Andy Wiyanto374
Pendahuluan
Lord Acton dalam sebuah surat mengingatkan bahwa, power
trends to corrupt and absolute power corrupt absolutely.375 Oleh sebab itu,
seorang pemikir besar mengenai negara dan hukum dari Perancis
bernama Charles de Secondat baron de Labrede et de Montesquieu
memisahkan kekuasaan memerintah negara yang dilaksanakan oleh
masing-masing badan yang berdiri sendiri. Dengan ajarannya itu
Montesquieu berpendapat bahwa:
“Apabila kekuasaan negara itu dipisahkan secara tegas menjadi tiga,
yaitu: kekuasaan perundang-undangan, kekuasaan melaksanakan
pemerintahan, dan kekuasaan kehakiman, dan masing-masing
kekuasaan itu dipegang oleh badan yang berdiri sendiri, ini
akan menghilangkan kemungkinan timbulnya tindakan yang
sewenang-wenang dari seorang penguasa, atau tegasnya tidak
memberikan kemungkinan dilaksanakannya sistem pemerintahan
absolutisme.”376
1) Fungsi Legislatif;
2) Fungsi Eksekutif;
3) Fungsi Federatif.
Dalam kuliah Ilmu Negara pada Fakultas Hukum dan
Pengetahuan Masyarakat Universitas Indonesia tahun ajaran
1961-1962, Padmo Wahjono membandingkan keduanya sebagai
berikut:
“Fungsi pengadilan dalam ajaran John Locke dimasukkan dalam bidang
Exekutif, sebab Pengadilan itu adalah melaksanakan hukum. Jadi dalam
hal adanya perselisihan, maka itu menjadi wewenang daripada
fungsi Exekutif! Tapi Montesquieu mengeluarkannya dari Exekutif
karena Montesquieu melihat kedalam di Perancis dengan adanya
penggabungan itu timbul kesewenang-wenangan. Oleh karena itu
harus dipisahkan agar supaya jangan timbul ketidakadilan.!
Pertanggungjawaban Presiden
Indonesia adalah negara hukum.385 Negara hukum sendiri
diartikan sebagai negara di mana tindakan pemerintah maupun
rakyatnya didasarkan atas hukum untuk mencegah adanya tindakan
sewenang-wenang dari pihak penguasa dan tindakan rakyat
menurut kehendaknya sendiri.386 Istilah Negara Hukum merupakan
terjemahan langsung dari istilah Rechsstaat.387
383
MPR RI, op.cit., hlm. 56.
384
Mohammad Laica Marzuki, Berjalan-Jalan di Ranah Hukum (Jakarta: Sekretariat
Jenderal & Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, 2006), hlm. 40.
385
Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Republik Indonesia tahun 1945
386
Moh. Koesnardi dan Bintan R. Saragih, Ilmu Negara (Jakarta: Gaya Media
Pratama, 2000), hlm. 91.
387
Yan Pramadya Puspa, Kamus Hukum Edisi Lengkap: Bahasa Belanda Indonesia
Inggris (Semarang: Aneka Ilmu, 1977), hlm. 713.
(by one hand) pada alat perlengkapan negara yang sama. Baginya
tidak lazim memberlakukan dua fungsi dikotomis demikian dalam
sistem pemerintahan presidensil, apalagi menyerahkannya pada
alat perlengkapan negara yang sama.392
Dikotomisasi kekuasaan yang demikian lahir dari ketatanegaraan
Inggris saat pecahnya the glorious revolution di tahun 1688 yang
menggulingkan King James II. Peristiwa ketatanegaraan ini
melahirkan parlemen yang kuat, serta mampu memaksakan
diwujukannya monarki konstitusional. Raja (monarch) dijadikan
simbol kekuasaan namun tidak dapat diganggu gugat, “The King
can do no Wrong”. Pemerintahan yang terdiri dari Perdana Menteri
dan menteri-menteri bertanggungjawab kepada parlemen yang
kuat.393 Dalam konteks pertanggungjawaban presiden di Indonesia,
kedudukan yang dikotomis ini terjadi ketika presiden sebagai
kepala negara tidak dapat diturunkan akan tetapi ia sebagai kepala
pemerintahan dapat diturunkan ditengah masa jabatannya.
2. Impeachment Presiden
Setidaknya ada tiga hal menarik dalam melakukan pengkajian
mengenai impeachment, masing-masing negara mengadopsi
ketentuan ini secara berbeda-beda sesuai dengan pengaturannya
dalam konstitusi. Pertama adalah mengenai objek impeachment yang
tidak hanya terbatas pada Kepala Pemerintahan seperti Presiden atau
Perdana Menteri, namun juga pada pejabat tinggi negara. Bahkan
terkadang beberapa negara memasukkan pejabat tinggi negara
seperti hakim atau ketua serta para anggota lembaga negara yang
menjadi objek impeachment. Di Indonesia objek impeachment dibatasi
oleh konsititusi hanya untuk Presiden dan/atau Wakil Presiden.
Kedua adalah alasan-alasan impeachment pada masing-masing
negara juga berbeda. Selain itu perdebatan mengenai penafsiran
dari alasan impeachment juga mewarnai proses impeachment atau
menjadi wacana eksplorasi pengembangan teori dari sisi akademis.
Contohnya adalah batasan dari alasan misdeamenor dan high crime
yang dapat digunakan sebagai dasar impeachment di Amerika Serikat.
Di Indonesia alasan tersebut diadopsi dan diterjemahkan dengan
“perbuatan tercela” dan “tindak pidana berat lainnya”.
392
Mohammad Laica Marzuki, Berjalan-Jalan...., op.cit., hlm. 33.
393
Ibid, hlm. 34.
394
Winarno Yudho, et al, Mekanisme Impeachment dan Hukum Acara Mahkamah
Konstitusi (Jakarta: Pusat Penelitian dan Pengkajian-Sekretariat Jenderal dan
Kepaniteraan Mahkamah Konstirusi RI, 2005), hlm. v-viii.
395
Jimly Asshiddiqie, Pokok-Pokok...., op.cit., hlm. 600.
Mahkamah Konstitusi
Pelembagaan ide peradilan konstitusi melanjutkan apa yang
telah dirintis oleh Ketua Mahkamah Agung Amerika Serikat John
Marshall, dengan ide pengujian konstitusionalitas undang-undang
yang ia putuskan dalam kasus Marbury versus Madison pada tahun
1803.405
Praktek ini diperkuat oleh pandangan George Jellineck yang
pada penghujung abad 19 mengusulkan ide yang sama. Namun
fungsi pengujian undang-undang yang dilaksanakan secara terpisah
oleh suatu badan yang disebut Mahkamah Konstitusi barulah
ada ketika ide yang dikembangkan Hans Kelsen diadopsi dalam
Konstitusi Austria tahun 1919, yang membuat Mahkamah Konstitusi
Austria sebagai peradilan tata negara pertama di dunia.406
Ide ini diajukan ketika Kelsen diangkat sebagai anggota
lembaga pembaharu konstitusi Austria (Chancelery) pada tahun
1919-1920 dan diterima dalam konstitusi tahun 1920. Gagasan ini
menyangkut hubungan antara prinsip supremasi konstitusi dengan
prinsip supremasi parlemen.407
403
Pasal 7B Ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945
404
Lihat Pasal 7B Ayat (5) dan (6) Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945
405
Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Jilid I (Jakarta: Konstitusi
Press, 2006), hlm. 322.
406
Jimly Asshiddiqie, Setahun Mahkamah Konstitusi: Refleksi Gagasan dan
Penyelenggaraan serta Setangkup Harapan, dalam Refly Harun, Zainal AM
Husein dan Bisariyadi (editor), Menjaga Denyut Konstitusi: Refleksi Satu Tahun
Mahkamah Konstitusi (Jakarta: Konstitusi Press, 2004), hlm. 5-6.
407
Jimly Asshiddiqie dan Muchamad Ali Syafa’at, Teori Hans Kelsen tentang Hukum
(Jakarta: Konstitusi Press, 2006), hlm. 139-140.
interpreter konstitusi.410
414
Denny Indrayana, Amandemen UUD 1945: Antara Mitos dan Pembongkaran
(Bandung: Mizan, 2007), hlm. 381.
422
Dalam hal putusan Mahkamah Konstitusi atas pendapat DPR mengenai dugaan
pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut Undang-Undang
Dasar, terdapat dua golongan ahli yang berbeda menilai sifat dari putusan
tersebut. Kelompok pertama beranggapan bahwa putusan itu tidak bersifat
final karena masih ada proses selanjutnya, yaitu DPR akan membawa putusan
itu ke dalam Rapat Paripurna MPR. Kemudian kelompok kedua berpendapat
bahwa putusan Mahkamah Konstitusi mengenai pemakzulan tersebut bersifat
final dan mengikat secara yuridis, namun pelaksanaannya secara de facto
diserahkan kepada MPR. Sehingga MPR hanyalah melakukan rapat untuk
eksekusi (executable forum) kepada putusan Mahkamah Konstitusi. [Feri Amsari,
op. cit., hlm. 91-92.]
423
Ni’matul Huda berpendapat bahwa putusan MK yang membenarkan pendapat
DPR ini sifatnya tidak final karena tunduk pada (subject to) putusan MPR,
lembaga politik yang berwenang memberhentikan Presiden. Jadi berbeda
dengan Amerika Serikat yang mendahulukan proses politik daripada proses
hukum. [Ni’matul Huda, Hukum Tata Negara Indonesia (Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada, 2006), hlm. 202.]
Penutup
Dalam sistem pemerintaran presidensil terlebih dengan sistem
pemilihan umum secara langsung, Presiden memiliki legitimasi
yang kuat. Dengan legitimasi yang kuat tersebut, jalannya
pemerintahan akan stabil. Karena porsi yang besar itu, maka harus
dibuat mekanisme saling mengimbangi dan mengawasi antar
lembaga negara, utamanya lembaga kepresidenan. Untuk itulah
ada mekanisme pertanggungjawaban Presiden yang merupakan
pertanda adanya penyeimbang kekuatan antara lembaga eksekutif
dengan lembaga legislatif dan yudikatif.
424
Mohammad Mahfud MD, Perdebatan Hukum Tata Negara: Pasca Amandemen
Konstitusi (Jakarta: LP3ES, 2007), hlm. xvi.
425
“Demokrasi dan Nomokrasi dibangun secara Intrerdependen”, Majalah Konstitusi,
No. 34 (November, 2009), hlm. 62.
DAFTAR PUSTAKA
Buku:
Adam, Asvi Warman, 2007. Pelurusan Sejarah Indonesia, Yogyakarta:
Ombak.
Asshiddiqie, Jimly, 2004. Format Kelembagaan Negara dan Pergeseran
Kekuasaan dalam UUD 1945, Yogyakarta: Fakultas Hukum
Universitas Islam Indonesia Press.
---------, 2005. Model-Model Pengujian Konstitusional di Berbagai Negara,
Jakarta: Konstitusi Press.
---------, 2006. Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Jilid I, Jakarta:
Konstitusi Press.
---------, 2006. Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Jilid II, Jakarta:
Konstitusi Press.
---------, 2006. Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca
Reformasi, Jakarta: Sekretaris Jenderal dan Kepaniteraan
Mahkamah Konstitusi RI.
---------, 2007. Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca
Reformasi, Jakarta: Bhuana Ilmu Populer.
Asshiddiqie, Jimly, dan Muchamad Ali Syafa’at, 2006. Teori Hans
Kelsen tentang Hukum, Jakarta: Konstitusi Press.
Asshiddiqie, Jimly, et al, 2006. Gagasan Amandemen UUD 1945 dan
Pemilihan Presiden secara Langsung, Jakarta: Sekretaris Jenderal
dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI.
Fadjar, Abdul Mukthie, 2006. Hukum Konstitusi & Mahkamah
Konstitusi, Yogyakarta: Konstitusi Press & Citra Media.
Hamzah, Teuku Amir, 2003. Ilmu Negara: Kuliah-Kuliah Padmo
Wahjono, SH, Jakarta: Indo Hill Co.
Harun, Refly, Zainal AM Husein dan Bisariyadi (editor), 2004.
Menjaga Denyut Konstitusi: Refleksi Satu Tahun Mahkamah
Konstitusi, Jakarta: Konstitusi Press.
Peraturan Perundang-Undangan:
Indonesia, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Indonesia, Tap MPR No. III/MPR/1978 tentang Kedudukan dan
Hubungan Tata Kerja Lembaga Tertinggi dengan/atau Antar Lembaga-
Lembaga Tinggi Negara.