesialistik, baik operatif maupun non operatif
5. Pelayanan obat dan bahan medis habis pakai

6. Transfusi darah sesuai kebutuhan medis


7. Pemeriksaan penunjang diagnosis laboratorium tingkat pertama
8. Rawat inap tingkat pertama sesuai indikasi
b. Pelayanan kesehatan rujukan tingkat lanjutan, yaitu pelayanan kesehatan mencakup:
1. Rawat jalan, meliputi:
a) Administrasi pelayanan
b) Pemeriksaan, pengobatan dan konsultasi spesialistik oleh dokter spesialis dan sub spesialis
c) Tindakan medis spesialistik sesuai dengan indikasi medis
d) Pelayanan obat dan bahan medis habis pakai
e) Pelayanan alat kesehatan implant
f) Pelayanan penunjang diagnostic lanjutan sesuai dengan indikasi medis
g) Rehabilitasi medis
h) Pelayanan darah
i) Peayanan kedokteran forensik
j) Pelayanan jenazah di fasilitas kesehatan

2. Rawat Inap yang meliputi:


a) Perawatan inap non intensif
b) Perawatan inap di ruang intensif
c) Pelayanan kesehatan lain yang ditetapkan oleh Menteri
Peserta BPJS Kesehatan adalah setiap orang, termasuk orang asing yang bekerja paling singkat 6
(enam) bulan di Indonesia, yang telah membayar iuran, meliputi :
1. Penerima Bantuan Iuran Jaminan Kesehatan (PBI) : fakir miskin dan orang tidak mampu,
dengan penetapan peserta sesuai ketentuan peraturan perundang- undangan.
2. Bukan Penerima Bantuan Iuran Jaminan Kesehatan (Non PBI), terdiri dari :
• Pekerja Penerima Upah dan anggota keluarganya
a) Pegawai Negeri Sipil;
b) Anggota TNI;

c) Anggota Polri;
d) Pejabat Negara;
e) Pegawai Pemerintah non Pegawai Negeri;
f) Pegawai Swasta; dan
g) Pekerja yang tidak termasuk huruf a sd f yang menerima Upah.
Termasuk WNA yang bekerja di Indonesia paling singkat 6 (enam) bulan.

• Pekerja Bukan Penerima Upah dan anggota keluarganya


a) Pekerja di luar hubungan kerja atau Pekerja mandiri; dan
b) Pekerja yang tidak termasuk huruf a yang bukan penerima Upah. Termasuk WNA yang
bekerja di Indonesia paling singkat 6 (enam) bulan.
• Bukan pekerja dan anggota keluarganya
a) Investor;
b) Pemberi Kerja;
c) Penerima Pensiun, terdiri dari :
Pegawai Negeri Sipil yang berhenti dengan hak pensiun;
Anggota TNI dan Anggota Polri yang berhenti dengan hak pensiun;
Pejabat Negara yang berhenti dengan hak pensiun;
Janda, duda, atau anak yatim piatu dari penerima pensiun yang mendapat hak pensiun;
Penerima pensiun lain; dan
Janda, duda, atau anak yatim piatu dari penerima pensiun lain yang mendapat hak pensiun.
d) Veteran;
e) Perintis Kemerdekaan;
f) Janda, duda, atau anak yatim piatu dari Veteran atau Perintis Kemerdekaan; dan
g) Bukan Pekerja yang tidak termasuk huruf a sd e yang mampu membayar iuran.

ANGGOTA KELUARGA YANG DITANGGUNG


1. Pekerja Penerima Upah :
• Keluarga inti meliputi istri/suami dan anak yang sah (anak kandung, anak tiri dan/atau anak
angkat), sebanyak-banyaknya 5 (lima) orang.
• Anak kandung, anak tiri dari perkawinan yang sah, dan anak angkat yang sah, dengan kriteria:
a. Tidak atau belum pernah menikah atau tidak mempunyai penghasilan sendiri;
b. Belum berusia 21 (dua puluh satu) tahun atau belum berusia 25 (dua puluh lima) tahun yang
masih melanjutkan pendidikan formal.

Pekerja Bukan Penerima Upah dan Bukan Pekerja : Peserta dapat mengikutsertakan anggota
keluarga yang diinginkan (tidak terbatas).
3. Peserta dapat mengikutsertakan anggota keluarga tambahan, yang meliputi anak ke-4 dan
seterusnya, ayah, ibu dan mertua.
4. Peserta dapat mengikutsertakan anggota keluarga tambahan, yang meliputi kerabat lain seperti
Saudara kandung/ipar, asisten rumah tangga, dll.
IURAN
1. Bagi peserta Penerima Bantun Iuran (PBI) Jaminan Kesehatan iuran dibayar oleh Pemerintah.
2. Iuran bagi Peserta Pekerja Penerima Upah yang bekerja pada Lembaga Pemerintahan terdiri
dari Pegawai Negeri Sipil, anggota TNI, anggota Polri, pejabat negara, dan pegawai pemerintah
non pegawai negeri sebesar 5% (lima persen) dari Gaji atau Upah per bulan dengan ketentuan :
3% (tiga persen) dibayar oleh pemberi kerja dan 2% (dua persen) dibayar oleh peserta.
3. Iuran bagi Peserta Pekerja Penerima Upah yang bekerja di BUMN, BUMD dan Swasta
sebesar 4,5% (empat koma lima persen) dari Gaji atau Upah per bulan dengan ketentuan : 4%
(empat persen) dibayar oleh Pemberi Kerja dan 0,5% (nol koma lima persen) dibayar oleh
Peserta.
4. Iuran untuk keluarga tambahan Pekerja Penerima Upah yang terdiri dari anak ke 4 dan
seterusnya, ayah, ibu dan mertua, besaran iuran sebesar sebesar 1% (satu persen) dari dari gaji
atau upah per orang per bulan, dibayar oleh pekerja penerima upah.
5. Iuran bagi kerabat lain dari pekerja penerima upah (seperti saudara kandung/ipar, asisten
rumah tangga, dll); peserta pekerja bukan penerima upah serta iuran peserta bukan pekerja
adalah sebesar:
a. Sebesar Rp.25.500,- (dua puluh lima ribu lima ratus rupiah) per orang per bulan dengan
manfaat pelayanan di ruang perawatan Kelas III.
b. Sebesar Rp.42.500 (empat puluh dua ribu lima ratus rupiah) per orang per bulan dengan
manfaat pelayanan di ruang perawatan Kelas II. c. Sebesar Rp.59.500,- (lima puluh sembilan
ribu lima ratus rupiah) per orang per bulan dengan manfaat pelayanan di ruang perawatan Kelas
I.
6. Iuran Jaminan Kesehatan bagi Veteran, Perintis Kemerdekaan, dan janda, duda, atau anak
yatim piatu dari Veteran atau Perintis Kemerdekaan, iurannya ditetapkan sebesar 5% (lima
persen) dari 45% (empat puluh lima persen) gaji pokok Pegawai Negeri Sipil golongan ruang
III/a dengan masa kerja 14 (empat belas) tahun per bulan, dibayar oleh Pemerintah.
7. Pembayaran iuran paling lambat tanggal 10 (sepuluh) setiap bulan

DENDA KETERLAMBATAN PEMBAYARAN IURAN


1. Keterlambatan pembayaran Iuran untuk Pekerja Penerima Upah dikenakan denda administratif
sebesar 2% (dua persen) per bulan dari total iuran yang tertunggak paling banyak untuk waktu 3
(tiga) bulan, yang dibayarkan bersamaan dengan total iuran yang tertunggak oleh Pemberi Kerja.
2. Keterlambatan pembayaran Iuran untuk Peserta Bukan Penerima Upah dan Bukan Pekerja
dikenakan denda keterlambatan sebesar 2% (dua persen) per bulan dari total iuran yang
tertunggak paling banyak untuk waktu 6 (enam) bulan yang dibayarkan bersamaan dengan total
iuran yang tertunggak.

Sejaran Perjalanan Jaminan Sosial di Indonesia


Diposting tanggal: 16 Desember 2013

Tidak Ada Orang Kaya Dalam Dunia Kesehatan


Perjalanan Panjang UU SJSN
Adanya pengeluaran yang tidak terduga apabila seseorang terkena penyakit, apalagi tergolong
penyakit berat yang menuntut stabilisasi yang rutin seperti hemodialisa atau biaya operasi yang
sangat tinggi. Hal ini berpengaruh pada penggunaan pendapatan seseorang dari pemenuhan
kebutuhan hidup pada umumnya menjadi biaya perawatan dirumah sakit, obat-obatan, operasi,
dan lain lain. Hal ini tentu menyebabkan kesukaran ekonomi bagi diri sendiri maupun keluarga.
Sehingga munculah istilah “SADIKIN”, sakit sedikit jadi miskin. Dapat disimpulkan, bahwa
kesehatan tidak bisa digantikan dengan uang, dan tidak ada orang kaya dalam menghadapi
penyakit karena dalam sekejap kekayaan yang dimiliki seseorang dapat hilang untuk mengobati
penyakit yang dideritanya.
Begitu pula dengan resiko kecelakaan dan kematian. Suatu peristiwa yang tidak kita harapkan
namun mungkin saja terjadi kapan saja dimana kecelakaan dapat menyebabkan merosotnya
kesehatan, kecacatan, ataupun kematian karenanya kita kehilangan pendapatan, baik sementara
maupun permanen.
Belum lagi menyiapkan diri pada saat jumlah penduduk lanjut usia dimasa datang semakin
bertambah. Pada tahun Pada 2030, diperkirakan jumlah penduduk Indonesia adalah 270 juta
orang. 70 juta diantaranya diduga berumur lebih dari 60 tahun. Dapat disimpulkan bahwa pada
tahun 2030 terdapat 25% penduduk Indonesia adalah lansia. Lansia ini sendiri rentan mengalami
berbagai penyakit degenerative yang akhirnya dapat menurunkan produktivitas dan berbagai
dampak lainnya. Apabila tidak aday ang menjamin hal ini maka suatu saat hal ini mungkin dapat
menjadi masalah yang besar
Seperti menemukan air di gurun, ketika Presiden Megawati mensahkan UU No. 40/2004 tentang
Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) pada 19 Oktober 2004, banyak pihak berharap tudingan
Indonesia sebagai ”negara tanpa jaminan sosial” akan segera luntur dan menjawab permasalahan
di atas.
Munculnya UU SJSN ini juga dipicu oleh UUD Tahun 1945 dan perubahannya Tahun 2002
dalam Pasal 5 ayat (1), Pasal 20, Pasal 28H ayat (1), ayat (2) dan ayat (3), serta Pasal 34 ayat (1)
dan ayat (2) mengamanatkan untuk mengembangkan Sistem Jaminan Sosial Nasional. Hingga
disahkan dan diundangkan UU SJSN telah melalui proses yang panjang, dari tahun 2000 hingga
tanggal 19 Oktober 2004.
Diawali dengan Sidang Tahunan MPR RI Tahun 2000, dimana Presiden Abdurrahman Wahid
menyatakan tentang Pengembangan Konsep SJSN. Pernyataan Presiden tersebut direalisasikan
melalui upaya penyusunan konsep tentang Undang-Undang Jaminan Sosial (UU JS) oleh Kantor
Menko Kesra (Kep. Menko Kesra dan Taskin No. 25KEP/MENKO/KESRA/VIII/2000, tanggal
3 Agustus 2000, tentang Pembentukan Tim Penyempurnaan Sistem Jaminan Sosial Nasional).
Sejalan dengan pernyataan Presiden, DPA RI melalui Pertimbangan DPA RI No. 30/DPA/2000,
tanggal 11 Oktober 2000, menyatakan perlu segera dibentuk Badan Penyelenggara Jaminan
Sosial Nasional dalam rangka mewujudkan masyarakat sejahtera.
Dalam Laporan Pelaksanaan Putusan MPR RI oleh Lembaga Tinggi Negara pada Sidang
Tahunan MPR RI Tahun 2001 (Ketetapan MPR RI No. X/ MPR-RI Tahun 2001 butir 5.E.2)
dihasilkan Putusan Pembahasan MPR RI yang menugaskan Presiden RI “Membentuk Sistem
Jaminan Sosial Nasional dalam rangka memberikan perlindungan sosial yang lebih menyeluruh
dan terpadu”.

Pada tahun 2001, Wakil Presiden RI Megawati Soekarnoputri mengarahkan Sekretaris Wakil
Presiden RI membentuk Kelompok Kerja Sistem Jaminan Sosial Nasional (Pokja SJSN)
Landasan Hukum BPJS Kesehatan :
1. Undang-Undang Dasar 1945
2. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional
3. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial

WEWENANG
Dalam melaksanakan tugasnya sebagaimana diamksud di atas BPJS berwenang:
a. Menagih pembayaran Iuran;
b. Menempatkan Dana Jaminan Sosial untuk investasi jangka pendek dan jangka panjang dengan
mempertimbangkan aspek likuiditas, solvabilitas, kehati-hatian, keamanan dana, dan hasil yang
memadai;
c. Melakukan pengawasan dan pemeriksaan atas kepatuhan peserta dan pemberi kerja dalam
memanuhi kewajibannya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan jaminan sosial
nasional;
d. Membuat kesepakatan dengan fasilitas kesehatan mengenai besar pembayaran fasilitas
kesehatan yang mengacu pada standar tarif yang ditetapkan oleh Pemerintah;
e. Membuat atau menghentikan kontrak kerja dengan fasilitas kesehatan;
f. Mengenakan sanksi administratif kepada peserta atau pemberi kerja yang tidak memenuhi
kewajibannya;
g. Melaporkan pemberi kerja kepada instansi yang berwenang mengenai ketidakpatuhannya
dalam membayar iuran atau dalam memenuhi kewajiban lain sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan; dan
h. Melakukan kerjasama dengan pihak lain dalam rangka penyelenggaraan program jaminan
sosial.
Kewenangan menagih pembayaran Iuran dalam arti meminta pembayaran dalam hal terjadi
penunggakan, kemacetan, atau kekurangan pembayaran, kewenangan melakukan pengawasan
dan kewenangan mengenakan sanksi administratif yang diberikan kepada BPJS memperkuat
kedudukan BPJS sebagai badan hukum publik.
TUGAS
Dalam melaksanakan fungsi sebagaimana tersebut diatas BPJS bertugas untuk:
a. Melakukan dan/atau menerima pendaftaran peserta;
b. Memungut dan mengumpulkan iuran dari peserta dan pemberi kerja;
c. Menerima bantuan iuran dari Pemerintah;
d. Mengelola Dana Jaminan Sosial untuk kepentingan peserta;
e. Mmengumpulkan dan mengelola data peserta program jaminan sosial; f. Membayarkan
manfaat dan/atau membiayai pelayanan kesehatan sesuai dengan ketentuan program jaminan
sosial; dan
g. Memberikan informasi mengenai penyelenggaraan program jaminan sosial kepada peserta dan
masyarakat.
Dengan kata lain tugas BPJS meliputi pendaftaran kepesertaan dan pengelolaan data kepesertaan,
pemungutan, pengumpulan iuran termasuk menerima bantuan iuran dari Pemerintah,
pengelolaan Dana jaminan Sosial, pembayaran manfaat dan/atau membiayai pelayanan
kesehatan dan tugas penyampaian informasi dalam rangka sosialisasi program jaminan sosial dan
keterbukaan informasi.

1. Apa itu JKN dan BPJS Kesehatan dan apa bedanya?


JKN merupakan program pelayanan kesehatan terbaru yang merupakan kepanjangan dari
Jaminan Kesehatan Nasional yang sistemnya menggunakan sistem asuransi. Artinya, seluruh
warga Indonesia nantinya wajib menyisihkan sebagian kecil uangnya untuk jaminan kesehatan di
masa depan.

Bagaimana dengan rakyat miskin? Tidak perlu khawatir, semua rakyat miskin atau PBI
(Penerima Bantuan Iuran) ditanggung kesehatannya oleh pemerintah. Sehingga tidak ada alasan
lagi bagi rakyat miskin untuk memeriksakan penyakitnya ke fasilitas kesehatan.

Sementara BPJS adalah singkatan dari Badan Penyelenggara Jaminan Sosial. BPJS ini adalah
perusahaan asuransi yang kita kenal sebelumnya sebagai PT Askes. Begitupun juga BPJS
Ketenagakerjaan merupakan transformasi dari Jamsostek (Jaminan Sosial Tenaga Kerja).

Antara JKN dan BPJS tentu berbeda. JKN merupakan nama programnya, sedangkan BPJS
merupakan badan penyelenggaranya yang kinerjanya nanti diawasi oleh DJSN (Dewan Jaminan
Sosial Nasional).

2. Siapa saja saja peserta JKN?


Sesuai Undang-undang Nomor 40 tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN),
dengan adanya JKN, maka seluruh masyarakat Indonesia akan dijamin kesehatannya. Dan juga
kepesertaanya bersifat wajib tidak terkecuali juga masyarakat tidak mampu karena metode
pembiayaan kesehatan individu yang ditanggung pemerintah.

3. Berapa iuran untuk Karyawan, PNS, TNI/POLRI, pedagang, investor, pemilik usaha atau
perusahaan atau pihak yang bukan Penerima Bantuan Iuran ?
Sesuai Peraturan Presiden Nomor 111 Tahun 2013 jenis Iuran dibagi menjadi:
- Iuran Jaminan Kesehatan bagi penduduk yang didaftarkan oleh Pemerintah daerah dibayar oleh
Pemerintah Daerah (orang miskin dan tidak mampu).
- Iuran Jaminan Kesehatan bagi peserta Pekerja Penerima Upah (PNS, Anggota TNI/POLRI,
Pejabat Negara, Pegawai pemerintah non pegawai negeri dan pegawai swasta) dibayar oleh
Pemberi Kerja yang dipotong langsung dari gaji bulanan yang diterimanya.
- Pekerja Bukan Penerima Upah (pekerja di luar hubungan kerja atau pekerja mandiri) dan
Peserta bukan Pekerja (investor, perusahaan, penerima pensiun, veteran, perintis kemerdekaan,
janda, duda, anak yatim piatu dari veteran atau perintis kemerdekaan) dibayar oleh Peserta yang
bersangkutan.

Untuk jumlah iuran Jaminan Kesehatan bagi Peserta Pekerja Penerima Upah yang terdiri atas
PNS, Anggota TNI, Anggota Polri, Pejabat Negara, dan Pegawai Pemerintah Non Pegawai
Negeri akan dipotong sebesar 5 persen dari gaji atau Upah per bulan, dengan ketentuan 3 persen
dibayar oleh pemberi kerja, dan 2 persen dibayar oleh peserta.

Tapi iuran tidak dipotong sebesar demikian secara sekaligus. Karena secara bertahap akan
dilakukan mulai 1 Januari 2014 hingga 30 Juni 2015 adalah pemotongan 4 persen dari Gaji atau
Upah per bulan, dengan ketentuan 4 persen dibayar oleh Pemberi Kerja dan 0,5 persen dibayar
oleh Peserta.

Namun mulai 1 Juli 2015, pembayaran iuran 5 persen dari Gaji atau Upah per bulan itu menjadi
4 persen dibayar oleh Pemberi Kerja dan 1 persen oleh Peserta.
Sementara bagi peserta perorangan akan membayar iuran sebesar kemampuan dan
kebutuhannya. Untuk saat ini sudah ditetapkan bahwa:
- Untuk mendapat fasilitas kelas I dikenai iuran Rp 59.500 per orang per bulan
- Untuk mendapat fasilitas kelas II dikenai iuran Rp 42.500 per orang per bulan

Pembayaran iuran ini dilakukan paling lambat tanggal 10 setiap bulan dan apabila ada
keterlambatan dikenakan denda administratif sebesar 2 persen dari total iuran yang tertunggak
paling banyak untuk waktu 3 (tiga) bulan. Dan besaran iuran Jaminan Kesehatan ditinjau paling
lama dua tahun sekali yang ditetapkan dengan Peraturan Presiden.

4. Fasilitas apa saja yang didapat jika ikut JKN?


A. Untuk peserta PBI (Penerima Bantuan Iuran)
- Pekerja penerima upah ( PNS, Anggota TNI/POLRI, Pejabat Negara, Pegawai Pemerintah non
Pegawai Negeri dan Pegawai Swasta, akan mendapatkan pelayanan kelas I dan II
- Pekerja bukan penerima upah (Pekerja di luar hubungan kerja atau pekerja mandiri, karyawan
swasta) akan mendapatkan pelayanan kelas I, II dan III sesuai dengan premi dan kelas perawatan
yang dipilih.
- Bukan pekerja (investor, pemberi kerja, penerima pensiun, veteran, perintis kemerdekaan serta
janda, duda, anak yatim piatu dari veteran atau perintis kemerdekaan. Termasuk juga
wirausahawan, petani, nelayan, pembantu rumah tangga, pedagang keliling dan sebagainya) bisa
mendapatkan kelas layanan kesehatan I, II, dan III sesuai dengan premi dan kelas perawatan
yang dipilih.

B. Penerima Bantuan Iuran (PBI)


Orang yang tergolong fakir miskin dan tidak mampu yang dibayarkan preminya oleh pemerintah
mendapatkan layanan kesehatan kelas III

5. Apakah sistem pelayanan BPJS misalnya mengurus obat bisa lama dan dilempar sana-sini?
Direktur Kepersertaan BPJS, Sri Endang Tidarwati mengatakan bahwa sistem pelayanan BPJS
akan lebih baik karena didukung oleh SDM yang banyak dan terlatih. Sementara bila semua data
lengkap dan seluruh isian dalam formulir sudah terisi dengan baik, pihak BPJS (Badan
penyelenggara Jaminan Sosial) mengklaim prosedur pendaftaran menjadi peserta JKN (Jaminan
Kesehatan Nasional) cukup 15 menit.

6. Apakah tenaga kesehatan akan bersikap ramah terhadap peserta JKN?


Menteri Kesehatan menyampaikan, bila ada satu RS yang dokternya galak, maka pasien ini
boleh pindah ke RS yang memiliki dokter yang ramah dan melayani dengan baik. Menkes
mengatakan, lama-lama jumlah pasien di dokter galak tersebut akan berkurang. Sementara
dokter yang melayani dengan baik dan gembira, jumlah pasien dan pendapatannya meningkat.

7. Manfaat dan layanan apa saja yang didapat peserta JKN?


Manfaat JKN mencakup pelayanan pencegahan dan pengobatan termasuk pelayanan obat dan
bahan medis habis pakai sesuai dengan kebutuhan medis. Seperti misalnya untuk pelayanan
pencegahan (promotif dan preventif), peserta JKN akan mendapatkan pelayanan:
- Penyuluhan kesehatan, meliputi paling sedikit penyuluhan mengenai pengelolaan faktor risiko
penyakit dan perilaku hidup bersih dan sehat.
- Imunisasi dasar, meliputi Baccile Calmett Guerin (BCG), Difteri pertusis tetanus dan Hepatitis
B (DPT-HB), Polio dan Campak.
- Keluarga Berencana, meliputi konseling, kontrasepsi dasar, vasektomi dan tubektomi - Skrining
kesehatan diberikan secara selektif yang ditujukan untuk mendeteksi risiko penyakit dan
mencegah dampak lanjutan dari risiko penyakit tertentu.
- Jenis penyakit kanker, bedah jantung, hingga dialisis (gagal ginjal).

8. Alur pembuatan kartu BPJS Kesehatan seperti apa?


Direktur Pelayanan PT Askes Fadjriadinur mengatakan bahwa Anda bisa datang ke kantor BPJS
(Badan Penyelenggara Jaminan Sosial) kemudian melakukan hal berikut:
1. Mengisi formulir pendaftaran
2. Pembayaran premi
Anda akan diberikan virtual account atau kode bank untuk pembayaran premi pertama yang bisa
dilakukan melalui ATM atau bank terdekat yang saat ini sudah bekerjasama yaitu bank BRI, BNI
dan Mandiri.
Untuk biaya premi peserta mandiri dengan perawatan kelas 3, sebulan hanya Rp 25.500 per
orang, untuk perawatan kelas II sebulan Rp 42.500 per orang dan perawatan kelas I sebesar Rp
50.000 per orang.
Adapun besaran premi pada kelompok pekerja sebesar 5 persen dari gaji pokoknya, 2 persen
dibayarkan oleh yang bersangkutan dan 3 persen dibayarkan oleh perusahaan tempat pekerja
bekerja.

3. Mendapat kartu BPJS Kesehatan yang berlaku di seluruh Indonesia


Setelah membayar premi, nantinya Anda akan mendapat kartu BPJS Kesehatan yang menjadi
bukti bahwa Anda merupakan peserta JKN. Saat ini fasilitas kesehatan yang dimiliki pemerintah
otomatis melayani JKN. Sementara fasilitas kesehatan milik swasta yang dapat melayani JKN
jumlahnya terus bertambah. Hanya tinggal sekitar 30 persen saja yang belum bergabung.

9. Bagaimana dengan fasilitas kesehatan swasta?


Pemerintah dan pemerintah daerah dapat memberikan kesempatan kepada swasta untuk berperan
serta memenuhi ketersediaan fasilitas kesehatan dan penyelenggaraan pelayanan kesehatan.

10. Bagaimana alur pelayanan kesehatan, katanya tidak boleh langsung ke rumah sakit?
- Untuk pertama kali setiap peserta terdaftar pada satu fasilitas kesehatan tingkat pertama
(Puskesmas) yang ditetapkan oleh BPJS Kesehatan setelah mendapat rekomendasi dinas
kesehatan kabupaten/kota setempat.
- Dalam jangka waktu paling sedikit 3 (tiga) bulan selanjutnya peserta berhak memilih fasilitas
kesehatan tingkat pertama yang diinginkan.
- Peserta harus memperoleh pelayanan kesehatan pada fasilitas kesehatan tingkat pertama tempat
peserta terdaftar, kecuali berada di luar wilayah fasilitas kesehatan tingkat pertama tempat
peserta terdaftar atau dalam keadaan kegawatdaruratan medis.

Direktur Pelayanan PT Askes Fadjriadinur menambahkan, bila sudah aktif menjadi peserta, alur
pelayanan menggunakan pola rujukan berjenjang yang dimulai dari sistem layanan primer
hingga tersier. 11. Siapa yang menjamin program JKN akan berlangsung baik tanpa korupsi?
Pengawasan terhadap BPJS dilakukan secara eksternal dan internal. Secara eksternal,
pengawasan akan dilakukan oleh DJSN (Dewan Jaminan Sosial Nasional) dan Lembaga
pengawas independen. Dan secara internal, BPJS akan diawasi oleh dewan pengawas satuan
pengawas internal.

12. Bagaimana jika terjadi kelebihan atau kekurangan iuran?


- BPJS Kesehatan menghitung kelebihan atau kekurangan iuran jaminan kesehatan sesuai dengan
gaji atau upah peserta.
- Dalam hal terjadi kelebihan atau kekurangan pembayaran iuran sebagaimana dimaksud, BPJS
Kesehatan memberitahukan secara tertulis kepada pemberi kerja dan atau peserta selambat-
lambatnya 14 (empat belas) hari sejak diterimanya iuran.
- Kelebihan atau kekurangan pembayaran iuran diperhitungkan dengan pembayaran iuran bulan
berikutnya.

13. Bila peserta tidak puas dengan pelayanan yang diberikan, kemana harus mengadu?
Bila peserta tidak puas terhadap pelayanan jaminan kesehatan yang diberikan oleh fasilitas
kesehatan yang bekerjasama dengan BPJS Kesehatan, maka peserta dapat menyampaikan
pengaduan kepada penyelenggara pelayanan kesehatan dan atau BPJS Kesehatan. Atau dapat
langsung datang ke posko BPJS di kota dan desa. Ada juga hotline servis BPJS di nomor kontak
500-400.
(KF-Vey)
BPJS memiliki Salah satu terobosan terbaru dari sistem BPJS Kesehatan tingkat lanjutan adalah
penggunaan pola pembayaran Indonesia Case Based Groups (INA CBG'S). Sistem ini diterapkan
sesuai Perpres No 11/2013 hasil revisi Perpres No 12/2013 tentang Jaminan Kesehatan, sistem
pola pembayaran INA CBG'S ini sangat bermanfaat dengan tarif terstandardisasi dalam Jaminan
Kesehatan Nasional (JKN). Karena, pola INA CBG'S merupakan sistem pengelompokan
penyakit berdasarkan ciri klinis yang sama dan bersumber daya yang digunakan dalam
pengobatan. Contoh saja, ketika pasien datang dan memeriksa keluhan, si pasien bakal segera
mengetahui berapa tarif yang harus dibayar atas penyakit yang diderita tersebut. Hal ini
memudahkan pendataan dan penangani serta melayani pasien dengan baik. Pola inilah yang
nantinya terus dibenahi dan diperbaiki ditubuh BPJS kesehatan untuk menjadi suatu badan
penyelenggara jaminan sosial yang mampu melindungi serta mensejahterakan pekerja dan
masyarakat secara berkualitas. Pola tersebut juga diharapkan akan memudahkan bagi pelayanan
ketersediaan obat terhadap pasien. Karena, pelayanan obat, alat kesehatan, dan bahan medis
habis pakai pada fasilitas kesehatan rujukan tingkat lanjutan menjadi satu komponen dalam pola
pembayaran INA CBG'S.

Meskipun iurannya murah, pelayanan BPJS masih banyak kelemahan dan tidak sebaik asuransi
kesehatan. Masalahnya, semua orang wajib ikut BPJS Kesehatan dan akan ada sanksi bagi yang
menolak ikut.

Apa yang bisa dilakukan untuk mengantisipasi pelayanan BPJS yang buruk ?

Sesuai aturan, perusahaan wajib mendaftarkan karyawannya di BPJS Kesehatan per 1 Januari
2015. Sudah ada kesepakatan antara BPJS Kesehatan dan APINDO (Asosiasi Pengusaha
Indonesia). Jika tidak mendaftar akan ada sanksinya bagi perusahaan.

Buat semua masyarakat, BPJS mematok target 2019 bahwa semua sudah harus menjadi peserta
BPJS Kesehatan. Akan ada sejumlah sanksi bagi yang tidak menjadi peserta.

Kewajiban ini menimbulkan reaksi yang berbeda – beda dari setiap perusahaan.

Reaksi pertama, meskipun menambah biaya, beberapa perusahaan memilih mempertahankan


asuransi kesehatan yang sudah ada sekaligus memberikan BPJS sebagai fasilitas tambahan. Ini
solusi yang ideal karena karyawan mendapat tambahan fasilitas kesehatan.

Reaksi kedua, tidak sedikit perusahaan yang akan menghentikan fasilitas asuransi kesehatan
yang lama dan mengalihkannya ke BPJS. Alasannya: (a) bagi pegawai negeri itu sudah
kewajiban untuk beralih dari ASKES ke BPJS; (b) buat swasta, biaya yang besar jika perusahaan
harus membayar dua fasilitas kesehatan sekaligus.

Penghentian asuransi kesehatan dan pengalihan ke BPJS sebenarnya tidak akan jadi masalah
selama kualitas layanan BPJS setara dengan kualitas layanan asuransi kesehatan yang
selama ini dinikmati karyawan.

Pertanyaanya, apakah kualitas pelayannya setara ? Jika kualitasnya belum baik, apa langkah
yang bisa dilakukan ?

Layanan BPJS

Meskipun iuran murah dan cakupan luas (selengkapnya baca disini), namun manfaat dan
pelayanan BPJS kesehatan berbeda dari asuransi kesehatan swasta dan ASKES (dulu asuransinya
pegawai negeri), terutama pada hal – hal berikut ini:

Pertama, BPJS menerapkan alur pelayanan dengan rujukan berjenjang. Sebelum ke rumah sakit
atau dokter spesialis, peserta wajib terlebih dahulu ke fasilitas kesehatan (faskes) tingkat I yang
telah ditunjuk, yaitu puskesmas, dokter keluarga atau klinik, untuk mendapatkan surat rujukan.
Kecuali gawat darurat, peserta tidak bisa langsung ke rumah sakit atau dokter spesialis.

Selama masalah kesehatan peserta bisa ditangani oleh faskes I, maka peserta tidak perlu dirujuk
ke rumah sakit atau dokter spesialis. Keputusan merujuk ke rumah sakit adalah kewenangan
faskes I.

Kondisi yang sangat berbeda dengan proses di asuransi kesehatan. Dengan asuransi, peserta tidak
butuh rujukan dan bisa langsung ke rumah sakit atau dokter spesialis sesuai pilihannya.

Kedua, puskesmas, yang notabene menjadi titik awal semua proses berobat di BPJS, jam
kerjanya terbatas. Di akhir pekan, sabtu dan minggu, puskesmas tutup. Sementara, buat banyak
karyawan, terutama di kota besar, karena alasan kesibukan, pemeriksaan kesehatan baru bisa
dilakukan di akhir pekan saat libur.

Memang, peserta bisa ke faskes I lainnya, yaitu klinik atau dokter keluarga. Tapi, mereka ini
jumlahnya masih terbatas. Selain itu, karena puskesmas tutup di akhir pekan, beban faskes I
lainnya menjadi tinggi, imbasnya peserta harus antri panjang di sabtu dan minggu.
Ketiga, BPJS menetapkan bahwa peserta hanya boleh memilih satu faskes I untuk memperoleh
rujukan. Peserta tidak bisa ke sembarang faskes I meskipun itu faskes yang sudah kerjasama
dengan BPJS.

Kondisi ini, misalnya, menyulitkan buat peserta yang lokasi pilihan faskes I jauh dari tempat
bekerja atau dari rumah. Selain itu, jika sedang di luar kota dan akan berobat, peserta harus lebih
dahulu menghubungi kantor BPJS terdekat , yang kemudian akan menujukkan Faskes I mana
yang bisa melayani.

Peserta BPJS juga hanya bisa pergi ke rumah sakit yang disebutkan dalam surat rujukan dari
Faskes I. Misalnya, dari puskesmas harus ke RSUD yang sudah ditunjuk. Peserta tidak bisa
sembarang pergi ke rumah sakit lain meskipun rumah sakit tersebut kerjasama dengan BPJS.

Menurut teman pegawai negeri, dahulu PT ASKES juga menerapkan rujukan tapi permintaan
rujukan bisa dilakukan di semua puskesmas. Tidak ada ketentuan harus di puskemas tertentu. Di
era PT ASKES, peserta bisa memilih rumah sakit sesuai keinginan mereka selama rumah sakit
tersebut kerjasama dengan PT ASKES.

Keempat, peserta BPJS hanya bisa berobat di rumah sakit yang sudah kerjasama dengan BPJS.
Di rumah sakit yang belum kerjasama, peserta tidak bisa menggunakan jaminan kesehatan BPJS.

Masalahnya tidak semua rumah sakit swasta sudah kerjasama dengan BPJS. Daftar rumah sakit
yang sudah kerjasama bisa lihat disini.

Sementara, dengan asuransi kesehatan, peserta bisa berobat di semua rumah sakit. Di rumah
sakit yang sudah kerjasama dengan asuransi kesehatan, pembayaran cukup dilakukan dengan
menunjukkan kartu (cashless). Di rumah sakit yang belum kerjasama, pembayaran dengan sistem
reimbursement.

Kelima, fasilitas kamar BPJS hanya sampai kelas 1 (selengkapnya disini). Tidak ada fasilitas
kelas VIP keatas. Meskipun perawatan dan kualitas dokter tidak dibedakan antar kelas, namun
kenyamanan kamar tentunya berbeda antar kelas.

Dalam asuransi kesehatan, kelas kamar yang ditawarkan lebih tinggi. Peserta bisa menikmati
kelas VIP dan diatasnya.

Keenam, tantangan yang kerap dihadapi peserta BPJS dalam pelayanan kesehatan adalah: (1)
antri panjang di rumah sakit; (2) kesulitan mendapatkan kamar rawat inap karena kamar untuk
peserta BPJS sering penuh; (3) ada obat -obatan yang tidak dijamin oleh BPJS sehingga peserta
harus menanggung sendiri (4) meskipun seharusnya gratis – selama sesuai kelas – peserta
kadang masih harus membayar kelebihan plafond, yang jika tidak dibayar, rumah sakit
enggan melayani. Ini keluhan yang kerap muncul di media.

Kondisi ini terkait lonjakan peserta BPJS, yang telah mencapai 132 juta orang dan masih akan
terus bertambah. Kenaikkan permintaan dipicu oleh kewajiban perusahaan untuk ikut serta (ada
sanksi) dan murahnya iuran. Sementara itu, di sisi lain, ketersediaan kamar dan tenaga medis di
rumah sakit tidak bisa dengan cepat ditingkatkan, khususnya untuk peserta BPJS.

Kenapa saya tekankan peserta BPJS. Karena setiap berobat, rumah sakit biasanya menanyakan
peserta BPJS atau bukan.

Ini ada hubungannya dengan cara BPJS membayar klaim ke rumah sakit. Metode BPJS adalah
membayar tagihan rumah sakit sesuai standar biaya perawatan, yang sudah diputuskan oleh
pemerintah (nama skemanya INA-CBG), yang mungkin jumlahnya lebih rendah dari biaya
aktual rumah sakit. Metode ini disinyalir ikut mempengaruhi kemauan rumah sakit menyediakan
jumlah kamar untuk peserta BPJS.

Sementara itu, asuransi kesehatan membayar sesuai biaya aktual yang ditagih oleh rumah sakit.
Jarang sekali kita mendengar bahwa jumlah kamar kurang dalam pelayanan asuransi kesehatan.
Apa Bisa Dilakukan

Buat yang sudah pernah mendapatkan fasilitas asuransi kesehatan dari perusahaan, situasi ini
memunculkan dilema karena kualitas pelayanan BPJS yang kemungkinan tidak sebaik asuransi
kesehatan yang mereka nikmati selama ini.

Apa yang bisa dilakukan untuk mengantisipasi hal ini?

Pertama, karyawan tidak memanfaatkan BPJS sama sekali dan sebagai alternatif membeli
asuransi kesehatan sendiri. Kemudahan proses berobat di asuransi dipandang sebagai manfaat
yang lebih penting, meskipun harus membayar biaya tambahan. Untuk kesehatan banyak orang
rela mengeluarkan dana tambahan demi pelayanan yang lebih baik.

BPJS kesehatan bisa tetap digunakan sebagai jaga-jaga jika plafond asuransi kesehatan habis
atau untuk pengobatan penyakit – penyakit yang tidak ditanggung oleh asuransi.

Tertarik dan ingin tahu berapa biaya mengambil asuransi kesehatan, bisa minta infonya disini.

Kedua, memanfaatkan koordinasi manfaat antara BPJS dan asuransi kesehatan swasta.

Apa itu koordinasi manfaat? Peserta menggunakan BPJS, jika kemudian terdapat biaya tambahan
atau mengambil kelas kamar diatas standard BPJS, kelebihan biaya diklaim ke asuransi
kesehatan.

Asuransi kesehatan menanggung sisa tagihan yang tidak dijamin oleh BPJS, selama sisa tagihan
masih dalam batas plafond asuransi kesehatan. Dengan ini, peserta tidak perlu mengeluarkan
biaya tambahan.

Sebenarnya, koordinasi manfaat adalah hal lumrah antar perusahaan asuransi swasta. Ini terjadi
apabila pemegang polis punya lebih dari satu asuransi kesehatan.

Tapi, implementasinya antara BPJS Kesehatan dan asuransi kesehatan swasta tampaknya belum
jelas.

Sejauh ini yang saya pahami dari media. Meskipun sudah ada penandatanganan kerjasama
koordinasi manfaat antara 30 asuransi kesehatan swasta dengan BPJS, kendalanya adalah belum
ada pedoman pelaksana koordinasi manfaat. Padahal penetapan pedoman koordinasi manfaat ini
sangat penting, untuk memastikan karyawan atau peserta tidak kesulitan mendapat pelayanan
ketika diberlakukan koordinasi manfaat ini.

Jika ingin menggunakan cara ini, wajib memastikan ke pihak asuransi apakah koordinasi
manfaat dengan BPJS sudah berjalan. Pahami syarat-syaratnya dengan baik.

Ketiga, ini cara yang paling mudah, mengikuti program cash plan yang ditawarkan asuransi.

Cash plan adalah santunan harian yang dibayarkan jika peserta masuk rumah sakit. Bedanya
dengan asuransi kesehatan yang mengganti berdasarkan tagihan rumah sakit, penggantian cash
plan jumlahnya tetap regardless jumlah tagihan rumah sakit.

Keunggulan cash plan adalah prosesnya relatif lebih mudah. Peserta hanya perlu menunjukkan
berapa lama dirawat inap di rumah sakit. Asuransi akan mengganti sejumlah hari rawat inpat
dikali manfaat per harinya. Prosesnya tidak ribet dan tidak membutuhkan koordinasi antar pihak
untuk meng-klaim manfaat.

Biasanya, diluar kebutuhan BPJS, saya tidak menganjurkan cash plan sebagai asuransi kesehatan
utama karena jumlah penggantiannya relatif lebih kecil dibandingkan total tagihan rumah sakit
(selengkapnya baca disini).

Tapi, dalam kasus BPJS ini, karena sudah jaminan kesehatan utama, saya menyarankan cash plan
sebagai pendukung. Karena prosedurnya paling mudah dan biaya yang diganti hanyalah selisih
yang tidak dijamin oleh BPJS sehingga besar kemungkinan kekurangan biaya masih bisa dicover
uang dari cash plan.
Kesimpulan

BPJS itu inisiatif yang bagus untuk pemerataan kualitas layanan kesehatan buat seluruh lapisan
masyarakat. Iurannya murah dan coverage-nya luas.

Namun, kualitas pelayanan BPJS saat ini belum sebaik asuransi kesehatan dalam banyak hal. Ini
menimbulkan tantangan buat mereka, yang selama ini sudah menikmati asuransi kesehatan, yang
kemudian harus berganti ke BPJS.

Ada tiga cara yang bisa dilakukan pekerja menghadapi ini, yaitu (1) beli asuransi kesehatan; (2)
gunakan koordinasi manfaat antara BPJS dan asuransi, atau (3) ambil asuransi kesehatan dengan
skema cash plan. Pilih yang paling sesuai dengan kebutuhan dan budget.

Anda mungkin juga menyukai