Anda di halaman 1dari 14

Pendahuluan

1. Latar Belakang
Negara hukum adalah negara yang didalamnya terdapat berbagai aspek
peraturan-peraturan yang memang bersifat abstrak yaitu memaksa, dan
mempunyai sanksi yang tegas. Gagasan negara hukum masih bersifat samar-
samar dan tenggelam dalam waktu yang sangat panjang, kemudian muncul
kembali secara lebih ekplisit pada abad ke-19, yaitu dengan munculnya konsep
rechtsstaat dari Freidrich Julius Stahl, yang diilhami oleh Immanuel Kant, unsur-
unsur negara hukum tersebut adalah, adanya perlindungan hak-hak asasi
manusia, pemisahan atau pembagian kekuasaan untuk menjamin hak-hak
asasi manusia tersebut, pemerintahan berdasarkan peraturan perundang-
undangan, dan peradilan administrasi dalam perselisihan (Caray Label, 2009:1).
Di dalam negara hukum, setiap aspek tindakan pemerintahan baik dalam
lapangan pengaturan maupun dalam lapangan pelayanan harus didasarkan
pada peraturan perundang-undangan atau berdasarkan pada legalitas. Artinya
pemerintah tidak dapat melakukan tindakan pemerintahan tanapa dasar
kewenangan (Iskatrinah, 2007:1).
Namun, penegakan dan penerapan hukum khususnya di Indonesia
seringkali menghadapi kendala berkaitan dengan perkembangan masyarakat.
Berbagai kasus yang telah terjadi menggambarkan sulitnya penegak hukum
atau aparat hukum mencari cara agar hukum dapat sejalan dengan norma
masyarakat yang ada.
Secara alamiah, terdapat perbedaan gerak antara pembuatan undang-
undang dengan persoalan-persoalan yang berkembang di masyarakat.
Pembuatan undang-undang berjalan lambat, sementara persoalan
kemasyarakatan berjalan dengan pesat. Jika setiap tindakan pemerintah harus
selalu berdasarkan undang-undang, maka akan banyak persoalan
kemasyarakatan yang tidak dapat terlayani secara wajar (Iskatrinah, 2007:1).
Asas legalitas yang kerap dianggap sebagai asas yang memberikan
suatu kepastian hukum dihadapkan oleh realita bahwa rasa keadilan
masyarakat tidak dapat dipenuhi oleh asas ini karena masyarakat yang terus
berkembang seiring kemajuan teknologi. Perubahan cepat yang terjadi tersebut
menjadi masalah berkaitan dengan hal yang tidak atau belum diatur dalam
suatu peraturan perundang-undangan, karena tidak mungkin suatu peraturan
perundang-undangan dapat mengatur segala kehidupan manusia secara tuntas
sehingga adakalanya suatu peraturan perundang-undangan tidak jelas atau
bahkan tidak lengkap yang berakibat adanya kekosongan hukum di
masyarakat (Anonim, 2008: 1).
Namun, lebih cepatnya perkembangan masyarakat dari aturan
perkembangan perundandang-undangan karena perkembangan masyarakat
merupakan titik tolak dari keberadaan suatu aturan sering menyebabkan
terjadinya kekosongan hukum (rechtsvacuum), sehingga diperlukan suatu
sistem hukum untuk menciptakan kehidupan masyarakat yang harmonis dan
teratur. Kenyataan lainnya, hukum atau peraturan perundang-undangan yang
dibuat tidak mencakup seluruh perkara yang timbul dalam masyarakat sehingga
menyulitkan penegak hukum untuk menyelesaikan perkara tersebut.
Oleh karena itu, dalam konsepsi welfare state, tindakan pemerintah tidak
selalu harus berdasarkan asas legalitas. Dalam hal-hal tertentu pemerintah
dapat melakukan tindakan secara bebas yang didasarkan pada freies
Ermessen (diskresi).
Dalam proses sebuah pembentukan peraturan, semua peraturan yang
dibuat mempunyai syarat-syarat yang telah ditentukan dan harus sesuai dengan
asas-asas umum pemerintahan yang baik (AAUPB). Dalam praktek
menjalankan fungsi pelayanan dan fungsi pengaturan, keputusan Tata Usaha
Negara kadang kala membuat peraturan yang tidak memenuhi syarat-syarat
dan keabsahan yang diwajibkan. Dengan tidak memenuhi syarat-syarat
tersebut, maka keabsahan keputusan tata usaha Negara tersebut menjadi
dipertanyakan. Di dalam Negara hukum, segala sesuatu yang berkaitan dengan
tata usaha Negara harus berdasarkan pada ketentuan-ketentuan yang berlaku,
maka semua perbuatan tata usaha Negara harus selalu berada dalam koridor-
koridor yang telah diatur. Dalam kaitannya dengan pembentukan suatu
keputusan atau peraturan tata usaha Negara, maka hasil atau output dari suatu
produk hukum tersebut harus legal sehingga dapat berlaku di dalam
masyarakat, tanpa adanya kekhawatiran akan cacat hukum.
2. Rumusan Masalah
Berdasarkan pada latar belakang dan penjelasan di atas maka, yang
menjadi focus kajian dalam makalah ini adalah Kajian Yuridis Berlakunya
Teori Functionare De Faite (suatu putusan Tata Usaha Negara yang tidak
sah dan tetap berlaku)

Pembahasan
1. Keputusan TUN
Pengertian Keputusan Tata Usaha Negara (beschikking) menurut Guru
Besar Hukum Tata Negara UGM, Prof. Muchsan
1
adalah penetapan tertulis
yang diproduksi oleh Pejabat Tata Usaha Negara, mendasarkan diri pada
peraturan perundang-undangan yang berlaku, bersifat konkrit, individual dan
final. Jika kita melihat definisi tersebut, maka terdapat 4 (empat) unsur
Keputusan Tata Usaha Negara, yaitu:
1. Penetapan tertulis;
2. Dibuat oleh Pejabat Tata Usaha Negara;
3. Mendasarkan diri kepada peraturan perundang-undangan;
4. Memiliki 3 (tiga) sifat tertentu (konkrit, individual dan final).
5. Akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata
Keputusan Tata Usaha Negara (beschikking), menurut Pasal 1 angka 3
Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986, didefinisikan sebagai berikut:
Keputusan Tata Usaha Negara adalah suatu penetapan tertulis yang
dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang berisi
tindakan hukum Tata Usaha Negara berdasarkan peraturan perundang-
undangan yang berlaku, yang bersifat konkret, individual, dan final, yang
menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata.

1
Guru Besar Fakultas Hukum Gadjah Mada
Rumusan Pasal 1 angka 3 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 tersebut
memiliki elemen-elemen utama sebagai berikut
2
:
1. Penetapan tertulis;
Pengertian penetapan tertulis adalah cukup ada hitam diatas putih
karena menurut penjelasan atas pasal tersebut dikatakan bahwa form
tidak penting bahkan nota atau memo saja sudah memenuhi syarat
sebagai penetapan tertulis.
2. (oleh) Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara;
Pengertian Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara dirumuskan
dalam Pasal 1 angka 2 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986, yang
menyatakan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara adalah Badan atau
Pejabat yang melaksanakan urusan pemerintahan berdasarkan
peraturan perundang-undangan yang berlaku. Penjelasan atas Pasal 1
angka 1 menyatakan yang dimaksud dengan urusan pemerintahan
adalah kegiatan yang bersifat eksekutif.
Jika kita mendasarkan pada definisi Badan atau Pejabat Tata Usaha
Negara diatas, maka aparat pemerintah dari tertinggi sampai dengan
terendah mengemban 2 (dua) fungsi, yaitu:
a. Fungsi memerintah (bestuurs functie)
Kalau fungsi memerintah (bestuurs functie) tidak dilaksanakan, maka
roda pemerintahan akan macet.
b. Fungsi pelayanan (vervolgens functie)

2
UU no tahun 1986
Fungsi pelayanan adalah fungsi penunjang, kalau tidak dilaksanakan
maka akan sulit mensejahterakan masyarakat.
Dalam melaksanakan fungsinya, aparat pemerintah selain
melaksanakan undang-undang juga dapat melaksanakan perbuatan-
perbuatan lain yang tidak diatur dalam undang-undang. Mengenai hal ini
Philipus M. Hadjon menerangkan bahwa pada dasarnya pemerintah tidak
hanya melaksanakan undang-undang tetapi atas dasar fries ermessen
dapat melakukan perbuatan-perbuatan lainnya meskipun belum diatur
secara tegas dalam undang-undang. Selanjutnya Philipus M. Hadjon
menambahkan bahwa di Belanda untuk keputusan terikat (gebonden
beschikking) diukur dengan peraturan perundang-undangan (hukum
tertulis), namun untuk keputusan bebas (vrije beschikking) dapat diukur
dengan hukum tak tertulis yang dirumuskan sebagai algemene
beginselen van behoorlijk bestuur (abbb). Pengertian Badan atau
Pejabat Tata Usaha Negara janganlah diartikan semata-mata secara
struktural tetapi lebih ditekankan pada aspek fungsional.
3. Tindakan hukum Tata Usaha Negara;
Dasar bagi pemerintah untuk melakukan perbuatan hukum publik
adalah adanya kewenangan yang berkaitan dengan suatu jabatan.
Jabatan memperoleh wewenang melalui tiga sumber yakni atribusi,
delegasi dan mandat akan melahirkan kewenangan (bevogdheit, legal
power, competence). Dasar untuk melakukan perbuatan hukum privat
ialah adanya kecakapan bertindak (bekwaamheid) dari subyek hukum
(orang atau badan hukum). Pada uraian diatas yang dimaksud dengan
atribusi adalah wewenag yang melekat pada suatu jabatan (Pasal 1
angka 6 Nomor 5 Tahun 1986 menyebutnya: wewenang yang ada pada
badan atau pejabat tata usaha negara yang dilawankan dengan
wewenang yang dilimpahkan). Delegasi adalah pemindahan/pengalihan
suatu kewenangan yang ada, yang menurut Prof. Muchsan adalah
pemindahan/pengalihan seluruh kewenangan dari delegans (pemberi
delegasi) kepada delegataris (penerima delegasi) termasuk seluruh
pertanggungjawabannya. Mengenai mandat Philipus M. Hadjon
berpendapat bahwa dalam hal mandat tidak ada sama sekali pengakuan
kewenangan atau pengalihtanganan kewenangan. Sedangkan Prof.
Muchsan mendefinisikan mandat adalah pemindahan/pengalihan
sebagian wewenang dari mandans (pemberi mandat) kepada mandataris
(penerima mandat) sedangkan pertanggungjawaban masih berada
ditangan mandans.
4. Konkret, individual dan Final;
Elemen konkrit, individual dan final barangkali tidak menjadi masalah
(cukup jelas). Unsur final hendaknya dikaitkan dengan akibat hukum.
Kriteria ini dapat digunakan untuk menelaah pakah tahap dalam suatu
Keputusan Tata Usaha Negara berantai sudah mempunyai kwalitas
Keputusan Tata Usaha Negara. Kwalitas itu ditentukan oleh ada-tidaknya
akibat hukum.
5. Akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata.
Elemen terakhir yaitu menimbulkan akibat hukum bagi seseorang
atau badan hukum perdata membawa konsekuensi bahwa penggugat
haruslah seseorang atau badan hukum perdata. Badan atau pejabat
tertentu tidak mungkin menjadi penggugat terhadap badan atau pejabat
lainnya.

2. Syarat Sah, Batal dan Hapusnya Sebuah Keputusan Tata Usaha Negara
1. Syarat sah Keputusan Tata Usaha Negara.
Suatu Keputusan Tata Usaha Negara (beschikking) dapat dikatakan sah
apabila memenuhi 2 (dua) syarat. Syarat-syarat sahnya suatu Keputusan
Tata Usaha Negara tersebut menurut Prof. Muchsan adalah:
a. Syarat materiil, yaitu syarat yang berkaitan dengan isi. Syarat materiil
dibagi menjadi 3 (tiga), yaitu:
1) Harus dibuat oleh aparat yang berwenang;
2) Keputusan Tata Usaha Negara tidak mengalami kekurangan
yuridis;
Suatu produk hukum dikatakan mengalami kekurangan yuridis
apabila didalam pembuatannya terdapat unsur:
a. Adanya paksaan.
Paksaan terjadi apabila adanya perbedaan antara kenyataan
dengan kehendak, sebagai akibat dari adanya unsur eksternal.
b. Adanya kekhilafan.
Kekhilafan terjadi apabila adanya perbedaan antara kenyataan
dengan kehendak, tetapi tanpa adanya unsur kesengajaan.
c. Adanya penipuan.
Penipuan terjadi apabila adanya perbedaan antara kenyataan
dengan kehendak, sebagai akibat dari tipu muslihat.
3. Tujuan ketetapan sama dengan tujuan yang mendasarinya.
b. Syarat formil, yaitu syarat yang berkaitan dengan bentuk. Syarat
formil dibagi menjadi 3 (tiga), yaitu:
1) Bentuk ketetapan harus sama dengan bentuk yang dikehendaki
oleh peraturan yang mendasarinya.
2) Prosedur harus sama dengan bentuk yang diatur dalam peraturan
yang mendasarinya.
3) Syarat khusus yang dikehendaki oleh peraturan dasar harus
tercermin dalam keputusan.
2. Batalnya suatu Keputusan Tata Usaha Negara
Apabila suatu Keputusan Tata Usaha Negara (beschikking) tidak
memenuhi persyaratan diatas dapat dinyatakan batal. Batal menurut Prof.
Muchsan ada 3 (tiga), yaitu:
a. Batal mutlak.
Batal mutlak adalah semua perbuatan yang pernah
dilakukan dianggap belum pernah ada. Aparat yang berhak
menyatakan adalah hakim melalui putusannya.
b. Batal demi Hukum.
Terdapat 2 (dua) alternatif batal demi hukum, yaitu:
1) Semua perbuatan yang pernah dilakukan dianggap belum
pernah ada.
2) Sebagian perbuatan dianggap sah, yang batal hanya
sebagiannya saja. Aparat yang berhak menyatakan
adalah yudikatif dan eksekutif.
c. Dapat dibatalkan.
Dapat dibatalkan adalah semua perbuatan yang dilakukan
dianggap sah, pembatalan berlaku semenjak dinyatakan batal.
Aparat yang berhak menyatakan adalah umum (eksekutif, legislatif
dan lain-lain).
3. Asas Functionare De Faite
Keputusan yang diambil oleh Pejabat Tata Usaha Negara, merupakan
keputusan yang penting dalam upaya menjalankan roda Pemerintahan. Namun
demikian, kesalahan dalam mengeluarkan atau membuat keputusan oleh
Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara kerap kali terjadi. Akan tetapi, meski
dianggap tidak absah, keputusan tersebut masih memiliki kekuatan hukum, atau
yang sering diistilahkan dengan Asas fonctionare the faite, yang diambil dari
bahasa latin. Asas fonctionare the faite tidaklah digunakan secara serampangan
dan asal-asalan. Namun harus ditempatkan sesuai dengan situasi dan kondisi
yang menghendakinya.
3

Menurut teori functionare de faite, suatu Keputusan Tata Usaha Negara
tetap dianggap berlaku walaupun tidak memenuhi syarat diatas (formil dan
materiil), apabila memenuhi 2 (dua) syarat yang bersifat komulatif, yaitu:
a. Tidak absahnya keputusan itu karena kabur, terutama bagi penerima
keputusan.
b. Akibat dari keputusan itu berguna bagi kepentingan masyarakat.
dapat dikategorikan sebagai kepentingan umum apabila:
1. Berbentuk proyek pembangunan (tidak jharus bebentuk fisik) yang
dilaksanakan oleh pemerintah
2. Hasilnya digunakan oleh pemeritah
3. Penggunaannya bersifat nirlaba
Utrecht memberikan ganbarab mengenai asas fucntionare de faite sebagai
berikut; dalam keadaan istimewa (darurat) pejabat yang tidak legal atau pejabat
yang dalam pengangkatannya mengandung kekurangannya masih juga
dianggap pejabat legal atau pejabat yang pengangkatannya tidak mengandung

3
Herdiansah Hamzah pelaksanaan asas functionare de faite dalam system
pemerintahahn Indonesia http://gagasanhukum.wordpress.com/2010/11/29/pelaksanaan-asas-
fonctionare-the-faite-dalam-sistem-pemerintahan-di-indonesia/ (akses 8 Mei 2013)
kekurangan apabilamasyarakat umum menerimanya sebagai suatu pejabat
legal atau suatu pejabat yang pengangkatannya tidak mengandung
kekurangan. Perbuatan yang dilakukan pejabat itu dianggap sah, tetapi apabila
bagi umum terang bahwa pejabat itu bukan pejabat legal dan umum tidak mau
menerimanya, maka perbuatan yang dilakukan ppejabat tersebut batal sama
sekali
4
.
Contoh penggunaan asas functionare de faite di Indonesia adalah tindakan
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk mengangkat pejabat pelaksana
tugas (PLT) jaksa agung Darmono untuk melaksanakan tugas sebagai Jaksa
Agung. Tindakan tersebut dituangkan dalm keppres 104/P 2010 tanggal 24
September 2010. Sampai pada saat ini isi teks dari keppres tersebut tidak
diumumkan di media apapun sehingga tidak jelas rincian isinya. Namun
dasyarakat secara luas tidak mempersoalkan mengenai hal tersebut. Meskipun
menimbulkan keraguan akademik mengenai kewenangan Darwono.



4
Utrecht, 1986, Pengantar Hukum Administrasi Negara Indonesia, Pustaka Tinta Mas,
Surabaya, Hal. 124
Penutup

1. Kesimpulan
Asas functionare de faite dapat dipahami sebagai keputusan TUN yang
pada dasarnya tidak sah atau absah, namun karena mempunyai manfaat bagi
kepentingan umum maka dianggap tetap mepunyai kekuatan hukum. Asas
fonctionare the faite tidaklah digunakan secara serampangan dan asal-asalan.
Namun harus ditempatkan sesuai dengan situasi dan kondisi yang
menghendakinya
2. Saran
Dalam membentuk keputusan harusnya tetap memperhatikan syarat-
syarat yang telah ditentukan. Hal ini dimaksudkan untuk mencegah terjadinya
kekhawatiran-kekhawatiran mengenai sah atau tidaknya produk hukum
tersebut, agar produk hukum yang telah dibuat dapat dijalankan di dalam
masyarakat. Adanya asas functionare de faite sebenarnya mempunyai manfaat
yang besar di dalam masyarakat, karena hal ini dapat memberikan ruang bagi
keputusan-keutusan yang pada dasarnya tidak boleh diberlakukan tetapi karena
mempunyai manfaat yang sangat besar, masih bisa dijalankan tanpa adanya
pencabutan atas keputusan tersebut.

Anda mungkin juga menyukai