Anda di halaman 1dari 15

UJIAN TENGAH SEMESTER

PERLUASAN PARAGDIGMA OBYEK SENGKETA TATA USAHA NEGARA PASCA


ADANYA UU NO 30 TAHUN 2014 TENTANG ADMINISTRASI PEMERINTAHAN

Di Susun Oleh :

Dewa Ayu Putu Dian Permatasari (1804551385)

Dosen Pengampu : I Wayan Bela Siki Layang, S.H,.MH

Mata Kuliah : Hukum Acara Praktik Peradilan Tata Usaha Negara (E)

UNIVERSITAS UDAYANA

FAKULTAS HUKUM

2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur saya panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, yang telah memberikan rahmat
serta karunia-Nya kepada saya sehingga dapat menyelesaikan makalah ini tepat pada waktunya.
Makalah ini berjudul “Perluasan Paradigma Obyek Sengketa TUN Pasca Adanya UU No 30
Tahun 2014 Tentang Administrasi Pemerintahan” membahas mengenai perluasan obyek
sengketa diantaranya pemaknaan tindakan factual dan final secara luas keputusan tata usaha
Negara

Saya menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu kritik dan saran
yang bersifat membangun, selalu saya harapkan demi kesempurnaan makalah ini. Semoga
makalah ini dapat memberikan wawasan yang lebih luas kepada pembaca. Mohon maaf jika
terdapat kekurangan dan kesalahan dalam makalah ini Akhir kata, saya sampaikan terima kasih.

Denpasar, 31 Maret 2021

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.................................................................................................................................2
DAFTAR ISI...............................................................................................................................................3
BAB 1.........................................................................................................................................................4
PENDAHULUAN.......................................................................................................................................4
A. Latar Belakang.................................................................................................................................4
B. Rumusan Masalah............................................................................................................................6
C. Metode Penulisan............................................................................................................................6
D. Tujuan Penulisan.............................................................................................................................6
E. Manfaat Penulisan...........................................................................................................................6
BAB II.........................................................................................................................................................7
PEMBAHASAN.........................................................................................................................................7
A. Pemaknaan Tindakan factual dalam perluasan obyek sengketa tata usaha negara yang tercantum
dalam Undang-Undang No 30 Tahun 2014.............................................................................................7
B. Pemaknaan final secara luas dalam perluasan obyek sengketa tata usaha Negara yang tercantum
dalam Undang-Undang No 30 Tahun 2014...........................................................................................10
BAB III......................................................................................................................................................13
PENUTUP.................................................................................................................................................13
A. Kesimpulan....................................................................................................................................13
B. Saran..............................................................................................................................................14
DAFTAR PUSTAKA................................................................................................................................15

3
BAB 1

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Di Indonesia kewenangan untuk menguji kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan hak
warga negara ini diletakkan di dalam satu lembaga peradilan tersendiri, yaitu Peradilan Tata
Usaha Negara. Keberadaan PTUN ini tidak lepas dari komitmen bangsa Indonesia untuk
mendirikan negara hukum dan melindungi kepentingan warga negaranya. Kedudukan
Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN) dalam UUD Negara RI 1945 pasca amandemen telah
diatur secara tegas, Khususnya dalam Pasal 24 ayat (2) UUD 1945.

Kompetensi absolut dari PTUN terdapat dalam Pasal 47 UU No 5 Tahun 1986 yang
menentukan bahwa pengadilan bertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan
menyelesaikan sengketa tata usaha negara. Yang dimaksud dengan sengketa tata usaha
negara tersebut, menurut Pasal 1 angka 4 adalah sengketa yang timbul dalam bidang tata
usaha negara antara orang atau badan hukum perdata dengan badan atau pejabat tata usaha
negara, baik di pusat maupun di daerah, sebagai akibat dikeluarkannya Keputusan Tata
Usaha Negara, termasuk sengketa kepegawaian berdasarkan peraturan perundang-undangan
yang berlaku

Dari ketentuan dalam UU No 5 Tahun 1986 ini terlihat bahwa kompetensi PTUN sangat
sempit, hanya berkaitan dengan Keputusan Tata Usaha Negara yang dinilai merugikan
masyarakat. Keputusan sebagaimana diketahui harus bersifat konkret, individual dan final,
selain dari pada itu PTUN tidak memiliki kewenangan untuk mengadilinya.

Pemberlakukan UU No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, telah membawa


perubahan besar terhadap kompetensi absolute Peradilan Tata Usaha Negara. Undang-
Undang Administrasi Pemerintahan memberikan pemaknaan Keputusan TUN yang lebih
luas, hal mana terlihat dari rumusan definisi tentang Keputusan TUN . Undang-Undang
Peradilan Tata Usaha Negara dalam Pasal 1 angka 9 mengatur bahwa, Keputusan TUN

4
(Obyek sengketa Tata Usaha Negara) adalah penetapan tertulis yang diterbitkan oleh Badan
atau Pejabat Tata Usaha Negara, yang berisi tindakan hukum Tata Usaha Negara, bersifat
konkrit, individual dan final yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan
hukum perdata

Dalam Undang-undang nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, terjadi


perluasan makna objek sengketa TUN. Dalam Undang-undang ini dijelaskan juga mengenai
KTUN, Pada Pasal 1 Angka 7 yang mengatakan bahwa,“Keputusan Administrasi
Pemerintahan yang juga disebut Keputusan Tata Usaha Negara atau Keputusan
Administrasi Negara yang selanjutnya disebut Keputusan adalah ketetapan tertulis yang
dikeluarkan oleh Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan dalam penyelenggaraan
pemerintahan”. Dikatakan terjadi perluasan makna objek sengketa TUN karena dalam Pasal
87 Undang-undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, dijabarkan
unsur-unsur KTUN yang harus dimaknai,
a) penetapan tertulis yang juga mencakup tindakan faktual;
b) Keputusan Badan dan/atau Pejabat Tata Usaha Negara di lingkungan eksekutif, legislatif,
yudikatif, dan penyelenggara negara lainnya;
c) berdasarkan ketentuan perundang-undangan dan AUPB;
d) bersifat final dalam arti lebih luas;
e) Keputusan yang berpotensi menimbulkan akibat hukum; dan/atau
f) Keputusan yang berlaku bagi Warga Masyarakat.

Keputusan pemerintah atau Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN) memang menjadi objek
PTUN dan diatur dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peratun dan
perubahannya. Pada tahun 2014, terbitlah Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 Tentang
Administrasi Pemerintahan. Dengan keluarnya Undang-Undang Administrasi Pemerintahan
ini, kewenangan PTUN perluasan, termsuk objek sengketa TUN yang juga mengalami
perluasan. Dalam Ketentuan Peralihan pada Pasal 87 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014
disebutkan perluasan objek sengketa dan dari segi unsur berbeda dengan yang tercantum
dalam Undang-Undang Peratun dan perubahannya. Perluasan objek sengketa antara lain,
Penetapan tertulis yang juga mencakup tindakan faktual; Keputusan Badan dan/atau Pejabat
Tata Usaha Negara di lingkungan eksekutif, legislatif, yudikatif, dan penyelenggara negara

5
lainnya; Berdasarkan ketentuan perUndang-Undangan dan AUPB; Bersifat final dalam arti
lebih luas; Keputusan yang berpotensi menimbulkan akibat hukum; dan/atau Keputusan yang
berlaku bagi Warga Masyarakat.
Maka dari itu penulis akan membahas mengenai perluasan obyek sengketa KTUN yang
tercantum pada Undang-Undang nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan,
tepatnya pasal 87 (a) dan (d) yaitu mengenai tindakan factual dan pemaknaan mengenai final
secara luas.

B. Rumusan Masalah
1. Pemaknaan Tindakan factual dalam perluasan obyek sengketa tata usaha negara yang
tercantum dalam Undang-Undang No 30 Tahun 2014 tentang administrasi pemerintahan
2. Pemaknaan final secara luas dalam perluasan obyek sengketa tata usaha Negara yang
tercantum dalam Undang-Undang No 30 Tahun 2014 tentang administrasi pemerintahan

C. Metode Penulisan
Penelitian ini adalah penelitian yuridis-empiris. terdiri dari data yang diperoleh dari
bahan pustaka, antara lain mencakup dokumen-dokumen resmi, buku-buku, hasil
penelitian yang berwujud laporan, jurnal dan sebagainya. Secara khusus objek penelitian
yaitu Melakukan analisis terhadap pemaknaan perluasan obyek sengketa tata usaha
Keseluruhan data kemudian dianalisis dengan metode deskriptif kualitatif.

D. Tujuan Penulisan
1. Menjabarkan pemaknaan dari tindakan factual yang merupakan perluasan obyek sengketa
tata usaha negara yang tercantum dalam Undang-Undang No 30 Tahun 2014 tentang
administrasi pemerintahan
2. Menjabarkan pemaknaan dari final secara luas yang merupakan perluasan obyek sengketa
tata usaha negara yang tercantum dalam Undang-Undang No 30 tahun 2014 tentang
administrasi pemerintahan

E. Manfaat Penulisan
Mengetahui pemaknaan dari tindakan factual dan final secara luas mengetahui obyek
sengketa tata usaha negara yang tercantum dalam Undang-Undang No 30 tahun 2014
tentang administrasi pemerintahan.

6
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pemaknaan Tindakan factual dalam perluasan obyek sengketa tata usaha negara yang
tercantum dalam Undang-Undang No 30 Tahun 2014

Secara eksplisit definisi tindakan faktual tidak langsung disebutkan dalam UU No.30 Tahun
2014 tentang Administrasi Pemerintahan yang disahkan pada tanggal 17 Oktober 2014
(Lembaran Negara Tahun 2014 Nomor 292) sebagai landasan perluasan absolut Peradilan Tata
Usaha Negara selanjutnya disebut PTUN, melainkan hanya menyebut sekali saja dalam Pasal 87
huruf a “penetapan tertulis yang juga mencakup tindakan faktual”

Setelah munculnya Undang-Undang Administrasi Pemerintahan, maka beberapa ketentuan


dalam Undang-Undang PERATUN dan perubahannya juga mengalami perubahan, salah satunya
adalah objek sengketa TUN yang terdapat pada Pasal 87 yang berbunyi,
“Dengan berlakunya Undang-Undang ini, Keputusan Tata Usaha Negara sebagaimana dimaksud
dalam UndangUndang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara sebagaimana
telah diubah dengan UndangUndang Nomor 9 Tahun 2004 dan Undang-Undang Nomor 51
Tahun 2009 harus dimaknai sebagai:
a. penetapan tertulis yang juga mencakup tindakan faktual;
b. Keputusan Badan dan/atau Pejabat Tata Usaha Negara di lingkungan eksekutif, legislatif,
yudikatif, dan penyelenggara negara lainnya;
c. berdasarkan ketentuan perundang-undangan dan AUPB;
d. bersifat final dalam arti lebih luas;
e. Keputusan yang berpotensi menimbulkan akibat hukum; dan/atau
f. Keputusan yang berlaku bagi Warga Masyarakat.”

Dari beberapa objek sengketa yang mengalami perluasan, penulis akan membahas pemaknaan
Pasal 87 huruf (a) yang mana dalam pasal tersebut berbunyi, “a. penetapan tertulis yang juga
mencakup tindakan faktual”

7
Administrasi pemerintahan tidak dimaknai hanya sebatas keputusan seperti halnya dalam UU
PTUN, namun termasuk juga tindakan faktual. Artinya UU Administrasi Pemerintahan ini
menyetarakan istilah keputusan dengan tindakan. perluasan yang mencakup tindakan faktual
pemerintah menjadi unsur KTUN. Dengan adanya Undang-Undang Administrasi Pemerintahan,
memperjelas adanya tindakan faktual yang menjadi unsur KTUN. Namun, penetapan tertulis
yang mencakup tindakan faktual ini banyak diartikan sebagai tindakan pemerintah yang tidak
memiliki akibat hukum. Sebenarnya, tindakan faktual bukannya sama sekali tidak memiliki
akibat hukum. Namun harus dibedakan, tindakan faktual disini adalah tindakan faktual yang ada
dalam KTUN.

Pejabat TUN dapat dikatakan telah mengeluarkan sebuah penetapan tidak hanya sekedar dilihat
dari adanya tindakan hukum dalam bentuk terbitnya sebuah beschikking akan tetapi penetapan
juga dimaknai dalam bentuk dan atau Tindakan Faktual. Secara teoritis, Tindakan Faktual selama
ini dipahami bukan bagian dari tindakan hukum pemerintah namun merupakan Tindakan Faktual
yang dilakukan tanpa atau memiliki dasar hukum.

Tindakan Faktual sebagai bagian dari KTUN sebagai obyek gugatan dalam sengketa TUN
merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari adanya ketentuan tentang Diskresi yang diatur
dalam pasal 22 – pasal 32 UU AP. Dalam pasal 1 ayat (9) disebutkan Diskresi adalah Keputusan
dan/atau Tindakan yang ditetapkan dan/atau dilakukan oleh Pejabat Pemerintahan untuk
mengatasi persoalan konkret yang dihadapi dalam penyelenggaraan pemerintahan dalam hal
peraturan perundang-undangan yang memberikan pilihan, tidak mengatur, tidak lengkap atau
tidak jelas, dan/atau adanya stagnasi pemerintahan. UU AP memberikan ruang bagi pejabat TUN
untuk menerbitkan Diskresi.

Terkait tindakan administrasi pemerintahan, sudah dijelaskan sendiri pada pasal 1 angka (8)
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Adminsitrasi pemerintahan bahwa, Tindakan
administrasi pemerintahan yang dengan selanjutnya disebut dengan tindakan adalah perbuatan
pejabat pemerintahan atau penyelenggara negara lainnya untuk melakukan dan/atau tidak
melakukan perbuatan konkret dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan. Mengenai tindakan
pemerintah yang kini juga menjadi perluasan objek sengketa TUN, seringkali tindakan faktual
pemerintah ini disamakan dengan perbuatan melawan hukum oleh penguasa (onrechtmatige

8
overheidsdaad). Sehingga, ketika ada perkara terkait perbuatan pemerintah, otomatis dianggap
sebagai OOD dan menggunakan Pasal 1365 KUH Perdata sebagai dasar tuntutannya dan menjadi
ranah peradilan umum. Sedangkan sejak adanya Undang-Undang Administrasi Pemerintahan,
tindakan pemerintah bisa menjadi kompetensi Peradilan TUN. Hal serupa juga disampaikan oleh
Imam Soebechi dalam bukunya, bahwa “Semua terhadap tindakan faktual diuji oleh pengadilan
di lingkungan peradilan umum melalui Perbuatan melawan Hukum oleh Pejabat (P.M.H.P)
dengan menggnakan Pasal 1365 KUH Perdata. Setelah diundangkannya UU No. 30 Tahun 2014,
pengujian Keputusan dan/atau tindakan administrasi pemerintah menjadi yuridiksi PERATUN.”

KTUN yang menjadi objek sengketa TUN selama ini diatur dalam Undang-Undang nomor 5
tahun 1986. Objek sengketa TUN selama ini tidak mengenal objek sengketa berupa tindakan
faktual, sehingga perlu diakomodir dan dirumuskan sebagai objek sengketa TUN. (Abdoellah,
2016: 269) Setelah Undang-Undang Administrasi Pemerintahan disahkan, tindakan faktual
menjadi salah satu unsur objek sengketa TUN. Dengan mengatur mengenai tindakan faktual ini,
proses pengajuan gugatan-gugatan terhadap tindakan faktual yang dulunya masuk kedalam ranah
Pengadilan Negeri melalui gugatan perbuatan melawan hukum (onrechmatige overhaitdaad),
hari ini dapat masuk menjadi obyek yang diadili oleh PTUN.

Tindakan faktual pemerintah memang sejatinya bukan dalam keadaan menjalankan tugas pokok.
Namun, ketika perbuatan tersebut pada akhirnya menimbulkan kerugian bagi orang atau badan
hukum perdata, maka dapat dikenakan sanksi hukum. Selama tindakan mengakibatkan kerugian,
baik tugas pokok maupun tidak, akan ada sanksi hukum yang harus diberikan. Lalu, ketika
perbuatan pemerintah tersebut sudah mengakibatkan kerugian pada subjek perdata, maka
tindakan tersebut dapat digugat ke pengadilan. Lalu, apakah setiap perbuatan yang dilakukan
oleh pemerintah selalu merupakan kompetensi dari PTUN?.

Ketika tindakan faktual tidak didahului oleh KTUN, maka tindakan faktual pemerintah akan
tetap menjadi kompetensi Peradilan Umum dan digugat atas perbuatan melawan hukum oleh
penguasa (onrechtmatige overheidsdaad). Tindakan faktual pemerintah sebenarnya sudah ada
sejak lama, namun memang bukan kompetensi PTUN untuk memutus dan menyelesaikan
sengketa. Contohnya yurisprudensi putusan Mahkamah Agung RI Nomor 144 K/TUN/1999
tanggal 29 September 1999 yang menyatakan pembongkaran dilakukan tanpa surat perintah,

9
tetapi pembongkaran sudah dilakukan, maka perkara tersebut menjadi kompetensi Pengadilan
Negri dengan guagtan perbuatan melawan hukum oleh penguasa (onrechtmatige overheidsdaad).

Menurut penulis, Tindakan faktual pemerintah dibandingkan disamakan dengan perbuatan


melawan hukum oleh pemerintah, penulis lebih cenderung memaknai tindakan faktual disini
sebagai paksaan pemerintah (berstuurdwang). Berdasarkan Undang-undang Hukum Belanda
dalam buku Ridwan HR (2014: 304),“Onder bestuurdwang wordt verstaan, het feitelijk
handelen door of vanwege een bestuurorgaan wegnemen, ontruimen, beletten, in de vorige
toestand herstellen of verrichten van hetgeen in strijd met bij of krachtens wettelijke
voorschriften gestelde verplichtingen is of wordt gedaan, gehouden of nagelaten” (paksaan
pemerintahan adalah tindakan nyata yang dilakukan oleh organ pemerintah atau atas nama
pemerintah untuk memindahkan, mengosongkan, menghalang-halangi, memperbaiki pada
keadaan semula apa yang telah dilakukan atau sedang dilakukan yang bertentangan dengan
kewajiban-kewajiban yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan).

B. Pemaknaan final secara luas dalam perluasan obyek sengketa tata usaha Negara yang
tercantum dalam Undang-Undang No 30 Tahun 2014

Di dalam Pasal Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014, Keputusan TUN dimaknai: “Ketetapan
tertulis yang dikeluarkan oleh Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan dalam penyelenggaraan
pemerintahan”. Ketentuan ini memang belum memberikan penjelasan konkret mengenai kriteria
Keputusan. Lalu di dalam Pasal 87 Ketentuan Peralihan14 dicantumkan kriteria Keputusan Tata
Usaha Negara yang dimaknai sebagai:

a) Penetapan tertulis yang juga mencakup tindakan faktual;


b) Keputusan Badan dan/atau Pejabat Tata Usaha Negara di lingkungan eksekutif, legislatif,
yudikatif, dan penyelenggara negara lainnya;
c) Berdasarkan ketentuan perundang-undangan dan AUPB;
d) Bersifat final dalam arti lebih luas;
e) Keputusan yang berpotensi menimbulkan akibat hukum; dan/atau
f) Keputusan yang berlaku bagi Warga Masyarakat.

10
Dari ketentuan dalam Pasal 87 ini, maka beberapa catatan yang cukup menarik adalah: Pertama,
jika sebelumnya keputusan selalu dikaitkan dengan sifatnya yang konkret, individual, dan final,
di mana putusan yang tidak mencakup tiga hal itu secara kumulatif maka tidak dapat diajukan ke
PTUN. Namun dalam UU Administrasi Pemerintahan ini tidak lagi harus mencakup ketiga sifat
tersebut, dalam Pasal ini hanya dikatakan “Bersifat final dalam arti yang lebih luas”.

Unsur bersifat final. Menurut UU Peradilan Tata Usaha Negara, final artinya sudah definitif dan
karenanya dapat menimbulkan akibat hukum. akibat hukum ini adalah:
1. Menimbulkan beberapa perubahan hak, kewajiban atau kewenangan yang ada;

2. Menimbulkan perubahan kedudukan hukum bagi seseorang atau objek perdata;

3. Terdapat hak, kewajiban, kewenangan, ataupun status tertentu yang ditetapkan.

Keputusan yang masih memerlukan persetujuan instansi atasan atau instansi lain belum bersifat
final karenanya belum dapat menimbulkan suatu hak atau kewajiban pada pihak yang
bersangkutan. Apabila dibandingkan dengan UU Administrasi Pemerintahan, dimana undang-
undang ini menyatakan bahwa sifat final suatu keputusan tata usaha negara diartikan lebih luas
yaitu termasuk keputusan yang diambil alih oleh atasan pejabat yang berwenang. Selain itu,
Menurut Undang-undang Peradilan Tata Usaha Negara suatu keputusan tata usaha negara telah
menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata.

Ukuran final ini dijelaskan secara otentik dalam Penjelasan UU PTUN, yang menyebutkan
bahwa artinya sudah definitif dan karenanya dapat menimbulkan akibat hukum. Keputusan yang
masih memerlukan persetujuan instansi atasan atau instansi lain belum bersifat final karenanya
belum dapat menimbulkan suatu hak atau kewajiban pada pihak yang bersangkutan.
Umpamanya, keputusan pengangkatan seorang pegawai negeri memerlukan persetujuan dari
Badan Administrasi Kepegawaian Negara. Ukuran ini sangat berkaitan erat dengan unsur adanya
akibat hukum yang ditimbulkan dari diterbitkannya KTUN, dengan demikian hal ini juga
berkaitan erat dengan unsur tindakan hukum TUN karena jika timbul akibat hukum maka
otomatis pasti diawali dengan adanya tindakan hukum TUN. Berkaitan dengan ukuran inilah
sejatinya Laporan Penilaian tidak memenuhinya, karena Laporan Penilaian tidak memiliki akibat
hukum. Hal ini dapat dengan mudah dipahami jika melihat fungsi Laporan Penilaian, sebagai

11
contoh Laporan Penilaian dengan tujuan untuk lelang. Laporan Penilaian tersebut tidak dapat
menjadi dasar untuk melakukan lelang, melainkan memerlukan tindakan hukum lainnya
sehingga lelang dapat dilakukan. Permisalan adalah penilaian terhadap sebidang tanah dengan
tujuan lelang yang dimohonkan oleh PUPN, meskipun Laporan Penilaian telah dibuat lelang
tidak serta merta terjadi namun lelang akan terjadi jika PUPN mengajukan permohonan lelang.
Selain itu jika kembali kepada definisi Laporan Penilaian sebagaimana terdapat dalam SE
08/2009, maka Laporan Penilaian selalu akan ditindaklanjuti oleh “pemberi tugas” sehingga
sifatnya tidak final.

Keputusan tata usaha negara yang bersifat final dalam arti luas, hal ini perlu diberi batasan secara
tegas. Apa yang dimaksud dengan keputusan tata usaha Negara yang bersifat final dalam arti
luas, serta bagaimana cara menentukan atau melakukan pengelompokkan untuk hal tersebut ? .
Penjelasan Pasal 87 huruf d UU No. 30 Tahun 2014, menjelaskan yang dimaksud dengan “final
dalam arti luas” mencakup Keputusan yang diambil alih oleh Atasan Pejabat yang berwenang.
Berdasar penjelasan tersebut, perlu dipikirkan lebih lanjut mengenai : kapan dan dalam kondisi
bagaimana suatu keputusan diambil alih oleh Atasan Pejabat yang berwenang. Lebih jauh dapat
dikaji adalah bahwa obyek sengketa yang berupa keputusan tata usaha negara yang bersifat final
dalam arti luas, dapat saja terjadi pada saat praktek penyelenggaraan pemerintahan atau
dilakukannya diskresi . Penjelasan Pasal 1 angka 3 UU No. 5 Tahun 1986, final artinya sudah
definitif dan karenanya dapat menimbulkan akibat hukum, keputusan yang masih memerlukan
persetujuan instansi atasan atau instansi lain belum bersifat final, karenanya dapat menimbulkan
suatu hak atau kewajiban pada pihak yang bersangkutan.

Keputusan Tata Usaha Negara dan atau Tindakan yang bersifat final dalam arti luas  diatur
dalam SE No.4 Tahun 2016 pada Bagian Rumusan Pleno Kamar Tata Usaha Negara  sebagai
Keputusan Tata Usaha Negara yang sudah menimbulkan akibat hukum meskipun masih
memerlukan persetujuan dari instansi atasan atau instansi lain. Implikasi hukum dari pengaturan
ketentuan ini ialah  PTUN kemudian memiliki kewenangan untuk memeriksa dan memutus
sengketa Tata Usaha Negara yang obyek sengketanya berupa KTUN yang belum final (masih
dalam proses atau diambil alih atasan pejabat yang berwenang). Meskipun masih ditahap awal
(pejabat terbawah), apabila KTUN tersebut dianggap merugikan, maka setiap pihak yang
dirugikan dapat mengajukan gugatan ke PTUN meskipun keputusan tersebut belum final.

12
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

1. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 Tentang Administrasi Pemerintahan. Dengan


keluarnya Undang-Undang Administrasi Pemerintahan ini, kewenangan PTUN perluasan,
termsuk objek sengketa TUN yang juga mengalami perluasan. Dalam Ketentuan Peralihan
pada Pasal 87 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 disebutkan perluasan objek sengketa
dan dari segi unsur berbeda dengan yang tercantum dalam Undang-Undang Peratun dan
perubahannya. Perluasan objek sengketa antara lain, Penetapan tertulis yang juga mencakup
tindakan faktual; Keputusan Badan dan/atau Pejabat Tata Usaha Negara di lingkungan
eksekutif, legislatif, yudikatif, dan penyelenggara negara lainnya; Berdasarkan ketentuan
perUndang-Undangan dan AUPB; Bersifat final dalam arti lebih luas; Keputusan yang
berpotensi menimbulkan akibat hukum; dan/atau Keputusan yang berlaku bagi Warga
Masyarakat.

2. objek sengketa yang mengalami perluasan, pemaknaan Pasal 87 huruf (a) yang mana dalam
pasal tersebut berbunyi, “a. penetapan tertulis yang juga mencakup tindakan faktual” Pejabat
TUN dapat dikatakan telah mengeluarkan sebuah penetapan tidak hanya sekedar dilihat dari
adanya tindakan hukum dalam bentuk terbitnya sebuah beschikking akan tetapi penetapan
juga dimaknai dalam bentuk dan atau Tindakan Faktual. Secara teoritis, Tindakan Faktual
selama ini dipahami bukan bagian dari tindakan hukum pemerintah namun merupakan
Tindakan Faktual yang dilakukan tanpa atau memiliki dasar hukum. Tindakan Faktual
sebagai bagian dari KTUN sebagai obyek gugatan dalam sengketa TUN merupakan bagian
yang tidak terpisahkan dari adanya ketentuan tentang Diskresi yang diatur dalam pasal 22 –
pasal 32 UU AP. Dalam pasal 1 ayat (9) disebutkan Diskresi adalah Keputusan dan/atau
Tindakan yang ditetapkan dan/atau dilakukan oleh Pejabat Pemerintahan untuk mengatasi
persoalan konkret yang dihadapi dalam penyelenggaraan pemerintahan dalam hal peraturan
perundang-undangan yang memberikan pilihan, tidak mengatur, tidak lengkap atau tidak

13
jelas, dan/atau adanya stagnasi pemerintahan. UU AP memberikan ruang bagi pejabat TUN
untuk menerbitkan Diskresi.

3. Pasal 87 huruf d UU No. 30 Tahun 2014, menjelaskan yang dimaksud dengan “final dalam
arti luas” mencakup Keputusan yang diambil alih oleh Atasan Pejabat yang berwenang.
Berdasar penjelasan tersebut, perlu dipikirkan lebih lanjut mengenai : kapan dan dalam
kondisi bagaimana suatu keputusan diambil alih oleh Atasan Pejabat yang berwenang. Lebih
jauh dapat dikaji adalah bahwa obyek sengketa yang berupa keputusan tata usaha negara
yang bersifat final dalam arti luas, dapat saja terjadi pada saat praktek penyelenggaraan
pemerintahan atau dilakukannya diskresi . Penjelasan Pasal 1 angka 3 UU No. 5 Tahun 1986,
final artinya sudah definitif dan karenanya dapat menimbulkan akibat hukum, keputusan
yang masih memerlukan persetujuan instansi atasan atau instansi lain belum bersifat final,
karenanya dapat menimbulkan suatu hak atau kewajiban pada pihak yang bersangkutan

B. Saran

1. Bagi Pejabat Tata Usaha Negara, agar lebih berhati-hati dalam membuat dan
mengeluarkan Keputusan dan sesuaikan dengan Undang-Undang yang berlaku. Agar
nantinya tidak menimbulkan kerugian bagi masyarakat dan juga tidak ada gugatan atas
keputusan yang dikeluarkan sehingga berakibat dibatalkan hanya karena tidak sesuai
dengan peraturan yang ada.

2. Bagi pemerintah, agar dalam pembuatan Undang-Undang berikutnya adanya penjelasan


yang jelas sehingga tidak menimbulkan multi tafsir dikalangan penegak hukum. Karena
hal tersebut akan mempengaruhi segala keputusan yang diambil oleh penegak hukum.

14
DAFTAR PUSTAKA

Buku :

Abdullah, Razali. 1992. Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, Edisi I, Cetakan 2.
Jakarta: Rajawali Pers
Indroharto. 1993. Usaha Memahami Undang-undang tentang Peradilan Tata Usaha Negara.
Jakarta: Pustaka Harapan.
Permana, Tri Cahya Indra, Catatan Kritis terhadap Perluasan Kewenangan Mengadili
Peradilan Tata Usaha Negara, Yogyakarta, Genta Press, 2016.

Jurnal :
Prahastapa, Anita Marlin Restu, dkk. 2017. Friksi Kewenangan PTUN dalam Berlakunya
Undang-undang Nomor 30 Tahun 2014 dan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986
Berkaitan dengan Objek Sengketa Tata Usaha Negara (TUN). Semarang: Fakultas
Hukum Universitas Diponegoro
Heryansyah, Despan, “Pergeseran Kompetensi Absolut PTUN dalam Sistem Hukum Indonesia”,
Jurnal Hukum Novelty UAD, Vol. 8 No. 1, February 2017.
Simanjuntak, Enrico. Beberapa Anotasi Terhadap Pergeseran Kompetensi Absolut Peradilan
Umum Kepada Peradilan Administrasi Pasca Pengesahan UU NO 30 Tahun 2014.Bunga
Rampai Peraddilan Adminsitrasi Kontemporer. Yogyakarta: Genta Press

Perundang-undangan:

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945


Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara (Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3344)
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan (Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5601)

15

Anda mungkin juga menyukai