Anda di halaman 1dari 3

landasan yuridis

Indonesia sebagai negara hukum mewajibkan semua orang –


tidak terkecuali – aparatur pemerintah untuk tidak sewenang-
wenang, melainkan harus tunduk pada peraturan hukum yang
berlaku. Dari sini, eksistensi peraturan menjadi sangat penting.

Namun demikian, arti penting kehadiran berbagai peraturan


tersebut sedang dipersoalkan. Pasalnya, jumlah peraturan yang
ada saat ini kurang lebih 60 ribu dianggap terlalu banyak
sehingga membingungkan. Terlebih, beberapa isinya saling
tumpang tindih bahkan tidak singkron dan saling bertentangan.

Efeknya, hukum yang seharusnya menjadi pelopor bagi


perkembangan ekonomi justru menjadi faktor penghambat.
Merespon hal ini, Presiden berencana akan membentuk tim
reformasi regulasi dengan tugas utama merampungkan obesitas
hukum yang sudah akut.

Banyaknya peraturan salah satunya disebabkan oleh anggapan


bahwa tugas yang paling penting dari parlemen adalah membuat
peraturan (fungsi legislatif). Padahal selain fungsi tersebut,
masih ada fungsi lainnya yang juga tidak kalah penting yaitu
budgeting dan pengawasan. Ketika fungsi legislatif dianggap
sebagai yang paling penting maka tidak dapat dihindari bila salah
satu ukuran keberhasilan kinerja dewan adalah seberapa banyak
dia memproduk peraturan.

Civil Law Tradition dan Common Law Tradition


Selain itu, masifnya pembentukan peraturan juga dipengaruhi
oleh sistem hukum yang dianut oleh sebuah negara. Secara
tradisional, terdapat dua kelompok tradisi hukum yang utama di
dunia, yaitu tradisi hukum kontinental (Civil Law Tradition), dan
tradisi hukum anglo-saksis (Common Law Tradition).

Perbedaan keduanya antara lain didasarkan pada peranan hukum


perundang-undangan dan yurisprudensi (putusan badan
peradilan). Negara-negara yang tergolong ke dalam hukum
kontinental menempatkan hukum (peraturan) perundang-
undangan sebagai sendi utama sistem hukumnya. Sedangkan
negara-negara yang menganut tradisi hukum anglo-saksis
menjadikan yurisprudensi sebagai sendi utama sistem
hukumnya.

Indonesia sebagai negara yang menganut Sistem Hukum Eropa


Kontinental (civil law system), eksistensi peraturan perundang-
undangan sangatlah penting, karena bila dikaitkan dengan asas
legalitas yang berarti setiap tindakan pemerintah harus memiliki
dasar pada peraturan perundang-undangan yang berlaku. Maka,
tanpa adanya dasar wewenang yang diberikan oleh suatu
peraturan, segala macam aparat pemerintah tidak akan memiliki
wewenang yang dapat mempengaruhi atau mengubah keadaan
atau posisi hukum warga masyarakatnya.

Landasan Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan


Sekalipun pembentukan peraturan perundang-undangan
merupakan konsekwensi dari sistem hukum kontinental yang
dianut oleh Indonesia, namun bukan berarti proses
pembentukannya dapat dilakukan secara serampangan. UU No.
12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
undangan telah mengatur bahwa agar peraturan yang dibuat
berkualitas maka harus memenuhi tiga landasan: (1) landasan
filosofis (filosofische grondslag) yaitu pertimbangan yang
menggambarkan bahwa peraturan yang dibentuk
mempertimbangkan pandangan hidup, kesadaran, dan cita
hukum yang meliputi suasana kebatinan serta falsafah bangsa
Indonesia yang bersumber dari Pancasila dan Pembukaan UUD
1945, (2) landasan sosiologis (sociologische grondslag) yaitu
pertimbangan yang menggambarkan bahwa peraturan yang
dibentuk untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dalam berbagai
aspek, dan (3) landasan yuridis (yuridische grondslag) yaitu
pertimbangan yang menggambarkan bahwa peraturan yang
dibentuk untuk mengatasi permasalahan hukum atau mengisi
kekosongan hukum dengan mempertimbangkan aturan yang
telah ada, yang akan diubah, atau yang akan dicabut guna
menjamin kepastian hukum dan rasa keadilan masyarakat.
Berdasarkan hal di atas, akar masalah peraturan perundang-
undangan di Indonesia bersumber pada tiga hal: Pertama, secara
umum pembentukan peraturan perundang-undangan lebih banyak
berlandaskan pada aspek filosofis-yuridis dan sangat minim pada
kajian sosiologisnya. Padahal tepat tidaknya rumusan peraturan
sangat ditentukan oleh kebutuhan masyarakat. Sehingga,
kurangnya kajian sosiologis ini menyebabkan beberapa peraturan
tidak menjawab persoalan hukum yang dihadapi rakyat. Bahkan
dalam konteks tertentu, kehadiran hukum justru menimbulkan
problem baru di tengah-tengah masyarakat.
Kedua, kalaupun kajian sosiologisnya sudah cukup memadai,
dalam banyak hal dikalahkan oleh kepentingan politik pejabat
legislatif dan eksekutif. Sehingga substansi peraturan tidak lagi
aspiratif.
Ketiga, tidak singkronnya beberapa peraturan yang ada
disebabkan oleh ego sektoral antar instansi pemerintah. Masing-
masing instansi membuat peraturan sesuai keinginannya yang
tidak jarang bertentangan dengan keinginan instansi lainnya.

Untuk mengatasi hal tersebut, pemerintah harus banyak terjun


ke masyarakat dan melihat secara langsung masalah-masalah
yang dihadapi masyarakat sehingga substansi peraturan akan
kaya secara sosiologis. Selain itu, tenaga ahli di bidang
perundangan-undangan harus diperkuat dengan merekrut orang-
orang yang berkompeten.

Pada akhirnya, banyaknya jumlah peraturan yang ada sebenarnya


tidak jadi soal sepanjang keberadaannya mampu menopang
tegaknya Indonesia sebagai negara hukum yang bermartabat dan
tentu saja mendukung terhadap tercapainya tujuan bernegara
yaitu mensejahterakan rakyatnya. Peraturan akan menjadi
masalah jika peningkatan kuantitas tidak diimbangi oleh
kwalitas yang baik.

Anda mungkin juga menyukai