Anda di halaman 1dari 26

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kedaulatan adalah wewenang yang tertinggi yang menentukan segala

wewenang yang ada dalam suatu negara.1 Di dalam pengertian kedaulatan rakyat,

kekuasaan tertinggi dalam sebuah negara di anggap berada di tangan rakyat

negara itu sendiri. Dengan kata lain, kekuasaan yang berasal dari rakyat, dikelola

oleh rakyat, dan untuk kepentingan seluruh rakyat itu sendiri. Istilah yang

kemudian berkembang dengan ini adalah bahwa “kekuasaan itu dari rakyat, oleh

rakyat, dan untuk rakyat”. Bahkan, dalam sistem participatory democracy,

dikembangkan pula kata tambahan bersama rakyat, sehingga menjadi “kekuasaan

pemerintahan itu berasal dari rakyat, untuk rakyat, oleh rakyat, dan bersama

rakyat”.2 Konsep Kedaulatan bersifat kerakyatan dan berdasarkan pada kemauan

umum yang di tuangkan ke dalam undang-undang. Kedaulatan juga bersifat

kesatuan dalam artian bahwa semangat rakyat dan kemauan rakyat adalah

merupakan suatu kesatuan dimana rakyat yang sebagai kesatuan tersebut berhak

memerintah dan berhak pula menolak diperintah.

Kedaulatan rakyat (souverignity) mulai berkembang pada pada abad ke-

XVI. Konsep ini dihidupkan oleh Kaum Monarchomacha, yang menolak dan

melawan kebijakan-kebijakan raja yang mutlak harus diikuti, dengan kata lain

1
Ismail Sunny, Mekanisme Demokrasi Pancasila, Aksara Baru, Jakarta, 1978, hal. 3.
2
Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta,
2010, hal. 117.

1
kaum ini menolak absolutisme dan hubungan antara negara dengan agama. 3 Kaum

ini sangat menentang aturan-aturan yang melanggar perintah-perintah dari Tuhan.

Konsep kedaulatan rakyat juga merupakan cikal bakal awal terjadinya revolusi di

Perancis.

Konsep kedaulatan rakyat secara universal kemudian dikembangkan oleh

berbagai filsuf yang salah satunya lahir dari hasil pemikiran J.J Rousseau sebagai

kelanjutan dari filsafatnya yang bersumber kepada perasaan. Menurutnya,

kedaulatan rakyat berpangkal kepada bahwa tanpa tata tertib dan kekuasaan,

manusia akan hidup tidak aman dan tidak tentram. Tanpa tata tertib, manusia

merupakan binatang buas “homo homini lupus”, dan akan mengakibatkan perang

antar sesama manusia “bellum omnium contra omnes”.4 Oleh karena itu, manusia-

manusia di dunia sepakat untuk mendirikan suatu negara untuk menjamin hak-hak

yang dimilikinya dengan cara mengadakan perjanjian masyakarat. Penguasa

menjalankan kekuasaan bukan karena hak nya sendiri, melainkan perwujudan

mandat dari rakyat dan atas dasar itu pula rakyat juga mempunyai wewenang

sewaktu-waktu dapat merubah atau menarik kembali mandat yang telah diberikan

tersebut. Kedaulatan rakyat itu dinyatakan dalam bentuk pernyataan kehendak,

sehingga kedaulatan rakyat diwujudkan dalam pernyataan rakyat untuk

menyampaikan kehendaknya. Kehendak rakyat itu di sampaikan dalam dua cara

yaitu kehendak rakyat seluruhnya (volonte de tous) dan kehendak sebagian besar

3
J. J. Von Schmid, Grote Denkers Over Staat En Rect, Van Plato Tot Kant, Terjemahan R.
Wiratno, Djamaluddin Dt.Singomangkuto, dan Djamadi, Ahli-Ahli Pikir tentang Negara dan
Hukum, Dari Plato sampai Kant, PT. Pembangunan, Jakarta, 1980, hal. 112.
4
Moh. Kusnardi dan Hermaily Ibrahim, Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia, Pusat Studi
Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, Cetakan ke 7, 1988, hal.
124.

2
dari rakyat (volonte generale). Rousseau juga menjelaskan bahwa kedaulatan

negara haruslah menjadi suatu kemauan umum yang memberikan keadilan bagi

seluruh rakyat, dengan kata lain kepentingan umum menjadi hal yang utama

dalam mekanisme bernegara. Dalam teori perjanjian masyarakat yang di

kemukakan oleh Rousseau, kekuasaan tersebut haruslah diserahkan kepada orang

yang diberikan amanah untuk menjalankan pemerintahan. Maka dari itu,

kekuasaan yang diberikan rakyat haruslah dijalankan untuk kepentingan umum,

bukan berdasarkan kepentingan mayoritas, serta melindungi hak-hak seluruh

rakyat.

Sedangkan ajaran Montesquieu tentang pemisahan kekuasaan (trias

Politica) merupakan sebuah bentuk solusi untuk mengedepankan kedaulatan

rakyat melalui lembaga legislatif. Kedaulatan rakyat ini direpresentasi dalam

lembaga legislatif untuk menjadi penyeimbang dan pemenuhan terhadap hak

rakyat dalam bernegara. Jika tak ada lembaga legislatif, maka pemerintah

(lembaga eksekutif) akan bertindak sewenang-wenang terhadap rakyat. Tujuan

dari hal tersebut adalah agar rakyat dapat ambil bagian dalam mekanisme

perwujudan sistem pemerintahan yang baik, juga untuk menjamin dan

memberikan suatu kebebasan untuk menentukan sikap terhadap kebijakan yang

dibuat baik oleh lembaga eksekutif maupun lembaga legislatif karena rakyat

merupakan kekuatan yang dimiliki oleh suatu negara, tanpa rakyat, negara dan

pemerintah pun tak ada.

Kedaulatan rakyat di Indonesia mempunyai ciri khas tersendiri, yaitu

kedaulatan rakyat yang berdasarkan Pancasila. Perbedaan kultur, budaya, agama

3
serta golongan yang dimiliki Indonesia menyebabkan kedaulatan rakyat yang

berdasarkan Pancasila tersebut hidup dan bertahan hingga saat ini. Dalam sila

Pancasila jelas tersurat, bahwa kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat dan

kebijaksanaan dalam permusyawaratan, perwakilan merupakan asas yang harus

menjadi dasar untuk mengaplikasikan nilai-nilai tersebut dalam rangka

melaksanakan amanat UUD 1945. Tidak kalah pentingnya juga dalam pelaksanan

kedaulatan rakyat tersebut adalah konsep kedaulatan hukum. Tertib hukum akan

menjadikan masyarakat serta pemerintah menjadi teratur, damai, dan tenteram,

serta bahagia.5 Selain Kedaulatan rakyat dan kedaulatan hukum, Indonesia juga

menganut paham kedaulatan Tuhan. Dari kesemua itu, Indonesia memiliki dan

mengakui semua kedaulatan tersebut, karena telah tercantum dalam dasar negara.

Sebagaimana diketahui, sebelum amandemen UUD 1945, MPR

merupakan lembaga tertinggi negara dan pelaksana tunggal kedaulatan rakyat di

Indonesia. Dengan kedudukan seperti itu MPR layaknya superbody yang

mengatasi lembaga tinggi lainnya ditambah MPR memiliki kewenangan untuk

menetapkan Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN), memilih Presiden dan

Wakil Presiden serta mengubah Undang-Undang Dasar. Melihat hasil perubahan

UUD 1945 yang telah dilakukan MPR mulai tahun 1999-2002, terdapat

perubahan mendasar dalam penyelenggaran negara yaitu MPR tidak lagi

berkedudukan sebagai lembaga tertinggi karena kedaulatan rakyat tidak lagi

5
Sutoyo, Konsep Kedaulatan Rakyat Indonesia dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945, Makalah, disampaikan dalam Focus Group Discussion (FGD) yang
diadakan oleh Lembaga Pengkajian MPR RI bekerjasama dengan Pusat Pengkajian Pancasila
Universitas Negeri Malang, di Hotel Atria Malang, tanggal 3 Mei
2016.http://lab.pancasila.um.ac.id/wpcontent/uploads/2016/06 (diakses tanggal 9 Desember
2018) hal. 5.

4
dipegang oleh MPR, melainkan dikembalikan kepada rakyat berdasarkan UUD,

dengan kata lain MPR bukan lagi pemegang dan pelaksana kedaulatan rakyat.

Setelah hasil amandemen ketiga, konsep kedaulatan rakyat di Indonesia dalam

sistem pemerintahan Indonesia tercantum dalam Undang-Undang Dasar 1945

Pasal 1 ayat 2 yang berbunyi :

“Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-

Undang Dasar”

Hal ini merupakan sebuah aturan yang bersifat fundamental untuk melaksanakan

prinsip bernegara. Dari pasal tersebut tercermin bahwa kekuasaan tertinggi adalah

milik rakyat, yang oleh pelaksanannya diatur menurut Undang-Undang Dasar

1945. Maka dari itu, yang melaksanakannya adalah semua lembaga-lembaga

negara yang tercantum dalam UUD 1945, yang kinerjanya haruslah memiliki

tanggung jawab, transparansi dan akuntabilitas. Ini merupakan kewajiban

lembaga-lembaga negara sebagai pelaksana pemegang kekuasaan yang

diamanahkan oleh rakyat.

Suatu negara yang menganut azas kedaulatan rakyat disebut juga sebagai

negara demokrasi. Di Indonesia, karena luasnya wilayah dan banyaknya

penduduk Indonesia, maka bentuk kedaulatan rakyat di Indonesia diwujudkan

secara melalui sistem perwakilan atau disebut juga sebagai demokrasi perwakilan

(representative democracy) karena rakyat tidak secara langsung menentukan

berjalannya pemerintahan tetapi melalui wakil yang mereka pilih dalam badan

perwakilan rakyat (DPR dan DPD). Kelebihan dari adanya sistem perwakilan

5
adalah dengan demikian rakyat bisa mendiskusikan berbagai urusan dengan wakil

yang dipilih tanpa perlu harus melakukannya sendiri ataupun secara bersama-

sama dengan rakyat lainnya karena hal tersebut merupakan salah satu hambatan

terbesar dalam demokrasi.6 Para Wakil yang telah menerima instruksi secara

umum dari para rakyat yang memilihnya tidak perlu lagi menunggu untuk

menerima instruksi khusus dalam setiap urusan7 karena badan perwakilan rakyat

tersebut merupakan penjelmaan dari rakyat Indonesia, pelaksana mandataris dan

kehendak rakyat.

Dengan adanya pergeseran yang sebelumnya pembagian kekuasaan

menjadi pemisahan kekuasaan yang dianut dalam UUD 1945 jelas telah

membawa implikasi pula pada pergeseran kedudukan dan hubungan antar

lembaga negara dalam konteks penyelenggaraan pemerintahan negara, baik dalam

kekuasaan legislatif, eksekutif, maupun yudikatif. Perubahan yang mendasari

pemisahan kekuasaan antar lembaga negara adalah karena adanya pergeseran

kedudukan lembaga pemegang kedaulatan rakyat yang semula berada di tangan

MPR diubah menjadi dilaksanakan menurut UUD. Dari perubahan tersebut jelas

bahwa UUD yang menjadi pemegang kedaulatan rakyat, membagikannnya

kepada lembaga lembaga dengan pemisahan kekuasaan yang jelas dan tegas

secara horizontal dengan cara memisahkannya (separation of power) menjadi

kekuasaan yang dinisbatkan sebagai fungsi lembaga-lembaga negara yang

sederajat dan saling mengendalikan satu sama lain berdasarkan prinsip check and

6
Montesquieu, The Spirit of Laws: Dasar – Dasar Ilmu Hukum dan Ilmu Politik, Penerbit
Nusamedia, Bandung, Cetakan ke I, 2007, hal. 194.
7
Ibid.

6
balances.8 Di bidang legislatif terdapat DPR dan DPD, di bidang eksekutif

terdapat Presiden dan Wakil Presiden, di bidang yudikatif terdapat Mahkamah

Agung, Mahkamah Konstitusi, dan Komisi Yudisial, sementara di bidang

pengawasan keuangan negara ada BPK (Badan Pemeriksa Keuangan). Namun,

dalam pembagian kekuasaan antar lembaga negara terdapat kedudukan dan

hubungan tata kerja antar lembaga negara dalam mencerminkan adanya kesamaan

tujuan dalam penyelenggaraan negara9 karena pada prinsipnya UUD 1945

mengatur lembaga negara sesuai dengan prinsip pemisahan kekuasaan secara

tegas.10 Majelis Permusyawaratan Rakyat tetap menjadi lembaga yang tersendiri

di samping fungsinya yang sebagai penjelmaan dari seluruh rakyat yang terdiri

atas anggota DPR dan DPD.

Implementasi dari kedaulatan rakyat secara langsung (direct democracy)

dilakukan melalui pemilihan umum, pemilihan presiden, dan pelaksanaan

referendum untuk menyatakan persetujuan atau penolakan terhadap rencana

perubahan atas pasal-pasal tertentu dalam Undang-Undang Dasar. Pemilihan

presiden yang dilakukan langsung oleh rakyat dan tidaklah lagi dilakukan oleh

MPR menegaskan bahwa Indonesia menganut sistem pemerintahan presidensiil.

Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden secara langsung oleh rakyat menjadikan

presiden dan wakil presiden yang terpilih mempunyai legitimasi yang lebih kuat

karena memperkuat sistem pemerintahan presidensiil yang salah satu cirinya

adalah adanya periode masa jabatan yang pasti (fixed term) yaitu selama lima
8
Jimly Asshiddiqie, Op.Cit., hal. 60.

9
A.M Fatwa, Potret Konstitusi Pasca Amandemen UUD 1945, Penerbit Buku Kompas, Jakarta,
2009, hal. 11.
10
Ibid., hal. 12.

7
tahun. Presiden dan wakil presiden merupakan satu institusi penyelenggara

kekuasaan eksekutif negara yang tertinggi dibawah Undang-Undang Dasar.

Presiden dan wakil presiden yang terpilih secara langsung juga secara politik tidak

bertanggung jawab kepada MPR atau lembaga parlemen, melainkan bertanggung

jawab langsung kepada rakyat sebagai pemilihnya. Apabila presiden dan wakil

presiden melakukan pelanggaran hukum dan konstitusi, dapat diminta

pertanggungjawaban oleh DPR untuk disidangkan dalam MPR sebelum

mekanisme dimakzulkan dan dimekanisme pidana nya apabila ada untuk

diselesaikan menurut mekanisme hukum pidana.

Masalah pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden di Indonesia

sendiri diatur dalam Pasal 7A dan 7B UUD 1945. Mekanisme pemberhentian

presiden dan/atau wakil presiden agar turun dari jabatannya terbilang cukup rumit,

karena disamping mekanisme peradilannya yang cukup panjang, dukungan yang

kuat dari partai pendukung sangat mempengaruhi suara saat sidang di parlemen.

Akan tetapi, suara dari perwakilan golongan (DPD) memungkinkan untuk

dilakukannya putusan pemakzulan dalam sidang MPR, itupun jika dalam

mekanismenya tidak terjadi lobi-lobi politik.

Secara teoritis, kedudukan presiden dalam sistem pemerintahan

presidensiil sangat kuat dibandingkan dengan kedudukan perdana menteri dalam

sistem pemerintahan parlementer. Hal itu wajar, karena dalam sistem presidensial

dimaksudkan dan diharapkan untuk melahirkan suatu pemerintahan yang relatif

stabil dalam jangka waktu tertentu (fix term period). presiden dan/atau wakil

8
presiden hanya dapat dimakzulkan11 (diberhentikan) dalam masa jabatannya

apabila melakukan pelanggaran hukum yang secara tegas dalam mempimpin

kabinet setiap saat dapat dijatuhkan oleh parlemen dengan mosi tidak percaya.12

Pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden pada masa jabatannya

dalam literatur asing disebut sebagai impeachment biasanya digunakan untuk

mendakwa presiden untuk turun dari jabatannya, atau dipecat. Kata

“impeachment” berarti “accusation” atau “charge”, yang dalam terjemahan

bahasa Indonesia berarti “dakwaan”.13 Praktik impeachment sendiri mulai

dilakukan oleh pemerintah Inggris pada akhir abad ke 1414 yang kemudian

dimasukkan dalam konstitusi Amerika Serikat pada tahun 1787. 15 Di Indonesia,

impeachment masih hanya diketahui oleh segelintir orang. Dari segelintir orang

tersebut, masih ada yang salah mengerti mengenai istilah impeachment yang

diartikan sebagai pemakzulan atau pemberhentian presiden dan/atau wakil

presiden, padahal dari segi arti berbeda. Namun dari segi pemaknaannya,

impeachment yang termuat dalam konstitusi Amerika Serikat, konotasinya

disamakan dengan pemakzulan atau pemberhentian presiden dan/atau wakil

presiden yang termuat dalam UUD 1945.16

11
Makzul menurut kamus besar bahasa Indonesia berarti berhenti memegang jabatan; turun takhta.
Maksud dari jabatan dalam hal ini adalah jabatan sebagai kepala negara atau presiden.
12
Hamdan Zoelva, Impeachment Presiden, Alasan Tindak Pidana Pemberhentian Presiden
Menurut UUD 1945, Konstitusi Press, Jakarta, 2014, hal. 1.
13
Ibid., hal. 9.
14
Hamdan Zoelva, Pemakzulan Presiden di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 2011, hal. 29.
15
Denny Indrayana, Bahan Ajar Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada,
Teori Lembaga Kepresidenan, www.docdroid.net/BrpVnJ7/3-lembaga-kepresidenan-bahan-
ajar.pdf.html (diakses tanggal 12 Desember 2018), hal. 98.
16
Hamdan Zoelva, Impeachment Presiden..., Op.Cit, hal. 12.

9
Kamus Black’s Law Dictionary mendefinisikan impeachment sebagai “A

criminal proceeding against a public officer, before a quasi political court,

instituted by a written accusation called ‘articles of impeachment”17, artinya

adalah sebuah mekanisme peradilan pidana terhadap pejabat publik di hadapan

senat, yang oleh lembaga berwenang telah melakukan dakwaan dengan

mengeluarkan “surat dakwaan” sebelum mekanisme peradilan. Dari penjelasan di

atas, nampak jelas bahwa impeachment bukanlah suatu pemakzulan atau

pemberhentian, tetapi sebuah dakwaan terhadap pejabat publik (presiden) untuk

diberhentikan atau diturunkan jabatannya sebagai presiden karena telah melanggar

aturan yang berlaku dan melakukan perbuatan tercela.

Di Indonesia, lembaga legislatif sebagai lembaga yang berwenang

memberhentikan presiden dan/atau wakil presiden merupakan penentu untuk

melakukan impeachment terhadap seorang presiden. Dalam mekanisme

pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden haruslah disetujui oleh 2/3 dari

anggota badan legislatif. Dari sisi hukumnya, perdebatan terhadap tafsir konstitusi

dan hukum menjadi hal yang menarik untuk menentukan sejauh mana kesalahan

presiden dan/atau wakil presiden. Selain itu lembaga legislatif juga bertanggung

jawab terhadap apa yang diputuskan dalam sidang pemberhentian presiden

dan/atau wakil presiden. Kemudian dari sisi politiknya, lembaga legislatif harus

memperhatikan keinginan bersama para anggota lembaga legislatif untuk

melakukan mekanisme dan keputusan. Sehingga nantinya, keputusan yang

17
Lihat Henry Campbell Black dalam, Laporan Penelitian Mekanisme Impeachment dan Hukum
Acara Mahkamah Konstitusi, Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia dan Konred Adenauer
Stiftung, Jakarta, 2005, hal. 9.

10
diambil merupakan keputusan yang benar-benar matang, dan memperhatikan efek

permanen serta konsistensi.18 Sidang impeachment adalah sidang politik yang

tidak dapat diberikan sanksi pidana dan kurungan, seperti halnya sidang peradilan

umum. Sidang tersebut hanya merupakan implementasi dari check and balances

system yang dimiliki lembaga legislatif untuk mengontrol presiden dan/atau wakil

presiden yang terindikasi melakukan kesalahan atau melanggar konstitusi. Dalam

mekanisme tersebut pertanggungjawabanlah yang menjadi hal penting untuk

menentukan presiden dan/atau wakil presiden tersebut dapat diberhentikan atau

tidak dan juga suara dari anggota parlemen menjadi sebuah penentuan apakah

presiden dan/atau wakil presiden dapat diberhentikan atau tidak.

Pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden dapat diajukan oleh DPR

kepada MPR hanya dengan terlebih dahulu mengajukan permintaan kepada

Mahkamah Konsitusi untuk memeriksa, mengadili, dan memutus pendapat DPR

bahwa presiden dan/atau wakil presiden melanggar ketentuan yang terdapat dalam

Pasal 7A UUD 1945. Pengajuan permintaan DPR kepada Mahkamah Konstitusi

hanya dapat dilakukan dengan dukungan sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah

anggota DPR yang hadir dalam sidang paripurna yang dihadiri oleh sekurang-

kurangnya 2/3 dari jumlah anggota DPR.19

Di Indonesia, tercatat telah mengalami beberapa kali pergantian presiden

secara tidak normal. Terdapat dua presiden Republik Indonesia (Soekarno dan

Abdurrahman Wahid) yang diberhentikan dari jabatannya sebelum berakhir masa

18
Hamdan Zoelva, Pemakzulan Presiden… Op.Cit., hal. 32.
19
Saldi Isra, “Mekanisme Konstitusional Pemakzulan Presiden”, Makalah, disampaikan dalam
seminar nasional teknik konstitusional impeachment presiden, Jakarta, 28 Februari 2007.

11
jabatannya. Di era orde lama, Presiden Soekarno diberhentikan oleh Majelis

Permusyawaratan Rakyat pada masanya setelah adanya memorandum Dewan

Perwakilan Rakyat Gotong Royong pada tahun 1967 dengan dikeluarkannya TAP

MPRS-RI Nomor XXXIII/MPRS/1967. Kemudian pada 23 Juli 2001, MPR-RI

mengadakan sidang istimewa sehingga mengesahkan TAP MPR-RI nomor

II/MPR/2001 yang menyebabkan Presiden Abdurrahman Wahid dimakzulkan

oleh MPR-RI karena beliau dianggap telah melanggar garis-garis besar haluan

negara.20

Faktor yang mempengaruhi ketidakstabilan posisi presiden tersebut adalah

karena UUD 1945 sebelum amandemen tidak memuat secara eksplisit tentang

pemazuklan presiden. Satu-satunya ketentuan dalam UUD 1945 sebelum

diamandemen, yang secara jelas mengatur kemungkinan pemberhentian presiden

adalah Pasal 8 UUD 1945 yang menyatakan: “Jika Presiden mangkat, berhenti

atau tidak dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya ia diganti oleh

Wakil Presiden sampai habis masa jabatannya.” Kemudian penjelasan UUD 1945

angka VII alinea ketiga sebelum amandemen terhadap Pasal 8 tersebut,

menyatakan : “Jika Dewan menganggap bahwa Presiden sungguh melanggar

haluan negara yang telah ditetapkan oleh Undang-Undang Dasar atau Majelis

Permusyawaratan Rakyat, Majelis itu dapat diundang untuk persidangan

istimewa agar supaya bisa meminta pertanggungjawaban Presiden.” Lebih lanjut

lagi mengenai ketentuan pelaksanaan sidang istimewa ini diatur dalam TAP MPR

nomor III tahun 1978 Jo. TAP MPR nomor VII tahun 1973. Alasan tentang
20
Hamdan Zoelva, Impeachment Presiden..., Op.Cit., hal. 2.

12
pemakzulan presiden tercantum dalam kententuan tersebut, yang berbunyi:

“Presiden sungguh melanggar haluan negara yang telah ditetapkan UUD atau

oleh MPR.”

Sidang istimewa MPR merupakan mekanisme politik sekaligus merupakan

forum tertinggi untuk pengambilan keputusan politik untuk memberhentikan atau

tidak memberhentikan presiden dari jabatannya. Penilaian MPR tidak saja

berdasarkan pada pertimbangan, pendapat, serta pengertian hukum semata

(rechstbegrip), tetapi juga pertimbangan, pendapat, serta pengertian politik yang

dinisbatkan kepada seorang presiden dan/atau wakil presiden. Mungkin saja

tindakan presiden dan/atau wakil presiden belum melanggar aturan hukum yang

dapat diancam dengan hukuman tertentu, tetapi ia telah melanggar asas atau

kaidah ketatanegaraan atas asas politik, seperti melanggar sumpah jabatannya,

menjadi diktator, menyampingkan prinsip-prinsip negara hukum dan lain-lain.

Dapat juga tindakan atau tingkah laku presiden dipandang irrationality yaitu suatu

tundakan yang menurut nalar atau logika umum atau menurut standar etik yang

diterima umum tidak semestinya dilakukan oleh presiden dan/atau wakil

presiden.21

Keputusan mengenai pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden

harus diambil dalam sidang istimewa MPR yang dihadiri oleh sekurang-

kurangnya 3/4 dari jumlah anggota dan disetujui oleh sekurang-kurangnya 2/3

dari jumlah anggota yang hadir, setelah presiden dan/atau wakil presiden diberi

21
John Pieris, Pembatasan Konstitusional Kekuasaan Presiden RI, Pelangi Cendekia, Jakarta,
2007, hal. 242.

13
kesempatan menyampaikan penjelasan dan pembelaan dalam rapat paripurna

MPR. Jadi, putusan mayoritas anggota MPR yang hadir tersebut bersifat absolut.

Oleh karena itu, pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden tergantung pada

dua hal pokok, yaitu: "Pintu masuk" atau alasan-alasan yang dapat memenuhi

pasal pemakzulan; dan, dukungan atau konstelasi politik di DPR dan DPD yang

mendukung dilakukan pemberhentian tersebut. Pintu masuk lebih mudah

menemukannya, misalnya melakukan apabila presiden dan/atau wakil presiden

melakukan tindak pidana korupsi.22 Korupsi dapat didakwakan dalam

pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden karena dapat dijadikan pintu

masuk pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden, yang merupakan salah

satu isi dari pasal pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden di dalam UUD

1945.

Dalam penulisan ini, penulis secara khusus akan mencermati dan

membahas mengenai penerapan prinsip kedaulatan rakyat menurut UUD 1945

terkait dengan mekanisme pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden di

Indonesia termasuk mengenai kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam memutus

pendapat DPR bahwa Presiden diduga telah melakukan pelanggaran hukum

berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat

lainnya, atau perbuatan tercela, dan/atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai

Presiden sebagaimana dimaksud dalam UUD 1945. Ada atau tidaknya implikasi

dari putusan Mahkamah Konstitusi tersebut terhadap pelaksanaan kedaulatan

22
Winarno Adi Gunawan, Pemakzulan (Impeachment) Presiden dalam Perspektif Hukum Tata
Negara, Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-38 No. 3, Juli-September 2008, hal. 419.

14
rakyat di Indonesia dalam hal pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden

penting diteliti karena:

1. Dalam UUD 1945 hasil perubahan tidak pernah menyinggung

mengenai ada atau tidak adanya implikasi yuridis (akibat hukum)

putusan Mahkamah Konstitusi dalam proses pemberhentian presiden

dan/atau wakil presiden. Hal tersebut juga tidak diatur secara jelas

dalam UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi maupun

Peraturan Mahkamah Konstitusi yang selama ini dijadikan dasar

Hukum Acara bagi Mahkamah Konstitusi;

2. Sampai saat ini belum ada satupun pendapat hukum yang secara

khusus menyoroti masalah ini sehingga persoalan ada atau tidak

adanya implikasi yuridis (akibat hukum) Mahkamah Konstitusi dalam

masalah pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden tetap

menjadi wilayah yang kurang jelas dalam sistem ketatanegaraan

Indonesia.

3. DPR dan presiden yang dipilih langsung oleh rakyat merupakan bukti

nyata bahwa prinsip kedaulatan rakyat memang benar adanya di

Indonesia bukan sekedar retorika maupun konsep semu belaka.

Namun dalam hal pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden,

mengapa DPR yang seyogyanya merupakan perwakilan dari rakyat

harus masih harus menguji pendapatnya ketika akan memberhentikan

presiden dan/atau wakil presiden dalam masa jabatannya ke

Mahkamah Konstitusi? Bukankah jika kedaulatan rakyat itu sudah di

15
serahkan oleh rakyat melalui pemilihan umum secara langsung maka

berarti mekanisme di lembaga perwakilan saja sudah cukup untuk

memberhentikan presiden dan/atau wakil presiden?

4. Belajar dari pengalaman Indonesia pasca Proklamasi 1945 yang

sudah mengalami dua kali pergantian kekuasaan dengan cara

pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden, yakni terhadap

Presiden Soekarno dan Presiden Abdurrahman Wahid, seyogyanya

masalah ada atau tidak adanya implikasi yuridis (akibat hukum)

putusan Mahkamah Konstitusi dalam masalah pemberhentian

presiden dan/atau wakil presiden segera diperjelas demi kepastian

hukum dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Kebutuhan untuk

memperjelas masalah ini semakin tinggi mengingat usulan

pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden yang diajukan DPR

kepada Mahkamah Konstitusi bisa berakhir dengan tiga kemungkinan

yaitu: Pertama, Mahkamah Konstitusi menolak atau tidak dapat

menerima pendapat/usul DPR tentang pemberhentian presiden

dan/atau wakil presiden. Akibatnya mekanisme pemberhentian

presiden dan/atau wakil presiden tidak bisa dilanjutkan ke Sidang

Istimewa MPR; Kedua, Mahkamah Konstitusi menerima dan

membenarkan pendapat atau usul DPR tentang pemberhentian

presiden dan/atau wakil presiden, kemudian MPR menggelar Sidang

Istimewa MPR yang berujung dengan mekanisme final

pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden; Ketiga, Mahkamah

16
Konstitusi menerima dan membenarkan pendapat atau usul DPR

tentang pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden, namun

sidang istimewa MPR memutuskan untuk tidak memberhentikan

presiden dan/atau wakil presiden.

Konflik konstitusional yang serius akan baru muncul bila yang terjadi

adalah kemungkinan ketiga seperti yang dijabarkan di atas. Permasalahan pertama

yang muncul adalah dapatkah putusan Mahkamah Konstitusi dijadikan dasar

pemidanaan terhadap presiden dan/atau wakil presiden yang tidak diberhentikan

oleh di MPR. Kemudian, apabila putusan Mahkamah Konstitusi tersebut dapat

dijadikan dasar pemidanaan terhadap presiden dan/atau wakil presiden yang ltidak

diberhehentikan oleh MPR, masalah selanjutnya adalah pengadilan mana yang

berwenang mengadili perkara tersebut. Belum ada kejelasan pengaturan hukum

mengenai apakah dalam statusnya sebagai tersangka, seorang presiden dan

atau/wakil presiden harus berstatus non aktif dari jabatannya. Kemudian yang

terakhir adalah apabila benar Mahkamah Konstitusi mengabulkan pendapat

mengenai pemakzulan dari DPR tersebut namun MPR tidak memberhentikan

presiden sesuai dengan putusan Mahkamah Konstitusi, apakah kedaulatan rakyat

sesuai amanat Undang-Undang Dasar 1945 tetap terlaksana?

B. Rumusan Masalah

Bertitik tolak dari uraian pada latar belakang penelitian di atas, adapun

yang menjadi permasalahan atau kajian dalam penelitian ini adalah:

17
1) Bagaimana konsep pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden

dalam masa jabatannya di Indonesia menurut Undang-Undang Dasar

1945?

2) Lembaga negara manakah yang mengemban tugas sebagai pelaksana

kedaulatan rakyat dalam proses pemberhentian presiden dan/atau wakil

presiden di Indonesia menurut Undang-Undang Dasar 1945?

C. Tujuan dan Kegunaan

1. Agar penulisan ini dapat dirasakan manfaatnya dikemudian hari, maka

harus diketahui pula tujuan dari pemilihan judul oleh penulis. Adapun

penulisan ini bertujuan untuk mengetahui:

a. Konsep mengenai pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden

dalam masa jabatannya di Indonesia menurut UUD 1945.

b. Lembaga negara yang mengemban tugas sebagai pelaksana kedaulatan

rakyat dalam mekanisme pemberhentian presiden dan/atau wakil

presiden di Indonesia menurut Undang-Undang Dasar 1945?

2. Kegunaan Penulisan:

a. Teoritis

Bagi penulis untuk mengembangkan ilmu pengetahuan hukum

khususnya dibidang hukum ketatanegaraan serta menambah wawasan

penulis serta memberikan manfaat bagi pembaca, khususnya dalam

masalah yang berkaitan dengan gagasan kedaulatan rakyat dalam

mekanisme pemakzulan presiden di Indonesia.

b. Praktis

18
Penulisan ini diharapkan dapat memberi masukan dan sumbangsih

pemikiran dalam bidang ilmu hukum tata negara khususnya yang

terkait dengan masalah pemakzulan presiden dan kedaulatan rakyat di

Indonesia bagi praktisi hukum, mahasiswa, perguruan tinggi, dan siapa

saja yang membacanya.

D. Kerangka Teori

Kerangka teori dalam penelitian hukum ini berisi tentang teori yang

sistematis dan relevan dengan penelitian yang dijabarkan dan disusun dari

tinjauan pustaka yang kemudian menjadi batu uji dalam pemecahan permasalahan

yang akan diteliti dalam penelitian hukum ini.

Kerangka teori menjadi sangat penting dan bersifat fundamental dalam

suatu penelitian hukum, khususnya penelitian hukum yang bersifat normatif untuk

mengkaji dan menganalisa suatu permasalahan guna memperoleh jawaban dan

menyelesaikan masalah yang akan diteliti.

Dalam penelitian ini, teori yang digunakan oleh penulis ialah:

1. Teori Konstitusi

Kontitusi adalah segala ketentuan dan aturan mengenai ketatanegaraan

(Undang-undang dasar dan sebagainya), atau Undang-Undang Dasar suatu

negara. Segala tindakan atau perilaku dari pemerintah ataupun penguasa

19
berupa kebijakan yang tidak berdasarkan atau menyimpang dari konstitusi

negara tersebut berarti tindakan atau perilaku tersebut tidaklah bersifat

konstitusional. Sebuah konstitusi paling tidak harus memuat tentang adanya

jaminan dan perlindungan hak-hak asasi manusia, anatomi kekuasaan

(kekuasaan politik) yang tunduk pada hukum, adanya paham mengenai

kedaulatan rakyat dan adanya peradilan yang bebas dan mandiri.

Konstitusi modern baru muncul bersamaan dengan berkembangnya

demokrasi perwakilan dan konsep nasionalisme. Demokrasi perwakilan

sendiri muncul sebagai bentuk dari kebutuhan rakyat akan lembaga

perwakilan (legislatif) yang diharapkan dapat membuat undang-undang untuk

mengurangi serta membatasi dominasi hak raja. Kedudukan berfungsi

sebagai benteng pemisah antara penguasa dan rakyat yang kemudian

berkembang sebagai alat rakyat untuk berjuang. Konstitusi dimaksudkan

untuk menentukan batas wewenang penguasa, menjamin hak rakyat dan

mengatur jalannya pemerintahan.23

Konstitusi adalah resultante dari keadaan politik, ekonomi, sosial, dan

budaya ketika konstitusi itu dibuat.24 Undang-Undang Dasar sebegai kontitusi

yang tertulis membatasi kekuasaan pemerintah sehingga penyelenggaraan

pemerintahan tidak bersifat sewenang-wenang dan hak-hak dari rakyat akan

lebih terlindungi. Gagasan yang demikian disebut sebagai konstitusionalisme.

23
Dahlan Thaib, Jazim Hamidi, dan Ni’matul Huda, Teori dan Hukum Konstitusi, Rajawali Pers,
Jakarta, 2015, hal. 17.
24
Mahfud MD, Perdebatan Hukum Tata Negara, Rajawali Pers, 2010, hal. 20.

20
Konstitusionalisme yaitu suatu paham mengenai pembatasan kekuasaan dan

jaminan hak-hak rakyat melalui konstitusi.25

Menurut Aristoteles, suatu negara yang baik ialah negara yang

diperintah dengan konstitusi dan kedaulatan hukum. Menurutnya ada tiga

unsur pemerintahan yang berkonstitusi, yaitu:

a. Pemerintahan yang dilaksanakan oleh kepentingan umum;

b. Pemerintahan dilaksanakan menurut hukum yang berdasarkan pada

ketentuan-ketentuan umum, bukan hukum yang dibuat secara

sewenang-wenang yang menyampingkan konvensi dan konstitusi;

c. Pemerintahan yang berkonstitusi berarti pemerintahan yang

dilaksanakan atas kehendak rakyat, bukan berupa paksaan tekanan

yang dilaksanakan secara despotik.26

Konstitusi merupakan penyusunan jabatan dalam suatu negara dan

menentukan apa yang dimaksudkan dengan badan pemerintahan dan apa

akhir dari setiap masyarakat, konstitusi merupakan aturan-aturan dan

penguasa harus mengatur negara menurut aturan-aturan tersebut. Hamid S.

Attamimi mengatakan bahwa dalam abad ke 20 ini hampir tidak suatu negara

pun yang menganggap sebagai negara modern tanpa menyebutkan dirinya

"negara berdasar atas hukum". Dengan demikian, dalam batas-batas

minimal, negara hukum identik dengan negara yang berkonstitusi atau negara

yang menjadikan konstitusi sebagai aturan kehidupan kenegaraan,

pemerintahan, dan kemasyarakatan, bahkan mulai banyak ketentuan-


25
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka,
Jakarta, Edisi Kedua, 1991, hal. 521.
26
Ridwan HR, Hukum Administrasi Negara, Rajagrafindo Persada, Jakarta, 2006, hal 2.

21
ketentuan perundang-undangan yang dibentuk oleh pemerintah cenderung

keluar dari aturan dasarnya.27

1. Teori Kedaulatan Rakyat

Teori kedaulatan rakyat menyatakan bahwa kekuasaan tertinggi berada

di tangan rakyat. Rakyat memberikan kekuasaannya kepada penguasa untuk

menjalankan pemerintahan melalui sebuah perjanjian yang disebut kontrak

sosial. Penguasa negara dipilih dan ditentukan atas kehendak rakyat melalui

perwakilan yang duduk dalam pemerintahan. Demikian pula sebaliknya,

penguasa negara harus mengakui dan melindungi hak-hak rakyat serta

menjalankan pemerintahan berdasarkan aspirasi rakyat. Apabila penguasa

negara tidak dapat menjamin hak-hak rakyat dan tidak bisa memenuhi

aspirasi rakyat, maka rakyat dapat mengganti penguasa tersebut dengan

penguasa yang baru. Penganut teori ini adalah  antara lain John

Locke, Montesquieu dan J.J. Rousseau. Teori kedaulatan rakyat hampir

diterapkan diseluruh dunia, namun pelaksanaannya tergantung pada rezim

yang berkuasa, ideologi dan kebudayaan masing - masing negara. Menurut

International Commission of Jurist dalam konferensinya di Bangkok,

perumusan yang paling umum mengenai sistem politik yang demokratis

adalah : “Suatu bentuk pemerintahan di mana hak untuk membuat keputusan-


27
Hamid Atta Mimi, Peraturan Keputusan Presiden RI dalam Penyelenggaraan Pemerintahan
Negara, Suatu Studi Analisis Mengenai Keputusan Presiden yang Berfungsi Pengaturan dalam
Kurun Waktu Pelita I-IV , Disertasi, Program Pasca Sarjana Universitas Indonesia, hal. 8.

22
keputusan politik diselenggarakan oleh warga negara melalui wakil-wakil

yang dipilih oleh mereka dan yang bertanggungjawab kepada mereka melalui

suatu mekanisme pemilihan yang bebas (a form of government where the

citizens exercise the same right (the right to make political decisions), but

through representatives chosen by them and responsible to them through the

process of free elections). Ini dinamakan demokrasi berdasarkan perwakilan

(representatives democracy).28 Kedaulatan rakyat adalah asasnya demokrasi

dan demokrasi adalah tumpuannya negara hukum dimana tiap negara hukum

mempunyai landasan tertib hukum dan menjadi dasar keabsahan bertindak.29

3. Teori Kewenangan

Kewenangan memiliki kedudukan yang sangat penting dalam kajian

hukum tata negara dan juga hukum administrasi negara seperti pendapat yang

dikemukan oleh Stroink dan J.G. Steenbeek menyatakan bahwa “het begrip

bevoegdheid is dan ook een kembegrip in he staats-en administratief recht”.


30

Istilah kewenangan atau wewenang disamakan dengan kata

“authority” dalam bahasa Inggris dan “bevoegdheid” dalam bahasa Belanda.

Kewenangan adalah kekuasaan hukum, hak untuk memerintah atau

bertindak, hak atau kekuasaan pejabat publik untuk mematuhi aturan hukum

dalam melaksanakan kewajiban publik.

28
Miriam Budiarjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2008, hal. 177
29
Jimly Asshiddiqie, Gagasan Kedaulatan Rakyat dalam Konstitusi dan Pelaksanaannya di
Indonesia, Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta, 1994, hal. 11.
30
Nur Basuki Winanmo, Penyalahgunaan Wewenang dan Tindak Pidana Korupsi, Laksbang
Mediatama, Yogyakarta, 2008, hal. 65.

23
Sejalan dengan pilar utama Indonesia sebagai negara hukum yaitu

asas legalitas, bahwa, wewenang pemerintah berasal dari peraturan

perundang-undangan termasuk konstitusi. Kewenangan yang sah bila ditinjau

dari sumber darimana kewenangan itu berasal maka terdapat tiga sumber

darimana kewenangan itu berasal yaitu: atributif, delegatif, dan mandat.

E. Ruang Lingkup Penulisan

Implementasi kedaulatan rakyat di Indonesia dalam mekanisme

pemakzulan presiden di Indonesia masih menjadi perdebatan tersendiri. Kendati

demikian, dalam penulisan ini agar tidak terlalu meluas dan melebar atau bahkan

tidak sesuai dengan pokok permasalahan tulisan ini, maka penulis memberi ruang

lingkup penulisan pada permasalahan yang ada di Undang-Undang Dasar 1945

yang terkait dari pelaksanaan prinsip kedaulatan rakyat dalam mekanisme

mekanisme pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden di Indonesia menurut

Undang-Undang Dasar 1945.

F. Metode Penelitian

Dalam menguraikan dan mengembangkan bahasan yang terdapat dalam

pokok permasalahan, penulis melakukan penelitian hukum normatif. Untuk

menyelesaikan tulisan ini, penulis tidak begitu saja memberi uraian dan

pembahasan dari apa yang tercantum dalam pokok permasalahan. Akan tetapi,

penulis mengembangkan pokok permasalahan tersebut menjadi suatu uraian dan

24
bahasan dengan menggunakan suatu metode penelitian sehingga diharapkan

tulisan ini dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.

Penelitian ini bersifat deskriptif dengan menggunakan metode

pengumpulan data melalui kajian kepustakaan sehingga data sekunder yang

digunakan sangat dominan daripada data primer. Suatu penelitian deskriptif

dimaksudkan untuk memberikan data yang seteliti mungkin mengenai apa yang

diteliti dan untuk mempertegas hipotesa-hipotesa agar dapat membantu didalam

memperkuat teori-teori lama, atau didalam kerangka menyusun teori-teori baru.31

Data yang digunakan adalah data sekunder, sedangkan data sekunder baik itu

sumber primer, sumber sekunder, maupun sumber tertier mengenai kedaulatan

rakyat dan pemakzulan masih lebih banyak ditemukan dibanding dengan data

primer. Sehingga data-data yang digunakan dapat membantu memberi uraian dan

penjelasan yang dapat dipertanggung jawabkan kebenarannya secara ilmiah.

Penulis juga menggunakan pendekatan historis untuk megetahui makna dan

mekanisme dari pelaksanaan kedaulatan rakyat yang di anut di Indonesia dan

pemakzulan presiden sesuai dengan yang terdapat di dalam UUD 1945

Dengan penelitian deskriptif, penulis akan menguraikan dan menjelaskan

tentang pokok permasalahan sebagaimana adanya sehingga apa yang menjadi

esensi dari permasalahan tersebut dapat terjawab. Sedangkan metode

pengumpulan data dengan kajian kepustakaan (library research) diharapkan dapat

mendukung apa yang diuraikan dan dijelaskan dengan metode deskriptif melalui

suatu analisa terhadap data.

31
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, UI-Press, Jakarta 2008, hal. 10.

25
Analisa yang digunakan adalah analisa kualitatif, yaitu suatu prinsip-

prinsip umum yang mendasari perwujudan satuan-satuan gejala yang ada dalam

kehidupan manusia, atau pola-pola yang dianalisis gejala-gejala sosial budaya

dengan menggunakan kebudayaan dari masyarakat yang bersangkutan untuk

memperoleh kebudayaan dari masyarakat yang bersangkutan untuk memperoleh

pola gambaran mengenai pola-pola yang berlaku32 yang diharapkan dapat

menghasilkan data yang deskriptif pula.

32
Burhan Ashshofa, Metode Penelitian Hukum, PT. Rinek Cipta, Jakarta, 1996, hal. 20.

26

Anda mungkin juga menyukai