Anda di halaman 1dari 4

SINKRONISASI HORIZONTAL PERARTURAN

UNDANG – UNDANG KOMISI PEMBERANTASAN


TINDAK PIDANA KORUPSI (UU KPK)

(Tugas Metode Penelitian Hukum)

Oleh

RAYI SAPUTRI

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS LAMPUNG
BANDARLAMPUNG
2021
A. Latar Belakang

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) merupakan lembaga negara yang dalam


melaksanakan tugas dan wewenangnya bersifat independen dan bebas dari pengaruh
kekuasaan manapun. Status KPK di dalam Undang-Undang No.30 Tahun 2002 yang
merupakan bagian dalam hierarki peraturan perundang-undangan berbentuk sebuah
lembaga yang independen. KPK memiliki kewenangan melakukan koordinasi dan
supervisi, termasuk melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan, yang mana
dalam kewenangan yang dimiliki, dilakukan secara optimal, intensif, efektif,
profesional, serta berkesinambungan.
Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) merevisi beberapa Pasal yang
akhirnya menjadi kontroversional bagi Publik, DPR RI juga mempercepat melakukan
pengesahan Undang-Undang tersebut. Presiden Jokowi Widodo menolak untuk
dikeluarkannya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) untuk
membatalkan UU No. 19 Tahun 2019  tentang perubahan kedua undang-undang (UU)
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), harapan terakhir menyelamatkan KPK dari
pelemahan akibat revisi UU itu kini berada di Mahkamah Konstitusi (MK).
Atas revisi undang-undang tersebut menciptakan perarturan baru sehingga
mempengaruhi tugas dan wewenang KPK. Pasal 1 ayat (3), Pasal 3 UU KPK, status
kelembagaan KPK yang berubah dari semula lembaga negara yang independen menjadi
lembaga negara dalam rumpun eksekutif, lembaga-lembaga yang berada pada cabang
kekuasaan eksekutif yaitu Kepolisian dan Kejaksaan.
Tingkat penyelidikan, KPK tidak dapat lagi melarang seseorang ke luar negeri.
Sebelum dilakukannya revisi undang-undang, KPK mempunyai kewenangan melarang saksi
atau terduga pelaku korupsi untuk berpergian ke luar negeri pada tahap penyelidikan.
Tujuannya adalah agar memudahkan untuk pengungkapan dan pengembangan kasus tindak
pidana korupsi. Pelaku-pelaku pidana korupsi biasanya dilakukan oleh orang yang memiliki
kewenangan, kedudukan bahkan kepemilikan rekening di negara lain serta kemampuan
untuk berpindah dan menetap dari suatu negara ke negara lainnya. Kewenangan ini
kemudian diubah dengan ketentuan pelarangan hanya dapat dilakukan jika seseorang sudah
dinyatakan sebagai tersangka. Argumentasi tersebut didasarkan hanya pada pertimbangan
hak asasi manusia.
Keterbatasan KPK dalam mengangkat sumber penyidik independen. Pasal 45
perubahan Undang-Undang KPK menyatakan bahwa Penyidik Komisi Pemberantasan
Korupsi dapat berasal dari Kepolisian, Kejaksaan, Penyidik Pegawai Negeri Sipil yang
diberi wewenang khusus oleh undang-undang, dan penyelidik Komisi Pemberantasan
Korupsi. Pasal ini sangat membatasi KPK dalam memenuhi kebutuhan penyidiknya yang
mungkin saja dapat merekrut praktisi hukum dan ahli-ahli keuangan lainnyadi luar KPK.
Kedudukan pimpinan yang bukan lagi sebagai sebagai penyidik dan penuntut umum
Undang-Undang KPK hasil revisi tidak lagi menempatkan pimpinan KPK sebagai penyidik
dan penuntut umum. Berlakunya revisi ini menempatkan pimpinan KPK hanya sebagai
figure administratif. Pimpinan KPK dapat ditafsirkan secara hukum tidak lagi dapat
menandatangani surat perintah penyidikan dan atau surat rencana penuntutan yang
merupakan ranah dari penyidik dan penuntut umum. Lebih jauh lagi, penyidik dan penuntut
umum dapat menolak pimpinan KPK untuk mengikuti ekspose perkara karena menyangkut
kerahasiaan dan kewenangan pimpinan yang bukan sebagai penyidik atau penuntut umum.
Standar larangan Etik dan anti konflik Kepentingan untuk Dewan Pengawas lebih
Rendah dibanding Pimpinan dan Pegawai KPK. Pasal 36 tidak berlaku untuk Dewan
Pengawas, sehingga Dewan Pengawas tidak dilarang menjadi komisaris, direksi, organ
yayasan hingga jabatan profesi lainnya. Dewan Pengawas tidak dilarang bertemu dengan
tersangka atau pihak lain yang ada hubungan dengan perkara yang ditangani KPK
Sementara itu pihak yang diawasi diwajibkan memiliki standar etik yang tinggi dengan
sejumlah larangan dan ancaman pidana di UU KPK.
Terdapat risiko Penyidik PNS di KPK berada dalam koordinasi dan pengawasan
Penyidik Polri karena Pasal 38 ayat (2) UU KPK dihapus. Di satu sisi UU meletakkan KPK
sebagai lembaga yang melakukan koordinasi dan supervisi terhadap Polri dan Kejaksaan
dalam menangani kasus korupsi namun di sisi lain, jika Pasal 38 ayat (2) UU KPK dihapus,
ada resiko Penyidik PNS di KPK berada dalam koordinasi dan pengawasan Polri.
Kebijakan legislasi dalam melakukan revisi Undang-Undang tersebut menjadi polemik
dan menimbulkan gejolak dari beragam pihak. Kalangan masyarakat, praktisi dan akademisi
melihat revisi undang-undang tersebut sangat terburu-buru, dibahas pada waktu yang tidak
tepat karena masa jabatan anggota DPR akan berakhir 30 September 2019 dan secara
subtansi, perubahan Undang-Undang tersebut justru akan menimbulkan permasalahan baru
dimasa yang akan datang khususnya terkait dengan pemberantasan tindak pidana korupsi.
Atas pertimbangan itulah, kemudian publik menilai bahwa revisi yang dihasilkan justru
melemahkan kedudukan dan kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)
.
B. Permasalahan dan Ruang Lingkup

Ruang Lingkup substansi penelitian ini ialah meneliti Undang-Undang Komisi


Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang di sinkronisasikan secara horizontal,
berdasarkan lingkup ilmu Hukum Pidana. Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan
diatas, maka penulis merumuskan permasalahan sebagai berikut :
1. Bagaimana dapat di sahkannya Undang-Undang KPK atas revisi perarturan Undang-
Undang No 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
(UU KPK)
2. Apakah Undang-Undang yang megatur tentang Komisi Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi memiliki taraf sinkronisasi horizontal ?

C. Tujuan
Adapun tujuan penelitian ini yaitu :
1. Untuk mengetahui bagaimana dapat disahkannya Undang-Undang KPK atas revisi
perarturan Undang-Undang No 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi (UU KPK)
2. Untuk mengetahui taraf sinkronisasi horizontal UndangUndang tentang Komisi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

D. Manfaat
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan :
1. Manfaat teoritis
Secara teoritis penulisan hukum ini bermanfaat bagi perkembangan ilmu hukum
khususnya Hukum Pidana dalam kaitannya dengan Komisi Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi.
2. Secara praktis
Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai usulan terhadap
kekuasaan legislatif dan eksekutif dalam memberikan solusi atas kekurangan-
kekurangan baik dalam konsep kelembagaan KPK ataupun dalam komitmen
menjaga KPK agar tetap independen dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya.

Anda mungkin juga menyukai