Disusun Oleh:
1) Devita Anisa Harzeta (11200480000004)
2) Felicia Dzuriyyatul Aulia (11200480000048)
3) Sultan Rifqi Pratama (11200480000133)
4) Muhammad Haidar (11200480000145)
Segala puji dan syukur bagi Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah
sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan makalah yang berjudul Keputusan Tata
Usaha Negara.
Adapun makalah ini disusun untuk memenuhi nilai mata kuliah Hukum
Administrasi Negara, program studi Ilmu Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Dalam
penulisan dan penyusunan makalah ini penulis berterima kasih kepada Bapak Prof. Dr. H.
A. Salman Maggalatung S.H., dan Fathudin S.HI, SH, MA.Hum, MH.. selaku dosen mata
kuliah Hukum Administrasi Negara.
Penulis sadar bahwa penulisan makalah ini terdapat banyak kekurangan. Untuk itu
penulis menghimbau agar para pembaca dapat memberikan saran dan kritik yang
membangun demi perbaikan makalah ini. Akhir kata penulis berharap agar makalah ini
dapat bermanfaat dan memberikan sumbangan ilmu pengetahuan bagi pihak-pihak yang
memerlukan.
Pemateri
i
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI.................................................................................................................................. ii
A. Kesimpulan ........................................................................................................................ 19
ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pembuatan Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN) / ketetapan tata usaha Negara
(KTUN) harus memperhatikan beberapa persyaratan agar keputusan tersebut menjadi sah
menurut hukum (rechtgeldig) dan memiliki kekuatan hukum untuk dilaksanakan. Syarat-
syarat yang harus dipenuhi tersebut ialah syarat materil dan syarat formil. Ketetapan yang
telah memenuhi syarat materil dan syarat formil, maka ketetapan itu telah sah menurut
hukum dan dapat diterima sebagai suatu bagian dari tertib hukum.
Ketetapan yang sah dan sudah dinyatakan berlaku, juga akan meahirkan prinsip
praduga rechtmatig bahwa, setiap ketetapan yang dikeluarkan oleh pemerintah atau
administrasi Negara dianggap sah menurut hukum. Asas praduga rechmatig ini membawa
konsekuensi bahwa setiap ketetapan yang dikeluarkan oleh pemerintah tidak untuk dicabut
kembali, kecuali setelah ada pembatalan (vernietiging) dari pengadilan. Disamping itu
dalam asas-asas umum pemerintahan yang layak (AAUPL) mengenai asas kepastian
hukum juga berkehendak sama dengan prinsip praduga rechtmatig, bahwa dalam banyak
keadaan, asas kepastian hukum menghalangi badan pemerintahan untuk menarik kembali
suatu keputusan atau mengubahnya untuk kerugian yang berkepentingan. Dengan kata lain,
asas ini menghendaki dihormatinya hak yang telah diperoleh seseorang berdasarkan suatu
keputusan pemerintah, meskipun keputusan itu salah. Jadi demi kepastian hukum, setiap
1
2
keputusan yang telah dikeluarkan pemerintah tidak untuk dicabut kembali sampai
dibuktikan sebaliknya dalam proses pengadilan.
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian dan unsur-unsur Keputusan Tata Usaha Negara?
2. Bagaimana Karakteristik Keputusan Tata Usaha Negara?
3. Apa saja Syarat-Syarat Pembuatan Keputusan?
4. Bagaimana Kompetensi Jenis-Jenis Kewenangan?
5. Apa saja Macam-Macam Keputusan Tata Usaha Negara?
C. Tujuan Pembahasan
1. Menjelaskan pengertian dan unsur-unsur Keputusan Tata Usaha Negara
2. Memahami Karakteristik Keputusan Tata Usaha Negara
3. Mampu menyebutkan Syarat-Syarat Pembuatan Keputusan
4. Mengetahui Kompetensi Jenis-Jenis Kewenangan
5. Menjelaskan Macam-Macam Keputusan Tata Usaha Negara
BAB II
PEMBAHASAN
Menurut Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986, jika kita melihat
definisi tersebut, maka terdapat unsur-unsur Keputusan Tata Usaha Negara yaitu :
1) Penetapan tertulis;
Pengertian penetapan tertulis adalah cukup ada hitam diatas putih karena menurut
penjelasan atas pasal tersebut dikatakan bahwa “form” tidak penting bahkan nota atau
memo saja sudah memenuhi syarat sebagai penetapan tertulis.
Pengertian Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara dirumuskan dalam Pasal 1 angka
2 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986, yang menyatakan Badan atau Pejabat Tata
Usaha Negara adalah Badan atau Pejabat yang melaksanakan urusan pemerintahan
berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Penjelasan atas Pasal 1
angka 1 menyatakan yang dimaksud dengan urusan pemerintahan adalah kegiatan yang
bersifat eksekutif.
Jika kita mendasarkan pada definisi Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara diatas,
maka aparat pemerintah dari tertinggi sampai dengan terendah mengemban 2 (dua)
fungsi, yaitu:
3
4
Fungsi pelayanan adalah fungsi penunjang, kalau tidak dilaksanakan maka akan
sulit mensejahterakan masyarakat.
Dasar bagi pemerintah untuk melakukan perbuatan hukum publik adalah adanya
kewenangan yang berkaitan dengan suatu jabatan. Jabatan memperoleh wewenang
melalui tiga sumber yakni atribusi, delegasi dan mandat akan melahirkan kewenangan
(bevogdheit, legal power, competence). Dasar untuk melakukan perbuatan hukum
privat ialah adanya kecakapan bertindak (bekwaamheid) dari subyek hukum (orang
atau badan hukum). Pada uraian diatas yang dimaksud dengan atribusi adalah wewenag
yang melekat pada suatu jabatan (Pasal 1 angka 6 Nomor 5 Tahun 1986 menyebutnya:
wewenang yang ada pada badan atau pejabat tata usaha negara yang dilawankan
dengan wewenang yang dilimpahkan). Delegasi adalah pemindahan/pengalihan suatu
kewenangan yang ada, yang menurut Prof. Muchsan adalah pemindahan/pengalihan
5
Elemen konkrit, individual dan final barangkali tidak menjadi masalah (cukup
jelas). Unsur final hendaknya dikaitkan dengan akibat hukum. Kriteria ini dapat
digunakan untuk menelaah pakah tahap dalam suatu Keputusan Tata Usaha Negara
berantai sudah mempunyai kwalitas Keputusan Tata Usaha Negara. Kwalitas itu
ditentukan oleh ada-tidaknya akibat hukum.
Elemen terakhir yaitu menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan
hukum perdata membawa konsekuensi bahwa penggugat haruslah seseorang atau
badan hukum perdata. Badan atau pejabat tertentu tidak mungkin menjadi penggugat
terhadap badan atau pejabat lainnya.
Dengan adanya perluasan makna Keputusan Tata Usaha Negara, maka makna
Keputusan Tata Usaha Negara dalam Pasal Pasal 1 Angka 10 UU Peradilan Tata Usaha
Negara menjadi:
5) Bersifat konkret, individual dan final; (frasa final disini memiliki arti yang lebih luas);
6) Telah menimbulkan akibat hukum dan berpotensi menimbulkan akibat hukum;
7) Keputusan ditujukan kepada seseorang atau badan hukum perdata.
Berkaitan dengan keputusan tata usaha negara yang bersifat final dalam arti luas, hal
ini perlu diberi batasan secara tegas termasuk cara menentukan atau mengelompokan hal
tersebut. Penjelasan Pasal 87 huruf d Undang-undang Administrasi Pemerintahan
menjelaskan: Bahwa yang dimaksud dengan “final dalam arti luas” mencakup Keputusan
yang diambil alih oleh Atasan Pejabat yang berwenang. Berdasarkan penjelasan tersebut,
obyek sengketa yang berupa keputusan tata usaha negara yang bersifat final dalam arti luas,
dapat saja terjadi pada saat praktek penyelenggaraan pemerintahan atau dilakukannya
diskresi. Penjelasan Pasal 1 angka 3 Undang-undang Peradilan Tata usaha Negara
menyatakan bahwa final artinya sudah definitif dan karenanya dapat menimbulkan akibat
hukum, keputusan yang masih memerlukan persetujuan instansi atasan atau lain belum
bersifat final karenanya dapat menimbulkan suatu hak atau kewajiban pada pihak yang
bersangkutan. Penjelasan terhadap frasa keputusan berpotensi menimbulkan akibat hukum
dimaknai sebagai KTUN, sebagai perbuatan hukum publik oleh pemerintah tentu
menimbulkan akibat hukum. Undang-undnag Administrasi Pemerintahan tidak
menjelaskan keputusan yang bagaimana yang dapat dikelompokkan sebagai keputusan
yang berpotensi menimbulkan akibat hukum, dan bagaimana cara menentukan potensi
tersebut.
Pembuatan keputusan tata usaha negara harus memerhatikan beberapa persyaratan agar
keputusan tersebut menjadi sah menurut hukum (rechtsgeldig) dan memiliki kekuatan
hukum (rechtskracht) untuk dilaksanakan. Syarat-syarat yang harus diperhatikan dalam
pembuatan keputusan ini mencakup syarat materiil dan syarat formal.1
1
Syarat-syarat ini disarikan dari Kuntjoro Purbopranoto, op.cit., his 48-49, SF. Marbun, op.cit., hlm. 132-135, E.
Utrecht, op.cit., hlm. 181, da Soehino, op.cit., hlm. 122.
7
2) Karena keputusan suatu pernyataan kehendak (wilsverkle ring), maka keputusan tidak
boleh mengandung keku rangan-kekurangan yuridis (geen juridische gebreken in de
wilsvorming), seperti penipuan (bedrog), paksaan (dwang) atau suap (omkoping),
kesesatan (dwaling);
3) Keputusan harus berdasarkan suatu keadaan (situasi) tertentu;
4) Keputusan harus dapat dilaksanakan dan tanpa melanggar peraturan-peraturan lain,
serta isi dan tujuan keputusan itu harus sesuai dengan isi dan tujuan peraturan dasamya.
Apabila syarat materiil dan syarat formal ini telah terpenuhi. maka keputusan itu sah
menurut hukum (rechtsgeldig), artinya dapat diterima sebagai suatu bagian dari tertib
hukum atau sejalan dengan ketentuan hukum yang ada baik secara prosedural/formal
maupun materiil. Sebaliknya, bila satu atau beberapa persyaratan itu tidak terpenuhi, maka
keputusan itu mengandung kekurangan dan menjadi tidak sah. EH. van der Burg dan
kawan-kawan menyebutkan bahwa keputusan dianggap tidak sah jika dibuat oleh organ
yang tidak berwenang (onbevoegdheid), mengandung cacat bentuk (vormgebreken), cacat
isi (inhoudsgebreken), dan cacat kehendak (wilsgebreken).2
A.M. Donner mengemukakan akibat akibat dari keputusan yang tidak sah yaitu sebagai
berikut.
2
F.H. van der Burg, et.al., Rechtsbescherming tegen de Overheid, Nijmegen 1985, hlm. 99.
8
Van der Wel menyebutkan enam macam akibat suatu kepu tusan yang mengandung
kekurangan, yaitu sebagai berikut.4
Meskipun suatu keputusan itu dianggap sah dan akan menim bulkan akibat hukum bagi
seseorang atau badan hukum perdata, akan tetapi keputusan yang sah itu tidak dengan
sendirinya berlaku, karena untuk berlakunya suatu keputusan harus memerhatikan tiga hal
berikut ini; pertama, jika berdasarkan peraturan dasarnya terhadap keputusan itu tidak
memberi kemungkinan mengajukan permohonan banding bagi yang dikenai keputusan,
maka keputusan itu mulai berlaku sejak saat diterbitkan (ex nunc); kedua, jika berdasarkan
3
Dikutip dari E. Utrecht, op.cit, him. 114.
4
ibid, hlm. 115.
9
Pada umumnya batas waktu mengajukan banding itu diten tukan dalam peraturan dasar
yang terkait dengan keputusan itu. Jika batas waktu banding telah berakhir dan tidak
digunakan oleh mereka yang dikenai keputusan itu, maka keputusan itu mulai berlaku sejak
saat berakhirnya batas waktu banding itu; ketiga, jika keputusan itu memerlukan
pengesahan dari organ atau instansi pemerintahan yang lebih tinggi, maka keputusan itu
mulai berlaku setelah mendapatkan pengesahan.
Berkenaan dengan pengesahan atau persetujuan ini terdapat tiga pendapat, yaitu
sebagai berikut.
5
Kranenburg & Vegting, op.cit., hlm. 107.
6
WE Prins dan R. Kosim Adisapoetra, op.cit, him. 69.
10
Keputusan yang sah dan telah dapat berlaku dengan sendi akan memiliki kekuatan
hukum formal (formeel rechtskracht) dan kekuataan hukum materiil (materiele
rechtskracht). Kekuatan hukum formal suatu keputusan ialah pengaruh yang dapat
diadakan oleh karena adanya keputusan itu. Suatu keputusan mempunyai kekuatan hukum
formal bilamana keputusan itu tidak lagi dapat dibantah oleh suatu alat hukum
(rechtsmiddel).7
Dengan kata lain, keputusan yang telah memiliki kekuatan hukum formal itu tidak
dapat dibantah baik oleh pihak yang berkepentingan, oleh hakim, organ pemerintahan yang
lebih tinggi, maupun organ yang membuat keputusan itu sendiri (zowel door
belanghebbende, door een hoger bestuursorgeen, als door het beschikkend orgaan zelf).
Keputusan tata usaha negara itu memiliki kekuatan hukum formal dalam dua hal; pertama,
keputusan tersebut telah mendapat persetujuan untuk berlaku dari alat negara yang lebih
tinggi yang berhak memberikan persetujuan tersebut kedua, suatu keputusan di mana
permohonan untuk banding terhadap keputusan itu ditolak atau karena tidak menggunakan
hak bandingnya dalam jangka waktu yang ditentukan oleh undang-undang.8
Adapun yang dimaksud dengan keputusan yang mempunyai kekuatan hukum materiil
adalah pengaruh yang dapat diadakan oleh karena isi atau materi dari keputusan itu. E.
Utrecht menyebutkan bahwa suatu keputusan mempunyai kekuatan hukum materiil,
bilamana keputusan itu tidak lagi dapat ditiadakan oleh alat negara yang membuatnya,9
kecuali peraturan perundang undangan memberikan kemungkinan kepada pemerintah atau
administrasi negara untuk meniadakan keputusan tersebut.
7
E. Utrecht, op.cit., hlm. 165, lihat juga P. de Haan, et.al., op.cit., him. 51, ABAR, op.cit., hlm. 205.
8
Bachsan Mustafa, op.cit., hlm. 127.
9
E. Utrecht, op.cit., hlm. 175-176.
11
Beberapa ahli seperti J.G. Brouwer dan A.E. Schilder turut mengartikan dari atribusi,
delegasi, dan mandat. Keduanya berpendapat bahwa:
1) Dengan atribusi, daya diberikan kepada otoritas administratif oleh badan legislatif
independen. kekuasaan adalah awal (originair), yang mengatakan bahwa tidak berasal
dari kekuatan yang sudah ada sebelumnya. Badan legislatif menciptakan kekuatan ada
yang independen dan sebelumnya non dan memberikan mereka ke otoritas.
2) Delegasi adalah transfer atribusi diperoleh kekuasaan dari satu kewenangan
administratif ke yang lain, sehingga delegasi (tubuh yang mengakuisisi kekuatan) dapat
menjalankan kekuasaan atas namanya sendiri.
3) Dengan mandat, tidak ada mentransfer, tapi mandat pemberi (Mandans) memberikan
kekuatan untuk tubuh (Mandataris) untuk membuat keputusan atau mengambil
tindakan dalam namanya.
Ada perbedaan mendasar antara kewenangan atribusi dan delegasi. Pada atribusi,
kewenangan yang ada siap dilimpahkan, tetapi tidak demikian pada delegasi. Berkaitan
dengan asas legalitas, kewenangan tidak dapat didelegasikan secara besar-besaran, tetapi
12
Dapat ditarik kesimpulan bahwa atribusi dan delegasi ini adalah alat-alat pembantu
untuk memeriksa apakah suatu badan memiliki kewenangan atau tidak. Lantas pemikiran
hukum negara menyebabkan, bahwa apabila seorang pejabat negara hendak meletakkan
beberapa kewajiban-kewajiban diatas para warga masyarakat, maka keputusan ataupun
kewenangan itu harus bisa dibuktikan keeksisannya didalam suatu undang-undang. Dan
harus pula didalamnya berkaitan dengan legitimasi yang demokratis.
Mengenai macam-macam Keputusan Tata Usaha Negara terdapat berbagai doktrin atau
pendapat oleh beberapa ahli hukum. Diantaranya menurut Utrecht yang menyebut
Keputusan Tata Usaha Negara sebagai ketetapan sedangkan Prajudi Atmosudirdjo dan
sarjana hukum lainnya menyebutnya sebagai penetapan.
Menurut Utrecht ketetapan dapat dibedakan menjadi beberapa macam, antara lain
sebagai berikut :10
Ketetapan Positif menimbulkan hak dan kewajiban bagi yang dikenai ketetapan,
jadi menimbulkan suatu keadaan hukum (rechtssituatie) yang baru. Misalnya : suatu
ketetapan yang baru membatalkan suatu ketetapan yang lama. Ketetapan Negatif tidak
menimbulkan perubahan dalam keadaan hukum yang telah ada, oleh karenanya
ketetapan negatif adalah tiap penolakan atas suatu permohonan untuk mengubah suatu
keadaan hukum tertentu yang telah ada. Misalnya seseorang atau badan hukum perdata
mengajukan permohonan agar tanahnya yang sudah bersertifikat diterbitkan ijin untuk
menambang batu bara, akan tetapi permohonan itu ditolak oleh Kepala Daerah yang
bersangkutan. Ketetapan Negatif dapat berbentuk: pernyataan tidak berkuasa
10
Titik Triwulan dan Ismu Gunadi Wahab, Hukum Tata Usaha Negara dan Hukum Acara Peradilan Tata Usaha
Negara Indonesia, Jakarta: Kencana, 2011, Cet. I, hlm. 326.
13
W.F Prins dan R. Kosim Adisapoetra menyatakan ada empat macam ketetapan kilat
ini, yaitu:
1) Suatu ketetapan yang bermaksud mengubah redaksi (teks) suatu ketetapan yang
lama.
2) Suatu ketetapan yang negatif. Ketetapan semacam ini hanya memuat suatu
keputusan yang bermaksud tidak mengadakan sesuatu dan bukan halangan bagi
administrasi negara tersebut untuk kemudian hari masih juga bertindak bilamana
keadaan atau pendapanya telah berubah.
14
3) Suatu menarik kembali atau suatu pembatalan. Sama seperti ketetapan negatif maka
dalam ketetapan ini pun tidak membawa suatu hasil yang positif dan suatu
ketetapan ini pun bukan halangan bagi administrasi negara untuk mengadakan
suatu ketetapan lain yang sama (identik) dengan ketetapan yang ditarik kembali
atau yang dibatalkan itu.
4) Suatu pernyataan pelaksanaan (uitvoerbaarverklaring). Contoh : ketetapan menutup
jalan raya untuk lalu lintas umum guna keperluan perbaikan jalan. Ketetapan jenis
ini tidak perlu dirubah/ ditarik kembali dengan suatu keputusan. Jadi hanya kalau
perlu menutup lagi jalan raya itu, harus ada satu ketetapan baru dengan motivasi
baru tersendiri.
Sedangkan arti “ijin” yaitu apabila suatu peraturan yang umumnya tidak
melarang suatu perbuatan, tetapi masih juga memperkenankannya asal saja
diadakan secara yang ditentukan untuk masing-masing hal yang konkrit, maka
ketetapan yang memperkenankan perbuatan tersebut bersifat suatu ijin.
15
Secara khusus Donner mengartikan mengenai ijin ini biasanya tidak mengenai
suatu perbuatan yang pada umumnya berbahaya, yakni suatu perbuatan yang pada
hakekatnya harus dilarang, tetapi soal tersebut mengenai suatu perbuatan yang
menurut sifatnya tidak dapat merugikan dan perbuatan itu dapat diadakan asal saja
di bawah pengawasan administrasi negara, misalnya: ijin usaha pabrik bir.
Penetapan Positif
11
Ibid, hlm. 327.
16
12
Philipus M. Dhajon,Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 2002,
hlm.143-145.
17
13
Ujang Abdullah, Loc. Cit.
18
A. Kesimpulan
Keputusan Tata Usaha Negara merupakan suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh badan atau
pejabat Tata Usaha Negara yang berisi tindakan hukum Tata Usaha Negara yang berdasarkan
peraturan perundang-undangan yang berlaku, bersifat konkret, individual dan final, yang
menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata (Pasal 1 angka 3 UU No.5
Tahun 1986). Pada rumusan pasal 1 angka 3 mengenai keputusan tata usaha Negara menjelaskan
unsur-unsur atau elemen-elemen yang terdapat dalam KTUN.
Ada beberapa unsur yang terdapat yang terdapat dalam Keputusan Tata Usaha Negara
(KTUN),yaitu:
Penetapan tersebut tertulis dan dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara.
Berisi tindakan hukum dalam bidang Tata Usaha Negara.
Berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Bersifat konkrit, individual dan final.
Menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata.
Susunan pembuatan KTUN sama dengan susunan keputusan lainnya, dimana dalam pembuatan
keputusan tata usaha Negara agar menjadi sah menurut hukum (Rechtsmatig) harus mencakup
syarat materiil dan syarat formiil. Sehingga berdasarkan tujuan pembuatannya, KTUN memiliki
banyak ragam meskipun dibatasi oleh peraturan yang lain. Dalam pembuatannya, KTUN harus
didasarkan pada kaidah dan asas yang telah disepakati dalam hukum administrasi negara.
Tentunya dalam makalah ini masih terdapat banyak kekurangan dan kesalahan. Untuk itu,
penulis akan memperbaiki makalah tersebut dengan terpaku pada banyak sumber dan juga
tentunya kritik dari pembaca. Penulis juga berharap agar makalah ini dapat memberikan manfaat
bagi para pembaca.
19
DAFTAR PUSTAKA
Elzaffa. (2014, Juni 5). Keputusan Tata Usaha Negara KTUN. Retrieved Oktober 14, 2021, from
https://goresankataku.wordpress.com/2014/06/05/keputusan-tata-usaha-negara-ktun/
Makmur, E. (2020, November 10). Mengenal KTUN sebagai Objek Sengketa Peradilan Tata
Usaha Negara. 1-2. Retrieved Oktober 14, 2021, from
https://lbhpengayoman.unpar.ac.id/mengenal-ktun-sebagai-objek-sengketa-peradilan-
tata-usaha-negara/
Mona T, D. D. (2013, March 22). Resume Keputusan Tata Usaha Negara. 1-6. Retrieved
Oktober 14, 2021, from https://www.scribd.com/doc/131746710/Resume-Keputusan-
Tata-Usaha-Negara
Mona Timur, D. D. (2013, March 22). Resume Keputusan Tata Usaha Negara. 1-6. Retrieved
Oktober 14, 2021, from https://www.scribd.com/doc/131746710/Resume-Keputusan-
Tata-Usaha-Negara
Pratama, G. R. (n.d.). Keputusan Tata Usaha Negara. Retrieved Oktober 14, 2021, from
https://blog.ub.ac.id/gumilangrama95/2016/03/27/keputusan-tata-usaha-negara/
Sugianto, J. A. (n.d.). Keputusan tata Usaha Negara. Retrieved Oktober 13, 2021, from
https://www.scribd.com/doc/51321104/KEPUTUSAN-TATA-USAHA-NEGARA
Triwulan, T., & Wahab, I. G. (2011). Hukum Tata Usaha Negara dan Hukum Acara Peradilan
Tata Usaha Negara Indonesia. Jakarta: Kencana.
HYPERLINK "http://juniarwibisana.blogspot.co.id/2015/10/makalah-keputusan-dan-ketetapan-
hukum.html" http://juniarwibisana.blogspot.co.id/2015/10/makalah-keputusan-dan-ketetapan-
hukum.html
HYPERLINK "http://studihukum.blogspot.co.id/2010/11/keputusan-tata-usaha-negara-1.html"
http://studihukum.blogspot.co.id/2010/11/keputusan-tata-usaha-negara-1.html
20