Anda di halaman 1dari 10

“KRITISI REVISI UNDANG-UNDANG KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI”

Oleh :

- DR. Ida Bagus Surya Darmaya,SH.,MH

- Dr. Gede Marhaendra Wija Atmaja,SH.,M.Hum

Saat menghadiri Rapat Paripurna DPR pada hari ini, Menkumham Yasonna Laoly
menyatakan Presiden Jokowi menyetujui pengesahan rancangan revisi UU Nomor 30
Tahun 2002 menjadi Undang-Undang. Sesuai pemaparan Yasonna, ada 4 materi pokok
dalam revisi UU KPK. Empat hal itu berkaitan dengan perubahan kedudukan dan tugas
Relevansi RUU KPK dalam Perspektif HTN
- Relevansi RUU KPK sebagai upaya mewujudkan pemberantasan korupsi
berdasarkan semangat menegakan kepastian hukum dan keadilan.
- Pasal 40 ayat (1) “’komisi pemberantasan korupsi dapat menghentikan
penyidik dan penuntutan terhadap perkara tindak pidana korupsi yang
penyidikan dan penuntutannya tidak selesai dalam jangka waktu paling
lama 2 tahun.
- Solusi dan saran mengenai dinamika RUU KPK dalam perspektif HTN
pasal 37 A ayat (1) “dalam rangka mengawasi pelaksanaan tugas dan
wewenang KPK dibentuk Dewan Pengawas sebagaimana dimaksud dalam
pasal 21 ayat (1) huruf a.
1. Penghentian Penyidikan dan Penuntutan
- Adanya pemberian wewenang bagi KPK untuk menghentikan penyidikan
dan penuntutan dalam perkara korupsi. Keputusan penghentian itu harus
diberitahukan kepada dewan Pengawas KPK paling lama satu minggu sejak
Surat Perintah Penghentian Penyidikan dan Penuntutan diterbitkan.
2. Kedudukan Lembaga KPK
- Dalam revisi UU No. 30 Tahun 2002, KPK menjadi Lembaga negara dalam
rumpun kekuasaan eksekutif yang dalam pelaksanaan kewenangan dan
tugasnya bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun.
3. Aturan Penyadapan
- Penyadapan bias dilaksanakan setelah ada izin dari Dewan Pengawas KPK.
Izin penyadapan diberikan setelah pimpinan KPK mengajukan surat secara
tertulis. Hasil penyadapan bersifat rahasia dan hanya untuk kepentingan
peradilan terkait perkara korupsi.

Adapun klausul bahwa SP3 terhadap KPK administrative. Sebab,


kalusul waktu dua tahun tersebut tidak terdapat di Lembaga penegakan hukum
lainnya, yaitu di kejaksaan maupun di kepolisian. Revisi UU KPK dalam poin
SP3 jangka waktu dua tahun tersebut, justru ingin menghentikan penyidikan-
penyidikan perkara besar.

Berdasarkan Pasal 40 ayat (1), KPK dapat menghentikan penyidikan


dan penuntutan terhadap perkara tindak pidana korupsi yang penyidikan dan
penuntutannya tidak selesai dalam jangka waktu paling lama dua tahun.

Pasal 40 ayat (2) menyatakan, penghentian penyidikan dan penuntutan


harus dilaporkan kepada dewan Pengawas paling lambat satu minggu terhitung
sejak dikeluarkannya SP3. KPK juga wajib mengumumkan SP3 kepada publik.

Keterkaitan Revisi UU KPK dengan Sistem Peradilan Pidana

Kedudukan KPK dalam kekuasaan negara dan kewenangan organ KPK


khususnya bidang penindakan dalam sistem peradilan pidana. Adapun relevansi
antara Revisi UU KPK yang memuat adanya SP3 atau Surat Penghentian
Penyidikan yang dimana SP3 tersebut adalah surat ketetapan yang dikeuarkan
oleh penyidik Polri atau penyidik PNS sebagaimana dimaksud dalam Undang-
Undang No.8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara
Pidana (KUHAP) yang menetapkan dihentikannya suatu penyidik perkara
pidana. Dengan dihentikannya penyidikan berdasarkan SP3 tersebut maka pada
saat itu juga penyidikan yang dilakukan oleh penyidik menjadi berhanti dan
dalam hal tersangka ditahan maka wajib segera dikeluarkan serta barang sitaan
wajib segera dikembalikan. Mengenai organ KPK khususnya di penindakan
dalam konteks sistem peradilan pidana, sebagaimana Pasal 26 butir 4 UU KPK
menyebutkan ada 3 organ dalam penindakan KPK yaitu penyelidikan,
penyidikan, dan penuntutan.
BEDAH BUKU MAHKAMAH KONSTITUSI

BUKU I: Hukum Internasional

Aspek-Aspek Teoretik dan Penerapannya

Buku ini membahas mengenai hukum internasional yang bersifat Publik. Bahwa
dalam buku ini perjanjian-perjanjian internasional ini digunakan sebagai sumber dalam
menyelesaikan kasus-kasus / sengketa internasional. Cara berlakunya perjanjian
internasional kedalam hukum nasional dengan menggunakan doktrin inkorporasi yang
praktiknya di gunakan di Inggris dan Amerika Serikat.

Perjanjian Internasional : primary source of Internasional law

Penyelesaian kasus/sengketa internasional merujuk pada perjanjian-perjanjian


Internasional, e.g. Kejahatan Transnasional dengan UN Convention Against Organized
Transnational Crime; tanggungjawab pengangkut pada peristiwa tabrakan antar
pesawat udara dalam penerbangan dengan Konvensi Warsawa 1929. Perjanjian
Internasional : signature, ratification, acceptance, approval, accession dan lainnya.
Salah satu cara berlakunya perjanjian internasional ke dalam hukum nasional melalui
doktrin inkorporasi. Subsidiary source of Internasional : advisory opinion reparation
for injuries case 1949. Dasar pemberian immunities dan privileges kepada perwakilan
diplomatic : penting diberikan untuk melaksanakan peran dan fungsinya dengan baik.
Tanggung jawab dalam HI tidak hanya ditunjukan kepada Negara tetapi juga bias
individu ataupun badan hokum.

` BUKU II

Design Penyelesaian Sengketa Pemilu Serentak Republik Indonesia

Sebagai buku hukum tata negara, buku ini memberi insipirasi permasalahan-
permasalahan pemilu yang terjadi kemarin secara serentak sudah bias diselesiakn
dengan baik dengan mahakamah konstitusi. Bagaimana tim dari mahmakah konstitusi
memberi perhatian kepada sengketa yang terjadi selama sengketa proses pemilu
kemarin

BAB I, adanya kajian mengenai latar belakang mnegnai desain penyelsaian


sengketa perlu dikaji sebegai suatu usaha bagaimana MK sebagai Lembaga tinggi
negara yang mempunyai fungsi untuk menjaga , mengawal konstitusi itu dpat
menyelesian berbagai sengketa dalam proses pemilu kemarin. Kemudian dalam latar
belakang dikaitkan berisi bagaimana Indonesia sebagai demokrasi , pemilu sebagai
pilar demokrasi. Dan pada bab ini berisi dimana hak-hak kedaulatan rakyat dihargai,
dan bagaimana suatu pemilu sebagai suatu pilar menegakan karakteristik suatu
demokrasi harus dipertahankan.

BAB II, adanya dasar-dasar teori yang digunakan untuk membahas mengenai
penyelesian sengekta pemilu serentak yang ditangani oleh mk, adapun sebagai berikut:
1. Pengetian pemilihan umum
2. Fungsi dan tujuan system pemilihan umum

Dalam sistem pemilu ada 2 sistem , sistem pemilihan mekanis dan organis dimana
Indonesia dikatakan menggunakan sistem pemilihan secara mekanis.

Dijelaskan juga sejarah pemilu di Indonesia yaitu mulai dari masa pemerintahan masa
orde lama, orde baru, masa reformasi, dan pemilu amandemen masa reformasi.

Dijelaskan mengenai apa itu komisi pemilihan umum, badan pengawas pemilu ,
mahkamah agung, yang paling banyak dibahas mengenai mahkamah konstitusi

BAB III, mengenai apa itu pemilu serentak


BAB IV, dikaji berbagai jenis sengketa dalam pemilu yang terjadi saat peilu legislatif
dan pemilu presiden

BUKU III

Tafsir Konstitusi : Menguji Konstitusionalitas dan Legalitas Norma

Berkenaan dengan hukum ketatanegaraan. Pengertian tafur atau penafsiran


secara umum berkenaan dengan suatu proses untuk memahami dan mengungkapkan
makna dari suatu teks hukum yang otontatif, yakni konstitusi atau UUD beserta nilai-
nilai yang terkandung didalamnya. Dalam perkembangan mutakhir, penafsiran
konstitusi merupakan aktifitas judicial review yang dilakukan oleh Mahkamah Agung
atau Mahkamah Monstitusi.

Norma Hukum :

- Keputusan normatif yang mengatur (regeling) dan bersifat general and abstract.
- Keputusan normatif yang mengandung penetapan administratif (beschikking)
bersifat individual dan concrete norm.
- Keputusan normatif yang bersifat penghakiman (judgement) merupakan general
and abstract norm disebut vonis.

Tiga macam norma hukum yang dapat diuji, yaitu :

- Keputusan normatif yang berisi dan bersifat pengaturan (regeling).


- Keputusan normatif yang berisi dan bersifat penetapan administratif (beschikking).
- Keputusan normatif yang berisi dan bersifat penghakiman (judgement) yang biasa
disebut vonis.
Vonis dan beschikking selalu bersifat individual konkrit.

Konstitusionalitas dan Legilitas Norma

- Pengujian konstitusionalitas (oleh MK) jaruslah dibedakan dari pengujian legalitas


(oleh MA).
- Kewenangan konstitusionalitas MK dalam memeriksa, mengadili, dan memutuskan
perkara pengujian UU terhadap UUD adalah mengenai konstitusionalitas norma.
- Otoritas MK berada dalam ranah pengujian norma abstrak, bukan pengujian
implementasi norma (kasus konkret).

Norma Konkrit : Implementasi Norma ?

Dalam hal norma konkrit norma itu dimaknai sebagai implementasi norma, maka perlu
pembedaan atas :

- Implementasi norma UU dalam PP (Pasal 12 UU P3) dan Perpres (Pasal 13 UU P3)


- Pelaksanaan UU dengan KTUN (KAP)

Keduanya bukanlah kompetensi MK.

- Dalam hal norma konkrit diajukan dalam perkara pengujuan UU terhadap UUD
1945, maka yang penting dibahas didalam adalah pertimbangan MK menerimanya
sebagai perkara pengujian UU terhadap UUD 1945.

BUKU IV
Sistem Peradilan Pidana Suatu Pembaharuan

Pada buku ditemukan kebaharuan dari substansinya, kebaharuan yang


dimaksud itu adalah yang secara spesifik membahas adakah pengaruh (walaupun sangat
kualitatif) putusan mahkamah konstutusi terhadap sistem peradilan pidana yang
sesungguhnya menjadi harapan masyarakat untuk segera dapat diperbaharui
sebagaimana halnya terhadap pembaharuan hukum pidana materiil. Sistem peradilan
pidana merupakan suatu sistem yang didalamnya terdapat unsur kepolisian, kejaksaan,
pengadilan, serta Lembaga pemasyarakatan. Sistem peradilan pidana dimaksudkan
dapat berfungsi untuk menaggulangi kejahatan yang terjadi dalam masyarakat.

Menengok kebelakang terkait sedikit dengan sejarah tentang Sistem Peradilan


Pidana, di mana untuk pertama kali diperkenalkan “criminal justice sience” di Amerika
Serikat yang mana ketika itu adanya ketidakpuasan terhadap mekanisme kerja aparat
penegak hukum dan institusi penegak hukum. Ketidakpuasan ini terbukti dari
meningkatnya kriminalitas di Amerika Serikat sekitar tahun 1960-an. Pada masa itu
pendekatan yang dipergunakan dalam penegakan hukum adalah “hukum dan
ketertiban” (law and order approach) dan penegakan hukum dalam konteks pendekatan
tersebut dikenal dengan istilah “law enforcement”.

Sebagai suatu sistem, peradilan pidana tentu didukung oleh komponen-


komponen system (sub sistem) yang lain. Komponen-komponen sistem peradilan
pidana terdiri dari kepolisian, kejaksaan, pengadilan, dan Lembaga permasyarakatan,
sedangkan menurut Coffey masih ditambah dengan komponen pembela atau penasehat
hukum, yang secara factual saat ini penasehat hukum tidak bias dikesampingkan
terlebih lagi telah diperkuat dengan adanya Undang-Undang tentang Advokat dan
Undang-Undang Tentang Bantuan Hukum.

Tujuan yang diharapkan dalam hukum pidana melalui Sistem Peradilan Pidana
adalah keadilan yang komprehensif dengan memberikan perhatian pada semua
kepentingan negara. Adapun tujuan pemidanaan dari aspek perlindungan masyarakat
meliputi tujuan : mencegah, mengurangi atau mengendalikan tindak pidana dan
memulihkan keseimbangan masyarakat (antara lain: menyelesaikan konflik,
mendatangkan rasa aman, memperbaiki kerugian/kerusakan, menghilangkan noda-
noda, memperkuat kembali nilai-nilai yang hidup di dalam masyarakat).

BUKU V
Hak asasi manusia dan hukum internasional di Indonesia (konvensi anti
penyiksaan, Mahkamah Konstitusi, dan dinamika penerapannya)

Buku ini berisi pembahasan terhadap konvensi anti penyiksaan atau konvensi
menentang penyiksaan dan perlakuan atau hukuman lain yang kejam, tidak manusiawi,
dan merendahkan martabat manusia. Penulis juga membahas mengenai konvensi anti
kekerasan telah diterima dan terbuka terhadap penandatanganan, ratifikasi, dan aksesi
oleh resolusi majelis umum nomor 39/46 tanggal 10 Desember 1984, dan mulai
diberlakukan sejak 26 juni 1987, Indonesia telah meratifikasinya pada tanggal 28
september 1998 dengan undang-undang nomor 5 tahun 1998.

Relasi hukum tata negara dan hukum internasional oleh penulis juga membahas
keputusan mahkamah konstitusi melalui 2 putusannya sebagai berikut :

1. Putusan Nomor 33/PUU-IX/2011 terkait pengujian undang-undang nomor 38 tahun


2008 tentang pengesahan piagam perhimpunan bangsa-bangsa asia tenggara
terhadap undang-undang dasar 1945.
2. Putusan nomor 13/PUU-XVI/2018 merupakan pengujian Undang-Undang Nomor
24 Tahun 2000 tentang perjanjian internasional terhadap undang-undang dasar
1945.
BUKU VI

Pengesahan Perjanjian Internasional

Pendekatan teoristis, komparatif dan praktik pengujian Undang-Undang

a. Hubungan Hukum Internasional dan Hukum Nasional


- Pembahasan substansi buku yang berkaitan dengan pengertian dan istilah hukum
internasional, dalam membahas mengenai pengertian dan istilah Hukum
Internasional sebgaiknya juga menggunakan referensi yang bersumber dari pakar-
pakar hukum internasional dari luar negeri yang lazim dijadikan referensi ketika
membahas tentang hukum internasional serta bersumber dari referensi aslinya.
b. Pembahasan tentang Hukum Internasional dan Hukum Peradata
Internasional
- Pengkajian tentang susbstansi Hukum Perdata Internasional, dalam buku ini tampak
berdiri sendiri. Kajian yang hanya ditambahkan begitu saja, jika menjadi penting
dan memiliki kolerasi nantinya dengan pengesahan perjanjian Internasional,
mungkin substansinya juga ditambahkan dengan Hukum Pidana Internasional. Pada
perkembangannya relative banyak ada perjanjian internasional maupun Convention
yang mengatur tentang kejahatan internasional, seperti misalnya Convention on
International Terrorism, dan yang lainnya.
c. Hubungan Hukum Internasional dan Hukum Nasional di berbagai negara
- Teori pemberlakuan hukum internasional ke hukum nasional

Berkaitan dengan teori koordinasi yang disimpulkan dari pendapat Fitzmaurice


yang dikenal dengan Fitzmaurice compromise, beberapa referensi untuk menambah
state of the art.

- Pembahasan komparatif tentang hubungan hukum international dan hukum


nasional di beberapa negara seperti : Inggris, Amerika Serikat, Jerman, Perancis,
dan Indonesia sudah sangat komprehensif. Namun kurangnya diuraikan mengenai
negara Asia.
TUGAS

SISTEM PERADILAN PIDANA

OLEH :

NAMA : I.A INDIRA WAHYU PRAMESWARI P.G

NIM : 1704551117

KELAS :B

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

2019

Anda mungkin juga menyukai