OLEH:
NIM : 51122032
FAKULTAS HUKUM
PROGRAM STUDI HUKUM
UNIVERSITAS KATOLIK WIDYA MANDIRA KUPANG
BAB I
C. Peraturan-Peraturan Internasional
Ada dua sumber dari peraturan internasional memiliki pe-ranan yang menonjol
dalam bidang-bidang: Hukum Uni Eropa, dan Konvensi Eropa Mengenai Hak Asasi
Manusia. Pengaturan hukum administrasi negara di Indonesia, dalam perkembangannya saat
ini juga memiliki pola yang hampir serupa dengan yang berkembang di Belanda, Jerman,
dan Perancis. Di Indonesia beberapa konvensi internasional yang sudah diratifikasi juga
berperan penting dalam perkembangan pengaturan norma hukum administrasi negara,
khususnya norma hukum administrasi ne-gara sektoral. Dengan lahirnya Undang-Undang
Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, maka, juga berlaku teori
integralistik dan teori konvergensi dalam membentuk pedoman dan dasar-dasar fundamental
penggunaan wewenang tata usaha negara. Secara garis besar berikut substansi yang diatur
dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan.
Undang-Undang Administrasi Pemerintahan mengatur tindakan instansi pemerintah
yang memiliki kekuatan hukum mengikat secara eksternal berupa keputusan pemerintahan
yang didasarkan kepada pengujian syarat dan pra-syarat yang telah ditetapkan dalam
undang-undang atau produk hukum lainnya. Secara mendasar terdapat dua alasan mengenai
hal ini. Pertama, undang-undang ini tidak dimaksudkan mengatur secara detail pelayanan
yang diberikan oleh instansi dan administrasi pemerintahan. Ketentuan rinci mengenai sifat,
jenis, kualitas, kuantitas, prasyarat, dan lain-lain syarat administrasi pemerintahan harus
diatur sendiri oleh instansi dan lembaga pemerintah penyelenggara administrasi
pemerintahan dan atau mengacu kepada undang-undang atau peraturan hukum lainnya yang
sudah dan akan mengatur hal tersebut. Kedua, undang-undang ini hanya akan memuat
ketentuan umum dalam penyelenggaraan pemerintah dan bukan manajemen substansi
pelayanan itu sendiri. Dengan kata lain, undang-undang ini menetapkan prinsip-prinsip,
syarat-syarat, pihak-pihak yang terlibat, pihak-pihak yang dikecualikan, batas waktu
jawaban dan gugatan serta instrumen yang digunakan dalam prosedur Administrasi
Pemerintahan. Tidak ditetapkan dalam Undang-Undang Admi-nistrasi Pemerintahan adalah
bagaimana sebuah pelayanan dihasilkan (dipro-duksi), di mana dan siapa yang akan
menyediakan serta dengan menggunakan media apa layanan tersebut akan disediakan.
Administrasi Pemerintahan adalah tata laksana dalam pengambilan keputusan
dan/atau tindakan oleh badan dan/atau pejabat pemerintahan. Fungsi Pemerintahan adalah
fungsi dalam melaksanakan administrasi pemerintahan yang meliputi fungsi pengaturan,
pelayanan, pembangunan, pemberdayaan, dan pelindungan. Badan dan/atau Pejabat
Pemerintahan adalah unsur yang melaksanakan fungsi pemerintahan, baik di lingkungan
pemerintah maupun penyelenggara negara lainnya. Wewenang adalah hak yang dimiliki
oleh badan dan/atau pejabat pemerintahan atau penyelenggara negara lainnya untuk
mengambil keputusan dan/atau tindakan dalam penyelenggaraan pemerintahan.
Kewenangan Pemerintahan adalah ke-kuasaan badan dan/atau pejabat pemerintahan
atau penyelenggara negara lainnya untuk bertindak dalam ranah hukum publik. Keputusan
Administrasi Pemerintahan yang juga disebut Keputusan Tata Usaha Negara atau Keputusan
Administrasi Negara yang selanjutnya disebut Keputusan adalah ketetapan tertulis yang
dikeluarkan oleh badan dan/atau pejabat pemerintahan dalam penyelenggaraan
pemerintahan. Tindakan Administrasi Pemerintahan adalah perbuatan pejabat pemerintahan
atau penyelenggara negara lainnya untuk melakukan dan/atau tidak melakukan perbuatan
konkret dalam rangka penye-lenggaraan pemerintahan. Diskresi adalah keputusan dan/atau
tindakan yang ditetapkan dan/atau dilakukan oleh pejabat pemerintahan untuk mengatasi
persoalan konkret yang dihadapi dalam penyelenggaraan pemerintahan dalam hal peraturan
perundang-undangan yang memberikan pilihan, tidak mengatur, tidak lengkap atau tidak
jelas, dan/atau adanya stagnasi pemerintahan. Kepu-tusan Berbentuk Elektronis adalah
keputusan yang dibuat atau disampaikan dengan menggunakan atau memanfaatkan media
elektronik. Asas-asas UmumPemerintahan yang Baik (AUPB) adalah prinsip yang
digunakan sebagai acuan penggunaan wewenang bagi pejabat pemerintahan dalam
mengeluarkan keputusan dan/atau tindakan dalam penyelenggaraan pemerintahan. Izin
adalah keputusan pejabat pemerintahan yang berwenang sebagai wujud per-setujuan atas
permohonan warga masyarakat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Konsesi adalah Keputusan Pejabat Pemerintahan yang berwenang sebagai wujud
persetujuan dari kesepakatan badan dan/atau pejabat pemerintahan dengan selain badan
dan/atau pejabat pemerintahan dalam pengelolaan fasilitas umum dan/atau sumber daya
alam dan pengelolaan lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Dispensasi adalah keputusan pejabat pemerintahan yang berwenang sebagai wujud per-
setujuan atas permohonan warga masyarakat yang merupakan pengecualian terhadap suatu
larangan atau perintah sesuai dengan ketentuan peraturan per-undang-undangan. Atribusi
adalah pemberian kewenangan kepada badan dan/atau pejabat pemerintahan oleh Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 atau Undang-Undang. Delegasi
adalah pelimpahan kewenangan dari badan dan/atau pejabat pemerintahan yang lebih tinggi
kepada badan dan/atau pejabat pemerintahan yang lebih rendah dengan tanggung jawab dan
tanggung gugat beralih sepenuhnya kepada penerima delegasi. Mandat adalah pelimpahan
kewenangan dari badan dan/atau pejabat pemerintahan yang lebih tinggi kepada badan
dan/atau pejabat pemerintahan yang lebih rendah dengan tanggung jawab dan tanggung
gugat tetap berada pada pemberi mandat.
Ruang lingkup pengaturan administrasi pemerintahan dalam undang-undang ini
meliputi semua aktivitas: a. Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan yang menyelenggarakan
fungsi pemerintahan dalam lingkup lembaga ekse-kutif; b. Badan dan/atau Pejabat
Pemerintahan yang menyelenggarakan fungsi Pemerintahan dalam lingkup lembaga
yudikatif; c. Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan yang menyelenggarakan fungsi
pemerintahan dalam lingkup lembaga legislatif; dan d. Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan
lainnya yang menyelenggarakan fungsi pemerintahan yang disebutkan Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan/atau undang-undang.
Penyelenggaraan administrasi pemerintahan berdasarkan: a. asas lega-litas; b. asas
pelindungan terhadap hak asasi manusia; dan c. AUPB. Pejabat pemerintahan memiliki hak
untuk menggunakan kewenangan dalam meng-ambil keputusan dan/atau tindakan. Hak
tersebut meliputi: a. melaksanakankewenangan yang dimiliki berdasarkan ketentuan
peraturan perundang-undangan dan AUPB; b. menyelenggarakan aktivitas pemerintahan
berda-sarkan Kewenangan yang dimiliki; c. menetapkan keputusan berbentuk tertulis atau
elektronis dan/atau menetapkan tindakan; d. menerbitkan atau tidak menerbitkan, mengubah,
mengganti, mencabut, menunda, dan/atau mem-batalkan keputusan dan/atau tindakan; e.
menggunakan diskresi sesuai de-ngan tujuannya; f. mendelegasikan dan memberikan
mandat kepada pejabat Pemerintahan lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan
perundangan-undangan; g. menunjuk pelaksana harian atau pelaksana tugas untuk me-
laksanakan tugas apabila pejabat definitif berhalangan; h. menerbitkan izin, dispensasi,
dan/atau konsesi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; i. memperoleh
perlindungan hukum dan jaminan keamanan dalam menjalankan tugasnya; j. memperoleh
bantuan hukum dalam pelaksanaan tugasnya; k. menyelesaikan sengketa kewenangan di
lingkungan atau wilayah kewenangannya; 1. menyelesaikan upaya administratif yang
diajukan masya-rakat atas keputusan dan/atau tindakan yang dibuatnya; dan 2. menjatuhkan
sanksi administratif kepada bawahan yang melakukan pelanggaran sebagai-mana diatur
dalam undang-undang ini. Upaya administratif tersebut terdiri atas: a. keberatan; dan
b. banding.
BAB IV
BAB V
TINDAKAN PEMERINTAH
Dalam hukum administrasi negara, suatu Keputusan Tata Usaha Negara harus
memenuhi syarat-syarat sah yang meliputi syarat-syarat materiil dan syarat-syarat formil.
Syarat-syarat materiil suatu Keputusan TUN meliputi: 1. Organ pemerintahan yang
menetapkan harus berwenang; 2. Tidak boleh mengandung kekurangan yuridis seperti
penipuan, paksaan, suap, atau kesesatan; 3. KTUN harus ditetapkan berdasarkan suatu
keadaan/situasi tertentu; 4. KTUN dilaksanakan tanpa melanggar peraturan-peraturan lain
serta isi dan tujuannya harus sesuai dengan isi dan tujuan peraturan dasarnya. Sedangkan
syarat-syarat formil suatu Keputusan TUN mencakup: 1. Syarat-syarat yang berkaitan
dengan persiapan dibuatnya KTUN dan cara dibuatnya KTUN harus dipenuhi; 2. KTUN
harus diberi bentuk yang telah ditentukan dalam peraturan dasarnya; 3. Syarat-syarat yang
berhubungan dengan pelaksanaan KTUN itu harus dipenuhi; dan 4. Jangka waktu harus
ditentukan antara timbulnya hal-hal yang menyebabkan dibuatnya dan diumumkannya
KTUN itu harus diperhatikan.
Tidak dipenuhinya syarat sah berakibat Keputusan TUN tidak sah dan akibat
hukumnya bisa menyebabkan Keputusan TUN tersebut:
1. Batal karena hukum (nietig van rechtswege).
2. Batal (nietig).
3. Dapat dibatalkan (vernietigbaar).
Menurut ahli hukum administrasi negara van der Wel, tidak sahnya suatu Keputusan
TUN bisa berakibat suatu Keputusan TUN tersebut:
1. Batal karena hukum (van rechtswege).
2. Kekurangan itu menjadi sebab atau menimbulkan kewajiban untuk mem-batalkan
KTUN itu sebagian atau seluruhnya.
3. Kekurangan itu menyebabkan alat pemerintah yang lebih tinggi dan yang
berkompeten untuk menyetujui/meneguhkannya, tidak sanggup memberi
persetujuan/peneguhan.
4. Kekurangan itu tidak memengaruhi berlakunya KTUN.
5. Karena kekurangan itu, KTUN yang bersangkutan dikonversi dalam KTUN lain.
6. Dinyatakan tidak mengikat oleh hakim.
Tabel berikut ini memperlihatkan perbedaan antara batal (nietig), batal demi hukum
(van rechtswege nietig) dan dapat dibatalkan (vernietigbaar)
Suatu Keputusan TUN dalam teori hukum administrasi negara memiliki kekuatan
hukum formal dan kekuatan hukum materiil. Kekuatan hukum formil adalah pengaruh yang
timbul karena keberadaan KTUN itu. Suatu KTUN dianggap memiliki kekuatan hukum
formal jika tidak dapat dibantah lagi melalui suatu sarana hukum (rechtsmiddel) yang
tersedia dalam hukum. Kekuatan hukum formal tersebut dapat diperoleh sebagai berikut:
1. KTUN telah mendapat persetujuan untuk berlaku dari badan atau pejabat tata
usaha negara yang lebih tinggi yang berhak memberikan persetujuan tersebut.
2. Suatu KTUN dalam hal permohonan banding terhadap ketetapan itu ditolak atau
karena pihak yang berkepentingan tidak menggunakan hak untuk mengajukan
upaya hukum (upaya administratif atau gugatan) dalam jangka waktu yang
ditentukan dalam UU.
Kekuatan hukum materiil adalah pengaruh yang timbul karena isi/substansi yang ada
dalam KTUN itu. Suatu KTUN mempunyai kekuataan hukum materiil jika KTUN itu tidak
dapat lagi ditiadakan oleh badan atau pejabat tata usaha negara yang membuatnya. Dalam
hukum administrasi negara, suatu Keputusan Tata Usaha Negara juga dapat
dibatalkan/ditarik kembali oleh badan atau pejabat tata usaha negara yang menetapkannya,
hal demikian dikenal dengan istilah executive review. Namun, penarikan kembali suatu
Keputusan TUN tersebut harus memerhatikan asas-asas penarikan kembali suatu Keputusan
TUN. Asas-asas penarikan kembali suatu Keputusan TUN tesebut menurut Prins meliputi
hal-hal berikut:
1. Suatu KTUN yang dibuat karena yang bersangkutan menggunakan tipuan,
senantiasa dapat ditiadakan ab ovo, artinya dari permulaan Keputusan TUN
tersebut dianggap tidak ada.
2. Suatu KTUN yang isinya belum diberitahukan kepada yang dituju, dapat
ditiadakan ab ovo.
3. KTUN yang bermanfaat bagi yang dituju dan dikaitkan dengan syarat-syarat
tertentu, hanya dapat ditarik kembali jika syarat-syarat tersebut tidak dipenuhi.
4. Suatu KTUN yang bermanfaat bagi yang dituju tidak boleh ditarik kembali
setelah jangka waktu tertentu lewat, jika karena penarikan kembali KTUN itu
suatu keadaan yang layak sebagai akibat adanya KTUN itu berubah menjadi
keadaan tidak layak.
5. Jika oleh suatu KTUN yang tidak benar ditimbulkan suatu keadaan yang tidak
layak, keadaan itu tidak dapat ditiadakan jika menimbulkan kerugian yang lebih
besar daripada kerugian sebelumnya.
6. Menarik atau mengubah suatu KTUN, harus ditentukan menurut cara yang sama
sebagaimana yang ditentukan bagi pembuatan KTUN tersebut (contrarius actus).
Keputusan TUN sebagai suatu wujud dari tindakan hukum administrasi negara
eksistensi dan keberlakuannya bisa diklasifikasikan atas beberapa fase. Masa berlakunya
suatu KTUN sebagai tindak administratif meliputi:
1. Fase mulai berlakunya.
Fase mulai berlakunya suatu Keputusan TUN yang meliputi 2 hal, yaitu: (1).
Validitas, artinya syarat mulai berlakunya suatu tindak administratif secara
yuridis formil (saat valid/sahnya), yakni pada saat ditandatanganinya suatu
KTUN tersebut oleh pejabat yang berwenang. Dengan demikian, keberlakuan
suatu Keputusan TUN tidak berlaku surut (retroaktif); (2). Opposabilitas, artinya,
syarat mulai berlakunya suatu KTUN adalah bilamana opposabilitas (hak
perlawanan) dari masyarakat dapat mulai dipergunakan, yaitu pada umunya
setelah KTUN diumumkan menurut prosedur dan bentuk yang ditentukan dalam
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
2. Fase penerapan (toepassing).
Pada fase ini suatu Keputusan TUN merupakan wujud realisasi dari hak dan
kewajiban bagi yang subjek hukum yang dituju sebagaimana sebelumnya telah
dikonstruksi dalam peraturan perundang-undangan. Penerapan norma hukum
yang bersifat umum-abstrak ke dalam norma hukum yang bersifat konkret-
individual tersebut merupakan konkretisasi hak dan kewajiban yang dalam
peraturan perundang-undangan masih bersifat umum dan abstrak menjadi bersifat
konkret-individual karena sudah dikaitkan dengan kepentingan-kepentingan
subjektif dari subjek hukum
3. Fase berakhirnya (expirasi atau habis berlakunya).
Fase berakhirnya suatu Keputusan TUN terdiri atas 3 (tiga) hal, yaitu:
1. Expirasi, selesai berlakunya suatu KTUN karena pejabat yang menetapkan telah
menentukan suatu masa berlaku tertentu.
2. Anulasi, selesai berlakunya suatu KTUN karena adanya pembatalan sebagai
akibat ilegalitas suatu KTUN itu.
3. Disparitie, selesai berlakunya suatu KTUN karena perubahan situasi atau kondisi
yang menjadi dasar penetapan.
Penarikan suatu Keputusan TUN dalam Hukum Administrasi Negara dapat
meliputi 3 (tiga) sifat, yaitu:
1. Retroactive, bersifat anulasi, pencabutan kembali suatu KTUN yang ditujukan
untuk menghapuskan tindakan administratif dan akibat hukum yang
ditimbulkannya, seakan-akan tidak pernah terjadi sesuatu.
2. Revocative, pencabutan suatu KTUN untuk menghapuskan tindak administratif
dimulai sejak saat penarikan tersebut hingga seterusnya, dengan tanpa
menggantikan melalui KTUN baru.
3. Abrogative, penarikan kembali suatu KTUN dimaksudkan untuk menghapus
tindak administratif itu untuk masa yang akan datang dimulai sejak saat
penarikan itu hingga seterusnya, akan tetapi dengan menggantikan melalui
KTUN yang lebih sesuai.
BAB VI
AAUPB dalam Pasal 53 ayat (2) UU No. 9 Tahun 2004 meliputi asas-asas, yaitu:
Asas Kepastian Hukum adalah asas dalam negara hukum yang mengutamakan landasan
peraturan perundang-undangan, kepatutan, dan keadilan dalam setiap kebijakan
penyelenggara negara. Asas Tertib Penyelenggaraan Negara adalah asas yang menjadi
landasan keteraturan, keserasian, dan keseimbangan dalam pengendalian penyelenggara
negara. Asas Kepentingan Umum adalah asas yang mendahulukan kesejahteraan umum
dengan cara yang aspiratif, akomodatif, dan selektif. Asas Keterbukaan adalah asas yang
membuka diri terhadap hak masyarakat untuk memperoleh informasi yang benar, jujur, dan
tidak diskriminatif tentang penyelenggaraan negara dengan tetap memerhatikan
perlindungan atas hak asasi pribadi, golongan, dan rahasia negara. Asas Proporsionalitas
adalah asas yang mengutamakan keseimbangan antara hak dan kewajiban Penyelenggara
Negara. Asas Profesionalitas adalah asas yang mengutamakan keahlian yang berlandaskan
kode etik dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Asas Akuntabilitas
adalah asas yang menentukan bahwa setiap kegiatan dan hasil akhir dari kegiatan
penyelenggara negara harus dapat dipertanggungjawabkan kepada masyarakat atau rakyat
sebagai pemegang kedaulatan tertinggi negara sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
AAUPB, Pasal 10 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi
Pemerintahan mengatur adanya delapan macam AAUPB yaitu meliputi asas-asas: a.
kepastian hukum; b. kemanfaatan; c. ketidakberpihakan; d. kecermatan; e. tidak
menyalahgunakan kewenangan; f. keterbukaan; g. kepentingan umum; dan h. pelayanan
yang baik. Asas-asas umum lainnya di luar AUPB tersebut dapat diterapkan sepanjang
dijadikan dasar penilaian hakim yang tertuang dalam putusan Pengadilan yang berkekuatan
hukum tetap.
BAB VII
PELAYANAN PUBLIK
BAB IX
PENEGAKAN NORMA HUKUM ADMINISTRASI NEGARA
A. Landasan Teoritis
Konsep penegakan norma Hukum Administrasi Negara atau yang dalam kepustakaan
Hukum Administrasi Negara di Belanda dikenal dengan sebutan: "Eenzijdige Handhaving
Recht door Overheid" merupakan kewenangan administrasi negara untuk meluruskan
terjadinya pelanggaran norma hukum administrasi guna mengakhiri pelanggaran tersebut
dengan melakukan suatu tindakan nyata. P. Nicolai dan kawan-kawan mengatakan bahwa
sarana penegakan hukum administrasi negara berisi: (1) pengawasan bahwa organ
pemerintahan dapat melaksanakan ketaatan pada atau berdasarkan undang-undang yang
ditetapkan secara tertulis dan pengawasan terhadap keputusan yang meletakkan kewajiban
kepada individu, dan (2) penerapan kewenangan sanksi pemerintahan. Sanksi dalam HAN
yang merupakan alat kekuasaan yang bersifat hukum publik yang digunakan oleh penguasa
sebagai reaksi terhadap ketidakpatuhan pada norma hukum administrasi negara. Dengan
demikian, unsur-unsur sanksi dalam hukum administrasi negara meliputi:
1. Alat kekuasaan (machtsmiddelen).
2. Bersifat hukum publik (publiekrechtelijk).
3. Digunakan oleh penguasa (overheid).
4. Sebagai reaksi terhadap ketidakpatuhan (reactie op niet-naleving).
Tujuan dari penegakan norma hukum administrasi negara adalah terwujudnya tertib
hukum (legal order) dalam rangka melindungi kepentingan umum. Sanksi hukum
administrasi negara karakter normanya bukan kewajiban (plicht), akan tetapi merupakan
kewenangan bebas yang mandiri, tidak tergantung pada organ lainnya. J.B.J.M ten Berge
menyebutkan bahwa sanksi merupakan inti dari penegakan hukum administrasi. Sanksi
biasanya diletakkan pada bagian akhir setiap peraturan atau disebut dengan in cauda
venenum, artinya di ujung kaidah hukum terdapat sanksi yang istilahnya sebagai sebuah
"tanden van het recht" atau taringnya hukum.
Ditinjau dari segi sasarannya, dikenal dua jenis sanksi, yaitu sanksi reparatoir dan
sanksi punitif. Sanksi reparatoir diartikan sebagai sanksi atas pelanggaran norma yang
ditujukan untuk mengembalikan pada kondisi semula atau menempatkan pada situasi yang
sesuai dengan kondisi semula atau menem-patkan pada situasi yang sesuai dengan kondisi
hukum. Sedangkan sanksi punitif adalah sanksi yang semata-mata ditujukan untuk
memberikan hukuman pada seseorang. Contoh sanksi reparatoir adalah paksaan pemerintah
dan pengenaan uang paksa, sedangkan contoh sanksi punitif adalah pengenaan denda
administrasi.