Anda di halaman 1dari 84

RINGKASAN MATERI

HUKUM ADMINISTRASI NEGARA

OLEH:

NAMA : sepriliani Suryati eltin satung

NIM : 51122032

KELAS / SEM :A/2

FAKULTAS HUKUM
PROGRAM STUDI HUKUM
UNIVERSITAS KATOLIK WIDYA MANDIRA KUPANG
BAB I

PENGANTAR HUKUM ADMINISTRASI NEGARA

A. Beberapa Definisi Hukum Administrasi Negara


Hukum administrasi negara merupakan hukum yang mengatur wewenang
pemerintahan, pelaksanaan tugas-tugas pemerintahan dan melindungi hak-hak administratif
rakyat dalam penyelenggaraan pemerintahan.
Matthew Groves dan HP Lee (2007: 1) berpendapat bahwa hukum administrasi
negara sukar untuk didefinisikan dan kita tidak dapat mencoba mendefinisikannya dalam
suatu cara yang "exact". Menurut Groves dan Lee, bagi kebanyakan sarjana di Australia,
hukum administrasi negara secara sederhana boleh diartikan sebagai bagian dari hukum
publik yang tidak termasuk hukum tata negara (constitutional law), namun hukum tata
negara dan konsekuensi-konsekuensinya tidak pernah dapat secara keseluruhan dipisahkan
dari hukum administrasi negara. Sehubungan dengan pengertian Hukum Administrasi
Negara, Groves dan Lee mengatakan bahwa “Hukum administrasi negara adalah
keseluruhan mengenai apa yang oleh pejabat-pejabat pemerintahan di lingkungan eksekutif
(menteri, kementerian, pejabat-pejabat dan petugas-petugas yang bekerja dalam badan-
badan pemerintahan) dapat dan tidak dapat melakukan. Lebih khusus lagi, hukum
administrasi negara mencakup mekanisme-mekanisme dan prinsip-prinsip yang
memungkinkan rakyat mempertanyakan atau melawan keputusan-keputusan pejabat-pejabat
pemerintahan tersebut”.
Pendapat mengenai makna hukum administrasi negara juga dikemukakan oleh Rene
Serden dan Frits Stroink (2002: 145), yaitu bahwa hukum administrasi negara berhubungan
sangat erat dengan hukum tata negara. Hukum tata negara berisi beberapa komponen
berikut: relasi hukum interna-sional, HAM, legislasi, sistem parlemen, organisasi kehakiman
dan kekuasaannya, dan desentralisasi. Hukum administrasi negara merupakan hubungan
antara negara dan rakyatnya. Pemerintah memiliki kekuasaan untuk memengaruhi
kedudukan hukum dari rakyat dan mengarahkan serta mengorganisasikan relasi sosial dalam
berbagai cara pada wilayah hubungan antara negara dan rakyat tersebut. Dikatakan pula oleh
Seerden dan Stroink (2002: 145) bahwa: “Inti dari hukum administrasi negara adalah
hubungan antara negara dan rakyat. Admi-nistrasi negara memiliki kekuasaan untuk
memengaruhi kedudukan hukum dari rakyat dan untuk mengarahkan serta
mengorganisasikan relasi sosial dalam segala bentuknya di berbagai bidang”.
Kenneth F Warren (2011: 15) mengumpulkan definisi hukum adminis-trasi negara
dari sebagai berikut: "Hukum administrasi negara didefini-sikan dalam Kamus Hukum Oran
sebagai 1. Hukum mengenai tugas dan jalannya yang tepat dari aparat administrasi negara
Itu yang diserahkan kepada badan-badan oleh badan legislatif dan pengadilan. 2. Peraturan
perundang-undangan dan peraturan-peraturan yang dibentuk oleh badan-badan admi-nistrasi
negara. Dalam pendirian yang lama, dalam Black's Law Dictionary Hukum Administrasi
Negara didefinisikan sebagai: "body of law" yang dibentuk oleh administrasi negara untuk
melaksanakan kewe dan tugas-tugasnya dalam bentuk peraturan perundang-undangan,
peraturan, petunjuk pelaksanaan dan keputusan. Kenneth F Warren (2011: 5) memberikan
skema mengenai model umum dan sistem administrasi negara sebagai berikut:

Halsbury's Laws of Malaysia, dikatakannya bahwa: “Hukum administrasi diartikan


sebagai hukum yang berkaitan dengan pelak-sanaan fungsi yang bersifat publik dalam
pemerintahan dan administrasi negara. Ini mencakup fungsi kekuasaan publik dan pejabat
dan dari pengadilan, uji materiil dari pelaksanaan fungsi-fungsi tersebut, kewajiban sipil,
dan perlin-dungan hukum dari mereka yang menggunakannya, dan aspek sarana ganti rugi
di mana pemulihan secara ekstra-yudisial mungkin diperoleh oleh orang yang dirugikan”.
B. Ruang Lingkup Pembahasan Hukum Administrasi Negara
Terdapat berbagai pendapat mengenai ruang lingkup pembahasan dari hukum
administrasi negara, meliputi:
1. The Nature and Purpose of Administrative Law: Introduction, Defi-nition of
Administrative Law.
2. The History and Development of Administrative Law.
3. Judicial Review of Administrative Action I - Prerequisites to Review.
4. Judicial Review of Administrative Action II - Substantive Ultra Vires and Abuse of
Power.
5. udicial Review of Administrative Action III – Procedural Ultra Vires: Introduction,
Statutory Procedure.
6. Remedies In Administrative Law: Introduction, History, The Private Law Remedies,
Injunction, Declaration, Damages, The Public Law Remedies.
7. Statutory Remedies And Exclusion of Judicial Review: Statutory Remedies, Exhaustion
of Alternative Remedies, Exclusion of Alternative Remedies, Exclusion of Judicial
Review.
8. Public Interest Immunity.
9. Extra-Judicial Avenues of Redress: Introduction, The Parliamentary Commissioner For
Administration.
10. uropean Administrative Law I -The European Community: Part 1 Un-derlying
Principles of Ec Law.
11. European Administrative Law II - The European Convention On Human Rights.
12. Liability Of Public Bodies In Private Law: Introduction.
C. Hubungan Hukum Administrasi Negara Dengan Bidang Hukum Lain
1. Hubungan Hukum Administrasi Negara dengan Hukum Tata Negara (Hukum
Konstitusi)
Pengertian konstitusi secara teoretis sangat beragam Ditinjau dari fungsinya,
Erwin Chemerinsky (2006: 2) dalam bukunya, Constitutional Law Principles and
Policies, menyatakan bahwa pada intinya: Pada hakikatnya, konstitusi selalu
mengatur 3 (tiga) hal yang bersifat pokok, yaitu: jaminan adanya hak-hak dan
kewajiban-kewajiban asasi manusia, susunan ketatanegaraan (the structure of
government) yang bersifat mendasar, dan pembatasan serta pembagian tugas-tugas
ketatanegaraan yang juga bersifat mendasar (Hadjon, 1994: 56). Semua konstitusi
selalu menjadikan kekuasaan sebagai pusat perhatian, karena kekuasaan itu sendiri
pada intinya memang perlu diatur dan dibatasi sebagaimana mestinya (Asshiddiqie,
2005: 21).
Konstitusi suatu negara merupakan kesepakatan bangsa pada tingkat na-sional
mengenai seluruh perspektif penyelenggaraan pemerintahan dalam arti luas yang
sekaligus juga dimaksudkan untuk memberikan jaminan konstitusional terhadap hak
dan kewajiban negara serta warga negara. Konstitusi merupakan norma fundamental
dari suatu negara yang menjadi rujukan bagi pembentukan seluruh norma hukum
yang terdapat di suatu negara.
KC Wheare, mengklasifikasikan pengertian konstitusi menjadi 2 macam, yaitu
konstitusi dalam arti luas dan konstitusi dalam arti sempit. Pertama, Konstitusi dalam
arti luas menggambarkan seluruh sistem ketatanegaraan suatu negara, kumpulan
berbagai peraturan yang membentuk dan mengatur atau mengarahkan pemerintahan.
Peraturan-peraturan ini sebagian bersifat legal, dalam arti bahwa pengadilan
mengakui dan menerapkan peraturan-peraturan tersebut, dan sebagian bersifat non-
legal atau ekstra-legal, yang berupa kebiasaan, saling pengertian, adat atau konvensi,
yang tidak diakui oleh pengadilan sebagai hukum namun tidak kalah efektifnyadalam
mengatur ketatanegaraan dibandingkan dengan apa yang secara baku disebut hukum.
Kedua, Konstitusi dalam arti sempit digunakan untuk menggambarkan bukan
kumpulan seluruh peraturan, baik legal maupun non-legal, melainkan kumpulan
peraturan yang biasanya dihimpun dalam satu dokumen atau dalam beberapa
dokumen yang berkaitan erat.
Menurut James Bryce, konstitusi sebagai satu kerangka masyarakat politik,
yang pengorganisasiannya melalui dan oleh hukum. Mengacu pada pendapat Wheare
dan Thomas Paine, Hilaire Barnett (2002: 7) menyatakan bahwa “Konstitusi adalah
sesuatu yang ada sebelum pemerintah, atau, seperti Paine mengungkapkannya, hal itu
yang mendahului keberadaan pemerintah, memberikan legitimasi kepada pemerintah
dan mendefinisikan kekuasaan di mana pemerintah dapat bertindak. Dengan
demikian, kon-stitusi menetapkan batas baik untuk kekuatan yang dapat
dilaksanakandan cara bagaimana kekuasaan dapat dilaksanakan ... segala sesuatu
yang pemerintah lakukan baik sah atau tidak tergantung pada apakah atau tidak
perilaku yang disengketakan yang dianggap konstitusional atau tidak”.
Berdasarkan pendapat-pendapat di atas, persamaan dan perbedaan hukum
administrasi negara dan hukum tata negara dapat diuraikan sebagai berikut:
Persamaan:
a. Baik hukum tata negara maupun hukum administrasi negara merupakan
hukum publik.
b. keduanya memiliki sumber hukum yang sama.
Perbedaan:
a. Hukum tata negara membahas orga-nisasi dan fungsi dari pemerintah
dalam keadaan diam, sementara hukum administrasi negara membahas
organisasi dan fungsi dari pemerintah dalam keadaan bergerak.
b. Hukum tata negara membahas orga-nisasi dan fungsi dari pemerintah
dalam keadaan diam, sementara hukum administrasi negara membahas
organisasi dan fungsi dari pemerintah dalam keadaan bergerak.
Hukum administrasi negara mengatur pelaksanaan tugas para pejabat
administrasi negara dalam praktik administrasi negara yang mendapat atribusi
wewenang berdasarkan hukum tata negara. Hukum tata negara mengatribusikan
wewenang kepada lembaga-lembaga negara di Pusat maupun Pemerintah Daerah,
sedangkan hukum administrasi negara memungkinkan para pejabat administrasi
negara melaksanakan tugas-tugas pemerintahan untuk mewujudkan tujuan negara
melalui serangkaian tindakan administrasinegara, baik dalam bentuk pengaturan,
penetapan, peraturan kebijaksanaan maupun tindakan materiil dalam praktik
pemerintahan.
Hukum tata negara membuka ruang partisipasi masyarakat dalam
penyelenggaraan pemerintahan melalui hak inspraak (keberatan, banding
administratif), sedangkan hukum administrasi negara mewajibkan para pejabat
administrasi negara untuk menerima penggunaan hak inspraak warga masyarakat dan
merealisasikan hak-hak konstitusional warga negara. Hukum tata negara
memungkinkan pengaturan melalui sistem legislasi parlemen hak-hak konstitusional
warga negara, sedangkan hukum administrasi negara menjamin realisasi hak-hak
konstitusional warga negara melalui serangkaian tindakan administrasi negara. Hal ini
menyebabkan hukum administrasi negara dikatakan melaksanakan jaminan
pemerintahan dan perlindungan hukum.
2. Hubungan Hukum Administrasi Negara dengan Hukum Pidana
Dalam website Historica Canada dikatakan bahwa “Hukum administrasi
adalah salah satu dari 3 bidang dasar hukum publik yang berkaitan dengan hubungan
antara pemerintah dan warganya, 2 lainnya menjadi hukum konstitusi dan hukum
pidana. Tujuan utama dari hukum administrasi adalah untuk memastikan bahwa
kegiatan pemerintah diizinkan oleh Parlemen atau legislatif provinsi, dan bahwa
hukum diimplementasikan dan dikelola dengan cara yang adil dan wajar. Hukum
administrasi didasarkan pada prinsip bahwa tindakan pemerintah, dalam bentuk apa
pun, harus (tegasnya) sah, dan bahwa warga negara yang terpengaruh oleh tindakan
melanggar hukum dari pejabat pemerintah harus mendapatkan solusi efektif jika
sistem administrasi negara Kanada diterima dan dipelihara)”. Dengan demikian, baik
Hukum Admi-nistrasi Negara, Hukum Tata Negara maupun Hukum Pidana terletak
dalam rumpun yang sama, yaitu hukum publik.
Hukum pidana sendiri dapat dimaknai kumpulan peraturan perundang-
undangan yang mende-finisikan perilaku yang dilarang oleh pemerintah karena
mengancam dan merugikan keselamatan publik dan kesejahteraan dan yang
menetapkanhukuman yang akan dikenakan untuk tindakan-tindakan tersebut. Hukum
pidana istilah umumnya mengacu pada hukum pidana substantif. Hukum pidana
substantif mendefinisikan kejahatan dan dapat membentuk hukuman. Sebaliknya,
Acara Pidana menjelaskan proses melalui mana hukum pidana ditegakkan. Meskipun
baik hukum administrasi negara maupun hukum pidana meru-pakan bagian dari
hukum publik, hukum pidana merupakan norma hukum yang dapat memperkuat
penegakan norma hukum administrasi negara, karena melalui hukum pidana
pemerintah berdasarkan peraturan perundang-undangan berwenang mendefinisikan
perilaku yang dilarang oleh pemerintah karena mengancam dan merugikan
keselamatan dan kesejahteraan publik.
3. Hubungan Hukum Administrasi Negara dengan Hukum Privat
Hukum privat memengaruhi hak-hak dan kewajiban-kewajiban para indi-vidu,
keluarga, badan usaha, dan kelompok-kelompok kecil dan keberadaannya untuk
membantu rakyat dalam penyelesaian sengketa yang mencakup persoalan-persoalan
privat, ruang lingkupnya secara lebih khusus daripada hukum publik dan mencakup:
a. Hukum kontrak – mengatur hak-hak dan kewajiban-kewajiban dari in-vididu
dalam perjanjian-perjanjian.
b. Hukum ganti rugi - hak-hak, kewajiban-kewajiban dan pemulihan yang
disediakan bagi seseorang yang telah dirugikan oleh individu lain.
c. Hukum hak milik - mengatur bentuk-bentuk kepemilikan, peralihan, dan masalah-
masalah sewa.
d. Hukum perwarisan - mengatur peralihan dari suatu kepemlihan antar-pihak-pihak.
e. Hukum keluarga - mengatur hubungan keluarga dan hubungan-hubungan dalam
keluarga.
Hukum administrasi negara (hukum pemerintahan) menguji hubungan hukum
istimewa yang diadakan akan memungkinkan para pejabat (administrasi negara)
melakukan tugas mereka yang khusus (Utrecht: 1986: 1). Hukum perdata dapat
digunakan dalam pelaksanaan fungsi pemerintah, sepanjang tidak diatur khusus
melalui hukum administrasi negara dan tidak menyimpang dari upaya untuk
mewujudkan tujuan-tujuan pemerintah.
Demikian pula, terdapat gejala dipergunakannya instrumen hukum campuran
dalam pelaksanaan tugas-tugas pemerintahan. Hal itu terlihat dari dipegunakannya
perjanjian kebijakan. Perjanjian kebijakan (kewenangan) menggunakan dasar hukum
publik karena berkaitan dengan penggunaan wewenang pemerntah. Dengan demikian,
hukum yang diterapkan berdasarkan pada dua asas, yaitu:
1. titik tolak hukum perdata, yaitu pe-nerapan asas hukum perjanjian seperti pada
pacta sunt servanda dan lain-lain. Dalam hal ada aturan khusus dalam hukum
administrasi negara, diberlakukan asas preferensi hukum administrasi negara
sebagai lex specialis.
2. titik tolak hukum administrasi negara, yaitu keharusan untuk menerbitkan suatu
besluit. Perjanjian campuran pada hakikatnya berbentuk antara perjanjian
perdata dan perjanjian kewenangan.
4. Hubungan Hukum Administrasi Negara dengan Hukum Internasional
Hukum internasional didefinisikan sebagai kumpulan norma hukum yang
mengatur hubungan hukum diantara atau antar negara atau bangsa. Untuk
menentukan sebagai suatu subjek di bawah definisi tradisional hukum memiliki
kemampuan untuk memasuki hubungan diplomatik atau luar negeri/internasional,
suatu negara harus memiliki kedaulatan. Diperlukan adanya suatu wiayah, penduduk,
pe-merintah dan kemampuan untuk kemampuan untuk memasuki hubungan
diplomatik atau hubungan luar negeri.
Berbagai norma hukum internasional untuk dapat dinyatakan berlaku dan
mengikat warga negara di suatu negara memerlukan proses ratifikasi. Penerapan atau
pelaksanaan perjanjian-perjanjian internasional oleh penguasaterhadap rakyat akan
menyentuh lapangan hukum administrasi, karena hu-kum administrasi negara
merupakan instrumenteel recht. Dalam sistem hukum yang menganut stelsel
dualisme, suatu perjanjian internasional hanya mengikat negara, dan tidak mengikat
warga negara/rakyat. Untuk dapat meng-ikat rakyat/warga negara diperlukan suatu
undang-undang (Hadjon,dkk. 1996: 48).
Dalam hubungan internasional yang semakin meningkat, baik dalam stelsel
dualisme maupun monisme, norma-norma hukum internasional memiliki pengaruh
terhadap sistem hukum nasional:
a. Stelsel Monisme
Monisme adalah pandangan bahwa realitas terdiri atas satu esensi utama
fun-damental. Penganut Monisme menerima bahwa sistem hukum nasional dan
internasional membentuk satu kesatuan. Kedua aturan hukum negara dan aturan
internasional yang telah diatur diterima, misalnya dengan cara per-janjian,
menentukan apakah tindakan yang legal atau ilegal.
b. Stelsel Dualisme
Penganut Dualisme menekankan perbedaan antara hukum nasional dan
in-ternasional, dan memerlukan terjemahan yang terakhir kepada pembentuk
hukum. Tanpa terjemahan ini, hukum internasional tidak berlaku sebagai hukum.
Hukum internasional harus menjadi hukum nasional juga, atau tak ada hukum
sama sekali.
5. Hubungan Hukum Administrasi Negara dengan Ilmu Administrasi Negara
Administrasi negara merupakan pelaksanaan dari kebijakan pemerintah dan
disiplin akademik yang mempe-lajari pelaksanaan dan mempersiapkan para pegawai
negeri untuk tugas ini. Hukum administrasi negara melakukan pendekatan normatif
terhadap pelaksanaan fungsi para pejabat administrasi negara yang melakukan
berbagai tindakan administrasi negara. Administrasi negara mengkaji pendekatan
politik dari organisasi kebijakan dan program-program pemerintah yang dilaksanakan
oleh para pejabat administrasi negara. Namun, berbeda dengan hukum administrasi
negara yang merupakan cabang dari ilmu hukum dan terletak dalam rumpun
keilmuan hukum publik, ilmu administrasi negara merupakan cabang dari ilmu
politik. Hukum administrasi negara memberikan kerangka hukum bagi pembuatan
dan pelaksanaan kebijakan-kebijakan dan program-program pemerintah dan sebagai
pedoman bagi para pejabat administrasi di negara maupun badan-badan administrasi
negara dalam pelaksanaan kebijakan-kebijakan serta program-program pemerintah.
6. Hubungan Hukum Administrasi Negara dengan Ilmu Sosial
Cara memerintah' mungkin secara luas didefinisikan sebagai mekanisme
sosial dimana aturan yang ditempatkan dalam setiap masyarakat terberi disesuaikan
dengan pengalaman dan urgensi dari orang-orang yang hidup di bawah peraturan
mereka. Peraturan mungkin didefinisikan secara luas sebagai pengawasan
berkelanjutan dan terfokus yang dilakukan oleh badan publik terhadap kegiatan-
kegiatan yang dianggap bernilai oleh sebuah masyarakat. Terdapat hubungan yang
erat antara hukum administrasi negara, kepemerintahan dan peraturan perundang-
undangan. Peraturan perundang-undangan berisi serangkaian tindakan pemerintahan
yang berpengaruh terhadap perilaku masyarakat sebagai dampak dari pelaksanaan
peraturan perundang-undangan oleh badan-badan administrasi negara.
7. Hubungan Hukum Administrasi Negara dengan Budaya dan Budaya Hukum
Budaya adalah karakteristik dan pengetahuan dari sekelompok orang tertentu,
didefinisikan oleh segala sesuatu dari bahasa, agama, masakan, kebiasaan sosial,
musik, dan seni. Hukum Administrasi Negara juga memiliki dan dipengaruhi oleh
budaya sehingga corak perkembangan hukum administrasi negara dipengaruhi dan
memengaruhibudaya masyarakat setempat. Pengaruh budaya terhadap hukum
administrasi negara maupun sebaliknya tetap harus dilihat sebagai bagian dari corak
perkembangan hukum administrasi negara. Hukum administrasi negara selain tumbuh
dalam budaya masyarakat tertentu, juga memengaruhi perkembangan budaya
masyarakat. Budaya hukum masyarakat suatu negara juga berpengaruh terhadap
pertumbuhan dan per-kembangan hukum administrasi negara.
8. Hubungan Hukum Administrasi Negara dengan Teknologi Informasi
Hukum administrasi negara semakin memenuhi karakter efektivitas dan
efisiensi untuk menopang pelaksanaan fungsi pemerintahan dengan memanfaatkan
sistem tekhnologi informasi. Cara membuat komunikasi administrasi elektronik
secara efektif yang mungkin sementara - pada saat yang sama - memberikan
perlindungan yang sama seperti yang ada pada saat ini dalam hal komunikasi
administrasi dilakukan secara tertulis? Pertimbangan ini telah menghasilkan prinsip
dasar pijakan yang sama. Prinsip ini berarti:
a. Bahwa komunikasi administrasi elektronik dengan pemerintah akan menjadi
mungkin pada pijakan yang sama dengan komunikasi administrasi tertulis,
b. Bahwa jika badan administratif telah memungkinkan untuk berkomunikasi
secara elektronik dengan warga negara, warga masih bisa memilih untuk
komunikasi administrasi tertulis dan,
c. bahwa hampir di mana-mana, di mana UU Hukum Administrasi Umum
mensyaratkan komunikasi menjadi (tertulis), ini selanjutnya juga menyiratkan
komunikasi elektronik.
BAB II

KEDUDUKAN, FUNGSI DAN KARAKTER HUKUM ADMINISTRASI NEGARA

A. Kedudukan Hukum Administrasi Negara


Hukum administrasi negara materiil terletak di antara hukum privat dan hukum
pidana. Hukum pidana berisi norma-norma yang begitu penting (esensial) bagi kehidupan
masyarakat sehingga penegakan norma-norma tersebut tidak diserahkan kepada pihak
swasta, Akan tetapi harus dilakukan oleh penguasa. Hukum privat berisi norma yang
penegakannya dapat diserahkan kepada pihak swasta. Dalam berbagai undang-undang,
sanksi hukum administrasi negara selalu diletakkan sebelum sanksi pidana dan sanksi
perdata jika undang-undang tersebut mengaturnya. Penegakan norma hukum administrasi
negara sendiri selalu menghendaki kerja sama 2 (dua) pihak, di satu sisi harus ada peran
serta masyarakat dalam melaksanakan kewajiban yang ditentukan dalam undang-undang
agar pemerintah dapat melakukukan tindakan hukum administrasi negara yang di kehendaki.
Misalnya, dalam undang-undang yang mengatur hak dan kewajiban warga masyarakat
dalam mengurus izin tertentu, selalu mewajibkan dipatuhinya ketentuan perijinan sebelum
izin dapat dikeluarkan oleh Pemerintah. Penegakan norma hukum administrasi negara
seringkali meng-hendaki partisipasi warga masyarakat dan pelaksanaan kewenangan
pemerin-tah untuk melakukan tindakan hukum administrasi negara tertentu.
Hukum administrasi negara merupakan suatu pengkhususan atau spesialisasi dari
salah satu bagian dari hukum tata negara, yakni mengenai bagian admi-nistrasi dari negara
(Atmosudirdjo, 1994: 47). Hukum administrasi negarasebagai salah satu cabang dari ilmu
pengetahuan atau sebagai salah satu disiplin ilmu, mempunyai objek yang dipelajarinya.
Seperti halnya dengan disiplin ilmu lainnya, maka objek studi hukum administrasi negara
ada 2 (dua) macam (Bachsan Mustafa, 2001: 31):
1. Objek Material -tah dan warga masyarakat atau suatu badan hukum privat sebagai pihak
yang diperintah. Di antara kedua pihak tersebut terdapat hubungan hukum publik, bukan
suatu hubungan hukum privat.
2. Objek Formal adalah perilaku atau kegiatan atau keputusan hukum badan pemerintah,
baik yang bersifat peraturan maupun yang bersifat ketetapan.
B. Fungsi Hukum Administrasi Negara
Pergeseran konsep dari "negara penjaga malam” menjadi negara kesejahteraan,
membawa dampak bahwa pemerintah harus lebih responsif dan respektif lagi terhadap
masyarakatnya. Konsep negara penjaga malam bergeser ke negara kesejahteraan karena
perubahan zaman dan tuntutan masyarakat yang semakin kompleks. Konsep negara
kesejahteraan lebih menitikberatkan tugas pemerintah terhadap masyarakatnya. Negara
kesejahteraan membolehkan pemerintah campur tangan dalam segala urusan masyarakat,
selama itu untuk mencapai kesejahteraan masyarakat. Dalam suatu negara kesejahteraan,
perkembangan fungsi hukum administrasi negara menjadi semakin luas. Hukum
administrasi negara Menelusup/menyusup/memasuki/ masuk ke segala aspek kehidupan
masyarakat.
Hukum administrasi negara memiliki fungsi pemerintahan dan pengendalian. Dalam
fungsinya yang pertama, hukum administrasi negara memung-kinkan pemerintah
menyelenggarakan tugas-tugas pemerintahan. Hal itu dilakukan dengan cara menyediakan
sarana-sarana pemerintahan yang mendukung pelaksanaan fungsi pemerintahan secara
efektif. Sebaliknya, hukum administrasi negara juga memiliki fungsi pengendalian agar
pelaksanaan tugas-tugas pemerintahan oleh pemerintah selalu sesuai dengan peraturan
perundang-undangan.
Fungsi hukum administrasi negara meliputi:
1. Fungsi normative, yang meliputi fungsi organisasi (pemerintah) dan instrumen
pemerintahan.
2. Fungsi instrumental, yang meliputi fungsi instrumental aktif dan fungsi
instrumental pasif. Fungsi instrumental aktif dalam bentuk kewenangan dan
fungsi instrumental pasif dalam bentuk kebijaksanaan.
3. Fungsi jaminan, yang meliputi tiga jenis jaminan, yaitu:
a) Jaminan pemerintahan yang menyangkut tentang aspek doelmatige dan
democratie, antara lain: keterbukaan, inspraak, dan berbagai mekanisme
pengawasan.
b) Perlindungan hukum dan
c) Ganti rugi.
Menurut Bachsan Mustafa fungsi ilmu hukum administrasi negara adalah:
1. Menciptakan pemerintahan yang baik, yaitu menciptakan pemerintahan yang
bersih, adil dan berwibawa.
2. Menciptakan pemerintahan yang baik, yaitu menciptakan aparatur Peme-rintah
yang baik secara moral, yakni aparat pemerintah yang mempunyai: Keyakinan
diri, yaitu mempunyai keyakinan tentang apa yang baik untuk dilakukan dan apa
yang tidak baik untuk dilakukan.

C. Karakter Hukum Administrasi Negara


A.M. Donner pernah mengemukakan mengenai kesulitan membuat sistematika dan
kodifikasi HAN. Hal itu disebabkan oleh dua alasan berikut:
1. Peraturan-peraturan HAN itu berubah lebih cepat dan sering mendadak. Hal itu berbeda
dengan peraturan perundang-undangan di bidang hukum privat dan hukum pidana yang
perubahannya terjadi secara pelan dan berangsur-angsur.
2. Pembuatan peraturan perundang-undangan HAN tidak hanya terletak di satu tangan,
sebab di luar pembuat undang-undang pusat hampir semua Kementerian dan Pemerintah
Daerah Otonom juga membuat peraturan perundang-undangan di bidang HAN sehingga
lapangan HAN ini sangat beraneka ragam dan tidak bersistem.
Mr. W.F. Prins menyatakan bahwa hukum administrasi negara memuat peraturan-
peraturan yang bersifat teknis, yang hanya dirasakan oleh warga masyarakat apabila dia
berhubungan dengan organ-organ pemerintah yang telah ditentukan oleh hukum tata ne-gara
itu. Berkaitan dengan pendapat-pendapat tersebut, dapat disimpulkan bahwa peraturan
perundang-undangan di bidang hukum administrasi negara tidak seragam. Hal ini
disebabkan karena:
1. Pembuatan peraturan-peraturan HAN tidak satu tangan.
2. Banyak badan administrasi negara yang berwenang/diberikan delegasi kewenangan
untuk membuat peraturan HAN. Hal ini dapat dilihat bahwa peraturan HAN bisa terdiri
dari: UU, PP, Peraturan Presiden, Peraturan Menteri/Ketua Lembaga, Peraturan Daerah.
3. Peraturan perundang-undangan di bidang HAN sukar di kodifikasikan. Peraturan
perundang-undangan di bidang HAN berkembang lebih cepat dibandingkan dengan
ilmu Hukum yang lain. Sebagai contoh, UU Pemerintahan Daerah sudah berkali-kali
berganti dari UU No. 5 Tahun 1974, menjadi UU No. 22 Tahun 1999 lalu UU No. 32
Tahun 2004 dengan UU No. 23 Tahun 2014 dan yang terbaru adalah UU No. 9 Tahun
2015; UU Pertambangan diganti menjadi UU Minerba, UU yang mengatur tentang air
semula diatur dalam Undang-Undang No. 11 Tahun 1974 ten-tang Pengairan kemudian
diganti menjadi Undang-Undang No. 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air, namun
karena dibatalkan oleh Mah-kamah Konstitusi melalui Putusan MK No.
85/PUU-XI/2013 kembali menggunakan UU No. 11 Tahun 1974, dan lain-lain.
4. Hukum administrasi negara peka terhadap politik. Hal ini disebabkan karena pemerintah
dan aparatur adalah bertugas menyelenggarakan kebi-jaksanaan negara, sedangkan
kebijaksanaan negara dalam arti luas adalah politik.
5. HAN menelusup dan merembas ke segala aspek kehidupan manusia.

D. Pendekatan Dalam Studi Hukum Administrasi Negara


Objek formal adalah sudut pandangan, cara memandang, cara mengadakan tinjauan
yang dilakukan oleh seorang pemikir atau peneliti ter-hadap objek materiil serta prinsip-
prinsip yang digunakannya. Objek formal suatu ilmu tidak hanya memberi keutuhan suatu
ilmu akan tetapi pada saat yang sama membedakannya dan bidang-bidang lain. Objek
materiil adalah sesuatu yang dijadikan sasaran pemikiran (gegenstand), sesuatu yang
diselidiki atau sesuatu yang dipelajari. Objek materiil mencakup apa pun baik hal yang
konkret.
Sebagaimana telah dikemuakan di atas, dalam studi HAN terdapat 2 (dua) objek
yakni objek materiil dan objek formal. Objek materiil dalam studi hukum administrasi
negara adalah manusia, yaitu aparat pemerintah sebagai pihak yang melaksanakan fungsi
pemerintahan dan warga masyarakat sebagai pihak yang diperintah dalam hubungan hukum
publik bukan hukum privat. Objek formal adalah perilaku atau kegiatan atau keputusan
hukum badan pemerintah baik yang bersifat peraturan maupun bersifat ketetapan.
Sistem Hukum Administrasi Negara Indonesia (Citra Aditya Bakti, Bandung, 2001)
memperkenalkan konsep mengenai Teori Trikarsa yang menjelaskan hubungan antara objek
formal dan objek materiil dalam studi hukum administrasi negara dalam gambar berikut:
Bachsan Mustafa (2001: 19) mengatakan bahwa dalam teori trikarsa, fungsi
pemerintah adalah hendak mewujudkan tujuan dari negara dan kehendaknya itu harus
dinyatakan secara tertulis dalam bentuk peraturan perundang-undangan. Fungsi administrasi
negara adalah melaksanakan kehendak peme-rintah, yang berarti melaksanakan peraturan
perundang-undangan. Uraian tersebut menunjukkan korelasi antara objek formal dan objek
materiil dalam studi hukum administrasi negara.
Sehubungan dengan objek dari studi hukum administrasi negara, Prajudi
Atmosudirdjo dalam bukunya, Hukum Administrasi Negara (1994) menyatakan bahwa
hukum administrasi negara pada dasarnya dapat dibedakan dalam dua klasifikasi, yakni
hukum administrasi negara heteronom dan hukum administrasi negara otonom Hukum
administrasi negara hete-ronom bersumber pada UUD, TAP MPR dan UU, hukum ini
mengatur seluk-beluk organisasi dan fungsi administrasi Negara (alat tata usaha negara) dan
tidak boleh dilawan, dilanggar serta tidak boleh diubah oleh administrasi negara. HAN
heteronom ini mencakup aturan tentang:
1. Dasar-dasar dan prinsip umum administrasi negara;
2. Organisasi administrasi negara, termasuk juga pengertian dekonsentrasi dan
desentralisasi;
3. Berbagai aktivitas dari organisasi negara;
4. Seluruh sarana administrasi negara;
5. Badan peradilan administrasi.
Hukum Administrasi Negara Otonom bersumber pada keputusan pe-merintah yang
bersifat sebagai UU dalam arti yang luas, yurisprudensi, dan teori. Hukum ini merupakan
hukum operasional yang diciptakan oleh pemerintah administrasi negara sendiri. Oleh
karena itu, dapat diubah oleh pemerintah/administrasi negara (alat tata usaha negara) setiap
waktu apabila perlu dengan tidak melanggar kepastian hukum, asas keadilan, dan asas
kepentingan umum. Perkembangan hukum administrasi negara dari suatu negara tertentu,
tak dapat terhindarkan juga bisa dipengaruhi oleh perkembangan hukum administrasi negara
dari negara lain. Misalnya, perkembangan hukum administrasi materiil di Belanda dan
Jerman memiliki pengaruh yang penting dalam pembentukan norma hukum administrasi
negara umum di Indonesia, seperti yang dibentuk melalui Undang-Undang Nomor 30 Tahun
2014 tentang Administrasi Pemerintahan.
Unsur sentral dari perbandingan hukum adalah pembandingan tersebut (the
comparison). Pembandingan berarti menghadapkan unsur-unsur yang dapat diperbandingkan
dari dua sistem hukum atau lebih terhadap satu sama lain untuk menemukan perbedaan dan
persamaan di antara sistem-sistem itu. Ada 3 (tiga) unsur perbandingan hukum, di bawah ini:
1. Ukum yang akan dibandingkan, yaitu dalam metode perbandingan hu-kum hal ini disebut
comparatum, misalnya Hukum Administrasi Negara Indonesia.
2. Comparandum, yaitu hukum yang digunakan untuk membandingkan, misalnya: Hukum
Administrasi Negara Belanda.
3. Tertium comparationis, yaitu unsur yang digunakan untuk membanding-kan, misalnya:
Keputusan Tata Usaha Negara (antara hukum administrasi negara Indonesia dan hukum
administrasi negara Belanda).
Dalam perbandingan hukum, umumnya yang diminati adalah memban-dingkan
muatan substantif aturan-aturan hukum, atau lebih spesifiknya, bagaimana sistem hukum
yang berbeda-beda mengatur situasi tertentu yang muncul di kedua negara. Pembandingan
seperti itu mengharuskan aturan-aturan hukum yang diperbandingkan menangani persoalan
yang sama. Maka, dalam membandingkan aturan hukum dari negara yang berbeda, harus
diupayakan sedapat mungkin untuk membandingkan aturan-aturan yang mengatur situasi
yang sama dalam kehidupan masyarakat.
Dua pendekatan perbandingan hukum meliputi uraian di bawah ini:
1. Pendekatan perbandingan hukum substantif, yaitu perbandingan hukum yang
membandingkan antara dua atau lebih dari hukum substantif, seperti perbandingan
tentang hukum administrasi, hukum tata negara, dan lain-lain.
2. Pendekatan perbandingan infrastruktur hukum, yaitu perbandingan hukum yang
membandingkan kultur hukum, sejarah hukum, metode pembagian hukum, sumber
hukum dan lain-lain.
E. Pengembangan Prinsip-Prinsip Fundamental Hukum Administrasi Negara
Hukum administrasi negara pada titik akhirnya selalu berupaya untuk me-nemukan
prinsip-prinsip fundamental dalam penyelenggaraan fungsi peme-rintahan. Telah lama
dikenal adanya Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik sebagai prinsip fundamental
dalam hukum administrasi negara. Prinsip-prinsip tersebut menjadi dasar bagi pe-
ngembangan sistem penyelenggaraan pemerintahan yang baik dan hubungan yang serasi
antara pemerintah dengan rakyat. Asas-asas umum pemerintahan yang baik tersebut dikenal
dengan berbagai sebutan di beberapa negara. Menurut UU Administrasi Pemerintahan,
AUPB terdiri atas 8 (delapan) asas.
Pertama, Asas Kepastian Hukum adalah asas dalam negara hukum yang
mengutamakan landasan ketentuan peraturan perundang-undangan, kepa-tutan, keajegan,
dan keadilan dalam setiap kebijakan penyelenggaraan peme-rintahan. Kedua, Asas
Kemanfaatan adalah manfaat yang harus diperhatikan secara seimbang antara:(1)
kepentingan individu yang satu dengan kepen-tingan individu yang lain; (2) kepentingan
individu dengan masyarakat; (3) kepentingan Warga Masyarakat dan masyarakat asing; (4)
kepentingan kelom-pok masyarakat yang satu dan kepentingan kelompok masyarakat yang
lain; (5) kepentingan pemerintah dengan Warga Masyarakat; (6) kepentingan generasi yang
sekarang dan kepentingan generasi mendatang; (7) kepentingan manusia dan ekosistemnya;
(8) kepentingan pria dan wanita. Ketiga, Asas Ketidakberpihakan adalah asas yang
mewajibkan Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan dalam menetapkan dan/atau melakukan
Keputusan dan/atau Tin-dakan dengan mempertimbangkan kepentingan para pihak secara
kese-luruhan dan tidak diskriminatif. Keempat, Asas Kecermatan adalah asas yang
mengandung arti bahwa suatu Keputusan dan/atau Tindakan harus didasarkan pada
informasi dan dokumen yang lengkap untuk mendukung legalitas penetapan dan/atau
pelaksanaan Keputusan dan/atau Tindakan sehingga Keputusan dan/atau Tindakan yang
bersangkutan dipersiapkan dengan cermat sebelum Keputusan dan/atau Tindakan tersebut
ditetapkan dan/atau dilakukan. Kelima, Asas Tidak Menyalahgunakan Kewenangan adalah
asas yang mewa-jibkan setiap Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan tidak menggunakan
kewe-nangannya untuk kepentingan pribadi atau kepentingan yang lain dan tidak sesuai
dengan tujuan pemberian kewenangan tersebut, tidak melampaui, tidak menyalahgunakan,
dan/atau tidak mencampuradukkan kewenangan. Keenam, Asas Keterbukaan adalah asas
yang melayani masyarakat untuk mendapatkan akses dan memperoleh informasi yang benar,
jujur, dan tidak diskriminatif dalam penyelenggaraan pemerintahan dengan tetap
memerhatikan perlin-dungan atas hak asasi pribadi, golongan, dan rahasia negara. Ketujuh,
Asas Kepentingan Umum adalah asas yang mendahulukan kesejahteraan dankemanfaatan
umum dengan cara yang aspiratif, akomodatif, selektif, dan tidak diskriminatif. Kedelapan,
Asas Pelayanan yang Baik adalah asas yang mem-berikan pelayanan yang tepat waktu,
prosedur dan biaya yang jelas, sesuai dengan standar pelayanan, dan ketentuan peraturan
perundang-undangan. Selain itu, dari beberapa asas di atas terdapat pula asas-asas umum
lainnya di luar AUPB, yakni asas umum pemerintahan yang baik yang bersumber dari
putusan pengadilan negeri yang tidak dibanding, atau putusan pengadilan tinggi yang tidak
dikasasi atau putusan Mahkamah Agung.
Adapun asas-asas umum adalah sebagai berikut:
1. Asas Kepastian Hukum, artinya dalam pemerintah menjalankan wewenangnya
haruslah sesuai dengan aturan-aturan hukum yang telah ditetapkannya.
Pemerintah harus menghormati hak-hak seseorang yang diperoleh dari
pemerintah dan tidak boleh ditarik kembali. Pemerintah harus konsekuen atas
keputusannya demi terciptanya suatu kepastian hukum.
2. Asas Keseimbangan, yaitu adanya keseimbangan antara pemberian sanksi
terhadap suatu kesalahan seorang pegawai, janganlah hukuman bagi sese-orang
berlebihan dibandingkan dengan kesalahannya, misalnya seorang pegawai baru
tidak masuk kerja langsung dipecat, hal ini tidak seimbang dengan hukuman
yang diberikan kepadanya. Keberadaan asas ini lebih menjamin terhadap
perlindungan bagi pegawai negeri.
3. Asas Kesamaan, artinya pemerintah dalam menghadapi kasus yang sama/ fakta
yang sama, pemerintah harus bertindak yang sama tidak ada per-bedaan, tidak
ada pilih kasih dan lain sebagainya.
4. Asas Bertidak Cermat, artinya pemerintah senantiasa bertindak secara hati-hati
agar tidak menimbulkan kerugian bagi warga masyarakat, misalnya kewajiban
pemerintah memberi tanda peringatan terhadap jalan yangsedang diperbaiki,
jangan sampai dapat menimbulkan korban akibat jalan diperbaiki.
5. Asas Motivasi, artinya setiap keputusan pemerintah harus mempunyai alasan atau
motivasi yang benar dan adil dan jelas. Jadi, tindakan-tindakan pemerintah
disertai alasan-alasan yang tepat dan benar.
6. Asas Jangan Mencampuradukkan Kewenangan, artinya pemerintah ja-ngan
menggunakan wewenang untuk tujuan yang lain, selain tujuan yang sudah
ditetapkan untuk wewenang itu.
7. Asas Fair Play, artinya pemerintah harus memberikan kesempatan yang layak
kepada warga masyarakat untuk mencari kebenaran dan keadilan, misalnya
memberi hak banding terhadap keputusan pemerintah yang tidak diterima.
8. Asas Keadilan dan Kewajaran, artinya pemerintah tidak boleh bertindak
sewenang-wenang atau menyalahgunakan wewenang yang diberikan ke-padanya
untuk kepentingan pribadinya.
9. Asas Menanggapi Pengharapan yang Wajar, artinya agar tindakan peme-rintah
dapat menimbulkan terpenuhinya harapan-harapan yang wajar bagi yang pihak-
pihak berkepentingan, misalnya seorang pegawai negeri minta izin untuk
menggunakan kendaraan pribadi pada waktu dinas, yang kemudian izin yang
telah diberikan untuk menggunakan kendaraan pribadi dicabut, tindakan
pemerintah demikian dianggap salah/tidak wajar.
10. Asas Meniadakan Akibat-Akibat Suatu Keputusan yang Batal, artinya asas ini
menghendaki jika terjadi pembatalan atas suatu keputusan, maka yang
bersangkutan harus diberi ganti rugi atau rehabilitasi.
11. sas Perlindungan Hukum, artinya bahwa setiap pegawai negeri diberi hak
kebebasan untuk mengatur kehidupan pribadinya sesuai dengan pandangan hidup
yang dianutnya atau sesuai dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila.
12. Asas Kebijaksanaan, artinya pemerintah dalam melaksanakan tugasnya sesuai
dengan undang-undang dan menyelenggarakan kepentingan umum. Unsur
bijaksana harus dimiliki oleh setiap pegawai/Pemerintah.
13. Asas Penyelenggraan Kepentingan Umum, artinya tugas pemerintah adalah
untuk mendahulukan kepentingan umum daripada kepentingan pribadi. Pegawai
negeri sebagai aparatur negara, abdi negara, dan abdimasyarakat dan Pemerintah
menyelenggarakan tugas pemerintah dan pembangunan.
Berdasarkan uraian di atas dapat diketahui bahwa hukum administrasi Negara
berupaya untuk menemukan prinsip-prinsip fundamental dalam Hu-kum Administrasi
Negara yang ditujukan untuk meletakkan landasan dalam penyelenggaraan pemerintahan
yang baik. Prinsip-prinsip fundamental ter-sebut menjadi fondasi bagi pengembangan norma
Hukum Administrasi Negara dan menjadi pedoman dalam penggunaan wewenang
tata usaha negara.
BAB III

SUMBER-SUMBER HUKUM ADMINISTRASI NEGARA

A. Sumber Hukum Administrasi Negara Material Dan Formil


Sumber hukum sendiri bisa bermakna sebagai: asas hukum; hukum terdahulu sebagai
bahan-bahan dari hukum yang saat ini berlaku (hukum positif); sumber berlakunya hukum,
yang memberi kekuatan berlaku secara formal pada peraturan hukum. Hal itu bisa berasal
dari penguasa yang memiliki wewenang untuk memaksakan berlakunya hukum dan
penerimaan masyarat terhadap hukum; sumber tempat mengenal hukum; dan sumber
terjadinya hukum. Sumber hukum administrasi negara dapat diklasifikasikan menjadi
sumber hukum administrasi negara materiil dan sumber hukum administrasi negara formil.
Sudikno Mertokusumo berpendapat bahwa Sumber Hukum Materil adalah tempat dari mana
materil itu diambil. Sumber hukum materil ini merupakan faktor-faktor yang membantu
pembentukan hukum, misalnyahubungan sosial, hubungan kekuatan politik, situasi social
ekonomis, tradisi (pandangan keagamaan, kesusilaan), hasil penelitian ilmiah,
perkembangan internasional, keadaan geografis, dan lain-lain. Sumber hukum formal adalah
sumber hukum dari mana secara langsung dapat dibentuk hukum yang akan mengikat
masyarakatnya. Penggunan istilah sumber hukum formal karena semata-mata mengingat
cara pembentukan hukum positif dan bentuk hukum bagi timbulnya hukum positif, dengan
tidak lagi mempersoalkan asal-usul dari isi aturan-aturan hukum tersebut. Sumber-sumber
hukum formal membentuk pandangan-pandangan hukum menjadi aturan-aturan hukum,
membentuk hukum sebagai kekuasaan yang mengikat.
Dalam konteks Indonesia, Pancasila merupakan sumber hukum materil maupun
formil, mengingat kedudukannya sebagai sumber dari segala sumber hukum. Sumber hukum
formal merupakan sebab dari berlakunya aturan-aturan hukum. Hal-hal yang termasuk
sumber-sumber hukum formal adalah:
1. Undang-Undang
Undang-undang di sini identik dengan hukum tertulis sebagai lawan dari hukum
yang tidak tertulis. Undang-undang dapat dibedakan atas: a. undang-undang dalam arti
formal, yaitu keputusan penguasa yang dilihat dari bentuk dan cara terjadinya sehingga
disebut undang-undang. Jadi, undang-undang dalam arti formal tidak lain merupakan
ketetapan penguasa yang memperoleh sebutan undang-undang karena cara pembentukannya;
b. undang-undang dalam arti materiil, yaitu keputusan atau ketetapan penguasa, yang dilihat
dari isinya dinamai undang-undang dan mengikat setiap orang secara umum. Undang-
undang adalah peraturan hukum bilamana peraturan itu mengikat setiap orang dan karena itu
ketaatannya dapat dipaksakan oleh hakim. Guna mengetahui apakah suatu peraturan itu
peraturan hukum maka dipergunakan kriteria formal, yaitu dengan melihat sumber peraturan
itu). UU merupakan sumber kewenangan pemerintahan (atribusi, delegasi, dan mandat).
2. Kebiasaan
Kebiasaan adalah perbuatan berulang-ulang dalam hal yang sama dan di-terima
dalam kehidupan masyarakat sehingga menumbuhkan rasa keadilanmasyarakat. Pasal 5 ayat
(1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman di Indonesia
mengatur bahwa hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami
nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.
3. Traktat atau Perjanjian Internasional
Perjanjian Internasional atau traktat juga merupakan salah satu sumber hukum dalam
arti formal. Dikatakan demikian oleh karena treaty ter-sebut harus memenuhi persyaratan
formal tertentu agar dapat diterima sebagai treaty atau perjanjian internasional. Dasar hukum
treaty: Pasal 11 ayat (1) dan (2) UUD 1945 yang berisi: (1) Presiden dengan persetujuan
DPR menyatakan perang, membuat perdamaian dan perjanjian dengan negara lain; (2)
Presiden dalam membuat perjanjian internasional lainnya yang menimbulkan akibat yang
luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban keuangan negara,
dan/atau mengharuskan perubahan atau pembentukan undang-undang harus dengan
persetujuan DPR.
4. Yurisprudensi
Yurisprudensi sebagai peradilan pada umumnya, yaitu pelaksanaan hukum dalam hal
konkret terhadap tuntutan hak yang dijalankan oleh suatu badan yang berdiri sendiri dan
diadakan oleh suatu negara serta bebas dari pengaruh apa atau siapa pun dengan cara
memberikan putusan yang bersifat mengikat dan berwibawa.
5. Praktik-Praktik Administrasi Negara
Tindakan-tindakan administrasi negara dalam rangka pelayanan kepada masyarakat
yang melahirkan hukum tak tertulis, meskipun belum ada peraturan perundang-
undangannya. Namun, agar praktik administrasi negara tersebut dapat menjadi norma
hukum, maka harus diuji kualitasnya berdasarkan AAUPB, sepanjang diterima oleh masya-
rakat/tidak ada keberatan dari masyarakat dapat menjadi konvensi sebagai sumber HAN.
Berikut ini dapat dilihat doktrin me-ngenai AAUPB yang menjadi sumber HAN bagi hakim
PTUN dalam me-mutuskan sengketa TUN (Pratiwi, 2016: 43):

B. Perkembangan Sumber-Sumber Hukum Administrasi Negara


Pengaturan sumber hukum administrasi negara ditunjukkan berdasarkan teori
integral dan teori spesialitas. Teori integral menghendaki agar seluruh peng-gunaan
wewenang oleh badan atau pejabat tata usaha negara dan hubungan hukum antara badan
atau pejabat tata usaha negara dengan rakyat diatur berdasarkan satu norma hukum yang
berlaku untuk seluruh wewenang dan hubungan-hubungan hukum administrasi negara antara
pemerintah dan rakyat.
Perkembangan dan kompleksitas masyarakat membutuhkan pemerintah untuk
mampu beradaptasi guna menyesuaikan dengan kebutuhan pelayanan masyarakat yang
berpengaruh terhadap perkembangan tugas-tugas pemerintah. Dalam hal ini berlakulah teori
spesialitas, yaitu norma hukum admi-nistrasi negara berkembang sesuai dengan kebutuhan
pelayanan terhadap hak-hak administratif rakyat yang berkembang dan semakin teknis.
Melalui teori divergensi yang berlaku untuk menghubungan antara kebutuhan rakyat dengan
kemampuan pelayanan pemerintah, maka berlakulah sektoralisasi yang semakin teknis. Hal
ini berpengaruh terhadap semakin berkembangnya norma-norma hukum administrasi negara
khusus yang tumbuh dalam berbagai pelayanan sektoral pemerintah. Pandangan yang sangat
kuat di Belanda menempatkan hukum admi-nistrasi negara berhubungan sangat erat dengan
hukum tata negara. Hukum tata negara berisi beberapa komponen berikut: relasi hukum
internasional, HAM, legislasi, sistem parlemen, organisasi kehakiman dan kekuasaannya,
dan desentralisasi.
Hukum administrasi negara merupakan hubungan antara negara dan rakyatnya.
Pemerintah memiliki kekuasaan untuk memengaruhi kedudukan hukum dari rakyat dan
mengarahkan serta mengorganisasikan relasi sosial dalam berbagai cara pada wilayah
hubungan antara negara dan rakyat tersebut. Salah satu konsep pokok yang dapat
dipergunakan oleh pemerintah adalah konsep Keputusan Tata Usaha Negara, tindakan
yuridis yang diatur oleh hukum publik yang menciptakan hak-hak dan/atau kewajiban-
kewajiban individual dalam situasi konkret. Beberapa di antara KTUN tersebut adalah
lisensi, benefits, subsidi-subsidi, KTUN Pajak dan perintah-perintah penegakan hukum yang
tercakup dalam konsep tersebut.
Di Belanda, Algemene Wet Bestuursrecht (AWB) menjadi garis pedoman dalam
penggunaan kewenangan pemerintah secara umum, namun, secara teknis operasional juga
berkembang secara luas norma hukum administrasi negara khusus/sektoral dalam berbagai
UU Khusus. UU khusus ini tinggal bersifat operatif setelah AWB memiliki pengaruh
terhadap 2 (dua) alasan berikut:
1. Prinsip legalitas, AWB tidak memberi kewenangan, akan tetapi menyediakan garis
pedoman mengenai bagaimana kewenangan harus dipergunakan oleh pemerintah. UU
khusus memberikan kewenangan, yang sehubungan dengan kewenangan terbatas per
definisi, hanya dipergunakan untuk tujuan untuk mana kewenangan-kewenangan itu
diberikan.
2. Substansi hukum administrasi didasarkan atas UU khusus tersebut. AWB hanya
berisi aturan mengenai pembuatan keputusan tata usaha negara (hukum acara). Sebagai
contoh, AWB mengatur proses pembuatan ke-putusan dalam izin lingkungan, tetapi UU
khusus, dalam hal ini UU Pengelolaan Lingkungan dan aturan-aturan yang diturunkan dari
UU tersebut menentukan isi dari izin, dalam hal ini hak dan kewajiban dalam izin.
Asas-asas umum pemerintahan yang baik dibentuk oleh lembaga-lembaga banding
administrasi dan peradilan, yang untuk bagian luas dikodifikasi pada tahun 1994 dan
diturunkan dari UU Hukum Administrasi Umum. Pada saat dilakukan amandemen terhadap
UUD Belanda 1983, itu telah dibentuk yang telah menjadi UU yang berisi aturan-aturan
umum hukum administrasi. Ini telah disajikan dalam Pasal 107 ayat (2) UUD. Sejak
permulaan abad ke-19, paragraf pertama dari pasal tersebut telah berisi tugas untuk
mengkodifikasi hukum substantif dan hukum acara dalam hukum privat dan hukum
substantif serta hukum acara pidana. Salah satu dari pembangunan hukum yang sangat
penting dalam pemben-tukan hukum administrasi umum pada tahun-tahun terakhir adalah
diundangkannya Hukum Administrasi Umum.
Beberapa asas-asas hukum administrasi negara disusun dan ditegakkan oleh
peradilan administrasi, khususnya oleh Mahkamah Agung Prussia
Hukum Dasar tahun 1949 memengaruhi wajah hukum administrasi negara pada masa
sekarang, yang sesuai dengan negara modern sosial yang diatur berdasarkan rule of law.
Hukum Dasar tersebut masihmemiliki pengaruh yang besar dalam pembangunan
administrasi dan hukum administrasi negara, khususnya menyangkut pembentukan institusi-
institusi hukum dan meningkatkan bentuk-bentuk dari aktivitas-aktivitas pemerintah. Hal ini
mengilustrasikan bahwa hukum administrasi negara tidak hanya menetapkan status quo,
akan tetapi terbuka terhadap perubahan-perubahan dan perbaikan-perbaikan. Hukum
administrasi pada bentuk negara Republik Jerman tidak terlalu memiliki pengaruh sesudah
penyatuan kembali negara baru yang diadopsi Hukum Administrasi Negara federal dari
Republik Federal Jerman (untuk melihat pengaruh pertama dari organisasi negara Jerman
periksa bagan berikut):
Dasar-dasar dan dorongan konstitusional dapat diperlihatkan sebagai berikut:
1. Konstitusi menjamin kedudukan mandiri/independen dari administrasi sebagai
legitimasi kewenangan negara demokratik dalam organisasi negara.
2. Konstitusi saat ini membedakan antara administrasi dan pelayanan masyarakat)
dan campur tangan administrasi.
3. Landasan dari UUD menjamin kedaulatan dan kebebasan individu, Pasal 1 ayat
(1) UUD.
4. Meskipun UUD tidak memberikan definisi tentang rule of law, sejumlah
pengaturan menggambarkan substansi dari prinsip-prinsip ini.
Hukum publik dapat dipisahkan dalam hukum internasional, hukum tata negara,
hukum administrasi, hukum sosial, hukum pajak, hukum acara, dan akhirnya hukum pidana.
Selanjutnya, hukum administrasi dapat dibedakan menjadi hukum administrasi umum dan
hukum administrasi khusus menurut pembedaan umum dalam tradisi hukum Jerman: aturan-
aturan hukum dapat diterapkan terhadap beberapa wilayah hukum yang ditempatkan
sebelum peng-golongan sebagian besar untuk alasan-alasan praktis. peradilan menghormati
peraturan-peraturan administrasi yang berisi norma-norma hukum sebagai mengikat.
Asas legalitas pemerintah mengikat pemerintah dalam mengeluarkan peraturan dan
membuatnya tunduk pada pengawasan institusi peradilan. Hal itu berisi 2 (dua) unsur, yang
disebut preseden dalam hukum dan kepatuhan terhadap hukum.

C. Peraturan-Peraturan Internasional
Ada dua sumber dari peraturan internasional memiliki pe-ranan yang menonjol
dalam bidang-bidang: Hukum Uni Eropa, dan Konvensi Eropa Mengenai Hak Asasi
Manusia. Pengaturan hukum administrasi negara di Indonesia, dalam perkembangannya saat
ini juga memiliki pola yang hampir serupa dengan yang berkembang di Belanda, Jerman,
dan Perancis. Di Indonesia beberapa konvensi internasional yang sudah diratifikasi juga
berperan penting dalam perkembangan pengaturan norma hukum administrasi negara,
khususnya norma hukum administrasi ne-gara sektoral. Dengan lahirnya Undang-Undang
Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, maka, juga berlaku teori
integralistik dan teori konvergensi dalam membentuk pedoman dan dasar-dasar fundamental
penggunaan wewenang tata usaha negara. Secara garis besar berikut substansi yang diatur
dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan.
Undang-Undang Administrasi Pemerintahan mengatur tindakan instansi pemerintah
yang memiliki kekuatan hukum mengikat secara eksternal berupa keputusan pemerintahan
yang didasarkan kepada pengujian syarat dan pra-syarat yang telah ditetapkan dalam
undang-undang atau produk hukum lainnya. Secara mendasar terdapat dua alasan mengenai
hal ini. Pertama, undang-undang ini tidak dimaksudkan mengatur secara detail pelayanan
yang diberikan oleh instansi dan administrasi pemerintahan. Ketentuan rinci mengenai sifat,
jenis, kualitas, kuantitas, prasyarat, dan lain-lain syarat administrasi pemerintahan harus
diatur sendiri oleh instansi dan lembaga pemerintah penyelenggara administrasi
pemerintahan dan atau mengacu kepada undang-undang atau peraturan hukum lainnya yang
sudah dan akan mengatur hal tersebut. Kedua, undang-undang ini hanya akan memuat
ketentuan umum dalam penyelenggaraan pemerintah dan bukan manajemen substansi
pelayanan itu sendiri. Dengan kata lain, undang-undang ini menetapkan prinsip-prinsip,
syarat-syarat, pihak-pihak yang terlibat, pihak-pihak yang dikecualikan, batas waktu
jawaban dan gugatan serta instrumen yang digunakan dalam prosedur Administrasi
Pemerintahan. Tidak ditetapkan dalam Undang-Undang Admi-nistrasi Pemerintahan adalah
bagaimana sebuah pelayanan dihasilkan (dipro-duksi), di mana dan siapa yang akan
menyediakan serta dengan menggunakan media apa layanan tersebut akan disediakan.
Administrasi Pemerintahan adalah tata laksana dalam pengambilan keputusan
dan/atau tindakan oleh badan dan/atau pejabat pemerintahan. Fungsi Pemerintahan adalah
fungsi dalam melaksanakan administrasi pemerintahan yang meliputi fungsi pengaturan,
pelayanan, pembangunan, pemberdayaan, dan pelindungan. Badan dan/atau Pejabat
Pemerintahan adalah unsur yang melaksanakan fungsi pemerintahan, baik di lingkungan
pemerintah maupun penyelenggara negara lainnya. Wewenang adalah hak yang dimiliki
oleh badan dan/atau pejabat pemerintahan atau penyelenggara negara lainnya untuk
mengambil keputusan dan/atau tindakan dalam penyelenggaraan pemerintahan.
Kewenangan Pemerintahan adalah ke-kuasaan badan dan/atau pejabat pemerintahan
atau penyelenggara negara lainnya untuk bertindak dalam ranah hukum publik. Keputusan
Administrasi Pemerintahan yang juga disebut Keputusan Tata Usaha Negara atau Keputusan
Administrasi Negara yang selanjutnya disebut Keputusan adalah ketetapan tertulis yang
dikeluarkan oleh badan dan/atau pejabat pemerintahan dalam penyelenggaraan
pemerintahan. Tindakan Administrasi Pemerintahan adalah perbuatan pejabat pemerintahan
atau penyelenggara negara lainnya untuk melakukan dan/atau tidak melakukan perbuatan
konkret dalam rangka penye-lenggaraan pemerintahan. Diskresi adalah keputusan dan/atau
tindakan yang ditetapkan dan/atau dilakukan oleh pejabat pemerintahan untuk mengatasi
persoalan konkret yang dihadapi dalam penyelenggaraan pemerintahan dalam hal peraturan
perundang-undangan yang memberikan pilihan, tidak mengatur, tidak lengkap atau tidak
jelas, dan/atau adanya stagnasi pemerintahan. Kepu-tusan Berbentuk Elektronis adalah
keputusan yang dibuat atau disampaikan dengan menggunakan atau memanfaatkan media
elektronik. Asas-asas UmumPemerintahan yang Baik (AUPB) adalah prinsip yang
digunakan sebagai acuan penggunaan wewenang bagi pejabat pemerintahan dalam
mengeluarkan keputusan dan/atau tindakan dalam penyelenggaraan pemerintahan. Izin
adalah keputusan pejabat pemerintahan yang berwenang sebagai wujud per-setujuan atas
permohonan warga masyarakat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Konsesi adalah Keputusan Pejabat Pemerintahan yang berwenang sebagai wujud
persetujuan dari kesepakatan badan dan/atau pejabat pemerintahan dengan selain badan
dan/atau pejabat pemerintahan dalam pengelolaan fasilitas umum dan/atau sumber daya
alam dan pengelolaan lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Dispensasi adalah keputusan pejabat pemerintahan yang berwenang sebagai wujud per-
setujuan atas permohonan warga masyarakat yang merupakan pengecualian terhadap suatu
larangan atau perintah sesuai dengan ketentuan peraturan per-undang-undangan. Atribusi
adalah pemberian kewenangan kepada badan dan/atau pejabat pemerintahan oleh Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 atau Undang-Undang. Delegasi
adalah pelimpahan kewenangan dari badan dan/atau pejabat pemerintahan yang lebih tinggi
kepada badan dan/atau pejabat pemerintahan yang lebih rendah dengan tanggung jawab dan
tanggung gugat beralih sepenuhnya kepada penerima delegasi. Mandat adalah pelimpahan
kewenangan dari badan dan/atau pejabat pemerintahan yang lebih tinggi kepada badan
dan/atau pejabat pemerintahan yang lebih rendah dengan tanggung jawab dan tanggung
gugat tetap berada pada pemberi mandat.
Ruang lingkup pengaturan administrasi pemerintahan dalam undang-undang ini
meliputi semua aktivitas: a. Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan yang menyelenggarakan
fungsi pemerintahan dalam lingkup lembaga ekse-kutif; b. Badan dan/atau Pejabat
Pemerintahan yang menyelenggarakan fungsi Pemerintahan dalam lingkup lembaga
yudikatif; c. Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan yang menyelenggarakan fungsi
pemerintahan dalam lingkup lembaga legislatif; dan d. Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan
lainnya yang menyelenggarakan fungsi pemerintahan yang disebutkan Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan/atau undang-undang.
Penyelenggaraan administrasi pemerintahan berdasarkan: a. asas lega-litas; b. asas
pelindungan terhadap hak asasi manusia; dan c. AUPB. Pejabat pemerintahan memiliki hak
untuk menggunakan kewenangan dalam meng-ambil keputusan dan/atau tindakan. Hak
tersebut meliputi: a. melaksanakankewenangan yang dimiliki berdasarkan ketentuan
peraturan perundang-undangan dan AUPB; b. menyelenggarakan aktivitas pemerintahan
berda-sarkan Kewenangan yang dimiliki; c. menetapkan keputusan berbentuk tertulis atau
elektronis dan/atau menetapkan tindakan; d. menerbitkan atau tidak menerbitkan, mengubah,
mengganti, mencabut, menunda, dan/atau mem-batalkan keputusan dan/atau tindakan; e.
menggunakan diskresi sesuai de-ngan tujuannya; f. mendelegasikan dan memberikan
mandat kepada pejabat Pemerintahan lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan
perundangan-undangan; g. menunjuk pelaksana harian atau pelaksana tugas untuk me-
laksanakan tugas apabila pejabat definitif berhalangan; h. menerbitkan izin, dispensasi,
dan/atau konsesi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; i. memperoleh
perlindungan hukum dan jaminan keamanan dalam menjalankan tugasnya; j. memperoleh
bantuan hukum dalam pelaksanaan tugasnya; k. menyelesaikan sengketa kewenangan di
lingkungan atau wilayah kewenangannya; 1. menyelesaikan upaya administratif yang
diajukan masya-rakat atas keputusan dan/atau tindakan yang dibuatnya; dan 2. menjatuhkan
sanksi administratif kepada bawahan yang melakukan pelanggaran sebagai-mana diatur
dalam undang-undang ini. Upaya administratif tersebut terdiri atas: a. keberatan; dan
b. banding.
BAB IV

KEKUASAAN, WEWENANG, DAN KEWENANGAN

A. Konsep Dasar Wewenang Pemerintah


Kewenangan adalah apa yang disebut kekuasaan formal, kekuasaan yang berasal dari
kekuasaan yang diberikan oleh undang-undang, sedangkan wewenang hanya mengenai suatu
onderdeel (bagian) tertentu saja dari kewenangan. Wewenang merupakan lingkup tindakan
hukum publik, lingkup wewenang pemerintahan, tidak hanya meliputi wewenang membuat
keputusan pemerintah, tetapi meliputi wewenang dalam rangka pelaksanaan tugas, dan
memberikan wewenang serta distribusi wewe-nang utamanya ditetapkan dalam peraturan
perundang-undangan. Ditinjau secara yuridis, pengertian wewenang adalah kemampuan
yang diberikan oleh peraturan perundang-undangan untuk menimbulkan akibat-akibat
hukum (1994: 65). Wewenang adalah kekuasaan yang dilembagakan beadasarkan norma
hukum publik. Menteri dalam pelaksanaan tugas dan wewenang serta kekuasaannya harus
selalu berpedoman kepada asas-asas pemerintahan yang baik. Hal ini disebabkan asas-asas
umum pemerintahan yang baik merupakan norma hukum tak tertulis yang harus digunakan
sebagai pedoman bertindak/norma pemerintahan dalam pelaksanaan wewenang
pemerintahan disamping kewajiban menteri/pejabat pemerintah untuk mematuhi norma
hukum.
Kewenangan merupakan kekuasaan terhadap segolongan orang-orang tertentu atau
kekuasaan terhadap suatu bidang pemerintahan tertentu yang bulat. Adapun wewenang
hanya mengenai sesuatu onderdeel tertentu saja. Di dalam kewenangan terdapat wewenang-
wewenang. Wewenang adalah kekuasaan un-tuk melakukan sesuatu tindak hukum publik.
Kekuasaan memiliki makna yang sama dengan wewenang karena kekuasaan yang dimiliki
oleh Eksekutif, Legislatif dan Yudikatif adalah kekuasaan formal. Kekuasaan merupakan
unsur esensial dari suatu negara dalam proses penyelenggaraan pemerintahan di samping
unsur-unsur lainnya, yaitu: a) hukum; b) kewenangan (wewenang); c) keadilan; d) kejujuran;
e) ke-bijakbestarian; dan f) kebajikan (1998: 37-38). Wewenang merupakan landasan dan
syarat sah dari setiap tindakan hukum yang dilakukan oleh pemerintah.
Dalam hukum administrasi negara, ruang lingkup legalitas tindak pemerintahan
menyangkut 3 (tiga) aspek, yaitu: wewenang, prosedur, dan sub-stansi. Tidak terpenuhinya
tiga komponen legalitas tersebut mengakibatkan cacat yuridis suatu tindak pemerintahan.
Cacat yuridis menyangkut wewenang, prosedur dan substansi. Setiap tindak pemerintahan
disyaratkan harus bertumpu atas kewenangan yang sah. Kewenangan itu diperoleh melalui
tiga sumber, yaitu: atribusi, delegasi, dan mandat. Kewenangan atribusi ditentukan melalui
pembagian kekuasaan negara oleh Undang-Undang Dasar atau ditetapkan olehundang-
undang, kewenangan delegasi dan mandat adalah kewenangan yang berasal dari pelimpahan.
Asas umum prosedur berlandaskan atas 3 (tiga) landasan utama hukum administrasi, yaitu:
asas negara hukum, asas demokrasi, dan asas instrumental.
Badan dan/atau pejabat pemerintahan dikategorikan melampaui we-wenang apabila
keputusan dan/atau tindakan yang dilakukan: a. melampaui masa jabatan atau batas waktu
berlakunya wewenang; b. melampaui batas wilayah berlakunya wewenang; dan/atau c.
bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Badan dan/atau pejabat
pemerintahan dika-tegorikan mencampuradukkan wewenang apabila keputusan dan/atau
tindakan yang dilakukan: a. di luar cakupan bidang atau materi wewenang yang di-berikan;
dan/atau b. bertentangan dengan tujuan wewenang yang diberikan. Badan dan/atau pejabat
pemerintahan dikategorikan bertindak sewenang-wenang apabila keputusan dan/atau
tindakan yang dilakukan: a. tanpa dasar kewenangan; dan/atau b. bertentangan dengan
putusan pengadilan yang ber-kekuatan hukum tetap.

B. Atribusi, Delegasi, Dan Mandat


Kewenangan yang dimiliki oleh organ (institusi) pemerintahan dalam mela-kukan
perbuatan nyata (riil), mengadakan pengaturan atau mengeluarkan keputusan selalu
dilandasi oleh kewenangan yang diperoleh dari konstitusi secara atribusi, delegasi, maupun
mandat. Suatu atribusi menunjuk pada ke-wenangan yang asli atas dasar konstitusi (UUD).
Pada kewenangan delegasi, harus ditegaskan suatu pelimpahan wewenang kepada organ
pemerintahan yang lain. Pada mandat tidak terjadi pelimpahan apa pun dalam arti pemberian
wewenang, akan tetapi yang diberi mandat bertindak atas nama pemberi mandat. Dalam
pemberian mandat, pejabat yang diberi mandat menunjuk pe-jabat lain untuk bertindak atas
nama mandator (pemberi mandat). Ruang lingkup legalitas tindak pemerintahan meliputi
wewenang, prosedur, dan substansi. Wewenang dan substansi merupakan landasan bagi
legalitas formal.
Tidak terpenuhinya tiga komponen legalitas tersebut mengakibatkan terjadinya
kondisi cacat yuridis suatu tindak pemerintahan. Cacat yuridis tersebut bisa menyang-kut
wewenang, prosedur, dan substansi. Setiap tindak pemerintahan disyaratkan harus
didasarkan atas kewenangan yang sah. Kewenangan itu diperoleh me-lalui tiga sumber,
yaitu: atribusi, delegasi, dan mandat. Kewenangan atribusi lazimnya digariskan melalui
pembagian kekuasaan negara oleh Undang-Undang Dasar atau ditetapkan oleh Undang-
Undang, kewenangan delegasi dan mandat adalah kewenangan yang berasal dari
pelimpahan.
Atribusi merupakan kewenangan yang diberikan kepada suatu organ (institusi)
pemerintahan atau lembaga negara oleh suatu badan legislatif yang independen.
Kewenangan ini adalah asli, yang tidak diambil dari kewenangan yang ada sebelumnya.
Badan legislatif men-ciptakan kewenangan mandiri dan bukan perluasan kewenangan
sebelumnya dan memberikan kepada organ yang berkompeten. Delegasi adalah kewenangan
yang dialihkan dari kewenangan atribusi dari suatu organ (institusi) pemerintahan kepada
organ lainnya sehingga delegator (organ yang telah member kewenangan) dapat menguji
kewenangan tersebutatas namanya, sedangkan pada mandat, tidak terdapat suatu
pemindahan kewenangan tetapi pemberi mandat (mandator) memberikan kewenangan
kepada organ lain (mandataris) untuk membuat keputusan atau mengambil suatu tindakan
atas namanya.
Berkaitan dengan atribusi, delegasi dan mandat kini diatur dalam Undang-Undang
Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan. Pasal 1 angka 22 UU No. 30
Tahun 2014 dikatakan bahwa atribusi adalah pemberian Kewenangan kepada Badan
dan/atau Pejabat Pemerintahan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 atau Undang-Undang. Dalam hal ketentuan peraturan perundang-undangan
menentukan lain, badan dan/atau pejabat pemerintahan yang memperoleh wewenang melalui
delegasi tersebut dapat mensubdelegasikan tindakan kepada badan dan/atau pejabat
pemerintahan lain dengan ketentuan: a. dituangkan dalam bentuk per-aturan sebelum
wewenang dilaksanakan; b. dilakukan dalam lingkungan pe-merintahan itu sendiri; dan c.
paling banyak diberikan kepada badan dan/atau pejabat pemerintahan 1 (satu) tingkat di
bawahnya.
Dalam hal pelaksanaan wewenang berdasarkan mandat menimbulkan
ketidakefektifan penyelenggaraan pemerintahan, badan dan/ atau pejabat pemerintahan yang
memberikan mandat dapat menarik kembali wewenang yang telah dimandatkan. Badan
dan/atau pejabat pemerintahan yang memperoleh wewenang melalui mandat tidak
berwenang mengambil kepu-tusan dan/atau tindakan yang bersifat strategis yang berdampak
pada perubahan status hukum pada aspek organisasi, kepegawaian, dan alokasi anggaran.
Badan dan/atau pejabat pemerintahan yang memperoleh wewenang melalui mandat,
tanggung jawab kewenangannya tetap melekat pada pemberi mandat.

C. Struktur Organisasi Pemerintah Pusat Dan Daerah


Pembentukan struktur organisasi pemerintah dipengaruhi oleh kebutuhan untuk
melaksanakan fungsi negara oleh pemerintah yang lazimnya diwujudkan dalam
pembagian/distribusi kekuasaan pemerintah dan diikuti dengan dilaksanakannya
pembentukan struktur organisasi pemerintahan (pusat/daerah) untuk mendukung
pelaksanakan tugas pemerintah tersebut.
Berdasarkan pemikiran John Locke tersebut. Montesquieu membagi kekuasaan
kekuasaan negara menjadi 3 (tiga) yang dikenal sebagai Teori Trias Politica, yang meliputi:
a. Kekuasaan legislatif yang membuat peraturan peraturan perundang-undangan; b.
Kekuasaan eksekutif yang melaksanakan peraturan perundang-undangan; dan c. Kekuasaan
yudikatif yang diberi kekuasaan mempertahankan peraturan peraturan perundang-undangan.
Wirjono Prodjodikoro memperkenalkan Teori Sad Praja yang membagi kekuasaan negara
meliputi: a. Pemerintahan; b. Perundang-undangan; c. Peng-adilan; d. Keuangan; e.
Hubungan Luar Negeri; dan f. Pertahanan dan keamanan umum.
Lain halnya dengan AM Donner yang membagi kekuasaan negara menjadi 2 (dua),
dikenal dengan Teori Dwi Praja dan membagi kekuasaan negara meliputi: 1. Kekuasaan
menentukan tugas dari alat-alat pemerintah/menentukan politik negara dan 2. Kekuasaan
menyelenggarakan tugas yang telah ditentukan/merealisasikan politik negara yang telah
ditentukan sebelumnya. Pembagian kekuasaan negara di Indonesia dilakukan dalam wujud
sebagaimana terlihat pada bagan berikut:
Ditinjau dari teori mengenai pembagian kekuasan negara di Indonesia setelah
dilakukannya amandemen UUD Negara RI 1945 pola pembagian kekuasaan negara yang
dianut dalam UUD Negara RI 1945 menghasilkan Sapta Praja (7 lembaga tinggi negara)
yang merupakan hasil dari pembagian kekuasaan secara horizontal. Di sisi lain, pembagian
kekuasaan secara vertikal menghasilkan kekuasaan pemerintah pusat dan daerah.

Metode untuk menyelenggarakan pembagian kekuasaan secara vertikal didasarkan


atas beberapa macam:
a. Desentralisasi, yaitu penyerahan wewenang pemerintahan oleh Pemerintah kepada
Daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan peme-rintahan dalam sistem
Negara Kesatuan Republik Indonesia.
b. Dekonsentrasi, yaitu pelimpahan wewenang pemerintahan oleh Pemerin-tah kepada
Gubernur sebagai wakil pemerintah dan/atau kepada instansi vertikal di wilayah tertentu.
c. Tugas pembantuan, yaitu penugasan dari pemerintah kepada daerah dan/ atau desa dari
pemerintah provinsi kepada kabupaten/kota dan/atau desa serta dari pemerintah
kabupaten/kota kepada desa untuk melaksanakan tugas tertentu.
Ditinjau secara teoretis, pelembagaan kewenangan yang diberikan kepada
pemerintah dilaksanakan melalui beberapa hal penting dalam organisasi pemerintah.
a. Departemenisasi, yaitu aktivitas untuk menyusun satuan-satuan organisasi yang akan
diserahi bidang kerja tertentu atau fungsi tertentu. Departementasi adalah
pengelompokan kegiatan-kegiatan ke dalam suatu unit/subunit yang homogen atau
sejenis, yang diperlukan dalam suatu proses organisasi. Istilah "Departemen"berarti
bagian, seperti Departemen Pemerintahan yang merupakan bagian dari pemerintahan
secara keseluruhan.
b. Fungsi, yaitu sekelompok aktivitas sejenis berdasarkan kesamaan
sifatnya/pelaksanaannya.
c. Struktur organisasi, yaitu kerangka hubungan satuan-satuan organisasi yang di dalamnya
terdapat pejabat, tugas serta wewenang yang masing-masing mempunyai peranan
tertentu dalam kesatuan yang utuh.
Adapun asas organisasi tersebut terdiri atas beberapa macam berikut:
a. Pembagian habis tugas.
b. Asas Fungsionalisasi.
c. Asas Pendelegasian Wewenang.
d. Asas Beban Kerja.
e. Asas Kontinuitas/Kesinambungan.
f. Asas Fleksibilitasi.
g. Asas Rentang Kendali.
h. Asas Jalur dan Staf.
i. Asas perumusan tugas pokok yang jelas.
j. Asas kesederhanaan.
k. Asas Pengelompokan sehomogen mungkin.
Menurut Mintzberg struktur organisasi pada umumnya terbagi atas 5 elemen dasar.
1) Strategic Apex, bertanggung jawab dengan memastikan bahwa organisasi melayani
misinya dengan cara yang efektif, dan juga melayani kebutuhan pemilik/pemangku
kepentingan yang mengendalikan atau memiliki ke-kuasaan atas organisasi.
2) Middle Line, menjadi penghubung antara strategic apex dengan operating core
dengan menggunakan kewenangan formal yang didelegasikan padanya.
3) Techno Structure, para analis yang mempunyai tanggung jawab (mendukung atau
memengaruhi organisasi) dengan melaksanakan kegiatan dalam bentuk standarisasi
tertentu dalam organisasi.
4) Operating Core, para pegawai yang melaksanakan pekerjaan dasar yang
berhubungan dengan produksi barang dan jasa.
5) Support Staff, orang-orang yang mengisi unit staf, yang memberi jasa pendukung
tidak langsung kepada organisasi (di luar jalur kerja operasi). Dalam proses
melaksanakan departementasi dapat digunakan dasar atau ukuran tertentu, tergantung
dari kebutuhan dan untuk menjamin kelancaran serta efisiensi pelaksanaan tugas.
Pada umumnya, dasar yangdigunakan dalam pengelompokan kegiatan atau
departementasi tersebut ialah sebagai berikut:
1. Departemen menurut fungsi.
2. Departementasi menurut produk atau hasil yang harus diusahakan.
3. Departementasi menurut proses atau urutan kegiatan.
4. Departementasi Menurut Langganan atau Klien.
5. Departementasi menurut daerah atau wilayah kerja.
6. Departementasi menurut macam peralatan yang digunakan.
7. Departementasi menurut waktu.
8. Departementasi menurut matriks.
Berikut contoh departemenisasi yang dilakukan di lingkungan organisasi pemerintah.
Dalam proses penyusunan struktur organisasi pemerintah perlu diper-hatikan konsep
mengenai span of control (rentangan kontrol). Rentangan Kontrol ialah jumlah terbanyak
bawahan langsung yang dapat dipimpin dengan baik oleh seorang atasan tertentu. Rentangan
kontrol dipengaruhi oleh jumlah jenjang organisasi. Jumlah jenjang organisasi yang benar
adalah sependek mungkin (efektivitas). Jenjang organisasi yang terlalu panjang akan
berakibat adanya hambatan dan penghamburan. Pelaksanaan fungsi organisasi harus
berpedoman pada prinsip efektivitas dan efisiensi.
Struktur organisasi dapat dikelompokkan menjadi 3 (tiga) macam:
1) Struktur organisasi pipih: yaitu struktur organisasi yang melaksanakan jenjang
organisasi antara 2 s.d. 3 tingkat.
2) Struktur organisasi datar, struktur organisasi yang melaksanakan jenjang organisasi
s.d. 4 tingkat.
3) Struktur organisasi curam, struktur organisasi yang melaksanakan jen-jang organisasi
s.d. 5 tingkat.
Urusan tertentu dalam pemerintahan dibagi ke dalam 3 (tiga) tipe:
1) Urusan pemerintahan yang nomenklatur kementeriannya secara tegas di-sebutkan
dalam UUD Negara RI 1945;
2) Urusan pemerintahan yang ruang lingkupnya disebutkan dalam UUD Negara RI
1945;
3) Urusan pemerintahan dalam rangka penajaman, koordinasi, dan sinkro-nisasi
program pemerintah.
Susunan organisasi kementerian tipe 1 terdiri atas:
1. Pemimpin, yaitu menteri;
2. Pembantu pemimpin, yaitu sekretariat jenderal;
3. Pelaksana tugas pokok, yaitu direktorat jenderal;
4. Pengawas, yaitu inspektorat jenderal;
5. Pendukung; yaitu badan dan/atau pusat;
6. Pelaksana tugas pokok di daerah dan/atau perwakilan luar negeri sesuai
dengan peraturan perundang-undangan.
Susunan organisasi kementerian (tipe 2) terdiri atas:
1. Pemimpin, yaitu menteri;
2. Pembantu pemimpin, yaitu sekretariat jenderal;
3. Pelaksana, yaitu direktorat jenderal;
4. Pengawas, yaitu inspektorat jenderal;
5. Pendukung, yaitu badan dan/atau pusat.
Susunan organisasi kementerian (tipe 3) terdiri atas:
1. Pemimpin, yaitu menteri;
2. Pembantu pemimpin, yaitu sekretariat kementerian;
3. Pelaksana, yaitu deputi;
4. Pengawas, yaitu inspektorat.
Presiden tidak dapat mengubah dan membubarkan kementerian luar ne-geri, dalam
negeri, dan pertahanan. Presiden dapat mengubah kementerian tipe 2 dan 3 dengan
pertimbangan: a. efisiensi dan efektivitas; b. perubahan dan/atau perkembangan tugas dan
fungsi; c. cakupan tugas dan proporsionalitas beban tugas; d. kesinambungan, keserasian,
dan keterpaduan pelaksanaan tugas; e. peningkatan kinerja dan beban kerja pemerintah; f.
kebutuhan penanganan urusan tertentu dalam pemerintahan secara mandiri; dan/atau
kebutuhan penyesuaian peristilahan yang berkembang.
Pengelompokan organisasi Perangkat Daerah didasarkan pada konsepsi
pembentukan organisasi yang terdiri atas 5 (lima) elemen, yaitu kepala Daerah (strategic
apex), sekretaris Daerah (middle line), dinas Daerah (operating core), badan/fungsi
penunjang (technostructure), dan staf pendukung (supporting staff). Dinas Daerah
merupakan pelaksana fungsi inti (operating core) yang melaksanakan tugas dan fungsi
sebagai pembantu kepala Daerah dalam me-laksanakan fungsi mengatur dan mengurus
sesuai bidang Urusan Pemerintahan yang diserahkan kepada Daerah, baik urusan wajib
maupun urusan pilihan. Badan Daerah melaksanakan fungsi penunjang (technostructure)
yang melaksanakan tugas dan fungsi sebagai pembantu kepala Daerah dalam melaksanakan
fungsi mengatur dan mengurus untuk menunjang kelancaran pelaksanaan fungsi
inti (operating core).

BAB V

TINDAKAN PEMERINTAH

A. Konsep Tindakan Pemerintah


Dalam hukum administrasi negara konsep mengenai tindakan pemerintah termasuk
konsep utama dalam teori hukum administrasi negara karena seluruh rangkaian teori dalam
hukum administrasi negara berkaitan erat dengan pembahasan mengenai hubungan antara
pemerintah dengan rakyat (de relatie tussen overheid en bestuur). Tindakan pemerintah
(bestuurshandeling) adalah setiap tindakan atau perbuatan yang dilakukan oleh alat
perlengkapan pemerintahan (bestuursorgaan) dalam menjalankan fungsi pemerintahan
(bestuursfunctie). Jika mengacu pada pendapat HJ. Romeijn, tindakan hukum pemerintah
merupakan suatu pernyataan kehendak yang muncul dari organ administrasi dalam keadaan
khusus, dimaksudkan untuk menimbulkan akibat hukum dalam bidang hukum administrasi.
Dalam teori hukum administrasi negara, tindakan pemerintah sendiri dapat
diklasifikasikan atas tindakan hukum (rechtshandeling) dan tindakan faktual/materiil
(materielehandeling). Tindakan hukum pemerintah adalah tindakan yang dilakukan oleh
pemerintah yang didasarkan atas norma-norma hukum tertentu dan ditujukan untuk
menimbulkan akibat hukum di bidang hukum tertentu. Tindakan faktual/materiil pemerintah
adalah tindakan yang dilakukan oleh pemerintah dalam rangka melayani kebutuhan
faktual/materiil rakyat dan tidak ditujukan untuk menimbulkan akibat hukum.
Tindakan hukum pemerintah dapat diklasifikasikan atas tindakan hukum
perdata/privat dan tindakan hukum public. Klasifikasi tersebut tidak dapat dilepaskan dari
kedudukan pemerintah yang bisa bertindak dalam dua segi, yaitu pemerintah bisa bertindak
sebagai aktor dalam hukum publik atau aktor hukum perdata/privat. Unsur-unsur tindakan
hukum pemerintah meliputi:
1. Perbuatan itu dilakukan oleh aparat pemerintah dalam kedudukannya sebagai
penguasa maupun sebagai alat perlengkapan pemerintahan (bestuursorganen)
dengan prakarsa dan tanggung jawab sendiri.
2. Perbuatan tersebut dilaksanakan dalam rangka menjalankan fungsi pemerintahan.
3. Perbuatan tersebut dimaksudkan sebagai sarana untuk menimbulkan akibat
hukum di bidang hukum administrasi.
4. Perbuatan yang bersangkutan dilakukan dalam rangka pelaksanaan kepentingan
negara dan rakyat.
5. Perbuatan itu didasarkan pada peraturan perundang-undangan.
Tindakan hukum publik adalah tindakan-tindakan hukum yang dilakukan oleh
penguasa dalam menjalankan fungsi pemerintahan. Tindakan hukum public dilakukan
berdasarkan kewenangan pemerintah yang bersifat hukum publik yang hanya dapat lahir
dari kewenangan yang bersifat hukum publik pula. Sedangkan tindakan hukum privat
merupakan tindakan hukum yang didasarkan pada ketentuan hukum keperdataan. Tindakan
Badan atau Pejabat dapat dikategorikan menjadi 3 macam, yakni: a. Tindakan membuat
keputusan (beschikking); b. Tindakan membuat peraturan (regeling); c. Tindakan materiil
(materiele daad).
Akibat dari tindakan hukum pemerintah bisa menimbulkan beberapa perubahan hak,
kewajiban atau kewenangan yang ada, menimbulkan perubahan kedudukan hukum bagi
seseorang atau obyek yang ada dan terdapat hak-hak, kewajiban, kewenangan ataupun status
tertentu yang ditetapkan. Tindakan hukum perdata/privat pemerintah merupakan tindakan
hukum yang dilakukan oleh pemerintah yang didasarkan atas norma-norma di bidang hukum
perdata/privat dan ditujukan untuk menimbulkan akibat di bidang hukum privat/keperdataan.
Pemerintah melakukan tindakan hukum perdata/privat, maka pemerintah menempatkan diri
sejajar sebagai subjek hukum privat. Dengan demikian, seluruh syarat sah yang berlaku
dalam hukum privat/perdata bagi subjek hukum privat/perdata juga berlaku bagi pemerintah.
Tindakan Badan atau Pejabat dapat dikategorikan menjadi tiga bagian yakni: a.
Tindakan membuat Keputusan (beschikking); b. Tindakan membuat Peraturan (regeling);
dan c. Tindakan Materiil (materiele daad). Istilah Keputusan Tata Usaha Negara pertama
kali diperkenalkan oleh seorang sarjana Jerman yang bernama Otto Meyer dengan istilah
verwaltungsakt. Istilah ini diperkenalkan di negeri Belanda dengan nama beschikking oleh
van Vollenhoven dan C.W. van der Pot, yang oleh beberapa penulis, seperti A.M. Donner,
H.D. van Wijk/Willemkonijnenbelt, dan lain-lain dianggap sebagai de vader van het modern
beschikkingsbegrip (Bapak dari konsep beschikking yang modern). Di Indonesia istilah
beschikking diperkenalkan pertama kali oleh WF. Prins.

B. Keputusan Tata Usaha Negara Sebagai Unsur Tindakan Pemerintah


Menurut Van der Pot Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN) sebagai pernyataan
kehendak dari organ pemerintahan untuk melaksanakan hal khusus, ditujukan untuk
menciptakan hubungan hukum baru, mengubah atau menghapus hubungan hukum yang ada.
Ten Berge berpendapat bahwa KTUN merupakan Keputusan hukum publik yang bersifat
konkret dan individual, keputusan itu berasal dari organ pemerintahan, yang didasarkan pada
kewenangan hukum publik, dibuat untuk satu atau lebih individu atau berkenaan dengan
satu atau lebih perkara atau keadaan. Keputusan itu memberikan suatu kewajiban pada
seseorang atau organisasi, memberikan kewenangan.
Pada section 35 UU Prosedur Administrasi Jerman Tahun 1976, Keputusan Tata
Usaha Negara didefinisikan sebagai setiap perintah, keputusan atau tindakan penguasa yang
lain yang diambil oleh pejabat yang berwenang untuk suatu peraturan perundang-undangan
dari sebuah peristiwa khusus yang terletak di wilayah hukum publik dan diarahkan untuk
menimbulkan segera akibat hukum keluar. Dalam Hukum Administrasi Jerman, Keputusan
TUN (verwaltungsakt) merupakan suatu konsep inti yang mencakup banyak tindakan dari
pejabat TUN yang melaluinya menimbulkan pengaruh terhadap kepentingan-kepentingan
individu (Singh, 1985: 36). Keputusan TUN merupakan tindakan hukum yang mengemas
berbagai pengalaman hidup keseharian warga masyarakat dalam bentuk penerimaan
kemanfaatan tertentu, belajar mengemudi, membangun gedung atau membayar pajak.
Kualitas hukum dari Keputusan TUN seyogianya merupakan persoalan yang penting bagi
warga masyarakat. Hal itu terlihat dari tiga hal. Pertama, pada saat menetapkan Keputusan
TUN badan atau pejabat TUN harus memperlakukan warga masyarakat sesuai dengan hak-
hak yang mereka miliki, termasuk hak atas kesamaan perlakuan dan kepastian hukum.
Kedua, memberikan perlindungan hukum terhadap hak pihak ketiga, dalam hal ini, mereka
tidak boleh mengalami kerugian sebagai akibat hukum dari suatu Keputusan TUN tanpa
mendapat kompensasi. Ketiga, publik berhak atas perlidungan atas kepentingan umum.
Huismann berpendapat bahwa KTUN merupakan keputusan yang berasal dari organ
pemerintahan yang ditujukan untuk menimbulkan akibat hukum. Utrecht mendefinisikan
KTUN sebagai perbuatan hukum publik bersegi satu yang dilakukan oleh alat-alat
pemerintahan berdasarkan suatu kekuasaan istimewa. Ada beberapa definisi tentang
beschikking yang diberikan oleh para ahli hukum administrasi negara, sebagai berikut:
1. Ketetapan adalah pernyataan kehendak oleh organ pemerintah untuk
(melaksanakan) hal khusus, ditujukan untuk menciptakan hubungan hukum baru,
mengubah atau menghapus hubungan hukum yang ada.
2. Ketetapan adalah suatu pernyataan kehendak yang disebabkan oleh surat
permohonan yang diajukan, atau setidak-tidaknya keinginan atau keperluan yang
dinyatakan.
3. Secara sederhana, definisi ketetapan dapat diberikan suatu tindakan hukum
publik sepihak dari organ pemerintahan yang ditujukan pada peristiwa konkret.
4. Ketetapan adalah keputusan hukum publik yang bersifat konkret dan individual.
Keputusan itu berasal dari organ pemerintahan, yang didasarkan pada
kewenangan hukum publik. Dibuat untuk satu atau lebih perkara atau keadaan.
Keputusan itu memberikan suatu kewajiban pada seseorang atau organisasi,
memberikan kewenangan atau hak pada mereka.
5. Secara umum ketetapan dapat diartikan keputusan yang berasal dari organ
pemerintahan yang ditujukan untuk menimbulkan akibat hukum.
6. Beschikking adalah keputusan tertulis dari administrasi Negara yang mempunyai
akibat hukum.
7. Beschikking adalah perbuatan hukum publik bersegi satu (yang dilakukan oleh
alat-alat pemerintahan berdasarkan suatu kekuasaan istimewa).
8. Beschikking adalah suatu tindakan hukum yang bersifat sepihak dalam bidang
pemerintahan yang dilakukan oleh suatu badan pemerintah berdasarkan
wewenang yang luar biasa.
Berdasarkan pengertian dan cakupan dari keputusan Tata Usaha Negara (KTUN)
dalam A User's Guide to Administrative Decision Making dan GUIDELINES Exercise of
discretion in administrative decisionmaking dapat ditarik kesimpulan, yaitu:
1. Suatu Keputusan Tata Usaha Negara ditetapkan berdasarkan perintah peraturan
perundang-undangan dan ditujukan kepada seseorang atau badan hukum perdata
tertentu.
2. Suatu Keputusan Tata Usaha Negara dapat mengandung unsur penggunaan
diskresi.
3. Diskresi dalam penetapan suatu Keputusan Tata Usaha Negara bisa dibuat
apabila pembuat Keputusan TUN memiliki kekuasaan untuk membuat pilihan
untuk bertindak atau tidak bertindak.
Dalam hukum administrasi negara, Keputusan Tata Usaha Negara dapat
diklasifikasikan berdasarkan jenis-jenisnya, yaitu:
1. KTUN deklaratoir dan KTUN konstitutif
KTUN deklaratoir merupakan KTUN yang menetapkan mengikatnya suatu
hubungan hukum atau ketetapan itu maksudnya mengakui suatu hak yang sudah
ada. KTUN konstitutif merupakan KTUN yang melahirkan atau menghapuskan
suatu hubungan hukum atau ketetapan itu menimbulkan suatu hak baru yang
sebelumnya tidak dipunyai oleh seseorang yang namanya tercantum dalam
ketetapan itu.
2. KTUN yang menguntungkan dan yang memberi beban
KTUN yang menguntungkan adalah KTUN yang memberikan hak atau
kemungkinan untuk memperoleh sesuatu yang tanpa adanya ketetapan itu tidak
akan ada atau jika ketetapan itu memberikan keringanan beban yang ada atau
yang mungkin ada. KTUN yang memberi beban adalah KTUN ketetapan yang
meletakkan kewajiban yang sebelumnya tidak ada atau ketetapan mengenai
penolakan terhadap permohonan untuk memperoleh keringanan.

3. KTUN eenmalig dan permanen


KTUN Eenmalig adalah KTUN yang hanya berlaku sekali atau sepintas lalu atau
ketetapan yang bersifat kilat (vluchtige beschikking), contohnya: IMB, izin
keramaian, dan lain-lain. KTUN Permanen adalah Ketetapan yang memiliki
masa berlaku yang lama.
4. KTUN bebas dan terikat
KTUN Bebas adalah ketetapan yang didasarkan atas kebebasan bertindak
(discretionnaire bevoegdheid) yang dimiliki oleh pejabat tata usaha negara
KTUN Terikat merupakan ketetapan yang hanya melaksanakan ketentuan yang
sudah ada tanda adanya ruang kebebasan bagi pejabat yang menetapkan.
5. KTUN positif dan negatif
KTUN Positif adalah ketetapan yang menimbulkan hak dan kewajiban bagi yang
dikenai ketetapan. KTUN Negatif merupakan ketetapan yang tidak menimbulkan
perubahan hukum yang telah ada.
KTUN Positif meliputi:
a. KTUN yang pada umumnya melahirkan keadaan hukum baru.
b. KTUN yang melahirkan keadaan hukum baru bagi objek tertentu.
c. KTUN yang menyebabkan berdirinya atau bubarnya badan hukum.
d. KTUN yang membebankan kewajiban baru kepada seseorang atau beberapa
orang (perintah).
e. KTUN yang memberikan hak baru kepada seseorang atau beberapa orang
(keputusan yang menguntungkan).

KTUN Negatif dapat berbentuk pernyataan tidak berwenang, pernyataan tidak


diterima atau suatu penolakan. Dalam Hukum Administrasi Jerman, Keputusan
TUN diklasifikasikan berdasarkan kelompok yang dituju oleh suatu Keputusan
TUN.

Dalam hukum administrasi negara, suatu Keputusan Tata Usaha Negara harus
memenuhi syarat-syarat sah yang meliputi syarat-syarat materiil dan syarat-syarat formil.
Syarat-syarat materiil suatu Keputusan TUN meliputi: 1. Organ pemerintahan yang
menetapkan harus berwenang; 2. Tidak boleh mengandung kekurangan yuridis seperti
penipuan, paksaan, suap, atau kesesatan; 3. KTUN harus ditetapkan berdasarkan suatu
keadaan/situasi tertentu; 4. KTUN dilaksanakan tanpa melanggar peraturan-peraturan lain
serta isi dan tujuannya harus sesuai dengan isi dan tujuan peraturan dasarnya. Sedangkan
syarat-syarat formil suatu Keputusan TUN mencakup: 1. Syarat-syarat yang berkaitan
dengan persiapan dibuatnya KTUN dan cara dibuatnya KTUN harus dipenuhi; 2. KTUN
harus diberi bentuk yang telah ditentukan dalam peraturan dasarnya; 3. Syarat-syarat yang
berhubungan dengan pelaksanaan KTUN itu harus dipenuhi; dan 4. Jangka waktu harus
ditentukan antara timbulnya hal-hal yang menyebabkan dibuatnya dan diumumkannya
KTUN itu harus diperhatikan.
Tidak dipenuhinya syarat sah berakibat Keputusan TUN tidak sah dan akibat
hukumnya bisa menyebabkan Keputusan TUN tersebut:
1. Batal karena hukum (nietig van rechtswege).
2. Batal (nietig).
3. Dapat dibatalkan (vernietigbaar).
Menurut ahli hukum administrasi negara van der Wel, tidak sahnya suatu Keputusan
TUN bisa berakibat suatu Keputusan TUN tersebut:
1. Batal karena hukum (van rechtswege).
2. Kekurangan itu menjadi sebab atau menimbulkan kewajiban untuk mem-batalkan
KTUN itu sebagian atau seluruhnya.
3. Kekurangan itu menyebabkan alat pemerintah yang lebih tinggi dan yang
berkompeten untuk menyetujui/meneguhkannya, tidak sanggup memberi
persetujuan/peneguhan.
4. Kekurangan itu tidak memengaruhi berlakunya KTUN.
5. Karena kekurangan itu, KTUN yang bersangkutan dikonversi dalam KTUN lain.
6. Dinyatakan tidak mengikat oleh hakim.
Tabel berikut ini memperlihatkan perbedaan antara batal (nietig), batal demi hukum
(van rechtswege nietig) dan dapat dibatalkan (vernietigbaar)

Suatu Keputusan TUN dalam teori hukum administrasi negara memiliki kekuatan
hukum formal dan kekuatan hukum materiil. Kekuatan hukum formil adalah pengaruh yang
timbul karena keberadaan KTUN itu. Suatu KTUN dianggap memiliki kekuatan hukum
formal jika tidak dapat dibantah lagi melalui suatu sarana hukum (rechtsmiddel) yang
tersedia dalam hukum. Kekuatan hukum formal tersebut dapat diperoleh sebagai berikut:
1. KTUN telah mendapat persetujuan untuk berlaku dari badan atau pejabat tata
usaha negara yang lebih tinggi yang berhak memberikan persetujuan tersebut.
2. Suatu KTUN dalam hal permohonan banding terhadap ketetapan itu ditolak atau
karena pihak yang berkepentingan tidak menggunakan hak untuk mengajukan
upaya hukum (upaya administratif atau gugatan) dalam jangka waktu yang
ditentukan dalam UU.
Kekuatan hukum materiil adalah pengaruh yang timbul karena isi/substansi yang ada
dalam KTUN itu. Suatu KTUN mempunyai kekuataan hukum materiil jika KTUN itu tidak
dapat lagi ditiadakan oleh badan atau pejabat tata usaha negara yang membuatnya. Dalam
hukum administrasi negara, suatu Keputusan Tata Usaha Negara juga dapat
dibatalkan/ditarik kembali oleh badan atau pejabat tata usaha negara yang menetapkannya,
hal demikian dikenal dengan istilah executive review. Namun, penarikan kembali suatu
Keputusan TUN tersebut harus memerhatikan asas-asas penarikan kembali suatu Keputusan
TUN. Asas-asas penarikan kembali suatu Keputusan TUN tesebut menurut Prins meliputi
hal-hal berikut:
1. Suatu KTUN yang dibuat karena yang bersangkutan menggunakan tipuan,
senantiasa dapat ditiadakan ab ovo, artinya dari permulaan Keputusan TUN
tersebut dianggap tidak ada.
2. Suatu KTUN yang isinya belum diberitahukan kepada yang dituju, dapat
ditiadakan ab ovo.
3. KTUN yang bermanfaat bagi yang dituju dan dikaitkan dengan syarat-syarat
tertentu, hanya dapat ditarik kembali jika syarat-syarat tersebut tidak dipenuhi.
4. Suatu KTUN yang bermanfaat bagi yang dituju tidak boleh ditarik kembali
setelah jangka waktu tertentu lewat, jika karena penarikan kembali KTUN itu
suatu keadaan yang layak sebagai akibat adanya KTUN itu berubah menjadi
keadaan tidak layak.
5. Jika oleh suatu KTUN yang tidak benar ditimbulkan suatu keadaan yang tidak
layak, keadaan itu tidak dapat ditiadakan jika menimbulkan kerugian yang lebih
besar daripada kerugian sebelumnya.
6. Menarik atau mengubah suatu KTUN, harus ditentukan menurut cara yang sama
sebagaimana yang ditentukan bagi pembuatan KTUN tersebut (contrarius actus).
Keputusan TUN sebagai suatu wujud dari tindakan hukum administrasi negara
eksistensi dan keberlakuannya bisa diklasifikasikan atas beberapa fase. Masa berlakunya
suatu KTUN sebagai tindak administratif meliputi:
1. Fase mulai berlakunya.
Fase mulai berlakunya suatu Keputusan TUN yang meliputi 2 hal, yaitu: (1).
Validitas, artinya syarat mulai berlakunya suatu tindak administratif secara
yuridis formil (saat valid/sahnya), yakni pada saat ditandatanganinya suatu
KTUN tersebut oleh pejabat yang berwenang. Dengan demikian, keberlakuan
suatu Keputusan TUN tidak berlaku surut (retroaktif); (2). Opposabilitas, artinya,
syarat mulai berlakunya suatu KTUN adalah bilamana opposabilitas (hak
perlawanan) dari masyarakat dapat mulai dipergunakan, yaitu pada umunya
setelah KTUN diumumkan menurut prosedur dan bentuk yang ditentukan dalam
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
2. Fase penerapan (toepassing).
Pada fase ini suatu Keputusan TUN merupakan wujud realisasi dari hak dan
kewajiban bagi yang subjek hukum yang dituju sebagaimana sebelumnya telah
dikonstruksi dalam peraturan perundang-undangan. Penerapan norma hukum
yang bersifat umum-abstrak ke dalam norma hukum yang bersifat konkret-
individual tersebut merupakan konkretisasi hak dan kewajiban yang dalam
peraturan perundang-undangan masih bersifat umum dan abstrak menjadi bersifat
konkret-individual karena sudah dikaitkan dengan kepentingan-kepentingan
subjektif dari subjek hukum
3. Fase berakhirnya (expirasi atau habis berlakunya).
Fase berakhirnya suatu Keputusan TUN terdiri atas 3 (tiga) hal, yaitu:
1. Expirasi, selesai berlakunya suatu KTUN karena pejabat yang menetapkan telah
menentukan suatu masa berlaku tertentu.
2. Anulasi, selesai berlakunya suatu KTUN karena adanya pembatalan sebagai
akibat ilegalitas suatu KTUN itu.
3. Disparitie, selesai berlakunya suatu KTUN karena perubahan situasi atau kondisi
yang menjadi dasar penetapan.
Penarikan suatu Keputusan TUN dalam Hukum Administrasi Negara dapat
meliputi 3 (tiga) sifat, yaitu:
1. Retroactive, bersifat anulasi, pencabutan kembali suatu KTUN yang ditujukan
untuk menghapuskan tindakan administratif dan akibat hukum yang
ditimbulkannya, seakan-akan tidak pernah terjadi sesuatu.
2. Revocative, pencabutan suatu KTUN untuk menghapuskan tindak administratif
dimulai sejak saat penarikan tersebut hingga seterusnya, dengan tanpa
menggantikan melalui KTUN baru.
3. Abrogative, penarikan kembali suatu KTUN dimaksudkan untuk menghapus
tindak administratif itu untuk masa yang akan datang dimulai sejak saat
penarikan itu hingga seterusnya, akan tetapi dengan menggantikan melalui
KTUN yang lebih sesuai.

BAB VI

STANDAR WEWENANG PEMERINTAH

A. Konsep Tindakan Pemerintah


Dalam hukum administrasi negara, hakikat fungsi pemerintah adalah melaksanakan
fungsi pemerintahan (studerende functie). Pelaksanaan fungsi pemerintah tersebut diarahkan
untuk mencapai tujuan mewujudkan kesejahteraan masyarakat dalam suatu Negara
Kesejahteraan (welfare state). Hukum administrasi negara berkaitan dengan fungsi dari
badan-badan administrasi negara sejauh fungsi tersebut dibutuhkan dalam kehidupan
masyarakat. Hubungan administrasi negara adalah suatu bentuk relasi antara penguasa
dengan rakyat dalam kehidupan masyarakat yang dilaksanakan melalui tindakan-tindakan
hukum administrasi negara. Dalam Hukum Administrasi negara tindakan hukum
administrasi negara yang dilakukan pemerintah menimbulkan hubungan hukum.
Tindakan hukum yang dilakukan oleh pemerintah dalam kapasitasnya sebagai
penguasa (overheid) yang menyebabkan timbulnya suatu hubungan hukum administrasi
negara antara pemerintah dengan rakyat tersebut harus selalu diarahkan untuk mencapai
tujuan-tujuan pemerintahan dalam suatu negara hukum. Hukum administasi negara
memainkan dua peranan. Di satu sisi, hukum administrasi negara menyediakan sarana-
sarana yuridis bagi penguasa untuk merealisasikan tujuan-tujuan pemerintahan. Di sisi lain,
menyediakan kepada rakyat dan lain-lain badan penguasa jaminan-jaminan terhadap
tindakan pemerintah yang tidak tepat dan tidak sah. Dengan demikian, hukum administrasi
negara menyediakan sarana-sarana administrasi negara dan jaminan pemerintahan.
Selanjutnya, De Haan, dkk (1986: 7) menyatakan bahwa tindakan-tindakan pemerintah tidak
hanya harus sesuai dengan prinsip legalitas (bersandarkan pada peraturan perundang-
undangan, akan tetapi juga terikat pada legitimasi (kesesuaian isinya dengan hukum).
Guna mewujudkan jaminan pemerintahan dalam memberikan perlindungan hukum
bagi rakyat terhadap setiap tindakan pemerintah yang dilakukan, maka tindakan administrasi
negara yang dilakukan pemerintah harus sesuai dengan standar penggunaan wewenang
pemerintahan. Standar dalam penggunaan wewenang pemerintah tersebut meliputi standar
umum dan standar khusus bagi penggunaan wewenang pemerintah.
Standar umum wewenang pemerintah diatur dalam UU Adminstrasi Pemerintahan
maupun UU Peradilan Tata Usaha Negara. Dalam hukum administrasi negara tindakan
pemerintah harus sesuai memenuhi syarat sah dalam penggunaan wewenang pemerintahan.
Pada Pasal 8 UU Administrasi Pemerintahan ditentukan bahwa setiap Keputusan dan/atau
Tindakan harus ditetapkan dan/atau dilakukan oleh Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan
yang berwenang. Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan dalam menggunakan wewenang
wajib berdasarkan: a. peraturan perundang-undangan; dan b. AUPB. Pejabat Administrasi
Pemerintahan dilarang menyalahgunakan kewenangan dalam menetapkan dan/atau
melakukan keputusan dan/atau tindakan.
Pada Pasal 9 UU Administrasi Pemerintahan diatur bahwa setiap Keputusan dan/atau
Tindakan wajib berdasarkan ketentuan peraturan perundang- undangan dan AUPB.
Peraturan perundang-undangan tersebut meliputi: a. peraturan perundang-undangan yang
menjadi dasar kewenangan; dan b. peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar
dalam menetapkan dan/atau melakukan keputusan dan/atau tindakan. Badan dan/atau
Pejabat Pemerintahan dalam menetapkan dan/atau melakukan keputusan dan/atau tindakan
wajib mencantumkan atau menunjukkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang
menjadi dasar kewenangan dan dasar dalam menetapkan dan/atau melakukan keputusan
dan/atau tindakan. Ketiadaan atau ketidakjelasan peraturan perundang-undangan tersebut,
tidak menghalangi Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan yang berwenang untuk
menetapkan dan/atau melakukan keputusan dan/atau tindakan sepanjang memberikan
kemanfaatan umum dan sesuai dengan AUPB.
Berdasarkan Pasal 53 ayat (2) Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang
Perubahan Pertama atas UU No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara
ditentukan bahwa Keputusan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara tidak boleh
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan Asas-asas Umum
Pemerintahan yang Baik (AAUPB). Tindakan badan atau pejabat TUN dikatakan sah
apabila: (1) memiliki kesesuaian dengan peraturan perundang-undangan yang bersifat
prosedural/formal. Misalnya sebelum keputusan pemberhentian dikeluarkan, seharusnya
pegawai yang bersangkutan diberi kesempatan untuk membela diri; (2) Kesesuaian dengan
peraturan perundang-undangan yang bersifat material/substansial. Misalnya ketepatan dalam
menentukan kriteria hukuman disiplin sedang/berat agar sesuai dengan tingkat pelanggaran
hukuman disiplin yang dilakukan pegawai dan (3) Dikeluarkan oleh badan atau pejabat yang
berwenang.
Kewenangan merupakan kekuasaan untuk melakukan perbuatan hukum administrasi
yang secara atributif ditentukan dalam peraturan perundang-undangan kepada badan atau
pejabat tata usaha negara tertentu. Badan atas pejabat tata usaha negara tindakan yang
dilakukannya menjadi tidak sah apabila terdapat ketidakwenangan dalam melakukan
tindakan hukum administrasi negara tersebut. Ketidakewenangan tindakan hukum
administrasi negara tersebut mencakup: (1) Ketidakwenangan dari segi substansi/isi, yaitu
apabila suatu keputusan tidak ada dasarnya dalam peraturan perundang-undangan atau
apabila dikeluarkan oleh badan atau pejabat TUN yang tidak berwenang mengeluarkannya;
(2) Ketidakwenangan dari segi wilayah yurisdiksi kewenangan, keputusan TUN yang
dikeluarkan oleh badan atau pejabat TUN substansinya menyangkut pokok permasalahan
yang berada di luar batas wilayah (geografis) kewe-nangannya; dan (3) Ketidakwenangan
dari segi waktu (onbevoegdheid ratione temporis), badan atau pejabat TUN belum memiliki
kewenangan atau tidak berwenang lagi untuk mengeluarkan keputusan TUN, misalnya
karena jangka waktunya sudah lampau atau menerapkan peraturan lain sementara itu sudah
berlaku peraturan baru.
Jika mengacu pada Pasal 15 UU Administrasi Pemerintah, terdapat pem-batasan
wewenang bagi badan atau pejabat tata usaha negara. Wewenang Badan dan/atau Pejabat
Pemerintahan dibatasi oleh: a. masa atau tenggang waktu wewenang; b. wilayah atau daerah
berlakunya wewenang; dan c. cakupan bidang atau materi wewenang. Tindakan badan atau
pejabat tata usaha negara tidak boleh bertentangan dengan AAUPB. Dalam
perkembangannya ada AAUPB yang bersifat doktrinal, AA yang bersifat yuridis normatif
kare telah diatur dalam UU dan AAUPB yang bersumber dari nilai-nilai kearifan lokal.
Sejak dianutnya konsepsi welfare state dan menimbulkan adanya kekuasaan freies
Ermessen, timbullah suatu kekhawatiran dari warga negara atas terjadinya kesewenang-
wenangan oleh pemerintah. Oleh karena itu, pada tahun 1946 pemerintah Belanda membuat
suatu komisi yang diketuai oleh De Monchy, Komisi ini selanjutnya disebut dengan komisi
de Monchy yang bertujuan untuk memikirkan dan meneliti beberapa alternative untuk
meningkatkan perlindungan hukum dari tindakan pemerintah yang menyimpang. Pada tahun
1950, komisi De Monchy kemudian melaporkan hasil penelitiannya tentang 'verhoodgde
rechtsbescherming' dalam bentuk AAUPB. Hasil penelitian komisi ini tidak seluruhnya
disetujui pemerintah. Pada akhirnya komisi ini dibubarkan dan dibentuk komisi yang baru
bernama komisi van de Greenten yang pada akhirnya dibubarkan juga. Dibubarkannya
kedua komisi ini disebabkan karena pemerintah Belanda sendiri pada waktu itu tidak
sepenuh hati dalam upaya meningkatkan perlindungan hukum warga negaranya. Meskipun
demikian, ternyata hasil penelitian de Monchy digunakan dalam pertimbangan putusan-
putusan Raad van State dalam perkara administrasi walaupun AAUPB tidak mudah dalam
memasuki wilayah birokrasi tetapi lain halnya dalam bidang peradilan.

B. ASAS-ASAS UMUM PEMERINTAHAN YANG BAIK (AAUPB)


Di Belanda, asas-asas umum pemerintahan dikenal dengan Algemene Beginselen
van Behoorllijke Bestuur (ABBB). Di Inggris dikenal dengan The Principal of Natural
Justice. Di Perancis disebut dengan Les Principaux Generaux du Droit Coutumier Publique.
Di Belgia disebut dengan Aglemene Rechtsbeginselen. Di Jerman dikenal sebagai
Verfassung Prinzipien. Di Indonesia dikenal dengan Asas-Asas Umum Pemerintahan yang
Baik (AAUPB). Di Belanda, asas-asas umum pemerintahan yang baik (ABBB) dipandang
sebagai norma hukum tidak tertulis, namun tetap harus ditaati oleh pemerintah. Diatur dalam
Wet AROB (Administrative Rechtspraak Overheidsbeschikkingen) yakni Ketetapan-
Ketetapan Pemerintah dalam Hukum Administrasi oleh Kekuasaan Kehakiman tidak
bertentangan dengan apa dalam kesadaran hukum umum merupakan asas-asas yang berlaku
(hidup) tentang pemerintahan yang baik.
Crince Le Roy mengemukakan bahwa ada 11 butir asas pemerintah yang layak
(principle of good administration) yang meliputi:
1. Asas kepastian hukum (principle of legal security).
Asas ini menghendaki dihormatinya hak yang telah diperoleh seseorang berdasarkan
keputusan badan atau pejabat TUN. Konsekuensi dari adanya asas ini adalah Pertama,
setiap keputusan yang sudah dikeluarkan tidak dicabut kembali, meskipun dalam keputusan
itu ternyata ada kekeliruan. Kedua, dalam hal keputusan itu dikeluarkan oleh pejabat yang
tidak berhak, maka Badan TUN harus mengakui adanya keputusan tersebut untuk
melindungi hak yang telah diperoleh seseorang sebagai akibat dikeluarkannya keputusan.
Ketiga, adanya rumusan kata-kata pada bagian akhir isi keputusan yang dibuat yang
berbunyi "apabila di kemudian hari ada kekeliruan dalam keputusan ini akan diperbaiki
sebagaimana mestinya" adalah bertentangan dengan asas kepastian hukum.
2. Asas keseimbangan (principle of proportionality).
Penjatuhan sanksi atau hukuman menurut asas ini harus seimbang nilainya dengan
bobot pelanggaran/kesalahan sehingga akan memenuhi keadilan. Contohnya: kalau
pelanggaran garis sepadan itu hanya selebar 40 cm tidak perlu seluruh gedung harus
dibongkar dan hukuman jabatan harus seimbang dengan kesalahan atau kealpaan pegawai.
3. Asas kesamaan dalam pengambilan keputusan pangreh (principle of equality).
Asas ini menghendaki agar Badan atau Pejabat TUN harus mengambil tindakan yang
sama terhadap kasus-kasus yang sama faktanya. Berkaitan dengan keputusan pemerintah
dalam masalah yang sama, tidaklah berarti diputuskan berdasarkan keputusan yang telah
ada, akan tetapi setiap masalah diputuskan secara kasus demi kasus dengan memperhatikan
sifat masalahnya yang sama agar tidak terjadi pertentangan. Badan administrasi seyogianya
akan berpegang teguh pada prinsip keadilan yang bertumpu pada kesamaan hak dan
kewajiban warga negara di hadapan hukum dan pemerintahan, seperti diatur dalam Pasal 27
UUD 1945. Asas persamaan berarti bahwa pada umumnya diambil keputusan sesuai dengan
kebijaksanaan, namun tidak berarti bahwa keputusan-keputusan yang salah yang tidak sesuai
dengan kebijaksanaan, untuk peristiwa yang serupa harus pula diulangi.
4. Asas bertindak cermat (Principle of Carefullness).
Badan atau pejabat TUN berdasarkan asas ini harus senantiasa bertindak secara hati-
hati agar tidak menimbulkan kerugian bagi warga masyarakat. Contohnya: Yurisprudensi
Hoge Raad tanggal 9 Januari 1942 menegaskan bahwa apabila ada bagian jalan yang
keadaannya tidak baik dan membahayakan, maka pemerintah harus memberi tanda atau
peringatan agar keadaan itu bisa diketahui oleh para pemakai jalan. Pemerintah dapat
digugat jika pemerintah lalai melakukan ini dan ternyata betul menimbulkan kecelakaan
(kerugian) bagi warga masyarakat. Berkaitan dengan masalah pembuatan keputusan, asas
kecermatan mengandung arti bahwa suatu keputusan harus dipersiapkan dan diambil dengan
cermat. Asas kecermatan dapat diklasifikasikan atas dua macam. Pertama, asas kecermatan
formal, dalam arti kecermatan pada waktu mempersiapkan pembentukan keputusan beserta
yang disebut asas fairplay atau sikap jujur dari instansi yang mengeluarkan keputusan
tersebut. Instansi yang bersangkutan pada waktu mempersiapkan keputusan harus sudah
memperoleh gambaran yang jelas mengenai semua fakta-fakta yang relevan maupun semua
kepentingan yang tersangkut, termasuk kepentingan pihak ketiga dengan cara mempelajari
dan meneliti semua pendapat dan keterangan-keterangan para pihak berkepentingan. Kedua,
asas kecermatan material menghendaki agar kerugian yang ditimbulkan kepada seseorang
itu jangan sampai melampaui yang diperlukan untuk melindungi suatu kepentingan yang
harus dilakukan dengan cara mengeluarkan keputusan yang bersangkutan.
5. Asas motivasi untuk setiap keputusan pangreh (principle of motivation).
Asas ini dimaksudkan agar dalam mengambil keputusan badan atau pejabat TUN
bersandar pada alasan atau motivasi yang cukup yang sifatnya benar, adil, dan jelas. Orang
yang terkena keputusan itu berdasarkan alasan atau motivasi ini menjadi tahu betul tentang
alasan-alasan keputusan itu sehingga apabila orang itu tidak menerimanya, dapat memilih
kontra-argumen yang tepat untuk naik banding. Suatu keputusan harus dapat didukung oleh
alasan-alasan yang dijadikan dasarnya, yang meliputi:
a. Syarat bahwa suatu ketetapan harus diberi alasan, dalam arti penyu-sunannya
harus rasional.
b. Ketetapan harus memiliki dasar fakta yang teguh, yakni bahwa ke-lompok
fakta yang menjadi titik tolak dari ketetapan harus benar.
c. Pemberian alasan harus cukup dapat mendukung, artinya alasan-alasan yang
dikemukakan harus cukup meyakinkan.
6. Asas jangan mencampuradukkan kewenangan (principle of non misuse of
competence).
Asas ini menghendaki agar Badan atau Pejabat TUN yang berwenang untuk
mengambil keputusan menurut hukum, tidak boleh menggunakan kewenangan itu untuk
tujuan selain dari tujuan yang telah ditetapkan untuk kewenangan itu.
7. Asas permainan yang layak (principle of fair play).
Badan atau Pejabat TUN berdasarkan asas ini harus memberikan kesempatan seluas-
luasnya untuk memperoleh informasi yang benar dan adil sehingga dapat pula memberikan
kesempatan yang luas untuk menuntut keadilan dan kebenaran. Badan atau pejabat TUN
dengan asas ini harus menghargai hak dari warga masyarakat untuk menggunakan upaya-
upaya hukum melalui administratief beroep maupun melalui badan-badan peradilan.
Pengertian asas fair play menurut Indroharto adalah instansi yang akan mengeluarkan
keputusan itu harus bersikap tidak akan menghalang-halangi kesempatan seseorang yang
berkepentingan untuk memperoleh suatu keputusan yang menguntungkan baginya, misalnya
instansi di tingkat upaya keberatan yang mempengaruhi instansi di tingkat banding
administratif agar menolak permohonan banding seseorang dalam upaya administratif.
Berkaitan dengan upaya memperoleh informasi, di Belanda melalui Openbaarheidswet
Nederland dibedakan dua jenis wajib informasi, yaitu:
a. Wajib informasi aktif dari penguasa, yakni kewajiban penguasa untuk
memberi informasi atas inisiatif sendiri.
b. Wajib informasi pasif, yakni kewajiban penguasa untuk memberikan
informasi atas permintaan warga.
8. Asas keadilan atau kewajaran
Asas ini menghendaki Badan atau Pejabat TUN dalam melakukan tindakan
pemerintahan tidak bertindak secara sewenang-wenang atau tidak layak (larangan willekur
atau kennelijk onredelijk).
9. Asas menanggapi pengharapan yang wajar (Principle of meeting raised
expectation).
Asas ini menghendaki apabila Badan atau Pejabat TUN telah membuat janji-janji
yang menimbulkan harapan kepada warga masyarakat atas janji tersebut, maka janji-janji itu
harus ditepati.
10. Asas meniadakan akibat-akibat suatu keputusan yang batal (principle of undoing
the consequences of annuled decision).
Asas ini menghendaki agar jika terjadi pembatalan atas suatu keputusan maka akibat
dari keputusan yang dibatalkan itu harus dihilangkan sehingga yang terkena keputusan harus
diberikan ganti rugi dan/atau rehabilitasi.
11. Asas perlindungan atas pandangan hidup/cara hidup pribadi (principle of
protecting the personal way of life).
Asas ini menghendaki agar pemerintah memberikan kebebasan atau hak kepada
setiap pegawai negeri untuk mengatur kehidupan pribadinya se-suai dengan pandangan
hidup (cara) hidup yang dianutnya. Pandangan (cara) hidup itu bagi kondisi di Indonesia
harus sesuai dengan falsafah bangsa Indonesia, yaitu Pancasila dan nilai-nilai moral yang
diakui bangsa Indonesia.
Terhadap 11 asas tersebut kemudian Koentjoro Purbopranoto menambahkan dua
asas lagi, yaitu:
1. Asas kebijaksanaan (principle of sapiently).
Asas ini menghendaki agar dalam melaksanakan tugasnya, pemerintah diberi
kebebasan untuk melakukan kebijaksanaan tanpa harus setiap kali menunggu instruksi.
Pemberian kebebasan ini berkaitan dengan tindakan aktif pemerintah untuk
menyelenggarakan kepentingan umum (publieke belang). Ali menyatakan bahwa dalam
lapangan hukum administrasi negara dikenal pula asas prioritas artinya memberikan
perlindungan dan mengutamakan kepentingan umum. Jabatan aparatur pemerintah di dalam
mengambil tindakan, haruslah selalu mendahulukan kepentingan umum daripada
kepentingan perorangan. Tugas pemerintah dalam negara hukum modern (welfare state)
tidak hanya melaksanakan peraturan perundang-undangan saja (eksekutif), tetapi harus
melakukan kebijaksanaan untuk menyelenggarakan kepentingan umum sesuai de-ngan
konsep peristilahan bestuur. Hadjon berpendapat bahwa pemikiran negara hukum abad XX
lebih mengedepankan penetapan tujuan daripada penetapan norma, lebih mengedepankan
rencana daripada instruksi, lebih mengedepankan kebijakan daripada pelaksanaan atau
penerapan.
2. Asas penyelenggaraan kepentingan umum (principle of public service).
Asas ini menghendaki agar dalam menyelenggarakan tugasnya, pemerintah selalu
mengutamakan kepentingan umum. Negara Indonesia adalah negara hukum yang dinamis
(welfare state) yang menuntut segenap aparat pemerintahannya melakukan kegiatan-
kegiatan yang menuju pada penyelenggaraan kepentingan umum sebagaimana esensi dari
alinea IV Pembukaan UUD Negara RI 1945 dan Pasal 33 serta 34 UUD Negara RI 1945.
Hal itu berarti asas penyelenggaraan kepentingan umum ini dengan sendirinya menjadi asas
pemerintahan yang baik di negara RI.

AAUPB dalam Pasal 53 ayat (2) UU No. 9 Tahun 2004 meliputi asas-asas, yaitu:
Asas Kepastian Hukum adalah asas dalam negara hukum yang mengutamakan landasan
peraturan perundang-undangan, kepatutan, dan keadilan dalam setiap kebijakan
penyelenggara negara. Asas Tertib Penyelenggaraan Negara adalah asas yang menjadi
landasan keteraturan, keserasian, dan keseimbangan dalam pengendalian penyelenggara
negara. Asas Kepentingan Umum adalah asas yang mendahulukan kesejahteraan umum
dengan cara yang aspiratif, akomodatif, dan selektif. Asas Keterbukaan adalah asas yang
membuka diri terhadap hak masyarakat untuk memperoleh informasi yang benar, jujur, dan
tidak diskriminatif tentang penyelenggaraan negara dengan tetap memerhatikan
perlindungan atas hak asasi pribadi, golongan, dan rahasia negara. Asas Proporsionalitas
adalah asas yang mengutamakan keseimbangan antara hak dan kewajiban Penyelenggara
Negara. Asas Profesionalitas adalah asas yang mengutamakan keahlian yang berlandaskan
kode etik dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Asas Akuntabilitas
adalah asas yang menentukan bahwa setiap kegiatan dan hasil akhir dari kegiatan
penyelenggara negara harus dapat dipertanggungjawabkan kepada masyarakat atau rakyat
sebagai pemegang kedaulatan tertinggi negara sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
AAUPB, Pasal 10 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi
Pemerintahan mengatur adanya delapan macam AAUPB yaitu meliputi asas-asas: a.
kepastian hukum; b. kemanfaatan; c. ketidakberpihakan; d. kecermatan; e. tidak
menyalahgunakan kewenangan; f. keterbukaan; g. kepentingan umum; dan h. pelayanan
yang baik. Asas-asas umum lainnya di luar AUPB tersebut dapat diterapkan sepanjang
dijadikan dasar penilaian hakim yang tertuang dalam putusan Pengadilan yang berkekuatan
hukum tetap.

BAB VII

PELAYANAN PUBLIK

A. Landasan Teoritis Pelayanan Publik


Pelayanan pada hakikatnya adalah serangkaian kegiatan sehingga proses pelayanan
berlangsung secara rutin dan berkesinambungan dan meliputi seluruh kehidupan organisasi
dalam masyarakat. Proses ini dilakukan berkaitan dengan aktivitas saling memenuhi
kebutuhan antara penerima dan pemberi pelayanan. Dalam Kamus Bahasa Indonesia (1990),
pelayanan publik dirumuskan: 1. Pelayanan adalah perihal atau cara melayani. 2. Pelayanan
adalah kemudahan yang diberikan sehubungan dengan jual beli barang dan jasa. 3.
Pelayanan medis merupakan pelayanan yang diterima seseorang dalam hubungannya dengan
pencegahan, diagnosa, dan pengobatan suatu gangguan kesehatan tertentu. 4. Publik berarti
orang banyak (umum).
Pelayanan publik adalah segala bentuk jasa pelayanan baik dalam bentuk barang
publik maupun jasa publik yang pada prinsipnya menjadi tanggung jawab dan dilaksanakan
oleh Instansi pemerintah di pusat, di daerah, dan di lingkungan Badan Usaha Milik Negara
atau Badan Usaha Milik Daerah, dalam rangka pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-
undangan. Tujuannya adalah untuk memuaskan keinginan masyarakat atau pelanggan pada
umumnya. Untuk mencapai hal ini diperlukan kualitas pelayanan yang sesuai dengan
kebutuhan dan keinginan masyarakat. Kualitas pelayanan adalah kesesuaian antara harapan
dan kenyataan. Hakikat pelayanan publik adalah pemberian pelayanan prima kepada
masyarakat yang merupakan kewajiban aparatur pemerintah sebagai abdi masyarakat.
Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik mendefinisikan
bahwa pelayanan publik adalah kegiatan atau serangkaian kegiatan dalam rangka
pemenuhan kebutuhan pelayanan sesuai dengan peraturan perundang-undangan bagi setiap
warga negara dan penduduk atas barang, jasa, dan atau pelayanan administratif yang
disediakan oleh penyelenggara pelayanan publik. Asas-asas pelayanan publik yang termuat
dalam undang-undang ini meliputi: 1. Kepentingan umum, yaitu pemberian pelayanan tidak
boleh mengutamakan kepentingan pribadi dan atau golongan; 2. Kepastian hukum, yaitu
jaminan terwujudnya hak dan kewajiban dalam penyelengaraan pelayanan. 3. Kesamaan
hak, yaitu pemberian pelayanan tidak membedakan suku, ras, agama, golongan, gender, dan
status ekonomi; 4. Keseimbangan hak dan kewajiban, yaitu pemenuhan hak harus sebanding
dengan kewajiban yang harus dilaksanakan, baik oleh pemberi maupun penerima pelayanan;
5. Keprofesionalan, yaitu pelaksana pelayanan harus memiliki kompetensi yang sesuai
dengan bidang tugas; 6. Partisipatif, yaitu peningkatan peran serta masyarakat dalam
penyelenggaraan pelayanan dengan memperhatikan aspirasi, kebutuhan, dan harapan
masyarakat; 7. Persamaan perlakuan/ tidak diskriminatif, yaitu setiap warga negara berhak
memperoleh pelayanan yang adil; 8. Keterbukaan, yaitu setiap penerima pelayanan dapat
dengan mudah mengakses dan memperoleh informasi mengenai pelayanan yang diinginkan;
9. Akuntabilitas, yaitu proses penyelenggaraan pelayanan harus dapat
dipertanggungjawabkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; 10.
Fasilitas dan perlakuan khusus bagi kelompok rentan, yaitu pemberian kemudahan terhadap
kelompok rentan sehingga tercipta keadilan dalam pelayanan; 11. Ketepatan waktu yaitu
penyelesaian setiap jenis pelayanan dilakukan tepat waktu sesuai dengan standar pelayanan;
12. Kecepatan, kemudahan, dan keterjangkauan, yaitu setiap jenis pelayanan dilakukan
secara cepat, mudah dan terjangkau.
Ada tiga kelompok dalam ruang lingkup pelayanan publik dalam Undang-Undang
Nomor 25 Tahun 2009 meliputi: (1) Pelayanan barang publik, meliputi: a. Pengadaan dan
penyaluran barang publik yang dilakukan oleh instansi pemerintah yang sebagian atau
seluruh dananya bersumber dari anggaran pendapatan dan belanja negara dan atau anggaran
pendapatan dan belanja daerah. b. Pengadaan dan penyaluran barang publik yang dilakukan
oleh suatu badan usaha yang modal pendiriannya sebagian atau seluruhnya bersumber dari
kekayaan negara dan atau kekayaan daerah yang dipisahkan. c. Pengadaan dan penyaluran
barang publik yang pembiayaannya tidak bersumber dari anggaran pendapatan dan belanja
negara atau anggaran pendapatan dan belanja daerah atau badan usaha yang modal
pendiriannya sebagian atau seluruhnya bersumber dari kekayaan negara dan atau kekayaan
daerah yang dipisahkan, tetapi ketersediaanya menjadi misi negara yang ditetapkan dalam
peraturan perundang-undangan. (2) Pelayanan atas jasa publik, yang meliputi: a. Penyediaan
jasa publik oleh instansi pemerintah yang sebagian atau seluruh dananya bersumber dari
anggaran pendapatan dan belanja negara dan atau anggaran pendapatan dan belanja daerah.
b. Penyediaan jasa publik oleh suatu badan usaha yang modal pendiriannya sebagian atau
seluruhnya bersumber dari kekayaan negara dan atau kekayaan daerah yang dipisahkan. c.
Penyediaan jasa publik yang pembiayaannya tidak bersumber dari anggaran pendapatan dan
belanja negara atau anggaran pendapatan dan belanja daerah atau badan usaha yang modal
pendiriannya sebagian atau seluruhnya bersumber dari kekayaan negara dan atau kekayaan
daerah yang dipisahkan, tetapi ketersediaanya menjadi misi negara yang ditetapkan dalam
peraturan perundang-undangan. (3) Pelayanan administratif yang terdiri atas: a. Tindakan
administratif pemerintah yang diwajibkan oleh negara dan diatur dalam peraturan
perundang-undangan dalam rangka mewujudkan perlindungan pribadi, keluarga,
kehormatan, martabat, dan harta benda. b. Tindakan administratif oleh instansi
nonpemerintah yang diwajibkan oleh negara dan diatur dalam peraturan perundang-
undangan serta diterapkan berdasarkan perjanjian dengan penerima pelayanan. Komponen-
komponen standar pelayanan publik meliputi:
1. Dasar hukum.
2. Persyaratan.
3. Sistem, mekanisme, dan prosedur.
4. Jangka waktu penyelesaian.
5. Biaya/tariff.
6. Produk pelayanan.
7. Sarana, prasarana, dan/atau fasilitas.
8. Kompetensi pelaksana.
9. Pengawasan internal.
10. Penanganan pengaduan, saran, dan masukan.
11. Jumlah pelaksana.
12. Jaminan pelayanan yang memberikan kepastian pelayanan dilaksanakan sesuai
dengan strandar pelayanan.
13. Jaminan keamanan dan keselamatan pelayanan dalam bentuk komitmen untuk
memberikan rasa aman, bebas dari bahaya, dan risiko keragu-raguan.
14. Evaluasi kinerja pelaksana.
Pelayanan publik merupakan pintu untuk mendapatkan hak yang terdiri atas Hak
Ekonomi, Sosial dan Budaya seperti: hak atas kesehatan, hak atas pendidikan, hak atas
perumahan, hak atas pekerjaan, jaminan sosial, dan lain-lain serta Hak Sipil dan Politik yang
terdiri atas hak untuk mendapatkan identitas, hak berpolitik, hak ikut serta dalam
pemerintahan, dan sejenisnya. Pelaksana dalam menyelenggarakan pelayanan publik harus
mampu berperilaku sebagai berikut:
1. Adil dan tidak diskriminatif.
2. Cermat.
3. Santun dan ramah.
4. Tegas, andal, dan tidak memberikan putusan yang berlarut-larut.
5. Profesional.
6. Tidak mempersulit.
7. Patuh pada perintah atasan yang sah dan wajar.
8. Menjunjung tinggi nilai-nilai akuntabilitas dan integritas institusi penyelenggara.
9. Tidak membocorkan informasi atau dokumen yang wajib dirahasiakan sesuai
dengan peraturan perundang-undangan.
10. Terbuka dan mengambil langkah yang tepat untuk menghindari benturan
kepentingan.
11. Tidak menyalahgunakan sarana dan prasarana serta fasilitas pelayanan publik.
12. Tidak memberikan informasi yang salah atau menyesatkan dalam menanggapi
permintaan informasi serta proaktif dalam memenuhi kepentingan masyarakat.
13. Tidak menyalahgunakan informasi, jabatan, dan/atau kewenangan yang dimiliki.
14. Sesuai dengan kepantasan.
15. Tidak menyimpang dari prosedur.
Hal ini dimaksudkan agar perilaku dari pelaksana tidak menghambat warga
masyarakat dalam memperoleh hak-haknya. Para pelaksana yang tidak memberikan atau
menghambat warga masyarakat dalam memperoleh hak-haknya telah melakukan tindakan
malaadministrasi. Malaadministrasi adalah perilaku atau perbuatan melawan hukum,
melampaui wewenang, menggunakan wewenang untuk tujuan lain dari yang menjadi tujuan
wewenang tersebut, termasuk kelalaian atau pengabaian kewajiban hukum dalam
penyelenggaraan pelayanan publik yang dilakukan oleh Penyelenggara Negara dan
pemerintahan yang menimbulkan kerugian materiil dan/atau immateriil bagi masyarakat dan
orang perseorangan.
Ombudsman merupakan lembaga negara yang mempunyai kewenangan mengawasi
penyelenggaraan pelayanan publik baik yang diselenggarakan oleh penyelenggara negara
dan pemerintahan termasuk yang diselenggarakan oleh Badan Usaha Milik Negara, Badan
Usaha Milik Daerah, dan Badan Hukum Milik Negara serta badan swasta atau perseorangan
yang diberi tugas menyelenggarakan pelayanan publik tertentu yang sebagian atau seluruh
dananya bersumber dari anggaran pendapatan dan belanja negara dan/atau anggaran
pendapatan dan belanja daerah. Ombudsman bertugas merespon keputusan atau tindakan
pejabat publik yang dinilai:
1. Ganjil (inappropriate).
2. Menyimpang (deviate).
3. Sewenang-wenang (arbitrary).
4. Melanggar ketentuan (Irregular/illegitimate).
5. Penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power).
6. Keterlambatan yang tidak perlu (undue delay).
7. Pelanggaran kepatutan (equity).
Ombudsman wajib menerima dan berwenang memproses pengaduan/ laporan oleh
masyarakat mengenai penyelenggaraan pelayanan publik. Ombudsman wajib menyelesaikan
pengaduan oleh masyarakat apabila pengadu menghendaki penyelesaian tidak dilakukan
oleh penyelenggara. Ombudsman wajib membentuk perwakilan di daerah yang
bersifat hierarkis untuk mendukung tugas dan fungsi Ombudsman dalam kegiatan
penyeleng-araan pelayanan publik. Pembentukan perwakilan Ombudsman paling lambat 3
tahun sejak diundangkannya Undang-Undang tentang Pelayanan Publik.
Laporan adalah pengaduan atau penyampaian fakta yang diselesaikan atau
ditindaklanjuti oleh Ombudsman yang disampaikan secara tertulis atau lisan oleh setiap
orang yang telah menjadi korban Malaadministrasi (Pasal 1 angka 4 UU No. 37 Tahun
2008). Pelapor adalah warga negara Indonesia atau penduduk yang memberikan laporan
kepada Ombudsman Terlapor adalah penyelenggara negara dan pemerintah yang melakukan
Maladministrasi yang dilaporkan kepada Ombudsman. Berdasarkan laporan tersebut dan
klarifikasi dari terlapor selama proses investigasi dari Ombudsman yang menghasilkan
temuan/kesimpulan dari Ombudsman, Ombudsman diberikan kewenangan untuk
memberikan rekomendasi. Rekomendasi adalah kesimpulan, pendapat, dan saran yang
disusun berdasarkan hasil investigasi Ombudsman kepada atasan Terlapor untuk
dilaksanakan dan/atau ditindaklanjuti dalam rangka peningkatan mutu penyelenggaraan
administrasi pemerintahan yang baik.
Ombudsman wajib melakukan mediasi dan konsiliasi dalam menyelesaikan
pengaduan atas permintaan para pihak. Penyelesaian pengaduan dapat dilakukan oleh
Perwakilan Ombudsman. Terkait dengan laporan Ombudsman berwenang untuk: 1.
Meminta keterangan pihak-pihak yang terkait dengan laporan; 2. Memeriksa dokumen
terkait; 3. Meminta klarifikasi, salinan, copy atau dokumen lain pada instansi penyelenggara
negara; 4. Melakukan pemanggilan; 5. Melakukan mediasi, konsiliasi atas permintaan para
pihak; 6. Membuat rekomendasi mengenai penyelesaian laporan, ganti rugi dan/rehabilitasi;
7. Mengumumkan hasil temuan, kesimpulan dan rekomendasi. Ombudsman juga berwenang
memberi saran kepada Presiden, Pimpinan Penyelenggara Negara, Kepala Daerah guna
perbaikan dan penyempurnaan organisasi dan/pelayanan publik dan memberi saran kepada
DPR, Presiden, DPRD, Kepala Daerah agar terhadap undang-undang dan peraturan
perundangan dilakukan perubahan untuk mencegah malaadministrasi.
Hak Masyarakat dalam Pelayanan Publik telah diatur melalui Pasal 18 Undang-
Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik, yaitu: a. mengetahui kebenaran isi
standar pelayanan; b. mengawasi pelaksanaan standar pelayanan; c. mendapat tanggapan
terhadap pengaduan yang diajukan; d. mendapat advokasi, perlindungan, dan/atau
pemenuhan pelayanan; e. memberitahukan kepada pimpinan penyelenggara untuk
memperbaiki pelayanan apabila pelayanan yang diberikan tidak sesuai dengan standar
pelayanan; f. memberitahukan kepada pelaksana untuk memperbaiki pelayanan apabila
pelayanan yang diberikan tidak sesuai dengan standar pelayanan; g. mengadukan pelaksana
yang melakukan penyimpangan standar pelayanan dan/atau tidak memperbaiki pelayanan
kepada penyelenggara dan ombudsman; h. mengadukan penyelenggara yang melakukan
penyimpangan standar pelayanan dan/atau tidak memperbaiki pelayanan kepada pembina
penyelenggara dan ombudsman; dan i. mendapat pelayanan yang berkualitas sesuai dengan
asas dan tujuan pelayanan. Kewajiban Masyarakat dalam Pelayanan Publik juga diatur
dalam Pasal 19 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik, yaitu a.
mematuhi dan memenuhi ketentuan sebagaimana dipersyaratkan dalam standar pelayanan;
b. ikut menjaga terpeliharanya sarana, prasarana, dan/atau fasilitas pelayanan publik; dan c.
berpartisipasi aktif dan mematuhi peraturan yang terkait dengan penyelenggaraan
pelayanan public.

Pola penyelenggaraan pelayanan publik terdiri atas: 1. Fungsional, yaitu pola


pelayanan publik yang diberikan oleh penyelenggara pelayanan, sesuai dengan tugas, fungsi,
dan kewenangannya. 2. Terpusat, yaitu pola pelayanan publik diberikan secara tunggal oleh
penyelenggara pelayanan berdasarkan pelimpahan wewenang dari penyelenggara pelayanan
terkait lainnya yang bersangkutan. 3. Terpadu. a. Terpadu satu atap, yaitu pola pelayanan
terpadu satu atap diselenggarakan dalam satu tempat yang meliputi berbagai jenis pelayanan
yang tidak mempunyai keterkaitan proses dan dilayani melalui beberapa pintu. Terhadap
jenis pelayanan yang sudah dekat dengan masyarakat tidak perlu untuk disatuatapkan. b.
Terpadu satu pintu, yaitu pola pelayanan terpadu satu pintu diselenggarakan pada satu
tempat yang meliputi berbagai jenis pelayanan yang memiliki keterkaitan proses dan
dilayani melalui satu pintu. 4. Gugus Tugas, yaitu petugas pelayanan publik secara
perorangan atau dalam bentuk gugus tugas ditempatkan pada instansi pemberi pelayanan
dan lokasi pemberian pelayanan tertentu. Konsep pola penyelenggaraan pelayanan publik
yang dianut oleh Indonesia pada dasarnya adalah pola penyelenggaraan pelayanan terpadu
satu pintu (PTSP). Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP) adalah pelayanan secara
terintegrasi dalam satu kesatuan proses dimulai dari tahap permohonan sampai dengan tahap
penyelesaian produk pelayanan melalui satu pintu. Penyelenggara PTSP adalah Pemerintah,
pemerintah daerah, Badan Pengusahaan Kawasan Perda-gangan Bebas dan Pelabuhan
Bebas, dan Administrator Kawasan Ekonomi Khusus. PTSP bertujuan: 1. memberikan
perlindungan dan kepastian hukum kepada masyarakat; 2. memperpendek proses pelayanan;
3. mewujudkan proses pelayanan yang cepat, mudah, murah, transparan, pasti, dan
terjangkau; dan 4. mendekatkan dan memberikan pelayanan yang lebih luas kepada
masyarakat. PTSP dilaksanakan dengan prinsip: 1. keterpaduan; 2. ekonomis; 3. koordinasi;
4. pendelegasian atau pelimpahan wewenang; 5. akuntabilitas; dan 6. aksesibilitas. Ruang
lingkup PTSP meliputi seluruh pelayanan Perizinan dan Nonperizinan yang menjadi
kewenangan pemerintah dan pemerintah daerah. Penyelenggaraan PTSP dilaksanakan oleh:
1. Pemerintah yang dilakukan oleh Badan Koordinasi Penanaman Modal untuk pelayanan
Perizinan dan Nonperizinan di bidang penanaman modal yang merupakan urusan
pemerintah; 2. Pemerintah provinsi untuk pelayanan perizinan dan nonperizinan dari urusan
wajib dan urusan pilihan yang menjadi urusan provinsi; dan 3. Pemerintah kabupaten/kota
untuk pelayanan perizinan dan nonperizinan dari urusan wajib dan urusan pilihan yang
menjadi urusan kabupaten/kota.
B. Prinsip dan Pengaturan
Administrasi negara berasal dari kata "administrare" yang artinya: melayani. Melihat
pada makna administrasi negara tersebut dapat disimpulkan bahwa pelayanan publik
merupakan fungsi pokok dari administrasi negara/bestuur/ pemerintah. Pasal 1 angka 2
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan menyatakan
bahwa fungsi pemerintahan adalah fungsi dalam melaksanakan administrasi pemerintahan
yang meliputi fungsi pengaturan, pelayanan, pembangunan, pemberdayaan, dan
pelindungan. Dalam konteks UU Administrasi Pemerintahan, fungsi pemerintah
dalam memberikan pelayanan diletakkan dalam satu rangkaian dengan fungsi pemerintah
lainnya. Namun, fungsi pelayanan sebenarnya merupakan hakikat dari fungsi peme-rintahan
sesuai dengan akar kata dari kata “administrasi” dalam Hukum Administrasi Negara.
Arti pentingnya pelayanan publik jika dikaitkan dengan hubungan hukum antara
pemerintah sebagai penguasa (overheid) dengan rakyat karena pada hakikatnya fungsi
pemerintahan (sturende functie) yang dilaksanakan sebagai dimensi utama dalam Hukum
Administrasi Negara setelah bersentuhan dengan adanya Konvensi Internasional mengenai
hak-hak sipil dan politik serta Konvensi Internasional mengenai hak-hak ekonomi, sosial,
dan budaya harus dimaknai sebagai fungsi pelayanan (service functie) sebagaimana akar
kata istilah "administrasi". Hal itulah yang menjadi sebagian konsiderans dari lahirnya
Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik di Indonesia. Pelayanan
publik adalah kegiatan atau rangkaian kegiatan dalam rangka pemenuhan kebutuhan
pelayanan sesuai dengan peraturan perundang-undangan bagi setiap warga negara dan
penduduk atas barang, jasa, dan/atau pelayanan administratif yang disediakan oleh
penyelenggara pelayanan publik.
Barry J O'Toole berkaitan dengan tujuan ideal pelayanan public mengatakan: "Put
simply, the idea is that those in official positions of public authority regard the interests of
the whole society as being the guiding influence over all public decision-making, that their
personal or class or group interests are to be set aside when making decisions, and that they
are public servants purely out of a perceived duty to serve the public."
Melalui pelayanan publik, badan atau pejabat pemerintah menempatkan kepentingan
publik sebagai tujuan dan memengaruhi seluruh pengambilan kebijakan yang diambil oleh
pemerintah. Penyelenggara pelayanan publik adalah setiap institusi penyelenggara negara,
korporasi, lembaga independen yang dibentuk berdasarkan undang-undang untuk kegiatan
pelayanan publik, dan badan hukum lain yang dibentuk semata-mata untuk kegiatan
pelayanan publik. Ruang lingkup pelayanan publik meliputi pelayanan barang publik dan
jasa publik serta pelayanan administratif yang diatur dalam peraturan perundang-undangan.
Penyelenggara berkewajiban antara lain: 1. menyusun dan menetapkan standar pelayanan; 2.
menyusun, menetapkan, dan memublikasikan maklumat pelayanan; 3. menempatkan
pelaksana yang kompeten; 4. menyediakan sarana, prasarana, dan/atau fasilitas pelayanan
publik yang mendukung terciptanya iklim pelayanan yang memadai; 5. memberikan
pelayanan yang berkualitas sesuai dengan asas penyelenggaraan pelayanan publik; 6.
melaksanakan pelayanan sesuai dengan standar pelayanan; 7. berpartisipasi aktif dan
mematuhi peraturan perundang-undangan yang terkait dengan penyelenggaraan pelayanan
publik.
Pelaksana pelayanan publik yang selanjutnya disebut Pelaksana adalah pejabat,
pegawai, petugas, dan setiap orang yang bekerja di dalam organisasi penyelenggara yang
bertugas melaksanakan tindakan atau serangkaian tindakan pelayanan publik. Pelaksana
berkewajiban: 1. melakukan kegiatan pelayanan sesuai dengan penugasan yang diberikan
oleh penyelenggara; 2. memberikan pertanggungjawaban atas pelaksanaan pelayanan sesuai
dengan peraturan perundang-undangan; 3. memenuhi panggilan untuk hadir atau
melaksanakan perintah suatu tindakan hukum atas permintaan pejabat yang berwenang dari
lembaga negara atau instansi pemerintah yang berhak, berwenang, dan sah sesuai dengan
peraturan perundang-undangan; 4. memberikan pertanggung-jawaban apabila
mengundurkan diri atau melepaskan tanggung jawab sesuai dengan peraturan
perundangundangan; 5. melakukan evaluasi dan membuat laporan keuangan dan kinerja
kepada penyelenggara secara berkala.
Dengan adanya konsep jaminan pemerintahan (bestuurlijke waarboorg) dan hak
inspraak masyarakat, maka dalam penyelenggaraan pelayanan publik masyarakat berhak: 1.
mengetahui kebenaran isi standar pelayanan; 2. mengawasi pelaksanaan standar pelayanan;
3. mendapat tanggapan terhadap pengaduan yang diajukan; 4. mendapat advokasi,
perlindungan, dan/atau pemenuhan pelayanan; 5. memberitahukan kepada pimpinan
penyelenggara untuk memperbaiki pelayanan apabila pelayanan yang diberikan tidak sesuai
dengan standar pelayanan; 6. memberitahukan kepada pelaksana untuk memperbaiki
pelayanan apabila pelayanan yang diberikan tidak sesuai dengan standar pelayanan; 7.
mengadukan pelaksana yang melakukan penyimpangan standar pelayanan dan/atau tidak
memperbaiki pelayanan kepada penyelenggara dan ombudsman; 8. mengadukan
penyelenggara yang melakukan penyimpangan standar pelayanan dan/atau tidak
memperbaiki pelayanan kepada pembina penyelenggara dan ombudsman; dan 9. mendapat
pelayanan yang berkualitas sesuai dengan asas dan tujuan pelayanan. Pelayanan publik
dilaksanakan berdasarkan asas-asas: kepentingan umum; kepastian hukum; kesamaan hak;
keseimbangan hak dan kewajiban; keprofesionalan; partisipatif; persamaan perlakuan/tidak
diskriminatif; keterbukaan; akuntabilitas; fasilitas dan perlakuan khusus bagi kelompok
rentan; ketepatan waktu; serta kecepatan, kemudahan, dan keterjangkauan.
Aspek yang perlu diperhatikan dalam pelaksanaan pelayanan publik antara lain
adalah pertama, standar pelayanan yang pada esensinya harus dibuat dengan mekanisme:
berdasarkan kesepakatan, melibatkan pihak terkait, tidak diskriminatif, terkait langsung
dengan pelayanan, memiliki kompetensi, mengutamakan musyawarah dan memperhatikan
keberagaman. Kedua, maklumat pelayanan yang dalam penyusunannya didasarkan atas
kesanggupan penyelenggara melaksanakan pelayanan sesuai standar pelayanan dan wajib
dipublikasikan. Ketiga, sistem informasi pelayanan publik yang harus berisi semua
informasi pelayanan dari sekurang-kurangnya meliputi: profil penyelenggara, profil
pelaksana, standar pelayanan, maklumat pelayanan, pengelolaan pen aduan, dan penilaian
kinerja harus terbuka dan mudah diakses masyarakat. Keempat, pengelolaan sarana,
prasarana, dan/atau fasilitas pelayanan publik yang meliputi: kewajiban penyelenggara dan
pelaksana bertanggung jawab terhadap pemerliharaan dan/atau penggantian, dilarang
memberikan izin atau membiarkan yang mengakibatkan tidak berfungsi atau tidak sesuai
peruntukannya, perbaikan tidak mengkibatkan terhentinya pelayanan, dan wajib
mencantumkan waktu penyelesaian yang dilakukan 30 hari sebelum pekerjaan perbaikan
dimulai. Kelima, pelayanan khusus. Pelayanan dilaksanakan dengan perlakuan khusus
kepada anggota masyarakat tertentu, dilarang dipergunakan oleh orang yang tidak berhak,
dapat melakukan pelayanan berjenjang secara transparan dan akuntabel serta sesuai standar
pelayanan, pelayanan berjenjang harus memenuhi ketentuan, proporsi akses dan pelayanan
kepada kelompok masyarakat. Keenam, biaya/tarif pelayanan. Hal itu berkaitan dengan
tanggung jawab negara dan/atau masyarakat. Biaya/tarif pada prinsipnya: 1) Dibebankan
kepada negara apabila diwajibkan dalam perundang-undangan; 2) Dibebankan kepada
penerima pelayanan; dan 3) Ditetapkan berdasarkan persetujuan DPR (Pusat), DPRD
(Daerah) dan Perundang-undangan. Pengawasan penyelenggaraan pelayanan publik
dilakukan oleh: pengawas internal dan eksternal; Pengawasan internal oleh atasan langsung
dan fungsional pengawasan; pengawasan eksternal dilakukan oleh masyarakat, Ombudsman,
dan DPR/DPRD. Pengelolaan pengaduan dapat diajukan kepada: penyelenggara dan
Ombudsman dan DPR/D.
BAB VIII

PERLINDUNGAN HUKUM BAGI RAKYAT

A. Konsep Perlindungan Hukum


Perlindungan hukum bagi rakyat dari tindakan hukum pemerintah adalah sarana
yuridis dalam negara hukum untuk mencegah atau memulihkan terjadinya kerugian yang
dialami oleh rakyat sebagai akibat tindakan hukum pemerintah yang menimbulkan kerugian
terhadap rakyat. Penguasa bisa dianggap melakukan perbuatan melanggar hukum karena
melanggar hak subjektif seseorang apabila.
1. Penguasa melakukan perbuatan yang bersumber pada hubungan hukum perdata
serta melanggar ketentuan dalam hukum tersebut.
2. Penguasa melakukan perbuatan yang bersumber pada hukum publik serta
melanggar ketentuan kaidah hukum tersebut.
Perlindungan terhadap perbuatan melawan hukum penguasa dalam hukum perdata
didasarkan atas ketentuan Pasal 1365 KUH Perdata yang memberikan hak kepada rakyat
yang dirugikan oleh Pemerintah untuk mengajukan gugatan di Pengadilan Umum. Sebelum
tahun 1919, ketentuan ditafsirkan secara sempit yaitu bahwa perbuatan pemerintah sebagai
dalam kapasitas sebagai subjek hukum perdata harus memenuhi unsur-unsur: (a) Perbuatan
melawan hukum; (b) timbulnya kerugian; (c) hubungan kausal antara PMH dengan
kerugian; dan (d) Kesalahan pelaku. Pada masa itu, Perbuatan Melanggar Hukum diartikan
sama dengan perbuatan yang bertentangan dengan UU (onrechtmatigedaad is
onwetmatigedaad).
Sesudah tahun 1919, kriteria perbuatan melanggar hukum penafsirannya adalah: (a)
mengganggu hak orang lain; (b) bertentangan dengan kewajiban hukum pelaku; (c)
bertentangan dengan kesusilaan; (d) bertentangan dengan kepatutan, ketelitian, dan sikap
hati-hati yang seharusnya dimiliki seseorang dalam pergaulan dengan sesama warga
masyarakat atau terhadap benda orang lain. Putusan MA menunjukkan bahwa kriteria PMH
oleh penguasa adalah:
1. Perbuatan penguasa itu melanggar UU dan peraturan formal yang berlaku.
2. Perbuatan penguasa melanggar kepentingan dalam masyarakat yang seharusnya
dipatuhinya.
Dalam perbuatan hukum perdata perbuatan pemerintah sejajar dengan subjek hukum
perdata. Perlindungan hukum terhadap perbuatan Pemerintah terdiri dari perlindungan
hukum preventif dan perlindungan hukum represif. Perlindungan hukum preventif dilakukan
melalui 4 metode, yaitu: pengawasan, pengesahan dan persetujuan (goedkeuring),
keterbukaan pemerintah (openbaarheid van het bestuur), dan peran serta warga negara
(inspraak).
Dalam konteks perlindungan hukum yang dilaksanakan melalui pengawasan, dapat
dilkasifikasikan atas dua jenis.
1. Pengawasan preventif yang dilaksanakan berdasarkan prinsip the right to be
heard and access to information.
2. Pengawasan represif dilaksanakan melalui: a. pengujian PTUN untuk KTUN
yang dinilai merugikan; b. pengujian materi di MA terhadap peraturan-undangan
di bawah UU, dan c. pengujian materiil oleh Mah-kamah Konstitusi terhadap UU
yang melanggar hak konstitusional warga negara.
Pengawasan represif pada prinsipnya dilaksanakan melalui mekanisme pengujian
atas norma-norma hukum yang diciptakan oleh pemerintah sebagai wujud tindakan hukum
tata usaha negara (bestuurshandeling) yang dilakukan oleh pemerintah. Perbuatan
pemerintah dalam bidang hukum publik bisa berbentuk: (1) perbuatan yang bersifat
pengaturan dan hasilnya berwujud peraturan perundang-undangan (wet/regeling) dan (2)
perbuatan yang bersifat penetapan dan hasilnya berwujud Keputusan Tata Usaha Negara
(beschikking).
Ditinjau secara teori, Ombudsman terdapat beberapa macam Ombudsman.
Didasarkan atas kriteria pemilihan, terdapat 2 (dua) jenis Ombudsman, yaitu: Ombudsman
parlementer; dan Ombudsman eksekutif. Jika didasarkan atas kriteria wilayah kewenangan,
Ombudsman dapat diklasifikan atas: Om-budsman supranasional; Ombudsman nasional;
Ombudsman wilayah (regional); dan Ombudsman daerah. Ombudsman melakukan
pengawasan terjadinya malaadministrasi.

B. Pelaksanaan Perlindungan Hukum


Istilah malaadministrasi diambil dari bahasa inggris "mal administration" yang harus
diartikan tata usaha yang buruk, pemerintahan yang buruk. Kata administrasi berasal dari
bahasa latin "administrare" yang berarti: to manage, derivasinya antara lain menjadi
"administratio" yang mengandung makna melayani. Pengawasan ditinjau dari segi sifanya
terdiri atas pengawasan dari segi hukum dan pengawasan dari segi
kebijaksanaan/kemanfaatan. Pengawasan dari segi hukum dimaksudkan untuk menilai
pertimbangan yang bersifat hukumnya saja/legalitas perbuatan pemerintah atau untuk
menilai rechtmatigheidnya tindakan hukum pemerintah. Pengawasan dari segi
kebijaksanaan/kemanfaatan (dilakukan untuk menilai benar/tidaknya perbuatan pemerintah
ditinjau dari sisi kemanfaatan/kebijaksanaan). Dalam hal ini, yang dinilai adalah
doelmatigheidnya perbuatan pemerintah.
Ditinjau dari jenisnya, pengawasan dapat diklasifikasikan ke dalam beberapa macam.
1. Pengawasan teknis administratif (dilakukan oleh lembaga pengawas di
lingkungan pemerintah sendiri, misalnya: pengawasan atasan, pengawasan oleh
lembaga pengawas fungsional misalnya: BPKP, Bawasda).
2. Pengawasan yudisial (oleh Peradilan TUN dan Peradilan Umum).
3. Pengawasan politis (oleh DPRD).
4. Pengawasan sosial (oleh masyarakat).
5. Pengawasan oleh Ombudsman.
Salah satu bentuk perlindungan hukum preventif dilaksanakan melalui pengesahan.
Perlindungan hukum preventif juga dilaksanakan melalui mekanisme keterbukaan
pemerintah Keterbukaan pemerintah merupakan kewajiban pemerintah untuk
melaksanakan kewajiban informasi pasif (penyediaan informasi atas permintaan warga
negara) dan informasi aktif (penyediaan informasi atas inisiatif pemerintah). Keterbukaan
adalah suatu keadaan di mana setiap warga negara dapat memperoleh informasi tentang
proses pembentukan keputusan di dalam pemerintahan yang terbuka. Implikasinya
keterangan dan prosedur pembuatan keputusan dapat diketahui dan diakses oleh masyarakat
umum.
Dalam sistem hukum di Indonesia, keterbukaan pemerintah diatur melalui Undang-
Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Pemerintah. UU
Keterbukaan Informasi Publik bertujuan: a. memberikan jaminan hak bagi rakyat untuk
mengetahui rencana, program, proses, alasan pengambilan suatu keputusan publik termasuk
yang terkait dengan hajat hidup orang banyak; b. Mendorong partisipasi masyarakat dalam
proses pengambilan kebijakan publik dan pengelolaan Badan Publik yang
baik; c. Mendorong penyelenggaraan negara yang baik, yaitu transparan, efektif dan efisien,
serta akuntabel; d. Mengembangkan ilmu pengetahuan dan mencerdaskan kehidupan
bangsa; dan/atau e. Meningkatkan kualitas pengelolaan dan pelayanan informasi di
lingkungan Badan Publik untuk menghasilkan layanan informasi yang berkualitas.
Prinsip-prinsip pengaturan Informasi Publik: a. Setiap Informasi Publik bersifat
terbuka dan dapat diakses; b. Informasi yang dikecualikan bersifat ketat dan terbatas; c.
Setiap informasi harus dapat diperoleh secara cepat dan tepat waktu, biaya ringan, dan cara
sederhana; d. Informasi yang dikecualikan ber-sifat rahasia sesuai dengan undang-undang,
kepatutan, dan kepentingan umum yang didasarkan pada: a. Pengujian menyangkut
konsekuensi yang timbul apa-bila suatu informasi dibuka dan b. Setelah mempertimbangkan
dengan saksama bahwa dengan menutup informasi tersebut dapat melindungi kepentingan
publik yang lebih besar daripada membukanya dan sebaliknya.
Pengaturan keterbukaan Informasi di Belanda diatur dalam Wet Openbaarheid van
Bestuur (WOB) dari 9 November 1978 dan Besluit Openbaarheid van Bestuur (BOB) dari 12
Oktober 1979. WOB mengatur prinsip bahwa informasi dari dokumen-dokumen penguasa
harus dapat diketahui oleh rakyat. Openbaarheidswet Nederland mengklasifikasikan dua
jenis wajib informasi, yaitu:
1. Wajib informasi aktif dari penguasa, yakni kewajiban penguasa untuk memberi
informasi atas inisiatif sendiri.
2. Wajib informasi pasif, yakni kewajiban penguasa untuk memberikan in-formasi
atas permintaan masyarakat.
Di AS Pemerintah AS diwajibkan untuk membangun sistem keterbukaan informasi
yang diatur dalam Government in Sunshine Act dan Federal Advisory Committee Act
(FACA). Sunshine Act dimaksudkan agar setiap perbuatan pemerintah benar-benar terbuka
(open government), terang benderang, ibarat berada di bawah sinar matahari (sunshine).
Jaminan terhadap keterbukaan pemerintah (open government) mencakup:
1. Right to observe, mengamati perilaku pejabat dalam menjalankan tugas-tugas
publiknya, menyaksikan pertemuan-pertemuan terkait penyelenggaraan negara.
2. Acces to information, hak mengakses informasi public.
3. Right to participate, termasuk pelibatan masyarakaat dalam proses penen-tuan
kebijakan public.
4. Right to appeal, hak untuk mengajukan keberatan apabila ketiga hak tersebut
tidak dipenuhi.
Keterbukaan pemerintah merupakan prasyarat bagi dapat dilaksanakannya hak
insprasi bagi warga masyararkat. Dalam konsep inspraak terkandung 3 unsur penting, yaitu:
1. Terdapat kesempatan yang diatur dan dipersiapkan bagi rakyat untuk menyatakan
pendapat dan pikiran mengenai kebijakan pemerintah.
2. Rakyat diberi kesempatan untuk terlibat aktif dalam pembahasan atau diskusi
dengan pemerintah dan para pengambil kebijakan.
3. Rakyat diberi harapan bahwa hasil dari pembahasan dalam batas-batas rasional
itu akan berpengaruh terhadap keputusan final yang diambil. Kesimpulannya
konsep inspraak mengandung arti keterlibatan atau peran serta warga negara
dalam memengaruhi kebijakan pemerintah yang akan.
Kesimpulannya konsep inspraak mengandung arti keterlibatan atau peran serta
warga negara dalam memengaruhi kebijakan pemerintah yang akan diterapkan terhadap
warga negara. Di negeri Belanda dikenal istilah Inspraak yang merupakan salah satu alat
dalam melaksanakan fungsi-fungsi demokrasi. Inspraak tersebut mempunyai tiga unsur,
yaitu:
1. Dilaksanakan secara terorganisasi.
2. Diskusi dilakukan dengan lembaga eksekutif dan lembaga perencanaan dimana
terdapat hak bicara (spreekrecht) bagi masyarakat dan kewajiban mendengar
(luisterplicht) bagi pejabat.
3. Hasil dari inspraak sampai batas yang wajar dapat memengaruhi kepu-tusan akhir
dari Pemerintah.
Perlindungan hukum terhadap perbuatan pemerintah yang dituangkan dalam suatu
Keputusan Tata Usaha Negara dilaksanakan oleh Peradilan Tata Usaha Negara. Peradilan
Tata Usaha Negara merupakan lembaga kekuasaan kehakiman yang berwenang untuk
menguji keabsahan (rechtsmatigheid) suatu KTUN berdasarkan peraturan perundang-
undangan yang berlaku dan AAUPB. Kewenangan untuk menguji KTUN tersebut
diwujudkan melalui kewenangan Peradilan TUN untuk menyatakan tidak sahnya KTUN dan
memerintahkan kepada badan/pejabat TUN untuk mencabut KTUN dan/atau menerbitkan
KTUN yang baru dengan atau tanpa disertasi ganti rugi. Dalam sengketa kepegawaian dapat
ditambahkan sanksi bagi pejabat TUN untuk melakukan rehabilitasi.

BAB IX
PENEGAKAN NORMA HUKUM ADMINISTRASI NEGARA

A. Landasan Teoritis
Konsep penegakan norma Hukum Administrasi Negara atau yang dalam kepustakaan
Hukum Administrasi Negara di Belanda dikenal dengan sebutan: "Eenzijdige Handhaving
Recht door Overheid" merupakan kewenangan administrasi negara untuk meluruskan
terjadinya pelanggaran norma hukum administrasi guna mengakhiri pelanggaran tersebut
dengan melakukan suatu tindakan nyata. P. Nicolai dan kawan-kawan mengatakan bahwa
sarana penegakan hukum administrasi negara berisi: (1) pengawasan bahwa organ
pemerintahan dapat melaksanakan ketaatan pada atau berdasarkan undang-undang yang
ditetapkan secara tertulis dan pengawasan terhadap keputusan yang meletakkan kewajiban
kepada individu, dan (2) penerapan kewenangan sanksi pemerintahan. Sanksi dalam HAN
yang merupakan alat kekuasaan yang bersifat hukum publik yang digunakan oleh penguasa
sebagai reaksi terhadap ketidakpatuhan pada norma hukum administrasi negara. Dengan
demikian, unsur-unsur sanksi dalam hukum administrasi negara meliputi:
1. Alat kekuasaan (machtsmiddelen).
2. Bersifat hukum publik (publiekrechtelijk).
3. Digunakan oleh penguasa (overheid).
4. Sebagai reaksi terhadap ketidakpatuhan (reactie op niet-naleving).
Tujuan dari penegakan norma hukum administrasi negara adalah terwujudnya tertib
hukum (legal order) dalam rangka melindungi kepentingan umum. Sanksi hukum
administrasi negara karakter normanya bukan kewajiban (plicht), akan tetapi merupakan
kewenangan bebas yang mandiri, tidak tergantung pada organ lainnya. J.B.J.M ten Berge
menyebutkan bahwa sanksi merupakan inti dari penegakan hukum administrasi. Sanksi
biasanya diletakkan pada bagian akhir setiap peraturan atau disebut dengan in cauda
venenum, artinya di ujung kaidah hukum terdapat sanksi yang istilahnya sebagai sebuah
"tanden van het recht" atau taringnya hukum.
Ditinjau dari segi sasarannya, dikenal dua jenis sanksi, yaitu sanksi reparatoir dan
sanksi punitif. Sanksi reparatoir diartikan sebagai sanksi atas pelanggaran norma yang
ditujukan untuk mengembalikan pada kondisi semula atau menempatkan pada situasi yang
sesuai dengan kondisi semula atau menem-patkan pada situasi yang sesuai dengan kondisi
hukum. Sedangkan sanksi punitif adalah sanksi yang semata-mata ditujukan untuk
memberikan hukuman pada seseorang. Contoh sanksi reparatoir adalah paksaan pemerintah
dan pengenaan uang paksa, sedangkan contoh sanksi punitif adalah pengenaan denda
administrasi.

B. Jenis-jenis Sanksi Hukum Administrasi Negara


Jenis-jenis sanksi-sanksi dalam hukum administrasi negara meliputi:
1. Paksaan pemerintahan (bestuursdwang).
2. Penarikan kembali keputusan yang menguntungkan (izin, pembayaran, subsidi).
3. Denda administrasi.
4. Uang paksa (dwangsom).
Paksaan pemerintahan merupakan tindakan nyata oleh penguasa guna mengakhiri
suatu keadaan yang dilarang oleh suatu kaidah HAN atau bila masih melakukan apa yang
seharusnya ditinggalkan oleh para warga karena bertentangan dengan peraturan perundang-
undangan. Dalam bestuursdwang harus diperhatikan beberapa prasyarat penting, yaitu:
1. Didasarkan atas wewenang pengawasan dan penyelidikan.
2. Didahului suatu peringatan melalui KTUN.
3. Warga masyarakat berhak mengajukan upaya hukum (keberatan, gugatan di
PTUN).
Jenis Sanksi Administrasi dapat dilihat dari segi sasarannya terbagi atas tiga jenis,
yaitu:
1. Sanksi reparatoir artinya sanksi yang diterapkan sebagai reaksi atas pelanggaran
norma, yang ditujukan untuk memngembalikan pada kondisi semula sebelum
terjadinya pelanggaran, misalnya bestuursdwang, dwangsom).
2. Sanksi punitif artinya sanksi yang ditujukan untuk memberikan hukuman pada
seseorang, misalnya adalah berupa denda administratif.
3. Sanksi regresif adalah sanksi yang diterapkan sebagai reaksi atas ketidakpatuhan
terhadap ketentuan yang terdapat pada ketetapan yang diterbitkan.
Dalam keadaan tertentu, meskipun terdapat pelanggaran norma hukum administrasi
negara, secara teoretis dimungkinkan dilakukan legalisasi. Namun, legalisasi pelanggaran
harus dilihat dari kualitas pelanggaran yang terjadi, apakah terdapat pelanggaran norma
hukum administrasi negara yang bersifat substansial ataukah tidak (non-substansial).
Pelanggaran yang bersifat substansial terjadi dalam hal pelanggar norma hukum administrasi
negara tersebut secara absolut melanggar suatu kaidah yang bersifat imperatif. Adapun
pelanggaran yang bersifat non-substansial terjadi dalam hal terhadap pelanggaran itu masih
dimungkinkan untuk dilakukan pelaksanaan kewajiban norma hukum administrasi negara
pasca terjadinya aktivitas subjek hukum melalui legalisasi. Yurisprudensi AROB dapat
digunakan sebagai komparasi mengenai peringatan/perintah tertulis, yang mengharuskan
dipenuhinya persyaratan-persyaratan, yaitu:
1. Harus sudah memiliki kepastian untuk dilaksanakan.
2. Memuat perintah yang jelas.
3. Memuat ketentuan peraturan perundang-undangan yang dilanggar.
4. Jangka waktu pelaksanaan.
5. Pembebanan biaya kepada pelanggar.
Penarikan kembali suatu Keputusan TUN yang menguntungkan adalah pencabutan
suatu Keputusan TUN yang memberikan keuntungan kepada pihak penerima suatu
Keputusan TUN yang dinilai telah melanggar syarat-syarat tertentu sebagai dasar berlakunya
Keputusan TUN tersebut. Penarikan kembali keputusan yang menguntungkan dilakukan
dengan mengeluarkan suatu ketetapan baru yang isinya menarik kembali atau tidak berlaku
lagi ketetapan terdahulu. Terdapat 2 (dua) hal yang pada umumnya menjadi alasan
penarikan kembali suatu KTUN, yaitu:
1. Pihak penerima KTUN tidak mematuhi syarat-syarat/pembatasan-pem-batasan
yang ditentukan oleh peraturan perundang-undangan yang dikaitkan dengan izin,
subsidi atau pembayaran.
2. Pihak penerima KTUN pada waktu mengajukan permohonan izin, subsidi atau
pembayaran telah memberikan data yang tidak benar.
Jenis sanksi administratif yang ketiga adalah denda administratif. Dengan
administratif adalah pengenaan sejumlah uang dalam tertentu bagi pelanggar norma HAN
sebagai reaksi atas ketidakpatuhan. Sanksi ini biasanya terdapat dalam hukum pajak,
jaminan sosial, dan hukum kepegawaian. Denda admistrasi hanya dapat diterapkan atas
dasar ketentuan wewenang yang diatur dalam undang-undang dalam arti formal.
Jenis sanksi yang keempat adalah uang paksa (dwangsom). Uang paksa adalah
penetapan sejumlah uang tertentu yang harus dibayar oleh pelanggar norma HAN
sebagai alternatif bagi bestuursdwang. Uang paksa memiliki tujuan yang sejenis dengan
paksaan pemerintahan (bestuursdwang), sehingga, dapat diletakkan sebagai alternatif bagi
tidak dilaksanakannya bestuursdwang. Dengan kata lain, uang paksa dipergunakan sebagai
pengganti bagi ketidakmungkinan dilaksanakannya bestuursdwang. Uang paksa akan hilang
setiap kali pelanggaran diulangi oleh pelanggar.
Dalam hukum administrasi, pengenaan uang paksa ini dapat dikenakan kepada
seseorang atau warga negara yang tidak mematuhi atau melanggar ketentuan yang
ditetapkan oleh pemerintah sebagai alternatif dari tindakan paksaan pemerintah.
Pengenaan uang paksa merupakan alternatif untuk tindakan nyata, yang berarti
sebagai sanksi "subsidiaire" dan dianggap sebagai sanksi repartoir. Persoalan hukum yang
dihadapai dalam pengenaan dwangsom sama dengan pelaksanaan paksaan nyata. Dalam
kaitannya dengan KTUN yang menguntungkan seperti izin, biasanya pemohon izin
diisyaratkan untuk memberikan uang jaminan. Jika terjadi pelanggaran atau pelanggar
(pemegang izin) tidak segera mengakhirinya, uang jaminan itu dipotong sebagai dwangsom.
Uang jaminan ini lebih banyak digunakan ketika pelaksanaan bestuursdwang sulit
dilakukan. Organ pemerintah dalam menetapkan uang paksa, menentukan apakah uang
paksa itu dibayar dengan cara mengangsur ataupun harus sekali bayar berdasarkan waktu
tertentu. Organ pemerintah juga harus menetapkan jumlah maksimal uang paksa serta
memperhatikan kesesuaian dengan beratnya kepentingan yang dilanggar dan (sesuai) dengan
tujuan ditetapkannya penetapan uang paksa.

Guna mengenakan sanksi hukum administrasi negara harus dipenuhi persyaratan,


yaitu:
1. Adanya wewenang untuk menerapkan sanksi.
2. Adanya pelanggar.
3. Adanya dukungan fakta yang memadai.
4. Kepatutan menerapkan sanksi didasarkan pada AAUPB, misalnya asas ke-
cermatan, dalam arti mempertimbangkan semua kepentingan yang terkait.
5. Berat ringannya sanksi perlu mendapat perhatian. Sanksi harus seimbang dengan
pelanggaran (asas keseimbangan), karena pengenaan sanksi pada dasarnya
meletakkan kewajiban dan hak baru.
Sanksi administrasi dalam kumulasi internal, dua atau lebih sanksi administrasi
diterapkan bersama-sama dalam satu undang-undang. Sedangkan dalam kumulasi ekternal
berarti sanksi administrasi diterapkan secara bersama dengan sanksi lain, seperti sanksi
pidana maupun sanksi perdata. Kumulasi sanksi secara eksternal dapat dibenarkan dan tidak
menyalahi asas Ne bis in idem karena sifat dan tujuan sanksi administrasi berbeda dengan
sanksi pidana, sementara perdata lebih bersifat pemenuhan prestasi dalam hubungan perdata
yang dilakukan pemerintah dalam kapasitas sebagai subjek hukum perdata dan bukan badan
hukum publik. Asas-asas yang patut diperhatikan dalam menerapkan kumulasi internal,
yaitu:
1. Ne bis vexari, sanksi-sanksi sejenis (tujuannya sama) tidak boleh diterap-kan
secara bersama-sama. Misalnya Bestuursdwang tidak boleh diterapkan bersama-
sama dengan dwangsom.
2. Asas keseimbangan. Berkaitan dengan kepatutan menerapkan sanksi.
Perbedaan antara sanksi administrasi dan sanksi pidana dapat dilihat dari tujuan
pengenaan sanksi itu sendiri. Sanksi administrasi ditujukan kepada perbuatan
pelanggarannya, sedangkan sanksi pidana ditujukan kepada si pelanggar dengan memberi
hukuman nestapa. Sanksi administrasi dimaksudkan agar perbuatan pelanggaran itu
dihentikan. Sifat sanksi adalah Reparatoir artinya memulihkan keadaan semula. Sedangkan
perbedaan antara sanksi pidana dan sanksi administrasi ialah tindakan penegakan hukumnya.
Sanksi administrasi diterapkan oleh pejabat tata usaha negara tanpa harus melalui prosedur
peradilan, sedangkan sanksi pidana hanya dapat dijatuhkan oleh hakim pidana melalui
proses peradilan. Contoh pengaturan sanksi administratif dalam Undang-Undang Nomor 32
Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup terdapat pada Pasal
76 ayat (2) UU No. 32 Tahun 2009 yang meliputi:
1. Teguran tertulis.
2. Paksaan pemerintah.
3. Pembekuan izin lingkungan; atau
4. Pencabutan izin lingkungan.

Anda mungkin juga menyukai