Anda di halaman 1dari 12

REVISI UU KPK

Disusun untuk memenuhi tugas LDKM Fakultas Ilmu Sosial Ilmu Politik

Di Susun Oleh :
Kelompok Kutai

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK


UNIVERSITAS SINGAPERBANGSA KARAWANG
2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT atas limpahan rahmat dan anugerah dari-Nya kami
dapat menyelesaikan makalah tentang ini. Makalah ini disusun agar pembaca dapat
memperluas ilmu tentang "Revisi UU KPK” Kami sajikan berdasarkan pengamatan dari
berbagai sumber informasi, referensi, dan berita.
Sholawat dan salam semoga senantiasa tercurahkan kepada junjungan besar kita, Nabi
Muhammad SAW yang telah menunjukkan kepada kita semua jalan yang lurus berupa ajaran
agama islam yang sempurna dan menjadi anugrah terbesar bagi seluruh alam semesta.
Kami sebagai penulis dan penyusun sangat berharap semoga makalah ini dapat
menambah pengetahuan dan pengalaman bagi pembaca dan. Kami menyadari makalah kami
jauh dari kata sempurna, oleh karena itu mohon kritik dan saran yang membangun dari para
pembaca untuk kesempurnaan makalah selanjutnya.

Karawang, 09 November 2023


DAFTAR ISI
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 1 ayat (3) yang berbunyi:
Negara Indonesia adalah negara hukum. Hal ini menyebabkan setiap pelaksanaan
ketatanegaraan di Indonesia harus berdasarkan peraturan hukum yang berlaku
atau yang biasa disebut dengan supermasi hukum. Berbicara mengenai hukum,
tentu tidak terlepas dari ketatanegaraan yang membahas segi struktur, lembaga
atau instansi pemerintahan negara yang berwenang. Komisi Pemberantasan
Korupsi atau dikenal dengan singkatan KPK ialah merupakan lembaga negara
yang dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bersifat independen dan
bebas dari pengaruh kekuasaan manapun.
Komisi Pemberantasan Korupsi bukanlah lembaga negara, melainkan komisi
independen yang dalam tugasnya ada keterkaitan dengan Badan Pemeriksaan
Keuangan terutama dalam hal pengelolaan keuangan negara, khususnya berkaitan
dengan penyalahgunaan keuangan negara.2 Lembaga Komisi Pemberantasan
Korupsi untuk pertama kali didirikan pada tahun 2002 dan yang menjadi landasan
hukum berdirinya Komisi Pemberantasan Korupsi di Indonesia adalah Undang-
Undang Republik Indonesia No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi. Lembaga ini dibentuk sebagai salah satu bagian dari
agenda terpenting dalam pembenahan tata pemerintahan di Indonesia. Kehadiran
KPK dilatar belakangi karena rendahnya kepercayaan masyarakat terhadap
lembaga penegakan hukum yakni Kejaksaan dan Kepolisian dalam memberantas
korupsi. Dalam upaya untuk memberantas tindak pidana korupsi di Indonesia,
KPK memiliki beberapa kewenangan, antara lain berkoordinasi dengan institusi
negara lainnya untuk memberantas korupsi, melakukan penyelidikan, penyidikan,
dan penututan terhadap tindak pidana korupsi, melakukan pendaftaran dan
pemeriksaan terhadap laporan harta kekayaan penyelenggara negara,
melaksanakan pendidikan anti korupsi pada setiap jenjang pendidikan, dan
sebagainya. Peranan KPK dalam pemberantasan korupsi yang signifikan ini telah
ditunjukannya dengan pengungkapan kasus-kasus korupsi di sektor-sektor krusial
di ranah kebijakan publik, diantaranya adalah sektor APBN dan APBD, sektor
pelayanan dasar seperti pendidikan dan kesehatan, sektor perpajakan dan
birokrasi serta sektor politik.
Perubahan suatu peraturan perundang-undangan dilakukan dalam rangka
menambah, mengurangi, dan atau menghapus beberapa pasal atau ayat yang ada
dalam peraturan perundang-undangan yang lama. Sehingga yang berlaku adalah
peraturan perundang-undangan yang baru, dan sebagian peraturan
perundangundangan yang lama masih tetap berlaku sepanjang belum diubah
dengan peraturan perundang-undangan yang baru. Sama halnya dengan
perubahan Undang-undang, di mana Undang-undang merupakan salah satu jenis
daripada peraturan perundang-undangan. Perubahan ini menjadi kewenangan
Dewan Perwakilan Rakyat dengan persetujuan bersama Presiden. Kedua lembaga
negara ini merupakan pihak yang berwenang membentuk Undang-undang. Di
akhir masa jabatan DPR periode 2014-2019, dikemukakan wacana revisi
Undang-undang KPK yang harapannya akan disahkan sebelum periode
kepengurusan . Hal ini ditegaskan oleh Ketua DPR, Bambang Soesatyo yang
berharap Badan Legislasi DPR dan Pemerintah bisa cepat mengatasi revisi ini.5
Dalam tulisan ini berfokus kepada salah satu isu yang menjadi polemik dalam
masyarakat, yaitu pembentukan Dewan Pengawas. Dewan Pengawas
diwacanakan sebagai salah satu bagian struktral KPK yang akan menjadi
instrumen check and balances.
Salah satu perubahan Undang-undang yang telah disahkan pada tahun 2019
yaitu Undang-undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua Atas
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi (selanjutnya disebut UU KPK). Revisi UU KPK ini cukup
menyita perhatian publik karena adanya ketentuan baru yakni adanya dewan
pengawas KPK. Perhatian publik tersita karena banyak yang beranggapan bahwa
Dewan pengawas KPK ini alih-alih mengawasi kinerja KPK, justru dinilai dapat
melemahkan KPK. Materi UU KPK hasil revisi yang paling krusial dan banyak
mendapatkan perhatian publik adalah dibentuknya dewan pengawas dengan tugas
dan wewenang yang luar biasa kuat. Menurut ketentuan Pasal 37B Undang-
Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang
Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Dewan pengawas memiliki sejumlah tugas :
a. Mengawasi pelaksanaan tugas dan wewenang Komisi Pemberantasan
Korupsi;
b. Memberikan izin atau tidak memberikan izin Penyadapan,
penggeledahan, dan/atau penyitaan;
c. Menyusun dan menetapkan kode etik Pimpinan dan Pegawai Komisi
Pemberantasar Korupsi;
d. Menerima dan laporan dari masyarakat mengenai adanya dugaan
pelanggaran kode etik oleh Pimpinan dan Pegawai Komisi
Pemberantasan Korupsi atau pelanggaran ketentuan dalam Undang-
Undang ini;
e. Menyelenggarakan sidang untuk memeriksa adanya dugaan
pelanggaran kode etik oleh Pimpinan dan Pegawai Komisi
Pemberantasan Korupsi; dan
f. Melakukan evaluasi kinerja Pimpinan dan Pegawai Komisi
Pemberantasan Korupsi secara berkala 1 (satu) kali dalam I (sahr)
tahun.
Dewan Pengawas membuat laporan pelaksanaan tugas secara berkala 1 (satu) kali
dalam 1 (satu) tahun. Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disampaikan
kepada Presiden Republik Indonesia dan Dewan Perwakilan Rakyat Republik
Indonesia. Sebelumnya kewenangan peyadapan baik di tingkat penyelidikan,
penyidikan dan penuntutan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi diatur dalam
Pasal 12 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor. 30 tahun 2002 tentang Komisi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (selanjutnya disebut UU KPK lama).
Penyadapan berdasarkan ketentuan UU KPK lama tidak memerlukan ijin dari
lembaga atau pihak mananpun termasuk ijin dari Pengadilan Negeri setempat.
Perubahan UU KPK dari UU KPK lama ke Undang-Undang Nomor 19 Tahun
2019 dengan menempatkan kewenangan Dewan Pengawas tersebut tentutnya
menambah satu birokrasi oleh KPK dalam menjalankan fungsi penyelidikan,
penyidikan dan penuntutan. Pemberantasan Korupsi dirasakan menjadi tidak
efektif dan mengurangi nilai kekhususan KPK dalam menjalankan amanah
pemberantasan korupsi. Artinya maksud penguatan KPK dengan langkah
perubahan UU KPK justru dinilai sebaliknya yaitu malahan memperlemah kinerja
KPK. Keberhasilan penyadapan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi ini selalu
dipersoalkan dalam revisi UU KPK. Selalu ada kesamaan di antara semua usul
revisi itu, yaitu perlu ada permintaan izin dari lembaga lain di luar Komisi ini,
jika penyidik ingin menyadap.Pada naskah Revisi UU KPK edisi 2012 dan 2015,
disebutkan bahwa permintaan izin penyadapan harus melalui Ketua Pengadilan
Negeri.
Aturan ini berubah menjadi dengan persetujuan Dewan Pengawas Komisi
Pemberantasan Korupsi pada Revisi UU KPK. Dalam Pasal 12B ayat (1)
UndangUndang Nomor 19 Tahun 2019 disebutkan bahwa penyadapan
dilaksanakan setelah mendapatkan izin tertulis dari Dewan Pengawas.
Berdasarkan kajian yang dikeluarkan Indonesia Corruption Watch menyatakan
ada tiga jenis model lembaga pengawas, yaitu model pengawasan internal, model
pengawasan semi internal, dan model pengawasan eksternal. Maka Dewan
Pengawas dapat dikategorikan sebagai model pengawasan internal. Model ini
dilakukan dengan membentuk sebuah unit pengawasan sebagai salah satu divisi
kerja dalam sebuah lembaga yang akan diawasi. Kewenangan untuk memberikan
izin atau tidak memberikan izin penyadapan dikhawatirkan akan menghambat
kinerja KPK dalam memberantas korupsi.
BAB 2
IDENTIFIKASI MASALAH

1. Mengapa Revisi UU KPK memperlukan izin penyadapan?


2. Apakah Revisi UU KPK memperlukan kode etik kepada pimpinan pegawai yang
menjadi kasus tersangka korupsi?
3. Mengapa peran Polri dibutuhkan saat melakukan proses penyelidikan?
4. Mengapa kepentingan untuk dewan pengawas lebih rendah dibanding pimpinan dan
pegawai KPK?
5. Bagaimana pegawai kpk mengatasi korupsi jika rentan dikontrol seperti ASN?
LANDASAN HUKUM
1. Pasal 12 ayat (1) UU KPK yang menyebutkan bahwa
penyadapan dilaksanakan setelah mendapatkan izin tertulis dari
Dewan Pengawas.
2. Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menjadi dasar hukum
pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia dan menjadi
dasar pembentukan KPK.
3. Undang-Undang No. 19 Tahun 2019 tentang Perubahan
Kedua atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang
Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi merupakan
dasar hukum yang baru diperbaharui dan sangat fundamental
bagi KPK.
4. Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 20 ayat (1) Undang-Undang Dasar
1945 menjadi dasar hukum undang-undang pemberantasan
tindak pidana korupsi.
5. UU 31/1999 mengamanatkan pembentukan Komisi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang akan diatur dalam
Undang-undang tersendiri dalam jangka waktu paling lambat 2
(dua) tahun sejak Undang-undang ini diundangkan. Kemudian,
amanat tersebut diwujudkan melalui UU 30/2002 yang
mengatur secara khusus tentang KPK.
Fakta lapangan
1. Mengapa Revisi UU KPK memperlukan izin penyadapan.
Dalam keterangannya Novel menguraikan mengenai proses penegakan hukum yang
berjalan di KPK, yang terdiri dari penyadapan, proses penggeledahan, proses penyitaan dan
terkait penghentian penyidikan atau tuntutan. Dalam undang-undang sebelumnya, lanjutnya,
proses penyadapan dilakukan KPK sendiri tanpa izin dari manapun.
“Hal ini bukan berarti tidak ada pegawasan, karena proses tersebut dilakukan secara
berjenjang. Penyadapan dilakukan dari penyelidikan, penyidikan, ataupun penuntutan
dilakukan dengan pengajuan fungsional kepada strukturnya, kepada direkturnya dan
kemudian kepada deputi dan kemudian disampaikan kepada pimpinan untuk mendapatkan
persetujuan. Setelah mendapat persetujuan, baru dilakukan proses secara teknis melalui
direktorat monitor,” urai Novel.
Dalam keterangannya Novel menguraikan mengenai proses penegakan hukum yang
berjalan di KPK, yang terdiri dari penyadapan, proses penggeledahan, proses penyitaan dan
terkait penghentian penyidikan atau tuntutan. Dalam undang-undang sebelumnya, lanjutnya,
proses penyadapan dilakukan KPK sendiri tanpa izin dari manapun.

“Hal ini bukan berarti tidak ada pegawasan, karena proses tersebut dilakukan secara
berjenjang. Penyadapan dilakukan dari penyelidikan, penyidikan, ataupun penuntutan
dilakukan dengan pengajuan fungsional kepada strukturnya, kepada direkturnya dan
kemudian kepada deputi dan kemudian disampaikan kepada pimpinan untuk mendapatkan
persetujuan. Setelah mendapat persetujuan, baru dilakukan proses secara teknis melalui
direktorat monitor,” urai Novel.
Dikatakan Novel, sebelumnya proses penyadapan di KPK dilakukan dengan standar
penyadapan yang berlaku, dengan fokus kepada objek yang telah ditetapkan dalam surat
perintah. Sementara dalam UU KPK baru ditentukan bahwa perlu diwajibkan adanya izin
dari Dewan Pengawas KPK untuk disetujui atau ditolak dalam melakukan penyadapan. Hal
ini membuat proses penyadapan menjadi panjang.
“Selama ini KPK mendapat informasi dari masyarakat tentang perbuatan korupsi,
baik yang sedang ditangani maupun yang sedang dilakukan pemantauan. Informasi tersebut
sangat penting untuk segera melakukan respons. Bahkan dalam beberapa kasus, ketika
respons tidak dilakukan dengan segera, maka potensi mendapatkan bukti menjadi hilang,”
ucap Novel.
Dapat Dilakukan Tanpa Izin
Selain itu, Novel juga mengungkapkan bahwa proses penggeledahan yang selama ini
dilakukan KPK telah sesuai dengan KUHAP yang juga berlaku juga bagi penegak hukum
yang lain. Proses tersebut dilaksanakan secara normal melalui izin pengadilan atau tanpa izin
apabila mendesak seperti pencarian alat bukti dan/atau tersangka yang melarikan diri.
Selanjutnya, Novel menjelaskan bahwa proses penyitaan yang dilakukan KPK
berdasarkan UU KPK sebelum perubahan, dapat dilaksanakan tanpa izin. Kemudian, apabila
merujuk kepada KUHAP, penyitaan harus dilakukan dengan izin pengadilan atau tanpa izin.
Namun, UU KPK baru mengatur agar proses penyitaan harus mendapat izin Dewan
Pengawas KPK terlebih dahulu. Perubahan UU KPK juga mengatur wewenang KPK dalam
hal penghentian penyidikan. Novel menegaskan bahwa hal tersebut tidak disebutkan dalam
undang-undang sebelumnya.
2. Apakah Revisi UU KPK memperlukan kode etik kepada pimpinan pegawai yang menjadi
kasus tersangka korupsi?
Insan Komisi Pemberantasan Korupsi yang meliputi Dewan Pengawas, Pimpinan, dan
Pegawai memerlukan panduan nilai dasar berupa kode etik dan kode perilaku untuk
mengarahkan elan spiritualitas, motivasi, sikap, dan perilaku seluruh Insan Komisi, sehingga
menjadi komitmen dan tanggung jawab bersama yang mengakar dalam sanubari,
menghunjam pada kesadaran, serta mewujud dalam tata sikap dan perilaku.
Untuk itu, setiap Insan Komisi wajib tunduk dan berpedoman pada Kode Etik dan
Kode Perilaku Komisi Pemberantasan Korupsi. Menimbang besarnya amanat dan
kepercayaan masyarakat kepada Komisi Pemberantasan Korupsi untuk berkontribusi
mengantarkan bangsa dan negara Indonesia pada kondisi yang lebih berdaulat, adil, makmur,
bermartabat, dan maju, maka Komisi Pemberantasan Korupsi perlu terus-menerus melakukan
pengembangan di antaranya nilai-nilai dasar, kode etik, dan kode perilaku agar selalu
berkesesuaian dengan tuntutan perkembangan tugas dan fungsi serta dinamika kehidupan
bernegara.

Untuk mewujudkan hal tersebut, diperlukan komitmen yang kuat dan tanggung jawab
yang penuh dari seluruh insan Komisi Pemberantasan Korupsi untuk memiliki,
menginternalisasikan, dan melandaskan perilakunya kepada nilai- nilai dasar Integritas,
Sinergi, Keadilan, Profesionalisme, dan Kepemimpinan yang dijabarkan dan dikodifikasikan
ke dalam kode etik dan Kode perilaku. Keseluruhan nilai-nilai dasar, kode etik, dan kode
perilaku dimaksud dicitakan untuk dapat mengikat sekaligus membentengi diri setiap insan
Komisi Pemberantasan Korupsi baik dalam pelaksanaan tugasnya, maupun dalam pergaulan
sehari-hari.
3. Mengapa peran Polri dibutuhkan saat melakukan proses penyelidikan?
Peran Polri (Kepolisian Republik Indonesia) sering dibutuhkan dalam proses
penyelidikan karena beberapa alasan penting

1. Kewenangan Hukum
Polri memiliki kewenangan hukum dalam penyelidikan dan penegakan hukum di
Indonesia. Mereka memiliki infrastruktur, sumber daya, dan tenaga ahli yang dapat
digunakan dalam menyelidiki kejahatan, termasuk korupsi.
2. Penerapan Hukum
Polri dapat membantu dalam penangkapan dan pengasingan tersangka, serta
mengawasi pelaksanaan hukuman hukum yang dijatuhkan oleh pengadilan.
3. Kerjasama Antar Lembaga
Polri sering kali berkolaborasi dengan lembaga penegak hukum lainnya, termasuk
KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi), dalam kasus-kasus korupsi yang melibatkan
banyak pihak.
Meskipun Polri memiliki peran penting dalam penyelidikan, terkadang terdapat
kekhawatiran tentang independensi dan potensi konflik kepentingan, terutama dalam kasus-
kasus yang melibatkan pihak-pihak yang memiliki hubungan dengan Polri. Oleh karena itu,
ada upaya untuk memastikan bahwa proses penyelidikan tetap adil dan terjamin integritasnya,
terutama dalam kasus korupsi yang sering melibatkan unsur-unsur kekuasaan dan politik.
4. Mengapa kepentingan untuk dewan pengawas lebih rendah dibanding pimpinan dan
pegawai KPK?
Kepentingan untuk dewan pengawas yang lebih rendah dibandingkan pimpinan dan
pegawai KPK biasanya didasarkan pada prinsip-prinsip dasar tata kelola organisasi yang
sehat, terutama dalam konteks lembaga anti-korupsi seperti KPK (Komisi Pemberantasan
Korupsi).
Berikut beberapa alasan kepentingan dewan pengawas lebih rendah di bandingkan dengan
pimpinan dan pengawai KPK
1. Perlindungan Terhadap Intervensi Politik
Mengurangi peran dewan pengawas dapat membantu melindungi KPK dari intervensi
politik yang mungkin terjadi jika dewan memiliki kewenangan yang terlalu besar.
2. Fokus Utama pada Penegakan Hukum
KPK adalah lembaga penegakan hukum yang memiliki tugas utama dalam
memberantas korupsi. Oleh karena itu, peran pimpinan dan pegawai KPK dalam
mengungkap dan menuntaskan kasus korupsi sering dianggap lebih langsung dan
kritis.
3. Efisiensi dan Responsif
Pimpinan dan pegawai KPK sering perlu bereaksi dengan cepat terhadap
perkembangan dalam menyelidiki korupsi. Terlalu banyak keterlibatan dewan
pengawas dapat memperlambat proses dan menyebabkan kurang responsif.

Namun, penting untuk diingat bahwa peran dewan pengawas dalam mengawasi dan
memberikan arahan strategi tetap penting untuk memastikan bahwa KPK menjalankan
tugasnya dengan integritas dan akuntabilitas. Keseimbangan antara kewenangan dan
kebijakan yang diberikan kepada dewan pengawas, pimpinan, dan pegawai KPK harus
mencerminkan prinsip-prinsip hukum dan tata kelola yang sehat.

5. Bagaimana pegawai kpk mengatasi korupsi jika rentan dikontrol seperti ASN?
Pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) biasanya dilengkapi dengan berbagai
mekanisme dan langkah-langkah untuk mengatasi risiko korupsi dan kontrol yang mungkin
dilakukan terhadap mereka, meskipun tentu saja tidak selalu berhasil sepenuhnya. Berikut
beberapa cara yang dapat di lakukan:
1. Transparansi
Transparansi meningkatkan transparansi dalam tindakan dan keputusan mereka
sehingga sulit untuk menyembunyikan praktik korupsi.
2. Kerja Sama Internasional
Melakukan kerja sama dengan lembaga anti-korupsi internasional untuk
meningkatkan efektivitas pemberantasan korupsi.
3. Whistleblowing
Whistleblowing mendorong dan melindungi pelapor yang memberikan informasi
tentang tindakan korupsi, sehingga mereka tidak takut untuk melaporkan pelanggaran.
4. Pendidikan dan Pelatihan
Memberikan pelatihan etika dan anti-korupsi kepada pegawai KPK agar mereka lebih
peka terhadap risiko korupsi.

B. TUNTUTAN DILAPANGAN
1. Menuntut KPK agar lebih meningkatkan transparansi dalam penyelesain kasus
korupsi
2. Menuntut untuk memperkuat lembaga tersebut dalam memberantas korupsi
3. Menuntut setiap lembaga untuk meningkatkan ke efektivitasnya
4. Menuntut Peran Polri dalam penyelidikan dapat memperkuat koordinasi antar
lembaga penegak hukum, mendukung pengumpulan bukti, dan memastikan
proses hukum berjalan lancar.
5. Menuntut setiap pegawai KPK Untuk Menerapan pengawasan internal yang
ketat, pelatihan etika, dan memastikan bahwa sistem pengawasan eksternal
juga berfungsi efektif.
6. Menuntut agar Presiden dan DPR berhenti membahas revisi tersebut dan
membiarkan undang-undang tersebut tetap apa adanya.

Anda mungkin juga menyukai