Anda di halaman 1dari 10

PROBLEMATIKA DALAM PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-

UNDANGAN

DI INDONESIA

A. PENDAHULUAN

Dalam mewujudkan Indonesia sebagai negara hukum, maka negara berkewajiban


melaksanakan pembangunan hukum nasional yang dilakukan secara terencana, terpadu dan
berkelanjutan dalam sistem hukum nasional yang menjamin perlindungan hak dan kewajiban
segenap rakyat Indonesia berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945.[2]

Pembangunan hukum di Indonesia sudah berlangsung cukup lama, yang mana sampai saat ini
belum dilakukan evaluasi secara mendasar dan menyeluruh terhadap model hukum yang
dibentuk sebagai sarana pembaharuan masyarakat dan menciptakan keadilan serta kepastian
hukum. Akibatnya, hukum yang dihasilkan lebih banyak berjalan tidak efektif, karena hukum
tersebut dirasa oleh masyarakat tidak mencerminkan aspirasi mereka.

Berbagai faktor memengaruhi produk hukum di Indonesia dianggap lebih bersifat represif
( menindas) dibandingkan responsif. Romli Artasasmita, berpendapat bahwa :[3]

bahwa proses legislasi dengan produk perundang-undangan bukanlah proses yang steril dari
kepentingan politik karena ia merupakan proses politik. Bahkan implementasi perundang-
undangan tersebut dikenal dengan sebutan “penegakan hukum” atau “law
enforcement”, juga tidaklah selalu steril dari pengaruh politik.

Pengaruh politik dalam pembentukan hukum tampak jelas dalam pembentukan peraturan
perundang-undangan. Tiap tahapan pembentukan peraturan perundang-undangan tidak dapat
terelakkan dari pengaruh politik, yang akhirnya berdampak pada substansi peraturan
perundang-undangan yang dibentuk oleh pemerintah. Menurut Pasal 1 Angka 1 UU No.12
Tahun 2011, pembentukan peraturan perundang-undangan adalah :

Pembuatan peraturan perundang-undangan yang mencakup tahapan perencanaan,


penyusunan, pembahasan, pengesahan atau penetapan dan pengundangan.

Peraturan Perundang-undangan merupakan bagian dari hukum dan memiliki nilai yang urgen
bagi perkembangan sistem hukum Indonesia kedepannya. Adapun yang dimaksud dengan
peraturan perundang-undangan adalah :[4]

Peraturan tertulis yang memuat norma hukum yang mengikat secara umum dan dibentuk atau
ditetapkan oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang melalui prosedur yang
ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan.

Berbagai jenis peraturan perundang-undangan di Indonesia yang terdapat dalam Pasal 7 UU


No. 12 Tahun 2011, dalam praktiknya pembentukan peraturan perundang-undangan tersebut
belum mencerminkan secara optimal landasan, asas dan proses pembentukan peraturan
perundang-undangan yang baik, sehingga produk peraturan perundang-undangan yang
dihasilkan banyak memunculkan permasalahan kedepannya khususnya permasalahan
penegakan hukum. Bahkan, tidak dapat dinafikan peraturan perundang-undangan yang telah
disahkan dan diundangkan dimintakan pengujian kepada Mahkamah Konstitusi dan
Mahkamah Agung, baik uji yang bersifat formil maupun uji yang bersifat materil.

Jenis peraturan perundang-undangan terdiri atas :[5]

a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

b. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat

c. Undang-Undang/ Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang

d. Peraturan Pemerintah

e. Peraturan Presiden

f. Peraturan Daerah Provinsi

g. Peraturan Daerah Kabupaten/ Kota

Pada Pasal 8 UU No. 12 Tahun 2011, juga disebutkan bahwa :

Jenis peraturan perundang-undangan selain sebagaimana yang terdapat pada Pasal 7 ayat (1)
mencakup peraturan yang ditetapkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan
Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi,
Badan Pemeriksa Keuangan, Komisi Yudisial, Bank Indonesia, Menteri, badan, lembaga atau
komisi yang setingkat yang dibentuk dengan undang-undang atau pemerintah atas perintah
undang-undang, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Gubernur, Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah Kabupaten/Kota, Bupati/ Walikota, Kepala Desa atau yang setingkat.

Dalam hal ini, pemerintah sebagai lembaga resmi yang diberi kewenangan oleh UUD 1945
untuk membentuk undang-undang harus jeli melihat permasalahan atau problematika
pembentukan peraturan perundang-undangan yang berulang kali berada pada titik
permasalahan yang sama. Bagaimanapun pemerintah memiliki tanggung jawab besar dalam
melindungi hak asasi manusia umumnya, hak asasi warga negaranya secara khusus. Besar
harapan warga negaranya untuk terciptanya rasa keadilan di tengah-tengah kehidupan
berbangsa dan bernegara, sehingga masyarakat tunduk secara sukarela terhadap aturan yang
dibuat oleh penguasa.

Justru, penundukan diri secara sukarela, jangan menjadikan penguasa untuk berbuat
sewenang-wenang, terutama dalam hal membuat aturan yang mengatur warganya.
Pemerintah yang dimaksud dalam hal ini adalah pemerintah dalam arti luas meliputi seluruh
lembaga negara yang ada di Indonesia bukan hanya lembaga legislatif, eksekutif dan
yudikatif, tetapi juga meliputi lembaga negara bantu ( auxiliary body ). Masing-masing
lembaga negara dapat membentuk peraturan dan diakui sepanjang tidak bertentangan dengan
peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi atau dibentuk berdasarkan kewenangan,
sebagaimana jenis peraturan perundang-undangan tersebut telah diatur pada Pasal 7 ayat (1)
dan Pasal 8 ayat (1) UU No. 12 Tahun 2011.

Problematika pembentukan peraturan perundang-undangan di Indonesia harus sesegera


mungkin dievaluasi dan ditemukan solusinya oleh pemerintah, karena ketidakpercayaan
masyarakat terhadap hukum semakin meningkat, sehingga ditakutkan akan terjadi perbuatan
main hakim sendiri oleh masyarakat terhadap pelaku kejahatan, serta berakibat
ketidaknyamanan lagi di tengah masyarakat.

Mochtar Kusumaatmadja, tampaknya juga bertanya dan pesimis terhadap hukum di


Indonesia, karena tanda-tanda mulai tumbuhnya pengakuan dari pentingnya fungsi hukum
pembangunan, menunjukkan bahwa kita tidak dapat menghindarkan kesan bahwa di tengah-
tengah kesibukan tentang pembangunan ini terdapat suatu kelesuan (melaise) atau
kekurangpercayaan akan hukum dan gunanya dalam masyarakat. Begitu Juga, Harkristuti
Harkrisnowo juga merasa pilu tentang hukum di Indonesia. Harkristuti menyatakan bahwa di
tengah suasana Indonesia yang masih mengalami berbagai cobaan besar sejak masa fin du
siecle (akhir millenium) sampai kini, tidaklah mudah bagi saya untuk memaparkan kondisi
hukum kita tanpa kepiluan yang merebak mendengar dan ratapan mereka yang terluka oleh
hukum, dan kegeraman yang membahana pada mereka yang memanfaatkan hukum sebagai
alat mencapai tujuan tanpa memakai hari nurani.[6]

Merujuk pada pendapat Muchtar Kusumaatmadja dan Harkristuti Harkrisnowo diatas, maka
penulis perlunya ditemukan jawaban atas permasalahan kualitas produk peraturan
perundang-undangan, apakah permasalahan terletak pada aturan yang mengatur pembentukan
peraturan perundang-undangan atau ada faktor lain seperti sumber daya manusia atau
legislator yang lemah. Pada tulisan ini, penulis akan memberi judul : PROBLEMATIKA
DALAM PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DI INDONESIA

B. PEMBAHASAN

Ada beberapa tolak ukur dalam menilai apakah peraturan perundang-undangan baik atau
tidak. Tolak ukur atau indikator diperlukan untuk menemukan jawaban permasalahan dalam
meningkatkan kualitas peraturan perundang-undangan. Menurut Zamrony, tolak ukur bagus
tidaknya suatu produk hukum dapat dilihat dari beberapa aspek, antara lain:[7]

1. partisipasi publik dalam proses legislasi

2. merepresentasikan kepentingan publik

3. tingkat efisiensi anggaran dan tingkat efisiensi waktu

4. dapat disesuaikan (harmonisasi dan sinkronisasi) dengan produk hukum di lain

sektor (lintas sektoral)

5. tidak mengandung cacat hukum

6. bertahan dalam jangka waktu yang lama karena tidak banyak digugat substansi

isinya
Â

Pendapat lain yang juga penulis kutip adalah pendapat Syahrul, menurutnya banyak hal yang
terlupakan dalam menghasilkan sebuah produk hukum yang baik, yaitu :[8]

1. Azas Kepastian Hukum

Selama ini kita lihat bagaimana komentar masyarakat awam tentang hukum itu sendiri bahwa
Hukum hanya diperuntukkan bagi mereka yang awam, sedangkan golongan tertentu dalam
masyarakat dengan bebasnya mereka melanggar, bahkan mereka dapat memesan klausul-
klausul tertentu untuk melindungi kepentingan mereka, artinya kepastian hukum itu hanya
berlaku bagi mereka yang awam tentang hukum.

2. Azas Manfaat

Merujuk komentar pertama di atas, sebaliknya hukum itu hanya bermanfaat bagi mereka
yang memiliki kepentingan dengan aturan yang akan diberlakukan.

3. Azas Keadilan

Adil bagi golongan tertentu, belum tentu adil bagi yang lain.

Berdasarkan beberapa komentar diatas, penulis mencoba mengelompokkan problematika


pembentukan peraturan perundangan-undangan yang baik yang terjadi di Indonesia, mulai
dari tahap perencanaan sampai dengan pengundangan, sebagai berikut :

1. Peraturan perundang-undangan bertentangan dengan landasan dan asas-asas peraturan


perundang-undangan

2. Program legislasi nasional dan program legislasi daerah yang kurang fokus dan tidak
berdasarkan kebutuhan hukum masyarakat

3. Kajian penelitian yang kurang memadai, dengan kata lain naskah akademik yang dibuat
tidak dengan sungguh-sungguh, sehingga berpengaruh pada substansi peraturan perundang-
undangan

4. Peran serta masyarakat/partisipasi publik yang minim

5. Harmonisasi dan sinkronisasi peraturan perundang-undangan

Berdasarkan permasalahan di atas, maka penulis mencoba menguraikan kembali


permasalahan tersebut lebih rinci, sehingga ditemukan jawaban atas permasalahan
pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik.

1) Landasan, Asas Pembentukan Peraturan Perundang-undangan dan Materi Muatan


Peraturan Perundang-undangan

Pengujian peraturan perundang-undangan yang diajukan ke Mahkamah Agung dan


Mahkamah Konstitusi, kebanyakan terjadi karena alasan peraturan perundang-undangan
tersebut tidak sesuai dengan landasan dan asas-asas peraturan perundang-undangan yang
baik, begitu juga dengan materi muatan peraturan perundang-undangan yang bertentangan
dengan aturan yang lebih tinggi dan tidak mencerminkan nilai keadilan dalam masyarakat.

Menurut Bagir Manan, ada 3 (tiga) landasan dalam menyusun peraturan perundang-
undangan, yaitu : landasan yuridis, landasan sosiologis dan landasan sosiologis. [9]
Disamping itu menurut Jimly Asshiddiqie ada 5 (lima) landasan pembentukan peraturan
perundang-undangan, yakni :[10]

a. Landasan filosofis

Undang-undang selalu mengandung norma-norma hukum yang diidealkan (ideal norms) oleh
suatu masyarakat kearah mana cita-cita luhur kehidupan bermasyarakat bernegara hendak
diarahkan

b. Landasan Sosiologis

Setiap norma hukum yang dituangkan dalam undang-undang haruslah mencerminkan


tuntutan kebutuhan masyarakat sendiri akan norma hukum yang sesuai dengan realitas
kesadaran hukum masyarakat

c. Landasan Politis

Dalam konsiderans harus pula tergambar adanya sistem rujukan konstitusional menurut cita-
cita dan norma dasar yang terkandung dalam UUD 1945 sebagai sumber kebijakan pokok
atau sumber politik hukum yang melandasi pembentukan undang-undang yang bersangkutan

d. Landasan Yuridis

Dalam perumusan setiap undang-undang, landasan yuridis haruslah ditempatkan dalam


konsiderans “ mengingat”

e. Landasan Administratif

Dasar ini bersifat fakultatif sesuai dengan kebutuhan, terdapat dalam konsiderans dengan kata
“ memperhatikan”. Landasan ini berisi pencantuman rujukan dalam hal adanya
perintah untuk mengatur secara administratif.

Asas-asas formil pembentukan peraturan perundang-undangan :[11]

a. Kejelasan tujuan

b. Kelembagaan atau pejabat pembentuk yang tepat

c. Kesesuaian antara jenis, hierarki dan materi muatan

d. Dapat dilaksanakan

e. Kedayagunaan dan kehasilgunaan

f. Kejelasan rumusan
g. Keterbukaan

Sedangkan asas materi muatan peraturan perundang-undangan, sebagai berikut:[12]

a. Pengayoman

b. Kemanusiaan

c. Kebangsaan

d. Kekeluargaan

e. Kenusantaraan

f. Bhinneka Tunggal Ika

g. Keadilan

h. Kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan

i. Ketertiban dan kepastian hukum

j. Keseimbangan, keserasian dan keselarasan

Meskipun secara teori dan peraturan perundang-undangan telah mengatur secara tegas
mengenai landasan dan asas peraturan perundang-undangan yang baik, namun tidak jarang
kita temui adanya peraturan perundang-undangan yang bertentangan dengan asas peraturan
perundang-undangan yang baik. Alhasil, bermunculan gugatan pengujian formil maupun
materil terhadap peraturan perundang-undangan yang telah disahkan dan diundangkan oleh
pemerintah.

2) Program Legislasi Nasional (Prolegnas) dan Program Legislasi Daerah ( Prolegda)

Pasal 1 angka 9 UU No.12 Tahun 2011, dibunyikan bahwa, Program legislasi nasional yang
selanjutnya disebut prolegnas adalah :

Instrumen perencanaan program pembentukan undang-undang yang disusun secara


terencana, terpadu dan sistematis.

Pasal 1 angka 10, dinyatakan bahwa, Program legislasi daerah yang selanjutnya disebut
prolegda adalah :

Instrumen perencanaan program pembentukan peraturan daerah provinsi atau peraturan


daerah kabupaten/kota yang disusun secara terencana, terpadu dan sistematis

Dalam penyusunan prolegnas, harus didasarkan atas :[13]


a. Perintah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

b. Perintah Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat

c. Perintah Undang-Undang lainnya

d. Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional

e. Rencana pembangunan jangka panjang nasional

f. Rencana pembangunan jangka menengah

g. Rencana Kerja Pemerintah dan Rencana Strategis DPR

h. Aspirasi dan kebutuhan hukum masyarakat

Pada susunan daftar yang diprioritaskan dalam penyusunan prolegnas, menurut penulis yang
sering menjadi permasalahan adalah prolegnas yang disusun tidak sesuai dengan aspirasi dan
kebutuhan hukum masyarakat, sehingga sering terjadi prolegnas tersebut lebih bersifat
kuantitas (jumlah) bukan kualitas undang-undang. Namun, realitanya tidak dapat
dipersalahkan sepenuhnya penyusun prolegnas dalam hal ini DPR dan Pemerintah, yang
menjadikan kebutuhan hukum masyarakat prioritas terakhir, karena UU No. 12 Tahun 2011
sendiri menjadikan kebutuhan hukum masyarakat daftar prioritas terakhir.

Dalam keadaan tertentu, DPR atau Presiden dapat mengajukan Rancangan Undang-Undang
diluar prolegnas, mencakup :[14]

a. Untuk mengatasi keadaan luar biasa, keadaan konflik atau bencana alam

b. Keadaan tertentu lainnya yang memastikan adanya urgensi nasional atas suatu
rancangan undang-undang yang dapat disetujui bersama oleh alat kelengkapan DPR yang
khusus menangani bidang legislasi dan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan
di bidang hukum

Rumusan pasal diatas juga menimbulkan problematika dalam pembentukan peraturan


perundang-undangan yang baik, dimana tidak adanya penjelasan yang lebih lanjut dan tegas
tentang keadaan tertentu yang dianggap urgensi nasional. Dengan kata lain, tidak ada
indikator suatu keadaan dianggap kepentingan nasional. Akibatnya, para pembentuk undang-
undang dapat saja menafsirkan pasal ini berdasarkan kepentingan tertentu dan padahal bukan
merupakan kebutuhan hukum masyarakat.

3) Kajian Penelitian atau Naskah Akademik

Mengutip pendapat Zamrony sebelumnya, yang dijadikan tolak ukur baik atau tidaknya
peraturan perundang-undangan, diantaranya : partisipasi publik dalam proses legislasi,
merepresentasikan kepentingan publik, dapat disesuaikan (harmonisasi dan sinkronisasi)
dengan produk hukum di lain sektor (lintas sektoral), bertahan dalam jangka waktu yang lama
karena tidak banyak digugat substansiisinya. Maka untuk mencapai tolak ukur ini dapat
dilakukan melalui naskah akademik.
Berdasarkan Pasal 1 Angka 11 UU No. 12 Tahun 2011, disebutkan bahwa naskah akademik,
yaitu :

Naskah hasil penelitian atau pengkajian hukum dan hasil penelitian lainnya terhadap suatu
masalah tertentu yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah mengenai pengaturan
masalah tersebut dalam suatu Rancangan Undang-Undang, Rancangan Peraturan Daerah
Provinsi, Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten/ Kota sebagai solusi terhadap
permasalahan dan kebutuhan hukum masyarakat.

Yuliandri berpendapat, salah satu upaya pembentukan undang-undang berkelanjutan adalah


perencanaan pembentukan merupakan langkah pertama yang dilakukan, salah satu kegiatan
perencanaan tersebut adalah penyusunan naskah akademik.[15] Pada UU No. 10 Tahun 2004
tentang pembentukan peraturan perundang-undangan, naskah akademik tidak merupakan
suatu keharusan dalam pembentukan peraturan perundang-undangan. Namun, dengan
digantinya UU No. 10 Tahun 2004 dengan UU No. 12 Tahun 2011, maka naskah akademik
merupakan suatu keharusan dalam pembentukan peraturan perundang-undangan, kecuali
dalam peraturan tertentu. Sebagaimana yang diatur pada Pasal 43 Ayat (3) :

Rancangan Undang-Undang yang berasal dari DPR, Presiden atau DPD harus
disertai dengan Naskah Akademik

Ayat (4), berbunyi :

Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak berlaku bagi Rancangan Undang-
Undang mengenai :

a. Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara

b. Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Menjadi Undang-Undang

c. Pencabutan Undang-Undang atau Pencabutan Peraturan Pemerintah Pengganti


Undang-Undang

Dengan adanya naskah akademik dari setiap rancangan undang-undang diharapkan dapat
memberikan gambaran mengenai hasil penelitian ilmiah yang akan mendasari RUU yang
kelak akan diajukan dan dibahas di DPR. Naskah akademik memperlihatkan, bahwa suatu
rancangan undang-undang tidak disusun karena kepentingan sesaat, kebutuhan yang
mendadak atau bukan dari pemikiran yang mendalam. Melainkan dari penelitian yang
mendalam dan perenungan yang matang.[16]

Naskah akademik memiliki nilai yang sangat penting, karena memuat :[17]

a. Tujuan dibuatnya rancangan undang-undang

b. Pembahasan yang akan diatur

c. Faktor berjalannya undang-undang


d. Rujukan

Naskah akademik juga berperan sebagai alat kontrol dalam menentukan kualitas suatu produk
hukum dan akan memberi arah kepada pemangku kepentingan dan perancang dalam
mengambil kebijakan dan acuan untuk dapat menentukan apa yang akan diatur dan
diterjemahkan kedalam kalimat hukum. Namun, praktiknya selama ini naskah akademik
terkadang hanya dijadikan pesanan belaka dan syarat formil dalam pembentukan peraturan
perundang-undangan, sehingga naskah akademik yang dibuat tidak hasil kajian penelitian
yang mendalam. Wajar sekiranya, rancangan undang-undang yang dibuat tidak maksimal
sesuai dengan aspirasi masyarakat.

4) Partisipasi Publik/ Peran serta masyarakat

Berdasarkan Pasal 96 UU No. 12 Tahun 2011, masyarakat dapat memberikan masukan secara
lisan dan/atau tertulis dalam pembentukan peraturan perundang-undangan, dimana masukan
tersebut dapat dilakukan melalui :

a. Rapat dengar pendapat umum

b. Kunjungan kerja

c. Sosialisasi

d. Seminar, lokakarya dan diskusi

Melalui partisipasi publik diharapkan peraturan perundang-undangan akan memiliki


kelebihan dalam hal efektifitas keberlakuan di dalam masyarakat. Selain itu, partisipasi juga
memberikan legitimasi atau dukungan politik dari masyarakat terhadap pembentukan
peraturan perundang-undangan. DPR sebagai lembaga yang memegang fungsi legislasi
dituntut untuk membuka pintu yang seluas-luasnya bagi partisipasi masyarakat.

5) Harmonisasi dan Sinkronisasi Peraturan Perundang-undangan

Salah satu yang dapat dijadikan tolak ukur baik atau tidaknya kualitas peraturan perundang-
undangan adalah harmonisasi dan sinkronisasi pembentukan peraturan perundang-undangan.
Menurut Moh. Hasan Wargakusumah, yang dimaksud dengan harmonisasi adalah :[18]

Harmonisasi dalam hukum adalah mencakup penyesuaian peraturan perundang-undangan,


keputusan pemerintah, keputusan peningkatan kesatuan hukum, kepastian hukum, keadilan
(justice), kesebandingan (equity), kegunaan dan kejelasan hukum, tanpa mengaburkan dan
mengorbankan pluralisme hukum kalau memang dibutuhkan.

Harmonisasi memiliki fungsi untuk mencegah dan mengatasi terjadinya disharmonisasi


hukum. Harmonisasi juga dapat menjamin proses pembentukan rancangan undang-undang
yang taat asas demi kepastian hukum.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Ketiga, dituliskan bahwa kata “sinkron”
diartikan sebagai a. sesuatu yang terjadi atau berlaku pada waktu yang sama atau serentak;
b. sejalan, sejajar, sesuai, atau selaras (dengan). Kata “sinkronisasi” diartikan sebagai a.
perihal menyinkronkan, menyerentakkan, atau penyesuaian. [19] Sinkronisasi dan
harmonisasi dalam pembentukan perundang-undangan harus pula memperhatikan pada latar
belakang dan konsep berfikir, serta sistem yang mempengaruhi pembentukan peraturan
perundang-undangan tersebut. Sebagai suatu contoh, apabila suatu peraturan perundang-
undangan yang mempunyai latar belakang, dan konsep berfikir, serta dipengaruhi oleh sistem
yang individualis, tentu akan sangat sukar diselaraskan dengan peraturan perundang-
undangan yang lain yang mempunyai latar belakang, dan konsep berfikir, serta dipengaruhi
oleh sistem kekeluargaan.[20]

Pengharmonisasian, pembulatan dan pemnatapan konsepsi rancangan undang-undang yang


berasal dari DPR dikoordinasikan oleh alat kelengkapan DPR yang khusus menangani bidang
legislasi.[21] Sedangkan apabila rancangan undang-undang berasal dari Presiden, maka
pengharmonisasian, pembulatan dan pemantapan konsepsi rancangan undang-undang
dikoordinasikan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum.
[22]

1. PENUTUP

Problematika peraturan perundang-undangan tidak pernah jauh dari ditolaknya peraturan


perundang-undangan tersebut oleh masyarakat, karena dianggap tidak sesuai dengan aspirasi
masyarakat, tidak ada kepastian hukum dan mencerminkan rasa keadilan. Sering terjadi,
permintaan pengujian peraturan perundang-undangan ke Mahkamah Agung maupun
Mahkamah Konstitusi dengan dalih pembentukan peraturan perundang-undangan tidak sesuai
dengan aturan yang ada atau substansi dari peraturan perundang-undangan bertentangan
dengan aturan yang lebih tinggi dan melanggar hak asasi manusia.

Adapun faktor penyebab munculnya permasalahan tersebut adalah kurang mempedomani


landasan dan asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik, kajian naskah
akademik yang tidak mendalam, penyusunan prolegnas yang tidak sesuai dengan aspirasi
dan kebutuhan hukum masyarakat serta tidak adanya harmonisasi dan sinkronisasi peraturan
perundang-undangan. Meskipun masih ada faktor lain, misal sumber daya manusia yang
merancang undang-undang yang tidak profesional, kurangnya partisipasi publik dalam
memberikan masukan baik secara lisan maupun tertulis dalam pembentukan peraturan
perundang-undangan.

Saran penulis, masalah penolakan terhadap suatu peraturan perundang-undangan akan terus
menjadi masalah yang klise untuk kedepannya, jika dalam pembentukan peraturan
perundang-undangan tetap tidak berpedoman pada aturan yang telah ada. Selain itu, yang
paling penting adalah menyamakan visi dan misi para pihak yang terkait dalam pembentukan
peraturan perundang-undangan bahwa aturan yang dibuat untuk kepentingan bersama.
Sumber daya manusia, khususnya para perancang peraturan harus ditingkatkan lagi, karena
bagaimanapun SDM sangat berpengaruh pada kualitas produk hukum yang dihasilkan.

Anda mungkin juga menyukai