Anda di halaman 1dari 8

Nama Mahasiswa : RIZALDI TRIA SAPUTRA

Nomor Induk Mahasiswa/NIM : 045141874

Tanggal Lahir : KETAPANG 27 JULI 2022

Kode/Nama Mata Kuliah : PENGANTAR ILMU HUKUM

Kode/Nama Program Studi : 311/ILMU HUKUM

Kode/Nama UPBJJ : 47/ PONTIANAK

Hari/Tanggal UAS THE : 27 DESEMBER 2022

1. Sampai saat ini penolakan tersebut masih digaungkan. RKUHP dinilai masih memuat pasal-
pasal warisan kolonial yang bermasalah dan rentan digunakan sebagai alat kriminalisasi.
Namun demikian, Sekretaris Jenderal DPR, Indra Iskandar menyebut agenda pengesahan
tetap dilakukan, sesuai keputusan Badan Musyawarah (Bamus) DPR.

Berikut beberapa pasal kontroversial yang masih dimuat dalam RKUHP yang bakal disahkan:
1. Penghinaan Terhadap Pre
2. Pasal Makar
3. Penghinaan Lembaga Negara
4. Hukuman Koruptor Turun
Dilihat dari beberapa RKUHP ini memiliki kontoversial yang bisa dibilang tidak masuk akal
dan kurang memungkinkan unutk masyarakat mengingat beberapa hal dalam RKUHP ini
tidak bisa / tidak adil unutk diterapkan
Prof.Drs,Lili Rasjidi,S.H.,LL.M. menyatakan bahwa “ Hukum bukan hanya sekedar norma
tetapi juga institusi “

2. a .)Dalam kehidupan warga tiap hari tetap diatur oleh peraturan, baik tertulis serta tidak
tertulis.Di Indonesia ada hukum tidak tertulis serta hukum tertulis.Hukum tidak tertulis
merupakan norma ataupun peraturan tidak tertulis yang sudah dipakai oleh warga dalam
kehidupan tiap hari. Hukum tertulis merupakan ketentuan dalam wujud tertulis yang terbuat
oleh lembaga yang berwenang, semacam peraturan perundang- undangan.Peraturan
perundangan- undangan nasional ialah peraturan tertulis yang sudah terbuat oleh lembaga yang
berwenang. Hukum Tidak Tertulis, merupakan hukum yang tidak dituliskan ataupun tidak
dicantumkan dalam perundang- undangan. Contoh: hukum adat tidak dituliskan ataupun tidak
dicantumkan pada perundang- undangan namun dipatuhi oleh wilayah tertentu.Hukum tidak
tertulis ialah kebalikan dari Hukum Tertulis. Hukum tidak tertulis ialah hukum yang tidak
dituangkan/ dicantumkan dalam peraturan Perundang- undangan. Hukum tidak tertulis ialah
hukum yang hidup/ berjalan serta berkembang dalam kehidupan warga/ adat ataupun dalam
aplikasi ketatanegaraan/ konversi.Contoh Hukum Tidak Tertulis: Hukum Adat yang tidak
ditulis/ tidak dicantumkan dalam perundang- undangan tetapi peraturannya telah tertanam serta
dipatuhi oleh wilayah tertentu/ adat tertentu sehingga jadi suatu pedoman dalan tata penerapan
kehidupan bermasyarakat.Hukum tidak tertulis ialah hukum yang dikira tidak dapat tidak
berubah- ubah, disebabkan hukum tidak tertulis peraturannya bisa berganti sewaktu- waktu
cocok kondisi serta kepentingan yang menghendakinya. Semacam halnya di Indonesia,
memandang dari sudut pandang hukum rimba.

b. )Dalam kehidupan warga tiap hari tetap diatur oleh peraturan, baik tertulis serta tidak
tertulis.Di Indonesia ada hukum tidak tertulis serta hukum tertulis.Hukum tidak tertulis
merupakan norma ataupun peraturan tidak tertulis yang sudah dipakai oleh warga dalam
kehidupan tiap hari. Hukum tertulis merupakan ketentuan dalam wujud tertulis yang terbuat
oleh lembaga yang berwenang, semacam peraturan perundang- undangan. Peraturan
perundangan- undangan nasional ialah peraturan tertulis yang sudah terbuat oleh lembaga yang
berwenang. Hukum Tidak Tertulis, merupakan hukum yang tidak dituliskan ataupun tidak
dicantumkan dalam perundang- undangan. Contoh: hukum adat tidak dituliskan ataupun tidak
dicantumkan pada perundang- undangan namun dipatuhi oleh wilayah tertentu. Hukum tidak
tertulis ialah kebalikan dari Hukum Tertulis.Hukum tidak tertulis ialah hukum yang tidak
dituangkan/ dicantumkan dalam peraturan Perundang- undangan.Hukum tidak tertulis ialah
hukum yang hidup/ berjalan serta berkembang dalam kehidupan warga/ adat ataupun dalam
aplikasi ketatanegaraan/ konversi.Contoh Hukum Tidak Tertulis: Hukum Adat yang tidak
ditulis/ tidak dicantumkan dalam perundang- undangan tetapi peraturannya telah tertanam serta
dipatuhi oleh wilayah tertentu/ adat tertentu sehingga jadi suatu pedoman dalan tata penerapan
kehidupan bermasyarakat.Hukum tidak tertulis ialah hukum yang dikira tidak dapat tidak
berubah- ubah, disebabkan hukum tidak tertulis peraturannya bisa berganti sewaktu- waktu
cocok kondisi serta kepentingan yang menghendakinya. Semacam halnya di Indonesia,
memandang dari sudut pandang hukum rimba.

3. Ciri dari positivisme berikutnya adalah objektif atau bebas nilai. Oleh karena itulah dalam
paradigma positivisme ada dikotomi yang tegas antara fakta dengan nilai, dan mengharuskan
subjek peneliti mengambil jarak terhadap realitas dengan sikap netral. Akan tetapi perilaku
manusia dapat berubah sesuai dengan faktor yang mempengaruhinya. Fenomena sosial secara
alamiah adalah subjektif dan tidak akan dapat dipahami sebagai sesuatu yang objektif.
Sebenarnya sulit untuk mendeskripsikan mengenai prilaku manusia, terlebih digambarkan
berdasarkan karakteristik eksternal. Karakteristik eksternal manusia bisa saja menimbulkan
interpretasi yang beragam. Ilmu-ilmu sosial, dengan demikian akan selalu menjadi
pengetahuan yang subjektif . Oleh karena itu yang sangat diperlukan adalah ada pemahaman
sikap dan arti tindakan. Seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan eksplorasi terus
menerus dalam mencari kebenaran ilmiah, maka ajaran positivisme yang berpijak pada realitas,
objektivitas, netralitas dan menekankan pada fakta mulai dipertanyakan keabsahannya ketika
cara berpikir positivisme harus diterapkan pada soal-soal kemasyarakatan. Dengan demikian,
bahwa saintifikasi hukum modern sangat dipengaruhi oleh kemunculan paradigma positivisme
di dalam ilmu pengetahuan modern. Modernitas bukan hanya mempengaruhi sains dan
teknologi belaka, tetapi juga menjadi sumber perubahan pada kehidupan masyarakat, dan juga
ilmu hukum.

4. Berikut perbedaan UU Cipta Kerja Omnibus Law Vs UU Ketenagakerjaan Nomor 13 Tahun


2003
A. Waktu istirahat

1. UU Ketenagakerjaan Nomor 13 Tahun 2003


Ketentuan dalam pasal 79 menjelaskan:
a. Istirahat mingguan 1 (satu) hari untuk 6 (enam) hari kerja dalam 1 (satu) minggu atau 2
(dua) hari untuk 5 (lima) hari kerja dalam 1 (satu) minggu

b. Istirahat panjang sekurang-kurangnya 2 (dua) bulan dan dilaksanakan pada tahun ketujuh
dan kedelapan masing-masing 1 (satu) bulan bagi pekerja/buruh yang telah bekerja selama 6
(enam) tahun secara terus-menerus pada perusahaan yang sama dengan ketentuan
pekerja/buruh tersebut tidak berhak lagi atas istirahat tahunannya dalam 2 (dua) tahun
berjalan dan selanjutnya berlaku untuk setiap kelipatan masa kerja 6 (enam) tahun.

2. UU Cipta Kerja Omnibus Law


a. Istirahat mingguan 1 (satu) hari untuk 6 (enam) hari kerja dalam 1 (satu) minggu.
b. UU Cipta Kerja Omnibus Law tidak mencantumkan istirahat panjang dua bulan setelah
masa kerja enam tahun berturut-turut di perusahaan yang sama.

B. Upah berdasarkan satuan hasil dan waktu

1. UU Ketenagakerjaan Nomor 13 Tahun 2003


Tidak ada pengaturan terkait upah berdasarkan satuan hasil dan waktu.
2. UU Cipta Kerja Omnibus Law

Merupakan revisi pasal 88 dan 89 dengan menyelipkan poin pasal 88 B:

1. Upah ditetapkan berdasarkan:


a. satuan waktu dan/atau
b. satuan hasil.

2. Ketentuan lebih lanjut mengenai upah berdasarkan satuan waktu dan/atau satuan hasil
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah.

"Upah yang dihitung per jam ini pernah disampaikan Menteri Ketenagakerjaan, sebagaimana
bisa kita telusuri kembali dari berbagai pemberitaan di media," kata Iqbal.

C. Upah minimum provinsi, kabupaten, dan kota

1. UU Ketenagakerjaan Nomor 13 Tahun 2003


Ketentuan dalam pasal 89 menjelaskan:
Upah minimum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 88 ayat (3) huruf a dapat terdiri atas:
a. upah minimum berdasarkan wilayah provinsi atau kabupaten/kota
b. upah minimum berdasarkan sektor pada wilayah provinsi atau kabupaten/kota.

2. UU Cipta Kerja Omnibus Law

Merupakan revisi pasal 88 dan 89 dengan menyelipkan poin pasal 88 C:


1. Gubernur wajib menetapkan upah minimum provinsi.
2. Gubernur dapat menetapkan upah minimum kabupaten/kota dengan syarat tertentu.
3. Upah minimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) ditetapkan berdasarkan
kondisi ekonomi dan ketenagakerjaan.
4. Syarat tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi pertumbuhan ekonomi
daerah dan inflasi pada kabupaten/kota yang
bersangkutan.
5. Upah minimum kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus lebih tinggi
dari upah minimum provinsi.
6. Kondisi ekonomi dan ketenagakerjaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) menggunakan
data yang bersumber dari lembaga yang berwenang di bidang statistik.
7. Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penetapan upah minimum sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) dan syarat tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diatur
dengan Peraturan Pemerintah.

UU Cipta Kerja Omnibus Law juga mengatur upah pekerja UMKM dalam Pasal 90 B:
1. Ketentuan upah minimum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 88C ayat (1) dan ayat (2)
dikecualikan bagi Usaha Mikro dan Kecil.

2. Upah pada Usaha Mikro dan Kecil ditetapkan berdasarkan kesepakatan antara pengusaha
dengan pekerja/buruh di perusahaan.

3. Kesepakatan upah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sekurang-kurangnya sebesar


persentase tertentu dari rata-rata konsumsi masyarakat berdasarkan data yang bersumber dari
lembaga yang berwenang di bidang statistik.

4. Ketentuan lebih lanjut mengenai upah bagi Usaha Mikro dan Kecil diatur dengan Peraturan
Pemerintah.

D. Uang penggantian hak

1. UU Ketenagakerjaan Nomor 13 Tahun 2003 pasal 156 ayat 4:

Uang penggantian hak yang seharusnya diterima sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
meliputi :
a. cuti tahunan yang belum diambil dan belum gugur

b. biaya atau ongkos pulang untuk pekerja/buruh dan keluarganya ke tempat dimana
pekerja/buruh diterima bekerja

c. penggantian perumahan serta pengobatan dan perawatan ditetapkan 15% (lima belas
perseratus) dari uang pesangon dan/atau uang penghargaan masa kerja bagi yang memenuhi
syarat

d. hal-hal lain yang ditetapkan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian
kerja bersama.

2. UU Cipta Kerja Omnibus Law

Uang penggantian hak yang seharusnya diterima sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
meliputi:
a. cuti tahunan yang belum diambil dan belum gugur
b. biaya atau ongkos pulang untuk pekerja/buruh dan keluarganya ke tempat dimana
pekerja/buruh diterima bekerja

c. hal-hal lain yang ditetapkan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian
kerja bersama.

Perubahan juga dilakukan pada UU Cipta Kerja Omnibus Law, dengan menghilangkan
kalimat 'paling banyak' pada pasal 156 ayat dua. Pasal ini mengatur besar pesangon atau uang
penggantian hak yang diterima pekerja.

Baca juga:
Ini Isi Omnibus Law yang Ditolak Buruh dan Picu Demo Rusuh

E. Jaminan sosial

1. UU Ketenagakerjaan Nomor 13 Tahun 2003

a. Pasal 167 ayat 5


Dalam hal pengusaha tidak mengikutsertakan pekerja/buruh yang mengalami pemutusan
hubungan kerja karena usia pensiun pada program pensiun maka pengusaha wajib
memberikan kepada pekerja/buruh uang pesangon sebesar 2 (dua) kali ketentuan Pasal 156
ayat (2), uang penghargaan masa kerja 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (3) dan uang
penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat

b. Pasal 184
Barang siapa melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 167 ayat (5),
dikenakan sanksi pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun
dan/atau denda paling sedikit Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp
500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).

2. UU Cipta Kerja Omnibus Law

Aturan yang baru merevisi UU Nomor 13 Tahun 2003 dengan menghapus pasal 167 dan 184.
UU Cipta Kerja Omnibus Law juga merevisi jenis jaminan sosial yang diberikan pada
pekerja dengan menambahkan jaminan kehilangan pekerjaan. Ketentuan ini merevisi
Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional.

F. Alasan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK)

1. UU Ketenagakerjaan Nomor 13 Tahun 2003

Ketentuan menjelaskan beberapa hal yang bisa menjadi penyebab PHK yaitu perusahaan
bangkrut, rugi, berubah status, melanggar perjanjian kerja, melakukan kesalahan, mangkir,
dan mengundurkan diri.

2. UU Cipta Kerja Omnibus Law

Aturan ini merevisi pasal 154 dan 155 dengan memasukkan pasal 154 A yang menjelaskan
pemutusan hubungan kerja dapat terjadi karena:
a. perusahaan melakukan penggabungan, peleburan, pengambilalihan, atau pemisahan
perusahaan
b. perusahaan melakukan efisiensi
c. perusahaan tutup yang disebabkan karena perusahaan mengalami kerugian
d. perusahaan tutup yang disebabkan karena keadaan memaksa (force majeur)
e. perusahaan dalam keadaan penundaan kewajiban pembayaran utang
f. perusahaan pailit
g. perusahaan melakukan perbuatan yang merugikan pekerja/buruh
h. pekerja/buruh mengundurkan diri atas kemauan sendiri
i. pekerja/buruh mangkir
j. pekerja/buruh melakukan pelanggaran ketentuan yang diatur dalam perjanjian kerja,
peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama
k. pekerja/buruh ditahan pihak yang berwajib
l. pekerja/buruh mengalami sakit berkepanjangan atau cacat akibat kecelakaan kerja dan tidak
dapat melakukan pekerjaannya setelah melampaui batas 12 (dua belas) bulan
m. pekerja/buruh memasuki usia pensiun, atau
n. pekerja/buruh meninggal dunia.

G. Perjanjian kerja waktu tidak tertentu (PKWT)

1. UU Ketenagakerjaan Nomor 13 Tahun 2003

Aturan ini tidak mengatur PKWT, namun mengatur lamanya kontrak seorang pekerja dalam
pasal 59:

1. Perjanjian kerja untuk waktu tertentu hanya dapat dibuat untuk pekerjaan tertentu yang
menurut jenis dan sifat atau kegiatan pekerjaannya akan selesai dalam waktu tertentu, yaitu:
a. pekerjaan yang sekali selesai atau yang sementara sifatnya

b. pekerjaan yang diperkirakan penyelesaiannya dalam waktu yang tidak terlalu lama dan
paling lama 3 (tiga) tahun

c. pekerjaan yang bersifat musiman, atau

d. pekerjaan yang berhubungan dengan produk baru, kegiatan baru, atau produk tambahan
yang masih dalam percobaan atau penjajakan.

2. Perjanjian kerja untuk waktu tertentu tidak dapat diadakan untuk pekerjaan yang bersifat
tetap.

3. Perjanjian kerja untuk waktu tertentu dapat diperpanjang atau diperbaharui.

4. Perjanjian kerja waktu tertentu yang didasarkan atas jangka waktu tertentu dapat diadakan
untuk paling lama 2 (dua) tahun dan hanya boleh diperpanjang 1 (satu) kali untuk jangka
waktu paling lama 1 (satu) tahun.

2. UU Cipta Kerja Omnibus Law

Ketentuan ini merevisi pasal 59 dengan menambahkan PKWT menjadi:


1. Perjanjian kerja untuk waktu tertentu hanya dapat dibuat untuk pekerjaan tertentu yang
menurut jenis dan sifat atau kegiatan pekerjaannya akan selesai dalam waktu tertentu, yaitu:
a. pekerjaan yang sekali selesai atau yang sementara sifatnya

b. pekerjaan yang diperkirakan penyelesaiannya dalam waktu yang tidak terlalu lama

c. pekerjaan yang bersifat musiman

d. pekerjaan yang berhubungan dengan produk baru, kegiatan baru, atau produk tambahan
yang masih dalam percobaan atau penjajakan, atau

e. pekerjaan yang jenis dan sifat atau kegiatannya bersifat tidak tetap.

2. Perjanjian kerja untuk waktu tertentu tidak dapat diadakan untuk pekerjaan yang bersifat
tetap.

3. Perjanjian kerja untuk waktu tertentu yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), maka demi hukum menjadi perjanjian kerja waktu tidak
tertentu.

4. Ketentuan lebih lanjut mengenai jenis dan sifat atau kegiatan pekerjaan, jangka waktu, dan
batas waktu perpanjangan perjanjian kerja waktu tertentu diatur dengan Peraturan
Pemerintah.

H. Lama lembur

1. UU Ketenagakerjaan Nomor 13 Tahun 2003

Pasal 78 ayat 1 butir b:

Waktu kerja lembur hanya dapat dilakukan paling banyak 3 (tiga) jam dalam 1 (satu) hari dan
14 (empat belas) jam dalam 1 (satu) minggu.

2. UU Cipta Kerja Omnibus Law

Aturan ini merevisi sebelumnya menjadi:

Waktu kerja lembur hanya dapat dilakukan paling lama 4 (empat) jam dalam 1 (satu) hari dan
18 (delapan belas) jam dalam 1 (satu) minggu.

I. Penggunaan tenaga kerja asing

1. UU Ketenagakerjaan Nomor 13 Tahun 2003

Pasal 42:

1. Setiap pemberi kerja yang mempekerjakan tenaga kerja asing wajib memiliki izin tertulis
dari Menteri atau pejabat yang ditunjuk.
2. Pemberi kerja orang perseorangan dilarang mempekerjakan tenaga kerja asing.

3. Kewajiban memiliki izin sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), tidak berlaku bagi
perwakilan negara asing yang mempergunakan tenaga kerja asing sebagai pegawai
diplomatik dan konsuler.

4. Tenaga kerja asing dapat dipekerjakan di Indonesia hanya dalam hubungan kerja untuk
jabatan tertentu dan waktu tertentu.

5. Ketentuan mengenai jabatan tertentu dan waktu tertentu sebagaimana dimaksud dalam ayat
(4) ditetapkan dengan Keputusan Menteri.

6. Tenaga kerja asing sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) yang masa kerjanya habis dan
tidak dapat di perpanjang dapat digantikan oleh tenaga kerja asing lainnya.

2. UU Cipta Kerja Omnibus Law

Revisi UU Ketenagakerjaan Nomor 13 Tahun 2003 pasal 42 menjadi:

1. Setiap pemberi kerja yang mempekerjakan tenaga kerja asing wajib memiliki rencana
penggunaan tenaga kerja asing yang disahkan oleh Pemerintah Pusat.

2. Pemberi kerja orang perseorangan dilarang mempekerjakan tenaga kerja asing.

3. Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku bagi:


a. direksi atau komisaris dengan kepemilikan saham tertentu atau pemegang saham sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan

b. pegawai diplomatik dan konsuler pada kantor perwakilan negara asing, atau

c. tenaga kerja asing yang dibutuhkan oleh Pemberi Kerja pada jenis kegiatan produksi yang
terhenti karena keadaan darurat, vokasi, perusahaan rintisan (start-up), kunjungan bisnis, dan
penelitian untuk jangka waktu tertentu.

4. Tenaga kerja asing dapat dipekerjakan di Indonesia hanya dalam hubungan kerja untuk
jabatan tertentu dan waktu tertentu serta memiliki kompetensi sesuai dengan jabatan yang
akan diduduki.

5. Tenaga kerja asing dilarang menduduki jabatan yang mengurusi personalia.

6. Ketentuan mengenai jabatan tertentu dan waktu tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat
(4) dan ayat (5) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Anda mungkin juga menyukai