Anda di halaman 1dari 9

Jawab :

1. Menurut analisis saya terhadap RKUHP ini bila dikaitkan dengan Tujuan Hukum menurut
Lili Rasjid berdasarkan uraian yang sudah dipaparkan diatas, maka dapat ditarik
kesimpulannya adalah tidak dapat dipungkiri bahwa faktor kemiskinan adalah menjadi
faktor yang dominan menyebabkan munculnya gelandangan dalam kehidupan masyarakat
Indonesia. Secara umum dalam hukum positif Indonesia
kegiatan pergelandangan dikualifikasikan sebagai suatu tindak pidana pelanggaran
(overtredingen ) di bidang ketertiban umum sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal
505 KUHP. Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) yang tengah
dibahas DPR memuat pasal soal gelandangan yang bisa dipidana menjelaskan, pasal ini
harus dilihat dengan perspektif lain, yakni bahwa negara harus bertanggung jawab
melindungi warganya agar tidak jadi gelandangan dengan pemerintah memberi insentif
terhadap gelandangan tersebut. Pasal 432RKUHP ini disusun terkait bagaimana menjaga
ketertiban umum. Redaksional dalam RKUHP itu meletakkan tanggung jawab pada
gelandangan, bukannya negara dengan alasan hukum tidak bisa berdiri sendiri, makanya
negara sebagai negara hukum, agar hukum dipatuhi dengan seorang gelandangan, maka
orang yang menjadi gelandangan juga harus jadi subjek. 

Aturan mengenai pemidanaan terhadap gelandangan tersebut dalam Pasal 432RKUHP


diketahui bertentangan dengan Pancasila serta UUD 1945. Dalam hal ini, gelandangan
yang dipidana bukanlah tindakan bijak dari pemerintah yang dapat mencerminkan
ketidakadilan terhadap warga negaranya. Tetapi, sudah menjadi tugas pemerintah
menerapkan aturan mengenai gelandangan tetapi tidak dengan jalan dipidana melainkan
dengan jalan diarahkan dan dibina. Karena gelandangan itu sendiri merupakan bentuk dari
gagalnya pemerintah dalam menjalankan amanat UUD 1945.3.

Secara substansi, ketentuan hukum pidana bagi gelandangan tetap diperlukan dalam
rangka menanggulangi permasalahan gelandangan di Indonesia. Faktanya,dengan adanya
ketentuan sanksi pidana tersebut belum sesuai dengan fungsi hukum sebagai sarana untuk
mengarahkan dan membina masyarakat ( law as atool of social engineering ). Ketentuan
Pasal 432 RKUHP tersebut bertujuan agar dapat mempengaruhi pola perilaku masyarakat
dan membuat masyarakat itu tidak memilih untuk melakukan kegiatan sebagai
gelandangan.
Diperlukan peran pemerintah yang bersungguh-sungguh dalam mengatasi masalah
kemiskinan di Indonesia, jangan hanya dijadikan kiasan semata
sementara permasalahan kemiskinan lah yang mendominasi maraknya gelandangan diIndo
nesia. Sebaiknya pemerintah melakukan peninjauan kembali mengenai pemidanaan
terhadap gelandangan yang diatur dalam Pasal 505 KUHP, dimana penerapan aturan
tersebut dalam faktanya tidak efektif dan jumlah gelandangan di Indonesia terutama di
kota-kota besar di Indonesia terbilang masih banyak. Begitu juga dengan Pasal 432
RKUHP karena pada dasarnya aturan
tersebut belum mencerminkan keadilan dan bertentangan dengan landasan filosofis Negara
Republik Indonesia yaitu Pancasila dan UUD 1945 dimana dampaknya dapat
menimbulkan kriminalisasi bagi masyarakat miskin, seperti pengamen dan disabilitas
terlantar.

Jawab :

2. a. Menurut analisis saya mengenai keberlakuan Hukum Tertulis dan Hukum Tidak
Tertulis di Indonesia adalah Berdasarkan bentuknya, hukum terbagi menjadi dua, yakni
hukum tertulis dan tidak tertulis:

Hukum tertulis ialah hukum yang dicantumkan atau ditulis dalam perundang-undangan.
Contohnya :

Hukum tertulis yang sudah dikodifikasikan adalah hukum tertulis yang penyusunannya
secara sistematis, lengkap, teratur, dan telah dibukukan sehingga tidak perlu adanya
peraturan pelaksanaan.

Contohnya

- KUHP
- KUHPdt
- KUHD

Hukum perdata tertulis dalam KUH Perdata, hukum pidana dituliskan dalam
KUHPidana. Hukum tertulis yang dikodifikasikan maksudnya yaitu hukum tata Negara
yang sudah dubukukan pada lembaran Negara dan sudah diumumkan/ di undangkan. Jika
hukum tersebut dikodifikasikan maka kelebihannya yaitu adanya kepastian hukum,
adanya kekuasaan hukum dan adanya penyederhanaan hukum. Sedangkan
Kekurangannya yaitu bergeraknya hukum menjadi lambat tidak mampu dengan cepat
mengikuti hal-hal yang terus bergerak maju. Untuk Hukum yang tidak dikodifikasi
sebaliknya.

Hukum tidak tertulis merupakan kebalikan dari Hukum Tertulis. Hukum tidak tertulis
yaitu hukum yang tidak dituangkan/ dicantumkan dalam peraturan Perundang-undangan.
Hukum tidak tertulis merupakan hukum yang hidup/ berjalan dan tumbuh dalam
kehidupan masyarakat/ adat atau dalam praktik ketatanegaraan/ konversi.

Contoh Hukum Tidak Tertulis:

Hukum Adat yang tidak ditulis/ tidak dicantumkan dalam perundang-undangan namun
peraturannya sudah tertanam dan dipatuhi oleh daerah tertentu/ adat tertentu sehingga
menjadi sebuah pedoman dalan tata pelaksanaan kehidupan bermasyarakat.Hukum tidak
tertulis merupakan hukum yang dianggap tidak bisa konsisten, dikarenakan hukum tidak
tertulis peraturannya dapat berubah sewaktu-waktu sesuai keadaan dan kepentingan yang
menghendakinya.

Perbedaan antara Hukum tertulis dengan hukum tidak tertulis

Hukum tertulis

- Aturannya pasti (tertulis)


- Mengikat semua orang
- Memiliki alat penegak aturan
- Dibuat oleh penguasa
- Bersifat memaksa
- Sangsinya berat

Hukum tidak tertulis

- Kadang aturannya tidak tertulis dan tidak pasti


- Ada atau tidaknya alat penegak hukum yang tidak pasti
- Dibuat oleh masyarakat
- Bersifat tidak terlalu memaksa
- Sangsinya ringan.

Jika hukum tertulis diformulasikan oleh penguasa atau pemerintah, maka hukum tidak
tertulis dibuat oleh masyarakat. Hukum tidak tertulis atau ongeschreven recht merupakan
hukum kebiasaan yang berlaku sehari-hari di suatu kelompok atau lingkungan tertentu. Di
Indonesia, yang termasuk hukum tidak tertulis adalah hukum adat yang tentu akan berbeda
di setiap wilayah. Hukum tidak tertulis merupakan bentuk hukum tertua sehingga
kebiasaan bukanlah merupakan sumber hukum, tapi merupakan suatu bentuk dari hukum
positif. Selain itu, hukum tidak tertulis merupakan hukum hidup atau berjalan dan tumbuh
dalam kehidupan masyarakat atau adat.

Dalam hukum tidak tertulis, terdapat hukum yang benar-benar tidak tertulis dan ada pula
yang tidak tertulis namun tercatat. Artinya, hukum tersebut dicatat oleh pejabat-pejabat
tertentu, seperti catatan hakim atau kepala adat, atau oleh para sarjana atas dasar
penelitian. Ciri dari hukum tidak tertulis ini biasanya merupakan aturan yang tidak pasti
bahkan alat penegak hukum ini tidak pasti, bisa ada atau tidak. Jenis hukum ini juga tidak
bersifat terlalu memaksa, serta sanksi yang didapat cenderung ringan atau berupa saksi
secara tidak langsung dari masyarakat.

b. Menurut analisis saya tentang Pasal 5 ayat (1) UU No 48 Tahun 2009 tentang
Kekuasaan Kehakiman adalah Putusan hakim idealnya mengandung aspek kepastian,
keadilan dan kemanfaatan. Dalam implementasinya tidak mudah untuk mensinergikan
ketiga aspek tersebut, terutama antara aspek kepastian hukum dan keadilan biasanya saling
bertentangan. Selain itu, putusan hakim selayaknya mengandung beberapa
aspek. Pertama, putusan hakim merupakan gambaran proses kehidupan sosial sebagai
bagian dari proses kontrol sosial. Kedua, putusan hakim merupakan penjelmaan dari
hukum yang berlaku dan pada intinya berguna untuk setiap orang maupun kelompok dan
juga Negara. Ketiga, putusan hakim merupakan gambaran keseimbangan antara ketentuan
hukum dengan kenyataan di lapangan. Keempat,  putusan hakim merupakan gambaran
kesadaran yang ideal antara hukum dan perubahan sosial. Kelima, putusan hakim harus
bermanfaat bagi setiap orang yang berperkara Keenam, putusan hakim merupakan tidak
menimbulkan konflik baru bagi para pihak yang berperkara dan masyarakat.

Dalam hal memutus perkara, hakim harus merujuk pada undang-undang yang berlaku.
Tetapi, dalam konteks Indonesia hakim bukanlah corong undang-undang. Hakim adalah
corong kepatutan, keadilan, kepentingan umum, dan ketertiban umum. Dalam konteks
inilah, rumusan keharusan hakim memperhatikan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat
harus diperhatikan. Penjelasan Pasal 28 ayat (1) UU No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan
Kehakiman menyebutkan ketentuan memperhatikan nilai-nilai yang hidup dalam
masyarakat dimaksudkan agar putusan hakim sesuai dengan hukum dan rasa keadilan
masyarakat.

Selain itu, undang-undang bukan satu-satunya sumber hukum. Kebiasaan dalam


masyarakat juga merupakan sumber hukum. Dengan demikian, hakim bisa menggunakan
kebiasaan sebagai rujukan. Meskipun Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman
mengharuskan hakim memperhatikan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat, tak
selamanya hakim tunduk pada keharusan itu. Bahkan, kadangkala hakim dapat menabrak
nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat untuk tujuan memberikan keadilan. Misalnya,
putusan MA No. 1048K/Pdt/2012 yang menegaskan hukum adat setempat yang tidak
mengakui hak perempuan setara dengan laki-laki tidak bisa dipertahankan lagi.

Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman No. 14 Tahun 1970 Pasal 27 ayat (1)


menyebutkan, hakim sebagai penegak hukum dan keadilan wajib mengali, mengikuti,
dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat, Rumusan ini tidak
mengalami perubahan dalam UU No. 35 Tahun 1999. Begitu juga pada Undang-Undang
No. 48 Tahun 2009 tentang kekuasaan kehakiman Pasal 5 ayat (1) yang menegaskan :

“Hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai
hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.”

Dalam masyarakat yang masih mengenal hukum tidak tertulis, serta berada dalam masa
pergolakan dan peralihan, Hakim merupakan perumus dan penggali dari nilai-nilai
hukum yang hidup di kalangan rakyat. Untuk itu, hakim harus terjun ke tengah-tengah
masyarakat untuk mengenal, merasakan dan mampu menyelami perasaan hukum dan
rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Sehingga hakim dapat memberikan putusan
yang sesuai dengan hukum dan rasa keadilan masyarakat.

Jawab :

3. Menurut analisis saya tentang penerapan aliran Positivisme Hukum di Indonesia beserta
ciri-cirinya adalah Positivisme Hukum di Indonesia sebenarnya telah berubah dari wujud
aslinya, dimana pembangunan dan pembentukan hukum di Indonesia berlansung dibawah
konsep negara hukum yang berlandaskan Pancasila. Dengan UUD 1945 sebagai dasar
negara yang didalamnya termuat cita negara hukum Pancasila, maka dengan sendirinya
Positivisme hukum di Indonesia adalah positivism hukum yang tidak memandang hukum
sebagai perintah penguasa berdaulat atau hukum dipisahkan dari moral dan agama.
Corak negara hukum Indonesia itu tentulah sekaligus menjadi karakter dari positivisme
hukum Indonesia. Pada tahap ini perlu menjadi pemikiran mendalam, apakah benar
positivisme hukum Indonesia sudah saatnya ditinggalkan dan beralih paradigm hukum
baru ke teori hukum progresif. Atas dasar ini pengalaman Amerika misalnya , ketiga
hukum tidak mampu menyelesaikan masalah masyarakatnya sehingga memerlukan
paradigma hukum baru. Namun apa yang terjadi di Amerika belum tentu menjadi otomatis
di Indonesia , jika dalam kenyataan di Indonesia banyak konflik yang belum terselesaikan,
namun akar masalahnya belum tentu sebagai ketidak-berdayaan hukum. Dalam hal ini
benar adanya, bahwa kosmologi Indonesia dalam penyelesaian konflik berbeda dengan
kosmologi bangsa Amerika yang serba “lawyer centered” . Indonesia memiliki versi rule
of law yang berbasis pada kumunalisme dan memiliki nilai-nilai seperti kekeluargaan,
musyawarah, gotong royong. Tradisi positivisme hukum Indonesia sepertinya sudah hidup
dalam nuansa kosmologi Indonesia yang demikian, sehingga persoalannya bagaimana
menguatkan posotivisme hukum tersebut dalam tahap aksiologi-nya. Pada tahap aksiologi
inilah sebenarnya positivisme hukum di Indonesia berkembang dalam ranah yang
cenderung inkonsisten.

Kosmologi bangsa Indonesia yang tidak hidup dalam tradisi “lawyer centered”, sepertinya
akan menjadi masalah yang berkepanjangan, sekalipun teori positivisme hukum diganti
dengan teori hukum progresif sekalipun. Bisa dibayangkan bagaimana rumitnya apabila
hukum selalu dikaitkan pada tujuan-tujuan di luar narasi tekstual hukum itu sendiri.
Dengan demikian, positivisme hukum yang diterapkan di Indonesia yang tumbuh di
bawah konsepsi hukum tool social of engineering sesungguhnya sudah memberikan
jawaban bagi hukum sebagai penyelesai konflik atau pemasalahan yang dihadapi
masyarakat. Jika demikian halnya, maka persoalan postivisme hukum di Indonesia adalah
belum didukung suatu tradisi pembentukan hukum yang memadai. Terlalu banyak atau
acap kali pembentukan hukum positif di Indonesia dibentuk atas kepentingan sesaat dan
temporer, pembentukan hukum Indonesia lebih cenderung dibangun di atas kepentingan-
kepentingan politik dan asing. Bahkan tidak sedikit hukum Indonesia dibentuk dengan
tidak sempurna dan mengandung sejumlah kekurangan dan kelemahan juridis dan
sebagainya. Pembentukan-pembentukan hukum positif yang demikian tentu secara tidak
lansung akan berpengaruh pada penegakkannya, dimana penegakkan hukum seperti hakim
dan Jaksa pada ketiadaan ukuran yang jelas dalam menerapkan peraturan perundang-
undangan. Inilah yang kemudian dipahami sebagai hukum jauh dari rasa keadilan
masyarakat dan disisi lain hukum tampak tidak berkepastian.

Atas dasar pemikiran yang demikian itu, Soekanto dengan tegas mengatakan bahwa
pemisahan secara ketat antara segi normatif dengan segi perilaku dari gejala
kemasyarakatan akan menyesatkan, sebab akan terjadi dikotomi antara pendekatan yuridis
dengan pendekatan sosiologis terhadap hukum. Hal ini tidak perlu terjadi apabila disadari
bahwa kedua segi tersebut merupakan bagian dari kesatuan. Jadi, persoalan pokoknya
bukanlah kembali pada segi normatifnya, namun bagaimana menyerasikan kedua segi
tersebut sekaligus dengan sekalian pendekatan-pendekatannya.

Bagaimanapun juga, ternyata pendekatan holistik sebagaimana ditawarkan oleh hukum


progresif bukan berarti mengecilkan arti peraturan tertulis sebagai salah satu bentuk
kepastian hukum. Hal ini memberikan keyakinan kepada kita, bahwa masalah positivisme
hukum di Indonesia bukanlah masalah positivisme hukum itu sendiri, melainkan adalah
berkaitan dengan perlakuan dan prilaku yang berkembang terhadap positivisme hukum itu
sendiri.

Jawab :

4. Menurut analisis saya mengenai perbedaan pengaturan pekerja outsourcing di dalam UU


Ketenagakerjaan dengan UU Cipta Kerja (Omnibuslaw) adalah UU Cipta Kerja mengubah
istilah outsourcing dari penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan
lain menjadi alih daya. Dalam UU Cipta Kerja, tidak ada lagi batasan terhadap jenis
pekerjaan yang bisa di-outsourcing. UU No.11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja mengubah
sebagian ketentuan UU No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, salah satunya terkait
ketentuan outsourcing. Selama ini outsourcing dalam UU Ketenagakerjaan diartikan
sebagai penyerahan sebagian pekerjaan kepada perusahaan lain. Penyerahan sebagian
pekerjaan itu dilakukan melalui 2 mekanisme yaitu perjanjian pemborongan pekerjaan
atau penyediaan jasa pekerja/buruh.

Tapi, UU Cipta Kerja mengubah ketentuan outsourcing dengan menghapus Pasal 64 dan
Pasal 65 serta mengubah Pasal 66 UU Ketenagakerjaan. Outsourcing dalam UU Cipta
Kerja dikenal dengan istilah alih daya. PP No.35 Tahun 2021 tentang Perjanjian Kerja
Waktu Tertentu, Alih Daya, Waktu Kerja dan Waktu Istirahat, dan Pemutusan Hubungan
Kerja (PP PKWT-PHK) menyebutkan perusahaan alih daya adalah badan usaha berbentuk
badan hukum yang memenuhi syarat untuk melaksanakan pekerjaan tertentu berdasarkan
perjanjian yang disepakati dengan perusahaan pemberi pekerjaan.

Kasubdit Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial Kementerian Ketenagakerjaan,


Reytman Aruan, menerangkan UU Cipta Kerja mengatur hak dan kewajiban perusahaan
alih daya dengan pekerjanya. Intinya, perusahaan alih daya bertanggung jawab penuh
terhadap semua yang timbul akibat hubungan kerja.

Pelindungan buruh, upah, kesejahteraan, syarat kerja, dan perselisihan yang muncul
dilaksanakan sesuai peraturan dan menjadi tanggung jawab perusahaan alih daya.
Berbagai hal itu diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja
bersama. Selain itu, hubungan kerja antara perusahaan alih daya dengan buruh yang
dipekerjakan didasarkan pada PKWT atau perjanjian kerja waktu tidak tertentu (PKWTT).
PKWT atau PKWTT ini harus dibuat secara tertulis, tidak boleh lisan.

Dalam hal perusahaan alih daya mempekerjakan buruh berdasarkan PKWT, perjanjian
kerja itu harus mencantumkan syarat pengalihan pelindungan hak-hak bagi buruh ketika
terjadi pergantian perusahaan alih daya sepanjang obyek pekerjaannya tetap ada. Hal ini
sesuai dengan amanat putusan MK No.27/PUU-IX/2011 terkait uji materi terhadap Pasal
59, Pasal 64, Pasal 65, dan Pasal 66 UU Ketenagakerjaan.

Sebelumnya, dalam UU Ketenagakerjaan mengatur batasan jenis kegiatan yang dapat


dikerjakan oleh buruh outsourcing. Misalnya, tidak boleh melaksanakan kegiatan pokok
atau berhubungan langsung dengan proses produksi; buruh outsourcing hanya
mengerjakan kegiatan penunjang atau tidak berhubungan langsung dengan proses
produksi. Tapi, dalam UU Cipta Kerja menghapus batasan tersebut.

perusahaan alih daya dapat mengerjakan jenis pekerjaan apapun yang diberikan
perusahaan pemberi pekerjaan (pengguna jasa perusahaan alih daya, red). (Saat ini, red)
Tidak ada batasan jenis pekerjaan yang boleh diberikan kepada perusahaan alih daya.

UU Cipta Kerja menghapus perbedaan pengaturan mengenai perjanjian pemborongan atau


penyedia jasa pekerja. Pelindungan buruh, upah dan kesejahteraan, syarat-syarat kerja,
serta perselisihan yang timbul dilaksanakan sekurang-kurangnya sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan dan menjadi tanggung jawab perusahaan alih daya.
Yang penting buruh yang diperjakan berdasarkan PKWT, dalam perjanjian kerja itu harus
mensyaratkan pengalihan perlindungan hak-hak bagi buruh bila terjadi pergantian
perusahaan alih daya dan sepanjang obyek pekerjannya tetap ada.

Mengingat ketentuan tentang perjanjian pemborongan pekerjaan dan penyedia jasa pekerja
dalam UU Ketenagakerjaan sudah dihapus UU Cipta Kerja, peraturan perundang-
undangan yang masih memuat ketentuan tersebut semestinya tidak berlaku. UU Cipta
Kerja juga menghapus ketentuan dalam UU Ketenagakerjaan yang memungkinkan buruh
outsourcing beralih hubungan kerjanya ke perusahaan pemberi pekerjaan (menjadi pekerja
tetap/PKWTT) jika syarat pelaksanaan outsourcing tidak terpenuhi.

Sekarang tidak ada lagi pembatasan kegiatan usaha utama dan penunjang. Pekerja alih
daya bisa dilibatkan untuk pekerjaan inti (utama) atau produksi perusahaan.

Anda mungkin juga menyukai