Anda di halaman 1dari 14

HUKUM DAN POLITIK

ANALISIS PEMBERLAKUAN PILKADA DAN PEMILU


SERENTAK TAHUN 2024

KELOMPOK 5 (LIMA)

1 >
ANGGOTA:
\ 1. Neila Farhataini NIM 8111419300
2. Fatin Atikah NIM 8111419301
3. Della Rolansa S NIM 8111419311
4. Faridho Fahri Anugri NIM 8111419322
5. Aditya Permana Putra NIM 8111419344
6. Tania Salma NIM 8111419346
7. Bayu Nugroho NIM 8111419351

2
HUKUM DAN POLITIK

LANDASAN PENYELENGGARAAN PEMILUKADA SERENTAK TAHUN


2024

Wacana penyelenggaraan pilkada serentak yang diadakan bersamaan dengan proses pemilu 2024 merupakan hasil dari
ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Wali Kota menjadi UndangUndang, yang
kemudian diubah menjadi Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2020 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-
Undang Nomor 2 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga atas UndangUndang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota
menjadi Undang-Undang Pasal 201 ayat (8) yang menyatakan bahwa, "Pemungutan suara serentak nasional dalam Pemilihan
Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota di seluruh wilayah Negara Kesatuan
Republik Indonesia dilaksanakan pada bulan November 2024“. Akan tetapi dalam pelaksanaannya tentu diperlukan
penyelarasan antar lembaga dan juga kerja kolektif yang pada akhirnya akan menyukseskan pesta demokrasi tersebut di
Indonesia.

3
LANJUTAN ……………
Apabila negara abai dalam melakukan dua hal tersebut tentu akan berakibat fatal seperti halnya pada proses pilkada serentak 2019
yang memakan banyak korban. Menurut data dalam pelaksanaan pilkada serentak 2019 setidaknya mengakibatkan 894 petugas
KPPS meninggal dunia dan 5175 petugas lainnya mengalami sakit akibat kelelahan. 9 Terlebih saat ini Indonesia masih berkutat
dalam masalah pandemi yang tidak kunjung tuntas. Padahal saat berbicara mengenai pemilu dan pilkada pasti akan
mengakibatkan kerumunan karena Indonesia belum mampu menyelenggarakan proses pemilihan menggunakan mekanisme E-
voting serta mengalami kendala berupa tidak meratanya jaringan internet di daerah. Tentu hal-hal teknis semacam itu juga harus
dipikirkan oleh pemerintah karena pandemi Covid-19 ini sendiri belum tahu sampai kapan akan selesai. Lebih lanjut proses pemilu
dan pilkada merupakan hak konstitusional masyarakat seperti yang diatur dalam beberapa pasal dalam Undang-Undang Dasar
1945 khususnya yaitu di pasal 28D ayat 3 yang berbunyi,”Setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam
pemerintahan”. Wujud nyata dari pemberlakuan pasal 28D ayat 3 tersebut adalah dengan dilaksanakan pemilu dan pilkada sebagai
manifestasi dan pendudukan yang sama bagi setiap masyarakat untuk bisa dipilih dalam proses pemilihan yang sah. Akan tetapi
patut diingat dengan adanya pemilu dan pilkada serentak 2024 akan mengakibatkan bertambahnya beban kerja petugas di
lapangan seperti halnya KPPS, penyaluran logistik, dan lain-lainnya

4
Pilkada yang seharusnya menjadi ajang untuk menumbuhkan demokrasi lokal, pada kenyataannya dengan pemberlakuan Pilkada
serentak tidak mendongkrak keinginan masyarakat untuk memiliki calon kepala daerah secara rasional. Setidaknya, terdapat 9
calon Bupati, calon Walikota dan calon Gubernur yang berstatus tersangka korupsi pada Tahun 2018 sedang ditangani oleh Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK). Pada Pilkada serentak 2015 dan 2018, Koalisi partai politik lokal sering bersifat transaksional yang
berarti bahwa partai politik digiring untuk membangun koalisi yang berdasarkan kepentingan politik jangka pendek pasca pemilu
legislatif Dilihat dari Pilkada serentak tahun 2015, yang seharusnya dapat menghemat biaya, justru jauh dari unsur pengehematan.
Di dalam operasional penyelenggaraan Pilkada serentak, biaya paling besar banyak dikarenakan anggaran belanja gaji
penyelenggara

5
DAN POLITIK
HUKUM

Fungsi Pelaksana Tugas Gubernur Atau Wakil Gubernur Di Daerah


Yang Sudah Purna Sebelum Tahun 2024

Pada tahun 2024 mendatang direncanakan akan diselenggarakan pemilu legislatif dan presiden. hal
itu tentu akan mempengaruhi daerah yang masa jabatan gubernur dan wakil gubernurnya habis
sebelum tahun 2024 dan mengakibatkan kekosongan jabatan. Maka agar roda pemerintahan tetap
berjalan jabatan Gubernur dilimpahkan kepada seorang Pelaksana Tugas (selanjutnya disebut Plt).
PLT dalam UU administrasi pemerintahan memiliki arti sebagai pejabat yang menempati jabatan yang
bersifat sementara dengan alasan pejabat definitif yang menempati jabatan sebelumnya telah
berhalangan dan belum dapat menjalankan tugas dari posisi jabatannya itu

6 < >
HUKUM DAN POLITIK

Pelaksana Tugas Gubernur berasal dari pejabat pimpinan tinggi madya Kementerian Dalam Negeri atau
Pemerintah Daerah Provinsi. Hal itu tentu akan menekan pemerintah agar lebih efektif lagi dalam memilih
para Pelaksana tugas pengganti kepala daerah yang sudah habis masa jabatannya agar tidak terjadi
abuse of power. Penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power) ini merupakan hal yang tidak asing lagi
dalam hal kekuasaan yang kaitannya dengan latar belakang kepentingan politik hukum. Abuse of power
merupakan suatu hal yang dilakukan oleh seorang oknum pejabat publik atau penguasa dengan
melakukan penyelewengan kekuasaan disertai agenda kepentingan tertentu. Pemerintah seharusnya
perlu memperhatikan banyak hal sebab power tugas dan kewenangan seorang gubernur dan wakil
gubernur, terutama saat mereka harus mengkomunikasikan program dengan DPRD, merumuskan prioritas
program dan membahas anggaran. Serta harus memikirkan efektivitas pembangunan daerah di bawah
para pelaksana tugas.

7
Hal ini berkaitan pula dengan Kewenangan Pelaksana Tugas yang
hanya melaksanakan tugas harian, tidak boleh mengambil keputusan
dan/atau tindakan strategis. Kewenangan pejabat PLT hanya sebatas
menjalankan kebijakan yang sudah ditetapkan oleh pejabat definitif.
Kewenangan yang dapat dilakukan oleh pejabat PLT sifatnya tidak
lebih dari sekedar tugas administratif. Selain itu PLT juga tidak
diperbolehkan membuat kebijakan strategis baru, apalagi mengubah
kebijakan yang sudah ditetapkan oleh pejabat definitif.

8
Dengan terbatasnya wewenang yang diberikan kepada PLT, pada
kenyataannya ia akan memiliki kekuatan politik yang sangat lemah. Salah satu
contoh yang dapat menggambarkan realitas tersebut ialah pada kasus di
Pangandaran dimana PLT yang ditunjuk berasal dari Eselon II, sehingga ia
dianggap masih junior dan belum mampu berkoordinasi dengan SKPD dan
masyarakat secara maksimal karena tidak memiliki kekuatan poltik

9
Isu mengenai pengangkatan PLT di masa transisi pilkada serentak ini
sebenarnya meninggalkan problematika yang cukup krusial.
Penelitian Perludem menunjukkan kekhawatiran penunjukkan PLT
kepala daerah akan membawa pada masalah turunan

10
Dalam penyelenggaraan urusan pemerintah, Pengaturan kewenangan pelaksana tugas (PLT) Gubernur
berkaitan dengan penerapan asas hukum tiada kewenangan tanpa pertanggungjawaban tidak
ditemukan pada praktik kewenangan pelaksana tugas (PLT) Gubernur karena secara konsep hukum
kewenangan pelaksana tugas (PLT) Gubernur merupakan bagian dari pelaksanaan kewenangan Mandat,
yang merupakan pelimpahan wewenang dari Mendagri kepada pelaksana tugas (PLT) Gubernur). Selain
itu pengaturannya tidak memenuhi penerapan asas kepastian hukum karena mengingat terjadinya
disharmonisasi norma/konflik norma karena Permendagri Nomor 74 Tahun 2016 bertentangan atau
terjadi disharmonisasi norma/konflik norma berkaitan dengan Surat Kepala BKN No. K.26-30/V.20- 3/99.

11
PENUTUP
Dalam politik, meraih jabatan publik adalah hal yang
niscaya.
Namun bila kegiatan yang bersifat kemanusiaan dan
advokasi publik tidak berjalan dengan baik maka
proses pelibatan masyarakat dalam berbagai pesta
politik untuk mendapatkan jabatan tertentu hanya
menyusahkan partai politik dan menimbulkan dua
problem sebagai ikutannya, yaitu,

12
(1) masyarakat terabaikan

(2) agenda pemenangan politik tak


mendapatkan dukungan masyarakat.

13
Kompleksitas persoalan Pemilu, mulai dari waktu, teknis
pelaksanaan, dan sumber daya manusia, harus jadi perhatian
utama.
Pengalaman Pemilu 2019, dimana banyak petugas KPPS yang
meninggal dunia, patut menjadi pertimbangan.
Para pengambil keputusan hendaknya betul-betul
mempertimbangkan keberlangsungan Pemerintah dan kesiapan
pelaksanaan Pemilu dan bukan hanya bagaimana meraih
kekuasaaan pada tahun 2024

14

Anda mungkin juga menyukai