Anda di halaman 1dari 2

Kontribusi Kecil Kaum Muda dalam Pengawasan terhadap Sektor

Perpajakan di Indonesia
Oleh : Muhammad Candra Fajar (Mahasiswa Fiskal UI 2011)

Sektor pajak merupakan sektor paling krusial dalam peranannya sebagai sumber pendanaan
belanja negara. Pajak hampir selalu menyumbang penerimaan paling besar dari keseluruhan penerimaan
negara di seluruh dunia, di Indonesia sendiri sektor pajak masih tetap paling dominan dalam menyokong
penerimaan negara dibanding sektor-sektor lain semacam penerimaan migas atau penerimaan non-migas.
Pajak menyumbang hampir 80% dari total penerimaan Indonesia. Pada tahun 2011, sektor pajak
menyumbang Rp 872,6 Trilyun1[1] dan pada 2012 sudah ditetapkan target penerimaan pajak pada APBN
2012 sebesar Rp 1.032,5 Trilyun yang kemudian diubah menjadi Rp 1.011 Trilyun dalam APBN-P 2012. 2
[2]
Penerimaan dari sektor pajak tidak bisa dilepaskan dari usaha fiskus dalam menjalankan
administrasi perpajakan dan kerelaan wajib pajak dalam menyerahkan sebagian pendapatannya untuk ikut
serta dalam pembangunan negara melalui pajak. Hasil dari penerimaan pajak tersebut yang nantinya
digunakan oleh pemerintah untuk menjalankan kegiatan dan belanja negara yang telah dirancang dalam
APBN.
Terlepas dari sumbangan sektor pajak yang sangat dominan di Indonesia, perlu diketahui bahwa
tahun 2011 realisasi penerimaan pajak Indonesia tidak mencapai target. Penerimaan pajak tahun 2011
sekitar 99,3% dari target yang telah ditentukan pemerintah dalam APBN-P 2011. Begitu pula ditahun
2012, terlihat dalam APBN-P target penerimaan sektor pajak diturunkan sebesar Rp 21 Trilyun. Padahal
harus tetap diingat juga bahwa Indonesia setiap tahunnya masih mengalami defisit anggaran. Penerimaan
masih belum bisa menutup semua pengeluaran yang ditetapkan pemerintah dalam APBN. Untuk tahun
2012 saja sisi pengeluaran negara ditargetkan sebesar Rp 1.418,4 Triyun sedangkan sisi penerimaan
ditarget sebesar Rp 1292,8 Trilyun.3[3] Terlihat bahwa pemerintah tahun 2012 menanggung defisit
sebesar Rp 125,6 Trilyun yang akan ditutup dari pinjaman dalam negeri maupun luar negeri.
Beberapa alasan dikemukakan terhadap permasalahan tersebut. Salah satunya adalah terbatasnya
sumber-sumber dana yang dihasilkan dari sektor pajak. Ini artinya dari sejumlah penerimaan dari sektor
pajak tersebut masih ada peluang untuk ditingkatkan dengan cara ekstensifikasi yakni dengan menambah
daftar wajib pajak baru sehingga efeknya juga akan menambah penerimaan negara sektor pajak. Sektor
pajak memang butuh dieksplorasi lebih mendalam agar menjadi sumber penerimaan negara yang dapat
menutup defisit anggaran.
Selain perlunya ekstenisifikasi, ada juga pendapat tentang intensifikasi. Sejumlah ahli
mengungkapkan penyebab kurangnya penerimaan dalam pajak yakni adanya oknum-oknum yang
bermain mengatur jumlah pajak yang harus dibayar oleh individu maupun badan tertentu. Beberapa
oknum secara nyata melakukan lobi-lobi untuk memperkecil nominal pajak mereka atau bahkan
menghilangkan beban pajak mereka seperti kasus-kasus penyuapan terhadap oknum di Direktorat
Jenderal Pajak (DJP) oleh rekanan perusahaan. Dana yang seharusnya masuk kas negara menjadi hilang
akibat negosiasi beberapa oknum yang hanya mementingkan diri sendiri. Keegoisan suatu oknum yang
ingin meraup keuntungan sebesar-besarnya tanpa mau ikut berpartisipasi dalam membangun negara
dengan membayar pajak. Kepentingan individu diletakkan diatas kepentingan negara. Sebuah keironisan

3
yang sangat susah dibayangkan ketika telah jelas anggaran negara kita masih defisit namun masih
melakukan tindakan korupsi yang merugikan negara.
Dengan keadaan seperti ini, lembaga pengawas seperti Direktorat Jenderal Pajak (DJP), Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK), Kepolisian atau lembaga pengawas lain yang mempunyai wewenang
untuk menindak oknum-oknum tersebut yang dianggap merugikan negara. Namun hambatan masih
menghadang para lembaga penegak hukum tersebut salah satunya yakni jumlah anggota mereka yang
sangat terbatas untuk mengawasi wilayah cakupan pengawasan yang sangat luas hingga pelosok daerah di
Indonesia. Sangat tidak ideal dari sisi jumlah. Maka dari itu, diperlukan juga lembaga pengawas
independen yang ikut membantu peran lembaga pengawas untuk mempersempit ruang gerak oknum-
oknum tersebut. Dibutuhkan lembaga independen seperti Indonesia Corruption Watch (ICW) yang ikut
ambil bagian dalam melakukan fungsi pengawasan. Disinilah peran pemuda-pemuda khususnya para
mahasiswa yang telah dibekali ilmu pajak sangat diperlukan.
Tindakan nyata yang bisa dilakukan para mahasiswa dalam keterlibatannya di dunia perpajakan
adalah mendirikan suatu lembaga sosial yang bergerak di bidang pengawasan sektor perpajakan. Dengan
lembaga independen tersebut, sebagai kalangan akademisi, mahasiswa dapat berperan aktif dalam upaya
membela negara dari oknum yang merugikan negara sesuai profesinya yakni mahasiswa. Hal tersebut
juga berarti menjalankan amanah Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 pasal 27 ayat 3.
Mereka dituntut bisa mengaplikasikan ilmu mereka untuk membantu peran lembaga pengawas
dalam mengawasi kegiatan-kegiatan dalam dunia perpajakan. Mereka bisa menyimpulkan manakah
kegiatan yang wajar, manakah kegiatan yang mencurigakan dalam penetapan beban pajak kepada
individu maupun perusahaan. Ketika menemukan indikasi ketidakberesan dalam penetapan pajak mereka
dapat melaporkan kejanggalan tersebut pada Direktoran Jenderal Pajak (DJP) maupun lembaga lain yang
berwenang. Dengan begitu, sinergi antara aparat pengawas serta mahasiswa sangat ideal dari segi jumlah
untuk melakukan pengawasan dengan cakupan sekuruh wilayah Indonesia.
Lembaga pengawas pajak independen merupakan wujud nyata dari aksi mahasiswa untuk
membantu sektor perpajakan Indonesia yang lebih baik. Selain berlajar teori dari kampus, dengan
lembaga tersebut mereka bisa langsung mempraktikkan teori yang didapat. Mahasiswa yang mempunyai
fungsi-fungsi sebagai Agent of Change, Iron Stock, Moral Force, dan Social Control harus benar-benar
melaksanakan fungsi-fungsinya.
Bagi lembaga pengawas, adanya lembaga independen dari mahasiswa tentu memberikan
keuntungan untuk fokus pada penanganan kasus tertentu yang perlu penganganan khusus. Bagi
mahasiswa, aksi ini tentu dapat menjadi tempat persiapan mencari pengalaman sebelum mereka benar-
benar terjun dalam dunia perpajakan selain itu juga menanamkan tindakan anti korupsi sejak tahap awal
sebelum mereka berkarir di dunia perpajakan. Lembaga terkait khususnya Direktorat Jenderal Pajak
hanya perlu memberikan training tambahan kepada para mahasiswa untuk melengkapi ilmu mereka.
Dengan simbiosis mutualisme tersebut bisa diciptakan dunia perpajakan yang lebih baik.
Jika tindakan ini benar-benar berhasil maka efek terbesar adalah meningkatnya jumlah
penerimaan negara. Dana-dana yang sebelumnya tidak masuk ke kas negara akan menjadi tambahan dana
penerimaan negara. Harapan terbesar tentu dengan meningkatnya penerimaan dari sektor pajak akan
mampu menutup defisit anggaran yang terjadi. Sebuah sistem besar memang harus dirancang untuk hasil
yang besar.

Anda mungkin juga menyukai