Anda di halaman 1dari 75

BUKU MATERI POKOK

HUKUM ADMINISTRASI NEGARA

OLEH

PRODI HUKUM FISIP UNJANI


2016
BAB 1
Kaitan antara Administrasi Negara dan Hukum Adminisrasi
Negara Pengantar Perkuliahan

a. Administrasi dan Hukum

Konsep negara hukum dianggap sebagai konsep universal, pada


implementasinya memiliki karakteristik yang beragam. Hal ini
disebabkan oleh adanya pengaruh sejarah, falsafah bangsa, ideologi
negara, dan lain-lain. Akibatnya muncul negara hukum menurut Al-
Quran, Sunnah atau nomokrasi Islam, negara hukum menurut konsep
Eropa Kontinental (Rechtsstaat), negara hukum menurut konsep Anglo
Saxon (Rule of Law), konsep socialist legality, dan konsep negara
hukum Pancasila. Yang akan dibahas dalam materi ini adalah konsep
negara hukum Eropa Kontinental (rechtsstaat) yang memiliki kaitan
langsung dengan munculnya ilmu administrasi negara.
Secara embrionik, gagasan negara hukum telah dikemukakan
oleh Plato, dalam Nomoi mengemukakan bahwa penyelenggaraan
negara yang baik ialah yang didasarkan pada pengaturan (hukum) yang
baik. Gagasan ini didukung oleh Aristoteles (murid Plato), dalam buku
Politica, bahwa negara yang baik itu adalah negara yang diperintah
dengan konstitusi dan berkedaulatan hukum.
Gagasan negara hukum tersebut masih samar-samar hingga
akhirnya muncul konsep rechtsstaat dari Frederich Julius Stahl. Yang
diilhami oleh Immanuel Kant.
Unsur-unsur negara hukum (rechtsstaat) menurut Stahl adalah :
a. Perlindungan hak-hak asasi manusia; b. Pemisahan atau pembagian
kekuasaan untuk menjamin hakhak itu; c. Pemerintahan berdasarkan
peraturan perundang-undangan; d. Peradilan administrasi dalam
perselisihan.
Ada 3 (tiga) unsur pemerintahan berkonstitusi, yaitu : 1.
Pemerintahan dilaksanakan untuk kepentingan umum; 2. Pemerintahan
dilaksanakan menurut hukum yang berdasarkan pada ketentuan umum;
3. Pemerintahan dilaksanakan atas kehendak rakya
b. Pengertian HAN

Istilah “administrasi” dalam hukum administrasi memiliki


perbedaan sifat yang mendasar dengan istilah “administrasi” dalam ilmu
administrasi. Istilah administrasi dalam hukum administrasi
mengandung konotasi negara atau pemerintah atau publik, sedangkan
dalam ilmu administrasi berarti ketatausahaan yang tidak mengandung
konotasi negara atau pemerintahan sehingga perlu atribusi negara atau
publik
Dalam kepustakaan Belanda, kata administrasi dalam istilah
“administratief recht”, besturen”, kata besturen mengandung pengertian
fungsional dan institusional atau struktural. Fungsional bestur berarti
fungsi pemerintahan, sedangkan institusional atau struktural bestur
berarti keseluruhan organ pemerintah
Di negeri Belanda, ada dua istilah mengenai Hukum Administrasi,
yaitu bestuursrecht dan administratief recht, dengan kata dasar
“administratie” dan “bestuur”. Para sarjana berbeda pendapat dalam
menerjemahkannya. Kata administratie diterjemahkan dengan “tata
usaha”, tata usaha pemerintahan, tata pemerintahan, tata usaha
negara, dan administrasi. Sedangkan kata “bestuur” diterjemahkan
secara seragam dengan pemerintahan.
Menurut Belinfante, hukum administrasi berisi peraturan-peraturan
yang berhubungan dengan administrasi. Administrasi sama artinya
dengan bestuur, sehingga administratief rect disebut jug bestuur recht.
Bestuur dapat pula diartikan sebagai fungsi pemerintah, yaitu fungsi
penguasa yang tidak termasuk pembentuk undang-undang dan
peradilan (Het administratief recht omvat regel die betrekking hebben op
de administratie. Administratie betekent hetzelfde als bestuur.
Administratief wordt daarom ook wel bestuursrecht genoemd. Men ken
bestuur ook opvatten als bestuursfunctie, dat will zeggen als een
overheidstaak die noch wetgeving, noch rechtspraak is). Van
Vollenhoven, mendiskripsikan hukum administrasi adalah keseluruhan
ketentuan yang mengikat alat-alat perlengkapan negara, baik tinggi
maupun rendah, setelah alat-alat itu akan menggunakan kewenangan-
kewenangan ketatanegaraan
Pengertian HAN Menurut Para Sarjana
(a) Apabila kita mengawali pengantar hukum administrasi negara
secara umum berupaya untuk memahami konsep tertentu, pertama-
tama kita batasi pada term ‘hukum administrasi negara’. Kita dapat
menetapkan bahwa hukum administrasi negara dapat dijelaskan
sebagai peraturan-peraturan (dari hukum publik) yang berkenaan
dengan pemerintahan umum
(b) Untuk menemukan definisi yang baik mengenai istilah hukum
administrasi negara, pertama-tama harus ditetapkan bahwa hukum
administrasi negara merupakan bagian dari hukum publik, yakni hukum
yang mengatur tindakan pemerintah dengan warga negara atau
hubungan antar organ pemerintahan. Hukum administrasi negara
memuat keseluruhan peraturan yang berkenan dengan cara bagaimana
organ pemerintahan melaksanakan tugasnya. Jadi hukum administrasi
negara berisi aturan main yang berkenaan dengan fungsi organ-organ
pemerintahan
(c) Hukum administrasi negara atau hukum tata pemerintahan
pada dasarnya dapat dibedakan berdasarkan tujuannya dari hukum tata
negaramemuat peraturan-peraturan hukum yang menentukan (tugas-
tugas yang dipercayakan) kepada organ-organ pemerintahan itu,
menentukan tempatnya dalam negara, menentukan kedudukan
terhadap warga negara, dan peraturan-peraturan hukum yang mengatur
tindakan-tindakan organ pemerintahan itu.
Berdasarkan beberapa defi nisi tersebut, tampak bahwa dalam
hukum administrasi negara terkandung dua aspek, yaitu : 1. Aturan-
aturan hukum yang mengatur dengan cara bagaimana alat-alat
perlengkapan negara itu melakukan tugasnya; 2. Aturan-aturan hukum
yang mengatur hubungan hukum (rechtsbetrekking) antara alat
perlengkapan administrasi negara atau pemerintah dengan para warga
negaranya.
c. Fungsi HAN dalam penyelenggaraan pemerintahan

Fungsi hukum administrasi negara adalam menciptakan


penyelenggaraan pemerintahan yang baik dan berwibawa memang
sangat dibutuhkan. Salah satu agenda pembangunan nasional adalah
menciptakan tata pemerintahan yang bersih, dan berwibawa. Agenda
tersebut merupakan upaya untuk mewujudkan tata pemerintahan yang
baik, antara lain: keterbukaan, akuntabilitas, efektifitas dan efisiensi,
menjunjung tinggi supremasi hukum, dan membuka partisipasi
masyarakat yang dapat menjamin kelancaran, keserasian dan
keterpaduan tugas dan fungsi penyelenggaraan pemerintahan dan
pembangunan. Untuk itu diperlukan langkah-langkah kebijakan yang
terarah pada perubahan kelembagaan dan sistem ketatalaksanaan;
kualitas sumber daya manusia aparatur; dan sistem pengawasan dan
pemeriksaan yang efektif.
Fungsi Hukum Administrasi Negara yang melihat negara dalam
keadaan bergerak, pada hakikatnya bertujuan mengatur lembaga
kekuasaan / pejabat atasan maupun bawahan dalam melaksanakan
peranannya berdasarkan Hukum Tata Negara, yaitu :
a. Menciptakan peraturan – peraturan yang berupa ketentuan –
ketentuan abstrak yang berlaku umum.
b. Menciptakan ketentuan – ketentuan yang berupa ketentuan
konkrit untuk subyek tertentu, di bidang :
1) Bestuur, yang berbentuk : perijinan, pembebanan, penentuan
status atau kedudukan, pembuktian, pemilikan dalam penggandaan
dan pemeliharaan perlengkapan administrasi.
2) Politie, mencakup proses pencegahan dan penindakan.
3) Rechtspraak, mencakup proses pengadilan, arbitrase, konsiliasi
dan mediasi.
Kegiatan penciptaan ketentuan-ketentuan abstrak yang berlaku
umum tercermin dalam kegiatan Pembentukan Undang-Undang, Peraturan
Pemerintah serta Peraturan Menteri atau Keputusan Menteri.
Kegiatan menciptakan ketentuan - ketentuan konkrit untuk subyek
tertentu, tercermin dalam kegiatan : pemberian ijin penyimpangan jam
kerja, ijin pemutusan hubungan kerja dan ijij mempekerjakan wanita pada
malam hari. Demikian pula penentuan status terlihat dalam kegiatan
pemberhentian buruh oleh P4P. Kegiatan pembuktian dapat dilihat dari
pendaftaran serikat buruh pada Departemen Tenaga Kerja.
Kegiatan pengawasan dalam arti pencegahan, tercermin dalam
ketentuan keselamatan kerja, ketentuan upah minimum dan sebagainya.
Sedangkan kegiatan pengawasan dalam arti penindakan, tercermin dalam
ketentuan yang mencantumkan ancaman sanksi pidana / administratif.
Kegiatan peradilan di sini, tercermin dalam mekanisme penyelesaian
perselisihan perburuhan yang dikenal arbitrase wajib ( pemerintah
mempunyai peranan yang penting )

d. Administrasi negara yang diatur dengan hukum

Negara Hukum, menurut F.R. Bothlingk : “De staat, waarin de


wilsvrijheid van gezagsdragers is beperkt door grenzen van recht”
(negara, dimana kebebasan kehendak pemegang kekuasaan dibatasi
oleh ketentuan hukum). Dalam rangka merealisasi pembatasan
pemegang kekuasaan, dilakukan dengan cara , “Enerzijds in een
binding van rechter en administratie aan de wet, anderjizds in een
begrenzing van de bevoegdheden van de wetgever” (di satu sisi
keterikatan hakim dan pemerintah terhadap undang-undang, dan di sisi
lain pembatasan kewenangan oleh pembuat undang-undang. Menurut
Hamid S. Attamimi, dengan mengutip Burkens, mengatakan bahwa
negara hukum (rechtstaat) secara sederhana adalah negara yang
menempatkan hukum sebagai dasar kekuasaan negara dan
penyelenggaraan kekuasaan tersebut dalam segala bentukya dilakukan
di bawah kekuasaan hukum. Dalam negara hukum, segala sesuatu
harus dilakukan menurut hukum (everything must be done according to
law).
Sebagai negara hukum, sudah barang tentu memiliki hukum
administrasi negara sebagai instrumen untuk mengatur dan
menyelenggarakan tugas-tugas pemerintahan negara. Oleh karena
itu, semua negara modern mengenal hukum administrasi negara (alle
moderne staten kennen bestuursrecht), hanya saja hukum
adminstrasi itu berbeda-beda antara satu negara dengan lainnya (het
bestuursrecht verschilt van land tot land), yang disebabkan oleh
perbedaan persoalan kemasyarakatan dan pemerintahan yang
dihadapi penguasa, perbedaan sistem politik, perbedaan bentuk
negara dan bentuk pemerintahan, perbedaan hukum tata negara
yang menjadi sandaran hukum administrasi, dan sebagainya.
BAB 2
Kedudukan HAN dalam Cabang Ilmu Hukum dan Ilmu
Administrasi Negara

a. Kedudukan HAN dalam cabang Ilmu Hukum

Ilmu Hukum Administrasi Negara adalah suatu sistem ilmiah dan


merupakan salah satu cabang ilmu Hukum yang lambat laun yang
merupakan suatu displin hukum tersendiri. Dengan memperlakukan
hukum Administrasi negara sebagai suatu disiplin ilmiah, maka kita
menerima dua hal, yaitu: a. Menerima Hukum Administrasi Negara
sebagai objek dari studi dan pendidikan ilmiah; b. Menerima Hukum
Administrasi Negara sebagai suatu kesatuan dari aturan hukum tertentu
yang memerlukan metode tersendiri. Dalam lapangan hukum, hukum
digolongkan menjadi hukum publik dan hukum privat. Hukum publik
sebagai hukum yang mengatur hubungan antara pemerintah dan
masyarakat, sedangkan hukum privat adalah hukum yang mengatur
hubungan antara individu dengan individu atau individu dengan badan
hukum, dan sebaliknya.
Menurut Wiryono Prodjodikoro, hukum publik terbagi ke dalam
tiga golongan hukum, yaitu hukum tata negara, hukum tata usaha
negara, hukum pidana. Hukum tata negara mengenai alat-alat
perlengkapan negara, yaitu susunan dan tugas masing-masing,
sedangkan hukum tata usaha negara mengenai pelaksanaan tugas
alat-alat perlengkapan negara tersebut, terutama pelaksanaan tugas
pemerintahan berhubungan dengan kemakmuran rakyat, kepentingan
lalu lintas, pendidikan kebudayaan, dan lain-lain. Secara historis, hukum
administrasi merupakan perpanjangan dari hukum tata negara, dan
melengkapi hukum tata negara. Hukum administrasi pada mulanya
merupakan bagian dari hukum tata negara. Oleh karena muncul kaidah-
kaidah hukum baru dalam studi hukum administrasi maka hukum
administrasi menjadi lapangan studi sendiri terpisah dengan hukum tata
negara, bahkan mencakup masalah-masalah yang lebih luas dari
hukum tata negara.
Memperhatikan luasnya cakupan tersebut, sehingga dapat
dikatakan hukum tata negara sebagai hukum yang memberi gambaran
tentang negara dalam keadaan diam atau tidak bergerak (staat in rust),
yaitu memberi wewenang, membagi pekerjaan dan memberi bagian-
bagian kepada masing-masing badan yang tinggi maupun rendah,
sedangkan hukum administrasi mempertunjukkan negara dalam
keadaan yang bergerak (staat in beweging), yakni ketentuan-ketentuan
yang mengikat badan-badan yang tinggi maupun rendah apabila badan-
badan itu menggunakan wewenangnya yang telah diberikan hukum tata
negara. Disini dapat dipahami, hukum administrasi baru diterapkan
setelah badan-badan pemerintahan mendapatkan wewenang dari
hukum tata negara dan wewenang tersebut akan dijalankan (hukum
administrasi merupakan perpanjangan dari hukum tata negara).
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa hukum
administrasi ditetapkan sebagai bagian dari hukum publik, karena isi,
sifat dan hubungan serta sumber kepentingan yang dilindungi adalah
masyarakat (rakyat), dan mengatur hubungan antara penguasa
(pemerintah) dengan masyarakat, sehingga berkaitan erat dengan isu-
isu kepentingan publik, yakni kepentingan nasional. Di dalam
lingkungan hukum publik, maka hukum administrasi berdampingan
dengan hukum tata negara, hukum pidana, hukum ketenagakerjaan
maupun hukum pertanahan (agraria). Di dalam jajaran hukum publik
tersebut, kedudukan hukum administrasi dapat disebut sebagai hukum
antara, yakni berada di antara hukum privat atau perdata dan hukum
publik (hukum pidana

b. Kedudukan HAN terkait dengan Ilmu Administrasi Negara


Kedudukan dan hubungan HAN dengan cabang hukum lainnya
1. HAN dengan Hukum Tata Negara: HTN sebagai Staat in rust,
policy making, rule making, anatomi negara. Sedangkan HAN
sebagai Staat in beweging, policy executing, rule application, fisiologi
negara.
2. HAN dan ilmu negara: Ilmu Negara membicarakan negara secara
umum, sedangkan HAN bicara negara dari segi pemerintahannya

Hubungan HAN dengan Hukum Tata Negara Philipus M.


Hadjon menyatakan bahwa kajian terhadap hukum administrasi
tanpa memasuki hukum tata negara dan sebaliknya, kajian terhadap
hukum tata negara tanpa memasuki lapangan hukum administrasi
adalah kajian yang tidak lengkap, walaupun dalam
perkembangannya menjadi studi yang terpisah. Hukum tata negara
terdiri dari aturan-aturan mendasar dari tata tertib negara, yakni lebih
banyak berkaitan dengan proses politik dalam masyarakat hukum
tertentu dan organisasinya, hukum administrasi lebih banyak
berurusan dengan pelaksanaan pembentukan aspirasi politik, jadi
lebih banyak dengan proses pemerintahan dan organisasinya.
Dengan demikian, hukum administrasi tidak terpisah dari hukum tata
negara tetapi merupakan suatu bentuk lain daripadanya

Hukum Tata Negara, fokus kajiannya meliputi : a. jabatan-


jabatan apa yang ada dalam susunan suatu negara; b. siapakah
yang mengadakan jabatan-jabatan itu c. cara bagaimanakah jabatan-
jabatan itu ditempati oleh pejabat; d. fungi jabatan-jabatan; e.
kekuasaan hukum jabatan-jabatan itu; f. hubungan antara masing-
masing jabatan; dan g. dalam batas-batas manakah organisasi
kenegaraan dapat melakukan tugasnya Selanjutnya, hukum
administrasi kajiannya meliputi : a. Jabatan pemerintahan; b. sifat
jabatan pemerintahan c. akibat tindakan jabatan; d. kedudukan
hukum jabatan; e. kekuasaan hukum (tugas dan wewenang) jabatan;
f. pengisian jabatan; g. pembatasan jabatan; h. instrumen pengatur
jabatan; i. landasan yuridis kewenangan jabatan

Hubungan HAN dengan Ilmu Negara Ilmu negara dalam


kedudukannya sebagai ilmu pengetahuan merupakan pengantar bagi
mereka yang hendak mempelajari hukum tata negara dan hukum
administrasi negara. Ilmu negara tidak mempunyai nilai praktis
sebagaimana hukum tata negara dan hukum administrasi negara.
Ilmu negara mempelajari asas-asas pokok dan pengertin-pengertian
pokok tentang negara dan hukum tata negara pada umumnya. Jika
orang mempelajari ilmu negara, ia tidak memperoleh hasilnya untuk
dapat dipergunakan secara langsung di dalam praktek karena bagi
ilmu negara yang penting adalah nilai teoritisnya, oleh sebab itu
merupakan seinswissenschaft, sedangkan hukum tata negara dan
hukum administrasi negara merupakan suatu normativen
wissenchaft.
BAB 3
Sumber Hukum Administrasi Negara, Sumber Kewenangan,
dan Tanggung Jawab Jabatan

Dalam hukum tata pemerintahan pejabat tata usaha negara


merupakan pelaku utama dalam melakukan perbuatan dan tindakan
hukum fungsi pokok pemerintahan dan fungsi pelayanan pemerintahan,
namun dalam melakukan tindakan dan perbuatannya harus mempunyai
kewenangan yang jelas. Dalam banyak literatur, sumber kewenangan
berasal dari atribusi, delegasi dan mandat. Sebelum mengetahui atribusi,
delegasi dan mandat, terlebih dahulu yang perlu dipahami ialah mengenai
kewenangan dan wewenang.

Secara konseptual, istilah wewenang atau kewenangan sering


disejajarkan dengan istilah Belanda “bevoegdheid” ( yang berarti
wewenang atau berkuasa). Wewenang merupakan bagian yang sangat
penting dalam Hukum Tata Pemerintahan (Hukum Administrasi), karena
pemerintahan baru dapat menjalankan fungsinya atas dasar wewenang
yang diperolehnya. Pengertian kewenangan dalam Kamus Umum Bahasa
Indonesia diartikan sama dengan wewenang, yaitu hak dan kekuasaan
untuk melakukan sesuatu.

a. Sumber Hukum Material


Sumber hukum materiil adalah sumber hukum dapat dilihat dari
faktor-faktor yang mempengaruhi isi dari suatu hukum.

Sumber hukum materiil dari hukum administrasi negara :


Sumber hukum materiil dari HAN meliputi faktor-faktor yang ikut
mempengaruhi materi (isi) dari aturan-aturan HAN.
Faktor yang mempengaruhi isi HAN yaitu meliputi faktor :
Historis, filosofis, sosiologis, antropologis, ekonomis, agama dll.
Faktor-faktor tersebut berpengaruh bagi pemerintah dalam
melakukan tindakan pemerintahan, baik dalam tindakan pembuatan
peraturan-peraturan perundangan maupun pembuatan keputusan.

a. Faktor historis / sejarah


Dalam studi perkembangan HAN ada dua bentuk sejarah sebagai sumber
hukum, yaitu :
- UU dan sistem hukum tertulis yang berlaku pada masa lampau di suatu
tempat. Karena terdapat unsur yang dianggap baik maka oleh pemerintah
dapat dijadikan materi pembuatan peraturan perundang-undangan dan
diberlakukan sebagai bahan untuk hukum positif. Contoh : hukum romawi -
-> hukum prancis --> hukum belanda --> hukum hindia belanda --> hukum
indonesia.
- Dokumen-dokumen yaitu dokumen-dokumen dari suatu masa hingga
diperoleh gambaran tentang hukum yang berlaku di masa itu yang mungkin
dapat diterima untuk dijadikan bahan hukum positif untuk saat sekarang.
Contoh : prasasti majapahit tentag sumpah palapa gajahmada berbunyi
“bhinneka tunggal ika”.

b. Faktor sosiologis dan antropologis


Dari sudut sosiologis dan antropologis sumber hukum materiil adalah
seluruh masyarakat, ini menyoroti lembaga-lembaga dalam masyarakat
sehingga dapat diketahui apakah yang dirasakan sebagai hukum oleh
lebaga-lembaga sosial saat ini.

c. Faktor filosofis
- Ukuran untuk menentukan bahwa sesuatu itu bersifat adil, karena hukum
dimaksudkan antara lain untuk menciptakan keadilan, maka hal-hal yang
secara filosofis dianggap adil dijadikan sebagai sumber hukum materiil bagi
HAN.
- Faktor-faktor yang mendorong seseorang mau tunduk pada hukum.
Hukum itu diciptakan agar ditaati, oleh sebab itu semua faktor yang dapat
mendorong seseorang taat pada hukum harus diperhatikan dalam
pembuatan aturan HAN.
d. Faktor ekonomis
- Faktor ekonomi terdapat dalam kehidupan masyarakat yang tersusun
dalam struktur ekonomi masyarakat akan mempengaruhi aturan-aturan
hukum.
Contoh : aturan tentang BBM subsidi hanya untuk sepeda motor dan
kendaraan umum.
- Faktor ekonomi itu merupakan dasar yang riil yang sangat berpengaruh
sehingga dapat dijadikan sebagai sumber hukum materiil bagi HAN.

e. Faktor agama
Sumber hukum dari faktor agama adalah kitab suci dan perjalanan hidup
nabi serta para sahabat dan pendapat pemimpin agama yang dianutnya.

b. Sumber Hukum Formal

Sumber hukum formil adalah sumber hukum dapat dilihat dari bentuk
dan pembentukan suatu hukum.
Sumber hukum formil dari HAN
Sumber hukum formil adalah sumber hukum yang dilihat dari segi bentuk
dan pembentukannya sebagai prasyaratan berlakunya hukum.
Adapun sumber hukum formil dari hukum administrasi negara adalah :
1. UU (dan peraturan pelaksanaannya).
2. Praktek administrasi negara (konvensi).
3. Yurisprudensi.
4. Doktrin (pendapat para ahli hukum).
UU
Dalam hal yang dimaksud dengan UU sebagai sumber hukum formil
mecakup semua produk hukum dalam segala bentuk dan cara
pembuatannya yang mengikat semua penduduk secara langsung.
Dalam pasal 7 UU no. 10 tahun 2004 tentang pembentukan pemerintahan
peraturan perundang-undangan, jenis dan tata urutan peraturan
perundang-undangan adalah sebagai berikut :
1. UUD 1945
2. UU/PERPU
3. PP
4. Peraturan Presiden, Peraturan Menteri
5. Perda (propinsi/kota/kabupaten)

Perbedaan UU dan PERPU :


1. UU ditetapkan pada suasana biasa, PERPU ditetapkan pada suasana
genting.
2. UU dibuat oleh DPR, PERPU dibuat oleh pemerintah (presiden dan
kabinetnya).
3. UU masa berlakunya selamanya sampai ada penggantinya, PERPU
masa berlakunya 1 tahun.

Konvensi
Konvensi sebagai sumber hukum adalah berupa praktek pejabat
pemerintahan. Konvensi tidak tertulis, tetapi penting, mengingat HAN
selalu bergerak dan berkembang dan dituntut perubahannya oleh situasi
pada saat itu. (contoh : asas-asas umum pemerintahan yang baik)
Tuntutan situasi yang sering terjadi secara mendadak dan cepat
serta dulit diimbangi dengan lahirnya hukum tertulis maka konvensi itu
dipakai sebagai sumber hukum.
Yurisprudensi
Yurisprudensi adalah putusan hakim administrasi negara (PTUN)
yang telah lalu yang memutuskan perkara administrasi negara dan sudah
mempunyai kekuatan hukum tetap.
Yurisprudensi lahir berkaitan dengan prinsip hukum bahwa hakim
tidak boleh menolak untuk mengadili perkara yang diajukan kepadanya.
Kewenangan bagi hakim untuk mencari sendiri aturan hukum untuk
memutus, yang disebabkan belum adanya aturan hukum yang berkaitan
dengan pokok sengketa, sehingga hakim menggali hukum berdasarkan
keyakinannya sendiri sesuai dengan nilai-nilai hukum yang ada dalam
masyarakat.

Doktrin
Doktrin merupakan pendapat para ahli hukum. Pendapat ahli hukum
dapat melahirkan teori-teori dalam lapangan hukum administrasi yang
kemudian dapat dijadikan dasar timbulnya kaidah-kaidah hukum dalam
HAN.
Doktrin baru dapat menjadi sumber hukum formil bila doktrin diterima
oleh masyarakat tanpa melalui proses perundangan biasanya melalui
yurisprudensi.
Sebaliknya, doktrin tidak lagi menjadi sumber hukum formil, bila
doktrin yang dimaksud pada suatu saat tidak dianggap lagi sesuai dengan
perkembangan masyarakat maka doktrin tidak berlaku lagi sebagai sumber
hukum formil tanpa dilakukan pencabutannya secara resmi.

c. Pengertian Kewenangan Administrasi

Menurut Prajudi Atmosudirjo, kewenangan adalah apa yang disebut


kekuasaan formal, kekuasaan yang berasal dari kekuasaan legislatif (diberi
oleh Undang-Undang) atau dari kekuasaan eksekutif/administratif.
Kewenangan merupakan kekuasaan terhadap segolongan orang-orang
tertentu atau kekuasaan terhadap suatu bidang pemerintahan tertentu
yang bulat. Sedangkan wewenang hanya mengenai
sesuatu onderdil tertentu saja. Di dalam kewenangan terdapat wewenang-
wewenang. Wewenang adalah kekuasaan untuk melakukan sesuatu tindak
hukum public.

Dalam konteks negara hukum kewenangan untuk melakukan suatu


tindakan administrasi dalam penyelenggaraan dan pelayaan
pemerintah,harus didasarkan pada sumber kewenangan yang secara jelas
diberikan oleh hukum.

Kejelasan sumber kewenangan itu setidak-tidaknya akan


memberikan legalitas atas perbuatan admistrasi pemerintahan dan
mencegah terjadinya tumpang tindih serta penyalah gunaan kewenangan
antara sesama pejabat administrasi pemerintahan. Kedua hal tersebut
akan menimbulkan konsekwensi hukum bagi pejabat adminstrasi baik pada
aras hukum administrasi negara , hukum pidana maupun dalam konteks
keperdataan.

d. Perolehan kewenangan: Atribusi, Delegasi, Mandat


Secara teoritis dengan mengikut doktrin hukum administrasi Negeri
Belanda, perolehan wewenang dapat diperoleh dari tiga bentuk.

Ketiga bentuk tersebut (Marcus Lucman 1992) :

1. Melalui atribusi yaitu perolehan wewenang yang peroleh dari


pembentuk undang-undang orisinel yang berupa :
a. Pembentuk undang-undang dasar,
b. Parlemen,
c. Mahkota,
d. Pembentuk undang - undang dalam arti materil atau yang
diwakilkan; diantaranya:
i. Mahkota,
ii. Menteri-menteri,
iii. Pejabat dan organ pemerintah yang ditujukan untuk itu. Penjabat
yang memperoleh wewenang fungsi dan tugas secara Atribusi
memliki kapasitas dan tanggung jawab penuh atas akibat yang
timbul dari perbuatan administrasi yang diambilnya.
2. Melalui Delegasi ; ialah perolehan wewenang yang diperoleh dengan
cara penyerahan wewenang dari penjabat yang satu kepada pejabat
yang lain. Tanggung jawab terhadap segala sesuatu yang berkaitan
dengan pelaksanaan wewenang tersebut sepenuhnya menjadi
tanggung jawab sipenerima wewenang itu.
3. Melalui mandat : ialah perolehan wewenang dalam bentuk perwakilan.
Pemberi mandat disebut mandans sedangkan penerima mandat
disebut mandataris.

Ciri-ciri dari perolehan wewenang melalui perwakilan ini sipenerima


bertindak dengan kekuasaan pemberi wewenang yang ditandai dengan
tanda legitimasi berupa atas nama ; atas perintah ; dan untuk beliau.Dalam
pola yang demikian maka tanggung jawab atas sesuatu yang timbul
berkenaan dengan tindakan administrasi menjadi tanggung jawab pemberi
wewenang atau mandans.

Doktrin di Inggris dan Prancis tidak mengenal doktrin pembagian


wewenang, fungsi dan tugas seperti di Belanda. Kedua negara ini
mengenal adanya konsep “ delegation of power “. Dalam konsep ini
pejabat yang meneriam wewenang bertanggung jawab mutlak atas
pelaksanaan serta akibat dari pelaksanaan wewenang itu.
Di Prancis juga dikenal doktrin pemisahan kesalahan antara
kesalahan pribadi atau kesalahan jabatan. Kriteria yang dipakainya adalah
:

a. Apakah kesalahan pribadi itu dilakukan dalam jabatan,


b. Apakah kesalahan itu dilakukan dengan mengatas namakan jabatan,
c. Adakah alat-alat dan perlengkapan yang digunakan pada saat
dilakukan kesalahan merupakan milik jabatan;

e. Pengertian dan esensi tanggung jawab jabatan administrasi

Gagasan tentang penyelenggaraan kekuasaan yang baik, dari


aspek historis di bawah ini, terdapat dua pendekatan; personal dan
sistem. Secara personal telah dimulai pada masa Plato. Menurutnya,
penyelenggaraan kekuasaan yang ideal dilakukan secara
paternalistik, yakni para penguasa yang bijaksana haruslah
menempatkan diri selaku ayah yang baik lagi arif yang dalam
tindakannya terhadap anak-anaknya terpadulah kasih dan ketegasan
demi kebahagiaan anak-anak itu sendiri. Pada bagian lain, Plato
mengusulkan agar negara menjadi baik, harus dipimpin oleh seorang
filosof, karena filosof adalah manusia yang arif bijaksana,
menghargai kesusilaan, dan berpengetahuan tinggi.

Murid Plato, Aristoteles, berpendapat bahwa pemegang


kekuasaan haruslah orang yang takluk pada hukum, dan harus
senantiasa diwarnai oleh penghargaan dan penghormatan terhadap
kebebasan, kedewasaan dan kesamaan derajat. Hanya saja tidak
mudah mencari pemimpin dengan kualitas pribadi yang sempurna.
Oleh karena itu, pendekatan sistem merupakan alternatif yang paling
memungkinkan. Plato sendiri, di usia tuanya terpaksa merubah
gagasannya yang semula mengidealkan pemerintah itu dijalankan
oleh raja-filosof menjadi pemerintahan yang dikendalikan oleh
hukum. Penyelenggaraan negara yang baik, menurut Plato, ialah
yang didasarkan pada pengaturan hukum yang baik.

Esensi dari negara hukum yang berkonstitusi adalah


perlindungan terhadap hak asasi manusia. Oleh karena itu, isi dari
setiap konstitusi tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut, negara
merupakan organisasi kekuasaan berdasarkan kedaulatan rakyat,
agar kekuasaan ini tidak liar maka perlu dikendalikan dengan cara
disusun, dibagi dan dibatasi, serta diawasi baik oleh lembaga
pengawasan yang mandiri dan merdeka maupun oleh warga
masyarakat, sehingga tidak terjadi pelanggaran terhadap hak-hak
asasi manusia. Seandainya unsur jaminan terhadap hak-hak asasi
manusia ini ditiadakan dari konstitusi, maka penyususnan,
pembagian, pembatasan, dan pengawasan kekuasaan negara tidak
diperlukan karena tidak ada lagi yang perlu dijamin dan dilindungi.
Karena esensi dari setiap konstitusi adalah perlindungan
terhadap hak-hak asasi manusia, maka menuntut adanya kesamaan
setiap manusia di depan hukum. Tiadanya kesamaan akan
menyebabkan satu pihak merasa lebih tinggi dari pihak lainnya,
sehingga akan mengarah pada terjadinya penguasaan pihak yang
lebih tinggi kepada yang rendah. Situasi demikian merupakan bentuk
awal dari anarki yang menyebabkan terlanggarnya hak-hak manusia,
dan ini berarti redaksi perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia
yang terdapat dalam setiap konstitusi menjadi tidak berarti atau
kehilangan makna.
BAB 4
Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik

Sejak dianutnya konsepsi welfare staat dan menimbulkan adanya


kekuasaan freies Ermessen, timbulah suatu kekhawatiran dari warga
Negara atas terjadinya kesewenang-wenangan oleh pemerintah. Oleh
karena itu pada tahun 1946 pemerintah Belanda membuat suatu komisi
yang diketuai oleh De Monchy, Komisi ini selanjutnya disebut dengan
komisi de Monchy.
Komisi ini bertujuan untuk memikirkan dan meneliti beberapa alternative
untuk meningkatkan perlindungan hukum dari tindakan pemerintah yang
menyimpang. Pada tahun 1950 komisi De Monchy kemudian melaporkan
hasil penelitiannya tentang ‘ verhoodgde rechtsbescherming’ dalam
bentuk Algemene Beginselenvan Behorlijk Bestuur (ABBB) atau
dapat pula disebut AAUPB. Hasil penelitian komisi ini tidak seluruhnya
disetujui pemerintah oleh karena itu komisi ini pada akhirnya dibubarkan
dan dibentuk komisi yang baru, komisi ini bernama komisi van de Greenten
dan komisi ini pun pada akhirnya dibubarkan juga.
Dibubarkannya ke dua komisi diatas disebabkan karena
pemerintah Belanda sendiri pada waktu itu tidak sepenuh hati dalam upaya
meningkatkan perlindungan hukum warga negaranya. Meskipun demikian
ternyata hasil penelitian De Monchy ini digunakan dalam pertimbangan
putusan-putusan Raad van State dalam perkara administrasi. Dengan kata
lain walaupun AAUPB ini tidak mudah dalam memasuki wilayah birokrasi
tetapi lain halnya dalam bidang peradilan.
a. Perbedaan asas dan norma hukum

Asas hukum adalah aturan dasar dan prinsip-prinsip hukum yang


abstrak dan pada umumnya melatarbelakangi peraturan konkret dan
pelaksanaan hukum. Dalam bahasa Inggris, kata “asas” diformatkan
sebagai ” principle “, sedangkan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia,
ada tiga pengertian kata ” asas”:
1) hukum dasar,
2) dasar (sesuatu yang menjadi tumpuan berpikir atau berpendapat) dan
3) dasar cita- cita. peraturan konkret ( seperti undang- undang) tidak boleh
bertentangan dengan asas hukum, demikian pula dalam putusan hakim,
pelaksanaan hukum, dan sistem hukum .
Sedangkan Norma adalah pencerminan dari kehendak masyarakat.
Kehendak masyaraka tuntuk mengarahkan tingkah laku anggota
masyarakat dilakukan dengan membuat pilihan antara tingkah laku yang
disetujui dan yang tidak disetujui. Pilihan itulah yang kemudianakan
menjadi norma dalam masyarakat.
Karena itulah, norma hukum merupakan persyaratan dari tumbuh
dan munculnya penilaian-penilaian yang ada dalam masyarakat. Selain
mengandung penilaian, norma hukum juga mengandung nalar tertentu.
Nalar tersebut terletakpada penilaian yang dilakukan masyarakat terhadap
tingkah laku dan perbuatan orang-orangdalam masyarakat. Sehingga
hukum, yang mengandung nalar, dapat membentuk masyarakatmenurut
suatu pola tertentu yang dikehendakinya.
Dari penjelasan si atas, dapat disimpulkan norma hukum mengandung dua
unsur,
yaitu :
1) Patokan penilaian. Hukum diguna kan untuk menilai kehidupan
masyarakat, yaitudengan menyatakan apa yang dianggap baik dan buruk.
Penilaian inilah yangkemudian akan melahirkan petunjuk tentang tingkah
laku masyarakat.
2) Patokan tingkah laku. Pandangan tingkah laku ini lahir bila hukum
dipandang sebagaiperintah, yaitu ketika masyarakat bertingkah laku sesuai
dengan yang diperintahkanoleh hukum.
Ada beberapa perbedaan mendasar antara asas dan norma , yaitu :
1. Asas merupakan dasar pemikiran yang umum dan abstrak, sedangkan
norma merupakan peraturan yang riil.
2. Asas adalah suatu ide atau konsep, sedangkan norma adalah
penjabaran dari ide tersebut.
3. Asas hukum tidak mempunyai sanksi sedangkan norma mempunyai
sanksi.
Tentu saja keduanya berbeda, karena asas hukum adalah
merupakan latar belakang dari adanya suatu hukum konkrit, sedangkan
norma adalah hukum konkrit itu sendiri. Atau bisa juga dikatakan bahwa
asas adalah asal mula dari adanya suatu norma. Salah satu contohnya
adalah asas Miranda Rule yang menjadi latar belakang dari lahirnya pasal
56 ayat (1) KUHAP, Pasal 54 KUHAP, Pasal 55 dan 114 KUHAP.
Ketentuan pasal-pasal tersebut setelah menjadi ketentuan Undang-undang
yang sah telah berubah dari asas Miranda Rule yang abstrak, menjadi
norma hukum sebagai peraturan yang riil berlaku di Indonesia.

b. Peristilahan dan pengertian AAUPB


Menurut beberapah ahli AAUB adalah :
1. Ridwan HR
Pemahaman mengenai AAUPB tidak hanya dapat dilihat dari segi
kebahasaan saja namun juga dari segi sejarahnya, karena asas ini timbul
dari sejarah juga. Dengan bersandar pada kedua konteks ini, AAUPB
dapat dipahami sebagai asas-asas umum yang dijadikan dasar dan
tatacara dalam penyelenggaraan pemerintahan yang layak, yang dengan
cara demikian penyelenggaraan pemerintahan menjadi baik, sopan, adil,
terhormat, bebas dari kedzaliman, pelanggaran peraturan tindakan
penyalahgunaan wewenang, dan tindakan sewenang-wenang.
2. Jazim Hamidi
Definisi AAUPB menurut hasil penelitian Jazim Hamidi, antara lain :
a. AAUPL merupakan nilai-nilai etik yang hidup dan berkembang
dalam lingkungan hukum Administrasi Negara.
b. AAUPL berfungsi sebagai pegangan bagi para pejabat
administrasi negara dalam menjalankan fungsinya, merupakan alat
uji bagi hakim administrasi dalam menilai tindakan administrasi
negara (yang berwujud penetapan atau beschikking) dan sebagai
dasar pengajuan gugatan bagi pihak penggugat.
c. Sebagian besar dari AAUPB masih merupakan asas-asas yang
tidak tertulis, masih abstrak, dan dapat digalidalam praktik kehidupan
di masyarakat.
d. Sebagian asas yang lain sudah menjadi kaidah hukum tertulis
dan terpencar dalam berbagai peraturan hukum positif.
3. Crince le Roy
Konsepsi AAUPB menurut Crince le Roy yang meliputi: asas
kepastian hukum, asas keseimbangan, asas bertindak cermat, asas
motivasi untuk setiap keputusan badan pemerintah, asas tidak boleh
mencampuradukkan kewenangan, asas kesamaan dalam
pengambilan keputusan, asas permainan yang layak, asas keadilan
atau kewajaran, asas menanggapi pengharapan yang wajar, asas
meniadakan akibat-akibat suatu keputusan yang batal, dan asas
perlindungan atas pandangan hidup pribadi. Koentjoro
menambahkan dua asas lagi, yakni: asas kebijaksanaan dan asas
penyelenggaraan kepentingan umum.
4. Hadjon
AAUPB yang telah mendapat pengakuan dalam praktek hukum di
Belanda, yaitu asas persamaan, asas kepercayaan, asas kepastian
hukum, asas kecermatan, asas pemberian alasan (motivasi),
larangan penyalahgunaan wewenang dan larangan bertindak
sewenang-wenang.

c. Kedudukan AAUPB terhadap hukum formal

Berdasarkan pendapat Van Wijk/Williem Konjnenbelt dan Ten


Berge tersebut tampak bahwa kedudukan AAUPB dalam sistem
hukum adalah sebagai hukum tidak tertulis. Sebenarnya
menyamakan AAUPB dengan norma hukum tidak tertulis dapat
menimbulkan salah faham, sebab dalam konteks ilmu hukum telah
dikenal bahwa antara “asas” dan “norma” itu terdapat perbedaan.
Pada kenyataannya, AAUPB ini meskipun merupakan asas,
namuntidak semuanya merupakan pemikiran yang umum dan
abstrak, dan dalam beberapa hal muncul sebagai aturan hukum yang
konkrit atau tertuang secara tersurat dalam pasal undang-undang
serta mempunyai sanksi hukum.(4) Oleh karena itu Jazim Hamidi
menyatakan bahwa sebagian AAUPB masih merupakan asas hukum,
dan sebagian lainnya telah menjadi norma hukum atau kaidah
hukum.

d. Fungsi dan arti penting AAUPB

Pada awalnya, AAUPB dimaksudkan sebagai sarana perlindungan


hukum (rechtsbescherming) dan bahkan dijadikan sebagai instrumen untuk
peningkatan perlindungan hukum (verhoodge rechtsbescherming) bagi
warga negara dari tindakan pemerintah. AAUPB selanjutnya dijadikan
sebagai dasar penilaian dalam peradilan dan upaya administrasi, di
samping sebagai norma hukum tidak tertulis bagi tindakan
pemerintahan.[13] Menurut SF. Marbun, AAUPB memiliki arti penting dan
fungsi berikut:

AAUPB memiliki arti penting sebagai berikut.


1. Bagi Administrasi Negara, bermanfaat sebagai pedoman dalam
melakukan penafsiran dan penerapan terhadap ketentuan-ketentuan
perundang-undangan yang bersifat suamir, samar atau tidak jelas.
2. Bagi warga masyarakat, sebagai pencari keadilan, AAUPB dapat
dipergunakan sebagai dasar gugatan sebagaimana disebutkan dalam
pasal 53 UU No. 5 Tahun 1986.
3. Bagi hakim TUN, dapat dipergunakan sebagai alat menguji dan
membatalkan keputusan yang dikeluarkan badan atau pejabat TUN.
4. Kecuali itu, AAUPB tersebut juga berguna bagi badan legislatif dalam
merancang suatu undang-undang.
e. Perincian dan penjelasan AAUPB, beserta contohnya

AAUPB tersebut terdiri dari beberapa asas yaitu:

1. Asas kepastian hukum. Keputusan-keputusan yang dikeluarkan oleh


administrasi negara harus memberikan kepastian hukum bagi orang
yang menerima keputusan.
2. Asas keseimbangan. Seorang pegawai yang melakukan kesalahan
harus dihukum dan hukuman itu harus seimbang dengan tingkat
kesalahan yang dilakukannya (tidak boleh berlebihan). Jadi ada
perlindungan hukum bagi pegawai tersebut.
3. Asas kesamaan dalam mengambil keputusan. Asas ini
menghendaki agar pejabat administrasi negara dalam mengambil
keputusan harus memiliki tindakan-tindakan yang sama (dalam arti
tidak bertentangan) atas kasus atau peristiwa yang sama sehingga
keputusannya pun akan sama pula.
4. Asas bertindak cermat. Asas ini menghendaki bahwa administrasi
negara harus bertindak dengan hati-hati agar tidak menimbulkan
kerugian bagi warga masyarakat. Jika lalai (tidak hati-hati) dan
akibatnya masyarakat dirugikan, maka administrasi negara tersebut
dapat digugat untuk mengganti kerugian.
5. Asas motivasi untuk setiap keputusan. Asas ini menghendaki agar
suatu keputusan yang dibuat oleh pejabat administrasi negara harus
mempunyai alasan/motivasi yang cukup jelas, benar dan adil.
Dengan demikian orang yang terkena keputusan tersebut menjadi tahu
apa alasan-alasannya sehingga apabila alasan-alasan itu tidak benar
dan merugikan, orang tersebut dapat membuat kontra-argumen yang
tepat untuk naik banding guna mendapatkan keadilan.
6. Asas jangan mencampuradukkan kewenangan. Asas ini
menghendaki agar administrasi negara dalam mengambil keputusan
harus selalu sesuai dengan wewenang yang melekat padanya.
Penggunaan wewenang diluar kewenangan yang dimilikinya
(penyalahgunaan wewenang) dikenal dengan istilahdetournement de
pouvoir.
7. Asas perlakuan yang jujur/asas permainan yang layak. Asas ini
menghendaki agar pejabat administrasi negara harus memberikan
kesempatan seluas-luasnya pada masyarakat untuk mendapatkan
informasi yang benar dan adil sehingga keadilan dan kebenaran yang
dikehendaki masyarakat dapat terwujud. Dengan kata lain masyarakat
dapat meminta pengadilan untuk memberi keputusan yang adil
sehingga eksistensi instansi peradilan sebagai lembaga yang memberi
keadilan dapat diakui oleh masyarakat / orang yang mencari keadilan
(yustisiabel)
8. Asas kelayakan/kewajaran. Asas ini melarang pejabat administrasi
negara berlaku sewenang-wenang atau berlaku tidak layak.
Seandainya seorang pejabat administrasi negara bertindak sewenang
– wenang di luar batas kewajaran, maka keputusan yang dikeluarkan
oleh pejabat tersebut dapat dibatalkan.
9. Asas menanggapi pengharapan yang wajar. Asas ini menghendaki
agar tindakan administrasi negara dapat menimbulkan harapan-
harapan yang wajar bagi yang berkepentingan. Sekedar ilustrasi, pada
tanggal 13 Januari 1959 Contrale Raad van Beroep di Nederland
memutuskan perkara yang kasusnya sebagai berikut: seorang
pegawai negeri yang memakai mobil pribadinya untuk keperluan dinas
meminta uang pengganti untuk pemakaian mobilnya itu. Ia
memperoleh uang pengganti yang dimintanya, akan tetapi kemudian
aturan kepegawaian tidak memuat ketentuan yang memperbolehkan
pemberian uang pengganti kepada pegawai negeri atas biaya yang
dikeluarkannya sehingga keputusan pemberian uang pengganti
tersebut ditarik kembali. Centrale Raad van Beroep menyatakan
keputusan penarikan kembali uang tersebut oleh instansi yang
bersangkutan batal karena keputusan penarikan kembali tersebut
bertentangan dengan asas menanggapi harapan yang ditimbulkan
secara wajar.
10. Asas meniadakan akibat suatu keputusan yang batal. Asas ini
menghendaki agar jika suatu keputusan dianggap batal maka akibat
dari keputusan yang dibatalkan itu harus ditiadakan sehingga orang
yang dirugikan akibat batalnya keputusan tersebut harus diberi ganti
rugi dan direhabilitasi.
11. Asas perlindungan atas pandangan hidup/cara hidup. Asas ini
menghendaki agar setiap orang diberi kebebasan atau hak untuk
mengatur kehidupan pribadinya sesuai dengan pandangan (cara)
hidup yangdianutnya. Di Indonesia perlindungan atas pandangan
(cara) hidup ini harus diberikan tetapi tetap dalam kerangka nilai-nilai
moral yang sesuai dengan Pancasila sebagai pandangan hidup dan
kepribadian bangsa.
12. Asas kebijaksanaan. Bahwa dalam tugas mengabdi kepada
kepentingan umum, badan-badan pemerintah tidak perlu menunggu
instruksi dalam bertindak. Menurut Koentjoro Purbopranoto, asas
kebijaksanaan ini jangan dikaburkan pengertiannya dengan ‘freies
ermessen’, sebab freies ermessen pada hakikatnya memberikan
kebebasan bertindak pada pemerintah dalam menghadapi situasi yang
konkrit sedangkan kebijaksanaan merupakan suatu pandangan yang
jauh ke depan dari pemerintah sehingga justru freies ermessen harus
didasarkan pada asas kebijaksanaan.
13. Asas penyelenggaraan kepentingan umum. Sebagai tindakan aktif
dan positif tindak pemerintah ialah menyelenggarakan kepentingan
umum. Tugas penyelenggaraan kepentingan umum itu merupakan
tugas semua aparat pemerintah termasuk para pegawai negeri
sebagai alat pemerintahan.
Asas penyelenggara negara yang menyatakan bahwa kebijakan
kebijakan yang dilakukan oleh penyelenggara negara harus bisa
dipertanggung jawabkan pada masyarakat umum

Contoh:

1. APBN dipergunakan untuk apa saja


2. APBD digunakan untuk apa saja
3. dalam tender harus dibuat terbuka dan dapat dipertanggungjawabkan
pada masyarakat.
BAB 5
Tindakan/Perbuatan Administrasi

# Tindakan Pemerintah terdiri atas :


– Legalitas
– wewenang / Sumber wewenang,
– Prosedur,
– Subtansi.
# Subtansi wewenang terbagi atas 3 yaitu :
1. Atributif yakni langsung dari UUD 1945
2. Delegatif yakni pelimpahan dari sesama pejabat / sesama pemerintah
3. Mandat dari atasaan kepada bawahan
# Tindakan Pemerintah yakitu Perbuatan yang dilakukan oleh Organ
Administrasi Negara dalam melaksanakan tugas pemerintahan.
Ø Organ Admnistrasi Negara adalah Setiap Orang atau Badan yang
memiliki kekuasaan Publik tertentu.
Ø Yang tidak termasuk begrip Organ Administrasi Negara : kekuasaan
pembuatan Undang-undang, BPK, Kehakiman.
Ø Diarahkan untuk mencapai tujuan negara.
# Recht Handelingen yakni Tindakan hukum
Feitelijke Handelingen yakni Tindakan nyata / perbuatan yang bukan
perbuatan hukum (menurut E.Utrect) / tindakan pemerintah yang
berdasarkan fakta (menurut Kuntjoro Purbopranoto) / tindakan yang bukan
tindakan hukum (menurut Djenal Hoesen Koesoemahatmadja)
Pengertian tindakan hukum : Tindakan hukum (Recht Handelingen)
adalah tindakan yang dimaksudkan untuk menciptakan hak dan kewajiban,
penciptaan hubungan hukum baru atau perubahan atau pengakhiran
hubungan hukum yang ada.
Tindakan nyata (Feitelijke Handelingen) adalah tindakan yang tidak
ada relevansinya dengan hukum dan oleh karenanya tidak menimbulkan
akibat-akibat hukum.
Akibat Recht Hendelingen yaitu :
1. Menimbulkan beberapa perubahan hak, kewajiban, atau kewenangan
yang ada.
2. Menimbulkan perubahan kedudukan hak bagi seseorang atau objek
yang ada.
3. Terdapat hak-hak, kewajiban, kewenangan atau status tertentu yang
ditetapkan.

a. Pengertian tindakan dan perbuatan pemerintahan

# Pengertian pemerintah :
1. Pemerintah adalah sama dengan eksekutif
2. Pemerintah adalah lebih luas dari eksekutif
3. Pemerintah dalam arti luas dan arti sempit

# Pemerintah adalah sama dengan eksekutif


UUD 1945 membagi alat kelengkapan negara terdiri atas tiga
kekuasaan, yakni eksekutif, legislatif, yudikatif. Di sini pemerintah =
eksekutif.

# Pemerintah adalah lebih luas dari eksekutif


Pengertian pemerintah dalam UUD 1945 bukanlah penyelenggaraan
fungsi eksekutif semata-mata melainkan juga fungsi lainnya yang tidak
terjangkau oleh fungsi legislatif, fungsi yudikatif.
Pemerintahn selain melaksanakan peraturan hukum yang dibuat lembaga
legislatif juga menjalankan hal-hal lain yang menjadi tugasnya, fungsi
pemerintah lebih luas dari fungsi eksekutif.

# Pemerintah dalam arti luas dan arti sempit


- Koentjoro Purbopranoto
Pemerintah dalam arti luas meliputi segala urusan yang dilakukan oleh
negara dalam menyelenggarakan kesejahteraan rakyat dan kepentingan
negara.
Pemerintah dalam arti sempit : hanya menjalankan tugas eksekutif saja.
- Wirjono Projodikoro
Pemerintah dalam arto luas meliputi fungsi atau kegiatan kenegaraan,
selain fungsi presiden juga meliputi fungsi lembaga tinggi negara lainnya.
Sedangkan pemerintah dalam arti sempit meliputi fungsi presiden saja.

Perbuatan pemerintah :
- Pendapat komisi Van Poelje :
Perbuatan pemerintah merupakan tindakan hukum publik yang tindakan-
tindakan hukum yang dilakukan oleh penguasan dalam menjalankan fungsi
pemerintahan.
- Pendapat Romeyn :
Perbuatan pemerintah : tiap-tiap perbuatan dari suatu alat kelengkapan
pemerintahan.

Macam – macam perbuatan pemerintah :


1. Perbuatan yang bukan perbuatan hukum
2. Perbuatan yang merupakan perbuatan hukum
3. Perbuatan nyata

# Perbutan pemerintah yang bukan perbuatan hukum.


Pengertian perbuatan pemerintah yang bukan perbuatan hukum adalah
tindakan pemerintah terhadap masyarakat yang tidak mempunyai akibat
hukum.
Contoh-contoh :
- Presiden menghimbau masyarakat untuk hidup sederhana.
- Menteri perhubungan meresmikan jembatan.
- Gubernur mengunjungi panti asuhan.

# Perbuatan pemerintah yang merupakan perbuatan hukum.


Adalah suatu perbuatan atau tindakan oleh pemerintah kepada masyarakat
yang dapat menimbulkan akibat hukum. (bentuk keputusan dan peraturan).

# Perbuatan nyata
Adalah perbuatan pemerintah dalam rangka memberikan pelayanan.
Yang menjadi obyek kajian dalam HAN adalah perbuatan pemerintah yang
merupakan perbuatan hukum.

# Perbuatan yang merupaka perbuatan hukum


Terdiri dari :
1. Perbuatan hukum menurut hukum privat
2. Perbuatan hukum menurut hukum publik

# Perbuatan hukum menurut hukum privat


Pemerintah atau pejabat adaministrasi negara dalam menjalankan
tugasnya dalam keadaan tertentu menggunakan aturan-aturan hukum
privat.
Contoh : pemerintah menyewa pesawat terbang untuk haji.

# Perbuatan hukum menurut hukum publik


1. Perbuatan hukum publik yang bersegi satu --> tidak memerlukan
persetujuan pihak lain.
Contoh : surat keputusan.
2. Perbuatan hukum publik yang bersegi dua --> memerlukan persetujuan
pihak lain.

# Perbuatan hukum publik yang bersegi satu


Ø Perbuatan hukum/tindakan hukum oleh pemerintah bersifat sepihak.
Dilakukan atau tidak dilakukan sangat tergantung pada kehendak
pemerintah/badan administrasi negara.
Ø Akibat hukumnya adalah dapat timbul karena perbuatan dari pemerintah
saja, tidak menunggu reaksi dari pihak yang dilayani/yang terkena
tindakan/perbuatan pemerintah.

# Perbuatan hukum publik bersegi satu digolongkan sebagai berikut :


a. Mengeluarkan keputusan (beschikking)
Misal : keputusan tentang pengangkutan/pemberhentian seorang PNS.
b. Mengeluarkan peraturan (regeling)
Suatu pengaturan yang bersifat umum dan abstrak. Peraturan yang
dimaksud dapat berupa UU, PP, Permen, Perda, dll.

# Perbuatan hukum publik yang bersegi dua


Ø Perbuatan pemerintah tersebut, perbuatan hukum dan akibat hukumnya
baru dapat timbul setelah adanya kata sepakat antara pemerintah dengan
pihak lainnya.
Contoh : pemerintah kota (pemkot) Semarang bekerjasama mengadakan
penelitian mengenai cara mengatasi rob/banjir dengan pihak UNDIP.
Pemkot Semarang menyerahkan ke pihak UNDIP untuk melaksanakan dan
memimpin penelitian tersebut, dengan memakai kontrak kerjasana dengan
pihak UNDIP.
Ø Perbuatan dan akibat hukumnya baru timbul setelah penandatanganan
kesepakatan dari para pihak.
Contoh : pemkot Semarang dan UNDIP

# Perbedaan keputusan dan peraturan


a. Keputusan (beschikking)
Keputusan dibuat untuk menyelesaikan hal-hal yang sudah diketahui oleh
administrasi negara (konkrit).
Misal : keputusan mengangkat A menjadi kepala bagian, keadaan yang
ada pada A sudah diketahui oleh yang mengeluarkan keputusan.
Keputusan berisi hak dan kewajiban yang melekat pada A.
Keputusan mempunyai sifat individual, konkrit dan final.
- Individual : keputusan dibuat dan ditujukan kepada seseorang yang
jelas identitasnya.
- Konkrit : keputusan dibuat untuk mengatur hal-hal yang bersifat realita
atau kejadian nyata.
- Final : keputusan dibuat langsung untuk dijalankan oleh yang terkena
keputusan tersebut, dengan tidak perlu adanya persetujuan dengan pihak
manapun.
b. Peraturan (regeling)
Peraturan : untuk menyelesaikan hal-hal yang belum diketahui secara
terperinci terlebih dahulu, tapi mungkin akan terjadi.
Peraturan merupakan ketentuan umum dan ditujukan pada hal-hal yang
masih abstrak.

b. Macam-macam tindakan dan perbuatan pemerintahan

Terdapat dua macam hukum yaitu : tindakan hukum publik (


publikrechtsandelingen) yang berarti tindakan hukum yang dilakukan
tersebut berdasarkan pada hukum publik dan tindakan hukum privat (
privatrechtstandelingen) yang berarti tindakan hukum yang didasarkan
pada hukum keperdataan.

Kedudukan hukum pemerintah yang mewakili dua institusi yang


tampil dengan ”twee patten” dan diatur dengan dua hukum yang berbeda
Yaitu hukum publik dan hukum pripat yang akan melahirkan tindakan
hukum dngan akibat-akibat hukum yang berbeda, Secara teoritis untk
menentukan apkah tindakan pemeritahan itu diatur oleh hukum privat atau
hukum publik yaitu dengan melihat kedudukan pemerintah dalam
menjalankan tindakan tersebut, jika pemerintah bertindak dalam kualitas
sebagai pemerintah maka hukum publik yang berlaku dan sebaliknya. Jika
bertindak tidak dalam kualitas pemerintah maka hukum privat yang
berlaku.
BAB 6
Keputusan Tata Usaha Negara

a. Definisi dan syarat Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN)

Pengertian Keputusan Tata Usaha Negara (beschikking)


menurutGuru Besar Hukum Tata Negara UGM, Prof. Muchsan
adalah penetapan tertulis yang diproduksi oleh Pejabat Tata Usaha
Negara, mendasarkan diri pada peraturan perundang-undangan yang
berlaku, bersifat konkrit, individual dan final. Jika kita melihat definisi
tersebut, maka terdapat 4 (empat) unsur Keputusan Tata Usaha Negara,
yaitu:
1. Penetapan tertulis;
2. Dibuat oleh Pejabat Tata Usaha Negara;
3. Mendasarkan diri kepada peraturan perundang-undangan;
4. Memiliki 3 (tiga) sifat tertentu (konkrit, individual dan final).
Keputusan Tata Usaha Negara (beschikking), menurut Pasal 1 angka
3 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986, didefinisikan sebagai berikut:
“Keputusan Tata Usaha Negara adalah suatu penetapan tertulis yang
dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang berisi
tindakan hukum Tata Usaha Negara berdasarkan peraturan perundang-
undangan yang berlaku, yang bersifat konkret, individual, dan final, yang
menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata.”
Rumusan Pasal 1 angka 3 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986
tersebut memiliki elemen-elemen utama sebagai berikut:
1. Penetapan tertulis;
Pengertian penetapan tertulis adalah cukup ada hitam diatas putih karena
menurut penjelasan atas pasal tersebut dikatakan bahwa “form” tidak
penting bahkan nota atau memo saja sudah memenuhi syarat sebagai
penetapan tertulis.
2. (oleh) Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara;
Pengertian Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara dirumuskan dalam
Pasal 1 angka 2 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986, yang menyatakan
Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara adalah Badan atau Pejabat yang
melaksanakan urusan pemerintahan berdasarkan peraturan perundang-
undangan yang berlaku. Penjelasan atas Pasal 1 angka 1 menyatakan
yang dimaksud dengan urusan pemerintahan adalah kegiatan yang bersifat
eksekutif.
Jika kita mendasarkan pada definisi Badan atau Pejabat Tata Usaha
Negara diatas, maka aparat pemerintah dari tertinggi sampai dengan
terendah mengemban 2 (dua) fungsi, yaitu:
a. Fungsi memerintah (bestuurs functie)
Kalau fungsi memerintah (bestuurs functie) tidak dilaksanakan, maka roda
pemerintahan akan macet.
b. Fungsi pelayanan (vervolgens functie)
Fungsi pelayanan adalah fungsi penunjang, kalau tidak dilaksanakan maka
akan sulit mensejahterakan masyarakat.

b. Macam-Macam Keputusan TUN


Para sarjana hukum menggunakan istilah yang berbeda-beda untuk
mengartikan “beschikking”. E. Utrecht menyebutnya “ketetapan”,
sedangkan Prajudi Atmosudirdjo menyebutnya “penetapan”.
Pengelompokan istilah tersebut antara lain oleh: Van der Wel, E. Utrecht
dan Prajudi Atmosudirdjo.
1. Van der Wel membedakan keputusan atas:
a. De rechtsvastellende beschikkingen;
b. De constitutieve beschikkingen yang terdiri atas:
1) Belastende beschikkingen (keputusan yang member beban);
2) Begunstigende beschikkingen (keputusan yang menguntungkan);
3) Statusverleningen (penetapan status).
c. De afwijzende beschikkingen (keputusan penolakan).
2. E. Utrecht membedakan ketetapan atas:
a. Ketetapan Positif dan Negatif
Ketetapan Positif menimbulkan hak dan kewajiban bagi yang dikenai
ketetapan. Ketetapan Negatif tidak menimbulkan perubahan dalam
keadaan hukum yang telah ada. Ketetapan Negatif dapat berbentuk:
pernyataan tidak berkuasa (onbevoegd-verklaring), pernyataan tidak
diterima (niet-ontvankelijk verklaring) atau suatu penolakan (awijzing).
b. Ketetapan Deklaratur dan Ketetapan Konstitutif
Ketetapan Deklaratur hanya menyatakan bahwa hukumnya demikian
(recthtsvastellende beschikking) sedangkan Ketetapan Konstitutif adalah
membuat hukum (rechtscheppend).
c. Ketapan Kilat dan Ketetapan Tetap (blijvend)
1) Menurut Prins, ada empat macam Ketetapan Kilat: ketetapan yang
berubah mengubah redaksi (teks) ketetapan lama;
2) Suatu Ketetapan Negatif;
3) Penarikan atau pembatalan suatu ketetapan;
4) Suatu pernyataan pelaksanaan (uitverbaarverklaring);
5) Dispensasi, izin (vergunning), lisensi dan konsesi.
3. Prajudi Atmosudirjo, membedakan dua macam penetapan yaitu
penetapan negatif (penolakan) dan penetapan positif (permintaan
dikabulakan). Penetapan negatif hanya berlaku sekali saja, sehingga
seketika permintaannya boleh diulangi lagi. Penetapan Positif terdiri atas
lima golongan yaitu:
a. Yang menciptakan keadaan hukum baru pada umumnya;
b. Yang menciptakan keadaan hukum baru hanya terhadap suatu objek saja;
c. Yang membentuk atau membubarkan suatu badan hukum;
d. Yang memberikan beban (kewajiban);
e. Yang memberikan keuntungan.
Penetapan yang memberikan keuntungan adalah:
1) dispensasi, yaitu pernyataan dari pejabat administrasi yang berwenang,
bahwa suatu ketentuan undang-undang tertentu memang tidak berlaku
terhadap kasus yang diajukan seseorang di dalam surat permintaannya;
2) izin (vergunning), yaitu dispensasi dari suatu larangan;
3) lisensi, yaitu izin yang bersifat komersial dan mendatangkan laba;
4) konsesi, yaitu penetapan yang memungkinkan konsesionaris
mendapat dispensasi, izin, lisensi, dan juga semacam wewenang
pemerintahan yang memungkinkannya untuk memindahkan kampung,
membuat jalan raya dan sebagainya. Oleh karena itu pemberian konsesi
haruslah dengan kewaspadaan, kewicaksanan, dan perhitungan yang
sematang-matangnya.
BAB 7
DISKRESI

a. Pengertian dan urgensi diskresi

Diskresi adalah keputusan atau tindakan yang ditetapkan dan/atau


dilakukan oleh Pejabat Pemerintahan untuk mengatasi persoalan konkret
yang dihadapi dalam penyelenggaraan pemerintahan dalam hal peraturan
perundang-undangan yang memberikan pilihan, tidak mengatur, tidak
lengkap atau tidak jelas, dan/atau adanya stagnasi pemerintahan.

Istilah diskresidapat kita temukan dalam Undang-Undang Nomor 30


Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan (“UU 30/2014)”.
Berdasarkan informasi yang kami dapatkan dari laman resmi Sekretariat
Kabinet Republik Indonesia, kehadiran UU yang terdiri atas 89 pasal ini
dimaksudkan untuk menciptakan tertib penyelenggaraan administrasi
pemerintahan, menciptakan kepastian hukum, mencegah terjadinya
penyalahgunaan wewenang, menjamin akuntabilitas badan dan/atau
pejabat pemerintahan, memberikan perlindungan hukum kepada warga
masyarakat dan aparatur pemerintahan, melaksanakan ketentuan
peraturan peraturan perundang-undangan dan menerapkan azas-azas
umum pemerintahan yang baik (AUPB), dan memberikan pelayanan yang
sebaik-baiknya kepada warga masyarakat.
Menurut Pasal 1 Angka 9 UU 30/2014, diskresi adalah keputusan
dan/atau tindakan yang ditetapkan dan/atau dilakukan oleh pejabat
pemerintahan untuk mengatasi persoalan konkret yang dihadapi dalam
penyelenggaraan pemerintahan dalam hal peraturan perundang-undangan
yang memberikan pilihan, tidak mengatur, tidak lengkap atau tidak jelas,
dan/atau adanya stagnasi pemerintahan

Berdasarkan definisi yang diberikan oleh Syachran Basah tersebut,


tersimpulkan bahwa unsur-unsur yang harus dipenuhi oleh suatu diskresi
adalah:
a. Ada karena adanya tugas-tugas public service yang diemban oleh
administratur negara;
b. Dalam menjalankan tugas tersebut, para administratur negara
diberikan keleluasaan dalam menentukan kebijakan-kebijakan;
c. Kebijakan-kebijakan tersebut dapat dipertanggungjawabkan baik
secara moral maupun hukum.

b. Syarat dan Batasan diskresi dilakukan

Dengan demikian diskresi muncul karena adanya tujuan kehidupan


bernegara yang harus dicapai, tujuan bernegara dari faham negara
kesejahteraan adalah untuk menciptakan kesejahteraan rakyat. Tidak
dapat dipungkiri bahwa negara Indonesia-pun merupakan bentuk negara
kesejahteraan modern yang tercermin dalam pembukaan UUD 1945.
Dalam paragraf keempat dari pembukaan UUD 1945 tersebut
tergambarkan secara tegas tujuan bernegara yang hendak dicapai. Untuk
mencapai tujuan bernegara tersebut maka pemerintah berkewajiaban
memperhatikan dan memaksimalkan upaya keamanan sosial dalam arti
seluas-luasnya.
Hal tersebut mengakibatkan pemerintah harus aktif berperan
mencampuri bidang kehidupan sosial-ekonomi masyarakat (public service)
yang mengakibatkan administrasi negara tidak boleh menolak untuk
mengambil keputusan ataupun bertindak dengan dalih ketiadaan peraturan
perundang-undangan (rechtsvacuum). Oleh karena itu untuk adanya
keleluasaan bergerak, diberikan kepada administrasi negara (pemerintah)
suatu kebebasan bertindak yang seringkali disebut fries
ermessen (Jerman) ataupun pouvoir discretionnaire (Perancis).
# Batas Toleransi Diskresi
Kebebasan bertindak sudah tentu akan menimbulkan kompleksitas
masalah karena sifatnya menyimpangi asas legalitas dalam arti sifat
”pengecualian” jenis ini berpeluang lebih besar untuk menimbulkan
kerugian kepada warga masyarakat. Oleh karena itu terhadap diskresi
perlu ditetapkan adanya batas toleransi. Batasan toleransi dari diskresi ini
dapat disimpulkan dari pemahaman yang diberikan oleh Sjahran Basah
sebelumnya, yaitu adanya kebebasan atau keleluasaan administrasi
negara untuk bertindak atas inisiatif sendiri; untuk menyelesaikan
persoalan-persoalan yang mendesak yang belum ada aturannya untuk itu;
tidak boleh mengakibatkan kerugian kepada masyarakat, harus dapat
dipertanggungjawabkan secara hukum dan juga secara moral.
Jika kita berbicara mengenai pertanggungjawaban, maka diskresi
akan terkait dengan permasalahan subyek yang memiliki kewenangan
membuat diskresi, maka subyek yang berwenang untuk membuat suatu
diskresi adalah administrasi negara dalam pengertian sempit, yaitu
eksekutif. Argumentum yang dikedepankan sehubungan dengan hal ini
adalah bahwa eksekutiflah yang lebih banyak bersentuhan dengan
masalah pelayanan publik oleh karena itu diskresi hanya ada di lingkungan
pemerintahan (eksekutif). Bentuk-bentuk sederhana dari keputusan
administrasi di luar peraturan perundang-undangan yang dapat dilihat
dalam contoh kehidupan sehari-hari adalah memo yang dikeluarkan oleh
pejabat, pengumuman, surat keputusan (SK), surat penetapan, dan lain-
lain.
Menurut Prof. Muchsan, pelaksanaan diskresi oleh aparat pemerintah
(eksekutif) dibatasi oleh 4 (empat) hal, yaitu:
a. Apabila terjadi kekosongan hukum;
b. Adanya kebebasan interprestasi;
c. Adanya delegasi perundang-undangan;
d. Demi pemenuhan kepentingan umum.
Selanjutnya mengenai apakah diskresi perlu diatur atau dibatasi
Pakar Hukum Tata Negara Universitas Indonesia, Prof. Bintan R. Saragih
berpendapat bahwa diskresi tidak perlu diatur atau dibatasi karena sudah
ada pertanggungjawabannya sendiri baik secara moral maupun hukum.
Ditambahkan lagi oleh Prof. Bintan R. Saragih, bahwa pengaturan
mengenai diskresi pejabat hanya lazim digunakan pada sistem
parlementer, sementara sistem presidensial lebih menggunakan
kebiasaan.
c. Cara menggunakan diskresi
Keputusan Tata Usaha Negara, disamping keputusan pelaksanaan
(ececutive dececion atau gebonden beschikking) juga ada yang disebut
dengan keputusan bebas (discretionary decision atau Vrije beschikking).
Keputusan bebas ini biasa kita kenal dengan istilah asas diskresi atau freis
ermessen. Aparat pemerintah (eksekutif) dalam pelaksanaan fungsinya
(struktural maupun fungsional) dapat melakukan suatu tindakan berupa
membuat suatu keputusan (beschikking) meskipun hal tersebut belum
diatur secara tegas atau bertentangan dengan undang-undang.
Menurut Prof. Muchsan, asas diskresi harus berlandaskan pada 2
(dua) hal yaitu Landasan Yuridis dan Kebijakan. Kebijakan disini dibagi
menjadi dua kategori, pertama kebijakan yang bersifat mutlak (absolut)
yang kedua yaitu kebijakan yang bersifat tidak mutlak (relatif), hal ini dapat
terjadi karena hukumnya tidak jelas.
Berikut ini penulis memberikan contoh diskresi positif yang dilakukan
oleh aparat pemerintah:
“Di sebuah perempatan, kondisi jalanan macet, arus dari arah A terlalu
padat sementara arah sebaliknya (arus B) lengang. Polisi kemudian
memberi instruksi kepada pengendara dari arus A untuk terus berjalan
walaupun lampu lalu lintas berwarna merah.”
Jika kita melihat contoh diatas, maka diskresi tetap dapat digunakan
dengan tujuan untuk menciptakan kesejahteraan rakyat. Untuk mencapai
tujuan bernegara tersebut maka pemerintah berkewajiaban memperhatikan
dan memaksimalkan upaya keamanan sosial dalam arti seluas-luasnya.
Hal tersebut mengakibatkan pemerintah harus aktif berperan mencampuri
bidang kehidupan sosial-ekonomi masyarakat (public service) yang
mengakibatkan administrasi negara tidak boleh menolak untuk mengambil
keputusan ataupun bertindak dengan dalih ketiadaan peraturan
perundang-undangan (rechtsvacuum). Oleh karena itu untuk adanya
keleluasaan bergerak, diberikan kepada administrasi negara (pemerintah)
suatu kebebasan bertindak yang seringkali disebut fries
ermessen (Jerman) ataupun pouvoir discretionnaire(Perancis).
BAB 8
Upaya Administratif dalam Keputusan Administrasi

a. Pengertian Perlindungan Hukum Tata Usaha Negara (TUN) dan


Hubungannya dengan Hak-Hak Warga Negara

Perlindungan terhadap hak-hak warga negara merupakan salah satu


pilar utama negara hukum. Salah satu bentuk perlindungan terhadap hak-
hak warga negara adalah adanya Peradilan Tata Usaha Negara yang
berwenang untuk menguji keputusan Badan/Pejabat TUN yang dianggap
merugikan kepentingan masyarakat. Bagi setiap orang yang merasa
kepentinganya dirugikan oleh adanya Keputusan Badan/Pejabat TUN
dapat mengajukan gugatan untuk melindungi hak-hak yang dimilikinya.

Peradilan Tata Usaha Negara merupakan salah satu lembaga


pelaksanan kekuasaan kehakiman yang memberi keadilan bagi
masyarakat dari tindakan sewenang-wenang oleh Badan/Pejabat Tata
Usaha Negara. Setiap warga negara berhak mengajukan gugatan terhadap
keputusan Badan/Pejabat Tata Usaha Negara, apabila keputusan tersebut
merugikan kepentingan orang yang bersangkutan. Peradilan Tata Usaha
Negara yang sebelumnya diatur dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun
1986, dianggap masih belum secara signifikan melindungi kepentingan
masyarakat. Adanya Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004, memberi
perubahan bagi kemajuan hukum yang melindungi kepentingan individu
sebagai warga negara.

Indonesia adalah negara hukum. Dalam prinsip negara hukum


demokrasi terdapat adanya pembagian kekuasaan, dan salah satu
kekuasaan dalam pemerintahan adalah kekuasaan
kehakiman (judicative). Peradilan Tata Usaha Negara adalah salah satu
pelaksana kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan terhadap
sengketa Tata Usaha Negara, yang berada di bawah Mahkamah Agung.
Pentingnya PTUN adalah untuk mengantisipasi kemungkinan timbulnya
sengketa antara pemerintah dengan warga Negara akibat adanya kegiatan
pemerintah dalam melaksanakan tugas-tugasnya.

Pasal 53 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004


dinyatakan bahwa: Orang atau badan hukum perdata yang merasa
kepentingannya dirugikan oleh suatu Keputusan Tata Usaha Negara dapat
mengajukan gugatan tertulis kepada pengadilan yang berwenang yang
berisi tuntutan agar Keputusan Tata Usaha Negara yang disengketakan itu
dinyatakan batal atau tidak sah, dengan atau tanpa disertai tuntutan ganti
rugi dan/atau direhabilitasi.

Alasan-alasan yang dapat digunakan dalam gugatan sebagaimana


dimaksud pada ayat (1) adalah:

1. Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat itu bertentangan


dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
2. Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat itu bertentangan
dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik.
Ada dua hal penting yang menjadi perhatian dalam sengketa TUN,
yaitu: (1) adanya ”kepentingan” bagi seseorang atau badan hukum perdata
terhadap obyek keputusan TUN; dan (2) adanya bentuk kerugian yang
diderita oleh orang atau badan hukum perdata. Kata ”kepentingan” dalam
Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai
”keperluan” atau ”kebutuhan”, atau dalam bahasa inggris disebut
sebagai interest.Interest diartikan sebagai keuntungan atas barang yang
dimiliki (Advantage For It Is Your).
Apabila dikaitkan dengan sengketa hukum, maka kata ”kepentingan”
yang dimaksud dalam Pasal 53 ayat (1) diartikan sebagai ”hak” yang
dipunyai oleh seseorang atau badan hukum perdata.
Pemberian makna ”kepentingan” sebagai ”hak”, terkait dengan
penjelasan dalam Pasal tersebut bahwa, hanya orang atau badan hukum
perdata yang berkedudukan sebagai subyek hukum saja yang dapat
mengajukan gugatan ke PTUN. Sebagai subyek hukum, maka seseorang
atau badan hukum perdata berkedudukan sebagai pendukung hak dan
kewajiban. Jadi yang dimaksud dengan ”kepentingan” dalam Pasal 53 ayat
(1) adalah hak yang dimiliki oleh seseorang atau badan hukum perdata.
Seseorang atau badan hukum perdata melakukan gugatan di PTUN
karena haknya dirugikan oleh adanya KTUN merupakan syarat keharusan
dalam mengajukan gugatan. Pihak yang menggugat harus menunjukkan
bahwa ada suatu hak yang dirugikan oleh keluarnya suatu Keputusan
TUN. Kerugian yang menimpah hak seseorang atau badan hukum privat
dapat bersifat materil, immateril, individu, maupun kolektif. Orang atau
badan hukum privat yang kepentingannya dirugikan menurut Indriharto,
digolongkan kedalam tiga kelompok, yaitu: (a) orang-orang atau badan
hukum perdata sebagai alamat yang dituju oleh suatu keputusan TUN; (b)
orang-orang atau badan hukum perdata yang dapat disebut sebagai pihak
ketiga; dan (c) badan TUN yang lain.

Gugatan dapat dilakukan apabila, dalam keadaan kongkrit, suatu nilai


yang harus dilindungi oleh hukum (hak) terdapat kaitan dengan orang yang
melakukan gugatan, dan juga terdapat kaitan dengan Keputusan TUN
yang bersangkutan. Kepentingan (hak) dalam kaitannya dengan pihak
yang berhak mengugat, yaitu: (1) ada hubungannya dengan penggugat
sendiri, artinya seseorang tidak boleh menggugat atas namanya sendiri,
padahal yang digugat adalah mengenai kepentingan orang lain; (2)
kepentingan itu harus bersifat pribadi, artinya penggugat memiliki
kepentingan untuk menggugat yang jelas dapat dibedakan dengan
kepentingan orang lain; (3) kepentingan itu harus bersifat langsung, artinya
yang terkena langsung adalah kepentingan si penggugat sendiri dan
kepentingan tersebut bukan diperoleh dari orang lain; (4) kepentingan itu
secara objektif dapat ditentukan baik mengenai luas maupun
instensitasnya.

Kepentingan (hak) dalam hubungannya dengan Keputusan TUN


yaitu seseorang harus dapat menunjukan bahwa keputusan TUN yang
digugat itu merugikan dirinya secara langsung. Hanya keputusan TUN
yang menimbulkan akibat hukum yang dikehendaki oleh Badan/Pejabat
TUN yang mengeluarkannya saja yang mempunyai arti untuk digugat.

Mengenai bentuk kerugian, apabila menelaah Peraturan Pemerintah


Nomor 43 Tahun 1991 yang berbunyi bahwa, ganti rugi adalah
pembayaran sejumlah uang kepada orang atau badan hukum perdata atas
beban Badan Tata Usaha Negara berdasarkan putusan Pengadilan Tata
Usaha Negara karena adanya kerugian materiil yang diderita oleh
penggugat. Ganti rugi dinyatakan dalam bentuk uang yang besarnya
sekitar dua ratus lima puluh ribu rupiah hingga lima juta rupiah, dengan
memperhatikan keadaan yang nyata. Berdasarkan Peraturan Pemerintah
tersebut, maka bentuk kerugian yang diderita oleh penggugat adalah
hanya dalam bentuk materil, dan hanya dengan kerugian materil,
seseorang atau badan hukum perdata dapat melakukan gugatan pada
PTUN.

Ganti rugi yang menjadi tanggung jawab Badan Tata Usaha Negara
Pusat, dibebankan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
(APBN), sedangkan ganti rugi yang menjadi tanggung jawab Badan Tata
Usaha Negara Daerah, dibebankan pada Anggaran Pendapatan dan
Belanja Daerah (APBD). Ganti rugi, dinyatakan dalam Pasal 120 Undang-
Undang Nomor 5 Tahun 1986. Menurut Pasal tersebut dinyatakan bahwa
salinan putusan Pengadilan yang berisi kewajiban membayar ganti rugi
dikirimkan kepada penggugat dan tergugat dalam waktu tiga hari setelah
putusan Pengadilan memperoleh kekuatan hukum tetap.

b. Bentuk-Bentuk Perlindungan Hukum


Pada zaman sekarang ini hukum banyak diwarnai dan dibahas
dengan berbagai topik tak terkecuali pembahasan mengenai perlindungan
hukum. Dalam pembahasan tersebut secara tidak langsung akan mengait
eratkannya dengan pembuat hukum itu sendiri.
Berbicara mengenai perlindungan hukum, hal tersebut merupakan
salah satu hal terpenting dari unsur suatu negara hukum. Dianggap penting
karena dalam pembentukan suatu negara akan dibentuk pula hukum yang
mengatur tiap-tiap warga negaranya.
Sudah lazim untuk diketahui bahwa suatu negara akan terjadi suatu
hubungan timbal balik antara warga negaranya sendiri. Dalam hal tersebut
akan melahirkan suatu hak dan kewajiban satu sama lain. Perlindungan
hukum akan menjadi hak tiap warga negaranya.
Namun disisi lain dapat dirasakan juga bahwa perlindungan hukum
merupakan kewajiban bagi negara itu sendiri, oleh karenanya negara wajib
memberikan perlindungan hukum kepada warga negaranya.
Setelah kita mengetahui pentingnya perlindungan hukum, selanjutnya kita
perlu juga mengetahui tentang pengertian perlindungan hukum itu sendiri.
Perlindungan hukum adalah suatu perlindungan yang diberikan kepada
subyek hukum ke dalam bentuk perangkat baik yang bersifat preventif
maupun yang bersifat represif, baik yang lisan maupun yang tertulis.
Dengan kata lain dapat dikatakan bahwa perlindungan hukum
sebagai suatu gambaran tersendiri dari fungsi hukum itu sendiri, yang
memiliki konsep bahwa hukum memberikan suatu keadilan, ketertiban,
kepastian, kemanfaatan dan kedamaian.
Pengertian di atas mengundang beberapa ahli untuk mengungkapkan
pendapatnya mengenai pengertian dari perlindungan hukum diantaranya:
1. Menurut Satjipto Raharjo mendefinisikan Perlindungan Hukum
adalah memberikan pengayoman kepada hak asasi manusia yang
dirugikan orang lain dan perlindungan tersebut diberikan kepada
masyarakat agar mereka dapat menikmati semua hak-hak yang
diberikan oleh hukum.
2. Menurut Philipus M. Hadjon berpendapat bahwa Perlindungan Hukum
adalah perlindungan akan harkat dan martabat, serta pengakuan
terhadap hak-hak asasi manusia yang dimiliki oleh subyek hukum
berdasarkan ketentuan hukum dari kesewenangan.
3. Menurut CST Kansil Perlindungan Hukum adalah berbagai upaya
hukum yang harus diberikan oleh aparat penegak hukum untuk
memberikan rasa aman, baik secara pikiran maupun fisik dari
gangguan dan berbagai ancaman dari pihak manapun.
4. Menurut Philipus M. Hadjon Perlindungan Hukum adalah Sebagai
kumpulan peraturan atau kaidah yang akan dapat melindungi suatu
hal dari hal lainnya. Berkaitan dengan konsumen, berarti hukum
memberikan perlindungan terhadap hak-hak pelanggan dari sesuatu
yang mengakibatkan tidak terpenuhinya hak-hak tersebut.
5. Menurut Muktie, A. Fadjar Perlindungan Hukum adalah penyempitan
arti dari perlindungan, dalam hal ini hanya perlindungan oleh hukum
saja. Perlindungan yang diberikan oleh hukum, terkait pula dengan
adanya hak dan kewajiban, dalam hal ini yang dimiliki oleh manusia
sebagai subyek hukum dalam interaksinya dengan sesama manusia
serta lingkungannya. Sebagai subyek hukum manusia memiliki hak
dan kewajiban untuk melakukan suatu tindakan hukum.
Dalam menjalankan dan memberikan perlindungan hukum
dibutuhkannya suatu tempat atau wadah dalam pelaksanaannya yang
sering disebut dengan sarana perlindungan hukum. Sarana perlindungan
hukum dibagi menjadi dua macam yang dapat dipahami, sebagai berikut:
1. Sarana Perlindungan Hukum Preventif
Pada perlindungan hukum preventif ini, subyek hukum diberikan
kesempatan untuk mengajukan keberatan atau pendapatnya
sebelum suatu keputusan pemerintah mendapat bentuk yang definitif.
Tujuannya adalah mencegah terjadinya sengketa.
Perlindungan hukum preventif sangat besar artinya bagi tindak
pemerintahan yang didasarkan pada kebebasan bertindak karena
dengan adanya perlindungan hukum yang preventif pemerintah
terdorong untuk bersifat hati-hati dalam mengambil keputusan yang
didasarkan pada diskresi. Di indonesia belum ada pengaturan khusus
mengenai perlindungan hukum preventif.
2. Sarana Perlindungan Hukum Represif
Perlindungan hukum yang represif bertujuan untuk
menyelesaikan sengketa. Penanganan perlindungan hukum oleh
Pengadilan Umum dan Peradilan Administrasi di Indonesia termasuk
kategori perlindungan hukum ini. Prinsip perlindungan hukum
terhadap tindakan pemerintah bertumpu dan bersumber dari konsep
tentang pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi
manusia karena menurut sejarah dari barat, lahirnya konsep-konsep
tentang pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi
manusia diarahkan kepada pembatasan-pembatasan dan peletakan
kewajiban masyarakat dan pemerintah.
Prinsip kedua yang mendasari perlindungan hukum terhadap
tindak pemerintahan adalah prinsip negara hukum. Dikaitkan dengan
pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia,
pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia
mendapat tempat utama dan dapat dikaitkan dengan tujuan dari
negara hukum.

c. Pengertian dan jenis upaya administrasi

Upaya Administratif adalah suatu prosedur yang dapat ditempuh


dalam menyelesaikan masalah sengketa Tata Usaha Negara oleh
seseorang atau Badan Hukum Perdata apabila ia tidak puas terhadap
suatu Keputusan Tata Usaha Negara, dalam lingkungan administrasi
atau pemerintah sendiri.

Dalam hal penyelesaian Keputusan Tata Usaha Negara tersebut


dilakukan oleh instansi atasan atau instansi lain dari yang
mengeluarkan Keputusan yang bersangkutan, maka prosedur tersebut
dinamakan "Banding Administrasi".
Contoh : Keputusan Badan Pertimbangan Kepegawaian (BAPEK)
berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 1980 tentang
Disiplin Pegawai Negeri Sipil.

Dalam hal penyelesaian Keputusan Tata Usaha Negara tersebut


dilakukan sendiri oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang
mengeluarkan Keputusan itu, maka prosedur yang ditempuh tersebut
dinamakan "Keberatan"

Berbeda dengan prosedur di Peradilan Tata Usaha Negara, maka


prosedur Banding Administratif dan Prosedur Keberatan dilakukan
penilaian secara lengkap baik dari segi penerapan hukum
(rechtmatigheid) maupun dari segi kebijaksanaan (doelmatigheid) oleh
instansi yang memutus.

Lembaga upaya administratif ini dapat dilaksanakan apabila


peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar dikeluarkannya
Keputusan tersebut memberikan kemungkinan melalui prosedur
tersebut. Pemahaman maksud Pasal 48 berguna untuk menghindari
kekeliruan yang bersifat prosedural ataupun keliru memasukkan
gugatan ke PTUN.

Aspek positif lembaga upaya administratif adalah menilai lengkap


suatu keputusan baik dari aspek legalitas maupun aspek opportunitas,
dan para pihak tidak dihadapkan pada basil keputusan menang atau
kalah (win or loose), tetapi dengan pendekatan musyawarah.

Aspek negatif lembaga upaya administratif bisa terjadi pada


tingkat obyektifitas penilaian karena badan Tata Usaha Negara yang
menerbitkan keputusan kadang-kadang terkait kepentingannya secara
langsung sehingga mengurangi penilaian maksimal yang seharusnya
ditempuh.

Dalam pelaksanaan tugas administrasi pemerintahan yang baik


yang menyangkut urusan eksternal (pelayanan umum) maupun yang
berkaitan dengan urusan internal (seperti urusan kepegawaian), suatu
instansi pemerintah (Badan/Pejabat TUN) tidak dapat dilepaskandari
tugas pembuatan Keputusan Tata Usaha Negara. Dengan semakin
kompleksnya urusan pemerintahan serta semakin meningkatnya
pengetahuan dan kesadaran masyarakat, tidak tertutup kemungkinan
timbulnya benturan kepentingan (Conflict of Interest) antara pemerintah
(Badan/Pejabat TUN) dengan seseorang/Badan Hukum Perdata yang
merasa dirugikan oleh Keputusan Tata Usaha Negara tersebut,
sehingga menimbulkan suatu sengketa Tata Usaha Negara.

Penyelesaian sengketa Tata Usaha Negara sebagai akibat


terjadinya benturan kepentingan antara pemerintah (Badan/Pejabat
TUN) dengan seseorang/ Badan Hulum Perdata tersebut, ada kalanya
dapat diselesaikan secara damai melalui musyawarah dan mufakat,
akan tetapi ada kalanya pula berkembang menjadi sengketa hukum
yang memerlukan penyelsaian lewat pengadilan.
BAB 9

PROSES GUGATAN TUN

a. Sengketa administrasi

Sengketa Tata Usaha Negara adalah sengketa yang timbul dalam


bidang tata usaha negara antara orang atau badan hukum perdata dengan
badan atau pejabat tata usaha negara baik di pusat maupun di daerah,
sebagai akibat dikeluarkannya keputusan tata usaha negara, termasuk
sengketa kepegawaian berdasarkan peraturan perundang-undangan yang
berlaku. Jadi objek dari Sengketa Tata Usaha Negara adalah Keputusan
TUN. Adapun yang dimaksud dengan Keputusan TUN adalah suatu
penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha
Negara yang berisi tindakan hukum tata usaha negara yang berdasarkan
peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang bersifat konkret,
individual, dan final, yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau
badan hukum perdata.
Dengan melihat definisi tersebut diatas maka yang menjadi sengketa
Tata Usaha Negara adalah terbatas pada Keputusan tertulis Tata Usaha
Negara. Tindakan-tindakan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara di
Indonesia yang tanpa Keputusan Tata Usaha Negara tidak menjadi obyek
sengketa tata usaha negara. Menurut sistem hukum kita, kewenangan
untuk menilai perbuatan materiil dari badan atau pejabat TUN ini tidak
termasuk kompetensi PTUN, Kewenangan untuk menilai perbuatan ini
diserahkan kepada Peradilan Umum atau perdata, yang didasarkan
penafsiran yang luas dari Pasal 1365 KUHPerdata (tentang onrechtmatig
daad). Keputusan TUN tersebut diatas dibatasi dengan pengurangan
dalam pasal 2, penambahan pada pasal 3 (1), dan limitasi pada pasal
49. Keputusan TUN yang bersifat konkret, individual, dan final inilah yang
dapat digugat ke PTUN yang kemudian di putus oleh Hakim Tata Usaha
Negara.
Bentuk penyelesaian sengketa administrasi atau sengketa Tata
Usaha Negara terdiri dari dua cara yaitu :

1. Secara Langsung yaitu melalui pengadilan

2. Secara Tidak langsung yaitu melalui upaya administratif

Mengenai hak gugat yang dimiliki orang atau badan hukum perdata
diatur dalam pasal 53 ayat (1) Undang-Undang nomor 09 tahun 2004 yang
menentukan bahwa : “orang atau badan hukum perdata yang merasa
kepentingannya dirugikan oleh suatu Keputusan Tata Usaha Negara, dapat
mengajukan gugatan tertulis kepada Pengadilan yang berwenang, yang
berisi tuntutan agar Keputusan Tata Usaha Negara yang disengketakan itu
dinyatakan batal atau tidak sah, dengan atau tanpa disertai tuntutan ganti
rugi dan / atau rehabilitasi.

Alasan-alasan yang dapat dijadikan dasar gugatan adalah :

a. Bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

b. Bertentangan dengan Azas-Azas Umum Pemerintahan yang Baik


(AAUPB)

Adapun yang dimaksud dengan AAUPB meliputi Azas-azas yang


tercantum dalam UU No 28 tahun 1999 tentang penyelenggara negara
yang bersih dan bebas dari KKN yaitu:

- Azas kepastian hukum

- Azas tertib penyelenggaran negara

- Azas keterbukaan

- Azas proporsionalitas

- Azas profesionalitas

- Azas akuntabilitas
Tuntutan utama gugatan di peradilan Tata Usaha Negara adalah
pernyataan batal atau tidak syah keputusan TUN yang digugat, meskipun
dapat disertai tuntutan ganti rugi akan tetapi menurut ketentuan pasal 3 PP
No 43 tahun 1991 tentang ganti rugi dan tata cara pelaksanaannya,
maksimal hanya lima juta rupiah.

Penyelesaian Sengketa melalui Upaya Administratif


Upaya administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 Undang-
undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-undang
Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN)
merupakan bagian dari suatu sistem peradilan administrasi, karena upaya
administratif merupakan kombinasi atau komponen khusus yang
berkenaan dengan PTUN, yang sama-sama berfungsi untuk mencapai
tujuan memelihara keseimbangan, keserasian dan keselarasan antara
kepentingan perseorangan dengan kepentingan masyarakat atau
kepentingan umum, sehingga tercipta hubungan rukun antara pemerintah
dan rakyat dalam merealisasikan masyarakat adil dan makmur
berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.
Upaya administratif tersebut ialah suatu prosedur yang dapat
ditempuh oleh seorang atau badan hukum perdata apabila ia tidak puas
terhadap keputusan TUN yang dilaksanakan di lingkunagan pemerintahan
itu sendiri. Upaya administraif sebagaimana diatur dalam Undang-Undang
Nomor 05 tahun 1986 terdiri atas dua macam prosedur :
a. Banding Administratif
Ialah penyelesaian sengketa TUN secara administratif yang dilakukan oleh
instansi atasan atau instansi lain dari yang mengeluarkan keputusan yang
berangkutan. Banding administratif dilakukan dengan prosedur pengajuan
surat banding administratif yang ditujukan pada atasan pejabat atau
instansi lain dan badan/pejabat tata Usaha Negara yang mengeluarkan
keputusan yang berwenang memeriksa ulang KTUN yang disengketakan
(SEMA No.2 tahun 1991 tanggal 9 juli 1991). Dilihat dari Penjelasan Pasal
48 UU PTUN, terdapat dua kategori lembaga/instansi yang berwenang
untuk menangani adanya Banding Administratif yaitu:
1. Instansi atasan dari Pejabat yang mengeluarkan KTUN dan
2. instansi lain yang berwenang.
Instansi atasan tersebut menunjukkan adanya hubunan heirarkhis baik
secara struktural ataupun koordinatif, sedangkan instansi lain
menunjukkan tidak adanya hubungan hirarki antara pembuat KTUN
dengan instansi lain tersebut. Sebagai contoh Banding Administrasi yang
dilakukan oleh instansi atasan, misalnya Keputusan Bupati – Banding
Administratifnya ke Gubernur, Keputusan Menteri (terhadap kewenangan
yang telah didelegasikan) – Banding Administrasinya ke Presiden.
Sedangkan contoh Banding Administrasi yang dilakukan pada Instansi lain
yang berwenang, misalnya seorang Pegawai Negeri Sipil yang dipecat oleh
Pejabat Pembina Kepegawaian karena melanggar PP Nomor 30 Tahun
1980, dapat mengajukan Banding Administrasi kepada Badan
Pertimbangan Kepegawaian.[10]
b. Keberatan
Ialah penyelesaian sengketa TUN secara administratif yang dilakukan
sendiri oleh badan/ pejabat TUN yang mengeluarkan keputusan itu.
Keberatan dilakukan dengan prosedur pengajuan surat keberatan yang
ditujukan kepada badan atau pejabat TUN yang mengeluarkan keputuan
semula.[11]
Kriteria untuk membedakan penyelesaian ialah ketentuan dalam
peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar dikeluarkannya KTUN
atau tolok ukur yuridis formal. Dari hal itu dapat diketahui, apakah dapat
digunakan atau tidak upaya administratif. Kriteria tersebut di atas dapat
dilihat dengan mengkaitkan substansi ketentuan Pasal 53 ayat 1 Undang-
Undang Nomor 5 tahun 1986 (sebagaimana telah diubah dengan Undang-
Undang Nomor 9 tahun 2004) dengan pasal 48 UU Nomor 05 tahun 1986.
Pasal 48 dapat digunakan sebagai tolok ukur yuridis manakala terjadi
sengketa Tata Usaha Negara yang menentukan efektivitas gugatan.
Sebab, pasal 48 ayat (2) menegaskan bahwa upaya administratif yang
disediakan oleh pasal 48 merupakan syarat imperatif yang wajib dilalui jika
peraturan dasar dan KTUN tersebut mengharuskan dilakukannya upaya
administratif. Jadi jika dikaitkan dengan obyek sengketa TUN, perlu
dilakukan atau tidaknya upaya administratif harus dilihat pada konsideran
yuridis KTUN. [12]
Sebelum menggunakan ketentuan pasal 53 ayat 1 untuk menempuh
prosedur gugatan di PTUN terlebih dahulu harus dilihat ketentuan pasal 48
ayat 1 yang menyatakan bahwa dalam hal suatu badan atau pejabat tata
Usaha Negara diberi wewenang oleh atau berdasarkan peraturan
perundang-undangan untuk menyelesaikan secara administratif sengketa
TUN tertentu, maka sengketa TUN tersebut harus diselesaikan melalui
upaya administratif yang tersedia. Pasal 48 (1) itu dapat diinterpretasikan :
- Tidak setiap Keputusan Tata Usaha Negara dapat langsung diselesaikan
di Pengadilan Tata Usaha Negara;
- Kewenangan bagi badan atau pejabat TUN untuk menyelesaikan secara
administratif sengketa TUN tertentu meliputi dua hal :
a. Wewenang itu sifatnya diberikan kepada Badan atau Pejabat TUN
sesuai dengan lingkup tugas Badan atau pejabat TUN oleh peraturan
perundang-undangan (jadi wewenang itu baru diperoleh badan atau
pejabat TUN setelah secara formal diberikan oleh peraturan perundang-
undangan).
b. Wewenang itu memang sudah ada pada badan atau pejabat TUN
berdasarkan pada peraturan perundang-undangan yang berlaku, sehingga
penggunaan wewenang itu hanya tinggal melihat pada peraturan
perundang-undangan yang mengatur masalah tersebut.
- Penyelesaian sengketa TUN oleh badan atau pejabat TUN adalah
penyelesaian sengketa secara administratif sehingga penilaian dilakukan
dengan memperhatikan aspek doelmatiegheid dan rechtsmatigheid(aspek
hukum dan kebijaksanaannya) atas KTUN itu.
- Penyelesaian melalui upaya administratif yang tersedia merupakan
ketentuan yang bersifat imperatif, wajib harus dilakukan sebelum
menggunakan upaya melalui pasal 53. Hal itu berkaitan dengan pasal 48
ayat 2 yang menegaskan bahwa pengadilan baru berwenang memeriksa,
memutus dan menyelesaiakan sengketa TUN sebagaimana dimaksud
dalam ayat 1 jika seluruh upaya administratif yang bersangkutan telah
digunakan. Apabila seluruh prosedur dan kesempatan tersebut pada
penjelasan ayat 1 telah ditempuh dan pihak yang bersangkutan masih
tetap belum merasa puas, barulah persoalannya dapat digugat dan
diajukan ke pengadilan(penjelasan pasal 48 ayat 2).
Undang-Undang menentukan bahwa atas suatu Keputusan Tata Usaha
Negara yang tersedia prosedur upaya administratif, maka upaya
administratif tersebut harus dijalankan terlebih dahulu. Bila
hasil upaya dirasa kurang memuaskan barulah diajukan gugatan Tata
Usaha Negara, langsung ke Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara
sebagai Peradilan Tingkat Pertama, tanpa melalui Peradilan Tata
Usaha Negara.

b. Proses gugatan di PTUN

Proses Penyelesaian Sengketa Melalui Pengadilan

Penyelesaian sengketa melalui pengadilan digunakan terhadap


gugatan dengan objeknya berupa Keputusan Tata Usaha Negara yang
dalam peraturan dasarnya tidak mengisyaratkan adanya penyelesaian
sengketa melalui upaya administratif terlebih dahulu, maka dapat
digunakan prosedur gugatan langsung ke Pengadilan Tata Usaha Negara.
Dalam hal digunakan upaya peradilan, maka segi penilaian Hakim
terhadap Keputusan TUN didasarkan aspek rechtmatigheid (aspek
legalitasnya) saja.

Tahapan menggugat melalui Peradilan Tata Usaha Negara diawali


pada saat penggugat berniat memasukkan gugatan di Pengadilan Tata
Usaha Negara. Sudah dari awal harus dipikirkan bahwa sebelum secara
resmi gugatan tersebut akan diperiksa di persidangan akan ada tiga tahap
pemeriksaan pendahuluan atau tahap pra pemeriksaan persidangan yang
semuanya saling berkaitan yang harus dilalui, yaitu pemeriksaan
administratif oleh kepaniteraan, Rapat Permusyawaratan (prosedur
dismisal), dan Pemeriksaan Persiapan dengan spesifikasi kewenangan
dan prosedur untuk masing-masing tahap tersebut berbeda-beda.

Penelitian Administrasi dilakukan oleh Kepaniteraan, merupakan


tahap pertama untuk memeriksa gugatan yang masuk dan telah didaftar
serta mendapat nomor register yaitu setelah Penggugat/kuasanya
menyelesaikan administrasinya dengan membayar uang panjar perkara.
UU No. 5 Tahun 1986 jo UU No. 9 Tahun 2004 tidak menentukan secara
tegas pengaturan tentang penelitian segi administrasi terhadap gugatan
yang telah masuk dan didaftarkan dalam register perkara di Pengadilan,
akan tetapi dari ketentuan Pasal 62 ayat (1) huruf b UU No. 5 Tahun 1986
jo UU No. 9 Tahun 2004 yang antara lain menyatakan, “Syarat-syarat
gugatan sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 56 tidak terpenuhi oleh
penggugat sekalipun ia telah diberitahukan dan diperingatkan”. [5]

Setelah Penelitian Administrasi, Ketua melakukan proses dismissal,


berupa prosses untuk meneliti apakah gugatan yang diajukan penggugat
layak dilanjutkan atau tidak. Pemeriksaan Disimissal, dilakukan secara
singkat dalam rapat permusyawaratan oleh ketua dan ketua dapat
menunjuk seorang hakim sebagai reporteur (raportir). Dalam Prosedur
Dismissal Ketua Pengadilan berwenang memanggil dan mendengar
keterangan para pihak sebelum menentukan penetapan disimisal apabila
dipandang perlu.Ketua Pengadilan berwenang memutuskan dengan suatu
penetapan yang dilengkapi dengan pertimbangan-pertimbangan bahwa
gugatan yang diajukan itu dinyatakan tidak diterima atau tidak
berdasar,dalam hal :

a. Pokok gugatan tersebut nyata-nyata tidak termasuk dalam wewenang


Pengadilan.

b. Syarat-syarat gugatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 tidak


dipenuhi oleh penggugat sekalipun ia telah diberitahu dan diperingatkan.

c. Gugatan tersebut tidak didasarkan pada alasan-alasan yang layak.

d. Apa yang dituntut dalam gugatan sebenarnya sudah terpenuhi oleh


Keputusan TUN yang digugat.

e. Gugatan diajukan sebelum waktunya atau telah lewat waktunya.

Dalam hal adanya petitum gugatan yang nyata-nyata tidak dapat


dikabulkan, maka kemungkinan ditetapkan dismissal terhadap bagian
petitum gugatan tersebut. Hal ini dalam praktek tidak pernah dilakukan
karena adanya perbaikan gugatan dalam pemeriksaan persiapan.

Terhadap penetapan dismissal dapat diajukan perlawanan kepada


Pengadilan dalam tenggang waktu 14 (empat belas) hari setelah
diucapkan. Proses perlawanan dilakukan secara singkat, serta setidak-
tidaknya Penggugat/Pelawan maupun Tergugat/Terlawan didengar dalam
persidangan tersebut. Berdasarkan Surat MARI No. 224/Td.TUN/X/1993
tanggal 14 Oktober 1993 Perihal : Juklak, diatur mengenai Prosedur
perlawanan- Pemeriksaan terhadap perlawanan atas penetapan dismissal
(Pasal 62 ayat 3 sd. 6 UU No.5/1986) tidak perlu sampai memeriksa materi
gugatannya seperti memeriksa bukti-bukti, saksi-saksi, ahli, dsb.
Sedangkan penetapan dismissal harus diucapkan dalam sidang yang
terbuka untuk umum.- Pemeriksaan gugatan perlawanan dilakukan secara
tertutup, akan tetapi pengucapan putusannya harus diucapkan dalam
sidang yang terbuka untuk umum.Terhadap perlawanan yang dinyatakan
benar maka dimulailah pemeriksaan terhadap pokok perkaranya mulai
dengan pemeriksaan persiapan dan seterusnya.Majelis yang memeriksa
pokok perkaranya adalah Majelis yang sama dengan yang memeriksa
gugatan perlawanan tersebut tetapi dengan penetapan Ketua Pengadilan.
Jadi tidak dengan secara otomatis. Dalam hal perlawanan tersebut
dibenarkan oleh Pengadilan maka penetapan dismissal itu gugur demi
hukum dan pokok gugatan akan diperiksa, diputus, dan diselesaikan
menurut acara biasa. Terhadap putusan mengenai perlawanan itu tidak
dapat digunakan upaya hukum. Baik upaya hukum biasa maupun upaya
hukum luar biasa. Apabila pihak Pelawan mengajukan permohonan
banding atau upaya hukum lainnya, maka Panitera berkewajiban membuat
akte penolakan banding atau upaya hukum lainnya.

Sebelum pemeriksaan pokok sengketa dimulai, Hakim wajib


mengadakan pemeriksaan persiapan untuk melengkapi gugatan yang
kurang jelas. Tujuan pemeriksaan persiapan adalah untuk mematangkan
perkara. Segala sesuatu yang akan dilakukan dari jalan pemeriksaan
tersebut diserahkan kearifan dan kebijaksanaan ketua majelis. Oleh karena
itu dalam pemeriksaan persiapan memanggil penggugat untuk
menyempurnakan gugatan dan atau tergugat untuk dimintai keterangan/
penjelasan tentang keputusan yang digugat, tidak selalu harus didengar
secara terpisah. Pemeriksaan persiapan dilakukan di ruangan musyawarah
dalam sidang tertutup untuk umum, tidak harus di ruangan sidang, bahkan
dapat pula dilakukan di dalam kamar kerja hakim tanpa toga. Pemeriksaan
persiapan dapat pula dilakukan oleh hakim anggota yang ditunjuk oleh
ketua majelis sesuai dengan kebijaksanaan yang ditetapkan oleh ketua
majelis.

Tenggang waktu 30 hari untuk perbaikan gugatan dalam fase


pemeriksaan persiapan, janganlah diterapkan secara ketat sesuai bunyi
penjelasan Pasal 63 ayat 3 UU No. 5 Tahun 1986. Tenggang waktu 30 hari
tersebut tidak bersifat memaksa maka hakim tentu akan berlaku bijaksana
dengan tidak begitu saja menyatakan bahwa gugatan penggugat tidak
dapat diterima kalau penggugat baru satu kali diberi kesempatan untuk
memperbaiki gugatannya. (Penjelasan Pasal 63 ayat 3 UU No. 5
Tahun1986).Dalam pemeriksaan perkara dengan acara cepat tidak ada
pemeriksaan persiapan. Setelah ditunjuk Hakim tunggal, langsung para
pihak dipanggil untuk persidangan.

Dalam pemeriksaan persidangan ada dengan acara biasa dan acara


cepat (Pasal 98 dan 99 UU No. 5 Tahun 1986 jo UU No. 9 Tahun 2004).
Dalam pemeriksaan dengan acara biasa, Pengadilan memeriksa dan
memutus sengketa TUN dengan tiga orang Hakim, sedangkan dengan
acara cepat dengan Hakim Tunggal. Apabila Majelis Hakim memandang
bahwa sengketa yang disidangkan menyangkut ketertiban umum atau
keselamatan negara, persidangan dapat dinyatakan tertutup untuk umum,
namun putusan tetap diucapkan dalam persidangan yang terbuka untuk
umum. Peranan hakim ketua sidang dalam proses pemeriksaan sengketa
TUN adalah aktif dan menentukan serta memimpin jalannya persidangan
agar pemeriksaan tidak berlarut-larut. Oleh karena itu, cepat atau
lambatnya penyelesaian sengketa tidak semata-mata bergantung pada
kehendak para pihak, melainkan Hakim harus selalu memperhatikan
kepentingan umum yang tidak boleh terlalu lama dihambat oleh sengketa
itu.Hakim menentukan apa yang harus dibuktikan, beban pembuktian
beserta penilaian pembuktian, dan untuk sahnya pembuktian diperlukan
sekurang-kurangnya dua alat bukti berdasarkan keyakinan hakim. Pasal
107 UU No.5 Tahun 1986 jo UU No. 9 Tahun 2004 mengatur ketentuan
dalam rangka usaha menemukan kebenaran materil. Dalam hal
pemeriksaan sengketa sudah diselesaikan, kedua belah pihak diberi
kesempatan untuk mengemukakan pendapat yang terakhir berupa
kesimpulan masing-masing.
Setelah kedua belah pihak mengemukakan kesimpulan, maka Hakim
Ketua Sidang menyatakan bahwa sidang ditunda untuk memberikan
kesempatan kepada Majelis Hakim bermusyawarah dalam ruangan
tertutup untuk mempertimbangkan segala sesuatu guna putusan sengketa
tersebut.Putusan dalam musyawarah majelis yang dipimpin oleh Hakim
Ketua Majelis merupakan hasil permufakatan bulat, kecuali setelah
diusahakan dengan sungguh-sungguh tidak dapat dicapai permufakataan
bulat, putusan diambil dengan suara terbanyak. Apabila musyawarah
majelis tersebut tidak dapat menghasilkan putusan, permusyawaratan
ditunda sampai musyawarah majelis berikutnya. Apabila dalam
musyawarah majelis berikutnya tidak dapat diambil suara terbanyak, maka
suara terakhir Hakim Ketua Majelis yang menentukan.Putusan Pengadilan
dapat dijatuhkan pada hari itu juga dalam sidang yang terbuka untuk umum
atau ditunda pada hari lain yang harus diberitahukan kepada kedua belah
pihak.Putusan Pengadilan harus diucapkan dalam sidang terbuka untuk
umum. Apabila salah satu pihak atau kedua belah pihak tidak hadir pada
waktu putusan pengadilan diucapkan, atas perintah Hakim Ketua Sidang
salinan putusan itu disampaikan dengan surat tercatat kepada yang
bersangkutan. Tidak diucapkannya putusan dalam sidang terbuka untuk
umum mengakibatkan putusan Pengadilan tidak sah dan tidak mempunyai
kekuatan hukum. Berdasarkan pasal 97 ayat 7 Undang-Undang nomor 5
tahun 1986, isi putusan TUN dapat berupa :

a. Gugatan ditolak

Putusan hakim Peradilan TUN yang menyatakan gugatan ditolak adalah


berupa penolakan terhadap gugatan penggugat, berarti memperkuat KTUN
yang dikeluarkan oleh badan atau pejabat TUN yang bersangkutan. Pada
umumnya suatu gugatan ditolak oleh Majelis Hakim karena alat-alat bukti
yang diajukan pihak penggugat tidak dapat mendukung gugatannya, atau
alat-alat bukti yang diajukan pihak tergugat lebih kuat

b. Gugatan dikabulkan
Gugatan dikabulkan bisa berarti pengabulan seluruhnya atau pengabulan
sebagian. Gugatan dikabulkan berarti paula pernyataan bahwa KTUN yang
digugat dinyatakan batal atau tidak sah.

c. Gugatan tidak dapat diterima

Putusan yang berupa gugatan tidak dapat diterima berarti bukan putusan
terhadap pokok perkara tetapi gugatan tersebut tidak memenuhi
persyaratan yang ditentukan. Persyaratan tersebut sebagaimana dimaksud
dalam prosedur dismissal dan/atau pemeriksaaan persiapan.

d. Gugatan gugur

Putusan pengadilan yang menyatakan gugatan gugur dalam hal para pihak
atau kuasanya tidak hadir dalam persidangan yang telah ditentukan dan
mereka telah dipanggil secara patut, atau perbaikan gugatan yang diajukan
oleh pihak penggugat telah melampaui tenggang waktu yang ditentukan
(daluwarsa).

Dalam hal gugatan dikabulkan, maka dalam putusan pengadilan


dapat ditetapkan kewajiban yang harus dilakukan oleh Badan atau Pejabat
TUN. Kewajiban sebagaimana dimaksud dalam pasal 97 ayat (8) dapat
disertai pembebanan ganti rugi berupa :

a. Pencabutan keputusan TUN yang bersangkutan atau

b. Pencabutan keputusan TUN yang bersangkutan dan penerbitan


keputusan TUN yang baru; atau

c. Penerbitan keputusan TUN dalam hal gugatan didasarkan pada Pasal 3


ayat (10).

Kewajiban sebagaimana dimaksud dalam ayat (9) dapat disertai


pembebanan ganti rugi. Dalam hal putusan pengadilan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (8) menyangkut kepegawaian, maka disamping
kewajiban sebagaimana dimaksud dalam (9) dan ayat (10) dapat disertai
pemberian rehabilitasi.
Bagi pihak yang tidak sependapat dengan Putusan PTUN dapat
mengajukan upaya hukum banding ke Pengadilan Tinggi Tata Usaha
Negara (PT.TUN) dalam tenggang waktu 14 hari setelah putusan PTUN
diberitahukan secara sah. Mengenai pencabutan kembali suatu
permohonan banding dapat dilakukan setiap saat sebelum sengketa yang
dimohonkan banding itu diputus oleh Pengadilan Tinggi TUN. Terhadap
putusan pengadilan tingkat Banding dapat dilakukan upaya hukum Kasasi
ke Mahkamah Agung RI. Pemeriksaan ditingkat Kasasi diatur dalam pasal
131 UU Peratun, yang menyebutkan bahwa pemeriksaan tingkat terakhir di
Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara dapat dimohonkan pemeriksaan
kasasi kepada Mahkamah Agung. Sementara itu apabila masih ada
diantara para pihak masih belum puas terhadap putusan Hakim Mahkamah
Agung pada tingkat Kasasi, maka dapat ditempuh upaya hukum luar biasa
yaitu Peninjauan Kembali ke Mahkamah Agung RI.[9]

Mengenai mekanisme atau prosedur eksekusi ini diatur dalam Pasal


116 s/d 119 UU Peratun. Sebagaimana telah dikemukakan pada bagian
sebelumnya, dengan lahirnya UU No. 9 Tahun 2004, putusan Peratun telah
mempunyai kekuatan eksekutabel. Hal ini dikarenakan adanya sanksi
berupa dwangsom dan sanksi administratif serta publikasi terhadap Badan
atau Pejabat TUN (Tergugat) yang tidak mau melaksanakan putusan
Peratun.

C. Pokok-Pokok Kegiatan Beracara di PTUN

DASAR HUKUM PEMBENTUKAN PERADILAN TATA USAHA NEGARA


Dalam pasal 24 Undang-Undang Dasar 1945 secara tegas dan jelas
disebutkan bahwa : Pada ayat 1. kekuasaan kehakiman dilakukan oleh
mahkamah agung dan lain badan kehakiman menurut undang-undang.
Ayat 2. Susunan dan kekuasaan badan-badan kehakiman diatur dengan
undang-undang.
Selanjutnya sebagai peraturan pelaksanaan dari pasal 24 UUD 1945
tersebut diundangkanlah pada waktu itu Undang-undang no. 14 tahun
1970 dimana sekarang ini telah dirubah dengan Undang-undang no.4
tahun 2004 tentang pokok-pokok kekuasaan kehakiman, dimana dalam
pasal 10 ayat 1 dinyatakan bahwa kekuasaan kehakiman dilakukan oleh
Pengadilan dalam lingkungan :
1. Peradilan Umum
2. Peradilan agama
3. Peradilan militer
4. Peradilan Tata Usaha Negara
Berdasarkan hal tersebut maka pada tanggal 14 januari 1991
diundangkanlah melalui peraturan pemerintah yang disebut dengang
Undang-Undang no. 5 Tahun 1986 dan untuk sekarang ini telah dirubah
dan ditambah dengan Undang-undang no. 9 tahun 2004 tentang Peradilan
Tata Usaha Negara.
Penyelesaian sengketa Tata Usaha Negara dikenal dengan 2 macam cara
:
1. Melalui upaya administratif ( pasal 48 dan pasal 51 ayat 3
2. Melalui Gugatan ( pasal 1 angka 5 dan pasal 53 )
Pengertian Upaya administratif adalah penyelesaian sengketa tata usaha
negara dalam lingkungan administrasi pemerintahan sendiri.
Upaya administratif ini dikenal ada 2 macam :
1. Banding administrasi, dan
2. Keberatan
Kedua upaya tersebut diatas haruslah terlebih dahulu melihat kepada
aturan dasarnya.
Maksud dari Banding Administrasi adalah sengketa tata usaha
negara yang terlebih dahulu diselesaikan oleh instansi atasan atau instansi
lain.
Contoh kasus ; dulu sengketa kepegawaian terlebih dahulu diselesaikan
oleh BAPEK ( Badan Pertimbangan kepegawaian.
Kemudian jika prosedur ini telah ditempuh tapi tidak memuaskan maka
gugatan dapat langsung ditujukan ke Pengadilan Tinggi Tata Usaha
Negara bukan lagi ke PTUN
Maksud dari keberatan adalah Prosedur penyelesaian oleh pembuat
keputusan tata usaha negara itu sendiri.
Misalnya sengketa kepegawaian prosedur ini ditempuh langsung kepada
atasan yang mengeluarkan sk pemberhentian.
BAB 10
Sanksi-sanksi dan penegakkan hukum dalam Hukum
Administrasi Negara
Negara Indonesia sebagai Negara nasional, maka administrasi
negaranyapun adalah administrasi Negara nasional mempunyai kewajiban
untuk mempertinggi kepribadian nasoinal Indonesia. Sehingga kebudayaan
Indonesia betul-betul mekar dan berkembang., di mana menunjukkan
keagungan bangsa. Kepribadian Indonesia adalah kepribadian yang
religius, dengan demikian kebudayaan Indonesia adalah kebudayaan yang
relegius juga. Oleh karena itu fungsi administrasi Negara harus menuju
kearah itu, seperti yang di cita-citakan bangsa Indonesia.

a. Pengertian, arti penting, dan pro-kontra penggunaan sanksi dalam


penegakkan hukum

Masih terdapat beberapa kelemahan-kelemahan dalam proses


penyelesaian sengketa di Indonesia khususnya dalam hal pengaturannya
dalam peraturan perundang-undangan antara lain :
a. Dalam Hal Tenggang Waktu pengajuan Gugatan
Tenggang waktu pengajuan gugatan diatur dalam Pasal 55 Undang-
undang Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara
(PTUN) dimana : “gugatan dapat diajukan hanya dalam tenggang waktu
sembilan puluh hari terhitung sejak saat diterimanya atau diumumkannya
Keputusan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara. Ketentuan tersebut
harus direvisi kembali karena waktu daluarsanya sangat pendek dan bila
dikaitkan dengan upaya administrasi maka sisa tenggang waktu pengajuan
gugatan di pengadilan TUN menjadi lebih sedikit.
b. Dalam Hal Objek Sengketa TUN
Objek sengketa TUN terbatas pada Keputusan tertulis Tata Usaha Negara.
Tindakan-tindakan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara di Indonesia
yang tanpa Keputusan Tata Usaha Negara tidak menjadi obyek sengketa
tata usaha negara. Pengertian objek sengketa TUN tersebut menyimpang
dari pengertian sengketa administrasi negara secara luas yang secara
teoritis mencakup seluruh perbuatan hukum publik. Sengketa administrasi
negara muncul jikalau seseorang atau badan hukum perdata merasa
dirugikan, sebagai akibat dikeluarkannya suatu keputusan. Sebagaimana
diketahui bahwa, pejabat administrasi negara dalam fungsi
menyelenggarakan kepentingan umum tidak terlepas dari tindakan
mengeluarkan keputusan, sehingga tidak menutup kemungkinan pula
keputusan tadi menimbulkan kerugian.
Selain berbentuk keputusan tindakan pejabat tadi dapat berbentuk
perbuatan materiil sepanjang dalam rangka melaksanakan perbuatan
hukum publik. Akan tetapi terhadap pelanggaran hukum atas perbuatan
hukum publik yang bersifat materiil (onrechmatige overheidsdaad) sampai
saat ini penyelesaian sengketanya bukan kewenangan pengadilan
administrasi negara (PTUN), karena undang-undang pengadilan
administrasi negara (PTUN) saat ini belum mengadopsi sebagaimana yang
ada dalam sistem peradilan administrasi negara di Prancis yang menjadi
kiblat penyelesaian sengketa administrasi di dunia.[13]
c. Perihal yang didudukkan sebagai Tergugat
Berdasarkan Pasal 1 ayat (12) Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009
tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 05 Tahun 1986
tentang Peradilan Tata Usaha Negara menyatakan bahwa : Tergugat
adalah pejabat tata usaha negara yang mengeluarkan keputuan
berdasarkan wewenang yang ada padanya atau yang dilimpahkan
kepadanya yang digugat oleh orang atau badan hukum.
Berdasarkan ketentuan pasal tersebut diatas maka badan atau
pejabat tata usaha negara yang secara atributif diberi wewenang oleh
undang-undang untuk mengeluarkan keputusan TUN, atau yang oleh
undang-undang ia mendapat limpahan wewenang (delegasi) untuk
mengeluarkan keputusan TUN. Konsekuensi Hukum dari pasal tersebut
adalah :
a) Apabila wewenang atributnya masih dipegang oleh Badan/pejabat yang
bersangkutan maka tergugatnya adalah badan/pejabat tersebut
b) Apabila wewenang atributnya telah didelegasikan kepada badan/pejabat
yang lain, maka tergugatnya adalah badan/pejabat yang menerima
pendelegasian wewenang tersebut.
c) Dalam hal mandat, Tergugatnya tetap pada pemberi mandat (mandans)
bukan penerima mandat (mandataris)
Asas tersebut diatas harus dipahami dan dimengerti karena masih sering
terjadi kewenangan badan/pejabat telah beralih/dilimpahkan dalam bentuk
delegasi wewenang namun yang didudukan sebagai tergugat maih badan
/pejabat yang melimpahkan/mendelegasikanwewenang, bukan yang
menerima delegasi wewenang.[14]
d. Pelaksanaan eksekusi pengadilan administrasi negara (PTUN)
sebagaimana diatur dalam Pasal 116 UU No.5 Tahun 1986 Jo UU No.9
Tahun 2004 belum ditindak lanjuti oleh peraturan pelaksana sehingga tidak
ada kejelasan mengenai prosedur dan penerapan hukuman administrasi
negaranya.
e. Banyaknya dibentuk lembaga-lembaga peradilan khusus akan tetapi
wewenang didalamnya ada yang meliputi penyelesaian sengketa
administrasi sehingga menjadi overlap dengan wewenang pengadilan
administrasi negara (PTUN), seperti : penyelesaian sengketa perburuhan
yang berkaitan dengan keputusan depnakertrans, sengketa HAKI yang
bersifat administratif, sengketa pajak, dan lain-lain.[15]
f. Ganti rugi dalam sengketa TUN karena terdapat kerugian materiil yang
diderita oleh penggugat hanya didasarkan pada kerugian yang sifatnya
materiil. Menurut Peraturan Pemerintah No 43 tahun 1991, besarnya ganti
rugi adalah minimal sejumlah Rp 250.000,- (dua ratus lima puluh ribu
Rupiah) dan maksimal sejumlah Rp 5.000.000 (Lima Juta Rupiah).
Permasalahan dalam pelaksanaan pemberian ganti rugi adalah lama dan
rumitnya prosedur yang harus ditempuh oleh Penggugat, disisi lain jumlah
ganti rugi yang diterima belum sesuai dengan kerugian yang diderita.
Masalah lain dalam pemberian ganti rugi bagi Penggugat adalah, secara
hukum tidak dapat dipastikan waktunya kapan.

b. Jenis-jenis sanksi

Sanksi Hukum Administrasi, menurut J.B.J.M. ten Berge, ”sanksi


merupakan inti dari penegakan hukum administrasi. Sanksi diperlukan
untuk menjamin penegakan hukum administrasi” . Menurut P de Haan dkk,
”dalam HAN, penggunaan sanksi administrasi merupakan penerapan
kewenangan pemerintahan, di mana kewenangan ini berasal dari aturan
hukum administrasi tertulis dan tidak tertulis” . JJ. Oosternbrink
berpendapat ”sanksi administrasiinistratif adalah sanksi yang muncul dari
hubungan antara pemerintah–warga negara dan yang dilaksanakan tanpa
perantara pihak ketiga (kekuasaan peradilan), tetapi dapat secara
langsung dilaksanakan oleh administrasi sendiri”.
Jenis Sanksi Administrasi dapat dilihat dari segi sasarannya yaitu
sanksi reparatoir artinya sanksi yang diterapkan sebagai reaksi atas
pelanggaran norma, yang ditujukan untuk memngembalikan pada kondisi
semula sebelum terjadinya pelanggaran, misalnya bestuursdwang,
dwangsom), sanksi punitif artinya sanksi yang ditujukan untuk memberikan
hukuman pada seseorang, misalnya adalah berupa denda administratif,
sedangkan Sanksi Regresif adalah sanksi yang diterapkan sebagai reaksi
atas ketidak patuhan terhadap ketentuan yang terdapat pada ketetapan
yang diterbitkan,
Perbedaan Sanksi Administrasi dan sanksi Pidana adalah, jika
Sanksi Administrasi ditujukan pada perbuatan, sifat repatoir-condemnatoir,
prosedurnya dilakukan secara langsung oleh pejabat Tata Usaha Negara
tanpa melalui peradilan.
Sedangkan Sanksi Pidana ditujukan pada si pelaku, sifat
condemnatoir, harus melalui proses peradilan..
Menurut undang undang No 28 tahun 1999 tentang
Penyelenggaraan Negara Yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan
Nepotisme. Yang di maksud dengan aparat pemerintah atau
Penyelenggaraan Administrasi Negara yang baik adalah :
Aparat pemerintah yang adil dalam melaksanakan tugasnya, yaitu aparat
yang tidak melakukan diskriminatif penduduk, antara penduduk kaya dan
yang tidak kaya.
Aparat pemerintah yang adil adalah juga aparat yang memberikan
kepada pendusuk apa yang menjadi haknya. Aparat pemerintah yang
bersih, artinya tanpa cacat hukum, tidak melakukan korupsi, kolusi maupun
nepotisme. Aparat pemerintah yang berwibawa, yaitu aparat yang disegani
oleh penduduk, bukan ditakuti.
Aparat pemerintah yang bermoral, artinya aparat yang : Mempunyai
keyakinan diri, keyakinan tentang apa yang baik untuk dilakukan dan apa
yang tidak baik untuk tidak dilakukan. Aparat yang dapat mengawasi diri
dalam melaksanakan tugasnya, tanpa harus diawasi dari luar. Misalnya
dari atasannya atau dari suatu badan pengawas. Mempunyai disiplin diri,
artinya menaati dan mematuhi peraturan tanpa paksaan dari luar. Misalnya
seorang bendahara mengelola uang Negara , sesuai dengan peraturan
tanpa paksaan dari Badan Pemeriksaan Keuangan (BPK)
Aparat pemerintah yang baik, artinya aparat yang : Berada dalam
kedudukannya sebagai aparat yang ideal dan fungsional. Aparat yang ideal
adalah aparat yang bekerja dengan cita-cita tinggi, bercita-cita untuk
menciptakan pemerintahan yang lebih baik dari pemerintah yang ada
sebelumnya. Dan aparatur yang fungsional adalah aparat yang
menjalankan fungsinya yang ulet, tekun dan dengan penuh rasa tanggung
jawab. Jika ia berkerja membumi, maka ia adalah aparat yang fungsional.
Aparat yang baik merupakan Bestaandvoorwaarde artinya syarat yang
harus ada untuk adanya pemerintahan yanh baik atau administrasi yang
baik.
Sanksi Hukum Administrasi, menurut J.B.J.M. ten Berge, ”sanksi
merupakan inti dari penegakan hukum administrasi. Sanksi diperlukan
untuk menjamin penegakan hukum administrasi” . Menurut P de Haan dkk,
”dalam HAN, penggunaan sanksi administrasi merupakan penerapan
kewenangan pemerintahan, di mana kewenangan ini berasal dari aturan
hukum administrasi tertulis dan tidak tertulis” . JJ. Oosternbrink
berpendapat ”sanksi administrasiinistratif adalah sanksi yang muncul dari
hubungan antara pemerintah–warga negara dan yang dilaksanakan tanpa
perantara pihak ketiga (kekuasaan peradilan), tetapi dapat secara
langsung dilaksanakan oleh administrasi sendiri”.
Jenis Sanksi Administrasi dapat dilihat dari segi sasarannya yaitu
sanksi reparatoir artinya sanksi yang diterapkan sebagai reaksi atas
pelanggaran norma, yang ditujukan untuk memngembalikan pada kondisi
semula sebelum terjadinya pelanggaran, misalnya bestuursdwang,
dwangsom), sanksi punitif artinya sanksi yang ditujukan untuk memberikan
hukuman pada seseorang, misalnya adalah berupa denda administratif,
sedangkan Sanksi Regresif adalah sanksi yang diterapkan sebagai reaksi
atas ketidak patuhan terhadap ketentuan yang terdapat pada ketetapan
yang diterbitkan,

c. Perbedaan sanksi administrasi dengan sanksi pidana

Perbedaan Sanksi Administrasi dan sanksi Pidana adalah, jika Sanksi


Administrasi ditujukan pada perbuatan, sifat repatoir-condemnatoir,
prosedurnya dilakukan secara langsung oleh pejabat Tata Usaha Negara
tanpa melalui peradilan.
Sedangkan Sanksi Pidana ditujukan pada si pelaku, sifat condemnatoir,
harus melalui proses peradilan.
Macam-macam Sanksi dalam Hukum Administrasi seperti berikut,
Bestuursdwang (paksaan pemerintahan), penarikan kembali keputusan
(ketetapan) yang menguntungkan, pengenaan denda administratif, dan
pengenaan uang paksa oleh pemerintah (dwangsom).

L
BAB 11

Peran dan fungsi Administrative Procedure Act

(Undang-Undang Prosedur Administrasi Pemerintahan)

a. Pengertian UU Prosedur Administrasi Pemerintahan


Dalam rangka pembenahan penyelenggaraan pemerintahan di dalam
upaya meningkatkan kepemerintahan yang baik (good governance) dan
sebagai upaya untuk mencegah praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme
maka pemerintah bersama Dewan Perwakilan Rakyat telah mengesahkan
dan menetapkan Undang-Undang Administrasi Pemerintahan dengan
diberi nomor 30 Tahun 2014 dimana pada beberapa waktu sebelumnya
menetapkan Undang-Undang Pemerintahan Daerah.

Dengan lahirnya undang-undang ini, pemerintah yakin ke depan tidak


ada lagi kriminalisasi terhadap kebijakan yang dikeluarkan pemerintah.
Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Azwar
Abubakar mengatakan, kehadiran undang-undang bisa menjadi landasan
hukum untuk mengenali apakah sebuah keputusan dan atau tindakan
terdapat kesalahan administrasi atau penyalahgunaan wewenang yang
berujung pada tindak pidana.

Selain itu setiap Warga Masyarakat, memungkinkan mengajukan


keberatan dan banding terhadap Keputusan dan/atau tindakan, kepada
Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan atau Atasan Pejabat yang
bersangkutan. Warga Masyarakat juga dapat mengajukan gugatan
terhadap Keputusan dan/atau Tindakan Badan dan/atau Pejabat
Pemerintahan kepada Peradilan Tata Usaha Negara, karena Undang-
Undang ini merupakan hukum materiil dari sistem Peradilan Tata Usaha
Negara.

Legalisasi prosedur administrasi pemerintahan bukanlah sebagai


pengekangan terhadap sikap tindak administrasi negara melainkan
sebagai panduan bertindak dalam menjalankan tugas dan fungsi yang
diamanatkan kepadanya serta meningkatkan kualitas penyelenggaraan
pemerintahan, badan dan/atau pejabat pemerintahan dalam menggunakan
wewenang harus mengacu pada asas-asas umum pemerintahan yang baik
dan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Undang-Undang Administrasi Pemerintahan ini memuat kejelasan


jenis-jenis kewenangan atribusi, delegasi, dan mandat. Kejelasan tanggung
jawab terhadap kewenangan agar terdapat kejelasan tanggung jawab dan
tanggung gugat terhadap pelaksanaan kewenangan. Selain itu, kata dia,
UU ini mengatur larangan penyalahgunaan wewenang, sehingga badan
atau pejabat pemerintahan dalam membuat keputusan atau tindakan
sesuai dengan batas kewenangan yang dimiliki.

b. Fungsi UU Prosedur Administrasi Pemerintahan

o Bagi Administrasi Negara : bermanfaat sebagai pedoman dalam


melakukan penafsiran dan penerapan terhadap ketentuan-ketentuan,
Perundang-undangan yang bersifat sumir, samara, atau tidak jelas
o Bagi warga masyarakat sebagai pencari keadilan, AAUPL sebagai
dasar gugatan.
o Bagi Hakim TUN : sebagai alat untuk menguji dan membatalkan
keputusan pejabat TUN.
o Bagi Badan Legislatif : berguna dalam merancang Undang-undang.

c. Perincian dan penjelasan (Rancangan) UU Administrasi


Pemerintahan di Indonesia

Tujuan pelayanan prima adalah memberikan pelayanan yang dapat


memenuhi dan memuaskan pelanggan atau masyarakat serta memberikan
fokus pelayanan kepada pelanggan. Pelayanan prima dalam sektor publik
didasarkan pada aksioma bahwa “pelayanan adalah pemberdayaan”.
Pelayanan pada sektor bisnis berorientasi profit, sedangkan pelayanan
prima pada sektor publik bertujuan memenuhi kebutuhan masyarakat
secara sangat baik atau terbaik.
Perbaikan pelayanan sektor publik merupakan kebutuhan yang
mendesak sebagai kunci keberhasilan reformasi administrasi negara.
Pelayanan prima bertujuan memberdayakan masyarakat, bukan
memperdayakan atau membebani, sehingga akan meningkatkan
kepercayaan (trust) terhadap pemerintah. Kepercayaan adalah modal bagi
kerjasama dan partisipasi masyarakat dalam program pembangunan.

Pelayanan prima akan bermanfaat bagi upaya peningkatan kualitas


pelayanan pemerintah kepada masyarakat sebagai pelanggan dan sebagai
acuan pengembangan penyusunan standar pelayanan. Penyedia layanan,
pelanggan atau stakeholder dalam kegiatan pelayanan akan memiliki
acuan tentang bentuk, alasan, waktu, tempat dan proses pelayanan yang
seharusnya.
DAFTAR REFERENSI

1. Hardjon, Philipus M, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, Gadjah


Mada University Press, Yogyakarta, 1997.
2. Marbun, SF. ed, Pokok-pokok Pemikiran Hukum Administrasi Negara,
UII Press, Yogyakarta, 2001.
3. Diskresi Pejabat Sulit Dicari
Batasannya,http://www.hukumonline.com, diakses tanggal 11 maret
2008.
4. Gayus T. Lumbuun, Pro Kontra Rencana Pembuatan Peraturan untuk
Melindungi Pejabat Publik, http://www.hukumonline.com, diakses
tanggal 16 maret 2008.
5. Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
6. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha
Negara.
7. http://www.edipranoto.com/2011/05/sanksi-hukum-
administrasi.html#sthash.kVGTHnN9.dpuf
8. Faried Ali, Drs, SH, Msc, 1996, Hukum Tata Pemerintahan dan Proses
Legislatif Indonesia, Raja Grafindo Persada, Jakarta; -

9. Marbun, SF, dkk, 2001, Dimensi-Dimensi Pemikiran Hukum Administrasi


Negara, UII Press, Yogyakarta

10. Marbun, SF,1988, Peradilan Tata Usaha Negara, Liberty, Yogyakarta; -


11. Muchsan, 1982, Pengantar Hukum Administrasi Negara, Liberty,
Yogyakarta; -

12. Philipus, M. Hadjon, et al, 1993, Pengantar Hukum Administrasi


Indonesia, Gadjahmada University Pess, Yogyakarta; -

13. Prajudi Atmosudirdjo, Prof. Dr,1983, Hukum Administrasi Negara,


Ghalia Indonesia, Jakarta;

14. Dahlan, Alwi, dkk. 1995. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta:
Balai Pustaka.
.15. Menteri Negara Koordinator Pengawasan Pembangunan dan
Pendayagunaan Aparatur Negara. 1998. Surat Edaran Menko
Wasbangpan Nomor 56/MK.WASBANGPAN6/98 Tahun 1998
Tentang Penataan dan Perbaikan Pelayanan Umum. Jakarta.

16. Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara. 2003. Surat


Keputusan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor
63 Tahun 2003 Tentang Pedoman Tata Laksana Pelayanan Umum.
Jakarta.

17. Normann. 1991. Service Management. Chicester, England: Wiley &


Son.

18. Nurhasyim. 2004. Pengembangan Model Pelayanan Haji Departemen


Agama Berdasarkan Prinsip Reinventing Government Yang
Berorientasi Pada Pelanggan di Kabupaten Gresik. Tesis. Surabaya:
Program Pasca Sarjana Universitas Airlangga

19. Republik Indonesia. 2007. Rancangan Undang-Undang Pelayanan


Publik. Jakarta: Sekretariat Negara Republik Indonesia.

20. Sutopo dan Suryanto, Adi. 2003. Pelayanan Prima.Jakarta: Lembaga


Administrasi Negara Republik Indonesia.

21. www.mampu.gov.my.1993 diakses 10 Agustus 2007

22. www.unila.ac.id/fisip-admneg/mambo. 2007diakses 10 Agustus 2007.

Anda mungkin juga menyukai