UNDANGAN
DI INDONESIA
A. PENDAHULUAN
Pembangunan hukum di Indonesia sudah berlangsung cukup lama, yang mana sampai saat ini
belum dilakukan evaluasi secara mendasar dan menyeluruh terhadap model hukum yang
dibentuk sebagai sarana pembaharuan masyarakat dan menciptakan keadilan serta kepastian
hukum. Akibatnya, hukum yang dihasilkan lebih banyak berjalan tidak efektif, karena hukum
tersebut dirasa oleh masyarakat tidak mencerminkan aspirasi mereka.
Berbagai faktor memengaruhi produk hukum di Indonesia dianggap lebih bersifat represif
( menindas) dibandingkan responsif. Romli Artasasmita, berpendapat bahwa :[3]
bahwa proses legislasi dengan produk perundang-undangan bukanlah proses yang steril dari
kepentingan politik karena ia merupakan proses politik. Bahkan implementasi perundang-
undangan tersebut dikenal dengan sebutan “penegakan hukum†atau “law
enforcementâ€, juga tidaklah selalu steril dari pengaruh politik.
Pengaruh politik dalam pembentukan hukum tampak jelas dalam pembentukan peraturan
perundang-undangan. Tiap tahapan pembentukan peraturan perundang-undangan tidak dapat
terelakkan dari pengaruh politik, yang akhirnya berdampak pada substansi peraturan
perundang-undangan yang dibentuk oleh pemerintah. Menurut Pasal 1 Angka 1 UU No.12
Tahun 2011, pembentukan peraturan perundang-undangan adalah :
Peraturan Perundang-undangan merupakan bagian dari hukum dan memiliki nilai yang urgen
bagi perkembangan sistem hukum Indonesia kedepannya. Adapun yang dimaksud dengan
peraturan perundang-undangan adalah :[4]
Peraturan tertulis yang memuat norma hukum yang mengikat secara umum dan dibentuk atau
ditetapkan oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang melalui prosedur yang
ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan.
d. Peraturan Pemerintah
e. Peraturan Presiden
Jenis peraturan perundang-undangan selain sebagaimana yang terdapat pada Pasal 7 ayat (1)
mencakup peraturan yang ditetapkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan
Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi,
Badan Pemeriksa Keuangan, Komisi Yudisial, Bank Indonesia, Menteri, badan, lembaga atau
komisi yang setingkat yang dibentuk dengan undang-undang atau pemerintah atas perintah
undang-undang, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Gubernur, Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah Kabupaten/Kota, Bupati/ Walikota, Kepala Desa atau yang setingkat.
Dalam hal ini, pemerintah sebagai lembaga resmi yang diberi kewenangan oleh UUD 1945
untuk membentuk undang-undang harus jeli melihat permasalahan atau problematika
pembentukan peraturan perundang-undangan yang berulang kali berada pada titik
permasalahan yang sama. Bagaimanapun pemerintah memiliki tanggung jawab besar dalam
melindungi hak asasi manusia umumnya, hak asasi warga negaranya secara khusus. Besar
harapan warga negaranya untuk terciptanya rasa keadilan di tengah-tengah kehidupan
berbangsa dan bernegara, sehingga masyarakat tunduk secara sukarela terhadap aturan yang
dibuat oleh penguasa.
Justru, penundukan diri secara sukarela, jangan menjadikan penguasa untuk berbuat
sewenang-wenang, terutama dalam hal membuat aturan yang mengatur warganya.
Pemerintah yang dimaksud dalam hal ini adalah pemerintah dalam arti luas meliputi seluruh
lembaga negara yang ada di Indonesia bukan hanya lembaga legislatif, eksekutif dan
yudikatif, tetapi juga meliputi lembaga negara bantu ( auxiliary body ). Masing-masing
lembaga negara dapat membentuk peraturan dan diakui sepanjang tidak bertentangan dengan
peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi atau dibentuk berdasarkan kewenangan,
sebagaimana jenis peraturan perundang-undangan tersebut telah diatur pada Pasal 7 ayat (1)
dan Pasal 8 ayat (1) UU No. 12 Tahun 2011.
Merujuk pada pendapat Muchtar Kusumaatmadja dan Harkristuti Harkrisnowo diatas, maka
penulis perlunya ditemukan jawaban atas permasalahan kualitas produk peraturan
perundang-undangan, apakah permasalahan terletak pada aturan yang mengatur pembentukan
peraturan perundang-undangan atau ada faktor lain seperti sumber daya manusia atau
legislator yang lemah. Pada tulisan ini, penulis akan memberi judul : PROBLEMATIKA
DALAM PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DI INDONESIA
B. PEMBAHASAN
Ada beberapa tolak ukur dalam menilai apakah peraturan perundang-undangan baik atau
tidak. Tolak ukur atau indikator diperlukan untuk menemukan jawaban permasalahan dalam
meningkatkan kualitas peraturan perundang-undangan. Menurut Zamrony, tolak ukur bagus
tidaknya suatu produk hukum dapat dilihat dari beberapa aspek, antara lain:[7]
6. bertahan dalam jangka waktu yang lama karena tidak banyak digugat substansi
isinya
Â
Pendapat lain yang juga penulis kutip adalah pendapat Syahrul, menurutnya banyak hal yang
terlupakan dalam menghasilkan sebuah produk hukum yang baik, yaitu :[8]
Selama ini kita lihat bagaimana komentar masyarakat awam tentang hukum itu sendiri bahwa
Hukum hanya diperuntukkan bagi mereka yang awam, sedangkan golongan tertentu dalam
masyarakat dengan bebasnya mereka melanggar, bahkan mereka dapat memesan klausul-
klausul tertentu untuk melindungi kepentingan mereka, artinya kepastian hukum itu hanya
berlaku bagi mereka yang awam tentang hukum.
2. Azas Manfaat
Merujuk komentar pertama di atas, sebaliknya hukum itu hanya bermanfaat bagi mereka
yang memiliki kepentingan dengan aturan yang akan diberlakukan.
3. Azas Keadilan
Adil bagi golongan tertentu, belum tentu adil bagi yang lain.
2. Program legislasi nasional dan program legislasi daerah yang kurang fokus dan tidak
berdasarkan kebutuhan hukum masyarakat
3. Kajian penelitian yang kurang memadai, dengan kata lain naskah akademik yang dibuat
tidak dengan sungguh-sungguh, sehingga berpengaruh pada substansi peraturan perundang-
undangan
Menurut Bagir Manan, ada 3 (tiga) landasan dalam menyusun peraturan perundang-
undangan, yaitu : landasan yuridis, landasan sosiologis dan landasan sosiologis. [9]
Disamping itu menurut Jimly Asshiddiqie ada 5 (lima) landasan pembentukan peraturan
perundang-undangan, yakni :[10]
a. Landasan filosofis
Undang-undang selalu mengandung norma-norma hukum yang diidealkan (ideal norms) oleh
suatu masyarakat kearah mana cita-cita luhur kehidupan bermasyarakat bernegara hendak
diarahkan
b. Landasan Sosiologis
c. Landasan Politis
Dalam konsiderans harus pula tergambar adanya sistem rujukan konstitusional menurut cita-
cita dan norma dasar yang terkandung dalam UUD 1945 sebagai sumber kebijakan pokok
atau sumber politik hukum yang melandasi pembentukan undang-undang yang bersangkutan
d. Landasan Yuridis
e. Landasan Administratif
Dasar ini bersifat fakultatif sesuai dengan kebutuhan, terdapat dalam konsiderans dengan kata
“ memperhatikanâ€. Landasan ini berisi pencantuman rujukan dalam hal adanya
perintah untuk mengatur secara administratif.
a. Kejelasan tujuan
d. Dapat dilaksanakan
f. Kejelasan rumusan
g. Keterbukaan
a. Pengayoman
b. Kemanusiaan
c. Kebangsaan
d. Kekeluargaan
e. Kenusantaraan
g. Keadilan
Meskipun secara teori dan peraturan perundang-undangan telah mengatur secara tegas
mengenai landasan dan asas peraturan perundang-undangan yang baik, namun tidak jarang
kita temui adanya peraturan perundang-undangan yang bertentangan dengan asas peraturan
perundang-undangan yang baik. Alhasil, bermunculan gugatan pengujian formil maupun
materil terhadap peraturan perundang-undangan yang telah disahkan dan diundangkan oleh
pemerintah.
Pasal 1 angka 9 UU No.12 Tahun 2011, dibunyikan bahwa, Program legislasi nasional yang
selanjutnya disebut prolegnas adalah :
Pasal 1 angka 10, dinyatakan bahwa, Program legislasi daerah yang selanjutnya disebut
prolegda adalah :
Pada susunan daftar yang diprioritaskan dalam penyusunan prolegnas, menurut penulis yang
sering menjadi permasalahan adalah prolegnas yang disusun tidak sesuai dengan aspirasi dan
kebutuhan hukum masyarakat, sehingga sering terjadi prolegnas tersebut lebih bersifat
kuantitas (jumlah) bukan kualitas undang-undang. Namun, realitanya tidak dapat
dipersalahkan sepenuhnya penyusun prolegnas dalam hal ini DPR dan Pemerintah, yang
menjadikan kebutuhan hukum masyarakat prioritas terakhir, karena UU No. 12 Tahun 2011
sendiri menjadikan kebutuhan hukum masyarakat daftar prioritas terakhir.
Dalam keadaan tertentu, DPR atau Presiden dapat mengajukan Rancangan Undang-Undang
diluar prolegnas, mencakup :[14]
a. Untuk mengatasi keadaan luar biasa, keadaan konflik atau bencana alam
b. Keadaan tertentu lainnya yang memastikan adanya urgensi nasional atas suatu
rancangan undang-undang yang dapat disetujui bersama oleh alat kelengkapan DPR yang
khusus menangani bidang legislasi dan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan
di bidang hukum
Mengutip pendapat Zamrony sebelumnya, yang dijadikan tolak ukur baik atau tidaknya
peraturan perundang-undangan, diantaranya : partisipasi publik dalam proses legislasi,
merepresentasikan kepentingan publik, dapat disesuaikan (harmonisasi dan sinkronisasi)
dengan produk hukum di lain sektor (lintas sektoral), bertahan dalam jangka waktu yang lama
karena tidak banyak digugat substansiisinya. Maka untuk mencapai tolak ukur ini dapat
dilakukan melalui naskah akademik.
Berdasarkan Pasal 1 Angka 11 UU No. 12 Tahun 2011, disebutkan bahwa naskah akademik,
yaitu :
Naskah hasil penelitian atau pengkajian hukum dan hasil penelitian lainnya terhadap suatu
masalah tertentu yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah mengenai pengaturan
masalah tersebut dalam suatu Rancangan Undang-Undang, Rancangan Peraturan Daerah
Provinsi, Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten/ Kota sebagai solusi terhadap
permasalahan dan kebutuhan hukum masyarakat.
Rancangan Undang-Undang yang berasal dari DPR, Presiden atau DPD harus
disertai dengan Naskah Akademik
Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak berlaku bagi Rancangan Undang-
Undang mengenai :
Dengan adanya naskah akademik dari setiap rancangan undang-undang diharapkan dapat
memberikan gambaran mengenai hasil penelitian ilmiah yang akan mendasari RUU yang
kelak akan diajukan dan dibahas di DPR. Naskah akademik memperlihatkan, bahwa suatu
rancangan undang-undang tidak disusun karena kepentingan sesaat, kebutuhan yang
mendadak atau bukan dari pemikiran yang mendalam. Melainkan dari penelitian yang
mendalam dan perenungan yang matang.[16]
Naskah akademik memiliki nilai yang sangat penting, karena memuat :[17]
Naskah akademik juga berperan sebagai alat kontrol dalam menentukan kualitas suatu produk
hukum dan akan memberi arah kepada pemangku kepentingan dan perancang dalam
mengambil kebijakan dan acuan untuk dapat menentukan apa yang akan diatur dan
diterjemahkan kedalam kalimat hukum. Namun, praktiknya selama ini naskah akademik
terkadang hanya dijadikan pesanan belaka dan syarat formil dalam pembentukan peraturan
perundang-undangan, sehingga naskah akademik yang dibuat tidak hasil kajian penelitian
yang mendalam. Wajar sekiranya, rancangan undang-undang yang dibuat tidak maksimal
sesuai dengan aspirasi masyarakat.
Berdasarkan Pasal 96 UU No. 12 Tahun 2011, masyarakat dapat memberikan masukan secara
lisan dan/atau tertulis dalam pembentukan peraturan perundang-undangan, dimana masukan
tersebut dapat dilakukan melalui :
b. Kunjungan kerja
c. Sosialisasi
Salah satu yang dapat dijadikan tolak ukur baik atau tidaknya kualitas peraturan perundang-
undangan adalah harmonisasi dan sinkronisasi pembentukan peraturan perundang-undangan.
Menurut Moh. Hasan Wargakusumah, yang dimaksud dengan harmonisasi adalah :[18]
1. PENUTUP
Saran penulis, masalah penolakan terhadap suatu peraturan perundang-undangan akan terus
menjadi masalah yang klise untuk kedepannya, jika dalam pembentukan peraturan
perundang-undangan tetap tidak berpedoman pada aturan yang telah ada. Selain itu, yang
paling penting adalah menyamakan visi dan misi para pihak yang terkait dalam pembentukan
peraturan perundang-undangan bahwa aturan yang dibuat untuk kepentingan bersama.
Sumber daya manusia, khususnya para perancang peraturan harus ditingkatkan lagi, karena
bagaimanapun SDM sangat berpengaruh pada kualitas produk hukum yang dihasilkan.