Anda di halaman 1dari 13

PENEGAKKAN HUKUM OLEH KEJAKSAAN DALAM TINDAKAN PEMBERANTASAN

KORUPSI DI MASYARAKAT

Ivanda Normalita (18040564022)


Prodi Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial Dan Hukum
Universitas Negeri Surabaya
Email: ivandanormalita797@gmail.com

ABSTRAK
Korupsi merupakan kasus yang saat ini masih sering sekali terjadi dan membuat masyarakat menjadi
resah. Baik faktor internal dan faktor eksternal inilah yang menyebabkan seseorang melakukan tindakan korupsi.
Dari data yang ada ditemukannya kasus korupsi semakin meningkat di Indonesia dari mulai penjabat tingkat pusat
hingga pejabat tingkat terkecil, seperti di Sidoarjo korupsi yang dilakukan oleh pejabat daerah ini mencapai hingga
miliaran rupiah. Dengan hal ini Kejaksaan Negeri di Sidoarjo selalu mencari keberadaan para koruptor seperti Vigit
Waluyo yang melakukan korupsi di PDAM Delta Tirta Sidorjo. Vigit Waluyo juga sebagai mafia sepakbola yang
mengatur skor pemain sepakbola dibeberapa klub sepakbola tanah air. Maka dengan demikian korupsi yang
dilakukan oleh Vigit Waluyo melalui dua kasus yang berbeda akhirnya dia divonis dengan hukuman penjara. Dari
kasus Vigit Waluyo ini menambah penderitaan masyarakat Sidoarjo yang belum selesai akibat Lumpur Lapindo.
Tujuan peneltian ini adalah untuk mengungkap bagaimana mendeskripsikan tentang kasus korupsi yang telah
dilakukan oleh koruptor tersebut. KPK dan Kejaksaan sangat diperlukan untuk membantu pemberantasan korupsi,
namun kontrol dari masyarakat sendiri sangat diperlukan juga demi pencegahan terjadinya tindakan korupsi.
Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan penggumpulan data menggunakan studi pustaka dan teori
yang digunakan adalah Robert Klitgaard.

Kata Kunci: Hukum, Kejaksaan, Tindakan Korupsi.

PENDAHULUAN

Korupsi merupakan suatu tindakan yang mana melakukan penyalahgunaan suatu


kepercayaan dari seseorang, beberapa orang atau bahkan sekolompok masyarakat. Korupsi ini
sangatlah merugikan orang lain karena didalamnya mengambil suatu keuntungan untuk
memperkaya dirinya sendiri sehingga kepuasan yang ada dalam dirinya terpenuhi tanpa
memikirkan hak – hak orang lain, kebanyakan korupsi dilakukan oleh orang yang menduduki
jabatan (penyelenggara negara atau pegawai negeri) yang menyalahgunakan kewenangan serta
kekuasaan secara melakan hukum (Asy’ari, 2012). Maka korupsi sendiri identik dengan orang -
orang yang memiliki suatu kekuasaan terhadap orang lain. Kaufmann dan Vicente bermaksud
menunjukkan bahwa korupsi sendiri terbagi menjadi dua level yaitu makro dan mikro (Susanti,
2014), untuk faktor yang membuat seseorang melakukan korupsi, baik faktor internal maupun
eksternal. Beberapa contoh faktor internal yaitu sifat seseorang yang rakus dan kurang bersyukur
dengan apa yang dimiliki sehingga merasa selalu kurang dan mengambil hak yang bukan
milikinya demi kepuasan pribadi, tidak hanya itu gaya hidup yang mewah dan konsumtif yang
membuat seseorang akhirnya melakukan korupsi untuk terpenuhinya nafsu belaka. Sedangkan
untuk faktor eksternal sendiri misalnya karena lingkungan dimana seseorang dapat terpengaruhi
oleh rekan kerja sendiri, kemudian hukum yang tidak tegas sehingga membuat orang tidak takut
dengan melakukan korupsi dan sebagainya. Korupsi menjadi kejahatan internasional yang
bersifat trasnasional terorganisir secara tegas dirumashkan dalam Preambule UN Convention
Against Corruption 2003 (Siswanto, 2013), sehingga korupsi harus selalu diberantas dengan
segala upaya dengan tanggap dan cepat. Pada dasarnya korupsi merupakan sebuah musuh bagi
seluruh bangsa dunia (Haras Rasyid, 2010) . Di negara maju ketika pejabat negara tersebut
melakukan suatu korupsi maka dirinya akan merasa malu dan dikuncilkan oleh masyarakat dan
keluarganya sendiri, kebanyakan kasus di negara maju seorang yang melakukan korupsi bisa
mengakhiri hidupnya dengan cara bunuh diri. Mereka masih sadar bahwa harga diri melakukan
tindakan korupsi menjadi rendah dan diinjak – injak oleh masyarakat sekitar.

Sedangkan untuk Indonesia sendiri tindakan korupsi selalu meningkat dari tahun ke
tahun. Terbongkarnya orang – orang yang melakukan korupsi dengan mencapai nominal hingga
triliunan rupiah masih saja menjadi permasalahan yang belum selesai hingga kini. Data tentang
prestasi korupsi Indoensia menurut Indonesia Corruption Watch (ICW), kerugian negara akibat
tindak pidana korupsi mencapai Rp. 24 Triluin dengan kerugian negara terbesar menjadi tahun
2006 dengan nilai terbesar Rp. 14,4 triliun (Hafidz, 2011). Mirisnya tindakan korupsi itu sendiri
dilakukan oleh pejabat, mulai dari pejabat yang ada di pusat pemerintah hingga di desa. Korupsi
dilakukan tidak hanya satu orang melainkan terdiri dari beberapa orang rekan – rekannya dengan
cara sistematis dan terstruktur. Berbagai upaya untuk memberantas tindakan korupsi sudah
dilakukan oleh beberapa lembaga negara, namun justru semakin banyak para koruptor baru,
masyarakat seringkali geram dan perihatin akan tindakan koruptor yang selalu bermain drama
dalam kasusnya, ada saja ulah yang dilakukan para koruptor ini untuk mengancam lembaga
pemberantasan korupsi agar bekerja tidak baik, contohnya saja kasus Novel Baswedan maka
tidak heran apabila masyarakat menyebut para koruptor sebagai tikus berdasi yang moralnya
hilang. Di sisi lain hukum yang kurang tegas dalam menindak para koruptor yang membuat
kasus korupsi masih merajalela serta timbul koruptor – koruptor baru. Atas upaya tindakan yang
masih belum terselesaikan masyarakat seringkali berperan untuk membantu pemberantasan
tindakan korupsi, misalnya dengan dilakukan kampanye untuk melakukan tindakan anti korupsi
baik secara langsung ataupun melalui media sosial. Sebagian besar hasil yang dikorupsi itu
bersumber dari Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APB) atau Anggaran Pendapatan dan
Belanja Daerah (APBD), dalam wujud pengadaan barang dan jasa, serta juga berasal dari kasus
suap (Syamsudin, 2010).

Di Jawa Timur sendiri korupsi juga masih banyak dilakukan misalnya saja di kota
Malang, Surabaya, Sidoarjo. Sidoarjo merupakan salah satu kota yang saat ini menjadi kota
industri, kota yang berbatasan langsung dengan kota Surabaya ternyata juga terdapat pejabat –
pejabat yang melakukan tindakan korupsi. Korupsi yang dilakukan mulai dari nominal jutaan
hingga pada milliayaran rupiah, hal ini membuat resah masyarakat karena belum selesai tragedi
dari lumpur lapindo hingga saat ini kemudian ditambah dengan korupsi pejabat. Seperti Vigit
Waluyo dia adalah koruptor dengan meminjam dana PDAM Delta Tirta Sidoarjo sebesar 3 miliar
serta terlibat dalam mafia sepak bola yang menjadi kasus trending akhir – akhir lalu.

Menurut masyarakat sendiri nominal yang dikorupsi oleh Vigit Waluyo sangat berarti bagi
masyarakat sendiri terutama bagi warga yang masih belum mendapatkan ganti rugi akibat
lumpur lapindo, hingga kini masyarakat Sidoarjo masih meresahkan para pejabat – pejabat yang
korupsi. Dimana pejabat yang seharusnya membantu permasalahan masyarakat malah justru
menambah masalah bagi masyarakat lagi, janji – janji yang telah dibuat pejabat untuk
kesejateraan masyarakat hanya menjadi sebuah ilusi. Hukum yang seharusnya memberi keadilan
bagi masyarakat kini hanya berpihak pada koruptor, hukuman yang telah diberikan Vigit Waluyo
menurut sebagaian masyarakat tak sebanding dengan apa yang telah dia lakukan.

Masyarakat Sidoarjo menginginkan adanya hukum yang tegas dalam menjalankan


sebagaimana fungsinya, bukan justru menambah penderitaan rakyat dengan menambah jumlah
pejabat yang korupsi menimbulkan masalah baru hingga kini. Apalagi yang dilakukan Vigit
Waluyo juga menganggu prestasi persepakbola dari Deltras dan beberapa klub sepakbola
lainnya, bagi masyarakat terutama sangat menyukai sepakbola sangat kecewa dengan tindakan
Vigit Waluyo yang sangat mempermainkan para pecinta sepakbola yang mana memainkan skor
dari permainan ini demi menghasilkan uang untuk kepuasaan dirinya sendiri. Dengan demikian
seharusnya vonis hukum dan denda harus seimbang dengan apa yang telah diperbuat oleh Vigit
Waluyo agar terciptanya keadilan bagi semua orang.
Korupsi yang semakin meningkat di daerah kabupaten atau kota membuat peneliti
mengambil kasus tindakan korupsi yang ada di kota Sidoarjo. Penelitian ini menganalisis
bagaimana penegakkan hukum oleh kejaksaan negeri mengenai tindakan korupsi yang dilakukan
oleh pejabat daerah kabupaten atau kota. Dimana penelitian ini mengambil sebuah kasus dari
Vigit Waluyo yang menjadi buronan atas tindakan korupsi yang dilakukan hingga mencapai
nominal miliran.

Sebelumnya ada juga kasus korupsi yang telah dilakukan orang – orang sebelum Vigit
Waluyo. Misalnya saja Nur Ahmad dan Abdul Mannan karena kasus korupsi tahun 2017 pada
proyek Pembangunan Tempat Sampah Terpadu atau yang biasa disebut dengan TPST di tiga
tempat yaitu Pasar Larangan, Pasar Taman dan Pasar Krian sebesar Rp. 586.856.000,-.Dengan
demikian maka UU RI No 30 Tahun 2002 pasal 3 dan pasal 4 yang mana membahas tentang
Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dengan ini menyatakan bahwa tindakan korupsi
sebagai kejahatan yang luar biasa (Yasmirah mandasari, 2018). Maka Indonesia masih berupaya
untuk mencegah dan mengurangi kasus korupsi dengan berbagai upaya misalnya pencegahan
korupsi melalui sosialisasi terhadap generasi bangsa yang mana sosialisasi ini dimulai dengan
lembaga- lembaga sosial yang ada di masyarakat, sehingga generasi bangsa sejak dini diajarkan
mengenai dampak korupsi yang nantinya diharapkan generasi bangsa tidak melakukan tindakan
korupsi.

Korupsi merupakan salah satu kasus yang saat ini masih belum terselesaikan. Hal ini
menjadikan KPK dan Kejaksaan harus bekerja keras dalam memberantas tindakan korupsi. Akan
tetapi ketika lembaga – lembaga tersebut sudah melakukan segala upaya untuk memberatas
korupsi dan sistem hukum yang ada masih saja lemah maka korupsi tidak akan dapat
terselesaikan. Sungguh miris dimana setiap tahun koruptor – koruptor baru bermunculan ke
permukaan publik dengan menggelapkan dana masyarakat hingga triliun rupiah, tidak heran jika
masyarakat menjadi kecewa dengan pemerintah yang ada. Teori Robert Klitgaard membuat kita
mengetahui suatu tindakan korupsi dengan mengunakan CDMA yakni Corruption = Directionary
+ Monopoly – Accountability. Sebuah tindakan korupsi dilakukan karena kurangnya rasa
akuntabiitas dari orang tersebut.

METODE
Penelitian ini dilakukan dengan metode kualitatif dengan menggunakan pengumpulan
data dari studi pustaka untuk mendukung penelitian ini. Studi pustaka sendiri adalah suatu
pengumpulan informasi dari berbagai media, studi pustaka ini digunakan sebagai rujukan di
dalam penelitian dilakukan sehingga penelitian ini menjadi kajian yang ilmiah. Media yang
digunakan berupa artikel, jurnal, buku, dan lain – lainnya. Kemudian analisis yang dilakukan
dengan cara deskriptif artinya data yang telah ada dibahas dengan penjabaran yang jelas.

Kemudian teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori korupsi menurut Robert
Klitgaard. Menurut teori ini sebuah tindakan korupsi terjadi karena adanya suatu faktor
kekuasaan dan monopoli yang tidak disertai dengan akuntabilitas. Dari sini Robert Klitgaard
memberikan sebuah singkatan yaitu CDMA, yang mana artinya Corruption = Directionary +
Monopoly – Accountability. Dengan demikian maka keterkaitan antara kasus Vigit Waluyo
dengan teori Robert Klitgaard sangat serasi. Dimana tindakan yang dilakukan oleh Vigit Waluyo
yang merupakan pekerja di PDAM Delta Sidoarjo dan pengurus di beberapa klub sepakbola,
seperti diketahui maka Vigit Waluyo memiliki kekuasaan yang cukup tinggi dan dapat
memainkan monopoli di pemeritahan daerah Sidoarjo. Akan tetapi sayangnya Vigit Waluyo
tidak memiliki rasa tanggungjawab terhadap amanat dari masyarakat, sehingga kurangnya
akuntabilast membuat Vigit Waluyo melakukan sebuah tindakan korupsi dengan jumlah yang
besar.

HASIL DAN PEMBAHASAN

1. Kejaksaan Tinggi
Kejaksaan dan Komisi Pemberantas Korupsi (KPK) adalah lembaga hukum yang
menjadi sebuah jalan untuk memberantas tindakan korupsi. Dimana kedua lembaga
tersebut menjadi harapan bagi masyarakat Indonesia agar para koruptor ditangkap, KPK
juga menjadi lembaga yang sangat ditakuti oleh para koruptor dan kantor lembaga KPK
sendiri berada ada di Jakarta. Sedangkan di daerah seperti kota atau provinsi maka
Kejaksaan Negeri yang menjadi lembaga yang menangkap para koruptor dan
menghukum vonis para Koruptor di daerah atau kota. Kejaksaan Tinggi dan KPK
bekerjasama dalam menangkap para koruptor dari pejabat mulai dari tingat pusat hingga
tingkat pedesaan sendiri.
Dalam menindak lanjuti sebuah kasus korupsi di Indonesia, Kejaksaan dibagi
menjadi 3 sesuai dengan Undang – Undang No 16 Tahun 2004 yang membahas tentang
susunan Kejaksaan Republik Indonesia yaitu Kejaksaan Agung yang berada di ibu kota,
Kejaksaan Tinggi berada di ibu kota provinsi, dan Kejaksaan Negeri berada pada wilayah
kota atau kabupaten. Kejaksaan Negeri juga merupakan salah satu dari lembaga hukum
yang menanggulangi masalah – masalah di masyarakat. Kejaksaan Negeri ini memiliki
peranan penting terutama untuk memberantas tindak korupsi di daerah kabupaten atau
kota yang ada di Indonesia, dalam mekanisme pencarian koruptor maka dilakukan oleh
Intelijen Kejaksaan yang mana Intelijen tersebut diberi tugas oleh Jaksa secara diam –
diam, kemudian Intelijen memberikan laporan informasi dan data mengenai korupsi yang
dilakukan oleh koruptor, dengan ini maka kasus korupsi dapat ditemukan lalu
penangkapan koruptor dilakukan dan hakim menjatuhi vonis. Orientasi hakim dalam
menjalankan hukum juga sangat menentukan keberhasilan hakim dalam memutuaskan
perkara korupsi di pengadilan (Syamsudin, 2011), sehingga hakim harus mejatuhkan
sebuah vonis dengan benar dan sesuai dengan Undang – Undang yang ada di Indonesia.
Kejaksaan Negeri yang ada di daerah sangat membantu KPK dalam menangkap
para koruptor tersebut. Karena sejatinya hukum harus ditegakkan, diketahui bahwasanya
korupsi yang ada di Indonesia masih tinggi dan mengakibatkan kerugiaan bagi negara
yang menghambat pertumbuhan perekonomian, maka sudah selayaknya hukum harus
berjalan sebagaimana fungsinya. Menurut UU RI No 30 Tahun 2002 tentang korupsi
yang merupakan sebuah tindak kejahatan, sehingga kasus korupsi harus benar – benar
diberantas. Kemudian Kejaksaan Negeri harus memberikan sanksi terhadap hukuman
vonis dan denda yang sesuai dengan ketentuan Undang – Undang yang berlaku, dan
melakukan prosedur yang benar dalam penangkapan para koruptor agar tidak muncul
koruptor – koruptor baru.
2. Hukum Dan Masa Depan Negara
Kasus korupsi yang sampai saat ini belum kunjung selesai menandakan bahwa
hukum yang ada di Indonesia masih belum maksimal, sosiologi melihat hukum yang ada
di Indonesia masih terlalu lemah untuk memberantas korupsi dimana bisa dilihat dari
tahun ke tahun korupsi selalu bertambah, parahnya terkadang hukum hanya memihak
pada yang berkuasa dan kepentingan para golongan. Dari banyak kasus yang terjadi
orang yang mencuri lebih berat hukumannya dibandingkan mereka yang korupsi. Ketika
banyak media yang menginformsikan sebuah koruptor yang bisa berjalan – jalan dan
hidup dalam tahanan yang mewah jika dibandingkan mereka yang hanya mencuri
makanan atau sebagainya lebih berat hukumannya.
Pada dasarnya hukum harus adil dan tidak boleh memihak seseorang karena di
depan hukum semua orang itu sama, Dengan ini maka hukum harus dibenahi dalam
penerapannya, para koruptor melakukan tindakan tersebut karena mereka tidak takut
dengan hukum yang tidak tegas. Sehingga mereka berfikir untuk melakukan tindak
korupsi demi memenuhi keinginannya, tentu hal ini menjadikan hukum moral yang ada
dalam diri manusia tidak berfungsi dengan baik. Seorang manusia dalam jiwanya
memiliki hati nurani yang mana membedakan antara benar dan salah, ketika seseorang
melakukan kesalahan dan mengalahkan hati nuraninya maka sebenarnya hal itu
dikalahkan oleh nafsunya. Manusia sendiri sudah pasti memiliki nafsu yang ingin dapat
memenuhi segalanya dan memberikan dirinya kebahagian. Ketika manusia melakukan
korupsi maka disisi lain dirinya mengetahui bahwa dirinya salah namun disisi lain
mereka bahagia mendapatkan sesuatu yang ingin mereka dapatkan. Sosiologi hukum
memandang bahwa tidak seharusnya hukum berjalan seperti itu, maka sosiologi
memberikan sebuah solusi – solusi dalam kebijakan hukum itu sendiri, di dalam sosiologi
sendiri ada penelitian yang mana memecahkan masalah tentang tindakan atau motif yang
menjadi penyebab dari seorang yang melakukan korupsi, maka dari sini dapat membantu
kasus korupsi yang sampai saat ini semakin meningkat jumlah kasusnya.
Dengan demikian yang ada di teori sosiologi mengenai teori CDMA yang mana
membahas mengani akuntabilitas seorag terutama penjabat membuat seseorang
melakukan sebuah tindakan korupsi, dari sini bisa dilihat bahwa sebuah sistem hukum
yang tidak benar dan terganggu maka akan mempengaruhi sistem yang lainnya. Yang
artinya bahwa sebuah sistem hukum yang tidak baik dan tidak berjalan dengan baik maka
akan mempengaruhi masa depan bangsa Indonesia, ketika hukuman untuk korupsi tidak
sesuai dengan ketentuan yang ada sehingga sistem hukum yang tidak berjalan baik sesuai
fungsinya serta ketentuannya maka akan menimbulkan pengaruh untuk masa depan
bangsa. Selain itu sistem hukum yang tidak benar membuat pejabat tidak akan takut
melakukan sebuah tindakan korupsi, hal ini menjadikan sebuah rasa akuntabilitas
seseorang menjadi hilang bahkan tidak memperhatikan amanah yang telah diberikan,
karena seseorang yang melakukan tindak pidana bedasarkan kesempatan yang dimiliki.
Artinya ketika kesempatan yang dimiliki besarm agar seseorang itu tidak melakukan
kejahatan, yang harus dilakukan adalah dengan memperbesar kemungkinan ditangkap,
dipidana dan dijatuhi dengan sanksi pidana yang besar (berat) pula (Pramono, 2013).
Dampak terbesar yang timbulkan dari korupsi tersebut menjadika masyarakat tidak
percaya lagi dengan pemeritahan yang ada. Sejatinya hukum sendiri harus diciptakan dan
diimplementasikan dengan adil dan sesuai ketentuan yang berlaku, hukum tidak boleh
dibeli dengan uang atau kekuasaan sehingga hukum tidak dikatakan hanya memihak pada
mereka yang berkuasa. Karena keadilan adalah milik semua manusia sebagaimana isi dari
Pancasila yang ke 5 yaitu Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia.
3. Kasus Korupsi Yang Dilakukan Di Daerah
Saat ini korupsi sangat marak terjadi dan masih menjadi topik hangat yang
dibicarakan oleh masyarakat, korupsi dilakukan oleh pejabat di tingkat pusat atau pejabat
tingkat daerah hal ini bisa dilihat dari banyaknya koruptor yang telah ditangkap oleh
KPK atau Kejaksaan Negeri. Seperti halnya Vigit Waluyo dia adalah salah satu dari
sekian koruptor yang ada di Sidoarjo, Vigit Waluyo sendiri melakukan dua kasus korupsi
yang berbeda dia terjun dalam dunia sepakbola hingga menjadi mafia skor sepak bola dan
korupsi uang PDAM yang ada di Sidoarjo. Dia merupakan seorang yang sangat dikenal
dalam publik terutama dalam dunia sepakbola dimana sepak terjang yang ia lakukan di
dunia sepakbola memiliki posisi yang penting juga seperti ketua PSSI Jawa Timur,
manager dalam klub sepakbola atau sebagainya. Tentu tidak heran jika Vigit Waluyo
berperan juga menjadi aktor pengaturan skor sepakbola di beberapa klub sepakbola yang
ada di Indonesia, Vigit Waluyo dikenal saat menjadi mafia sepakbola setelah disebut dari
media televisi dalam acara program Mata Najwa yang memberitakan tentang bagaimana
kasus yang marak tentang pengaturan skor sepakbola tanah air demi mendapatkan uang,
tentu masyarakat sangat marah serta kecewa apalagi bagi para pecinta persepakbola di
Indonesia. Kemudian di samping kasus tersebut ternyata dirinya menjadi koruptor di
PDAM Sidoarjo, tidak tanggung – tanggung korupsi yang dilakukan hampir mencapai
nominal Rp 3 miliar.
Vigit Waluyo menjadi buronan Kejaksaan Negeri di Sidoarjo, menjadi buronan
membuat Vigit Waluyo berpindah – pindah tempat demi mencari keamanan serta
menghindar dari kejaran Kejaksaan Negeri hingga akhirnya ia menyerahkan diri dengan
didampingi oleh dari keluarganya ke Kejaksaan Negeri Sidoarjo pada tahun 2018 dengan
kasus korupsi PDAM bukan kasus mengenai mafia pengaturan skor sepakbola. Dengan
Vigit Waluyo menyerahkan diri maka Kejaksaan Negeri Sidoarjo menetapkan hukuman
vonis penjara selama 1tahun 6bulan, kini ia mendekap dalam sel tahanan di Lembaga
Permasyarakatan atau biasa yang disebut LP di kelas 1A. Sungguh hal ini sangat ironis
mengingat Sidoarjo masih memiliki masalah Lumpur Lapindo yang hingga saat ini belum
selesai, ganti rugi juga masih belum terselesaikan bagi korban Lumpur Lapindo ini, uang
yang dikorupsi oleh Vigit Waluyo sangat dibutuhkan sekali oleh para korban Lumpur
Lapindo sendiri. Tindakan korupsi yang telah dilakukan Vigit Waluyo ini membuat
penderitaan masyarakat Sidoarjo bertambah, tentu tidak heran jika masyarakat
menginginkan adanya hukuman vonis dan denda lebih untuk kasus Vigit Waluyo.
Namun setelah kejadian dari kasus korupsi Vigit Waluyo ini dan penetapan
hukuman vonis oleh Kejaksaan Negeri Sidoarjo, tetap masih saja terdapat koruptor –
koruptor yang bermunculan kembali pada tahun 2019, hingga sampai saat ini Kejaksaan
Negeri Sidoarjo masih berusaha untuk mencari para koruptor yang masih berkeliaran. Hal
ini menjadi perhatian bagi masyarakat khususnya masyarakat Sidoarjo heran dengan
tindakan para pejabat yang masih saja terus melakukan maka tidak salah jika masyarakat
menganggap sistem hukum di Indonesia masih tetap lemah dan berjalan tidak baik
sampai saat ini.
4. Kontribusi Warga Negara Dalam Pemberantasan Korupsi
Korupsi masih menjadi permasalahan yang serius dialami oleh negara
berkembang termasuk Indonesia, karena koerupsi merebak di segala bidang dan sektor
kehidupan secara meluas, sistematis dan terorganisir dengan akibat timbulnya krisis
ekonomi, rusaknya sistem hukum dan menghambat jalannya pemerintahan yang bersih
dan demokratis (Ekayanti, 2015). Banyak sekali dampak yang ditimbulkan dari tindakan
korupsi, kemiskinan masih tinggi ketika tindakan korupsi terjadi maka kemiskinan
semakin tinggi lagi dan pembangunan di Indonesia menjadi terhambat karena dana yang
digunakan untuk pembangunan dan membiayai keperluan negara menjadi tidak
terealisasikan. Perekonomian juga sedikit terganggu karena tindakan korupsi ini, Selain
itu masih ada anak Indonesia yang masih putus sekolah dan perlu bantuan dari
pemerintah setempat untuk mendapatkan pendidikan, namun ketika uang tersebut
dikorupsi maka anak yang putus sekolah tetap tidak bisa mengenyam sebuah pendidikan
yang seharusnya dia dapatkan. Tindakan korupsi membuat sistem menjadi berjalan tidak
sesuai dengan fungsinya, sedangkan dampak yang ditimbulkan untuk keluarganya adalah
dimana ketika keluarganya mengetahui bahwa anggota keluarganya melakukan korupsi
maka akan dikucilkan oleh tetangga atau masyarakat sekitar.
Maka dari beberapa contoh dampak korupsi tersebut harus ada upaya yang harus
dilakukan dari semua warga negara, karena hukum juga tidak dapat berjalan dengan baik
ketika warga negara tidak berkontribusi juga terhadap masalah – masalah sosial.
Kontribusi semua masyarakat yang mencakup juga lembaga – lembaga sosial yang ada,
dimana semua aspek lembaga sosial sangat dibutuhkan dalam memberantas tindakan
korupsi. Mulai dari lembaga pendidikan yang mana menanamkan nilai dan karakter
dalam generasi muda agar kedepannya tidak melakukan tindakan korupsi, kemudian
lembaga masyarakat sebagai kontrol dalam mencegah terjadinya masyarakat yang
melakukan tindakan korupsi, lalu lemabaga keluarga sangat berperan penting dalam
menentukan anggota keluarganya dimana keluarga sebagai agen sosialisasi pertama yang
membentuk karakter dan menanamkan nilai moral terhadap anggota keluarganya
sehingga seseorang akan memiliki sikap yang baik dan sesuai norma yang ada di
masyarakat, kepekaan terhadap orang lain diajarkan dalam lembaga keluarga sendiri.
Selain itu lembaga agama juga diperlukan dalam kehidupan, dimana dalam agama
mengajarkan kebaikan untuk manusia dalam menjalankan kehidupannya, sehingga
manusia menjadi bisa lebih bersyukur dan memahami bahwasanya tindakan korupsi
merupakan suatu tindakan yang dibenci oleh Tuhan, maka dengan ini moral yang ada di
dalam seseorang tidak akan terkalahkan dengan ego atau nafsu dari seseorang itu sendiri
dan seseorang akan selalu merasa bersyukur bahkan bisa saling berbagi terhadap orang
lain.
Penegakkan yang telah dilakukan Kejaksaan Negeri dalam mencari para koruptor
bisa dikatakan sangat membantu dalam memberantas tindakan korupsi, Kejaksaan dapat
membantu KPK dalam menjalankan visi misi dari Indoensia sendiri sehingga KKN
(Korupsi Kolusi dan Nepotisme) dapat hilang di Indonesia, namun terkadang hukuman
vonis yang diberikan tidak sesuai dengan apa yang dilakukan oleh para koruptor.
Penegakkan yang dilakukan oleh lembaga hukum harus selalu ditingkatkan karena peran
penting dari lembaga hukum menentukan bagaimana tingkat kriminalitas di sebuah
negara. Karena koruptor sekarang melakukan tindakan korupsi dengan sistematis dan
terstruktur, maka Kejaksaan Negeri harus sangat bekerja keras dan hati – hati dalam
mencari informasi dan data – data dari para koruptor tersebut. Namun terhambatnya
dengan sistem hukum yang ada konstribusi dari masyarakat maupun Kejaksaaan Negeri
masih belum cukup karena terdapatnya koruptor – koruptor baru. Maka sudah sepatutnya
sistem hukum harus dibenahi agar membuat efek yang jerah terhadap para koruptor,
sehingga orang yang akan melakukan korupsi akan berpikir berkali – kali dalam
melakukan tindakannya. Peran pemerintah sangat dibutuhkan dalam penegakkan hukum
yang ada serta peran masyarakat juga sangat dibutuhkan untuk mendukung pemerintah
dalam menegakkan hukum yang ada.

PENUTUP

Kesimpulan

Korupsi sampai sekarang masih saja menjadi topic hangat yang terus dibicarakan oleh
masyarakat, tindakan korupsi yang masih dilakukan oleh pejabat seringkali membuat masyarakat
menjadi geram dan menambah beban bagi negara. Maka Komisi Pemberantas Korupsi (KPK)
dengan Kejaksaan setempat bekerjasama untuk menangkap para koruptor yang masih berkeliaran
dan harus mempertanggungjawabkan perbuatannya. Kejaksaan dibagi menjadi tiga yaitu
Kejaksaan Agung yang berada di pusat, Kejaksaan Tinggi berada di Ibu kota provinsi, dan
Kejaksaan Negeri yang berada di kabupaten atau kota. Mekanisme dalam penangkapan para
koruptor dilakukan oleh Intelijen yang diberi tugas oleh Jaksa, sehingga Intelijenlah yang
memberikan informasi mengenai para koruptor tersebut.

Seperti Vigit Waluyo seorang koruptor dari Sidoarjo yang melakukan korupsi di PDAM
dan menjadi mafia pengaturan skor sepakbola dibeberapa klub sepakbola Indonesia. Hingga
akhirnya ia menyerahkan diri ke Kejaksaan Tinggi Negeri di Sidoarjo pada tahun 2018 lalu,
seiring Vigit Waluyo menjalani hukuman maka baru – baru ini masih saja korupsi bermunculan
kembali dipermukaan kota Sidoaarjo tahun 2019 ini. Maka dengan ini sosiologi hukum mengkaji
bagaimana penyebab koruptor – koruptor ini masih saja bertambah, lemahnya hukum sampai
saat ini masih saja berlanjut bahkan seringkali adanya ketimpangan hukum terhadap masyarakat
pada status kelas yang telah dimilikinya. Untuk itu kontribusi dari seluruh warga negara sangat
dibutuhkan dalam memberantas tindakan korupsi yang terjadi, agar pertumbuhan di Indonesia
dapat maju.

DAFTAR PUSTAKA

Chairunnisa, Ninis. 2018 “Buron Kasus Korupsi Pinjaman PDAM Vigit Waluyo
Menyerahkan Diri”, dalam https://nasional.tempo.co/read/1160340/buron-kasus-korupsi-
pinjaman-pdam-vigit-waluyo-menyerahkan-diri/full&view=ok. Diakses 26 Agustus 2019.

Klitgaard, Robert.dkk.2005. PENUNTUN PEMBERANTASAN KORUPSI DALAM


PEMERINTAH DAERAH. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia

Ramadhani. 2018. “Profil Vigit Waluyo: Sepak Terjangnya di Sepakbola Indonesia Hingga
Menyerahkan ke Kejaksaan”, dalam https://banjarmasin.tribunnews.com/2018/12/31/profil-vigit-
waluyo-sepak-terjangnya-di-sepakbola-indonesia-hingga-menyerah-ke-kejaksaan?page=all.
Diakses 31 Agustus 2019.

Asy’ari, H. (2012). Dan Penguatan Kontrol Masyarakat. 1011211016(November), 34–44.

Ekayanti, R. (2015). Magister Hukum Udayana •. E-Issn 2502-3101 P-Issn 2302-528X, 4(138–
149), 11.

Hafidz, J. (2011). Sistem Pertanggungjawaban Perkara Korupsi Dalam Rangka Percepatan


Penyelamatan Uang Negara. Jurnal Dinamika Hukum, 11(Edsus).
https://doi.org/10.20884/1.jdh.2011.11.edsus.269

Haras Rasyid, M. (2010). KORUPSI DAN MASA DEPAN BANGSA (Suatu Pendekatan
Daruriyah al-khamsah). Jurnal Hukum DIKTUM, 8(2), 122–129.

Pramono, A. (2013). Kekuasaan Dan Hokum Dalam Perkuatan Pemberanta. 1, 105–113.

Siswanto, D. (2013). Korupsi Sebagai Bentuk Kejahatan Transnasional Terorganisir. Masalah-


Masalah Hukum, 42(1), 123–130. https://doi.org/10.14710/mmh.42.1.2013.123-130

Susanti, I. (2014). Refleksi Ilmu Hukum dalam Analisis Penegakan Hukum Pemberantasan
Korupsi di Indonesia. II(7), 123–133. Retrieved from
http://dinamikahukum.fh.unsoed.ac.id/index.php/JDH/article/download/282/274

Syamsudin, M. (2010). Faktor-Faktor Sosiolegal Yang Menentukan Dalam Penanganan Perkara


Korupsi Di Pengadilan. Jurnal Hukum Ius Quia Iustum, 17(3), 406–429.
https://doi.org/10.20885/iustum.vol17.iss3.art4

Syamsudin, M. (2011). Rekonstruksi Pola Pikir Hakim Dalam Memutuskan Perkara Korupsi
Berbasis Hukum Progresif. Jurnal Dinamika Hukum, 11(1).
https://doi.org/10.20884/1.jdh.2011.11.1.11

Yasmirah mandasari, S. P. H. (2018). Yasmirah Mandasari Saragih THE ANALYSIS JURIDIS


FOR AUTHORITY THE CORRUPTION ERADICATION Pembentukan Komisi
pemberantasan. Jurnal Ilmu Hukum, 05(2), 33–44.

Anda mungkin juga menyukai