Anda di halaman 1dari 7

B.

Pendahuluan

Sebagai bagian dari pilar kekuasaan kehakiman, Peradilan Tata Usaha


Negara Indonesia memiliki peran penting dan strategis dalam penegakan
Hukum, khususnya dalam ranah Hukum Peradilan Tata Usaha Negara.
Filosofi dibentuknya Peradilan Tata Usaha Negara di Indonesia
sebagaimana disebut dalam konsideran Undang-Undang Nomor 5 Tahun
1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara adalah untuk menjamin
persamaan kedudukan warga masyarakat dalam Hukum dan menjamin
terpeliharanya hubungan yang serasi, seimbang serta selaras antara aparatur
di bidang Tata Usaha Negara dengan para warga masyarakat.

Dengan kata lain, Peradilan Tata Usaha Negara dibentuk dalam rangka
memberikan perlindungan hukum (berdasarkan keadilan, kebenaran,
ketertiban dan kepastian hukum) kepada rakyat pencari keadilan yang
merasa dirinya dirugikan akibat suatu keputusan/tindakan tata usaha negara,
melalui pemeriksaan, pemutusan dan penyelesaian sengketa dalam bidang
tata usaha negara. Sesuai prinsip negara hukum yang demokratis,
kedudukan warga masyarakat dan pejabat selaku pelaksana fungsi
pemerintahan adalah setara dan tidak bisa dipisahkan satu sama lain, dengan
alasan itu memungkinkan warga untuk menuntut pemulihan (remedy) akan
hak-haknya yang dirugikan akibat perbuatan pejabat selaku pelaksanan
fungsi negara. Keserasian dan adanya posisi yang setara dan seimbang
antara aparatur negara dengan warga negara adalah sebuah visi yang
mendasar dalam sebuah negara demokrasi. Keberadaan Peradilan Tata
Usaha Negara di Indonesia sejak awal memiliki kesamaan visi dan cita-cita
sebuah negara demokratis. Sebagai produk Hukum yang memiliki semangat
demokrasi meskipun lahir sebelum era reformasi, maka Undang-Undang
Peradilan Tata Usaha Negara dapat disebut sebagai salah satu undang-
undang yang sejak awal mendorong tumbuhnya nilai-nilai demokratisasi di
Indonesia, khususnya melalui mekanisme Peradilan Tata Usaha Negara.
gelombang demokratisasi dan begitu cepatnya dan perkembangan
teknologi informasi maka relasi antara warga dengan pemerintah semakin
dinamis dan terbuka sementara di sisi lain penyekat kekuasaan negara
semakin tipis. Dalam konteks demokratisasi, di satu sisi masyarakat
semakin terbuka dan memiliki kesadaran publik, di sisi lain birokrasi
pemerintahan juga dituntut semakin transparan, professional dan akuntabel.
Peradilan Tata Usaha Negara yang memiliki kewenangan untuk menjaga
hubungan keseimbangan dan keserasian kedua pihak tersebut tentunya
dituntut mampu melahirkan putusanputusan yang berkeadilan.
Perkembangan dan perubahan tersebut menjadi tantangan bagi dunia
peradilan khususnya Peradilan Tata Usaha Negara untuk mengakselerasi
dengan karakter dan irama perubahan saat ini. Menurut Ann Merry, Ph.D.
seorang pakar manajemen perubahan dari Sidney, Australia, bahwa dalam
situasi pergaulan global dengan ciri kemajuan ilmu pengetahuan dan
teknologi, masyarakat dalam institusi harus berubah, jika terlambat
melakukan perubahan, maka perubahan tersebut tetap berjalan dilakukan
oleh orang luar, sementara masyarakat institusi tersebut berada di luar
proses perubahan itu. Ada beberapa agenda yang mesti dilakukan segenap
pemangku kepentingan Peradilan Tata Usaha Negara Indonesia dalam
merespon perubahan.

pentingnya perubahan manajemen dan administrasi peradilan secara


transparan dan efisien dengan teknologi informasi. Adagium di dunia yang
saat ini berlaku dan seolah mengikat semua warga dunia bahwa information
is power, siapa yang menguasainya berpeluang menguasai dunia.
Keterbukaan informasi menuntut warga Peradilan Tata Usaha Negara untuk
faham dan fasih dalam penguasaan informasi dan teknologi. Dalam hal
urusan administrasi misalnya saat ini dunia sedang mengarah pada gejala
paperless, yakni komunikasi dan informasi sudah berbasis digital yang serba
cepat, efisien dan efektif. Ke depannya administrasi Peradilan yang berbasis
digital juga semakin mempermudah akses masyarakat terhadap layanan
peradilan.
Hukum acara Peradilan Tata Usaha Negara (Peratun) mengalami
dinamika perubahan yang sangat intens dan fundamental selama kurun
waktu satu dasawarsa terakhir (2008 s.d. sekarang). Transformasi dan
perubahan paradigma hukum acara sangat dominan dipengaruhi oleh
pemberlakuan UU No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan
(UUAP) selain dipengaruhi juga oleh kehadiran berbagai undang-undang
sektoral yang dengan skala yang berbedabeda ikut mempengaruhi wajah
penyelenggaraan kekuasaan kehakiman oleh Peratun. Berbagai undang-
undang sektoral tersebut: (1) UU No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan
Informasi Publik; (2) UU No. 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik; (3)
UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan
Hidup; (4) UU No. 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi
Pembangunan untuk Kepentingan Umum; (5) UU No. 37 Tahun 2014
tentang Konservasi Tanah dan Air; (6) UU No. 10 Tahun 2016 tentang
Pilkada; (7) UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum.
C. RUMUSAN MASALAH

1. Apa yang dimaksud sengketeta pelayanan publik dan sengketa informasi publik
2. Bagaimana Alur penyelesaian Sengketa Penetapan Lokasi Bagi Pembangunan
untuk Kepentingan Umum
BAB II
PEMBAHASAN

A. Sengketa TUN pelayanan Publik


Undang-Undang Pelayanan Publik berangkat dari gagasan mulia untuk
mengoptimalkan fungsi pelayanan publik dari pemerintah dan lembaga-lembaga
yang melaksanakan misi dan tugas-tugas negara. Dalam rangka mencapai tujuan
tersebut, Undang-Undang Pelayanan Publik secara khusus memberikan penguatan
kepada Komisi Ombudsman Nasional (KON) sebagai lembaga yang memantau,
mengawasi pelaksanaan pelayanan publik. Sebaliknya kehadiran undang-undang ini
bagi Peratun justru menimbulkan tantangan tersendiri. Tantangan tersebut berangkat
dari ketidakjelasan konsep dan pemikiran dari pembuat undangundang ini untuk
mensinergikan kewenangan Peratun dalam rangka optimalisasi pelayanan publik
dengan tujuan pembuatan undang-undang ini sendiri.

Undang-Undang Pelayanan Publik tidak membuka terobosan baru yang cukup


guna mengoptimalkan tugas dan fungsi Peratun dalam rangka mengawal pelayanan
publik itu sendiri. Dengan kata lain, semangat pembaruan pelayanan publik sebagai
sebuah konsep yang besar dalam undang-undang ini tidak sebanding dengan konsep
kerangka kerja seperti apa yang bisa dilakukan Peratun untuk mengawal efektivitas
undang-undang ini. Tak pelak, sejak kelahiran UndangUndang Pelayanan Publik
pada tahun 2009, ternyata belum satupun sengketa TUN berdasarkan Undang-
Undang Pelayanan Publik yang sudah teregistrasi, artinya belum ada satupun
sengketa TUN pelayanan publik yang diajukan oleh pihak yang berkepentingan sejak
undang-undang ini disahkan sewindu lalu.

Sebaliknya secara satir, undang-undang ini justru terkesan mengandung


semacam jebakan bagi Peratun yang dibuat para pembuat aturan hukum, yakni
dengan memberikan tugas dan tanggung jawab yang besar bagi Peratun untuk
mengawal proses pembaruan administrasi pemerintahan atau pelayanan publik tetapi
tidak dengan ketegasan kewenangan dalam rangka melaksanakan tugas dan
perannya. Ketidaktegasan tersebut terlihat dari norma yang sangat abstrak dan elastis
dari Pasal 51 Undang-Undang Pelayanan Publik yang menyebutkan: "Masyarakat
dapat menggugat penyelenggara atau pelaksana melalui peradilan tata usaha negara
apabila pelayanan yang diberikan menimbulkan kerugian di bidang tata usaha
negara". Sayangnya, bagian penjelasan undang-undang ini justru tidak mampu
menjelaskan sasaran dan pengertian dari norma yang baru tentang kewenangan
Peratun dalam undang-undang ini. Bagian penjelasan Pasal 51 undang-undang ini
hanya menyebutkan: "cukup jelas". Begitu juga kehadiran Peraturan Pemerintah
yang salah ketentuannya membagi ruang lingkup pelayanan publik menjadi tiga
justru menimbulkan kekacauan normatif. Ketiga ruang lingkup pelayanan publik
tersebut adalah:1 (a) pelayanan barang publik; (b) pelayanan jasa publik; dan (c)
pelayanan administratif.
Selanjutnya ketentuan Pasal 6 PP tersebut berbunyi sebagai berikut.
(1) Pelayanan administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf c
merupakan pelayanan oleh penyelenggara yang menghasilkan berbagai bentuk
dokumen resmi yang dibutuhkan oleh masyarakat.
(2) Pelayanan administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. tindakan administratif pemerintah yang diwajibkan oleh negara dan diatur
dalam peraturan perundang-undangan dalam rangka mewujudkan perlindungan
pribadi dan/atau keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda warga negara;
b. tindakan administratif oleh instansi non pemerintah yang diwajibkan oleh
negara dan diatur dalam peraturan perundang-undangan serta diterapkan berdasarkan
perjanjian dengan penerima pelayanan.
Serta Pasal 7 berbunyi:
(1) Tindakan administratif oleh instansi pemerintah sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 6 ayat (2) huruf a diselenggarakan dalam bentuk pelayanan pemberian
dokumen berupa perizinan dan non perizinan.
(2) Dokumen berupa perizinan dan non perizinan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) merupakan keputusan administrasi pemerintahan.
Peraturan Pemerintah untuk melaksanakan beberapa ketentuan dari UU No. 25
Tahun 2009 ini disahkan dan ditandatangani oleh Presiden pada tanggal 25 Oktober
2012 atau dengan kata lain, dua tahun sejak pengesahan perubahan UU No. 9 Tahun
2004 menjadi UU No. 51 Tahun 2009. Tentunya pada saat PP ini disahkan, UU No.
51 Tahun 2009 sudah berlaku kurang lebih selama dua tahun, sehingga jika PP ini
merujuk kepada undang-undang yang sudah tidak berlaku lagi akan menimbulkan
pertanyaan hukum yang serius, yakni tentang validitas dari norma Pasal 7 PP No. 9
Tahun 2009 yang sebenarnya bermaksud menjelaskan pengertian Pasal 51 UU No.
25 Tahun 2009. Jika memang Undang-Undang Pelayanan Publik berangkat dari
paradigma yang baru harusnya undang-undang ini memberikan aturan yang jelas dan
tegas tentang peran serta Peratun dalam mengawal undang-undang ini. Jika ketentuan
yang baru yang tidak mengubah atau memperjelas ketentuan yang lama untuk apa
diciptakan ketentuan yang baru?
1
66 PP No. 96 Tahun 2012 tentang P sanaan UU No. 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik, Pasal 3.
Terlepas dari kelemahan Undang-Undang Pelayanan Publik, termasuk
Peraturan Pemerintah sebagai peraturan pelaksanaannya, namun harus diakui
beberapa hal yang menjanjikan dari undang-undang ini, yakni antara lain
diperkenalkannya konsep citizen charter yang artinya kurang lebih sebagai sebuah
proses kesepakatan antara masyarakat dan penyelengara pelayanan publik untuk
menetapkan standar pelayanan publik. Maksud dan tujuannya adalah agar partisipasi
publik meningkat dalam proses penyelenggaraan pelayanan publik, sehingga segala
sesuatunya tidak lagi dilakukan secara sepihak oleh penyelenggara pelayanan publik
seperti selama ini terjadi. Hal lain yang patut diapresiasi dari Undang-Undang
Pelayanan publik adalah dimungkinkannya penyelesaian sengketa antara masyarakat
dengan penyelenggara pelayanan publik melalui sarana mediasi dalam
menyelesaikannya sengketa mereka.

B. Sengketa Informasi Publik


Pada dasarnya subjek hukum (subjectum litis) yang bersengketa KIP di PTUN
adalah para pihak yang semula bersengketa di Komisi Informasi, yaitu (antara)
pemohon Informasi dengan Badan Publik Negara vice versa.2Dengan demikian,
pihak yang bersengketa atau subjek hukum yang memiliki legal standing dalam
sengketa KIP di Peratun adalah pihak yang sebelumnya bersengketa melalui tahap
ajudikasi non litigasi di Komisi Informasi. Penegasan siapa subjectum litis dalam
sengketa KIP di Peratun sebagaimana tertuang dalam Pasal 1 ayat (10) Perma No. 2
Tahun 2011 dengan sendirinya mengakhiri polemik seputar penafsiran siapa
subjectum litis sengketa KIP sebagaimana terjadi sebelum dikeluarkannya Perma No.
2 Tahun 2011. Polemik penafsiran tersebut sempat mempengaruhi pemahaman
terhadap apakah yang sesungguhnya menjadi objectum litis sengketa KIP di
Peratun.3

Pemahaman apakah Komisi Informasi sebagai pihak atau bukan dalam


sengketa mungkin dapat juga dilihat dengan melakukan perbandingan terhadap
beberapa Perma yang mengatur upaya hukum keberatan terhadap putusan-putusan
lembaga quasi yudisial sebagaimana halnya putusan yang dikeluarkan oleh Komisi
Informasi.4 Dalam konteks itulah hakikat sengketa informasi publik adalah sengketa
2
647 Perma Sengketa Keterbukaan Informasi Publik, Pasal 1 angka 10.
3
erdapat dua penafsiran yang berbeda. Penafsiran pertama, menyatakan bahwa putusan Komisi Informasi
merupakan objek sengketa sehingga menurut tafsir ini, objek sengketa keterbukaan informasi dalam tahap litigasi
adalah putusan Komisi Informasi. Alasannya karena memang yang disengketakan dalam tahap litigasi di Pengadilan
adalah "keberatan" terhadap putusan Komisi Informasi. Sedangkan penafsiran kedua, menyatakan putusan Komisi
Informasi bukan sebagai objek sengketa. Menurut tafsir ini, objek sengketa dalam tahap litigasi adalah tetap
berupa penolakan/tanggapan dari Badan Publik Negara sehingga bukan putusan Komisi Informasi yang menjadi
objek sengketa.
4
Dalam Perma No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Monopoli dan Praktik Usaha Tidak Sehat, dapat disimpulkan
KPPU merupakan pihak dalam hal diajukan keberatan terhadap putusannya vide Pasal 2 ayat (3) Perma No. 3
antara pemohon informasi dengan Badan Publik Negara, sehingga objek sengketa
KIP di pengadilan adalah benar tidaknya tindakan pelayanan informasi dari termohon
Informasi kepada pemohon Informasi. Tugas dan kedudukan Komisi Informasi harus
dilihat dari keseluruhan alur proses penyelesaian sengketa informasi publik. Oleh
karena itu, menurut hemat penulis, pemeriksaan putusan Komisi Informasi di muka
Peradilan sebaiknya lebih dipahami dalam kerangka untuk melihat kembali
keseluruhan fakta-fakta hukum dan penerapan hukum informasi publik oleh Komisi
Informasi, sehingga perlu dihindari pemahaman bahwa posisi antara pemohon
informasi atau badan publik negara sedang bersengketa dengan komisi informasi
manakala terjadi sengketa KIP di pengadilan.

Tahun 2005 tentang Tata Cara Pengajuan Upaya Hukum Keberatan terhadap Putusan KPPU

Anda mungkin juga menyukai