Anda di halaman 1dari 23

MAKALAH

KEPUTUSAN TATA USAHA NEGARA

Makalah Ini Disusun untuk Memenuhi Tugas Hukum Administrasi Negara


Dosen Pengampu: Prof. Dr .H. A. Salman Maggalatung, S.H., M.H dan
Fathudin, S.HI, SH, MA.Hum, MH.

Disusun Oleh:
1) Devita Anisa Harzeta (11200480000004)
2) Felicia Dzuriyyatul Aulia (11200480000048)
3) Sultan Rifqi Pratama (11200480000133)
4) Muhammad Haidar (11200480000145)

JURUSAN ILMU HUKUM


FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
2021
KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur bagi Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah
sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan makalah yang berjudul Keputusan Tata
Usaha Negara.
Adapun makalah ini disusun untuk memenuhi nilai mata kuliah Hukum
Administrasi Negara, program studi Ilmu Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Dalam
penulisan dan penyusunan makalah ini penulis berterima kasih kepada Bapak Prof. Dr. H.
A. Salman Maggalatung S.H., dan Fathudin S.HI, SH, MA.Hum, MH.. selaku dosen mata
kuliah Hukum Administrasi Negara.
Penulis sadar bahwa penulisan makalah ini terdapat banyak kekurangan. Untuk itu
penulis menghimbau agar para pembaca dapat memberikan saran dan kritik yang
membangun demi perbaikan makalah ini. Akhir kata penulis berharap agar makalah ini
dapat bermanfaat dan memberikan sumbangan ilmu pengetahuan bagi pihak-pihak yang
memerlukan.

Jakarta, 28 Oktober 2021

Pemateri

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .................................................................................................................... i

DAFTAR ISI.................................................................................................................................. ii

BAB I PENDAHULUAN .............................................................................................................. 1

A. Latar Belakang ..................................................................................................................... 1

B. Rumusan Masalah ................................................................................................................ 2

C. Tujuan Pembahasan ............................................................................................................. 2

BAB II PEMBAHASAN ............................................................................................................... 3

A. Pengertian dan Unsur-Unsur Keputusan Tata Usaha Negara .............................................. 3

B. Karakteristik Keputusan Tata Usaha Negara ....................................................................... 5

C. Syarat-Syarat Pembuatan Keputusan ................................................................................... 6

D. Kompetensi Jenis-Jenis Kewenangan ................................................................................ 10

E. Macam-Macam Keputusan Tata Usaha Negara ................................................................ 12

BAB III PENUTUP ..................................................................................................................... 19

A. Kesimpulan ........................................................................................................................ 19

B. Kritik Dan Saran ................................................................................................................ 19

DAFTAR PUSTAKA .................................................................................................................. 20

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Keputusan dan ketetapan merupakan fenomena kenegaraan dan pemerintahan. Hampir


semua organ pemerintahan berwenang untuk mengeluarkan ketetapan atau keputusan.
Dalam praktik kita mengenal ketetapan atau keputusan yang di keluarkan oleh organ-organ
kenegaraan seperti ketetapan atau keputusn MPR, keputusan Ketua DPR, keputusan
presiden atau kepala Negara, keputusan hakim (rechtterlijke beschikking), dan sebagainya.
Meskipun demikian, ketetapan atau keputusan yang dimaksud dalam tulisan ini hanyalah
ketetapan yang dikeluarkan oleh pemerintah selaku administrasi Negara (wilayah
eksekutif). Ketetapan oleh organ-organ kenegaraan tidak termasuk dalam pengertian
ketetapan (beschikking) berdasarkan hukum administrasi.

Pembuatan Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN) / ketetapan tata usaha Negara
(KTUN) harus memperhatikan beberapa persyaratan agar keputusan tersebut menjadi sah
menurut hukum (rechtgeldig) dan memiliki kekuatan hukum untuk dilaksanakan. Syarat-
syarat yang harus dipenuhi tersebut ialah syarat materil dan syarat formil. Ketetapan yang
telah memenuhi syarat materil dan syarat formil, maka ketetapan itu telah sah menurut
hukum dan dapat diterima sebagai suatu bagian dari tertib hukum.

Ketetapan yang sah dan sudah dinyatakan berlaku, juga akan meahirkan prinsip
praduga rechtmatig bahwa, setiap ketetapan yang dikeluarkan oleh pemerintah atau
administrasi Negara dianggap sah menurut hukum. Asas praduga rechmatig ini membawa
konsekuensi bahwa setiap ketetapan yang dikeluarkan oleh pemerintah tidak untuk dicabut
kembali, kecuali setelah ada pembatalan (vernietiging) dari pengadilan. Disamping itu
dalam asas-asas umum pemerintahan yang layak (AAUPL) mengenai asas kepastian
hukum juga berkehendak sama dengan prinsip praduga rechtmatig, bahwa dalam banyak
keadaan, asas kepastian hukum menghalangi badan pemerintahan untuk menarik kembali
suatu keputusan atau mengubahnya untuk kerugian yang berkepentingan. Dengan kata lain,
asas ini menghendaki dihormatinya hak yang telah diperoleh seseorang berdasarkan suatu
keputusan pemerintah, meskipun keputusan itu salah. Jadi demi kepastian hukum, setiap

1
2

keputusan yang telah dikeluarkan pemerintah tidak untuk dicabut kembali sampai
dibuktikan sebaliknya dalam proses pengadilan.

B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian dan unsur-unsur Keputusan Tata Usaha Negara?
2. Bagaimana Karakteristik Keputusan Tata Usaha Negara?
3. Apa saja Syarat-Syarat Pembuatan Keputusan?
4. Bagaimana Kompetensi Jenis-Jenis Kewenangan?
5. Apa saja Macam-Macam Keputusan Tata Usaha Negara?

C. Tujuan Pembahasan
1. Menjelaskan pengertian dan unsur-unsur Keputusan Tata Usaha Negara
2. Memahami Karakteristik Keputusan Tata Usaha Negara
3. Mampu menyebutkan Syarat-Syarat Pembuatan Keputusan
4. Mengetahui Kompetensi Jenis-Jenis Kewenangan
5. Menjelaskan Macam-Macam Keputusan Tata Usaha Negara
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian dan Unsur-Unsur Keputusan Tata Usaha Negara

Keputusan Tata Usaha Negara (beschikking), menurut Pasal 1 angka 3 Undang-undang


Nomor 5 Tahun 1986, didefinisikan “Keputusan Tata Usaha Negara adalah suatu
penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang berisi
tindakan hukum Tata Usaha Negara berdasarkan peraturan perundang-undangan yang
berlaku, yang bersifat konkret, individual, dan final, yang menimbulkan akibat hukum bagi
seseorang atau badan hukum perdata.” Berdasarkan pengertian KTUN yang dapat
menimbulkan akibat hukum tentu mempunyai kemungkinan untuk terjadinya konflik
kepentingan antara badan atau pejabat tata usaha negara yang mengeluarkan KTUN dengan
seseorang atau badan hukum perdata.

Menurut Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986, jika kita melihat
definisi tersebut, maka terdapat unsur-unsur Keputusan Tata Usaha Negara yaitu :

1) Penetapan tertulis;

Pengertian penetapan tertulis adalah cukup ada hitam diatas putih karena menurut
penjelasan atas pasal tersebut dikatakan bahwa “form” tidak penting bahkan nota atau
memo saja sudah memenuhi syarat sebagai penetapan tertulis.

2) Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara;

Pengertian Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara dirumuskan dalam Pasal 1 angka
2 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986, yang menyatakan Badan atau Pejabat Tata
Usaha Negara adalah Badan atau Pejabat yang melaksanakan urusan pemerintahan
berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Penjelasan atas Pasal 1
angka 1 menyatakan yang dimaksud dengan urusan pemerintahan adalah kegiatan yang
bersifat eksekutif.

Jika kita mendasarkan pada definisi Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara diatas,
maka aparat pemerintah dari tertinggi sampai dengan terendah mengemban 2 (dua)
fungsi, yaitu:

3
4

a. Fungsi memerintah (bestuurs functie)

Kalau fungsi memerintah (bestuurs functie) tidak dilaksanakan, maka roda


pemerintahan akan macet.

b. Fungsi pelayanan (vervolgens functie)

Fungsi pelayanan adalah fungsi penunjang, kalau tidak dilaksanakan maka akan
sulit mensejahterakan masyarakat.

Dalam melaksanakan fungsinya, aparat pemerintah selain melaksanakan undang-


undang juga dapat melaksanakan perbuatan-perbuatan lain yang tidak diatur dalam
undang-undang. Mengenai hal ini Philipus M. Hadjon menerangkan bahwa pada
dasarnya pemerintah tidak hanya melaksanakan undang-undang tetapi atas dasar
fries ermessen dapat melakukan perbuatan-perbuatan lainnya meskipun belum
diatur secara tegas dalam undang-undang. Selanjutnya Philipus M. Hadjon
menambahkan bahwa di Belanda untuk keputusan terikat (gebonden beschikking)
diukur dengan peraturan perundang-undangan (hukum tertulis), namun untuk
keputusan bebas (vrije beschikking) dapat diukur dengan hukum tak tertulis yang
dirumuskan sebagai “algemene beginselen van behoorlijk bestuur” (abbb).
Pengertian Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara janganlah diartikan semata-mata
secara struktural tetapi lebih ditekankan pada aspek fungsional.

3) Tindakan hukum Tata Usaha Negara;

Dasar bagi pemerintah untuk melakukan perbuatan hukum publik adalah adanya
kewenangan yang berkaitan dengan suatu jabatan. Jabatan memperoleh wewenang
melalui tiga sumber yakni atribusi, delegasi dan mandat akan melahirkan kewenangan
(bevogdheit, legal power, competence). Dasar untuk melakukan perbuatan hukum
privat ialah adanya kecakapan bertindak (bekwaamheid) dari subyek hukum (orang
atau badan hukum). Pada uraian diatas yang dimaksud dengan atribusi adalah wewenag
yang melekat pada suatu jabatan (Pasal 1 angka 6 Nomor 5 Tahun 1986 menyebutnya:
wewenang yang ada pada badan atau pejabat tata usaha negara yang dilawankan
dengan wewenang yang dilimpahkan). Delegasi adalah pemindahan/pengalihan suatu
kewenangan yang ada, yang menurut Prof. Muchsan adalah pemindahan/pengalihan
5

seluruh kewenangan dari delegans (pemberi delegasi) kepada delegataris (penerima


delegasi) termasuk seluruh pertanggungjawabannya. Mengenai mandat Philipus M.
Hadjon berpendapat bahwa dalam hal mandat tidak ada sama sekali pengakuan
kewenangan atau pengalihtanganan kewenangan. Sedangkan Prof. Muchsan
mendefinisikan mandat adalah pemindahan/pengalihan sebagian wewenang dari
mandans (pemberi mandat) kepada mandataris (penerima mandat) sedangkan
pertanggungjawaban masih berada ditangan mandans.

4) Konkret, individual dan Final;

Elemen konkrit, individual dan final barangkali tidak menjadi masalah (cukup
jelas). Unsur final hendaknya dikaitkan dengan akibat hukum. Kriteria ini dapat
digunakan untuk menelaah pakah tahap dalam suatu Keputusan Tata Usaha Negara
berantai sudah mempunyai kwalitas Keputusan Tata Usaha Negara. Kwalitas itu
ditentukan oleh ada-tidaknya akibat hukum.

5) Akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata.

Elemen terakhir yaitu menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan
hukum perdata membawa konsekuensi bahwa penggugat haruslah seseorang atau
badan hukum perdata. Badan atau pejabat tertentu tidak mungkin menjadi penggugat
terhadap badan atau pejabat lainnya.

B. Karakteristik Keputusan Tata Usaha Negara

Dengan adanya perluasan makna Keputusan Tata Usaha Negara, maka makna
Keputusan Tata Usaha Negara dalam Pasal Pasal 1 Angka 10 UU Peradilan Tata Usaha
Negara menjadi:

1) Penetapan tertulis, termasuk tindakan faktual;


2) Dikeluarkan oleh Badan dan/atau Pejabat Tata Usaha Negara dilingkungan eksekutif,
Legislatif, yudikatif dan penyelenggara lainnya; (menggunakan pengertian
pemerintahan dalam arti luas);
3) Berisi tindakan hukum tata usaha negara;
4) Berdasarkan peraturan perundang-undangan yang yang berlaku dan AUPB;
6

5) Bersifat konkret, individual dan final; (frasa final disini memiliki arti yang lebih luas);
6) Telah menimbulkan akibat hukum dan berpotensi menimbulkan akibat hukum;
7) Keputusan ditujukan kepada seseorang atau badan hukum perdata.

Berkaitan dengan keputusan tata usaha negara yang bersifat final dalam arti luas, hal
ini perlu diberi batasan secara tegas termasuk cara menentukan atau mengelompokan hal
tersebut. Penjelasan Pasal 87 huruf d Undang-undang Administrasi Pemerintahan
menjelaskan: Bahwa yang dimaksud dengan “final dalam arti luas” mencakup Keputusan
yang diambil alih oleh Atasan Pejabat yang berwenang. Berdasarkan penjelasan tersebut,
obyek sengketa yang berupa keputusan tata usaha negara yang bersifat final dalam arti luas,
dapat saja terjadi pada saat praktek penyelenggaraan pemerintahan atau dilakukannya
diskresi. Penjelasan Pasal 1 angka 3 Undang-undang Peradilan Tata usaha Negara
menyatakan bahwa final artinya sudah definitif dan karenanya dapat menimbulkan akibat
hukum, keputusan yang masih memerlukan persetujuan instansi atasan atau lain belum
bersifat final karenanya dapat menimbulkan suatu hak atau kewajiban pada pihak yang
bersangkutan. Penjelasan terhadap frasa keputusan berpotensi menimbulkan akibat hukum
dimaknai sebagai KTUN, sebagai perbuatan hukum publik oleh pemerintah tentu
menimbulkan akibat hukum. Undang-undnag Administrasi Pemerintahan tidak
menjelaskan keputusan yang bagaimana yang dapat dikelompokkan sebagai keputusan
yang berpotensi menimbulkan akibat hukum, dan bagaimana cara menentukan potensi
tersebut.

C. Syarat-Syarat Pembuatan Keputusan

Pembuatan keputusan tata usaha negara harus memerhatikan beberapa persyaratan agar
keputusan tersebut menjadi sah menurut hukum (rechtsgeldig) dan memiliki kekuatan
hukum (rechtskracht) untuk dilaksanakan. Syarat-syarat yang harus diperhatikan dalam
pembuatan keputusan ini mencakup syarat materiil dan syarat formal.1

Syarat-syarat materiil terdiri atas:

1) Organ pemerintahan yang membuat keputusan harus berwenang:

1
Syarat-syarat ini disarikan dari Kuntjoro Purbopranoto, op.cit., his 48-49, SF. Marbun, op.cit., hlm. 132-135, E.
Utrecht, op.cit., hlm. 181, da Soehino, op.cit., hlm. 122.
7

2) Karena keputusan suatu pernyataan kehendak (wilsverkle ring), maka keputusan tidak
boleh mengandung keku rangan-kekurangan yuridis (geen juridische gebreken in de
wilsvorming), seperti penipuan (bedrog), paksaan (dwang) atau suap (omkoping),
kesesatan (dwaling);
3) Keputusan harus berdasarkan suatu keadaan (situasi) tertentu;
4) Keputusan harus dapat dilaksanakan dan tanpa melanggar peraturan-peraturan lain,
serta isi dan tujuan keputusan itu harus sesuai dengan isi dan tujuan peraturan dasamya.

Syarat-syarat formal terdiri atas:

1) Syarat-syarat yang ditentukan berhubung dengan persiapan dibuatnya keputusan dan


berhubung dengan cara dibuatnya keputusan harus dipenuhi;
2) Keputusan harus diberi bentuk yang telah ditentukan. dalam peraturan perundang-
undangan yang menjadi dasar dikeluarkannya keputusan itu;
3) Syarat-syarat berhubung dengan pelaksanaan keputusan itu harus dipenuhi;
4) Jangka waktu harus ditentukan antara timbulnya hal hal yang menyebabkan dibuatnya
dan diumumkannya keputusan itu harus diperhatikan.

Apabila syarat materiil dan syarat formal ini telah terpenuhi. maka keputusan itu sah
menurut hukum (rechtsgeldig), artinya dapat diterima sebagai suatu bagian dari tertib
hukum atau sejalan dengan ketentuan hukum yang ada baik secara prosedural/formal
maupun materiil. Sebaliknya, bila satu atau beberapa persyaratan itu tidak terpenuhi, maka
keputusan itu mengandung kekurangan dan menjadi tidak sah. EH. van der Burg dan
kawan-kawan menyebutkan bahwa keputusan dianggap tidak sah jika dibuat oleh organ
yang tidak berwenang (onbevoegdheid), mengandung cacat bentuk (vormgebreken), cacat
isi (inhoudsgebreken), dan cacat kehendak (wilsgebreken).2

A.M. Donner mengemukakan akibat akibat dari keputusan yang tidak sah yaitu sebagai
berikut.

a. Keputusan itu harus dianggap batal sama sekali;


b. Berlakunya keputusan itu dapat digugat:
1) Dalam banding (beroep).

2
F.H. van der Burg, et.al., Rechtsbescherming tegen de Overheid, Nijmegen 1985, hlm. 99.
8

2) Dalam pembatalan oleh jabatan (amtshalve vernietiging) karena bertentangan


dengan undang-undang.
3) Dalam penarikan kembali (intrekking) oleh kekuasaan yang berhak (competent)
mengeluarkan keputusan itu.
c. Dalam hal keputusan tersebut, sebelum dapat berlaku, memer lukan persetujuan
(peneguhan) suatu badan kenegaraan yang lebih tinggi, maka persetujuan itu tidak
diberi.
d. Keputusan itu diberi tujuan lain daripada tujuan permulaannya (conversie).3

Van der Wel menyebutkan enam macam akibat suatu kepu tusan yang mengandung
kekurangan, yaitu sebagai berikut.4

a) Batal karena hukum.


b) Kekurangan itu menjadi sebab arau menimbulkan kewajiban untuk membatalkan
keputusan itu untuk sebagiannya atau seluruhnya.
c) Kekurangan itu menyebabkan bahwa alat pemerintah yang lebih tinggi dan yang
berkompeten untuk menyetujui atau meneguhkannya, tidak sanggup memberi
persetujuan atau peneguhan itu.
d) Kekurangan itu tidak memengaruhi berlakunya keputusan.
e) Karena kekurangan itu, keputusan yang bersangkutan dikonversi ke dalam keputusan
lain.
f) Hakim sipil (biasa) menganggap keputusan yang bersang kutan tidak mengikat.

Meskipun suatu keputusan itu dianggap sah dan akan menim bulkan akibat hukum bagi
seseorang atau badan hukum perdata, akan tetapi keputusan yang sah itu tidak dengan
sendirinya berlaku, karena untuk berlakunya suatu keputusan harus memerhatikan tiga hal
berikut ini; pertama, jika berdasarkan peraturan dasarnya terhadap keputusan itu tidak
memberi kemungkinan mengajukan permohonan banding bagi yang dikenai keputusan,
maka keputusan itu mulai berlaku sejak saat diterbitkan (ex nunc); kedua, jika berdasarkan

3
Dikutip dari E. Utrecht, op.cit, him. 114.
4
ibid, hlm. 115.
9

peraturan dasarnya terdapat kemungkinan untuk mengajukan banding terhadap keputusan


yang bersangkutan. maka keberlakuan keputusan itu tergantung dari proses banding itu.

Kranenburg dan Vegting menyebutkan empat cara mengajukan permohonan banding


terhadap keputusan, yaitu sebagai berikut.

a. Pihak yang berkepentingan dapat mengajukan permohonan pembatalan keputusan pada


tingkat banding, di mana kemungkinan itu ada;
b. Pihak yang berkepentingan dapat mengajukan permohonan kepada pemerintah supaya
keputusan itu dibatalkan;
c. Pihak yang dikenai keputusan itu dapat mengajukan masa lahnya kepada hakim biasa
agar keputusan itu dinyatakan batal karena bertentangan dengan hukum;
d. Pihak yang dikenai keputusan itu dapat, apabila karena tidak memenuhinya keputusan
itu, berusaha untuk memperoleh keputusan dari hakim seperti yang dimaksudkan
dalam bagian c.5

Pada umumnya batas waktu mengajukan banding itu diten tukan dalam peraturan dasar
yang terkait dengan keputusan itu. Jika batas waktu banding telah berakhir dan tidak
digunakan oleh mereka yang dikenai keputusan itu, maka keputusan itu mulai berlaku sejak
saat berakhirnya batas waktu banding itu; ketiga, jika keputusan itu memerlukan
pengesahan dari organ atau instansi pemerintahan yang lebih tinggi, maka keputusan itu
mulai berlaku setelah mendapatkan pengesahan.

Berkenaan dengan pengesahan atau persetujuan ini terdapat tiga pendapat, yaitu
sebagai berikut.

1) Karena berhak untuk memberikan persetujuan, Mahkota (peme rintah) menjadi


pembuat serta undang-undang, jadi merupakan hak pengukuhan;
2) Hak memberikan persetujuan adalah hak placet, artinya melepaskan tanggung jawab
(jadi, pernyataan dapat dilak sanakan);
3) Persetujuan merupakan tindakan terus-menerus, artinya tidak berakhir pada saat
diberikan, tetapi dapat ditarik kembali selama yang disetujuinya masih berlaku.6

5
Kranenburg & Vegting, op.cit., hlm. 107.
6
WE Prins dan R. Kosim Adisapoetra, op.cit, him. 69.
10

Keputusan yang sah dan telah dapat berlaku dengan sendi akan memiliki kekuatan
hukum formal (formeel rechtskracht) dan kekuataan hukum materiil (materiele
rechtskracht). Kekuatan hukum formal suatu keputusan ialah pengaruh yang dapat
diadakan oleh karena adanya keputusan itu. Suatu keputusan mempunyai kekuatan hukum
formal bilamana keputusan itu tidak lagi dapat dibantah oleh suatu alat hukum
(rechtsmiddel).7

Dengan kata lain, keputusan yang telah memiliki kekuatan hukum formal itu tidak
dapat dibantah baik oleh pihak yang berkepentingan, oleh hakim, organ pemerintahan yang
lebih tinggi, maupun organ yang membuat keputusan itu sendiri (zowel door
belanghebbende, door een hoger bestuursorgeen, als door het beschikkend orgaan zelf).
Keputusan tata usaha negara itu memiliki kekuatan hukum formal dalam dua hal; pertama,
keputusan tersebut telah mendapat persetujuan untuk berlaku dari alat negara yang lebih
tinggi yang berhak memberikan persetujuan tersebut kedua, suatu keputusan di mana
permohonan untuk banding terhadap keputusan itu ditolak atau karena tidak menggunakan
hak bandingnya dalam jangka waktu yang ditentukan oleh undang-undang.8

Adapun yang dimaksud dengan keputusan yang mempunyai kekuatan hukum materiil
adalah pengaruh yang dapat diadakan oleh karena isi atau materi dari keputusan itu. E.
Utrecht menyebutkan bahwa suatu keputusan mempunyai kekuatan hukum materiil,
bilamana keputusan itu tidak lagi dapat ditiadakan oleh alat negara yang membuatnya,9
kecuali peraturan perundang undangan memberikan kemungkinan kepada pemerintah atau
administrasi negara untuk meniadakan keputusan tersebut.

D. Kompetensi Jenis-Jenis Kewenangan

Kewenangan yang dimiliki oleh institusi pemerintahan didalam melaksanakan tindakan


nyata (riil), perlu diadakannya peraturan yang keputusannya diturunkan secara langsung
oleh pihak konstitusi berupa atribusi, delegasi dan juga mandat. Atribusi harus merujuk
pada dasar konstitutsi yaitu UUD (pasal 1 angka 6 UU No. 5 tahun 1986 menyebut:
wewenang yang ada pada badan atau oejabata tata usaha negara yang dilawankan debgan

7
E. Utrecht, op.cit., hlm. 165, lihat juga P. de Haan, et.al., op.cit., him. 51, ABAR, op.cit., hlm. 205.
8
Bachsan Mustafa, op.cit., hlm. 127.
9
E. Utrecht, op.cit., hlm. 175-176.
11

wewenang yang dilimpahkan). Sementara itu delegasi merupakan pelimpahan wewenang


kepada organ institusi yang lain. Sedangkan pada mandat tidak terjadi pelimpahan atau
pemberian wewenang dalam hal apapun, melainkan penerima mandat bertindak atas nama
pemberi mandat.

Beberapa ahli seperti J.G. Brouwer dan A.E. Schilder turut mengartikan dari atribusi,
delegasi, dan mandat. Keduanya berpendapat bahwa:

1) Dengan atribusi, daya diberikan kepada otoritas administratif oleh badan legislatif
independen. kekuasaan adalah awal (originair), yang mengatakan bahwa tidak berasal
dari kekuatan yang sudah ada sebelumnya. Badan legislatif menciptakan kekuatan ada
yang independen dan sebelumnya non dan memberikan mereka ke otoritas.
2) Delegasi adalah transfer atribusi diperoleh kekuasaan dari satu kewenangan
administratif ke yang lain, sehingga delegasi (tubuh yang mengakuisisi kekuatan) dapat
menjalankan kekuasaan atas namanya sendiri.
3) Dengan mandat, tidak ada mentransfer, tapi mandat pemberi (Mandans) memberikan
kekuatan untuk tubuh (Mandataris) untuk membuat keputusan atau mengambil
tindakan dalam namanya.

J.G. Brouwer berpendapat bahwa atribusi merupakan kewenangan yang diberikan


kepada suatu organ (institusi) pemerintahan atau lembaga Negara oleh suatu badan
legislatif yang independen. Kewenangan ini adalah asli, yang tidak diambil dari
kewenangan yang ada sebelumnya. Badan legislatif menciptakan kewenangan mandiri dan
bukan perluasan kewenangan sebelumnya dan memberikan kepada organ yang
berkompeten. Delegasi adalah kewenangan yang dialihkan dari kewenangan atribusi dari
suatu organ (institusi) pemerintahan kepada organ lainnya sehingga delegator (organ yang
telah memberi kewenangan) dapat menguji kewenangan tersebut atas namanya, sedangkan
pada Mandat, tidak terdapat suatu pemindahan kewenangan tetapi pemberi mandat
(mandator) memberikan kewenangan kepada organ lain (mandataris) untuk membuat
keputusan atau mengambil suatu tindakan atas namanya.

Ada perbedaan mendasar antara kewenangan atribusi dan delegasi. Pada atribusi,
kewenangan yang ada siap dilimpahkan, tetapi tidak demikian pada delegasi. Berkaitan
dengan asas legalitas, kewenangan tidak dapat didelegasikan secara besar-besaran, tetapi
12

hanya mungkin dibawah kondisi bahwa peraturan hukum menentukan menganai


kemungkinan delegasi tersebut.

Dapat ditarik kesimpulan bahwa atribusi dan delegasi ini adalah alat-alat pembantu
untuk memeriksa apakah suatu badan memiliki kewenangan atau tidak. Lantas pemikiran
hukum negara menyebabkan, bahwa apabila seorang pejabat negara hendak meletakkan
beberapa kewajiban-kewajiban diatas para warga masyarakat, maka keputusan ataupun
kewenangan itu harus bisa dibuktikan keeksisannya didalam suatu undang-undang. Dan
harus pula didalamnya berkaitan dengan legitimasi yang demokratis.

E. Macam-Macam Keputusan Tata Usaha Negara

Mengenai macam-macam Keputusan Tata Usaha Negara terdapat berbagai doktrin atau
pendapat oleh beberapa ahli hukum. Diantaranya menurut Utrecht yang menyebut
Keputusan Tata Usaha Negara sebagai ketetapan sedangkan Prajudi Atmosudirdjo dan
sarjana hukum lainnya menyebutnya sebagai penetapan.

Menurut Utrecht ketetapan dapat dibedakan menjadi beberapa macam, antara lain
sebagai berikut :10

a) Ketetapan Positif dan Negatif

Ketetapan Positif menimbulkan hak dan kewajiban bagi yang dikenai ketetapan,
jadi menimbulkan suatu keadaan hukum (rechtssituatie) yang baru. Misalnya : suatu
ketetapan yang baru membatalkan suatu ketetapan yang lama. Ketetapan Negatif tidak
menimbulkan perubahan dalam keadaan hukum yang telah ada, oleh karenanya
ketetapan negatif adalah tiap penolakan atas suatu permohonan untuk mengubah suatu
keadaan hukum tertentu yang telah ada. Misalnya seseorang atau badan hukum perdata
mengajukan permohonan agar tanahnya yang sudah bersertifikat diterbitkan ijin untuk
menambang batu bara, akan tetapi permohonan itu ditolak oleh Kepala Daerah yang
bersangkutan. Ketetapan Negatif dapat berbentuk: pernyataan tidak berkuasa

10
Titik Triwulan dan Ismu Gunadi Wahab, Hukum Tata Usaha Negara dan Hukum Acara Peradilan Tata Usaha
Negara Indonesia, Jakarta: Kencana, 2011, Cet. I, hlm. 326.
13

(onbevoegd-verklaring), pernyataan tidak diterima (niet-ontvankelijk verklaring) atau


suatu penolakan (afwijzing).

b) Ketetapan Deklaratur dan Ketetapan Konstitutif

Ketetapan Deklaratur hanya menyatakan bahwa hukumnya demikian


(rechtsvastellende beschikking) sedangkan Ketetapan Konstitutif adalah membuat
hukum (rechtscheppend). Ketetapan yang deklaratur misalnya : pemberian cuti PNS di
lingkungan Pemda, yaitu suatu ketetapan yang hanya menyatakan bahwa yang
bersangkutan dapat diberi haknya karena termasuk golongan ketetapan yang
menyatakan hukum (rechtsvantstellende beschikking). Di sini pekerjaan yang
membuat ketetapan hanya mencatat (constateren) bahwa yang bersangkutan memenuhi
syarat-syarat yang telah ditentukan, dalam contoh cuti di atas apabila syarat-syarat yang
bersangkutan telah dipenuhi, maka dengan sendirinya haknya diberikan kepadanya
karena dalam peraturan kepegawaian dinyatakan bahwa kepada tiap PNS diberi masa
cuti tiap tahun selama 12 hari kerja. Tetapi bila suatu ketetapan yang dalam
ketentuannya mengharuskan administrasi negara meneliti dan menyelidiki benar tidak
suatu alasan yang dikemukakan oleh si pemohon yang bersangkutan, oleh karena itu
administrasi negara perlu lebih menggunakan baik kemerdekaannya maupun
kebijaksanaannya memberi ketetapan yang bersifat konstitutif yakni membuat hukum
(rehctscheppend), misalnya : pemberian cuti dengan alasan penting, maka administrasi
negara harus meneliti benar tidaknya terdapat alasan penting tersebut.

c) Ketapan Kilat dan Ketetapan Tetap (blijvend)

W.F Prins dan R. Kosim Adisapoetra menyatakan ada empat macam ketetapan kilat
ini, yaitu:

1) Suatu ketetapan yang bermaksud mengubah redaksi (teks) suatu ketetapan yang
lama.
2) Suatu ketetapan yang negatif. Ketetapan semacam ini hanya memuat suatu
keputusan yang bermaksud tidak mengadakan sesuatu dan bukan halangan bagi
administrasi negara tersebut untuk kemudian hari masih juga bertindak bilamana
keadaan atau pendapanya telah berubah.
14

3) Suatu menarik kembali atau suatu pembatalan. Sama seperti ketetapan negatif maka
dalam ketetapan ini pun tidak membawa suatu hasil yang positif dan suatu
ketetapan ini pun bukan halangan bagi administrasi negara untuk mengadakan
suatu ketetapan lain yang sama (identik) dengan ketetapan yang ditarik kembali
atau yang dibatalkan itu.
4) Suatu pernyataan pelaksanaan (uitvoerbaarverklaring). Contoh : ketetapan menutup
jalan raya untuk lalu lintas umum guna keperluan perbaikan jalan. Ketetapan jenis
ini tidak perlu dirubah/ ditarik kembali dengan suatu keputusan. Jadi hanya kalau
perlu menutup lagi jalan raya itu, harus ada satu ketetapan baru dengan motivasi
baru tersendiri.

Sedangkan ketetapan tetap, yaitu ketetapan yang dikeluarkan untuk jangka


waktu lama atau jangka waktu yang tidak tertentu hingga diubah atau ditarik
kembali.

5) KTUN berupa dispensasi (dispensatie), ijin (vergunning), lisensi (licentie), dan


konsesi (concessie).

Dispensasi adalah ketetapan untuk memperkenankan diadakan suatu


pengecualian terhadap larangan tersebut, misalnya : pegawai honorer berbeda
status hukumnya dengan PNS, tetapi karena alasan-alasan penting atau kebutuhan
yang mendesak pejabat daerah yang berwenang bisa mengangkat pegawai honorer
tersebut menjadi PNS tanpa melalui ujian/test.

Menurut W.F. Prins dan R. Kosim Adisapoetra istilah “lisensi” semestinya


digunakan untuk menyatakan suatu ijin yang memperkenankan yang bersangkutan
menjalankan suatu perusahaan, jadi suatu macam atau bentuk ijin yang istimewa
seperti : lisensi usaha karet, lisensi untuk mengelola kebun binatang, dll.

Sedangkan arti “ijin” yaitu apabila suatu peraturan yang umumnya tidak
melarang suatu perbuatan, tetapi masih juga memperkenankannya asal saja
diadakan secara yang ditentukan untuk masing-masing hal yang konkrit, maka
ketetapan yang memperkenankan perbuatan tersebut bersifat suatu ijin.
15

Secara khusus Donner mengartikan mengenai ijin ini biasanya tidak mengenai
suatu perbuatan yang pada umumnya berbahaya, yakni suatu perbuatan yang pada
hakekatnya harus dilarang, tetapi soal tersebut mengenai suatu perbuatan yang
menurut sifatnya tidak dapat merugikan dan perbuatan itu dapat diadakan asal saja
di bawah pengawasan administrasi negara, misalnya: ijin usaha pabrik bir.

Sedangkan konsesi merupakan ketetapan yang memperkenankan yang


bersangkutan mengadakan perbuatan yang penting bagi umum tetapi ada campur
tangan dari pihak pemerintah misalnya : memohon untuk dapat mengeksplorasi
tambang batu bara/emas menurut rencana yang sederhana saja dan akan diadakan
dengan biaya sendiri, karena hal tersebut mengenai suatu pekerjaan yang besar dan
bermaksud membawa manfaat bagi kepentingan umum.

Menurut Prajudi Atmosudirdjo yang menyebut Keputusan Tata Usaha Negara


(KTUN) sebagai penetapan ini membaginya menjadi dua macam yaitu:11

 Penetapan Positif

Penetapan Positif terdiri atas lima golongan yaitu:

1) Yang menciptakan keadaan hukum baru pada umumnya;


2) Yang menciptakan keadaan hukum baru hanya terhadap suatu objek saja;
3) Yang membentuk atau membubarkan suatu badan hukum;
4) Yang memberikan beban (kewajiban);
5) Yang memberikan keuntungan

Penetapan yang memberikan keuntungan adalah:

a) Dispensasi, yaitu pernyataan dari pejabat administrasi yang berwenang,


bahwa suatu ketentuan undang-undang tertentu memang tidak berlaku
terhadap kasus yang diajukan seseorang di dalam surat permintaannya;
b) Izin (vergunning), yaitu dispensasi dari suatu larangan;
c) Lisensi, yaitu izin yang bersifat komersial dan mendatangkan laba;

11
Ibid, hlm. 327.
16

d) konsesi, yaitu penetapan yang memungkinkan konsesionaris mendapat


dispensasi, izin, lisensi, dan juga semacam wewenang pemerintahan
yang memungkinkannya untuk memindahkan kampung, membuat jalan
raya dan sebagainya. Oleh karena itu pemberian konsesi haruslah
dengan kewaspadaan, kewicaksanan, dan perhitungan yang
sematangmatangnya.
 Penetapan Negatif
Merupakan penetapan yang berlaku sekali saja sehingga seketika
permingtaannya boleh diulangi lagi.
Menurut P. De Haan (Belanda) dalam bukunya Bestuursrecht in de Sociale
Rechtsstaat, terdapat pengelompokkan beschikking atau KTUN (Keputusan
Tata Usaha Negara) sebagai berikut :12
1) KTUN Perorangan dan KTUN Kebendaan

KTUN Perorangan adalah keputusan yang diterbitkan kepada seseorang


berdasarkan kualitas pribadi tertentu, dimana hak yang timbul tidak dapat
dialihkan kepada orang lain. Contoh : SK PNS, SIM, dsb.

Sedangkan KTUN Kebendaan adalah keputusan yang diterbitkan


berdasarkan kualitas kebendaan atau status suatu benda sebagai obyek hak,
dimana hak yang timbul dapat dialihkan kepada orang lain. Contoh :
Sertifikat Hak atas Tanah, BPKP/ STNK kendaraan bermotor, dsb.

2) KTUN yang bersifat Deklaratif dan KTUN yang bersifat Konstitutif

KTUN deklaratif adalah keputusan yang sifatnya menyatakan atau


menegaskan adanya hubungan hokum yang secara riil sudah ada. Contoh :
Akta Kelahiran, Akta Kematian, dsb.

KTUN konstitutif adalah keputusan yang menciptakan hubungan


hukum baru yang sebelumnya tidak ada, atau sebaliknya memutuskan

12
Philipus M. Dhajon,Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 2002,
hlm.143-145.
17

hubungan hokum yang ada. Contoh : Akta Perkawinan, Akta Perceraian,


dsb.

3) KTUN Bebas dan KTUN Terikat

KTUN bebas adalah keputusan yang didasarkan atas kebebasan


bertindak dan memberikan kebebasan bagi pelaksananya untuk melakukan
penafsiran atau kebijaksanaan. Contoh : SK Pemberhentian PNS.

Sedangkan KTUN terikat adalah keputusan yang didasarkan pada


kewenangan pemerintahan yang bersifat terikat, artinya keputusan itu hanya
melaksanakan ketentuan yang sudah ada tanpa adanya ruang kebebasan
bagi pejabat yang bersangkutan.

4) KTUN yang memberi beban dan KTUN yang menguntungkan

KTUN yang memberi beban adalah keputusan yang memberikan


kewajiban.Contoh : SK tentang Pajak, Restribusi, dll.

Sedangkan KTUN yang menguntungkan adalah keputusan yang


memberikankeuntungan bagi pihak yang dituju. Contoh: SK pemutihan
pembayaran pajak yangtelah kadaluwarsa.

5) KTUN Seketika dan KTUN Permanen

KTUN seketika adalah keputusan yang masa berlakunya hanya sekali


pakai. Contoh : Surat Ijin Pertunjukan Hiburan, Music, Olahraga, dsb.

KTUN permanen adalah keputusan yang masa berlakunya untuk


selama-lamanya, kecuali ada perubahan atau peraturan baru. Contoh :
Sertifikat Hak Milik.

Sedangkan menurut Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 jo Undang-


Undang No. 9 Tahun 2004 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, Keputusan
Tata Usaha Negara (KTUN) dapat dibedakan menjadi :13

13
Ujang Abdullah, Loc. Cit.
18

a) Keputusan Tata Usaha Negara Positif

Yaitu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat


Tata Usaha Negara yang berisi tindakan hukum Tata Usaha Negara
berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Bersifat
konkrit, individual dan final yang menimbulkan akibat hukum bagi
seseorang atau Badan Hukum Perdata.

b) Keputusan Tata Usaha Negara Fiktif

Yaitu Keputusan Tata Usaha Negara yang seharusnya dikeluarkan


oleh Badan/Pejabat Tata Usaha Negara menurut kewajibannya tetapi
ternyata tidak diterbitkan, sehingga menimbulkan kerugian bagi
seseorang atau Badan Hukum Perdata.

Contoh : dalam kasus kepegawaian, seorang atasan berkewajiban


membuat DP3 atau mengusulkan kenaikan pangkat bawahannya, tetapi
atasannya tidak melakukan.

c) Keputusan Tata Usaha Negara Fiktif Negatif (Pasal 3 ayat (2))

Yaitu Keputusan Tata Usaha Negara yang dimohonkan seseorang


atau Badan Hukum Perdata, tetapi tidak ditanggapi atau tidak
diterbitkan oleh Badan/Pejabat Tata Usaha Negara yang bersangkutan.
Sehingga dianggap bahwa Badan/Pejabat Tata Usaha Negara telah
mengeluarkan keputusan penolakan (negatif).

Contoh : Pemohon IMB, KTP, dsb. Apabila dalam jangka waktu


yang ditentukan tidak dijawab/diterbitkan, maka dianggap jelas-jelas
menerbitkan Keputusan Tata Usaha Negara yang menolak.
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

Keputusan Tata Usaha Negara merupakan suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh badan atau
pejabat Tata Usaha Negara yang berisi tindakan hukum Tata Usaha Negara yang berdasarkan
peraturan perundang-undangan yang berlaku, bersifat konkret, individual dan final, yang
menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata (Pasal 1 angka 3 UU No.5
Tahun 1986). Pada rumusan pasal 1 angka 3 mengenai keputusan tata usaha Negara menjelaskan
unsur-unsur atau elemen-elemen yang terdapat dalam KTUN.
Ada beberapa unsur yang terdapat yang terdapat dalam Keputusan Tata Usaha Negara
(KTUN),yaitu:
 Penetapan tersebut tertulis dan dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara.
 Berisi tindakan hukum dalam bidang Tata Usaha Negara.
 Berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
 Bersifat konkrit, individual dan final.
 Menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata.
Susunan pembuatan KTUN sama dengan susunan keputusan lainnya, dimana dalam pembuatan
keputusan tata usaha Negara agar menjadi sah menurut hukum (Rechtsmatig) harus mencakup
syarat materiil dan syarat formiil. Sehingga berdasarkan tujuan pembuatannya, KTUN memiliki
banyak ragam meskipun dibatasi oleh peraturan yang lain. Dalam pembuatannya, KTUN harus
didasarkan pada kaidah dan asas yang telah disepakati dalam hukum administrasi negara.

B. Kritik Dan Saran

Tentunya dalam makalah ini masih terdapat banyak kekurangan dan kesalahan. Untuk itu,
penulis akan memperbaiki makalah tersebut dengan terpaku pada banyak sumber dan juga
tentunya kritik dari pembaca. Penulis juga berharap agar makalah ini dapat memberikan manfaat
bagi para pembaca.

19
DAFTAR PUSTAKA

Dhajon, P. M. (2015). Pengantar Hukum Administrasi Indonesia. Yogyakarta: Gajah Mada


University Press.

Elzaffa. (2014, Juni 5). Keputusan Tata Usaha Negara KTUN. Retrieved Oktober 14, 2021, from
https://goresankataku.wordpress.com/2014/06/05/keputusan-tata-usaha-negara-ktun/

HR, R. (2011). Hukum Administrasi Negara. Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Makmur, E. (2020, November 10). Mengenal KTUN sebagai Objek Sengketa Peradilan Tata
Usaha Negara. 1-2. Retrieved Oktober 14, 2021, from
https://lbhpengayoman.unpar.ac.id/mengenal-ktun-sebagai-objek-sengketa-peradilan-
tata-usaha-negara/

Mona T, D. D. (2013, March 22). Resume Keputusan Tata Usaha Negara. 1-6. Retrieved
Oktober 14, 2021, from https://www.scribd.com/doc/131746710/Resume-Keputusan-
Tata-Usaha-Negara

Mona Timur, D. D. (2013, March 22). Resume Keputusan Tata Usaha Negara. 1-6. Retrieved
Oktober 14, 2021, from https://www.scribd.com/doc/131746710/Resume-Keputusan-
Tata-Usaha-Negara

Pratama, G. R. (n.d.). Keputusan Tata Usaha Negara. Retrieved Oktober 14, 2021, from
https://blog.ub.ac.id/gumilangrama95/2016/03/27/keputusan-tata-usaha-negara/

Sugianto, J. A. (n.d.). Keputusan tata Usaha Negara. Retrieved Oktober 13, 2021, from
https://www.scribd.com/doc/51321104/KEPUTUSAN-TATA-USAHA-NEGARA

Triwulan, T., & Wahab, I. G. (2011). Hukum Tata Usaha Negara dan Hukum Acara Peradilan
Tata Usaha Negara Indonesia. Jakarta: Kencana.

HYPERLINK "http://juniarwibisana.blogspot.co.id/2015/10/makalah-keputusan-dan-ketetapan-
hukum.html" http://juniarwibisana.blogspot.co.id/2015/10/makalah-keputusan-dan-ketetapan-
hukum.html

HYPERLINK "http://studihukum.blogspot.co.id/2010/11/keputusan-tata-usaha-negara-1.html"
http://studihukum.blogspot.co.id/2010/11/keputusan-tata-usaha-negara-1.html

20

Anda mungkin juga menyukai