Anda di halaman 1dari 41

“SEJARAH PARLEMEN DI INDONESIA”

I. PENDAHULUAN

Indonesia merupakan salah satu negara yang menganut “sistem demokrasi”

sebagaimana yang termaktub dalam konstitusi Republik Indonesia UUD NRI

1945 Pasal 1 ayat 2 yang menyebutkan bahwa “Kedaulatan berada di tangan

rakyat”.1 Maksud dari ayat tersebut bahwa kekuasaan tertinggi berada di tangan

rakyat. Sesuai dengan prinsip negara demokrasi yakni pemerintahan yang berasal

dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Menurut Jack H Nagel, kedaulatan

merupakan konsep mengenai kekuasaan tertinggi suatu negara yang meliputi

ruang lingkup dan jangkauannya. Pengertian ruang lingkup menyangkut soal

aktivitas dan tercakup dalam fungsi. Dan jangkauan berkaitan dengan siapa yang

menjadi obyek pemegang kedaulatan.2 Kedaulatan yang menjadi sumber

kekuasaan dan inspirasi pengembangan negara hukum yang demokratis,

pemerintah diangkat untuk negara, bukan negara untuk pemerintah seperti yang

lazimnya terjadi pada negara-negara otoriter.

Dalam suatu negara dengan sistem demokrasi modern, parlemen

merupakan wakil rakyat. Kata “Parlemen” berasal dari bahasa Latin

“parliamentum” atau bahasa Perancis “parler”, yang berarti sebagai suatu

tempat atau badan dimana para wakil rakyat berbicara satu sama lain untuk

membicarakan hal-hal yang penting bagi rakyat. Parlemen berkembang seiring

dengan perkembangan negara-negara demokrasi modern yang bermunculan

1
Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
2
Jimly Asshiddiqie, 1994, Gagasan Kedaulatan Rakyat Dalam Konstitusi Dan Pelaksanaannya di
Indonesia, Jakarta: PT. Ichtiar Baru, hlm. 9

1
sebagai negara bangsa (nation state), terutama pada abad 19 setelah masa

kolonialisme.3

Parlemen atau badan legislatif (legislature) mencerminkan salah satu fungsi

badan itu, yaitu membuat undang-undang (legislate). Nama lain yang sering

dipakai adalah assembly yang mengutamakan unsur “berkumpul” (untuk

membicarakan masalah-maslah publik). Nama lain lagi adalah parliament, suatu

istilah yang menekankan unsur “bicara” (parler) dan merundingkan. Sebutan lain

mengutamakan representasi atau keterwakilan anggota-anggotanya dan

dinamakan people’s representative body atau dewan perwakilan rakyat. Akan

tetapi apapun perbedaan dalam namanya dapat dipastikan bahwa badan ini

merupakan simbol dari rakyat yang berdaulat.4

Pengisian keanggotaan parlemen di berbagai negara dilakukan melalui

sistem pemilihan yang berbeda. Pertama, ada yang menggunakan sistem distrik

atau disebut dengan single member constituency, yaitu satu wakil untuk satu

daerah pemilihan. Kedua, ada juga yang menggunakan sistem proporsional atau

perwakilan berimbang yaitu satu daerah diwakili oleh lebih dari satu wakil (multi

member constituency), berimbang dengan jumlah penduduk di daerah yang

bersangkutan. Sistem parlemen yang dianut di negara-negara di berbagai belahan

dunia berbeda-beda, tergantung pada kondisi sosial budaya serta sistem nilai yang

dianutnya. Selain itu, kondisi masyarakat dalam suatu negara juga mempengaruhi

sistem parlemen yang dianut oleh negara tersebut.5

3
Muchammad Ali Syafa'at, 2010, Parlemen Bikameral, Studi Perbandingan di Amerika Serikat,
Perancis, Belanda, Inggris, Austria, dan Indonesia, Malang: Universitas Brawijaya Press (Ub Press),
hlm.28
4
Miriam Budiardjo, 2008, Dasar-Dasar Ilmu Politik Cet.Ke-2, Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama., hlm. 315

2
Dalam konteks negara Indonesia, sistem parlemen yang diterapkan di

Indonesia terus mengalami berbagai perubahan seiring dengan perubahan

konstitusi yaitu Undang-Undang Dasar Negara Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI

1945). Maka dari itu penjelasan mengenai uraian sejarah parlemen di Indonesia

perlu dilakukan.

II. PEMBAHASAN

A. Teori Pemisahan Kekuasaan

Para pemikir politik Barat mengembangkan pemikiran mereka

mengenai teori pemisahan kekuasaan dan pembagian kekuasaan. Hal tersebut

bukan tanpa alasan, melainkan karena suatu pemerintahan dalam sebuah

negara tentu menjalankan begitu banyak fungsi dan sangat beragam. Dalam

pemerintahan yang terpusat, pemerintah memiliki kekuasaan yang absolut

dalam beberapa hal sekaligus. Hal tersebut yang kemudian menjadi hambatan

bagi terciptanya pemerintahan yang adil karena ketika suatu pemerintahan

memiliki kuasa absolut terhadap beberapa hal, misalnya dalam pembuatan

peraturan perundang-undangan, menjalankan fungsi kepemerintahan, hingga

peradilan, maka semakin besar bagi pemerintahan negara untuk berlaku

sewenang-wenang terhadap pemerintahan negara. Tentu saja hal tersebut

menjadi masalah besar, karena suatu kesewenang-wenangan akan

menyebabkan terjadinya ketidakadilan kepada masyarakat.

Mengacu pada konsep Trias Politika yang merupakan ajaran

Montesquieu (1689-1755), tentang pembagian kekuasaan negara dibedakan

5
Widayati, “Sistem Parlemen Berdasarkan Konstitusi Indonesia”, Jurnal Masalah-Masalah
Hukum, Fakultas Hukum Universitas Diponegoro Semarang, Vol.44, No. 4 2015, hlm. 416

3
menjadi kekuasaaan legislatif, kekuasaan eksekutif dan kekuasaan yudikatif. 6

Pembagian tersebut digunakan untuk mencegah terjadinya penyalahgunaan

kekuasan oleh penguasa atas dasar kekuasan, dengan harapan hak-hak asasi

warga negara lebih terjamin. Hak-hak warga negara dapat dijamin jika

fungsi-fungsi kekuasaan tidak dipegang oleh satu orang atau badan, akan

tetapi dibagikan pada beberapa orang atau badan yang terpisah. Kekuasaan

trias politika telah mengemukakan fungsi untuk membentuk undang undang

menjadi kewenangan legislatif (Dewan Perwakilan Rakyat), fungsi

menjalankan undan-gundang yang telah dibuat oleh lembaga legislatif,

menjadi kewenangan eksekutif dan fungsi untuk melakukan pengawasan atau

kontrol atas pelaksanaan undang-undang menjadi kewenangan yudikatif.7

Pada masing-masing cabang pemerintah harus dibatasi pada

pelaksanaan fungsinya sendiri dan tidak diperbolehkan melanggar fungsi dari

cabang-cabang yang lain. Selain itu, untuk yang mengisi ke tiga agen

pemerintahan ini harus tetap dipastikan terpisah dan berdiri sendiri, tidak ada

individu yang diperbolehkan pada saat yang bersamaan menjadi anggota dari

lebih satu cabang. Dengan cara ini masing-masing cabang mengawasi (check)

cabang yang lain dan tidak ada satu kelompok orang yang mampu

mengontrol mesin negara.8

Prinsip pembagian kekuasaan yang merupakan konsistensi dari

penerapan prinsip Negara hukum Indonesia diatur sepenuhnya dalam UUD

1945. Apabila kita analisis penerapan pembagian kekuasaan di Indonesia


6
Jimly Asshiddiqie, 2006, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, Jakarta: Sekretariat Jendral Dan
Kepaniteraan MKRI, hlm. 34
7
Ibid., hlm. 56
8
Jimly Assiddiqie, 2007, Konstitusi Dan Ketatanegaraan, Jakarta: The Biografy Institute, hlm. 40

4
terdiri atas dua bagian, yaitu pembagian kekuasaan secara horizontal dan

pembagian kekuasaan secara vertikal. Pembagian kekuasaan secara horizontal

yaitu pembagian kekuasaan menurut fungsi lembaga-lembaga tertentu

(legislatif, eksekutif dan yudikatif). Berdasarkan UUD Negara Republik

Indonesia Tahun 1945, secara horizontal pembagian kekuasaan negara di

lakukan pada tingkatan pemerintahan pusat dan pemerintahan daerah.

Pembagian kekuasaan pada tingkatan pemerintahan pusat berlangsung antara

lembaga-lembaga negara yang sederajat.

Pasal 18 ayat (1) UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945

menyatakan bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-

daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota, yang

tiap-tiap provinsi, kabupaten, dan kota itu mempunyai pemerintahan daerah,

yang diatur dengan undang-undang. Berdasarkan ketentuan tersebut,

pembagian kekuasaan secara vertikal di negara Indonesia berlangsung antara

pemerintahan pusat dan pemerintahan daerah (pemerintahan provinsi dan

pemerintahan kabupaten/kota). Pada pemerintahan daerah berlangsung pula

pembagian kekuasaan secara vertikal yang ditentukan oleh pemerintahan

pusat. Hubungan antara pemerintahan provinsi dan pemerintahan

kabupaten/kota terjalin dengan koordinasi, pembinaan dan pengawasan oleh

Pemerintahan Pusat dalam bidang administrasi dan kewilayahan. Pembagian

kekuasaan secara vertikal muncul sebagai konsekuensi dari diterapkannya

asas desentralisasi di Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dengan asas

tersebut, Pemerintah Pusat menyerahkan wewenang pemerintahan kepada

pemerintah daerah otonom (provinsi dan kabupaten/kota) untuk mengurus

dan mengatur sendiri urusan pemerintahan di daerahnya, kecuali urusan

5
pemerintahan yang menjadi kewenangan Pemerintah Pusat, yaitu

kewenangan yang berkaitan dengan politik luar negeri, pertahanan,

keamanan, yustisi, agama, moneter dan fiskal.

B. Konsep Tentang Lembaga Negara

Lembaga negara bukanlah suatu konsep yang secara terminologis

memiliki istilah tunggal. Di dalam kepustakaan Inggris, untuk menyebut

lembaga negara digunakan istilah political institution, sedangkan dalam

terminologi bahasa Belanda biasa disebut dengan istilah staatorgamen.

Sementara itu, dalam Bahasa Indonesia istilah yang digunakan adalah

lembaga negara, badan negara atau organ negara.9

Untuk melaksanakan fungsi negara, maka dibentuk alat perlengkapan

negara atau dalam bahasa lain disebut lembaga-lembaga negara. Setiap

negara memiliki kedudukan dan fungsi yang berbeda-beda, meskipun dalam

perkembangannya terjadi dinamika yang signifikan dalam struktur

kenegaraan. Organisasi negara pada prinsipnya terdiri tiga kekuasaan yaitu

kekuasaan legislatif, kekuasaan eksekutif dan kekuasaan yudikatif.10

Lembaga negara terkadang disebut dengan istilah lembaga

pemerintahan, lembaga pemerintahan non departemen, atau lembaga negara

saja. Ada yang dibentuk berdasarkan atau karena diberi kekuasaan oleh UUD,

9
Ni’Matul Huda, 2007, Lembaga Negara Dalam Masa Transisi Demokrasi, Yogyakarta: UII
Press, hlm. 76
10
Ahmad Sukardja, 2004, Hukum Tata Negara Dan Hukum Administrasi Negara Dalam
Perspektif Fikih Siyasah, Jakarta: Sinar Grafika, hlm. 126

6
ada pula yang dibentuk dan mendapatkan kekuasaannya dari UU, dan bahkan

ada pula yang hanya dibentuk berdasarkan Keputusan Presiden.11

Pada umumnya, fungsi lembaga negara dihubungkan dengan ajaran

Trias Politica Montesquieu, dimana ada tiga fungsi yang dimiliki oleh

lembaga negara, yaitu:12

1. Lembaga negara yang menjalankan kekuasaan negara untuk

membuat peraturan-peraturan untuk mengatur hidup manusia alam

negara, yang disebut kekuasaan legislatif.

2. Lembaga negara yang menjalankan kekuasaan Negara untuk

mengatur krhidupan dalam masyarakat, sesuai peraturan

perundang-undangan yang telah ada, atau memerintah, yang

disebut kekuasaan eksekutif.

3. Lembaga negara yang menjalankan kekuasaan negara untuk

mengawasi dan mengadili pelaksanaan peraturan perundang-

undangan. Selanjutnya menghukum orang yang melanggar

peraturan tersebut, atau wewenang mengadili yang disebut dengan

kekuasaan yudikatif.

UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyebutkan lebih dari

34 buah lembaga, baik yang hanya disebut secara eksplisit maupun yang

disebut dengan implisit dan diatur keberadaannya dalam UUD 1945.

Sehubungan dengan hal tersebut, maka dapat ditentukan dari segi fungsi dan

11
Jimly Asshiddiqie, 2012, Perkembangan Dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi
Cet.Ke-2, Jakarta: Sinar Grafika, hlm. 44-46
12
Josef M. Monteiro, 2014, Lembaga-lembaga Negara setelah Amandemen UUD 1945,
Yogyakarta: Pustaka Yustisia, hlm .4

7
hirarki. Dari segi hirarkinya, ke-34 lembaga negara tersebut dapat dibedakan

ke dalam tiga lapis, yaitu:

1. Lembaga Tinggi Negara

Terdiri dari Presiden dan Wakil Presiden, Dewan Perwakilan

Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Majelis

Permusyawaratan Rakyat (MPR), Mahkamah Konstitusi (MK),

Mahkamah Agung (MA), dan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).

2. Lembaga Negara

Lembaga ini ada yang mendapatkan kewenangannya dari UU, dan

ada pula yang mendapatkan kewenangannya dari UUD, misalnya Komisi

Yudisial, TNI, Kepolisian RI. Sedangkan lembaga yang kewenangannya

bersumber dari UU, misalnya Komnas HAM, Komisi Informasi, dan

sebagainya. Berdasarkan dasar pembentukannya kedudukan kedua jenis

lembaga negara tersebut sebanding satu sama lain walaupun

kedudukannya tidak lebih tinggi, tetapi keberadaannya disebutkan secara

eksplisit dalam undang-undang, sehingga tidak dapat ditiadakan atau

dibubarkan hanya karena kebijakan pembentukan undangundang.

Lembaga-lembaga negara sebagai organ konstitusi lapis kedua itu adalah

Menteri Negara, TNI, Kepolisian RI, Komisi Yudisial, Komisi Pemilihan

Umum, Bank sentral.

Di samping itu, terdapat pula organ konstitusi yang termasuk

kategori lembaga negara yang bersumber kewenangannya berasal dari

regulator atau pembentuk peraturan di bawah undang-undang. Berbeda

8
dengan lembaga negara yang pembentukannya berasal dari peraturan di

bawah UU contoh Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan

(Komnas Perempuan) yang artinya jika dibentuk oleh Keputusan

Presiden maka Presiden berhak membubarkannya lagi maka presiden

berwenang untuk itu.13

3. Lembaga Daerah

Merupakan lembaga daerah yang diatur dalam Bab VI UUD 1945

tentang Pemerintahan Daerah. Dalam ketentuan tersebut diatur adanya

beberapa organ jabatan yang dapat disebut sebagai organ daerah atau

lembaga daerah yang merupakan lembaga negara yang terdapat di daerah.

Antara lain, Pemerintah Daerah Provinsi, Gubernur, DPRD Provinsi,

Pemerintahan Daerah Kabupaten, Bupati, DPRD Kabupaten,

Pemerintahan Daerah Kota, Walikota, dan DPRD Kota.14

Disamping lembaga-lembaga daerah yang secara tegas tercantum

dalam UUD 1945, dapat pula dibentuk lembaga-lembaga yang

merupakan lembaga daerah lainnya. Keberadaan lembaga-lembaga

daerah itu ada yang diatur dalam undangundang dan ada pula yang diatur

dalam atau dengan peraturan daerah. Pada pokoknya, keberadaan

lembaga-lembaga daerah yang tidak disebutkan dalam UUD.

C. Parlemen sebagai Lembaga Perwakilan Rakyat

13
Jimly Asshiddiqie, Perkembangan Dan Konsolidasi…., Op.Cit., hlm. 108
14
Ibid., hlm. 109

9
Keberadaan lembaga perwakilan di negara demokrasi memang

sangatlah penting dewasa ini. Terlebih kedaulatan pada negara demokrasi

berada di tangan rakyat. Untuk melaksanakan kedaulatannya, rakyat perlu

mendelegasikan kekuasaannya kepada lembaga-lembaga negara yang diberi

kewenangan melalui konstitusi, salah satunya lembaga perwakilan. Lembaga

perwakilan dianggap sebagai lembaga negara yang dapat mengakomodir

kemauan rakyat dan kemudian merumuskan kemauan tersebut dengan

membuat aturan atau menentukan kebijakan yang mengikat seluruh

masyarakat. Melihat hal tersebut, maka pembentukan lembaga perwakilan

pada sebuah negara harus dipikirkan secara mendalam agar nantinya

kebijakan yang dihasilkan oleh lembaga perwakilan bisa sejalan dengan

kemauan rakyat.

Perwakilan (representation) adalah konsep bahwa seorang atau suatu

kelompok mempunyai kemampuan atau kewajiban untuk bicara dan

bertindak atas nama suatu kelompok yang lebih besar. Dewasa ini anggota

Dewan Perwakilan Rakyat pada umumnya mewakili rakyat melalui partai

politik. Hal ini dinamakan perwakilan yang bersifat politik (political

representation).15

Sebenarnya kekuasaan yang ada pada seorang wakil dan kemudian

bergabung pada suatu lembaga perwakilan bertumpu pada kewenangan yang

diberikan oleh orang-orang yang memberikan kedudukan. Artinya bahwa

keterwakilan seseorang pada lembaga perwakilan harus senantiasa mewakili

kehendak atau aspirasi dari yang diwakili. Sebagai konsekuensinya jika tidak

dapat bertindak sesuai dengan kehendak orang-orang yang memberikan

15
Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik,.. Op. Cit., hlm. 175

10
perwakilan maka hal itu berarti keterwakilannya harus diakhiri. Wakil

dipandang tidak mampu mewakili kehendak atau aspirasi dan sebagai

konsekuensinya harus dikembalikan lagi kepada orang yang telah

memberikan.16

Perwakilan ditinjau dari diversifikasi yang menentukan karakter atau

sifat khas suatu badan perwakilan rakyat. Teori Diversifikasi dari Hoogewerf

intinya adalah ada tiga karakter atau sifat khas dari lembaga perwakilan, yang

terdiri atas:17

a. Perwakilan Politik yang mana para anggota badan perwakilan rakyat

direkrut atau dicalonkan oleh partai politik melalui pemilihan umum.

Kelemahan dari perwakilan politik ini, biasanya anggota-anggota

yang terpilih hanya mereka yang memiliki popularitas dalam bidang

politik dan tidak memiliki keahlian dalam bidang pemerintahan.

Dengan demikian, para ahli atau professional sulit untuk terpilih

melalui perwakilan politik. Untuk mengatasi kelemahan itu muncul

perwakilan kedua;

b. Perwakilan Fungsional (Functional atau Occupation representation)

yang mana para anggotanya direkrut berdasarkan pengangkatan

menurut fungsi, pekerjaan, jabatan, atau keahlian; dan

c. Perwakilan Daerah yaitu perwakilan yang biasa berlaku dalam sebuah

negara berbentuk negara federal atau negara kesatuan yang

16
Samsul Wahidin, 2007, Dimensi Kekuasaan Negara Indonesia, Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
hlm. 43
17
Dewa Gede Atmadja, 2015,Teori Konstitusi dan Konsep Negara Hukum, Malang: Setara Press,
hlm. 101.

11
wilayahnya luas, dimana para anggotanya dipilih melalui pemilihan

umum.

Dalam konteks negara Indonesia, sebelum amandemen UUD 1945,

“Teori Perwakilan Diversifikasi” tercermin dalam keanggotaan MPR.

Sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat (1) UUD 1945, keanggotaan Majelis

Permusyawaratan Rakyat (MPR) terdiri atas seluruh anggota Dewan

Perwakilan Rakyat (DPR), ditambah utusan dari daerahdaerah dan golongan-

golongan menurut aturan yang ditetapkan dengan undangundang. Dalam

penjelasan Pasal 2 ayat (1) UUD 1945, yang dimaksud dengan “golongan-

golongan adalah badan-badan kolektif seperti koperasi, serikat sekerja.

Kemudian, wakil-wakil golongan ini disebut sebagai golongan fungsional.

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa MPR merupakan badan atau

lembaga perwakilan yang mencerminkan tiga representatif, yaitu representatif

politik (DPR), representatif territorial atau perwakilan daerah (utusan daerah),

dan representatif fungsional (wakil-wakil golongan).18

Kedudukan lembaga perwakilan setelah amandemen UUD 1945

diberikan kepada MPR, DPR, dan DPD. MPR, merupakan gabungan

perwakilan politik dan perwakilan daerah karena dari segi keanggotannya

terdiri atas seluruh anggota DPR dan seluruh anggota DPD, kedudukan MPR

sendiri bukan lagi sebagai lembaga tertinggi negara karena tidak sepenuhnya

melaksanakan kedaulatan rakyat. Untuk DPR keanggotannya dicalonkan oleh

partai politik yang terverifikasi dengan keputusan KPU dan dipilih dalam

pemilihan umum legislatif, dengan memiliki fungsi legislasi, fungsi anggaran,

fungsi pengawasan, serta kewenangan memberi persetujuan atas beberapa hal

18
Ibid., hlm. 102

12
terkait tindakan eksekutif. Sementara DPD keanggotaannya dipilih melalui

pemilihan umum legislatif yang merupakan calon perseorangan mewakili

setiap provinsi. Kewenangan DPD hanya bisa mengajukan/mengusulkan serta

ikut membahas Rancangan Undang-Undang dalam proses legislasi.

Apabila seseorang duduk dalam lembaga perwakilan melalui pemilihan

umum maka sifat perwakilannya disebut perwakilan politik. Apapun tugasnya

dalam masyarakat, kalau yang bersangkutan menjadi anggota lembaga

perwakilan melalui pemilihan umum tetap disebut perwakilan politik.

Perwakilan politik merupakan pilihan di negara-negara maju, dan pemilihan

umum tetap merupakan cara terbaik menyusun keanggotaan parlemen.19

D. Parlemen dalam Pusaran Demokratisasi

Demokrasi merupakan pemahaman ataupun teori pemerintahan yang

berbasis kedaulatan rakyat. Telaah tentang tarik-menarik antara peranan

negara dan masyarakat tidak dapat dilepaskan dari telaah tentang demokrasi,

karena dua alasan. Pertama, hampir semua negara di dunia ini telah

menjadikan demokrasi sebagai asasnya yang fundamental, hal itu ditunjukkan

oleh hasil studi UNESCO pada awal 1950an yang mengumpulkan lebih dari

100 Sarjana Barat dan Timur. Tetapi di tiap-tiap negara itu, demokrasi

dilaksanakan dengan cara-cara yang berbeda yaitu dalam hal pemberian porsi

peranan kepada negara dan masyarakat kendati sama-sama mengaku sebagai

negara demokrasi. Kedua, demokrasi sebagai asas kenegaraan secara esensial

telah memberikan arah bagi peranan masyarakat untuk menyelenggarakan

negara sebagai organisasi tertingginya tetapi ternyata demokrasi itu berjalan

19
Bintan Saragih, 1985, Sistem Pemerintahan dan Lembaga Perwakilan di Indonesia, Jakarta: Perintis
Press, hlm. 105-106

13
dalam rute yang berbeda-beda sehingga menimbulkan implikasi yang berbeda

pula pada tiap-tiap negara.20

Demokrasi sebagai dasar hidup bernegara memberi pengertian bahwa

pada tingkat terakhir rakyat memberikan ketentuan dalam masalahmasalah

pokok yang mengenai kehidupannya, termasuk dalam menilai kebijaksanaan

negara karena kebijaksanaan tersebut menentukan kehidupan rakyat. 21 Jadi,

negara demokrasi merupakan negara yang penyelenggaraannya berdasarkan

kehendak atau kemauan rakyat, atau jika ditinjau dari sudut organisasi ia

berarti suatu pengorganisasian negara yang dilakukan oleh rakyat sendiri atau

atas persetujuan rakyat karena kedaulatan berada di tangan rakyat.

Dalam sejarah teori demokrasi terletak suatu konflik yang sangat tajam

mengenai apakah demokrasi harus berarti suatu jenis kekuasaan rakyat (suatu

bentuk politik yang warga negara terlibat dalam pemerintahan sendiri dan

pengaturan sendiri) atau suatu bantuan bagi pembuatan keputusan (suatu cara

pemberian kekuasaan kepada pemerintah melalui pemberian suara secara

periodik).22 Konflik tersebut pada akhirnya memunculkan tiga jenis atau

model pokok dari demokrasi, yaitu:

1. Demokrasi Partisipasif atau Demokrasi Langsung, suatu sistem dimana

pengambilan keputusan tentang permasalahan umum melibatkan warga

20
Moh. Mahfud MD, 1989, Demokrasi dan Hukum di Negara Republik Indonesia, Yogyakarta: Diktat
Pelengkap Bahan Kuliah. Jurusan Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia,
hlm. 4
21
Deliar Noer, 1983, Pengantar ke Pemikiran Politik, Jakarta: CV Rajawali, hlm. 207

David Held, 2004, Demokrasi dan Tatanan Global dari Negara Modern Hingga Pemerintahan
22

Kosmopolitan, Jogjakarta: Pustaka Pelajar, hlm. 5-6

14
negara secara langsung. Ini adalah tipe demokrasi “asli” yang lahir dan

terdapat di Athena Kuno;

2. Demokrasi Perwakilan atau Demokrasi Tidak Langsung, suatu sistem

pemerintahan yang menggunakan pejabat yang dipilih untuk mewakili

kepentingan atau pendapat warga negara dalam daerah-daerah yang

terbatas sambil tetap menjunjung tinggi aturan hukum; dan

3. Demokrasi yang didasarkan atas model satu partai, sebenarnya para

ahli dan pemikir masih meragukan apakah ini juga termasuk kedalam

suatu model demokrasi namun terdapat pola pola tersendiri yang

terpisah dari model-model lainnya.

Bertambahnya angka penduduk di berbagai belahan dunia, wilayah

negara yang sangat luas, urusan kenegaraan dalam bidang politik sudah

sangat kompleks, tingkat pendidikan dan pengetahuan penduduk sudah sangat

heterogen, dan rakyat saat ini disibukkan dengan berbagai persoalan pribadi

masing-masing23 merupakan berbagai faktor yang menyebabkan konsep

demokrasi langsung yang digagas oleh Rousseau tidak relevan lagi untuk

diaplikasikan dalam konteks kekinian. Hal tersebut kemudian melahirkan

demokrasi tidak langsung atau demokrasi perwakilan melalui lembaga-

lembaga perwakilan yang disebut sebagai parlemen atau disebut Dewan

Perwakilan Rakyat.24

Pada dasarnya, teori perwakilan sangat erat hubungannya dengan

prinsip kedaulatan rakyat dan demokrasi. Dalam zaman modern kekuasaan

23
S. Toto Pandoyo, 1992, Ulasan Terhadap Beberapa Ketentuan Undang-Undang Dasar 1945,
Yogyakarta: Liberty, hlm. 134-135
24
Bintan Saragih Dan Kusnardi, 1995, Ilmu Negara, Jakarta: Gaya Media Pratama, hlm. 237

15
rakyat tidak lagi dilaksanakan secara langsung, akan tetapi disalurkan melalui

lembaga perwakilan sebagai realisasi sistem demokrasi tidak langsung.25

Belifante berpendapat bahwa, perwakilan itu sebagai suatu kompromi

antara prinsip demokrasi yang menuntut persamaan hak bagi setiap warga

Negara dan prinsip kegunaan yang praktis untuk menyelenggarakan

persamaan yang dimaksud. Dalam hal ini, rakyat sama-sama diposisikan

sebagai pihak yang tidak mampu melakukan sendiri tugasnya untuk

mengambil suatu keputusan, karena itu perlu dibentuk suatu institusi yang

dapat mewakili mereka untuk bertindak dalam angka keperluan tersebut.26

Dampak dari hadirnya perwakilan pada demokrasi yaitu wakil

dianggap bergabung dalam lembaga perwakilan, dimana yang diwakili

memilih dan memberikan mandat pada lembaga perwakilan, sehingga sang

wakil sebagai individu tidak ada hubungan dengan pemilihnya apalagi untuk

minta pertanggungjawabannya. Yang bertanggung jawab justru adalah

lembaga perwakilan kepada rakyat pemilihnya.

E. Sejarah Eksistensi Lembaga Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) di

Indonesia

Konsep mengenai suatu pembentukan lembaga negara secara umum

berkaitan langsung dengan tugas dan fungsi penyelenggaraan negara yang

melatar belakangi dibentuknya suatu lembaga. Terbentuknya lembaga

perwakilan (parlemen) atau lembaga legislatif di Indonesia tidak lepas dari

25
Eddy Purnama, 2008, Lembaga Perwakilan Rakyat, Banda Aceh: Syiah Kuala University Press,
hlm. 41
26
Ibid., hlm. 42-43

16
segenap perjuangan rakyat Indonesia dalam membebaskan diri dari belenggu

kolonialisme.

Pengaturan tentang Dewan Perwakilan Rakyat telah diatur dalam BAB

VII Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang

terdiri dari 7 (tujuh) pasal dimulai dari Pasal 19 sampai dengan Pasal 22B

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Dalam

Undang-Undang, DPR diatur dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014

tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan

Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (UU MD3) serta

perubahannya. Dilihat dari susunan dan kedudukannya, DPR terdiri atas

anggota partai politik peserta pemilihan umum yang dipilih melalui pemilihan

umum. Secara kedudukan, DPR merupakan lembaga perwakilan rakyat yang

berkedudukan sebagai lembaga negara.

Apabila melihat dari segi fungsinya, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)

memiliki 3 (tiga) fungsi yaitu fungsi legislasi, fungsi anggaran, dan fungsi

pengawasan. Hal ini telah diatur dalam ketentuan Pasal 20A ayat (1) Undang-

Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Perubahan Kedua

“Dewan Perwakilan Rakyat memiliki fungsi legislasi, fungsi anggaran, dan

fungsi pengawasan”.

Indonesia sebagai negara demokrasi modern yang mengenal sistem

parlemen dalam ketatanegaraannya, mengalami berbagai perubahan bentuk

sistem parlemen sejalan dengan perubahan kontitusi serta serangkaian

peristiwa-peristiwa bersejarah yang dimiliki Indonesia. Sejarah parlemen atau

lembaga legislatif di Indonesia dapat dibagi dalam beberapa periode, yaitu:

17
1. Volksraad (1918-1942)

Pada masa penjajahan negara Belanda, terdapat sebuah lembaga

yang dapat dipersamakan sebagai parlemen yang dibentuk oleh Kolonial

Belanda yang disebut sebagai volksraad. Volksraad ini dibentuk pada tanggal

16 Desember 1916 yang diatur dalam Bab X Regeerings Reglement 1954.

Namun, realisasi pembentukan volksraad ini baru terlaksana pada tahun 1918

oleh Gubernur Jenderal Mr. Graaf van Limburg Stirum. Pada mulanya

lembaga ini beranggotakan 39 orang dengan perincian terdiri atas 19 orang

anggota yang dipilih (10 diantaranya adalah orang Indonesia), dan 19 orang

anggota yang ditunjuk (lima diantaranya orang Indonesia), ditambah seorang

ketua yang dijabat oleh orang Belanda yang bernama Dr. J.C Koningen

Berger.27

Pada tahun 1931 anggota Volksraad ini menjadi 61 orang yang

posisisnya 30 orang Indonesia , 25 orang Belanda, 5 orang timur asing serta 1

orang ketua. Jumlah angota yang di pilih sebanyak 38 orang dengan

komposisi, 20 orang Indonesia 15 orang belanda dan 3 orang Timur Asing

sedangkan anggota yang di angkat oleh Gubernur Jendral sebanyak 22 orang,

ketuanya di angkat oleh Ratu Belanda. Masa jabatan anggota Volksraad 4

tahun, dan sesudah itu dapat di pilh kembali.

Volksraad didirikan sebagai lembaga dengan satu majelis yang

hanya mempunyai wewenang untuk menasehati, tetapi kalau menyangkut

masalah keuangan harus dikonsultasikan dengan Gubernur Jenderal.

Volksraad merupakan sumber kecaman dan pertentangan terhadap

27
M.C Ricklefs, 1991, Sejarah Modern Indonesia. Terj. Drs. Dharmono Hardjowidjono,
Yogyakarta : Gajah Mada University Press, hlm. 243

18
pemerintah kolonial. Volksraad juga tidak mempunyai pertanggungjawaban

dan tidak memiliki hak-hak parlemen. Bagi orang Indonesia, dengan

didirikannya Volksraad, maka keinginan-keinginan politik secara resmi dapat

disalurkan kepada pemerintah kolonial. Badan ini merupakan tempat latihan

kesadaran dan prosedur berpolitik bagi orang Indonesia tertentu, yang

jumlahnya terbatas. Orang Indonesia umumnya dan orang Eropa khususnya,

terus menganggap Volksraad sebagai sesuatu yang harus menjadi tempat

wakil rakyat Indonesia untuk menyuarakan keinginan untuk mendapatkan

kekuasaan perundang-undangan.28

Pada tanggal 8 Maret 1942 masa penjajahan terhadap Indonesia

berakhir dan digantikan oleh Jepang. Pergantian penjajahan dari Belanda

kepada Jepang mengakibatkan keberadaan volksraad secara otomatis tidak

diakui lagi.

2. Komite Nasional Indonesia Pusat (1945-1949)

Pada tanggal 17 Agustus 1945, Soekarno-Hatta memproklamasikan

kemerdekaan Indonesia. Pada saat itu telah disusun sebuah Undang-Undang

Dasar, namun lembaga-lembaga negara yang diamanatkan UUD 1945 belum

di bentuk. Dengan demikian untuk menghindari kekosongan kekuasaan,

sesuai dengan pasal 4 aturan peralihan dalam UUD 1945 yang berbunyi:

“sebelum Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, dan

Dewan Pertimbangan Agung dibentuk, segala kekuasaannya dijalankan oleh

Presiden dengan bantuan sebuah komite nasional”.


28
Robert Van Niel, 1984, Munculnya Elit Modern Indonesia. Terj. Yayasan Ilmuilmu Sosial,
Jakarta: Dunia Pustaka Jaya, hlm. 176

19
Untuk melaksanakan ketentuan tersebut di atas maka pada tanggal 29

Agustus 1945 dibentuklah Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP). KNIP

ini merupakan suatu badan yang didirikan untuk membantu presiden. Komite

ini merupakan cikal bakal badan legislatif di Indonesia.

Tugas dan fungsi KNIP pada saat itu untuk menjalankan kekuasaan

legislatif dan ikut menetapkan Garis-garis Besar Haluan Negara, hal ini

berdasar pada Maklumat Wakil Presiden Nomor X (eks) tanggal 16 Oktober

1945 yang berbunyi:

“Bahwa Komite Nasional Indonesia Pusat, sebelum terbentuknya

Majelis Permusyawaratan Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat diserahi

kekuasaan legislatif dan ikut menetapkan Garis-garis Besar Haluan Negara,

serta pekerjaan Komite Nasional Indonesia Pusat sehari-hari berhubung

dengan gentingnya keadaan dijalankan oleh sebuah Badan Pekerja yang

dipilih di antara mereka dan yang bertanggung jawab kepada Komite

Nasional Indonesia Pusat”.29

3. DPR dan Senat Republik Indonesia Serikat (1949-1950)

Dalam periode Republik Indonesia Serikat ini Negara Indonesia

berubah menjadi Negara Serikat. Menurut Kostitusi RIS Pasal 1 ayat (1)

Konstitusi RIS, Republik Indonesia Serikat yang merdeka dan berdaulat ialah

sebuah negara hukum yang demokratis dan berbentuk federasi. Kedaulatan

RIS ini dilakukan oleh pemerintah bersamaan dengan Dewan Perwakilan

Rakyat serta Senat yang merupakan Parlemen RIS.

29
Maklumat Wakil Presiden No X Tanggal 16 Oktober 1945, Berita RI 1945 Thn. I No. 2

20
Pemerintah berkedudukan sebagai alat perlengkapan federal RIS

yang terdiri dari Presiden bersama menteri-menteri, sedangkan Senat dan

DPR berkedudukan sebagai lembaga perwakilan. Keanggotaan Senat diwakili

oleh negara bagian yang masing-masing mempunyai dua anggota dari lima

belas negara bagian, sedangkan DPR mewakili seluruh rakyat Indonesia yang

terdiri dari 150 anggota.30

Sidang DPR-RIS berlangsung dengan sangat bebas dan dalam

banyak hal belum sempat mendapat bentuk standar mengingat asal usul serta

kedudukan yang sangat dominan dari wakil RI, yang sebenarnya hanya

menerima eksistensi DPR-RIS tidak berfungsi secara penuh. DPR-RIS dan

senat bersama-sama pemerintah melaksanakan pembuatan perundang-

undangan. Selain melakukan kekuasan perundang-undangan, DPR-RIS

berwenang pula mengontrol pemerintah, dengan catatan, Presiden tidak dapat

diganggu gugat tetapi para menteri bertanggungjawab kepada DPR atas

seluruh kebijaksanaan pemerintah, baik bersama-sama untuk seluruhnya

maupun masing-masing untuk bagiannya sendiri. Akan tetapi, DPR tidak

dapat menjatuhkan Menteri (pemerintah). Di samping kekuasaan perundang-

undangan DPR-RIS diatur dalam tata tertib DPR-RIS yang kenyataanya baru

disahkan 28 Februari 1950, yang berarti hanya berlaku kurang dari enam

bulan dengan tercapainya Negara Kesatuan RI 17 Agustus 1950. Dalam masa

kerja DPR-RIS yang enam bulan itu, mereka berhasil mengesahkan tujuh

undang-undang, yang satu di antaranya berdasarkan usul inisiatif DPR, yaitu

Undang-undang No. 4 Tahun 1950 tentang penggantian kerugian anggota

DPR-RIS.
30
MPR RI, 2009, Majelis Permusyawartan Rakyat Republik Indonesia (Sejarah, Realita, dan
Dinamika), Jakarta: Sekertariat Jenderal MPR-RI, hlm.6

21
Beban berat DPR-RIS pada masa-masa akhir eksistensinya ialah

perdebatan mengenai pengakhiran eksistensi DPR-RIS atau perubahan

Konstitusi RIS menjadi Undang-undang Dasar Sementara (UUDS) Republik

Indonesia dalam proses kembali menjadi negara kesatuan. Setelah melalui

perdebatan dari berbagai mosi dan usul, akhirnya DPR-RIS mengadakan

votting pada tanggal 14 Agustus Tahun 1950, mengenai menerima atau tidak

UUDS, yang berakhir dengan Sembilan puluh orang setuju dan hanya

delapan belas orang tidak setuju. Dengan keputusan itu, secara de jure dan de

facto eksistensi DPR-RI berakhir.

4. Dewan Perwakilan Rakyat Sementara (1950-1956)

Pada tanggal 14 Agustus 1950, DPR dan Senat RIS menyetujui

rancangan Undang- Undang Dasar Sementara Negara Kesatuan Republik

Indonesia ( UU NO. 7 Tahun 1950, Lembaran Negara No. 56./1950). Oleh

karena itu pada tanggal 15 Agustus 1950 diadakan sebuah rapat gabungan

antara DPR dan Senar RIS yang bermaksud untuk pembubaran dengan resmi

Negara RIS yang berbentuk federasi, pembentukan Negara Kesatuan

Republik Indonesia (NKRI) yang meliputi seluruh daerah Indonesia dengan

Undang-Undang Dasar Sementara yang mulai berlaku pada tanggal 17

Agustus 1950. Dalam rapat tersebut pula dilakukan upacara pembacaan

Piagam Pernyataan Terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia oleh

Presiden Soekarno.31

Di dalam Undang-Undang Dasar Sementara Republik Indonesia

(UUDS RI) ditetapkan bahwa Republik Indonesia yang merdeka dan bedaulat

31
Sekretariat DPR-GR, 1984, Seperempat Abad Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia,
Jakarta : Sekretariat DPR-GR, hlm.135

22
adalah suatu negara hukum yang demokratis dan berbentuk kesatuan, dan

bahwa kedaulatan tersebut berada ditangan rakyat yang dilakukan oleh

Pemerintah bersama-sama dengan Dewan Perwakilan Rakyat. Sebagai

konsekuensi pengaturan pelaksanaan kedaulatan rakyat dilakukan oleh

Pemerintah bersama-sama dengan Dewan Perwakilan Rakyat, maka Senat

yang terdapat pada Negara Republik Indonesia Serikat (RIS) ditiadakan.

Anggota Dewan Perwakilan Rakyat menurut UUDS dipilih dalam

suatu pemilihan umum oleh warga negara Indonesia yang memenuhi syarat

dan menurut aturan yang ditetapkan oleh undang-undang.32 Namun, UUDS

1950 mengatur bahwa sebelum terbentuknya DPR yang akan dipilih lewat

Pemilu, kewenangan legislatif akan diselenggarakan oleh sebuah lembaga

yang disebut Dewan Perwakilan Rakyat Sementara (DPRS). Pengisian

keanggotaan DPRS tidak dilakukan lewat pemilu. Sesuai isi Pasal 77 UUDS,

ditetapkan jumlah anggota DPRS adalah 236 orang, yaitu 148 anggota dari

DPR-RIS, 29 anggota dari Senat RIS, 46 anggota dari Badan Pekerja Komite

Nasional Pusat, dan 13 anggota dari DPA RI Yogya.33

Dalam pasal 113-116 UUDS ditetapkan bahwa DPR mempunyai hak

menetapkan anggaran negara. Selanjutnya dalam pasal 83 ayat (2) UUDS

ditetapkan bahwa para menteri bertanggung jawab atas seluruh kebijaksanaan

pemerintah, baik bersama-sama untuk seluruhnya maupun masing-masing

untuk bagiannya sendiri. Ini berarti bahwa DPR berhak dan berkewajiban

senantiasa mengawasi segala perbuatan pemerintah.

5. DPR dan Konstituante Hasil Pemilu 1955


32
Ibid., hlm.136
33
Kaka Alvian, 2014, Lembaga-Lembaga Negara, Yogyakarta: Saufa, hlm. 48

23
UUDS 1950 mengamanatkan diselenggarakannya Pemilu untuk

mengisi keanggotaan DPR dan lembaga khusus yang bertugas

menyempurnakan konstitusi, yaitu Konstituante. Di masa Orde Lama

sebenarnya pemilihan umum sudah direncanakan mulai bulan Oktober 1945,

tetapi baru dapat dilaksanakan oleh kabinet Burhanuddin Harahap pada tahun

1955. Pada pemilu itu pemungutan suara dilakukan dua kali, yaitu satu kali

untuk memilih anggota DPR pada bulan September, dan satu kali untuk

memilih anggota Konstituante pada bulan Desember. Tugas dan wewenang

DPR hasil Pemilu 1955 sama dengan posisi DPRS secara keseluruhan, karena

landasan hukum yang berlaku adalah UUDS. Sistem pemilihan yang

digunakan adalah sistem proporsional. Pada waktu itu sistem itu,

sebagaimana dicontohkan oleh belanda, merupakan satu- satunya sistem

pemilihan umum yang yang dikenal dan dimengerti oleh para pemimpin

negara.34

Mekanisme pemilihan anggota DPR disebutkan dalam Pasal 56

UUDS 1950. Anggota DPR yang dipilih ditetapkan panitia pemilihan

Indonesia (PPI) sebanyak 260 orang, PPI ketika itu menetapkan, jumlah kursi

dipilih berdasarkan kuota penduduk per kursi untuk DPR 300.000 jiwa.

Khusus untuk Kalimantan Timur, Nusa Tenggara Barat, dan Irian Barat, yang

penduduknya kurang dari 3x300.000, maka jumlah anggota DPR dipilih

ketiga daerah itu masing-masing ditetapkan 3 orang. Jumlah penduduk

Indonesia berdasarkan pendaftaran pemilih ketika itu mencapai 77.987.879

dan yang tercatat sebagai pemilih berjumlah 43.104.464 jiwa atau 55,27%.

PPI menetapkan 16 daerah pemilihan (Dapil), yang mana jumlah tersebut

34
Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik…, Op. Cit., hlm.473-474

24
meliputi : 208 Kabupaten, 3.141 Kecamatan dan 42.092 Desa. Dan terbagi

dalam 93.532 Tempat Pemungutan Suara (TPS).35

Mengenai mekanisme pemilihan anggota Konstituante termaktub

dalam Pasal 135 UUDS 1950 yang berbunyi:

1) Konstituante terdiri dari sedjumlah Anggauta jang besarnja

ditetapkan berdasar atas perhitungan setiap 150.000 djiwa

penduduk warga-negara Indonesia mempunjai seorang wakil.

2) Anggauta-anggauta Konstituante dipilih oleh warganegara

Indonesia dengan dasar umum dan dengan tjara bebas dan

rahasia menurut aturan-aturan jang ditetapkan dengan undang-

undang.

3) Ketentuan-ketentuan dalam pasal 58 berlaku buat konstituante

dengan pengertian bahwa djumlah djumlah wakil itu dua kali

lipat.

6. DPR Hasil Pemilu 1955 Pasca-Dekrit Presiden 1959 (1959-1965)

Memasuki tahun 1959 konstalasi politik di Indonesia bergejolak.

Pasca meletusnya pemberontakan-pemberontakan di berbagai daerah di

Indonesia sepanjang tahun 1957-1958, PRRI/Permesta yang meski secara

basis intinya berhasil dihancurkan namun kemudian berubah menjadi

gerakan-gerakan gerilya di pedalaman yang jelas mengganggu stabilitas

politik dan keamanan di daerah. Ditambah berlarut-larutnya penumpasan

35
Fernita Darwis, 2011, Pemilihan Spekulatif, Bandung: Alfabeta, hlm. 5

25
DI/TII yang tak kunjung berhasil mencekal aktor pimpinannya, menjadi

pekerjaan besar untuk segera dituntaskan.

Lahirnya Dekrit Presiden 5 Juli tak bisa dilepaskan dari kegagalan

Konstituante membentuk sebuah UUD baru pengganti UUD Sementara

1950. Sehingga pada tanggal 5 Juli 1959, kabinet pemerintahan mengadakan

perkumpulan di Bogor dihadiri oleh ketua Mahkamah Agung. Saat itu terjadi

proses kesepakatan supaya UUD 1945 dinyatakan berlaku kembali dengan

melalui dekrit, dengan keadaan darurat nasional sebagai pembenaran legal. 36

Periode berlakunya kembali UUD 1945 diawali dengan keluarnya dekrit

Presiden 5 Juli 1959 yang isinya antara lain menyatakan:

1) Berlakunya kembali UUD 1945 dan menyatakan tidak berlakunya

UUDS 1950;

2) Membubarkan konstituente; dan

3) Membentuk Majelis Permusyawarakatan Rakyat Sementara

(MPRS) dan Dewan Pertimbangan Agung Sementara (DPAS)

Dengan keluarnya Dekrit Presiden tersebut maka secara langsung

kehidupan ketatanegaraan harus dikembalikan kepada ketentuan yang

terdapat dalam UUD 1945.37 Namun selang beberapa waktu, Presiden

mengeluarkan Penpres No. 3 tahun 1960 yang isinya membubarkan Dewan

Perwakilan Rakyat (DPR) hasil pemlihan umum pada tahun 1955. Alasan

pembubaran ini karena DPR hanya menyetujui 36 milyar rupiah APBN dari
36
Bathoro, A., “Redupnya Peran Politik Islam di Masa Demokrasi Terpimpin (Studi Kasus
Pembubaran Masyumi Oleh Presiden Soekarno)”, Kemudi: Jurnal Ilmu Pemerintahan, Vol.II No.2
2018, hlm. 26
37
Charles Simabura, 2011, Parlemen Indonesia: Lintasan Sejarah Dan Sistemnya, Jakarta:
Rajawali Pers, hlm. 65

26
44 milyar yang diajukan.38 Kemudian hal yang dilakukan oleh Presiden

Soekarno ialah membentuk Dewan Pemerintah Rakyat Gotong Royong

(DPR-GR) yang keanggotaannya ditunjuk langsung oleh Presiden sesuai yang

termaktub dalam Penpres No. 4 tahun 1960. DPR-GR beranggotakan 283

orang yang semuanya diangkat oleh Presiden dengan Keppres No. 156 tahun

1960. Adapun salah satu kewajiban pimpinan DPR-GR adalah memberikan

laporan kepada Presiden pada waktu-waktu tertentu, yang mana menyimpang

dari pasal 5, 20, 21 UUD 1945. Selama 1960-1965, DPR-GR menghasilkan

117 UU dan 26 usul pernyataan pendapat.

7. DPR Gotong Royong Tanpa Partai Komunis Indonesia (1965-1966)

Dalam suasana menegakkan Orde Baru sesudah terjadinya

G.30S/PKI, DPR-GR mengalami perubahan, baik mengenai keanggotaan

maupun wewenangnya. Setelah peristiwa G30S/KI, DPR-GR membekukan

sementara 62 orang anggota DPR-GR eks PKI dan ormasormasnya. DPR-GR

tanpa PKI dalam masa kerjanya 1 tahun, telah mengalami 4 kali perubahan

komposisi pemimpin, yaitu periode 15 November 1965 2 februari 1966,

periode 26 februari 1966 – 2 Mei 1966, periode 2 Mei 1966 – 16 Mei 1966,

periode 17 Mei 1966 – 19 November 1966. Anggota PKI dikeluarkan, sedang

partai-partai politik lainnya memakai hak recallnya untuk mengganti anggota

yang dianggap tersangkut dalam atau bersimpati dengan PKI, dengan wakil

lain. Susunan keanggotaan DPR-GR menjadi jumlah total 242 anggota. Di

antaranya 102 merupakan anggota partai politik, antara lain 44 anggota PNI

38
Ichlasul Amal (Ed), 1996, Teori-Teori Mutakhir Partai Politik, Yogyakarta: Tiara Wacana,
hlm.133

27
dan 36 anggota NU, selebihnya anggota beberapa partai kecil. Di samping itu

ada 14,0 anggota Golongan Karya (termasuk ABRI). Selain dari itu

diusahakan supaya tata kerja DPR-GR lebih sesuai dengan ketentuan-

ketentuan Undang-Undang Dasar 1945, terutama yang menyangkut

kontrolnya.

Aturan tata tertib baru (pertama Keputusan DPR-GR No. 31/DPR-

GR/IV/65-66 kemudian disempurnakan dengan Keputusan DPR-GR No.

10/DPRGR/III/1967-1968) pasal 77 ayat 1 menentukan bahwa badan itu

melakukan pengawasan dengan usaha-usaha seperti berikut: mengajukan

pertanyaan, meminta keterangan (interpelasi), mengadakan penyelidikan

(angket), mengajukan perubahan, mengajukan usul pernyataan pendapat atau

usul-usul lain dan menganjurkan seseorang jika ditentukan oleh undang-

undang.

Mengenai soal mengambil keputusan, sistim musyawarah/mufakat

masih dipertahankan dengan ketentuan bahwa keputusan harus diambil oleh

anggota DPR sendiri (tanpa campur tangan dari Presiden). Di samping itu

dibuka kemungkinan untuk memakai cara memutuskan yang oleh Undang-

Undang Dasar 1945 ditetapkan untuk MPR, yaitu "dengan suara terbanyak".

Ditetapkan bahwa dalam soal mengambil keputusan diadakan dua tahap.

Pertama-tama dicoba mencari mufakat; jika tidak tercapai mufakat, padahal

soal ini menyangkut kepentingan nasional yang penting dan urgen, maka

diadakan pemungutan suara secara rahasia dari tertulis atas sistim suara yang

terbanyak (Tata tertib pasal 4).

28
DPR-GR Demokrasi Pancasila telah menyelesaikan 82 buah Undang-

Undang, yang terpenting di antaranya ialah Undang-Undang No. 15 Tahun

1969 tentang Pemilihan Umum Anggota-anggota Badan

Permusyawaratan/Perwakilan Rakyat, No. 16 Tahun 1969 tentang Susunan

dan Kedudukan MPR, DPR dan DPR Daerah; menyelesaikan 7 buah resolusi,

9 buah pernyataan pendapat dan 1 buah angket.

Secara hukum, kedudukan pimpinan DPR-GR masih berstatus

sebagai pembantu presiden sepanjang peraturan presiden No.32 tahun 1964

belum di cabut. Dalam rangka menanggapi situasi masa transisi, DPR-GR

memutuskan untuk membentuk 2 buah panitia, yaitu panitia politik; yang

berfungsi mengikuti perkembangan dalam berbagai masalah bidang politik

dan panitia ekonomi, keuangan dan pembangunan; yang bertugas memonitor

situasi ekonomi dan keuangan serta mambuat konsepsi tentang pokok –

pokok pemikiran ke arah pemecahannya.39

8. DPR Hasil Pemilu Era Orde Baru (1971,1977, 1982, 1987, 1992, dan

1997)

Berdasarkan Tap MPRS No IX/MPRS/1966, pemerintah diharapkan

segera melakukan pemilu pada tahun 1968. Namun karena berbagai

pertimbangan politik dan keamanan, pemilu baru dapat diselenggarakan pada

1971. Lembaga Pemilu sebagai pelaksana pemilu dibentuk dan ditempatkan

di bawah koordinasi Departemen Dalam Negeri, sedangkan peserta pemilu

ditetapkan melalui Keputusan Presiden No.23 tanggal 23 Mei 1970.

Berdasarkan surat keputusan itu, jumlah partai politik (parpol) yang diijinkan

ikut serta dalam pemilu adalah 9 parpol, yaitu: NU, Parmusi, PSII, Perti
39
Kaka Alvian, Op.Cit,, hlm.50

29
(Persatuan Tarbiyah Islamiyah), Partai Kristen Indonesia, Partai Khatolik,

Partai Musyawarah Rakyat Banyak (Murba), dan Ikatan Pendukung

Kemerdekaan Indonesia (IPKI) ditambah dengan Golkar. Pemilu pertama

pada masa orde baru dilaksanakan pada tanggal 3 Juli 1971. Adapun landasan

hukum dari pemilu tersebut adalah UU No. 15 tahun 1969 LN No. 58/1969

dan TLNRI No. 2914 yakni tentang pemilu anggota Badan Permusyawaratan/

Perwakilan Rakyat. Adapun perolehan suara hasil pemilu 1971 adalah

sebagai berikut: Golkar(236 kursi, 62,82%), NU (58 kursi,18,68%), Parmusi

(24 kursi (5,56%), PNI (20 kursi,6,93%), PSII (10 kursi,2,39%), dan

Parkindo (10 kursi, 2,39%).40

Pada akhir tahun 1971, pemerintah Orde Baru melemparkan gagasan

penyederhanaan partai politik dengan alasan–alasan tertentu, seperti kasus

pada masa “demokrasi parlementer”. Pada masa itu, banyaknya partai

dianggap tidak memudahkan pembangunan, justru sebaliknya menambah

permasalahan. Penyebabnya bukan saja karena persaingan antarparpol,

melainkan juga persaingan di dalam tubuh parpol antara para pemimpinnya

tidak jarang memicu timbulnya krisis, bahkan perpecahan yang dinilai bisa

mengganggu stabilitas polkam. Atas dasar itu, pemerintah berpendapat perlu

adanya penyederhanaan partai sebagai bagian dari pelaksanaan demokrasi

Pancasila. Pada awalnya banyak parpol yang menolak gagasan itu, yang

sedikit banyak dinilai telah menutup aspirasi kebebasan berkumpul dan

berserikat yang dijamin oleh UUD 1945. Namun adanya tekanan pemerintah

menyebabkan mereka tidak mempunyai pilihan lain.

40
Anhar Gonggong Dan Musya Asy’Arie (Ed), 2005, Sketsa Perjalanan Bangsa Berdemokrasi,
Jakarta: Departemen Komunikasi Dan Informatika, hlm. 150

30
Realisasi penyederhanaan partai tersebut dilaksanakan melalui

Sidang Umum MPR tahun 1973. Sembilan partai yang ada berfusi ke dalam

dua partai baru, yaitu Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan Partai

Demokrasi Indonesia (PDI). Empat Partai Islam, yaitu Nahdatul Ulama/NU,

Parmusi, Partai Sarekat Islam Indonesia/PSII, dan Perti bergabung dalam

PPP. Sementara itu lima partai non Islam, yaitu PNI, Partai Kristen Indonesia

(Parkindo), Partai Khatolik, Partai Murba, dan IPKI bergabung dalam PDI.

Selain kedua kelompok tersebut ada pula kelompok Golkar yang semula

bernama Sekber Golkar. Pengelompokkan tersebut secara formal berlaku pula

di lingkungan DPR dan MPR.41

Pemilihan umum 1977 adalah pemilu yang kedua pada masa orde

baru yang dilaksanakan pada tanggal 2 Mei 1977. Setelah diundangkannya

UU No. 4/1975 LN No.15/1975 dan RLNRI No. 3063 sebagai pengganti dari

UU No. 15/1969. Pemilu 1977 diikuti oleh dua partai politik yaitu Partai

Peraturan Pembangunan (PPP), dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI) serta

satu Golongan Karya (Golkar) sesuai dengan UU No. 3/1975 tentang parpol

dan Golkar.42 Jumlah anggota DPR RI adalah 460 orang, dengan perincian

sebanyak 360 orang dipilih dalam pemilihan umum dan 100 orang yang

diangkat anggota dengan tersebut terdiri dari 75 orang dari Golongan Karya

ABRI dan 25 orang dari Golongan Karya non ABRI.

Untuk menghadapi pemilu 1982 peraturan perundangundangan

mengalami perubahan terhadap UU No. 4/1975 yakni dengan Undang-

Undang No 2/1980 LN No.24/1980 TLNRI No 3163 yang merupakan dasar


41
Ibid
42
Max Boboy, 1994, DPR RI: Dalam Perspektif Sejarah Dan Tata Negara, Jakarta : Pustaka
Sinar Harapan,, hlm. 61

31
hukum pemilihan umum anggota badan permusyawaratan/perwakilan tahun

1982. Organisasi peserta pemilu atau organisasi sosial politik yang ikut dalam

pemilu tahun 1982 adalah PPP, Golkar, dan PDI. Jumlah anggota DPR

periode 1982 – 1987 adalah sebanyak 460 orang, dengan komposisi 360

orang di pilih dalam pemilihan umum dan 100 orang yang diangkat termasuk

4 orang wakil dari provinsi Timor Timur.

Pemilihan umum anggota DPR periode 1987 – 1992 dilaksanakan

pada tanggal 23 April 1987 dengan dasar hukum yang dipakai adalah Tap No.

III/MPR/1983 tentang pemilihan umum, serta dipandang perlu untuk

menyempurnakan dan mengadakan perubahan atas Undang-Undang No.

15/1969, yang telah diubah dengan UU No. 4/1975 dan UU No. 2/1980 dan

selanjutnya diubah oleh UU No. 1/1985. Jumlah anggota DPR periode 1987 –

1992 adalah sebanyak 500 orang, yan terdiri dari 400 orang dipilih melalui

pemilihan umum dan 100 orang berdasarkan pengangkatan.

Pemilu 1992 dasar hukumnya sama dengan pemilu tahun 1987 dan

diikuti oleh tiga organisasi kekuatan sosial politik yang mempunyai

kedudukan hak dan kewajiban yang sama yakni Golongan Karya, PDI dan

PPP. Pemilu ke-5 masa Orde Baru diselenggarakan tanggal 9 Juni 1992.

Jumlah anggota DPR pada periode ini sama dengan jumlah anggota DPR

periode 1987-1992.

Pemilihan umum tahun 1997 dilaksanakan dengan dasar hukum UU

No. 1/1985 dengan sistem proporsional dengan stelsel daftar. Sistem pemilu

yang berlaku mengatur bahwa setiap anggota DPR mewakili sekitar 400 ribu

orang penduduk dan setiap daerah tingat II (kabupaten/kota madya) diwakili

32
sekurang-kurangnya oleh satu wakil, status keterwakilan 100 orang anggota

ABRI yang menjadi tinggal 75 orang pada pemilu 1997.43

Adanya fusi partai politik yang dilakukan Presiden Soeharto kala itu

menyebabkan, pemilu 1977 sampai dengan pemilu 1997 anggota DPR hanya

terdiri dari 3 partai. Dalam masa ini, DPR berada di bawah kontrol eksekutif.

Kekuasaan presiden yang terlalu besar dianggap telah mematikan proses

demokratisasi dalam bernegara. DPR sebagai lembaga legislatif yang

diharapkan mampu menjalankan fungsi penyeimbang (checks and balances)

dalam prakteknya hanya sebagai pelengkap dan penghias struktur

ketatanegaraan yang ditujukan hanya untuk memperkuat posisi Presiden yang

saat itu dipegang oleh Soeharto.

Selama masa Orde Baru perangkat Undang-Undang dalam

melaksanakan pemilihan umum (Pemilu) kecuali pada Pemilu tahun 1971,

yaitu:

a. Undang-undang No. 3 Tahun 1975 tentang Partai Politik dan

Golongan Karya;

b. Undang-undang No. 16 Tahun 1969 tentang Susunan dan Kedudukan

Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah;

c. Undang-undang No. 15 Tahun 1969 tentang Pemilihan Umum

Anggota-anggota Badan Permusyawaratan/ Perwakilan Rakyat.

Ketiga Undang-undang tersebut di atas diterapkan pada Pemilu

1971,1982,1987, 1992, dan terakhir kail pada Pemilu 1997.

43
Haris, Syamsuddin (Ed), 1998, Menggugat Pemilihan Umum Orde Baru: Sebuah Bunga
Rampai, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia – Ppw Lipi, hlm. 100

33
9. DPR Hasil Pemilu Pasca Reformasi (1999-2004)

Euphoria masa sesaat setelah kejatuhan Soeharto di tandai

diantaranya oleh gugatan atas lima Undang-Undang politik tahun 1985 yaitu

pertama UU No. 1 tahun 1985 tentang perubahan ketiga kalinya atas UU No

15 tahun 1969 tentang pemilihan umum. Kedua UU No 2 tahun 1985 tentang

perubahan ketiga kalinya atas UU No 16 tahun 1969 tentang susunan dan

kedudukan MPR, DPR, dan DPRD. Ketiga UU No. 3 tahun 1985 tentang

perubahan atas UU No 3 tahun 1975 tentang partai politik dan golongan

karya. Keempat UU No 5 tahun 1985 tentang Referendum. Kelima UU No 8

tahun 1985 tentang organisasi kemasyarakatan.

Turunnya presiden Soeharto telah menimbulkan gejolak politik yang

cukup serius.44 Memberikan tuntutan kepada DPR dan menghasilkan paket

berupa undang-undang di bidang partai politik, susunan dan kedudukan

MPR,DPR, dan DPRD, serta pelaksanaan pemilu.

Perubahan terhadap UUD 1945 terjadi pada sidang umum MPR yang

berlangsung pada 14-21 Oktober 1999 yang menghasilkan perubahan

kekuasaan presiden dalam membentuk undang-undang menjadi presiden

berhak mengajukan Rancangan Undang Undang dan DPR yang memegang

kekuasaaan dalam membentuk Undang-Undang. Perubahan ini sekaligus

merubah kekuasaan legislasi nasional yang semula wewenang presiden

beralih untuk dilimpahkan ke DPR RI.

Dengan tumbangnya rezim Orde Baru, tercapai konsensus nasional

bahwa perlu diadakan pemilu yang dipercepat. Pemilu yang direncakan akan
44
B.N. Marbun, 1992, DPR RI: Pertumbuhan dan Cara Kerjanya, Jakarta: PT Gramedia Pustaka
Utama, hlm. 178

34
diadakan tahun 2001 dipercepat pelaksanaannya menjadi tahun 1999 yang

pesertanya di tambah dengan partai politik baru. Untuk tujuan itu, berbagai

peraturan yang berkaitan dengan pemilu harus diperbaharui. Dalam waktu

yang relatif singkat, perubahan dilakukan pemerintah dan DPR (hasil pemilu

1997) menghasilkan perangkat Undang-Undang yang baru, yaitu:

a. UU No. 2 tahun 1999 tentang partai politik;

b. UU No. 4 tahun 1999 tentang susunan dan kedudukan majelis

permusyawaratan rakyat, dewan perwakilan rakyat dan dewan

perwakilan rakyat daerah; dan

c. c. UU No. 3 tahun 1999 tentang pemilihan umum.45

Pemilihan umum kedelapan dalam sejarah Republik Indonesia diikuti

oleh 48 partai politik dan dilaksanakan pada hari senin 7 Juni 1999. Apabila

dalam pemilu-pemilu Orde Baru birokrasi menjadi pelaksana pemilu

sekaligus peserta pemilu, maka dalam pemilu 1999 birokrasi menjadi netral

walaupun dalam praktek dilapangan sanga sulit. Unsur pelaksana pemilu

tidak hanya dari birokrasi, melainkan juga dari unsur partai dan masyarakat.

Apabila dalam pemilu-pemilu Orde Baru amat tabu membentuk komisi

independen pemantau pemilu, maka pemilu 1999 membuka kesempatan

Harun Al Rasyid, “Tinjauan Yuridis Majelis Perangkat Undang-Undang Pemilihan Umum”,


45

Unisia: Jurnal Ilmu-Ilmu Sosial, Vol. XXVII, No. 51 2004, hlm. 3

35
partisipasi komisi independen pemantau pemilu baik dari dalam maupun dari

luar negeri.46

10. DPR Periode 2004-Sekarang

Pemilihan umum 2004 merupakan pemilihan umum ke sembilan

yang dilaksanakan Indonesia setelah proklamasi kemerdekaan. Pemilihan

umum 2004 merupakan pemilihan umum yang demokratis. Adapun dasar

dilaksanakannya pemilihan umum 2004 sendiri adalah UU RI No. 12 Tahun

2003 tentang pemilihan umum Anggota DPR, DPD dan DPRD serta UU RI

No. 23 Tahun 2003 tentang pemilihan umum presiden dan wakil presiden.

Amandemen terhadap UUD 1945 yang dilakukan pada tahun 1999-

2002 membawa banyak implikasi ketatanegaraan yang kemudian diterapkan

pada Pemilu tahun 2004. Beberapa perubahan tersebut yaitu perubahan sistem

pemilihan lembaga legislatif (DPR dan DPD) dan adanya presiden yang

dilakukan secara langsung oleh rakyat.

Pemilu 2004 diawasi oleh pengawas pemilu dengan format yang

tidak kalah impartisannya bahkan merepresentasi hampir seluruh lapisan

masyarakat Indonesia yang digelar sebagai pelaksanaan dari sistem politik

dan dalam konstitusi yang baru.

Semenjak pemilu 2004 sampai dengan sekarang tidak

diberlakukannya lagi Dwi Fungsi ABRI melainkan fraksi-fraksi yang

menduduki DPR murni berasal dari partai politik yang berhasil mendapatkan

kursi di DPR. Dalam Pemilu tahun 2004 ini, mulai dikenal secara resmi

46
Syahrin Harahap (Ed), 2004, Pemilu Yang Jurdil: Dalam Perspektif Forum Rektor Indonesia,
Yogyakarta: Tiara Wacana, hlm. 127

36
lembaga perwakilan rakyat daerah yang bernama Dewan Perwakilan Daerah

(DPD). DPR merupakan representasi dari jumlah penduduk sedangkan DPD

merupakan representasi dari wilayah. DPR setalah pemilu 2004 adalah

lembaga tinggi negara di Indonesia yang secara formil dan materil mewakili

rakyat Indonesia dalam sistem pemerintahan negara Indonesia.

Dinamika pada era reformasi berupa penataan kelembagaan negara

dalam mengemban fungsi dan wewenangnya yang dilaksanakan secara

bertahap sesuai amandemen terebut. Dimulai dari DPR hasil pemilihan umum

1999, yaitu DPR periode 1999-2004 dikenal dengan sebutan “DPR Periode

Reformasi: dan dilanjutkan dengan DPR Periode 2004-2019, DPR memasuki

masa transisi.47

Sistem pemilu di Pemilu Tahun 1999 adalah sistem proporsional

daftar tertutup. Maknanya yaitu sistem dasarnya adalah proporsional (jumlah

kursi yang diperebutkan di dalam satu daerah pemilihan lebih dari satu) dan

pemilih hanya dapat memilih partai politik. Jumlah suara yang diperoleh oleh

partai politik itu kemudian dikonversi menjadi kursi yang didapat. Siapa yang

kemudian terpilih menjadi anggota legislatif ditentukan oleh partai politik.

Berangkat dari kekurangan sistem pemilu di Pemilu Tahun 1999,

maka sejak Pemilu 2004, sistem pemilu diubah dari proporsional tertutup

menjadi proporsional terbuka. Perubahan sistem tersebut membuat pemilih

bisa memilih tak hanya partai politik, namun juga calon legislatif. Perubahan

sistem ini berpengaruh kuat mendorong partai politik merekrut individu-

individu yang memiliki modal individu yang kuat.

47
Marzuki Alie, 2014, Penguatan Kelembagaan Wujud Sebuah Pengabdian, Jakarta: Penjuru
Ilmu Sejati, hlm. 59

37
Selanjutnya, perubahan dalam perilaku memilih pemilih Indonesia

dari sebelumnya berbasis aliran (ideologi partai politik) ke arah berbasis pada

figur individu. Party ID atau identifikasi terhadap partai politik makin lama

cenderung makin menurun. Melemahnya party ID dapat dilihat dari makin

meningkatnya swing voters.48

DAFTAR PUSTAKA

Buku:

Ali Syafa'at, Muchammad, 2010, Parlemen Bikameral, Studi Perbandingan di


Amerika Serikat, Perancis, Belanda, Inggris, Austria, dan Indonesia,
Malang: Universitas Brawijaya Press (UB Press)

Alie, Marzuki, 2014, Penguatan Kelembagaan Wujud Sebuah Pengabdian, Jakarta:


Penjuru Ilmu Sejati

Alvian, Kaka, 2014, Lembaga-Lembaga Negara, Yogyakarta: Penerbit Saufa

Amal, Ichlasul (Ed), 1996, Teori-Teori Mutakhir Partai Politik, Yogyakarta: Tiara
Wacana

Asshiddiqie, Jimly, 1994, Gagasan Kedaulatan Rakyat Dalam Konstitusi Dan


Pelaksanaannya di Indonesia, Jakarta: PT. Ichtiar Baru

________________, 2006, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, Jakarta: Sekretariat


Jendral Dan Kepaniteraan MKRI

________________, 2007, Konstitusi Dan Ketatanegaraan, Jakarta: The Biografy


Institute

________________, 2012, Perkembangan Dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca


Reformasi Cet.Ke-2, Jakarta: Sinar Grafika

48
Muhtadi, B, 2013, Perang Bintang 2014: Konstelasi dan Prediksi Pemilu dan Pilpres, Bandung:
Mizan, hlm.318

38
B., Muhtadi, 2013, Perang Bintang 2014: Konstelasi dan Prediksi Pemilu dan
Pilpres, Bandung: Mizan

Boboy, Max, 1994, DPR RI: Dalam Perspektif Sejarah Dan Tata Negara, Jakarta :
Pustaka Sinar Harapan

Budiardjo, Miriam, 2008, Dasar-Dasar Ilmu Politik Cet.Ke-2, Jakarta: Gramedia


Pustaka Utama

Darwis, Fernita, 2011, Pemilihan Spekulatif, Bandung: Alfabeta

Gede Atmadja, Dewa, 2015, Teori Konstitusi dan Konsep Negara Hukum, Malang:
Setara Press

Gonggong, Anhar dan Musya Asy’Arie (Ed), 2005, Sketsa Perjalanan Bangsa
Berdemokrasi, Jakarta: Departemen Komunikasi Dan Informatika

Harahap, Syahrin (Ed), 2004, Pemilu Yang Jurdil: Dalam Perspektif Forum Rektor
Indonesia, Yogyakarta: Tiara Wacana

Haris, Syamsuddin (Ed), 1998, Menggugat Pemilihan Umum Orde Baru: Sebuah
Bunga Rampai, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia–Ppw Lipi

Held, David, 2004, Demokrasi dan Tatanan Global dari Negara Modern Hingga
Pemerintahan Kosmopolitan, Jogjakarta: Pustaka Pelajar

Huda, Ni’Matul, 2007, Lembaga Negara Dalam Masa Transisi Demokrasi,


Yogyakarta: UII Press

M. Monteiro, Josef, 2014, Lembaga-lembaga Negara setelah Amandemen UUD 1945,


Yogyakarta: Pustaka Yustisia

Mahfud MD, Moh., 1989, Demokrasi dan Hukum di Negara Republik Indonesia,
Yogyakarta: Diktat Pelengkap Bahan Kuliah. Jurusan Hukum Tata Negara
Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia

MPR RI, 2009, Majelis Permusyawartan Rakyat Republik Indonesia (Sejarah, Realita,
dan Dinamika), Jakarta: Sekertariat Jenderal MPR-RI

39
Marbun, BN., 1992, DPR RI: Pertumbuhan dan Cara Kerjanya, Jakarta: PT Gramedia
Pustaka Utama

Noer, Deliar, 1983, Pengantar ke Pemikiran Politik, Jakarta: CV Rajawali

Purnama, Eddy, 2008, Lembaga Perwakilan Rakyat, Banda Aceh: Syiah Kuala
University Press

Ricklefs, MC., 1991, Sejarah Modern Indonesia. Terj. Drs. Dharmono


Hardjowidjono, Yogyakarta : Gajah Mada University Press

Saragih, Bintan, 1985, Sistem Pemerintahan dan Lembaga Perwakilan di Indonesia,


Jakarta: Perintis Press

Saragih, Bintan, dan Kusnardi, 1995, Ilmu Negara, Jakarta: Gaya Media Pratama

Sekretariat DPR-GR, 1984, Seperempat Abad Dewan Perwakilan Rakyat Republik


Indonesia, Jakarta : Sekretariat DPR-GR, hlm.135

Simabura, Charles, 2011, Parlemen Indonesia: Lintasan Sejarah Dan Sistemnya,


Jakarta: Rajawali Pers

Sukardja, Ahmad, 2004, Hukum Tata Negara Dan Hukum Administrasi Negara
Dalam Perspektif Fikih Siyasah, Jakarta: Sinar Grafika

Toto Pandoyo, S., 1992, Ulasan Terhadap Beberapa Ketentuan Undang-Undang


Dasar 1945, Yogyakarta: Liberty

Van Niel, Robert, 1984, Munculnya Elit Modern Indonesia. Terj. Yayasan Ilmu-Ilmu
Sosial, Jakarta: Dunia Pustaka Jaya

Wahidin, Samsul, 2007, Dimensi Kekuasaan Negara Indonesia, Yogyakarta: Pustaka


Pelajar

Jurnal:

A. Bathoro, “Redupnya Peran Politik Islam di Masa Demokrasi Terpimpin (Studi


Kasus Pembubaran Masyumi Oleh Presiden Soekarno)”, Kemudi: Jurnal
Ilmu Pemerintahan, Vol.II No.2, 2018

40
Al Rasyid, Harun, “Tinjauan Yuridis Majelis Perangkat Undang-Undang Pemilihan
Umum”, Unisia: Jurnal Ilmu-Ilmu Sosial, Vol. XXVII, No. 51, 2004

Widayati, “Sistem Parlemen Berdasarkan Konstitusi Indonesia”, Jurnal Masalah-


Masalah Hukum, Fakultas Hukum Universitas Diponegoro Semarang,
Vol.44, No. 4, 2015

Peraturan Perundang-Undangan:

Maklumat Wakil Presiden Nomor X Tanggal 16 Oktober 1945, Berita RI 1945 Thn. I
Nomor 2

Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

41

Anda mungkin juga menyukai