Anda di halaman 1dari 16

BAB III

TINJAUAN UMUM TENTANG


KOMISI PEMILIHAN UMUM (KPU)

A. Kedudukan KPU dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia.


Pasca perubahan ketiga Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia (UUD NRI) Tahun 1945 yang ditetapkan pada tanggal 9
November 2001 telah melahirkan organ negara baru dalam sistem ketatanegaraan
di Indonesia. Konsep dan praktek ketatanegaraan saat ini terus mengalami
perkembangan seiring dengan kompleksitas persoalan ketatanegaraan yang
dihadapi banyak negara. Berdasarkan teori pemisahan kekuasaan konvensional,
struktur ketatanegaraan dibagi ke dalam tiga cabang kekuasaan negara yaitu
eksekutif, legislatif dan yudikatif.58 Dalam perkembangannya, seiring dengan
kompleksitas persoalan ketatanegaraan tersebut, maka di banyak negara
berkembang apa yang disebut independent regulatory boards atau independent
regulatory agencies dan atau ada yang menyebutnya independent regulatory
commissions serta auxiliary state organ.59
Munculnya komisi-komisi negara independen dimaksudkan pula untuk
menjawab tuntutan masyarakat atas terciptanya prinsip-prinsip demokrasi dalam
setiap penyelenggaraan pemerintahan melalui lembaga yang akuntabel,
independen, serta dapat dipercaya. Selain itu, faktor lain yang memicu
terbentuknya komisi negara independen adalah terdapatnya kecenderungan dalam
teori administrasi kontemporer agar negara dapat menyesuaikan diri dengan
sistem yang progresif-responsif dan terbuka terhadap perkembangan alur sistem
kenegaraan dalam kerangka pembenahan pengaturan trias politik.

58
Inu Kencana Syafiie, Pengantar lmu Pemerintahan, (Bandung: PT. Refika Aditama,
2005) h.112.
59
Jimly Asshiddiqie, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi,
(Jakarta: Konstitusi Press, 2006), h. 105

40
41

Khusus di Indonesia, pembentukan organ-organ negara baru yang sifatnya

independen (independent regulatory agencies) maupun sebatas sampiran negara

(state auxiliary agencies) sangat dipengaruhi oleh beberapa hal sebagai berikut:

1. Tiadanya kredibilitas lembaga-lembaga yang ada akibat asumsi dan bukti

mengenai korupsi yang sistemik, mengakar dan sulit diberantas;

2. Tidak independennya lembaga-lembaga yang ada karena salah satu atau lain

halnya tunduk di bawah pengaruh satu kekuasaan negara atau kekuasaan lain;

3. Ketidakmampuan lembaga-lembaga negara yang telah ada untuk melakukan

tugas-tugas yang urgen dilakukan dalam masa transisi demokrasi karena

persoalan birokrasi dan KKN;

4. Pengaruh global dengan pembentukan yang dinamakan auxiliary state

agencies atau watchdog institutions di banyak negara yang berada dalam

situasi menuju demokrasi telah menjadi suatu keharusan sebagai alternatif

dari lembaga-lembaga yang ada yang mungkin menjadi bagian dari sistem

yang harus direformasi;

5. Tekanan lembaga-lembaga internasional, tidak hanya menjadi prasyarat untuk

memasuki pasar global, tetapi juga untuk membuat demokrasi sebagai satu-

satunya jalan bagi negara-negara yang asalnya berada di bawah kekuasaan

yang otoriter. 60

Kecenderungan konstitusi membentuk lembaga-lembaga independen di

atas, di satu sisi menjadi tidak terelakkan karena lembaga negara yang ada

kinerjanya tidak memuaskan, terlibat korupsi, kolusi dan nepotisme. Di sisi lain,

lembaga yang ada tidak mampu bersikap independen dari pengaruh kekuasaan

lainnya.

60
Ni’matul Huda, Lembaga Negara dalam Masa Transisi Demokrasi, (Yogyakarta: UII
Press, 2007) h. 201-202
42

Perubahan yang paling mendasar adalah pada struktur kelembagaan


Negara, jika sebelum amandemen UUD dikenal adanya lembaga tertinggi yang
dipegang kewenangannya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat yang menjelma
juga sebagai pelaksana kedaulatan rakyat, dan juga lembaga tinggi Negara yang
masing-masing terbatas pada Presiden sebagai pemegang kekuasaan eksekutif,
DPR untuk eksekutif dan Mahkamah Agung sebagai pemegang kekuasaan
kehakiman. Maka setelah adanya amandemen UUD Perubahan tersebut yang
sangat penting dan pengaruhnya cukup signifikan dalam perkembangan dan
hubungan antar lembaga-lembaga negara di kemudian hari. Perubahan UUD 1945
juga memperbaharui kelembagaan negara, antara lain dihapuskannya posisi
lembaga tertinggi menjadi setara, pembatasan kewenangan Presiden yang
sebelumnya terlalu besar dan juga perubahan-perubahan tersebut telah melahirkan
kewenangan baru bagi lembaga yang sudah ada, misalnya Dewan Perwakilan
Rakyat yang memiliki kewenangan membentuk undang-undang, dan melahirkan
lembaga-lembaga baru, misalnya dalam kekuasaan kehakiman dibentuk
Mahkamah Konstitusi dan Komisi Yudisial dan dalam legislativ diadakan sebuah

lembaga baru Dewan Perwakilan daerah.61


Pada aspek kelembagaan, yang terpenting adalah mengenai hakikat
kekuasaan yang diorganisasikan dalam struktur kenegaraan. Apa dan siapakah
yang memegang kekuasaan tertinggi atau yang disebut sebagai pemegang
kedaulatan Negara, dalam UUD NRI Tahun 1945 Pasal 1 ayat (2) menyatakan
bahwa ”kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut UUD”.
Kedaulatan rakyat yang menjadi dasar pelaksanaan demokrasi, oleh UUD NRI
Tahun 1945 telah diatur cara pelaksanaannya dengan 2 (dua) cara, yaitu secara
langsung dan tidak langsung. Demokrasi langsung diejawantahkan dengan

61
Jimly Asshiddiqie, Hukum Tata Negara dan Pilar-Pilar Demokrasi Serpihan Pemikiran,
Media dan HAM (Jakarta: KONpress, 2003) h.7
43

pelaksanaan pemilihan umum, sedangkan demokrasi tidak langsung adalah


pelaksanaan kewenangan yang diberikan oleh UUD NRI Tahun 1945 kepada
lembaga-lembaga negara yang implementasinya harus berdasarkan pada ketentuan
UUD NRI Tahun 1945.
Dilihat dari segi kelembagaan, prinsip kedaulatan rakyat biasanya
diorganisasikan melalui 2 (dua) pilihan cara, yaitu melalui sistem pemisahan
kekuasaan (separation of power) atau pembagian kekuasaan (distribution atau
division of power).62 Pemisahan kekuasaan bersifat horisontal dalam arti
kekuasaan dipisah-pisahkan ke dalam fungsi-fungsi yang tercermin dalam
lembaga-lembaga negara yang sederajat dan saling mengimbangi (checks and
balances). Dalam pemerintahan yang bersistem pemisahan kekuasaan, harus
terdapat mekanisme checks and balances dari sesama lembaga negara. Sedangkan
pembagian kekuasaan bersifat vertikal dalam arti perwujudan kekuasaan itu
dibagikan secara vertikal ke bawah kepada lembaga-lembaga tinggi Negara di
bawah lembaga pemegang kedaulatan rakyat.63
Jimly Asshiddiqie berpendapat bahwa dalam membicarakan organisasi

negara, ada 2 (dua) unsur pokok yang saling berkaitan, yaitu organ dan fungsi.
Dalam UUD NRI Tahun 1945, organ-organ yang dimaksud atau lembaga-
lembaga negara ada yang disebut secara eksplisit namanya, dan ada pula yang
disebutkan eksplisit fungsinya. Ada pula lembaga yang baik nama dan fungsi atau
kewenangannya di dalam UUD NRI Tahun 1945. Akan tetapi di dalam UUD NRI
Tahun 1945 terdapat 34 organ yang disebutkan keberadaannya di dalam UUD
1945, yaitu: (1) Majelis Permusyawaratan Rakyat; (2) Presiden; (3) Wakil
Presiden; (4) Menteri dan Kementerian Negara; (5) Dewan Pertimbangan

62
Jimly Asshiddiqie, Format Kelembagaan Negara dan Pergeseran Kekuasaan Dalam
UUD 1945, h. 35
63
Ibid, h. 11
44

Presiden; (6) Duta; (7) Dewan Perwakilan Rakyat; (8) Dewan Perwakilan Daerah;
(9) Mahkamah Agung; (10) Mahkamah Konstitusi; (11) Badan Pemeriksa
Keuangan; (12) Komisi Pemilihan Umum; (13) Komisi Yudisial; (14) Badan-
Badan lain yang fungsinya terkait dengan Kehakiman seperti Kejaksaan; (15)
Bank Sentral; (16) Tentara Nasional Indonesia; (17) Kepolisian Negara Republik
Indonesia; (18) Menteri Luar Negeri; (19) Menteri Dalam Negeri; (20) Menteri
Pertahanan; (21) Konsul; (22) Pemerintahan Daerah Provinsi; (23) Gubernur; (24)
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi; (25) Pemerintahan Daerah
Kabupaten; (26) Bupati; (27) Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten; (28)
Pemerintahan Daerah Kota; (29) Walikota; (30) Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah Kota; (31) Satuan Pemerintahan Daerah yang bersifat khusus atau
istimewa; (32) Angkatan Darat (TNI AD); (33) Angkatan Laut (TNI AL); (34)
Angkatan Udara (TNI AU).64
Jimly Asshiddiqie memperluas pengertian lembaga-lembaga negara, yaitu
lembaga-lembaga yang pengaturan dan pembentukannya hanya didasarkan pada
undang-undang tetapi memiliki constitutional importance dalam sistem

konstitusional berdasarkan UUD NRI Tahun 1945. Sehubungan dengan hal itu,
maka dapat ditentukan bahwa dari segi fungsinya, ada yang bersifat primer, dan
ada pula yang bersifat sekunder atau penunjang (auxiliary).
Pasal 22E ayat (5) UUD NRI Tahun 1945 Perubahan Ketiga menyatakan
bahwa: ”pemilihan umum diselenggarakan oleh suatu Komisi Pemilihan Umum
yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri”. Pembuat undang-undang menetapkan
bahwa lembaga yang menyelenggarakan pemilu diberi nama ”Komisi Pemilihan
Umum” atau KPU, seperti yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun
2016. Artinya, KPU termasuk salah satu lembaga-lembaga yang memiliki

64
Jimly Asshiddiqie, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi, h
99.
45

constitutional importance dalam sistem konstitusional berdasarkan UUD NRI


Tahun 1945. Kewenangan yang diberikan UUD NRI Tahun 1945 kepada lembaga
KPU bersifat kewenangan atributif, yaitu kewenangan yang diberikan langsung
kepada suatu lembaga. Dalam perspektif hukum administrasi negara, kewenangan
atributif adalah kewenangan yang diberikan kepada suatu lembaga untuk
melaksanakan sesuatu hal yang diatur di dalam peraturan, dan dimungkinkan
melahirkan diskresi. 65
Komisi pemilihan Umum (KPU) adalah lembaga yang disebut secara
eksplisit oleh UUD NRI Tahun 1945 dan hanya fungsinya saja yang disebutkan
secara tegas. maka Keberadaan Komisi Pemilihan Umum (KPU) dalam sistem
ketatanegaraan Republik Indonesia disebut sebagai komisi negara independen
(independent regulatory agencies) atau lembaga penunjang/bantu (state auxiliary
agencies) merupakan lembaga negara yang menyelenggarakan Pemilihan Umum
di Indonesia yang ditegaskan dalam Pasal 22E UUD NRI Tahun 1945 yang
kemudian diatur lebih lanjut dengan beberapa undang-undang, terakhir dengan
Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum.
Sebelum Pemilu 2004, KPU dapat terdiri dari anggota-anggota yang merupakan
anggota sebuah partai politik berdasarkan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1999
tentang Pemilihan Umum, namun setelah dikeluarkannya Undang-Undang Nomor
4 Tahun 2000 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1999
Tentang Pemilihan Umum, maka diharuskan anggota KPU adalah non-partisan
dan independen.
Artinya bahwa keberadaan Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai komisi
negara independen (independent regulatory agencies) yang diatur dalam
Konstitusi dan dijabarkan lebih lanjut dengan undang-undang dikuatkan oleh

65
Mujiyana, “Makna Kemandirian Komisi Pemilihan Umum Dalam Penyelenggaraan
Pemilihan Umum”, dalam Jurnal Konstitusi UMY Vol 2 no 1, (Jakarta: Mahkamah Konstitusi
RI,2009), h. 108
46

pendapatnya Jimly Asshiddiqie yang menyatakan bahwa kelembagaan negara di


tingkat pusat dibedakan dalam 4 (empat) tingkatan kelembagaan, yaitu
1. Lembaga yang dibentuk berdasarkan UUD yang diatur dan ditentukan lebih
lanjut dalam atau dengan Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, Peraturan
Presiden dan Keputusan Presiden;
2. Lembaga yang dibentuk berdasarkan Undang-Undang yang diatur dan
ditentukan lebih lanjut dalam atau dengan Peraturan Pemerintah, Peraturan
Presiden dan Keputusan Presiden;
3. Lembaga yang dibentuk berdasarkan Peraturan Pemerintah atau Peraturan
Presiden yang ditentukan lebih lanjut dengan Keputusan Presiden;
4. Lembaga yang dibentuk berdasarkan Peraturan Menteri yang ditentukan lebih
lanjut dengan Keputusan Menteri atau Keputusan Pejabat di bawah Menteri.66
Hal ini menunjukkan dan menegaskan lagi bahwa keberadaan Komisi
Pemilihan Umum (KPU) sebagai komisi negara independen (independent
regulatory agencies) berada pada tingkatan kelembagaan yang kuat dikarenakan
pembentukannya berdasarkan UUD yang diatur dan ditentukan lebih lanjut dalam
atau dengan Undang-Undang yang artinya kelembagaan Komisi Pemilihan Umum
(KPU) sebagai kelembagaan negara bantu (state auxiliary bodies) yang
independen (independent regulatory agencies) pada tingkatan Konstitusi, dengan
catatan bahwa perlakuannya tidak bisa disamakan dengan lembaga negara utama
(main state organs) seperti yang dijelaskan di atas. Sehingga kedudukan Komisi
Pemilihan Umum (KPU) sebagai lembaga negara ditinjau menurut fungsi
kelembagaan merupakan lembaga penunjang (auxliary state organ) dalam ranah
kekuasaan eksekutif yang secara hierarkis kelembagaan Komisi Pemilihan Umum
(KPU) merupakan organ lapis kedua lembaga negara bantu (state auxiliary
bodies) yang sifatnya independen (independent regulatory agencies).

66
Jimly Asshiddiqie, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi,
h.50
47

KPU sebagai lembaga yang sifatnya independen, menurut Jimly Asshiddiqie


bahwa badan-badan atau lembaga-lembaga independen seperti ini dapat
mengeluarkan peraturan tersendiri, asalkan kewenangan regulatif itu diberikan
oleh undang-undang. Jika lembaga-lembaga itu diberi kewenangan regulatif,
maka nama produk regulatif yang dihasilkan sebaiknya disebut dengan
peraturan.67 Baik peraturan yang mengatur internal maupun peraturan yang ada
kaitannya dengan kewenangan sebagai lembaga penyelenggara pemilihan umum.
Sejak pertama dibentuk KPU terus mengalami perkembangan dari sisi
independensinya hal ini terlihat ketika KPU pertama pasca reformasi dibentuk
pada tahun 1999-2001 dibentuk dengan Keputusan Presiden No. 16 Tahun 1999
yang berisikan 53 orang anggota yang berasal dari unsur pemerintah dan Partai
Politik dan dilantik oleh Presiden BJ Habibie. KPU kedua (2001-2007) dibentuk
dengan Keputusan Presiden No 10 Tahun 2001 yang berisikan 11 orang anggota
yang berasal dari unsur akademis dan LSM dan dilantik oleh Presiden
Abdurrahman Wahid (Gus Dur) pada tanggal 11 April 2001. KPU ketiga (2007-
2012) dibentuk berdasarkan Keputusan Presiden No. 101/P/2007 yang berisikan 7

orang anggota yang berasal dari anggota KPU Provinsi, akademisi, peneliti dan
birokrat dilantik tanggal 23 Oktober 2007 minus Syamsulbahri yang urung
dilantik Presiden karena masalah hukum. KPU keempat (2012-2017) dibentuk
berdasarkan Keputusan Presiden No. 34/P/Tahun 2012 yang saat itu diketuai
Husni Kamil Manik, SP kemudian digantikan oleh Juri Ardiantoro, M.Si., karena
meninggalnya Husni Kamil Manik. KPU saat ini merupakan periode kelima
dengan masa jabatan 2017-2022 yang diketuai oleh Arief Budiman, S.S.,S.IP.,
MBA.68 KPU dalam setiap periodenya telah menunjukan tren yang positif
67
Laporan Akhir Pengkajian Hukum tentang Eksistensi Peraturan Perundang-undangan di
Luar Hierarki Berdasarkan UU No. 10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
undangan, (Jakarta: BPHN Puslitbang Kemenkum HAM RI, 2010) h. 59.
68
https://id.wikipedia.org/wiki/Komisi_Pemilihan_Umum, di akses 19 Januari 2018.
48

sehingga mampu menjaga independensinya serta menjalankan tugas, fungsi dan


kewenangan secara efektif dan berintegritas dalam memfasilitasi pelaksanaan
Pemilu dan pemilihan kepala daerah yang jujur dan adil.

B. Tugas dan Kewenangan KPU

Pelaksanaan tugas dari kelembagaan KPU diberikan sifat nasional, tetap,

dan mandiri. KPU dalam menjalankan tugasnya bertanggung jawab sesuai dengan

peraturan perundangundangan serta dalam hal penyelenggaraan seluruh tahapan

pemilihan umum dan tugas lainnya; KPU memberikan laporan kepada Dewan

Perwakilan Rakyat dan Presiden.

Pemilihan Umum diselenggarakan oleh KPU. KPU dalam menjalankan

tugasnya, bersifat mandiri. Prinsip yang dijalankan KPU di dalam

penyelenggaraan pemilu bersifat self-rule. Konsekuensi dari prinsip self-rule

adalah bahwa KPU dibentuk dan bertanggung jawab terhadap publik atau bersifat

mandiri. Konsekuensi kedudukan KPU melaksanakan dan bertanggungjawab

terhadap seluruh fungsi dalam proses pemilu, meliputi:

1. Electoral Regulation (Aturan Pemilihan)

Kewenangan yang dilimpahkan oleh undang-undang merupakan atribusi,

yaitu kewenangan yang langsung diberikan oleh undang-undang kepada KPU

untuk menetapkan berbagai peraturan-peraturan teknis yang mengatur

pelaksanaan pemilu yaitu dituangkan dalam bentuk PKPU. Di dalam ranah

Hukum Administrasi Negara, atribusi merupakan tingkatan yang paling tinggi

pendistribusian kewenangan kepada suatu lembaga. Konsekuensi yuridis atribusi

kewenangan adalah bahwa lembaga yang menerima atribusi kewenangan tersebut

dapat menciptakan wewenang baru atau memperluas wewenang yang sudah ada

atau dalam bentuk diskresi, dengan tanggung jawab intern dan ekstern
49

pelaksanaan wewenang yang diatribusikan sepenuhnya kepada penerima

wewenang. Pelekatan tanggung jawab dalam pemberian kewenangan ini,

merupakan salah satu prinsip di dalam negara hukum yaitu: “tidak ada

kewenangan tanpa pertanggungjawaban” (there is no authority without

responsibility).69 Peraturan KPU itu sendiri secara teknis merupakan penjabaran

dari Undang- Undang.

Produk hukum yang dapat dikeluarkan oleh KPU ada 2 (dua) bentuk yaitu:

a. PKPU; diterbitkan sebagai pelaksanaan atribusi kewenangan dari undang-

undang dalam rangka penyelenggaraan pemilu dan untuk kepentingan

pengaturan pelaksanaan tahap-tahap pemilu;

b. Keputusan KPU; diterbitkan karena adanya kebutuhan khusus yang sifatnya

menunjang kegiatan opreasional. Sebagian lagi dikeluarkan untuk

kepentingan penetapan (beschiking) atas suatu produk yang akan dikeluarkan

KPU. Pembedaan 2 (dua) produk hukum itu didasarkan pada materi dan

ruang lingkupnya. Untuk materi yang bersifat mengatur dituangkan dalam

bentuk peraturan. Sedangkan produk hukum yang materinya bersifat

penetapan/individual dituangkan dalam bentuk keputusan.


2. Electoral Process (Proses Pelaksanaan Pemilihan)

Pelaksanaan pemilu KPU sangat berperan dan bahkan pada tahap

pelaksanaan merupakan tanggung jawab KPU untuk menyelenggarakan dengan

baik. Pada tahap pelaksanaan ini ada kemungkinan intervensi masuk, mengingat

terdapat stakeholder yang juga terlibat di dalam proses pemilu, misalnya

keterlibatan partai politik dalam menyusun daftar pemilih tetap (DPT).

Kemandirian KPU dipengaruhi oleh faktor-faktor berikut: situasi politik lokal

69
Sunarno, Hukum Administrasi Negara,( Jakarta: Lembaga Administrasi Negara RI, 2008)
h. 119.
50

maupun nasional, regulasi pemerintah yang kadang-kadang tidak jelas, personal

sekretariat yang merupakan aparat pemerintah daerah. Akan tetapi masih juga

diperlukan peraturan lain untuk menjamin kemandirian KPU dalam

penyelenggaraan pemilu terutama dalam hal regulasi yang mengatur tentang

teknis pendaftaran calon pemilih, karena belajar dari pengalaman bahwa peraturan

yang sudah ada masih belum bisa mengatur secara spesifik. Kemandirian yang

ideal lembaga KPU adalah apabila semua rangkaian tahapan-tahapan pemilu bisa

dilaksanakan sesuai dengan peraturan-peraturan yang ada, dan juga dilihat dari

keberhasilan KPU dalam menyelenggarakan pemilu bisa berjalan lancar tanpa ada

problem yang signifikan.

3. Electoral Law Enforcement (Proses Penegakan Hukum dalam Pemilihan)


Penegakan hukum terkait dengan penyelesaian pelanggaran pemilu juga
menjadi tanggung jawab KPU. Dalam pemilu dikenal 2 (dua) jenis pelanggaran
yaitu: (1) pelanggaran pidana, dan (2) pelanggaran administratif. Kompetensi
KPU hanya dalam menyelesaikan pelanggaran administratif saja, sedangkan
pelanggaran pidana menjadi kewenangan Penyidik Kepolisian R.I atau sekarang
diberikan kepada Sentra Penegakan Hukum Terpadu (SENTRAGAKUMDU).
Adapun sengketa hasil pemilu menjadi kewenangan Mahkamah Konstitusi.
Penyelesaian yang dilakukan oleh KPU lebih pada penyelesaian non-litigasi atau
dengan mediasi, dan sanksi yang dikeluarkan oleh KPU bersifat administratif.70
Ketiga hal di atas juga ditegaskan dalam Undang- Undang Nomor 10 Tahun
2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015
tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1
Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, Dan Walikota menjadi Undang-
Undang di mana pada pasal 9 berbunyi :

70
http://www.kpu.go.id/dmdocuments/modul_1c.pdf modul KPU dengan Judul Pemilu di
Indonesia hlm 8, diakses 21 Juli 2018
51

Tugas dan wewenang KPU dalam penyelenggaraan Pemilihan meliputi:


a. Menyusun dan menetapkan Peraturan KPU dan pedoman teknis untuk setiap
tahapan Pemilihan setelah berkonsultasi dengan Dewan Perwakilan Rakyat,
dan Pemerintah dalam forum rapat dengar pendapat yang keputusannya
bersifat mengikat;
b. Mengoordinasi dan memantau tahapan Pemilihan;
c. Melakukan evaluasi penyelenggaraan Pemilihan;
d. Menerima laporan hasil Pemilihan dari KPU Provinsi dan KPU
Kabupaten/Kota;
e. Memfasilitasi pelaksanaan tugas KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota
dalam melanjutkan tahapan pelaksanaan Pemilihan jika Provinsi, Kabupaten,
dan Kota tidak dapat melanjutkan tahapan Pemilihan secara berjenjang; dan
f. Melaksanakan tugas dan wewenang lain yang diberikan oleh peraturan
perundang-undangan.71

C. PKPU dalam Penyelenggaraan Pemilihan Kepala Daerah.

Berdasarkan penjelasan di atas bahwa KPU memiliki kewenangan di dalam


melaksanakan pemilihan umum yaitu membentuk peraturan yang biasa disebut
Electoral Regulation. berkaitan dengan hal tersebut peraturan yang dibentuk
meliputi peraturan KPU atau yang biasa disebut PKPU dan keputusan KPU.
PKPU adalah merupakan peraturan yang dibentuk oleh KPU dalam rangka
pelaksanaan Pemilihan Umum dan Pemilihan Kepala Daerah. PKPU yang akan
disusun oleh KPU melalui beberapa tahapan yaitu pertama KPU mengidentifikasi
jenis peraturan yang dibutuhkan untuk menjabarkan peraturan perundangan
tentang pemilihan Kepala Daerah, setelah itu membuat draf rancangan PKPU,

71
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua
Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, Dan Walikota
menjadi Undang-Undang, Pasal 9 huruf a.
52

kemudian draf rancangan diuji publik yaitu dengan mengadakan sebuah diskusi
terbuka dengan menghadirkan para ahli, BAWASLU, Partai Politik, LSM. hal ini
guna untuk menampung saran dan aspirasi dari pemegang kepentingan dan
kemudian saran dan aspirasi ini dibawah dalam sebuah forum dengar pendapat
antara DPR RI, Pemerintah, Bawaslu, dan KPU. Kemudian hasil rapat dengar
pendapat ini tuangkan dalam sebuah rekomendasi kepada KPU untuk dituangkan
ke dalam PKPU yang akan diundangkan, karena hasil rapat dengar pendapat itu
bersifat mengikat dan keputusannya harus diikuti oleh KPU.72 Hal ini berdasarkan
Pasal 9 huruf a Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua
Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan
Gubernur, Bupati, Dan Walikota menjadi Undang-Undang yang berbunyi :
“Tugas dan wewenang KPU dalam penyelenggaraan Pemilihan meliputi: a)
Menyusun dan menetapkan Peraturan KPU dan pedoman teknis untuk setiap
tahapan Pemilihan setelah berkonsultasi dengan Dewan Perwakilan Rakyat, dan
Pemerintah dalam forum rapat dengar pendapat yang keputusannya bersifat
mengikat”.73 Tetapi di sisi lain pasal ini dinilai oleh beberapa kalangan telah
mencederai kemandirian KPU sebagai lembaga yang bersifat nasional, tetap dan
mandiri.
PKPU merupakan aturan turunan dan peraturan teknis untuk
menyelenggarakan pemilihan umum dan pemilihan kepala daerah, sehingga
memiliki peranan yang sangat penting bagi terselenggaranya pemilihan. PKPU
itu sendiri merupakan salah satu jenis peraturan perundang-undangan, yakni
peraturan tertulis yang memuat norma hukum yang mengikat secara umum dan

72
http://perludem.org/2018/07/05/pkpu-no-20-tahun-2018-tentang-pencalonan-anggota-dpr-
dprd-provinsi-dan-dprd-kabupaten-kota-pasca-pengundangan, diakses 23 Juli 2018.
73
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua
Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, Dan Walikota
menjadi Undang-Undang, Pasal 9 huruf a.
53

dibentuk atau ditetapkan oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang
melalui prosedur yang ditetapkan dalam Peraturan Perundang-undangan.
Demikian yang disebut dalam Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 12 Tahun
2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Peraturan yang
dikeluarkan oleh suatu komisi secara tegas juga disebut sebagai peraturan
perundang-undangan yang diakui Pasal 8 ayat (1) :
Jenis Peraturan Perundang-undangan selain sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 7 ayat (1) mencakup peraturan yang ditetapkan oleh Majelis
Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan
Daerah, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Badan Pemeriksa
Keuangan, Komisi Yudisial, Bank Indonesia, Menteri, badan, lembaga, atau
komisi yang setingkat yang dibentuk dengan Undang-Undang atau
Pemerintah atas perintah Undang-Undang, Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah Provinsi, Gubernur, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
Kabupaten/Kota, Bupati/Walikota, Kepala Desa atau yang setingkat.74
PKPU disusun setelah Undang-Undang disahkan oleh DPR dan Presiden, atau
atas dasar perintah Undang-Undang, sehingga yang diatur dalam PKPU
merupakan perintah dari Undang-Undang. Setiap kali penyelenggaraan pemilihan
umum maupun pemilihan kepala daerah, PKPU merupakan tulang punggung yang
dijadikan pedoman bagi KPU Provinsi dan Kabupaten/Kota. maka untuk itu

materi PKPU sebagai penjabaran dari Undang-Undang isinya harus jelas dan
harus dengan mudah dipahami oleh penyelenggara di daerah baik provinsi dan
kabupaten/kota, hal ini bertujuan untuk dapat meminimalisir terjadi sengketa dan
pelanggaran administrasi.
PKPU yang dibentuk dalam melaksanakan pemilihan kepala daerah ada
yang secara tegas diperintah oleh Undang-Undang dan ada pula yang secara
eksplisit, yang diperintah secara eksplisit memberikan peluang kepada KPU untuk
membentuk peraturan atas dasar diskresi, sehingga Undang-Undang merupakan
sumber dan dasar pembentukan PKPU. PKPU yang secara jelas merupakan

74
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangang, Pasal 8 ayat 1
54

perintah Undang-Undang salah satu contohnya dalam penyelenggara pemilihan


kepala daerah serentak tahun 2017 yaitu PKPU Nomor 8 Tahun 2016 tentang
Perubahan Atas Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 4 Tahun 2015 tentang
Pemutakhiran Data dan Daftar Pemilih dalam Pemilihan Gubernur dan Wakil
Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, dan/atau Walikota dan Wakil Walikota. dan
yang secara ekspilisit diperintah Undang-Undang adalah PKPU Nomor 9 Tahun
2016 tentang Perubahan Ketiga Atas Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor
9 Tahun 2015 Tentang Pencalonan Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur,
Bupati dan Wakil Bupati, dan/atau Walikota dan Wakil Walikota. berikut
peraturan yang dibentuk oleh KPU tahun 2016.
Tabel 1. Peraturan-peraturan KPU pada Tahun 2016.
No Nomor Judul Peraturan
Perubahan Atas Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 11
15
Tahun 2015 tentang Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara dan
1 Tahun
Penetapan Hasil Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati
2016
dan Wakil Bupati, dan/atau Walikota dan Wakil Walikota
Perubahan Atas Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 10
14
Tahun 2015 tentang Pemungutan dan Penghitungan Suara
2 Tahun
Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil
2016
Bupati, dan/atau Walikota dan Wakil Walikota
Perubahan Atas Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 8
13
Tahun 2015 tentang Dana Kampanye Peserta Pemilihan Gubernur
3 Tahun
dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, dan/atau Walikota
2016
dan Wakil Walikota
Perubahan Atas Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 7
12
Tahun 2015 tentang Kampanye Pemilihan Gubernur dan Wakil
4 Tahun
Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, dan/atau Walikota dan Wakil
2016
Walikota
Perubahan Atas Peraturan Komisi Pemilihan Umum Tahun 6
11 Tahun 2015 tentang Norma, Standar, Prosedur, Kebutuhan
5 Tahun Pengadaan dan Pendistribusian Perlengkapan Penyelenggaraan
2016 Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil
Bupati, dan/atau Walikota dan Wakil Walikota
6 10 Perubahan Atas Peraturan Komisi Pemilihan Umum Tahun 6
55

Tahun Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur


2016 Aceh, Bupati dan Wakil Bupati, dan/atau Walikota dan Wakil
Walikota di Wilayah Aceh, Pemilihan Gubernur dan Wakil
Gubernur pada Daerah Khusus Ibukota Jakarta, Papua dan Papua
Barat
Perubahan Ketiga Atas Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor
9 Tahun 9 Tahun 2015 Tentang Pencalonan Pemilihan Gubernur dan Wakil
7
2016 Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, dan/atau Walikota dan Wakil
Walikota
Perubahan Atas Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 4
8 Tahun Tahun 2015 tentang Pemutakhiran Data dan Daftar Pemilih dalam
8
2016 Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil
Bupati, dan/atau Walikota dan Wakil Walikota
Perubahan Kedua atas PKPU RI Nomor 3 Tahun 2016 tentang
7 Tahun Tahapan, Progam dan Jadwal Penyelenggaraan Pemilihan
9
2016 Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, dan/atau
Walikota dan Wakil Walikota Tahun 2017
Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Aceh, Bupati dan Wakil
6 Tahun Bupati, dan/atau Walikota dan Wakil Walikota di Wilayah Aceh,
10
2016 Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur pada Daerah Khusus
Ibukota Jakarta, Papua dan Papua Barat
Perubahan Kedua Atas Peraturan Komisi Pemilihan Umum
5 Tahun Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2015 tentang Pencalonan
11
2016 Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil
Bupati, dan/atau Walikota dan Wakil Walikota
Perubahan Atas Peraturan Komisi Pemilihan Umum RI Nomor 3
Tahun 2016 tentang Tahapan, Program, dan Jadwal
4 Tahun
12 Penyelenggaraan Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati
2016
dan Wakil Bupati, dan/atau Walikota dan Wakil Walikota Tahun
2017
Tahapan, Program, dan Jadwal Penyelenggaraan Pemilihan
3 Tahun
13 Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, dan/atau
2016
Walikota dan Wakil Walikota Tahun 2017

Sumber: http://jdih.kpu.go.id

Anda mungkin juga menyukai