Anda di halaman 1dari 53

ANALISIS PUTUSAN PENGADILAN TATA USAHA NEGARA

NOMOR : 255/G/TF/2022/PTUN.JKT.
DALAM PERKARA PERBUATAN MELAWAN HUKUM PEMERINTAH
Analisis Ini Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Hukum Administrasi Negara
Dosen Pengampu : Fathudin, S.HI., S.H., MA.Hum., M.H.

Disusun Oleh :

Ilmu Hukum -3D

Raihan Syafiq Ramadhan (11210480000170)

Fauzan Ismail (11210480000110)

Symphati Diva Rafi’i (11210480000138)

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM


FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami tujukan kepada Allah Subhaanahu wa Ta’aala karena telah memberikan
rahmatnya dalam pengerjaan analisis ini yang berjudul “Analisi Putusan Pengadilan Tata
Usaha Negara Nomor : 255/G/TF/2022/PTUN.JKT. Dalam Perkara Perbuatan Melawan
Hukum Pemerintah” yang telah disusun hingga akhir. analisis ini disusun dalam rangka
memenuhi tugas mata kuliah Hukum Administrasi Negara, serta tidak lupa pula ucapan
terima kasih kepada bapak Fathudin, S.HI., S.H., MA.Hum., M.H. sebagai dosen pengampu
mata kuliah ini, karena saran dan bimbingannya lah yang sangat membantu dalam proses
pembuatan analisis ini.

Analisis ini telah kami susun dengan maksimal dan mendapatkan bantuan dari berbagai
pihak, sehingga dapat memperlancar pembuatan makalah ini. Untuk itu kami juga
menyampaikan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah berkontribusi dalam
pembuatan analisis ini.

Kami selaku penulis merasa bahwa masih banyak kekurangan dalam penyusunan analisis
ini. Yang dikarenakan kekurangan kami dalam pengetahuan dan kurangnya pula pengalaman
kami dalam materi ini. Karena itu kami sangat mengharapkan kritik dan saran yang
membangun dari para pembaca demi kesempurnaan makalah ini dan dapat menghasilkan
pelajaran positif bagi kami dalam membuat analisis selanjutnya.

Tangerang Selatan, 11 Desember 2022

Penulis

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ...................................................................................................ii


DAFTAR ISI ..................................................................................................................iii

BAB I PENDAHULUAN ...............................................................................................1

1.1 Latar Belakang ..........................................................................................................1


1.2 Rumusan Masalah......................................................................................................5

BAB II KERANGKA TEORITIS .................................................................................6

BAB III ANALISIS PUTUSAN ....................................................................................19

3.1 Alasan-alasan Gugatan (Fundamentum Petendi) ........................................................19


3.2 Pertimbangan Hukum Hakim (Rasio Decidendi) ........................................................25
3.3 Analisa Terhadap Pertimbangan Hukum Hakim .........................................................43

DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................................50

iii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kedudukan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) suatu negara umumnya selaras
dengan sistem hukum apa yang dianutnya. Sistem hukum dapat dikelompokkan ke dalam
kategori sistem hukum induk (parent legal system) atau sistem hukum utama (major legal
system) seperti sistem Civil Law disebut juga sistem Eropa kontinental, sistem hukum
kodifikasi atau dengan istilah negara hukum rechtstaat dan Common Law disebut juga
dengan sistem hukum Anglo-Saxon, sistem hukum preseden atau dengan istilah negara
hukum rule of law. Adapun negara-negara yang karakteristiknya mendekati ciri-ciri hukum
utama, secara sepintas dapat dikatakan sama dengan hukum utama tersebut.1

Dalam negara-negara dengan sistem hukum Common Law menganut sistem unity of
jurisdiction sehingga tidak mengenal eksistensi PTUN yang secara struktural dan
organisatoris terpisah dari peradilan umum. Sedangkan dalam sistem hukum Civil Law justru
dikenal adanya pemisahan antara peradilan umum dan PTUN (sistem duality of jurisdiction)
misalnya, di Prancis, Belanda, Jerman, Italia dan negara-negara bekas jajahannya di Benua
Afrika, Amerika Latin, dan Asia, termasuk juga Indonesia. Namun meskipun sama-sama
menerapkan sistem Civil Law, juga masih terdapat perbedaan diantara negara-negara tersebut
2
dalam struktur organisasi dan prosedur hukumnya.

Merujuk kepada Pasal 7 Undang-undang No. 9 Tahun 2004 tentang Peradilan Tata
Usaha Negara, Pengadilan Tata Usaha Negara atau PTUN di Indonesia masuk ke dalam
bagian kekuasaan kehakiman yang struktur organisasinya tidak berdiri sendiri seperti negara-
negara Civil Law pada umumnya tetapi berada dibawah Mahkamah Agung.sehingga
pembinaan teknis peradilan, organisasi, administrasi dan finansial dilakukan oleh Mahkamah
3
Agung.

1
Peter de Cruz, Perbandingan Sistem Hukum Common Law, Civil Law dan Sosialits Law, diterjemahkan oleh
Narulita Yusron, Cetakan I (Bandung: Nusa Media, 2010), hlm. 144
2
Paulus Effendi Lotulung, Hukum Tata Usaha Negara dan Kekuasaan, (Penerbit Salemba Humanika, Jakarta,
2013), hlm. 2
3
Undang-undang No. 9 Tahun 2004 tentang Peradilan Tata Usaha Negara

1
Dalam lapangan penyelengaraan administrasi negara (bestuur) inilah administrasi
negara atau badan atau pejabat pemerintahan mempunyai kewenangan untuk
menyelenggarakan negara dalam suatu bentuk yang dinamakan perbuatan atau tindakan
administrasi pemerintahan. Badan atau pejabat pemerintahan ini dalam menjalankan
fungsinya harus berdasar peraturan perundang-undangan yang berlaku. Biasanya badan atau
pejabat pemerintahan ini dalam mengeluarkan kebijakan (beleid) berdasarkan interpretasi
yang dipahami olehnya. Penafsiran suatu peraturan hukum memang sudah lazim terjadi di
bidang hukum tertulis. Sifat dari suatu peraturan hukum yang sudah terpaku dalam suatu
undang-undang yang tidak boleh tidak harus dilaksanakan, ialah ketika orang mulai melihat
pada norma secara harfiah (eksplisit) telah dianggap sudah memenuhi rasa keadilan
masyarakat. Sebaliknya kalau pelaksanaan undang-undang menurut norma secara eksplisit
memaksakan badan atau pejabat pemerintahan mengambil tindakan yang tidak memuaskan,
maka disitulah orang mulai mencari jalan dengan cara melakukan penafsiran-penafsiran
hingga mendekati rasa keadilan tersebut. Dari aspek teoritis, badan atau pejabat pemerintahan
seharusnya tidak boleh bertindak lain dari pada melaksanakan peraturan hukum sesuai norma
secara eksplisit. Namun dalam beberapa kasus, dengan alasan demi kepastian hukum telah
mengorbankan suatu kebutuhan lain yang lebih penting yaitu kebutuhan akan rasa keadilan,
perlindungan, kenyamanan yang diterima masyarakat baik secara individu maupun kelompok.
Hal ini dilakukan sebagai konsekuensi bahwa badan atau pejabat pemerintahan adalah abdi
masyarakat yang memperhatikan dan merumuskan kebijakan yang menyangkut hidup
4
mereka.

Akibat adanya kebebasan bertindak pada alat administrasi negara itu, maka seringkali
terjadi perbuatan alat administrasi negara tersebut menyimpang dari peraturan hukum yang
berlaku (hukum positif), yang tendensinya dapat menimbulkan kerugian pada pihak
administrasi. 5

Tindakan pejabat pemerintah dalam lingkup hukum publik justru terkadang


mengorbankan hak-hak individu masyarakat baik secara pribadi maupun dalam bentuk
kelompok dengan alasan untuk kepentingan umum, maka perbuatan tersebut dikataegorikan
sebagai “Perbuatan Melanggar Hukum” oleh pejabat pemerintahan.

4
Agus Budi Susilo, Reformulasi Perbuatan Melanggar Hukum Oleh Badan Atau Pejabat Pemerintahan Dalam
Konteks Kompetensi Absolut Peradilan Tata Usaha Negara, (Bandung : Jurnal Hukum dan Peradilan, 2013),
hlm. 293, jurnalhukumdanperadilan.org/
5
Muchsan, Pengantar Hukum Administrasi Negara Indonesia, (Yogyakarta : Liberty , 1982), hlm. 74

2
Penjelasan diatas terkait lapangan penyelengaraan administrasi pemerintah atas
perbuatan melanggar hukum tersebut selaras dengan putusan PTUN Jakarta dengan nomor :
255/G/TF/2022/PTUN.JKT yang akan kami analisis, dimana PT NIKKOINDO
CEMERLANG merupakan Penggugat dan Direktur Jenderal Mineral dan Batubara
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral sebagai Tergugat. Dalam perkara ini
penguggat merasa dirugikan karena tindakan administrasi pemerintah tergugat yang tidak
memasukan izin persetujuan percadangan wilayah untuk lokasi pertambangan, izin usaha
pertambangan eksplorasi dan izin usaha pertambangan operasi produksi atas nama perusahaan
tergugat ke dalam daftar izin usaha pertambangan yang memenuhi ketentuan terkait.

Berdasarkan kewengan absolut dan relatif maka perkara ini diadili di Pengadilan Tata
Usaha Negara Tingkat Pertama Jakarta, berdasarkan Perma No. 2 Tahun 2019 Pasal 2 ayat (1)
mengatur bahwa perbuatan melawan hukum oleh badan dan atau pejabat pemerintahan
merupakan kewenangan peradilan tata usaha negara dan juga perbuatan melawan hukum ini
terjadi dalam wilayah hukum Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta.

Penggugat mengguggat kepada PTUN Jakarta karena penggugat mengalami beberapa


kerugian terkait seperti tidak mendapatkan pelayanan perizinan sehingga berakibat pada
terganggunya usaha pertambangan, terhentinya kegiatan pertambangan milik penggugat yang
berimplikasi pada negara tidak mendapatkan pembayaran biaya-biaya oleh penggugat dan
juga hilangnya pendapatan penggugat setiap tahunnya. Oleh karena kerugian-kerugian
tersebut termasuk kedalam perbuatan melanggar hukum oleh badan dan/atau pejabat
pemerintahan.

Dalam mengajukan gugatan tersebut, penggugat tidak serta merta hanya melayangkan
gugatannya saja, tetapi penggugat juga telah melakukan upaya administrasi seperti mengirimi
surat permohonan agar IUP nya dicatat pada tanggal 21 Juni 2022 kemudian setelah tidak ada
jawaban maka penggugat mengajukan kembali upaya keberatan pada tanggal 27 juni 2022
dan terakhir banding administrasi pada tanggal 28 juni 2022. Sehingga sesuai Undang-undang
No. 9 Tahun 2004 tetnag Peradilan Tata Usaha Negara Pasal 48, jika upaya administrasi telah
dilakukan maka penguggat sudah berhak untuk mengajukan gugatan ke PTUN atas perbuatan
melanggar hukum badan dan/atau pejabat pemerintahan.

Jika dipandang dari sudut pandangan tergugat, tergugat tidak memberikan perizinan
IUP tercatat dengan dalih dan alasan alasan sebagai berikut; dalam pengajuan IUP tercatat
penggugat tidak menyertakan persyaratan apapun sesuai dengan ketentuan pasal 54 Peraturan

3
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral No. 26 Tahun 2008 sehingga tergugat tidak bias
melakukan evaluasi terhdapat perusahaan penggugat.

Tetapi hakim dalam memandang kasus ini menganggap bahwa tergugat memiliki
kesalahan, dimana kesalahan tergugat adalah dengan tidak adanya tindakan apapun terhadap
surat permohonan dari penggugat. Sudah seharusnya selaku badan dan/atau pejabat
pemerintahan mengimbau jika adanya kekurangan dalam administrasi dan bukan mendiami
surat permohonan tersebut.

Jika dilihat dari kasus serupa dengan nomor putusan : 134/G/TF/2022/PTUN-JKT


dimana PT DELAPAN INTI POWER sebagai penggugat dan Direktur Jenderal Mineral dan
Batubara Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral sebagai Tergugat. Duduk perkara
putusan ini sama dengan putusan di atas, dimana Ditjen Minerba tidak memasukan IUP PT
DELAPAN INTI POWER dan guggatan tersebut dikabulkan secara keseluruhan. Seharusnya
Ditjen Minerba melakukan evaluasi akan hal tersebut, karena jika IUP tidak ditindak lanjuti
selain merugian perusahaan terkait juga merugikan pemasukan negara karena negara tidak
bisa menerima pemasukan dari perusahaan seperti pajak dan sebagainya.

Evaluasi utama kepada Kementrian Energi dan Sumber Daya Mineral terutama kepada
Direktur Jenderal Mineral dan Batubara ialah pada pendiaman permohonan IUP ini, sudah
sepatutnya sebagai badan dan/atau pejabat pemerintahan memeberikan arahan kepada
perseorangan atau badan hukum yang terlibat dalam sebuah proses administrasi untuk
memperbaiki administrasi tersebut sesuai dengan undang-undang yang berlaku dan juga
ketentuan-ketentuan terakait. Dimana setelah terbitnya Undang-undang No. 8 Tahun 2014
dikenalkan istilah baru dengan sebutan fiktif positif yaitu jika suatu surat permohonan
diabaikan atau didiami dalam waktu sesuai ketentuan undang-undang maka pemohon berhak
mengajukan kepada pengadilan untuk mendapatkan putusan penerimaan tersebut.

Jika hal tersebut tidak segera dilakukan oleh Direktur Jenderal Mineral dan Batubara
maka akan menimbulkan kerugian diberbagi pihak, baik badan swasta terkait maupun negara.
Hal ini juga sangat membuang-buang waktu dalam segi administratif. Pada hal ini, hakim
dalam putusannya mungkin dapat memasukan unsur evaluasi internal dari badan dan/atau
pejabat pemerintahan yang menjadi tergugat agar hal-hal seperti ini tidak terulang kembali.

4
1.2 Rumusan Masalah

Selaras dengan Analisis yang akan kami lakukan, maka rumusan masalah yang dapat
didentifikasikan sebagai berikut:

1. Bagaimana pandangan Mahkamah Agung terkait Perbuatan Melanggar Hukum masuk


kepada kewenangan mengadili PTUN?
2. Bagaimana pertimbangan hakim dalam penyelesaian perkara dengan klasifikasi
perbuatan melanggar hukum dalam putusan Nomor 225/G/TF/2022/PTUN.JKT?
3. Bagaimana upaya administrasi yang dapat dilakukan suatu perusahaan sebelum
mengajukan gugatan ke PTUN?

5
BAB II
KERANGKA TEORITIS

Kata administrasi berasal dari bahasa Latin "administrare" berarti to manage.


Derivasinya antara lain menjadi "administratio yang berarti besturing atau pemerintahan.
Dalam KBBI, administras diartikan sebagai; pertama, usaha dan kegiatan yang melipu
penetapan tujuan serta penetapan cara-cara penyelenggaraan pem binaan organisasi; kedua,
usaha dan kegiatan yang berkaitan dengan penyelenggaraan kebijaksanaan serta mencapai
tujuan; ketiga, kegiatan yang berkaitan dengan penyelenggaraan pemerintahan keempat,
kegiatan kantor dan tata usaha. Dalam penjelasan Dr. Ridwan HR dalam bukunya “Hukum
Administrasi Negara” merujuk pada pengertian yang ketiga, yakni kegiatan yang berkaitan
dengan penyelenggaraan pemerintahan.

Prajudi Atmosudirdjo mengemukakan bahwa administrasi negara mempunyai tiga arti,


yaitu; pertama, sebagai salah satu fungsi pemerintah, kedua, sebagai aparatur (machinery) dan
aparat (apparatus) daripada pemerintah; ketiga, sebagai proses penyelenggaraan tugas
pekerjaan pemerintah yang memerlukan kerja sama secara tertentu."

Menurut Bintoro Tjokroamidjojo administrasi negara adalah manajemen dan


organisasi dari manusia-manusia dan peralatannya guna mencapai tujuan- tujuan pemerintah.

Sondang P. Siagian mengartikan administrasi negara sebagai "keseluruhan kegiatan


yang dilakukan oleh seluruh aparatur pemerintah dari suatu negara dalam usaha mencapai
tujuan negara

E. Utrecht menyebutkan bahwa administrasi negara adalah gabungan jabatan-jabatan,


aparat (alat) administrasi yang di bawah pimpinan pemerintah melakukan sebagian dari peker-
jaan pemerintah.

Menurut Dimock & Dimock administrasi negara adalah aktivitas-aktivitas negara


dalam melaksanakan kekuasaan- kekuasaan politiknya; dalam arti sempit, aktivitas-aktivitas
badan- badan eksekutif dan kehakiman atau khususnya aktivitas-aktivitas badan eksekutif saja
dalam melaksanakan pemerintahan.

Bahsan Mustafa mengartikan administrasi negara sebagai gabungan jabatan- jabatan


yang dibentuk dan disusun secara bertingkat yang diserahi tugas melakukan sebagian dari

6
pekerjaan pemerintah dalam arti Juas, yang tidak diserahkan kepada badan-badan pembuat
undang-undang dan badan-badan kehakiman.

Dari beberapa pendapat tersebut dapatlah diketahui bahwa administrasi negara adalah
keseluruhan aparatur pemerintah yang melakukan berbagai aktivitas atau tugas-tugas negara
selain tugas pembuatan undang-undang dan pengadilan.

“Om tot een goede definitie te komen van de term 'bestuursrecht', moet allereerst
vastgesteld worden dat het bestuursrecht deel uitmaakt van het publiekrecht, dat wil zeggen
van het recht, dat het optreden van de overheid en de verhouding tussen overheid en burgers
of tussen overheidsorganen onderling regelt... Dat het bestuursrecht het geheel van regels
omvat met betrekking tot de wijze waarop de bestuursorganen hun taak vervullen. Het
bestuursrecht houdt dus de spelregels in met betrekking tot het functioneren van
bestuursorganen."

Memiliki artian untuk menemukan definisi yang baik mengenai istilah Hukum
Administrasi Negara', pertama-tama harus ditetapkan bahwa Hukum Administrasi Negara
merupakan bagian dari hukum publik, yakni hukum yang mengatur tindakan pemerintah dan
mengatur hubungan antara pemerintah dengan warga negara atau hubungan antarorgan
pemerintahan..... Hukum Administrasi Negara memuat keseluruhan peraturan yang berkenaan
dengan cara bagaimana organ pemerintahan melaksanakan tugasnya. Jadi Hukum
Administrasi Negara berisi aturan main yang berkenaan dengan fungsi organ-organ
pemerintahan

Het administratief recht omvat regels, die betrekking hebben op de administratie.


Administratie betekent hetzelfde als bestuur. Administratief recht wordt daarom ook wel
bestuursrecht genoemd. Het woord bestuur pleegt te worden gelijkgesteld met uitvoerende
macht. Het betekent dan het gedeelte van de overheidsorganen en van de overheidsfuncties,
die niet zijn wetgevende en rechtsprekende organen en functies.

Memiliki makna Hukum Administrasi Negara meliputi peraturan-peraturan yang


berkenaan dengan administrasi. Administrasi berarti sama dengan pemerintahan. Oleh karena
itu, HAN disebut juga hukum tata pemerintahan. Perkataan pemerintahan dapat disamakan
dengan kekuasaan eksekutif, artinya pemerintahas merupakan bagian dari organ dan fungsi
pemerintahan, yang bukan organ dan fungsi pembuat undang-undang dan peradilan.

7
Berdasarkan beberapa definisi tersebut di atas tampak bahwa dalam Hukum
Administrasi Negara terkandung dua aspek, yaitu: pertama, aturan-aturan hukum yang
mengatur dengan cara bagai- mana alat-alat perlengkapan negara itu melakukan tugasnya;
kedua, aturan-aturan hukum yang mengatur hubungan hukum (rechtsbetrekking) antara alat
perlengkapan administrasi negara atau pemerintah dengan para warga negaranya.

Seiring dengan perkembangan tugas-tugas pemerintahan, khususnya dalam ajaran


welfare state, yang memberikan kewenangan yang luas kepada administrasi negara termasuk
kewenangan dalam bidang legislasi, maka peraturan-peraturan hukum dalam Hukum
Administrasi Negara di samping dibuat oleh lembaga legislatif, juga ada peraturan-peraturan
yang dibuat secara mandiri oleh administrasi negara. Dengan demikian, bahwa Hukum
Administrasi Negara adalah hukum dan peraturan-peraturan yang berkenaan dengan
pemerintah dalam arti sempit atau administrasi negara, peraturan-peraturan tersebut dibentuk
oleh lembaga legislatif untuk mengatur tindakan pemerintahan dalam hubungannya dengan
warga negara, dan sebagian peraturan-peraturan itu dibentuk pula oleh administrasi negara. 6

Pemahaman terhadap AAUPB tidak dapat dilepaskan dari konteks kesejarahan, di


samping dari segi kebahasaan, karena asas ini muncul dari proses sejarah, sebagaimana
tersebut di atas. Terlepas dari kenyataan bahwa kemudian AAUPB ini menjadi wacana yang
dikaji dan berkembang di kalangan para sarjana sehingga melahirkan rumusan dan interpretasi
yang beragam, guna pemahaman awal kiranya diperlukan pengertian dari konteks kebahasaan
dan kesejarahan. Dengan bersandar pada kedua konteks ini, AAUPB dapat dipahami sebagai
asas-asas umum yang dijadikan sebagai dasar dan tata cara dalam penyelenggaraan
pemerintahan yang baik, yang dengan cara demikian penyelenggaraan pemerin- tahan itu
menjadi baik, sopan, adil, dan terhormat, bebas dari keza- liman, pelanggaran peraturan,
tindakan penyalahgunaan wewenang dan tindakan sewenang-wenang.

Telah disebutkan bahwa AAUPB ini berkembang menjadi wacana yang dijadikan
kajian para sarjana dan ini menunjukkan bahwa AAUPB merupakan konsep terbuka (open
begrip). Sebagai konsep terbuka, ia akan berkembang dan disesuaikan dengan ruang dan
waktu di mana konsep ini berada. Atas dasar ini tidaklah mengherankan jika secara
kontemplatif maupun aplikatif AAUPB ini berbeda-beda antara satu negara dengan negara
lainnya atau antara sarjana yang satu dengan lainnya. Berdasarkan penelitiannya, Jazim
Hamidi menemukan pengertian AAUPB sebagai berikut.

6
Dr. Ridwan HR, Hukum Administrasi Negara, (Depok : Rajawali Pers, 2020), hlm. 28-37

8
AAUPB merupakan nilai-nilai etik yang hidup dan berkembang dalam lingkungan
Hukum Administrasi Negara;

a. AAUPB berfungsi sebagai pegangan bagi pejabat administrasi negara dalam


menjalankan fungsinya, merupakan alat uji bagi hakim administrasi dalam menilai
tindakan administrasi negara (yang berwujud penetapan/beschikking), dan sebagai
dasar pengajuan gugatan bagi pihak penggugat;
b. Sebagian besar dari AAUPB masih merupakan asas-asas yang tidak tertulis, masih
abstrak, dan dapat digali dalam praktik kehidupan di masyarakat;
c. sebagian asas yang lain sudah menjadi kaidah hukum tertulis dan terpencar dalam
berbagai peraturan hukum positif. Meskipun sebagian dari asas itu berubah menjadi
kaidah hukum tertulis, namun sifatnya tetap sebagai asas hukum."

Ketika mengawali pembahasan tentang AAUPB, H.D. van Wijk/Willem Konijnenbelt


menulis sebagai berikut.

"Bestuursorganen zijn-aangenomen dat ze bevoegd zijn een bepaald handeling te


verrichten-bij hun handelen niet alleen gebonden aan wettelijke regels, aan het geschreven
recht; daarnaast moeten zij het ongeschreven recht in acht nemen. Het ongeschreven recht,
dat wil zeggen vooral de algemene beginselen van behoorlijk bestuur"

(Organ-organ pemerintahan-yang menerima wewenang untuk melakukan tindakan


tertentu-menjalankan tindakannya tidak hanya terikat pada peraturan perundang-undangan;
hukum tertulis, di samping itu organ-organ pemerintahan harus memer- hatikan hukum tidak
tertulis, yaitu asas-asas umum pemerintahan yang baik).7

Menurut Philipus M. Hadjon, AAUPB harus dipandang sebagai norma-norma hukum


tidak tertulis, yang senantiasa harus ditaati oleh pemerintah. meskipun arti yang tepat dari
AAUPB bagi tiap keadaan tersendiri tidak selalu dapat dijabarkan dengan teliti. Dapat pula
dikatakan, bahwa AAUPB adalah asas-asas hukum tidak tertulis, dari mana untuk keadaan-
keadaan tertentu dapat ditarik aturan-aturan hukum yang dapat diterapkan.

7
H.D. van Wijk/Willem Konijnenbelt, Hoofdstukken van Administratief Recht, (Vuga, s'Gravenhage :
1995), hlm. 69-70.

9
Sebenarnya menyamakan AAUPB dengan norma hukum tidak tertulis dapat
menimbulkan salah paham, sebab dalam konteks ilmu hukum telah dikenal bahwa antara
"asas" dengan "norma" itu terdapat perbedaan. Asas atau prinsip merupakan dasar pemikiran
yang umum dan abstrak, ide atau konsep, dan tidak mempunyai sanksi, sedangkan norma
adalah aturan yang konkret, penjabaran dari ide, dan mempunyai sanksi.

Pada kenyataannya, AAUPB ini meskipun merupakan asas, namun tidak semuanya
merupakan pemikiran yang umum dan abstrak, dan dalam beberapa hal muncul sebagai aturan
hukum yang konkret atau tertuang secara tersurat dalam pasal undang-undang, serta
mempunyai sanksi tertentu.

Berkenaan dengan hal tersebut SF. Marbun mengatakan bahwa norma yang berlaku
dalam kehidupan masyarakat umumnya diartikan sebagai peraturan, baik yang tertulis
maupun yang tidak tertulis yang mengatur bagaimana manusia seyogianya berbuat. Karena itu
pengertian norma (kaidah hukum) dalam arti sempit mencakup asas-asas hukum dan
peraturan hukum konkret, sedangkan dalam arti luas pengertian norma ialah suatu sistem
hukum yang berhubungan satu sama lainnya.8

Lebih lanjut disebutkan bahwa asas hukum merupakan sebagian dari kejiwaan
manusia yang merupakan cita-cita yang hendak diraihnya. Dengan demikian, apabila asas-
asas umum pemerintahan yang baik dimaknakan sebagai asas atau sendi hukum, maka asas-
asas umum pemerintahan yang baik dapat dimaknakan sebagai asas hukum yang bahannya
digali dan ditemukan dari unsur susila, didasarkan pada moral sebagai hukum riil, bertalian
erat dengan etika, kesopanan, dan kepatutan berdasarkan norma yang berlaku. Berdasarkan
keterangan ini tampak, sebagaimana juga disebutkan Jazim Hamidi, bahwa sebagian AAUPB
masih merupakan asas hukum, dan sebagian lainnya telah menjadi norma hukum atau kaidah
hukum.

Pada mulanya keberadaan AAUPB ini di Indonesia belum diakui secara yuridis formal
sehingga belum memiliki kekuatan hukum formal. Ketika pembahasan RUU No. 5 Tahun
1986 di DPR, fraksi ABRI mengusulkan agar asas-asas tersebut dimasukkan sebagai salah
satu alasan gugatan terhadap keputusan badan/pejabat tata usaha negara, akan tetapi usulan ini

8
SF. Marbun, Pembentukan, Pemberlakuan, dan Peranan Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Layak
dalam Menjelmakan Pemerintahan yang Baik dan Bersih di Indonesia, Disertasi, (Bandung: Universitas
Padjadjaran, 2001), hlm. 72.

10
tidak diterima oleh pemerintah dengan alasan yang dikemukakan oleh Ismail Saleh, selaku
Menteri Kehakiman waktu itu yang mewakili pemerintah. Alasan pemerintah adalah sebagai
berikut.

"Menurut hemat kami dalam praktik ketatanegaraan kita mau- pun dalam
Hukum Tata Usaha Negara yang berlaku di Indonesia, kita belum mempunyai kriteria
tentang "algemene beginselen van behoorlijk bestuur" tersebut yang berasal dari
negeri Belanda. Pada waktu ini kita belum mempunyai tradisi administrasi yang kuat
mengakar seperti halnya di negara-negara Kontinental tersebut.. Tradisi demikian
bisa dikembangkan melalui yurisprudensi yang kemudian akan menimbulkan norma-
norma. Secara umum prinsip dari Hukum Tata Usaha Negara kita selalu dikaitkan
dengan aparatur pemerintahan yang bersih dan berwibawa yang konkretisasi
normanya maupun pengertiannya masih sangat luas sekali dan perlu dijabarkan
melalui kasus-kasus yang konkret".

Tidak dicantumkannya AAUPB dalam UU PTUN bukan berarti eksistensinya tidak


diakui sama sekali, karena ternyata-seperti yang terjadi di Belanda-AAUPB ini diterapkan
dalam praktik peradilan terutama pada PTUN, sebagaimana akan terlihat nanti pada sebagian
contoh-contoh putusan PTUN. Kalaupun AAUPB ini tidak akomodir dalam UU PTUN, tetapi
sebenarnya asas-asas ini dapat digunakan dalam praktik peradilan di Indonesia karena
memiliki sandaran dalam Pasal 10 ayat (1) UU No. 48 Tahun 2009 menyatakan bahwa
pengadilan tidak boleh menolak perkara karena tidak ada undang undang yang mengatur
dengan jelas.

Berkenaan dengan keputusan (beschikking). AAUPB terbagi dalam dua bagian, yaitu
asas yang bersifat formal atau prosedural dan asas yang bersifat material atau substansial.

"Een onderscheid tussen procedurele en materiele beginselen van behoorlijk bestuur


is relevant voor de rechtsbescherming"

(perbedaan antara asas- asas yang bersifat prosedural dan material, AAUPB ini
penting untuk perlindungan hukum). Asas yang bersifat formal berkenaan dengan prosedur
yang harus dipenuhi dalam setiap pembuatan keputusan, atau asas-asas yang berkaitan dengan
cara-cara pengambilan keputusan seperti asas kecermatan, yang menuntut pemerintah untuk

11
mengambil keputusan dengan persiapan yang cermat, dan asas permainan yang layak (fair
play-beginsel). Menurut Indoharto, asas-asas yang bersifat formal, yaitu asas-asas yang
penting artinya dalam rangka mempersiapkan susunan dan motivasi dari suatu beschikking.
Jadi menyangkut segi lahiriah dari beschikking itu, yang meliputi asas-asas yang berkaitan
dengan proses persiapan dan proses pembentukan keputusan, dan asas-asas yang berkaitan
dengan pertimbangan (motivering) serta susunan keputusan Asas-asas yang bersifat material
tampak pada isi dari keputusan pemerintah Termasuk kelompok asas yang bersifat material
atau substansial ini adalah asas kepastian hukum, asas persamaan, asas larangan sewenang-
wenang (willekeur), larangan penyalahgunaan kewenangan (detournement de pouvoir).

Berikut merupakan contoh macam macam Asas Umum pemerintahan Yang Baik
sebagai berikut :

 Asas Kepastian Hukum

Asas kepastian hukum memiliki dua aspek, yang satu lebih bersifat hukum material,
yang lain bersifat formal. Aspek hukum material terkait erat dengan asas kepercayaan. Dalam
banyak keadaan asas kepastian hukum menghalangi badan pemerintahan untuk menarik
kembali suatu keputusan atau mengubahnya untuk kerugian yang berkepentingan." Dengan
kata lain, asas inimenghendaki dihormatinya hak yang telah diperoleh seseorang berdasarkan
suatu keputusan pemerintah, meskipun keputusan itu salah. Jadi demi kepastian hukum, setiap
keputusan yang telah dikeluarkan oleh pemerintah tidak untuk dicabut kembali, sampai
dibuktikan sebaliknya dalam proses peradilan.

Adapun aspek yang bersifat formal dari asas kepastian hukum membawa serta bahwa
keputusan yang memberatkan dan ketentuan yang terkait pada keputusan-keputusan yang
menguntungkan, harus disusun dengan kata-kata yang jelas. Asas kepastian hukum
memberikan hak kepada yang berkepentingan untuk mengetahui dengan tepat apa yang
dikehendaki daripadanya. Unsur ini memegang peran misalnya pada pemberian kuasa surat-
surat perintah secara tepat dan dengan tidak mungkin adanya berbagai tafsiran yang dituju
harus dapat terlihat, kewajiban-kewajiban apa yang dibebankan kepadanya.

Asas ini berkaitan dengan prinsip dalam Hukum Administrasi Negara, yaitu asas het
vermoeden van rechtmatigheid atau presumtio justea causa, yang berarti setiap keputusan
badan atau pejabat tata usaha negara yang dikeluarkan dianggap benar menurut hukum,
selama belum dibuktikan sebaliknya atau dinyatakan sebagai keputusan yang bertentangan
dengan hukum oleh hakim administrasi.

12
 Asas Keseimbangan

Asas ini menghendaki adanya keseimbangan antara hukuman jabatan dan kelalaian
atau kealpaan seorang pegawai. Asas in menghendaki pula adanya kriteria yang jelas
mengenai janis-jenis atau kualifikasi pelanggaran atau kealpaan yang dilakukan seseorang
sehingga memudahkan penerapannya dalam setiap kasus yang ada dan seiring dengan
persamaan perlakuan serta sejalan dengan kepastian hukum.

Artinya terhadap pelanggaran atau kealpaan serupa yang dilakukan orang yang
berbeda akan dikenakan sanksi yang sama sesuai dengan kriteria yang ada dalam peraturan
perundang-undangan.

 Asas Kesamaan Dalam Mengambil Keputusan

Asas ini menghendaki agar badan pemerintahan mengambil tindakan yang sama atas
kasus kasus yang faktanya sama. Meskipun demikian, agaknya dalam kenyataan sehari-hari
sukar ditemukan adanya kesamaan mutlak dalam dua atau lebih kasus.

 Asas Kecermatan

Asas ini menghendaki agar pemerintah atau administra bertindak cermat dalam
melakukan berbagai aktivitas penyeleng garaan tugas-tugas pemerintahan, sehingga tidak
menimbulkan kerugian bagi warga negara.

 Asas Motivasi Dalam Setiap Keputusan

Asas ini menghendaki agar setiap keputusan badan-badan pemerintahan harus


mempunyai motivasi atau alasan yang cukup sebagai dasar dalam menerbitkan keputusan dan
sedapat mungkin alasan atau motivasi itu tercantum dalam keputusan. Motivasi arau alasan
ini harus benar dan jelas, sehingga pihak administrable memperoleh pengertian yang cukup
jelas atas keputusan yang ditujukan kepadanya.

 Asas Tidak Mencampuradukan Kewenangan

Setiap pejabat pemerintah memiliki wewenang yang diberika oleh peraturan


perundang-undangan yang berlaku atau berdasar kan pada asas legalitas. Dengan wewenang
yang diberikan itul pemerintah melakukan tindakan-tindakan hukum dalam rang melayani
atau mengatur warga negara. Kewenangan pemeris secara umum mencakup tiga hal;
kewenangan dari segi material (bevoegheid ratione materiale), kewenangan dari segi wilayah
(beg heid ratione loci), dan kewenangan dari segi waktu (bevoegheid ration temporis).
13
Seorang pejabat pemerintahan memiliki wewenang yang sudah ditentukan dalam
peraturan perundang-undangan baik de segi materi, wilayah, maupun waktu. Aspek-aspek
wewenang tidak dapat dijalankan melebihi apa yang sudah ditentukan dalam peraturan yang
berlaku. Artinya asas tidak mencampuraduki kewenangan ini menghendaki agar pejabat tata
usaha negara tida menggunakan wewenangnya untuk tujuan lain selain yang tele ditentukan
dalam peraturan yang berlaku atau menggunak wewenang yang melampaui batas.

Dalam hal Hukum Administrasi Negara, perizinan masuk kedalam ruang lingkup
HAN, karena perizinan adalah sebuah perbuatan yang dikeluarkan oleh badan dan/atau
pejabat pemerintahan didalam kekuasaan administrasinya selaku pemegang kuasa dengan
tujuan control di masyarakat.hal tersebut sejalan dengan pendapat Bagir Manan yang
menyebutkan sebagai berikut ; izin dalam arti luas berarti suatu persetujuan dari penguasa
berdasarkan peraturan perundang-undangan untuk memperbolehkan melakukan tindakan atau
perbuatan tertentu yang secara umum dilarang. 9

Izin adalah salah satu instrumen yang paling banyak digunakan dalam Hukum
Administrasi. Pemerintah menggunakan izin sebagai sarana yuridis untuk mengemudikan
tingkah laku para warga. Izin ialah suatu persetujuan dari penguasa berdasarkan undang-
undang atau peraturan pemerintah untuk dalam keadaan tertentu menyimpang dari ketentuan-
ketentuan larangan perundangan.

Dengan memberi izin, penguasa memperkenankan orang yang memohonnya untuk


melakukan tindakan-tindakan tertentu yang sebenarnya dilarang. Ini menyangkut perkenan
bagi suatu tindakan yang demi kepentingan umum mengharuskan pengawasan khusus
atasnya. Ini adalah paparan luas dari pengertian izin. Izin (dalam arti sempit) adalah
pengikatan-pengikatan pada suatu peraturan izin pada umumnya didasarkan pada keinginan
pembuat undang-undang untuk mencapai suatu tatanan tertentu atau untuk menghalangi
keadaan-keadaan yang buruk. Tujuannya ialah mengatur tindakan-tindakan yang oleh
pembuat undang- undang tidak seluruhnya dianggap tercela, namun di mana ia menginginkan
dapat melakukan pengawasan sekadarnya, yang pokok pada izin (dalam arti sempit) ialah
bahwa suatu tindakan dilarang, terkecuali diperkenankan, dengan tujuan agar dalam
ketentuan-ketentuan yang disangkutkan dengan perkenan dapat dengan teliti diberikan batas-
batas tertentu bagi tiap kasus. Jadi persoalannya bukanlah untuk hanya memberi perkenan

9
Bagir Manan, Ketentuan-Ketentuan Mengenai Pengaturan Penyelenggaraan Hak Kemerdekaan Berkumpul
Ditinjau dari Perspektif UUD 1945, (Jakarta : Makalah, 1995), hlm. 8.

14
dalam keadaan-keadaan yang sangat khusus, tetapi agar tindakan- tindakan yang
diperkenankan dilakukan dengan cara tertentu (dicantumkan dalam ketentuan-ketentuan).10

Merujuk kepada ketentuan Pasal 1 angka 8 Undang-undang Administrasi


Pemerintahan dalam putusan yang kami analisis menyinggung terkait peristiwa atau
perbuatan konkret yang dilakukan oleh badan dan/atau pejabat pemerintahan dan perizinan ini
termasuk kedalam peristiwa konkret.

Disebutkan bahwa izin merupakan instrumen yuridis yang berbentuk keputusan, yang
digunakan oleh pemerintah dalam menghadapi peristiwa konkret dan individual. Peristiwa
konkret artinya peristiwa yang terjadi pada waktu tertentu, orang tertentu, tempat tertentu, dan
fakta hukum tertentu. Karena peristiwa konkret ini beragam, sejalan dengan keragaman
perkembangan masyarakat, maka izin pun memiliki berbagai keragaman. Izin yang jenisnya
beragam itu dibuat dalam proses yang cara prosedurnya tergantung dari kewenangan pemberi
izin, macam izin dan struktur organisasi instansi yang menerbitkannya. 11 Berbagai jenis izin
dan instansi pemberi izin dapat saja berubah seiring dengan perubahan kebijakan peraturan
perundang-undangan yang terkait dengan izin tersebut. Meskipun demikian, izin akan tetap
ada dan digunakan dalam setiap penyelenggaraan pemerintahan dan kemasyarakatan. 12

Perizinan ini merupakan suatu kepentingan sebuah perusahaan dalam menjalankan


kepentingannya dan perusahaan tidak bisa menjalankan sebuah kepentingan jika tidak
memiliki perizinan yang dikantongi dari lembaga pemerintah terkait. Dalam pengajuan
perizinan ini perusahaan wajib menyertakan beberapa persyartan yang diperlukan. Jika suatu
perusahaan sudah melakukan semua persyaratan yang diperlukan tetapi pemerintah terkait
belum atau tidak menerbitkan perizinan tersebut, perusahaan akan mengalami dampak besar
seprti hilangnya pemasukan, berhenti beroperasinya kegiatan perusahaan bahkan dampak
terbesar yaitu perusahaan dapat gulung tikar, jika perbuatan ini dilakukan oleh pemerintah
dengan tidak memberikan perizinan kepada perusahaan sedangkan perusahaan sudah
memberikan persyaratan perizinan lengkap, hal ini termasuk kedalam perbuatan melanggar
hukum dalam tindakan administrasi negara.

Merujuk kepada Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata memiliki rumusan
perbuatan melawan hukum sebagai berikut; harus ada perbutan, pelaku harus mempunyai
10
N.M. Spelt dan J.B.J.M. ten Berge, Pengantar Hukum Perizinan, disunting oleh Philipus M. Hadjon,
(Surabaya: Yuridika, 1993), hlm. 2-3.
11
Sajchran Basah, Perizinan di Indonesia, Makalah untuk Penataran Hukum Administrasi dan Lingkungan,
Fakultas Hukum Unair, (Surabaya : FH Unair, 1992), hlm. 4-6.
12
Dr. Ridwan HR, Hukum Administrasi Negara, (Depok : Rajawali Pers, 2020), hlm. 207

15
kesalahan, perbuatan tersebut menimbulkan kerugian dan adanya hubungan kausalitas antara
perbuatan dan kerugian.

Sebelum adanya PTUN, pada dasar nya terdapat tiga jalur prosedur
penyelesaian sengketa administratif, yakni:

1. Jalur Prosedur Keberatan


2. Jalur Banding Administratif
3. Jalur gugatan Perbuatan Melawan Hukum (PMH) berdasarkan Pasal 1365

Selanjutnya, setelah berlakunya PTUN, maka jalur prosedur pada butir (1)
dan (2) di atas kemudian menjadi jalur upaya administratif, dan wajib ditempuh sebelum
dilakukannya gugatan PMH terhadap administrasi negara. Jika hal tersebut tidak
dilakukan maka gugatan TUN selayaknya dinyatakan tidak dapat diterima. 13

Dalam perspektif hukum administrasi negara, S.F. Marbun menyebutkan bahwa


perbuatan melawan hukum oleh penguasa diterapkan bilamana:

1. Perbuatan yang bertentangan dengan hak orang lain;


2. Perbuatan yang bertentangan dengan kewajiban hukumnya sendiri/pembuat;
3. Perbuatan yang bertentangan dengan kesusilaan; dan
4. Perbuatan yang bertentangan dengan kehati-hatian atau keharusan dalam
pergaulan masyarakat yang baik.

Terhadap perbuatan melanggar/melawan hukum tersebut, meskipun dilakukan oleh


seseorang yang mempunyai atau pemegang kekuasaan, menurut Sjachran Basah,
perlindungan hukum bagi pihak yang dirugikan itu merupakan suatu urgensi yang wajar,
tampil dan menduduki posisi terdepan dalam merealisasi jalur pemerataan kesempatan
14
memperoleh keadilan.

13
Indroharto, Usaha Memahami Undang-undang tentang Peradilan Tata Usaha Negara: Buku I
Beberapa Pengertian Dasar Hukum Tata Negara, (Jakarta : Sinar Harapan, 2008), hlm. 39.
14
Sjachran Basah. Perlindungan Hukum Terhadap Sikap-Tindak Administrasi Negara. (Bandung: Penerbit
Alumni, 1992), hlm. 11.

16
Perbuatan melawan hukum penguasa dalam perkembangannya sekarang ini terpecah
kompetensinya. Gugatan atas kebijakan yang dikeluarkan negara, yang pada awalnya dapat
diajukan di pengadilan perdata sekarang ini menjadi kompetensi peradilan Tata Usaha Negara
dengan ganti rugi yang ditentukan. Doktrin Freies ermeisen dan deuternemen du puvoir
sekarang ini menjadi ranah hukum administrasi negara sehingga penyimpangan atas
pelaksanaan doktrin tersebut menjadi kewenangan kompetensi Peradilan Tata Usaha Negara.

Selain itu perkembangan perbuatan melawan hukum penguasa juga terpecah lagi
dalam gugatan citizen lawsuits. Dimana apabila negara tidak melakukan suatu tindakan yang
menjadi kewajiban hukum penguasa, ia dapat digugat melalui mekanisme citizen lawsuits.
Artinya bahwa perkembangan doktrin perbuatan melawan hukum penguasa sudah tidak lagi
menjadi kompetensi pengadilan tata usaha negara dan menjadi gugatan masyarakat sipil. 15

Menurut ketentuan Pasal 17 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014, badan dan/atau


pejabat pemerintahan dilarang menyalahgunakan wewenang, larangan itu meliputi larangan
melampaui wewenang, larangan mencampuradukkan wewenang, dan/atau larangan bertindak
sewenang-wenang. Badan dan/atau pejabat pemerintahan dikategorikan melampaui
wewenang apabila keputusan dan/atau tindakan yang dilakukan melampaui masa jabatan atau
batas waktu berlakunya wewenang, melampaui batas wilayah berlakunya wewenang; dan/atau
bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Sementara badan dan/atau
pejabat pemerintahan dikategorikan mencampuradukkan wewenang apabila keputusan
dan/atau tindakan yang dilakukan diluar cakupan bidang atau materi wewenang yang
diberikan, dan/atau bertentangan dengan tujuan wewenang yang diberikan. Badan dan/atau
pejabat pemerintahan dikategorikan bertindak sewenang-wenang apabila keputusan dan/atau
tindakan yang dilakukan tanpa dasar kewenangan, dan/atau bertentangan dengan putusan
pengadilan yang berkekuatan hukum tetap.

Melampaui wewenang, mencampuradukkan wewenang, dan/atau bertindak sewenang-


wenang dapat dikategorikan sebagai perbuatan melawan hukum oleh badan atau pejabat
pemerintahan. Dalam ranah hukum publik, jika seseorang atau badan hukum perdata merasa
dirugikan atas ketiga bentuk perbuatan tersebut dapat melakukan perlawanan atau
mengajukan gugatan terhadap badan atau pejabat pemerintahan.

15
Syukron Salam, Perkembangan Doktrin Perbuatan Melawan Hukum Penguasa, (Semarang : FH UNNES,
2018), hlm. 43-44

17
Penegasan terkait hak masyarakat atau badan hukum perdata untuk melakukan
gugatan telah terakomodir dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014, di mana undang
undang tersebut telah memperluas objek sengketa tata usaha negara yang tidak hanya terbatas
pada keputusan tata usaha negara, tetapi termasuk perbuatan atau tindakan faktual dari badan
atau pejabat pemerintahan. Selain itu, Undang-Undang Administrasi Pemerintahan juga
memperluas kewenangan Pengadilan Tata Usaha Negara untuk mengadili gugatan perbuatan
melanggar/melawan hukum oleh pemerintah yang sebelumnya merupakan kompetensi absolut
dari Pengadilan Umum. 16

16
Miftahul Jannah, Fatmawati, PERBUATAN MELANGGAR HUKUM OLEH PEMERINTAH DALAM
PERSPEKTIF HUKUM TATA NEGARA ISLAM, (Makasar : Jurnal FSH UIN Alauddin, 2022), hlm. 53-54

18
BAB III

ANALISIS PUTUSAN

3.1 Alasan-alasan Gugatan (Fundamentum Petendi)

Penggugat mengajukan gugatan pada 27 juli 2022 yang didaftarkan di


kepaniteraan pengadilan tata usaha negara jakarta dengan nomor perkara
255/G/TF/2022/PTUN.JKT terkait Tindakan Administrasi Pemerintahan Tergugat
berupa tidak memasukkan Izin Persetujuan Pencadangan Wilayah Untuk Lokasi
Pertambangan, Izin Usaha Pertambangan Eksplorasi dan Izin Usaha Pertambangan
Operasi Produksi atas nama PT Nikkoindo Cemerlang ke dalam Daftar Izin Usaha
Pertambangan Yang Memenuhi Ketentuan, sebagaimana Surat PT Nikkoindo
Cemerlang tanggal 21 Juni 2022 Nomor: 004/NCESDM/Dir/VI/2022

Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 8 UU Administrasi Pemerintahan, objek


gugatan telah memenuhi kriteria sebagai berikut:
a) Tindakan Direktur Jendral Mineral dan Batubara Kementrian Energi dan Sumber
Daya Mineral sebagai Pejabat Pemerintahan yang melaksanakan fungsi pelayanan
perizinan
b) Perbuatan Tergugat merupakan perbuatan yang konkret, yaitu berwujud, tertentu atau
dapat ditentukan, berupa Tidak memasukan izin-izin Usaha Pertambangan Yang
Memenuhi Ketentuan oleh Tergugat.
c) Perbuatan Tergugat merupakan penyelenggaraan pemerintahan, yaitu dalam rangka
pelaksanaan kegiatan yang bersifat eksekutif

Bahwa dapat disimpulkan Objek Gugatan telah memenuhi kriteria tindakan


administrasi pemerintahan sebagaimana dimaksud Pasal 1 angka 8 UU Administrasi
Pemerintahan, sehingga Peradilan Tata Usaha Negara berwenang
mengadilinya. Berdasarkan kewenangan relatif pengadilan tata usaha negara berhak
mengadili tergugat di pengadilan tata usaha negara jakarta ketentuan tersebut sudah di atur
pada pasal 47 ayat 1 Undang-Undang nomor 5 tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha
Negara Oleh karena kedudukan Tergugat berada di kota Jakarta yang merupakan wilayah

19
hukum Pengadilan Tata Usaha Jakarta, maka Gugatan ini diajukan Penggugat di
Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta

Tergugat sebagai Pejabat Pemerintahan melakukan Perbuatan melanggar hukum


yang menimbulkan kerugian bagi Penggugat berupa:
a) Penggugat tidak dapat mendapatkan pelayanan perizinan yang berakibat pada
terganggunya kelangsungan usaha pertambangan Penggugat;
b) Terhentinya kegiatan pertambangan milik Penggugat berakibat pada: - negara tidak
mendapatkan penerimaan negara dari hasil pembayaran/penyetoran biaya-biaya yang
dilakukan oleh Penggugat; - tidak terlaksananya kegiatan pengembangan dan
pemberdayaan masyarakat;
c) Hilangya pendapatan Penggugat setiap tahunnya.

Bahwa pada ketentuan Pasal 55 Undang-Undang Pengadilan Tata Usaha Negara


“Gugatan dapat diajukan hanya dalam tenggang waktu Sembilan puluh hari terhitung
sejak saat diterimanya Keputusan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara”.

Bahwa Ketentuan Maksud Pasal 5 Ayat 1 Dari Perma No. 6 Tahun 2018, Berbunyi
Sebagai Berikut:

“Tenggang Waktu Pengajuan Gugatan Di Pengadilan Dihitung 90 (Sembilan


Puluh) Hari Kerja Sejak Keputusan Atas Upaya Administratif Diterima Warga
Wasyarakat Atau Diumumkan Oleh Badan Dan/Atau Pejabat Administrasi Pemerintah
Yang Menangani Penyelesaian Upaya Administratif”;

Ketentuan Pasal 5 Ayat 1 Dari Perma Tersebut Di Atas Tidak Dapat Diterapkan
Sebagai Dasar Tenggang Waktu Untuk Mengajukan Gugatan Dalam Perkara Aquo Oleh
Penggugat, Karena Surat Permohonan Penggugat Kepada Direktur Pembinaan
Pengusahaan Mineral Direktorat Jenderal Mineral Dan Batubara (“Direktur”) Tanggal 21
Juni 2022 Nomor 004/NCESDM/Dir/VI/2022, Perihal: Permohonan IUP OP Atas Nama
PT Nikkoindo Cemerlang Terdaftar Sebagai IUP Tercatat Di Direktorat Jenderal Minerba
Kementerian ESDM Yang Memenuhi Ketentuan, Yang Diterima Direktur Tanggal 23
Juni 2022 Jo. Surat Penggugat Kepada Direktur Tanggal 27 Juni 2022 Nomor: 007/NC-
ESDM/Dir/VI/2022, Perihal: Keberatan Belum Adanya Jawaban Permohonan IUP OP
Atas Nama PT. Nikkoindo Cemerlang Terdaftar Sebagai IUP Tercatat di Direktorat

20
Jenderal Minerba Kementerian ESDM yang Memenuhi Ketentuan, surat mana diterima
Direktur tanggal 27 Juni 2022 jo. Surat kepada atasan Direktur yaitu Tergugat
(berdasarkan ketentuan Pasal 78 ayat 2 UU Administrasi Pemerintahan) tanggal 28 Juni
2022 Nomor: 011/NC-ESDM/Dir/VI/2022, Perihal: Banding Administratif yang diterima
Tergugat tanggal 28 Juni 2022 tidak mendapat penetapan keputusan dari Tergugat seperti
diwajibkan oleh ketentuan Pasal 50 ayat 3 dan ayat 4 jo. Pasal 77 jo. Pasal 78 Undang-
Undang No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan;

Bahwa berdasarkan Keputusan Fiktif Positif Pasal 53 UUAP ayat 2 yang berbunyi

“Jika ketentuan peraturan perundang-undangan tidak menentukan batas waktu


kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1), maka Badan dan/atau Pejabat
Pemerintahan” wajib menetapkan dan/atau melakukan Keputusan dan/tau Tindakan
dalam waktu paling lama 10 (sepuluh) hari kerja setelah permohonan diterima secara
lengkap oleh Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan.”

Terhadap Surat Permohonan tanggal 21 Juni 2022 dan telah diterima oleh
Direktur tersebut, Direktur tidak pernah memberikan tanggapan atau membalas
apalagi menetapkan dan/atau melakukan tindakan terhadap Surat Permohonan yang
diajukan oleh Penggugat tersebut, padahal Surat Permohonan tersebut telah diterima
secara lengkap oleh Tergugat, maka sesuai dengan ketentuan yang diatur di dalam
Pasal 53 ayat 1 dan Pasal 53 ayat 2 UU Administrasi Pemerintahan bahwa setelah
lewat waktu 5 (lima) hari kerja yang menjadi batas sebuah tindakan atau keputusan
administratif harusnya dilakukan atau dikeluarkan, Penggugat telah mengajukan upaya
administratif berupa Keberatan dan Banding atas sikap Direktur tersebut sesuai
ketentuan Pasal 75 ayat 1 dan Pasal 75 ayat 2 UU Administrasi Pemerintahan.

Bahwa dalam Pasal 53 ayat 2 Undang-Undang No. 9 Tahun 2009 tentang


Perubahan Atas Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha
Negara menyebutkan: “Alasan-alasan yang dapat digunakan dalam gugatan
sebagaimana dimaksud pada ayat 1 adalah:
a) Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat itu bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan

21
b) Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat itu bertentangan dengan asas-asas umum
pemerintahan yang baik”.

Bahwa Tergugat telah melanggar:


1) Pasal 7 ayat 1:
Pejabat Pemerintahan berkewajiban untuk menyelenggarakan Administrasi
Pemerintahan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, kebijakan
pemerintahan, dan AUPB.”
2) Pasal 7 ayat 2:
Pejabat Pemerintahan memiliki kewajiban:
a) Membuat Keputusan dan/atau Tindakan sesuai dengan kewenangannya;
b) Mematuhi AUPB dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”
3) Pasal 18 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik (“UU
Pelayanan Publik”) yang berbunyi sebagai berikut:
“Masyarakat berhak mendapat pelayanan yang berkualitas sesuai dengan asas dan
tujuan pelayananan”.
4) Pasal 46 Undang-Undang No. 3 Tahun 2020 tentang Perubahan Atas Undang-Undang
Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, karena Tergugat
tidak menjamin kepastian hukum atas status Izin-Izin Usaha Pertambangan Penggugat
dan mengakibatkan Penggugat tidak dapat menikmati jaminan yang diberikan Pasal 54
Permen ESDM No. 26 Tahun 2018, dimana Izin-Izin Usaha Pertambangan Penggugat
tidak dimasukkan ke dalam Daftar Izin Usaha Pertambangan Yang Memenuhi
Ketentuan.
Bahwa Asas-Asas Umum Pemerintahan Yang Baik seperti tercantum dalam
Pasal 10 ayat 1 huruf a dan h Undang-undang Administrasi Pemerintahan
Yang dimaksud dengan “asas kepastian hukum” adalah: asas dalam negara hukum
yang mengutamakan landasan ketentuan peraturan perundang-undangan, kepatutan,
keajegan, dan keadilan dalam setiap kebijakan penyelenggaraan pemerintahan;
Asas kepastian hukum (principle of legal security) adalah asas yang bertujuan
untuk menghormati hak-hak yang telah dimiliki seseorang berdasarkan keputusan
badan atau pejabat administrasi negara. Dalam rangka kepastian hukum, keputusan
pemerintah atau pejabat administrasi negara yang telah memberikan hak kepada
seseorang warga negara tidak akan dicabut kembali oleh badan atau pejabat
administrasi negara yang bersangkutan. meskipun keputusan itu memiliki cacat atau

22
kekurangan. Jika hak yang dimiliki oleh seseorang sewaktu-waktu dapat dicabut oleh
badan atau pejabat yang memberikan hak itu, ada berbagai kerugian yang mungkin
timbul. Pertama, pemilik hak. yang bersangkutan tidak dapat menikmati haknya secara
aman dan tenteram. Kedua, pemilik hak akan mengalami kerugian jika haknya
sewaktu-waktu dapat dicabut karena tidak ada kepastian hukum. Ketiga. kepercayaan
masyarakat terhadap pemerintah akan hilang karena tidak ada konsistensi dalam
tindakan pemerintah atau pejabat administrasi negara.
Asas kepastian hukum memiliki dua macam aspek, yaitu aspek material dan aspek
formal. Aspek material berkaitan dengan asas kepercayaan, sedangkan aspek formal
berkenaan dengan cara merumuskan isi keputusan. Dalam kaitan ini, isi keputusan
baik yang memberatkan ataupun yang menguntungkan harus dirumuskan dengan kata-
kata yang jelas. Kejelasan isi keputusan sangat penting supaya setiap orang dapat
mengetahui hak atau kewajibannya sehingga tidak lahir berbagai macam penafsiran.
Aspek formal ini sangat menonjol dalam pemberian surat kuasa atau surat perintah.
Dalam hukum administrasi negara, ada asas yang mengatakan presumtio Juten causa
yang mengandung arti bahwa setiap keputusan badan atau pejabat administrasi negara
selalu dianggap benar menurut hukum sampai kemudian hakim administrasi negara
mengatakan hal yang berbeda17
Dengan tidak ditanggapinya surat permohonan, surat keberatan dan dan surat
banding administratif dari Penggugat untuk dimasukkannya Izin Persetujuan
Pencadangan Wilayah Untuk Lokasi Pertambangan, Izin Usaha Pertambangan Tahap
Eksplorasi dan Izin Usaha Pertambangan Operasi Produksi ke dalam Daftar Izin
Usaha Yang Memenuhi Ketentuan telah melanggar ketentuan Pasal 50 ayat 3 dan ayat
4, Pasal 77 dan pasal 78 dari UU Administrasi Pemerintahan yang menimbulkan
ketidakpastian hukum bagi Penggugat untuk melakukan operasi produksi.
Yang dimaksud dengan “asas pelayanan yang baik” adalah: asas pelayanan yang
memberikan pelayanan yang tepat waktu, prosedur dan biaya yang jelas, sesuai
dengan standar pelayanan, dan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal 18 UU
Pelayanan Publik, Penggugat sebagai masyarakat juga memiliki hak-hak yang harus
dipenuhi oleh Tergugat sebagai bentuk pelayanan publik yang baik. Hal ini diatur di
dalam Pasal 18 yang berbunyi sebagai berikut:

17
Hotma P. Sibuea, Asas Negara Hukum, Peraturan Kebijakan & Asas-asas Umum Pemerintahan yang Baik,
(Erlangga : Jakarta, 2010), hlm.159.

23
“Masyarakat berhak mendapat pelayanan yang berkualitas sesuai dengan asas dan
tujuan pelayanan”
Berdasarkan uraian di atas, Penggugat dalam hal ini tidak mendapatkan pelayanan
yang berkualitas dari Tergugat sesuai dengan asas dan tujuan pelayanan publik.
Tergugat dengan demikian telah melanggar hak Penggugat dengan tidak pernahnya
Tergugat memberikan tanggapan atau membalas apalagi menetapkan dan/atau
melakukan tindakan terhadap Surat Permohonan Penggugat kepada Direktur tanggal
21 Juni 2022 Nomor: 004/NC-ESDM/Dir/VI/2022, Perihal: Permohonan IUP OP Atas
Nama PT. Nikkoindo Cemerlang Terdaftar sebagai IUP Tercatat di Direktorat
Jenderal Minerba Kementerian ESDM yang Memenuhi Ketentuan, yang diterima
Direktur tanggal 23 Juni 2022 yang menimbulkan pelanggaran dalam Penerapan asas-
asas umum pemerintahan yang baik dalam pelaksanaan pelayanan publik dalam
rangka mewujudkan kesejahteraan masyarakat selain daripada yang disebutkan dalam
pasal 10 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan
menguraikan ruang lingkup AUPB yang berlaku dalam administrasi pemerintahan
berdasarkan ketentuan di atas sudah menjadi hak bagi Penggugat; Tidak dipenuhinya
hak Penggugat oleh Tergugat merupakan suatu pelanggaran yang dilakukan oleh
Tergugat yang berakibat pada kerugian yang diderita oleh Penggugat sehingga hal
tersebut telah memenuhi unsur Perbuatan Melanggar Hukum.

Bahwa dampak dari Perbuatan melanggar hukum yang dilakukan oleh


DIREKTUR JENDERAL MINERAL DAN BATUBARA KEMENTERIAN ENERGI
DAN SUMBER DAYA MINERAL, Tergugat sebagai Pejabat Pemerintahan
menimbulkan kerugian bagi Penggugat berupa:
a) Penggugat tidak dapat mendapatkan pelayanan perizinan yang berakibat pada
terganggunya kelangsungan usaha pertambangan Penggugat
b) Terhentinya kegiatan pertambangan milik Penggugat berakibat pada: - negara
tidak mendapatkan penerimaan negara dari hasil pembayaran/penyetoran
biaya-biaya yang dilakukan oleh Penggugat; - tidak terlaksananya kegiatan
pengembangan dan pemberdayaan masyarakat;
Bahwa Hilangya pendapatan Penggugat setiap tahunnya berdasarkan uraian-
uraian di atas, jelas apa yang dilakukan oleh Tergugat telah melanggar ketentuan
hukum yang berlaku dan sangat bertentangan dengan Asas-asas Umum Pemerintahan
yang Baik sehingga merupakan Perbuatan Melanggar Hukum oleh Pejabat

24
Pemerintahan (Onrechtmatige Overheidsdaad) yang secara langsung menimbulkan
kerugian bagi Penggugat karena Penggugat tidak bisa menjalankan usaha dan operasi
pertambangan Nikel DMP secara optimal sesuai dengan ketentuan hukum yang
berlaku.

Petitum Penggugat
Penggugat mohon kepada Ketua atau Majelis Hakim Pengadilan Tata Usaha
Negara Jakarta yang memeriksa dan mengadili perkara ini berkenan untuk
menjatuhkan putusan berikut:
a) Mengabulkan gugatan Penggugat untuk seluruhnya
b) Menyatakan batal atau tidak sah Tindakan Administrasi Pemerintahan Tergugat
berupa tidak memasukkan Izin Persetujuan Pencadangan Wilayah Untuk Lokasi
Pertambangan, Izin Usaha Pertambangan Eksplorasi dan Izin Usaha Pertambangan
Operasi Produksi atas nama PT Nikkoindo Cemerlang ke dalam Daftar Izin Usaha
Pertambangan Yang Memenuhi Ketentuan, sebagaimana Surat PT Nikkoindo
Cemerlang tanggal 21 Juni 2022 Nomor: 004/NC-ESDM/Dir/VI/2022
c) Mewajibkan Tergugat untuk melakukan Tindakan Administrasi Pemerintahan
Tergugat berupa memasukkan Izin Persetujuan Pencadangan Wilayah Untuk Lokasi
Pertambangan, Izin Usaha Pertambangan Eksplorasi dan Izin Usaha Pertambangan
Operasi Produksi atas nama PT Nikkoindo Cemerlang ke dalam Daftar Izin Usaha
Pertambangan Yang Memenuhi Ketentuan, sebagaimana Surat PT Nikkoindo
Cemerlang tanggal 21 Juni 2022 Nomor: 004/NC-ESDM/Dir/VI/2022;
d) Menghukum Tergugat untuk membayar biaya perkara yang timbul dalam perkara ini.

3.2 Pertimbangan Hukum Hakim (Rasio Decidendi)

Menimbang, bahwa maksud dan tujuan gugatan Penggugat adalah


sebagaimana uraian dalam duduk perkara tersebut di atas;
Menimbang, bahwa yang menjadi objek sengketa adalah Tindakan
Administrasi Pemerintahan Tergugat berupa tidak memasukkan Izin Persetujuan
Pencadangan Wilayah Untuk Lokasi Pertambangan, Izin Usaha Pertambangan
Eksplorasi dan Izin Usaha Pertambangan Operasi Produksi atas nama PT Nikkoindo
Cemerlang ke dalam Daftar Izin Usaha Pertambangan Yang Memenuhi Ketentuan,

25
sebagaimana Surat PT Nikkoindo Cemerlang tanggal 21 Juni 2022 Nomor: 004/NC-
ESDM/Dir/VI/2022 (vide bukti P-8= bukti T-9);
Menimbang, bahwa terhadap pertentangan dalil dalam jawab jinawab,
pembuktian dan kesimpulan para pihak, Pengadilan akan mempertimbangkan perkara
ini dengan sistematika sebagai berikut: 1. Pertimbangan terhadap aspek formal
gugatan; 2. Pertimbangan terhadap eksepsi Tergugat; 3. Pertimbangan tentang pokok
sengketa yang meliputi kewenangan pejabat Tata Usaha Negara dalam menerbitkan
objek sengketa, prosedur dan substansi penerbitan objek sengketa; Menimbang, bahwa
sistematika pertimbangan tersebut bersifat kasuistis, artinya dimungkinkan seluruh
sistematikannya dipertimbangkan dan dimungkinkan pula hanya bagian pertama atau
sampai bagian kedua saja yang dipertimbangkan dan tidak lagi mempertimbangkan
bagian selanjutnya apabila menurut Pengadilan pertimbangan tersebut telah cukup;

I. Aspek Formal Gugatan

Menimbang, bahwa sebelum Pengadilan mempertimbangkan eksepsi dan


pokok perkara, Pengadilan terlebih dahulu akan mempertimbangkan mengenai
formalitas gugatan yang meliputi:
a) Kewenangan Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta untuk mengadili gugatan
Penggugat
b) Tenggang waktu pengajuan gugatan dan upaya administratif oleh Penggugat
c) Kedudukan hukum (legal standing) Penggugat untuk mengajukan gugatan

Ad. a. Kewenangan Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta untuk


mengadili gugatan Penggugat

Menimbang, bahwa Pasal 47 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang


Peradilan Tata Usaha Negara sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan
Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-
Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara (selanjutnya akan
disebut juga sebagai UU Peratun) menyatakan bahwa Pengadilan bertugas dan
berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan sengketa Tata Usaha Negara,
yakni sengketa yang timbul dalam bidang Tata Usaha Negara antara orang atau badan

26
hukum perdata dengan badan atau pejabat Tata Usaha Negara, baik di Pusat maupun
di Daerah, sebagai akibat dikeluarkannya Keputusan Tata Usaha Negara
Menimbang, bahwa dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 30 Tahun
2014 tentang Administrasi Pemerintahan (selanjutnya dalam Putusan ini akan disebut
juga sebagai UUAP), maka Peradilan TUN juga berwenang mengadili sengketa
Tindakan Administrasi Pemerintahan, antara lain sebagaimana terbaca dari rumusan
Pasal 19 juncto Pasal 1 angka 18 UUAP sebagai berikut:
Pasal 19 UUAP:

1) Keputusan dan/atau Tindakan yang ditetapkan dan/atau dilakukan dengan melampaui


Wewenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2) huruf a dan Pasal 18 ayat (1)
serta Keputusan dan/atau Tindakan yang ditetapkan dan/atau dilakukan secara sewenang-
wenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2) huruf c dan Pasal 18 ayat (3)
tidak sah apabila telah diuji dan ada Putusan Pengadilan yang berkekuatan hukum tetap.
2) Keputusan dan/atau Tindakan yang ditetapkan dan/atau dilakukan dengan
mencampuradukkan Wewenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2) huruf b
dan Pasal 18 ayat (2) dapat dibatalkan apabila telah diuji dan ada Putusan Pengadilan yang
berkekuatan hukum tetap.” Pasal 1 angka 18 UUAP: “Pengadilan adalah Pengadilan Tata
Usaha Negara.” Menimbang, bahwa adapun Tindakan yang menjadi kompetensi Peradilan
TUN telah dinyatakan dalam Pasal 1 angka 8 UUAP, yaitu: “Tindakan Administrasi
Pemerintahan yang selanjutnya disebut Tindakan adalah perbuatan Pejabat Pemerintahan
atau Penyelenggara Negara lainnya untuk melakukan dan/atau tidak melakukan perbuatan
konkret dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan.” Menimbang, bahwa berdasarkan
ketentuan

Pasal 1 angka 8 UUAP:


“Pengadilan adalah Pengadilan Tata Usaha Negara.”
Menimbang, bahwa adapun Tindakan yang menjadi kompetensi Peradilan TUN telah
dinyatakan dalam Pasal 1 angka 8 UUAP, yaitu:
“Tindakan Administrasi Pemerintahan yang selanjutnya disebut Tindakan adalah
perbuatan Pejabat Pemerintahan atau Penyelenggara Negara lainnya untuk melakukan
dan/atau tidak melakukan perbuatan konkret dalam rangka penyelenggaraan
pemerintahan.”

27
Menimbang, bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 8 UUAP tersebut,
kriteria Tindakan Administrasi Pemerintahan adalah:
a) Perbuatan pejabat pemerintahan atau penyelenggara negara lainnya
b) Melakukan dan/atau tidak melakukan perbuatan konkret; dan
c) Dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan
Menimbang, bahwa selanjutnya Pengadilan akan menguji objek sengketa dengan
ketiga kriteria tersebut, sebagai berikut:
a) Perbuatan Pejabat Pemerintahan atau penyelenggara negara lainnya; Merupakan
perbuatan pejabat pemerintahan dalam melaksanakan fungsi pemerintahan, di mana
dalam perkara ini yang menjadi objek sengketa adalah tindakan Direktur Jenderal
Mineral Dan Batubara Kementerian Energi Dan Sumber Daya Mineral (Tergugat)
sebagai Pejabat Pemerintahan yang melaksanakan fungsi pelayanan perizinan.
b) Melakukan dan/atau tidak melakukan perbuatan konkret; Perbuatan Tergugat
sebagaimana objek sengketa merupakan perbuatan yang konkret, yaitu berwujud,
tertentu atau dapat ditentukan (tidak abstrak), berupa tidak memasukkan Penggugat ke
dalam Daftar Izin Usaha Pertambangan (IUP) Yang Memenuhi Ketentuan
c) Dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan Perbuatan Tergugat tersebut merupakan
penyelenggaraan pemerintahan, yaitu dalam rangka pelaksanaan kegiatan yang
bersifat eksekutif
Dengan demikian, dapat disimpulkan objek sengketa telah memenuhi kriteria
tindakan pemerintah sebagaimana dimaksud Pasal 1 angka 8 UUAP, sehingga
Peradilan Tata Usaha Negara berwenang mengadilinya
Menimbang, bahwa Tergugat adalah Direktur Jenderal Mineral Dan Batubara
Kementerian Energi Dan Sumber Daya Mineral yang bertempat kedudukan di Jakarta,
oleh karenanya berdasarkan Pasal 54 ayat (1) UU Peratun, Pengadilan Tata Usaha
Negara Jakarta berwenang untuk memeriksa, memutus dan menyelesaikan sengketa
ini

Ad. b. Tenggang waktu pengajuan gugatan dan upaya administratif oleh


Penggugat;

Menimbang, bahwa Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 2


Tahun 2019 tentang Pedoman Penyelesaian Sengketa Tindakan Pemerintahan Dan
Kewenangan Mengadili Perbuatan Melanggar Hukum Oleh Badan Dan/Atau Pejabat

28
Pemerintahan (Onrechtmatige Overheidsdaad) (selanjutnya dalam Putusan ini akan
disebut juga sebagai Perma No. 2 Tahun 2019) mengatur sebagai berikut:
Pasal 1 angka 1 : Tindakan Pemerintahan adalah perbuatan Pejabat Pemerintahan atau
penyelenggara negara lainnya untuk melakukan dan/atau tidak melakukan perbuatan
konkret dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan.
Pasal 4 ayat (1) : Gugatan diajukan paling lama 90 (sembilan puluh) Hari sejak
Tindakan Pemerintahan dilakukan oleh Badan dan/ atau Pejabat Administrasi
Pemerintahan.
Pasal 4 ayat (2) : Selama Warga Masyarakat menempuh upaya administratif, maka
tenggang waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terbantar sampai keputusan
upaya administratif terakhir diterima
Menimbang, bahwa mengenai tenggang waktu pengajuan gugatan di Peradilan
Tata Usaha Negara telah diatur dalam Pasal 5 Peraturan Mahkamah Agung Republik
Indonesia Nomor 6 Tahun 2018 tentang Pedoman Penyelesaian Sengketa Administrasi
Pemerintahan Setelah Menempuh Upaya Administrasi (selanjutnya dalam Putusan ini
akan disebut juga sebagai Perma No 6 Tahun 2018), dimana tenggang waktu
mengajukan gugatan adalah 90 (sembilan puluh) hari terhitung sejak keputusan atas
upaya administratif diterima oleh warga masyarakat atau diumumkan oleh Badan
dan/atau Pejabat Administrasi Pemerintahan yang menyelesaikan upaya administratif
Menimbang, bahwa Pasal 48 ayat (2) UU Peratun telah menyatakan bahwa
Pengadilan baru berwenang mengadili setelah seluruh upaya administratif yang
tersedia telah digunakan. Ketentuan ini sejalan dengan Pasal 2 ayat (1) Perma No. 6
Tahun 2018 yang menyatakan: “Pengadilan berwenang menerima, memeriksa,
memutus dan menyelesaikan sengketa administrasi pemerintahan setelah menempuh
upaya administratif”
Menimbang, bahwa Penggugat telah mengajukan Upaya Administratif berupa
Keberatan atas tidak dilakukannya tindakan pemerintahan oleh Tergugat melalui Surat
PT. Nikkoindo Cemerlang Nomor: 007/NCESDM/Dir/VI/2022 tanggal 27 Juni 2022,
Perihal: Keberatan Belum Adanya Jawaban Permohonan IUP OP Atas Nama PT.
Nikkoindo Cemerlang Terdaftar Sebagai IUP Tercatat di Direktorat Jenderal Minerba
Kementerian ESDM yang Memenuhi Ketentuan yang diterima pada tanggal 27 Juni
2022 (vide bukti P-9= bukti T-10), yang tidak dijawab oleh Tergugat. Selanjutnya
pada tanggal 28 Juni 2022 Penggugat mengajukan upaya Banding Administratif
kepada Direktur Jenderal Mineral dan Batubara Kementerian ESDM yang diterima

29
pada tanggal 28 Juni 2022 selaku atasan dari Tergugat melalui Surat PT. Nikkoindo
Cemerlang Nomor: 011/NC-ESDM/Dir/VI/2022 tanggal 28 Juni 2022, namun tidak
dijawab hingga diajukannya gugatan ini (vide bukti P-10= bukti T-11)
Menimbang, bahwa dengan adanya Keberatan dan Banding Administrastif
yang telah diajukan, maka Penggugat telah menempuh upaya administratif
sebagaimana ditentukan dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku
Menimbang, bahwa Penggugat telah mengajukan Keberatan pada tanggal 27
Juni 2022 yang belum dijawab oleh Tergugat, dan selanjutnya Penggugat
mendaftarkan gugatannya di Kepaniteraan Pengadilan Tata Usaha Negara pada
tanggal 27 Juli 2022, dengan demikian gugatan ini masih diajukan dalam tenggang
waktu 90 (sembilan puluh) hari pengajuan gugatan sebagaimana dimaksud Pasal 5
Perma No. 6 Tahun 2018; Ad. c. Kedudukan hukum (legal standing) Penggugat untuk
mengajukan gugatan
Menimbang, bahwa kedudukan hukum (legal standing) untuk dapat
mengajukan gugatan di Peradilan Tata Usaha Negara berkaitan dengan ada atau
tidaknya unsur kepentingan untuk menggugat, sebagaimana dinyatakan dalam Pasal
53 ayat (1) UU Peratun
Menimbang, bahwa Penggugat merasa dirugikan oleh tindakan Tergugat yang
tidak memasukkan Penggugat ke dalam daftar Izin Usaha Pertambangan (IUP) yang
Memenuhi Ketentuan, karena adanya objek sengketa mengakibatkan terhentinya
kegiatan pertambangan Penggugat yang telah memiliki izin, yang ternyata juga
merugikan pendapatan Negara serta masyarakat sekitarnya, sehingga Penggugat
mempunyai kepentingan terhadap objek sengketa; Menimbang, bahwa dengan adanya
kepentingan terhadap objek sengketa, maka Penggugat memiliki kedudukan hukum
(legal standing) untuk mengajukan gugatan ini
Menimbang, bahwa dari rangkaian pertimbangan diatas, terbaca bahwa
Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta memiliki kewenangan untuk mengadili
sengketa ini, Penggugat telah mengajukan Upaya Administratif, dan pengajuan
gugatan ini masih dalam tenggang waktu mengajukan gugatan dan Penggugat
memiliki kedudukan hukum (legal standing) untuk mengajukan gugatan
Menimbang, bahwa selanjutnya Pengadilan akan mempertimbangkan Eksepsi
dan Pokok Perkara ini, sebagai berikut:

30
II. Dalam Eksepsi;
Menimbang, bahwa Tergugat telah mengajukan eksepsi yang pada pokoknya sebagai
berikut.
1. Eksepsi Gugatan Kurang Pihak (Plurium Litis Consortium)
2. Eksepsi Gugatan Tidak Jelas, Tidak Cermat, Dan Tidak Lengkap (Obscuur Libel):
Penggugat Tidak Lengkap Dalam Mengajukan Gugatan
Menimbang, bahwa oleh karena Tergugat mengajukan eksepsi, maka sebelum
mempertimbangkan pokok perkara, Pengadilan terlebih dahulu akan
mempertimbangkan eksepsi-eksepsi a quo, dengan mempedomani berbagai ketentuan
dalam UU Peratun antara lain sebagai berikut:
Pasal 107 : Hakim menentukan apa yang harus dibuktikan, beban pembuktian
beserta penilaian pembuktian, dan untuk sahnya pembuktian diperlukan sekurang-
kurangnya dua alat bukti berdasarkan keyakinan Hakim
Penjelasan: Berbeda dengan sistem hukum pembuktian dalam Hukum Acara
Perdata, maka dengan memperhatikan segala sesuatu yang terjadi dalam pemeriksaan
tanpa bergantung pada fakta dan hal yang diajukan oleh para pihak, Hakim Peradilan
Tata Usaha Negara dapat menentukan sendiri: a. apa yang harus dibuktikan; b. siapa
yang harus dibebani pembuktian, hal apa yang harus dibuktikan oleh pihak yang
berperkara dan hal apa saja yang harus dibuktikan oleh Hakim sendiri c. alat bukti
mana saja yang diutamakan untuk dipergunakan dalam pembuktian; d. kekuatan
pembuktian bukti yang telah diajukan.
Pasal 77 ayat (1) : Eksepsi tentang kewenangan absolut Pengadilan dapat
diajukan setiap waktu selama pemeriksaan, dan meskipun tidak ada eksepsi tentang
kewenangan absolut Pengadilan apabila Hakim mengetahui hal itu, ia karena
jabatannya wajib menyatakan bahwa Pengadilan tidak berwewenang mengadili
segketa yang bersangkutan.
Pasal 77 ayat (2) : Eksepsi tentang kewenangan relatif Pengadilan diajukan
sebelum disampaikan jawaban atas pokok sengketa, dan eksepsi tersebut harus diputus
sebelum pokok sengketa diperiksa.
Menimbang, bahwa berdasar ketentuan a quo, pada pokoknya yang harus
diputus terlebih dahulu sebelum pokok sengketa diperiksa adalah mengenai
kewenangan relatif Pengadilan, sedangkan mengenai kewenangan absolut Pengadilan
ada atau tidak adanya eksepsi, apabila Pengadilan mengetahui, Hakim karena

31
jabatannya wajib menyatakan bahwa Pengadilan tidak berwenang dan dapat diputus
kapanpun
Menimbang, bahwa mengacu pada ketentuan vide supra, eksepsieksepsi yang
diajukan Tergugat termasuk kualifikasi eksepsi lain yang hanya dapat diputus bersama
dengan pokok sengketa artinya sampai dengan pemeriksaan sengketa berakhir
memasuki pokok sengketanya, bukan diputus pada saat pemeriksaan sengketa sedang
diperiksa/berjalan, dan terhadap eksepsi absolut bisa diputus kapan saja, sehingga
terhadap eksepsi-eksepsi tersebut akan dinilai dan dipertimbangkan pada Putusan
akhir in casu sebagai berikut
Menimbang, bahwa selanjutnya Pengadilan terlebih dahulu akan
mempertimbangkan eksepsi Tergugat mengenai gugatan kurang pihak (plurium litis
consortium) yang pada pokoknya menyatakan bahwa sepatutnya Bupati Morowali dan
Gubernur Sulawesi Tengah termasuk dalam Tergugat perkara a quo dengan
pertimbangan hukum sebagai berikut;
Menimbang, bahwa terhadap eksepsi Tergugat tersebut, Pengadilan
mempertimbangkan sebagai berikut. Bahwa menurut ketentuan Pasal 1 angka 12 UU
Peratun bahwa yang dimaksud dengan “Tergugat adalah Badan atau Pejabat Tata
Usaha Negara yang mengeluarkan keputusan berdasarkan wewenang yang ada
padanya atau yang dilimpahkan kepadanya, yang digugat oleh orang atau badan
hukum perdata”. Bahwa yang menjadi objek sengketa adalah Tindakan Administrasi
Pemerintahan Tergugat berupa tidak memasukkan Izin Persetujuan Pencadangan
Wilayah Untuk Lokasi Pertambangan, Izin Usaha Pertambangan Eksplorasi dan Izin
Usaha Pertambangan Operasi Produksi atas nama PT Nikkoindo Cemerlang ke dalam
Daftar Izin Usaha Pertambangan Yang Memenuhi Ketentuan, sebagaimana Surat PT
Nikkoindo Cemerlang tanggal 21 Juni 2022 Nomor: 004/NCESDM/Dir/VI/2022 (vide
bukti P-8= bukti T-9) yang tidak dilakukan oleh Direktur Jenderal Mineral Dan
Batubara Kementerian Energi Dan Sumber Daya Mineral (Tergugat) sesuai dengan
kewenangan yang ada padanya sehingga Direktur Jenderal Mineral Dan Batubara
Kementerian Energi Dan Sumber Daya Mineral (Tergugat)lah yang bertanggung
jawab atas tindakan yang dilakukannya, dengan demikian sudah tepat apabila yang
digugat oleh Penggugat adalah Direktur Jenderal Mineral Dan Batubara Kementerian
Energi Dan Sumber Daya Mineral (Tergugat) dan bukan Bupati Morowali dan
Gubernur Sulawesi Tengah karena jika dihubungkan dengan ketentuan peraturan
tersebut di atas maka Bupati Morowali dan Gubernur Sulawesi Tengah bukanlah

32
Pejabat Tata Usaha Negara yang berwenang melakukan atau tidak melakukan objek
sengketa sehingga eksepsi Tergugat mengenai gugatan kurang pihak (plurium litis
consortium) beralasan hukum tidak diterima
Menimbang, bahwa selanjutnya Pengadilan terlebih dahulu akan
mempertimbangkan eksepsi Tergugat mengenai gugatan tidak jelas, tidak cermat, dan
tidak lengkap (obscuur libel), Penggugat tidak lengkap dalam mengajukan gugatan
sebagai berikut. Bahwa aturan dasar untuk menilai apakah gugatan tidak jelas (obscure
libel) atau gugatan kabur (exceptio obscuur libel) ataukah tidak? Tercantum dalam
ketentuan Pasal 56 ayat (1) UU Peratun, yang menyebutkan “gugatan harus memuat:
a. Nama, kewarganegaraan, tempat tinggal, dan pekerjaan Penggugat atau Kuasanya;
b. Nama jabatan, tempat kedudukan Tergugat
c. Dasar gugatan dan hal yang diminta untuk diputuskan oleh Pengadilan;
Menimbang, bahwa setelah Pengadilan membaca, memeriksa, dan meneliti
gugatan Penggugat telah terdapat nama, kewarganegaraan, tempat tinggal, dan
pekerjaan Penggugat atau Kuasanya, demikian pula sudah tercantum nama jabatan dan
tempat kedudukan Tergugat disamping itu gugatan Penggugat telah terdapat pula
dasar gugatan dan hal yang diminta untuk diputuskan oleh Pengadilan
Menimbang, bahwa eksepsi Tergugat mengenai gugatan tidak jelas tidak
cermat, dan tidak lengkap (obscuur libel), Penggugat tidak lengkap dalam mengajukan
gugatan, maka Pengadilan berpendapat bahwa gugatan Penggugat tidak kabur karena
sudah jelas apa yang dijadikan objek sengketa dan sudah jelas pula apa yang dituntut
untuk dibatalkan serta diperintahkan kepada Tergugat untuk melakukan objek
sengketa. Bahwa berdasarkan pertimbangan-pertimbangan hukum di atas, Pengadilan
berpendapat bahwa eksepsi Tergugat mengenai gugatan tidak jelas, tidak cermat, dan
tidak lengkap (obscuur libel), Penggugat tidak lengkap dalam mengajukan gugatan
beralasan hukum tidak diterima. Bahwa Pengadilan selanjutnya akan
mempertimbangkan dalam Pokok Perkara;

III. Dalam Pokok Perkara;


Menimbang, bahwa yang menjadi objek sengketa dalam perkara ini dan oleh
Penggugat dimohonkan pembatalan atau dinyatakan tidak sah serta dimohonkan untuk
dicabut melalui Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta adalah:
Tindakan Administrasi Pemerintahan Tergugat berupa tidak memasukkan Izin
Persetujuan Pencadangan Wilayah Untuk Lokasi Pertambangan, Izin Usaha

33
Pertambangan Eksplorasi dan Izin Usaha Pertambangan Operasi Produksi atas nama
PT Nikkoindo Cemerlang ke dalam Daftar Izin Usaha Pertambangan Yang Memenuhi
Ketentuan, sebagaimana Surat PT Nikkoindo Cemerlang tanggal 21 Juni 2022 Nomor:
004/NC-ESDM/Dir/VI/2022 (vide bukti P-8= bukti T-9)
Menimbang, bahwa berdasarkan jawab menjawab dan alat bukti yang diajukan
para pihak, diperoleh fakta hukum sebagai berikut:
1) Bahwa Penggugat merupakan pemegang Izin Usaha Pertambangan yang diterbitkan
oleh Bupati Morowali berupa:
a) Surat Keputusan Bupati Morowali Nomor:
540/SKPW.016/Distamen/VI/2008 tanggal 10 April 2008 tentang
Persetujuan Pencadangan Wilayah Untuk Lokasi Kuasa Pertambangan PT
Nikkoindo Cemerlang, seluas 628 Hektar (vide bukti P-4)
b) Surat Keputusan Bupati Morowali Nomor: 540.2/SK,005/DESDM/II/2009
tanggal 6 Ferbruari 2009 tentang Persetujuan Izin Usaha Pertambangan
Eksplorasi kepada PT Nikkoindo Cemerlang (vide bukti P-5)
c) Surat Keputusan Bupati Morowali Nomor: 660.1/443/KLH/XII/2011 tanggal
31 Desember 2010 tentang Kelayakan Lingkungan Kegiatan Penambangan
Bijih Nikel di Desa Bente Kecamatan Bungku Tengah Kabupaten Morowali
Provinsi Sulawesi Tengah oleh PT Nikkoindo Cemerlang (vide bukti P-6)
d) Surat Keputusan Bupati Morowali Nomor: 540.3/SK.013/DESDM/I/2011
tanggal 12 Januari 2011 tentang Persetujuan Peningkatan Izin Usaha
Pertambangan Eksplorasi Menjadi Izin Usaha Pertambangan Operasi
Produksi kepada PT Nikkoindo Cemerlang yang berlaku selama 20 (dua
puluh) tahun sampai dengan tanggal 12 Januari 2031 (vide bukti P-7)
2) Bahwa berdasarkan Pasal 54 ayat (3) Peraturan Menteri Energi Dan Sumber Daya
Mineral Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2018 tentang Pelaksanaan Kaidah
Pertambangan Yang Baik dan Pengawasan Pertambangan Mineral dan Batubara, yang
dalam mengatur bahwa IUP atau IUPK yang tidak masuk ke dalam daftar IUP yang
memenuhi ketentuan tidak mendapatkan pelayanan perizinan dalam kegiatan usaha
pertambangan mineral dan batubara. Adapun persyaratan IUP yang dapat dimasukkan
ke dalam daftar IUP Yang Memenuhi Ketentuan adalah: - WIUP tidak tumpang tindih
sama komoditas; - memenuhi kewajiban pembayaran penerimaan negara bukan pajak;
dan - memenuhi kewajiban teknis dan lingkungan sesuai ketentuan peraturan
perundang-undangan

34
3) Bahwa WIUP Penggugat tidak bertumpang tindih dengan komoditas lain maupun
pihak lain (vide bukti P-4, P-5, P-7, P-14, dan P-13)
4) Bahwa Penggugat telah membayar Penerimaan Negara Bukan Pajak periode tahun
2012-2019 dan tahun 2020-2021 (vide bukti P-11a, P-11b, P12a dan P-12b)
5) Bahwa Penggugat telah memenuhi kewajiban teknis dan lingkungan seperti: Dokumen
Analisis Dampak Lingkungan (ANDAL), Surat Keputusan Bupati Morowali Nomor:
660.1/443/KLH/XII/2011 tanggal 31 Desember 2010 tentang Kelayakan Lingkungan
Kegiatan Penambangan Bijih Nikel di Desa Bente Kecamatan Bungku Tengah
Kabupaten Morowali Provinsi Sulawesi Tengah oleh PT Nikkoindo Cemerlang,
Laporan Studi Kelayakan Pertambangan Nikel, Dokumen Rencana Pengelolaan
Lingkungan (RKL) Kegiatan Penambangan Bijih Nikel, Dokumen Rencana Pasca
Tambang (RPT) Pertambangan Bijih Nikel (vide bukti P-13, P-6, P-14, P-15, dan P-
16)
6) Bahwa Penggugat telah mengajukan surat kepada Tergugat dengan Nomor: 004/NC-
ESDM/Dir/VI/2022, tanggal 21 Juni 2022, perihal: Permohonan IUP OP atas nama PT
Nikkoindo Cemerlang terdaftar sebagai IUP Tercatat di Direktorat Jenderal Minerba
Kementerian ESD yang memenuhi Ketentuan (vide bukti P-8 = bukti T-9) namun
diabaikan oleh Tergugat, selanjutnya Penggugat mengajukan Keberatan pada tanggal
27 Juni 2022 (vide bukti P-9= bukti T-10) dan Banding Administratif tanggal 28 Juni
2022 (vide bukti P-10= bukti T-11) yang belum dijawab oleh Tergugat, hingga
akhirnya Penggugat mengajukan gugatan ini
Menimbang, bahwa berdasarkan fakta-fakta hukum tersebut di atas,
permasalahan hukum yang harus dipertimbangkan adalah apakah tindakan Tergugat
dalam objek sengketa telah sesuai dengan peraturan perundangundangan dan/atau
asas-asas umum pemerintahan yang baik?. Sebagai suatu istilah yuridik, istilah
“tindakan” atau “perbuatan” disini perlu dimaknai secara kontekstual, terminologi
“tindakan” dan/atau “perbuatan” dalam konteks ini adalah suatu polisemi yang
mengandung ambiguitas makna, maksudnya pengertian “bertindak” (action) dapat
sekaligus sebagai “tidak bertindak” (inaction), untuk mengikuti penjelasan Vollmar
bahwa meskipun Pasal eks Pasal 1401 BW Belanda (Pasal 1365 KUHPerdata)
berbicara tentang suatu “perbuatan” (daad), namun pengertian perbuatan dimaksud
bukan hanya perbuatan yang sudah selesai melainkan mencakup “tidak berbuat”
sebagai melawan hukum dan telah menimbulkan kerugian

35
Menimbang, bahwa untuk menguji apakah tindakan Tergugat dalam objek
sengketa telah sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan/atau asas-asas umum
pemerintahan yang baik, Pengadilan akan menggunakan tiga aspek penilaian yakni
aspek kewenangan, prosedur dan aspek substansi sebagai kriteria hukum penilaian
keabsahan objek sengketa, yakni sbb:
1. Apakah Tergugat berwenang melakukan tindakan sebagaimana dalam Objek
Sengketa?
2. Apakah prosedur berkaitan dengan Objek Sengketa sudah dilaksanakan oleh
Tergugat; dan
3. Apakah Objek Sengketa secara substansi sudah sesuai hukum?
Menimbang, bahwa selanjutnya Pengadilan akan menguji keabsahan objek
sengketa berdasarkan ketiga kriteria hukum tersebut di atas yakni sebagai berikut:

Aspek Kewenangan:

Menimbang, bahwa kewenangan Tergugat atas objek sengketa dinyatakan


dalam Pasal 97 Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 15 Tahun
2021 tentang Organisasi dan Tata Kerja, di mana Tergugat mempunyai tugas
melaksanakan perumusan dan pelaksanaan kebijakan, penyusunan norma, standar,
prosedur, dan kriteria, pembangunan sarana dan prasarana tertentu, pemberian
bimbingan teknis dan supervisi, evaluasi dan pelaporan, serta pengendalian dan
pengawasan di bidang pembinaan program mineral dan batubara
Menimbang, bahwa dalam melaksanakan tugas tersebut, Pasal 98 huruf b,
huruf e, dan huruf f Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 15
Tahun 2021 tentang Organisasi dan Tata Kerja telah menyatakan bahwa Direktorat
Pembinaan Program Mineral dan Batubara menyelenggarakan:
b. penyiapan pelaksanaan kebijakan di bidang penyiapan program, pengembangan
investasi dan kerja sama, perencanaan produksi dan pemanfaatan, pembangunan
sarana dan prasarana tertentu, serta pengelolaan wilayah dan informasi mineral dan
batubara
e. penyiapan pelaksanaan evaluasi dan pelaporan di bidang penyiapan program,
pengembangan investasi dan kerja sama, perencanaan produksi dan pemanfaatan,
pembangunan sarana dan prasarana tertentu, serta pengelolaan wilayah dan informasi
mineral dan batubara; dan

36
f. penyiapan pelaksanaan pengendalian dan pengawasan di bidang penyiapan program,
pengembangan investasi dan kerja sama, perencanaan produksi dan pemanfaatan,
pembangunan sarana dan prasarana tertentu, serta pengelolaan wilayah dan informasi
mineral dan batubara
Menimbang, bahwa ketentuan Pasal 54 Peraturan Menteri Energi dan Sumber
Daya Mineral Nomor 26 Tahun 2018 tentang Pelaksanaan Kaidah Pertambangan
Yang Baik Dan Pengawasan Pertambangan Mineral Dan Batubara berbunyi sebagai
berikut:
1. Dalam rangka pelaksanaan pengawasan terhadap penyelenggaraan pengelolaan
pengusahaan pertambangan mineral dan batubara, Direktur Jenderal menerbitkan
daftar IUP hasil penataan IUP dan IUPK yang memenuhi ketentuan sebagai
berikut: a. WIUP atau WIUPK-nya tidak tumpang tindih sama komoditas
a) Telah memenuhi kewajiban pembayaran penerimaan negara bukan pajak; dan
b) Telah memenuhi kewajiban teknis dan lingkungan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundangundangan.
2. Dalam hal pemenuhan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sedang
dalam proses penyelesaian sengketa di pengadilan atau lembaga terkait yang
berwenang, Direktur Jenderal memasukkan IUP atau IUPK dalam daftar
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) setelah adanya putusan pengadilan atau
lembaga terkait yang berwenang menyatakan IUP atau IUPK dimaksud telah
memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
3. Penerbitan daftar IUP dan IUPK oleh Direktur Jenderal sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dan ayat (2) sebagai dasar pemberian pelayanan perizinan dalam
kegiatan usaha pertambangan mineral dan batubara.
Menimbang, bahwa berdasarkan ketentuan tersebut di atas, Direktur
Pembinaan Program Mineral dan Batubara, c.q. Direktur Jendral Mineral dan
Batubara Kementerian ESDM merupakan Pejabat Administrasi Pemerintahan yang
memiliki kewenangan atributif terkait dengan substansi Objek Sengketa, dimana
dalam sengketa ini tindakan Tergugat berupa tidak adanya tindakan Administrasi
Pemerintahan (omission) untuk memasukkan Izin Usaha Pertambangan (IUP) PT
Nikkoindo Cemerlang ke dalam Daftar IUP yang Memenuhi Ketentuan sebagaimana
dimaksud Surat Penggugat Nomor: 004/NC-ESDM/Dir/VI/2022, tanggal 21 Juni 2022
berkaitan langsung dengan kewenangan Tergugat untuk memasukan IUP sebagaimana
dimaksud Pasal 54 Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 26

37
Tahun 2018 tentang Pelaksanaan Kaidah Pertambangan Yang Baik Dan Pengawasan
Pertambangan Mineral Dan Batubara
Menimbang, bahwa berdasarkan uraian di atas, Tergugat berwenang untuk
menerbitkan objek permohonan yang diajukan oleh Penggugat;

Aspek Prosedur:

Menimbang, bahwa Penggugat pada tanggal 21 Juni 2022 mengirimkan


permohonan kepada Tergugat agar pihaknya dicatatkan sebagai IUP Tercatat (vide
bukti P-8= bukti T-9). Selanjutnya Penggugat pada tanggal 27 Juni 2022,
menyampaikan upaya keberatan tertulis kepada Tergugat (vide bukti P-9= bukti T-10)
dan pada tanggal 28 Juni 2022, menyampaikan banding administratif kepada Direktur
Jenderal Mineral dan Batubara Kementerian ESDM (vide bukti P-10= bukti T-11)
karena belum mendapatkan tanggapan/penyelesaian dari Tergugat
Menimbang, bahwa Tergugat mendalilkan Penggugat ketika mengajukan
permohonan dan upaya administratif pada tanggal 21 Juni 2022 (vide bukti P-8= bukti
T-9), 27 Juni 2022 (vide bukti P-9= bukti T-10) dan 28 Juni 2022 (vide bukti P-10=
bukti T-11) tidak pernah melampirkan persyaratan apapun dalam suratnya
sebagaimana dimaksud Pasal 54 Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral
Nomor 26 Tahun 2018 beserta peraturan turunannya, sehingga menurut dalil Tergugat,
pihaknya selaku pejabat teknis yang melaksanakan tugas dan fungsi evaluasi
persyaratan administratif dan kewilayahan tidak dapat melakukan evaluasi atas
permohonan dan upaya administratif Penggugat. Oleh karena itu, menurut dalil
Tergugat, pihaknya tidak dapat memberi korespondensi atas permohonan dan upaya
adminisitratif dari Penggugat
Menimbang, bahwa atas dalil-dalil Tergugat tersebut, dalam fakta persidangan
terungkap bahwa Tergugat tidak pernah menyampaikan secara langsung kepada
Penggugat mengenai dalil-dalil yang disampaikan tersebut di atas, sebaliknya
Tergugat justru mendiamkan atau mengabaikan surat Penggugat tersebut, sehingga
Penggugat tidak pernah mengetahui respon Tergugat atas permohonan yang diajukan
kepadanya yakni apakah mengabulkan, menolak ataupun memberikan petunjuk lebih
lanjut tentang halhal yang harus ditindaklanjuti oleh Penggugat agar permohonannya
dapat direspon atau diproses oleh Tergugat

38
Menimbang, bahwa pada hakikatnya setiap otoritas administrasi pemerintahan
(badan atau pejabat tata usaha negara) yang menyelenggarakan fungsi pelayanan
publik (public service) wajib melayani setiap permohonan masyarakat yang diajukan
kepadanya sesuai batas waktu yang berlaku atau sesuai batas waktu yang wajar
(reasonable time). Kewajiban memberikan pelayanan publik yang baik dalam rangka
mewujudkan kesejahteraan umum itu melahirkan prinsip bahwa pemerintah tidak
boleh menolak untuk memberikan pelayanan kepada warga negara dengan alasan
tidak ada undang-undang yang mengaturnya (iura officialibus consilia) dan terikat
dengan adagium salus populi suprema lex (kesejahteraan rakyat adalah hukum yang
tertinggi). Sebagai perbandingan hukum, asas iura officialibus consilia ini pararel
dengan asas ius curia novit yang berarti Pengadilan dilarang menolak untuk
memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa
hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan
mengadilinya vide Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang
Kekuasaan Kehakiman
Menimbang, bahwa asas iura officialibus consilia tersebut diderivasikan dalam
ketentuan Pasal 7 ayat (2) huruf a dan huruf j UU AP, serta Pasal 18 huruf i Undang-
Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik, sebagai berikut: Pasal 7
ayat (2) huruf a dan huruf j UU AP:
Pejabat Pemerintahan memiliki kewajiban:
a. Membuat Keputusan dan/atau Tindakan sesuai dengan kewenangannya
j. Menerbitkan Keputusan terhadap permohonan Warga Masyarakat, sesuai dengan
hal-hal yang diputuskan dalam keberatan/banding”
Pasal 18 huruf i Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik:
“Masyarakat berhak:
i. mendapatkan pelayanan yang berkualitas sesuai dengan asas dan tujuan pelayanan”
Menimbang, bahwa dengan demikian tindakan Tergugat yang mengabaikan (tidak
memberikan jawaban/tanggapan) atas surat Penggugat tertanggal 21 Juni 2022 (vide
bukti P-8= bukti T-9) merupakan suatu bentuk tindakan inaktif (omission) sehingga
merupakan pelanggaran terhadap Pasal 7 ayat (2) huruf a UU AP dan Pasal 18 huruf i
Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik, demikian juga
dengan tindakan Tergugat yang mengabaikan Keberatan dan Banding Administratif
dari Penggugat merupakan pelanggaran terhadap Pasal 7 ayat (2) huruf j UU AP,
sehingga objek sengketa adalah cacat prosedur.

39
Aspek Substansi:

Menimbang, bahwa substansi objek sengketa adalah tindakan Tergugat berupa


tidak memasukkan Penggugat ke dalam daftar Izin Usaha Pertambangan (IUP) Yang
Memenuhi Ketentuan sebagaimana surat Penggugat tertanggal 21 Juni 2022 (vide
bukti P-8= bukti T-9)
Menimbang, bahwa norma yang mengatur perihal Objek Sengketa adalah
Pasal 54 ayat (1) Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 26
Tahun 2018 tentang Pelaksanaan Kaidah Pertambangan Yang Baik Dan Pengawasan
Pertambangan Mineral Dan Batubara, yang mengharuskan Tergugat memproses
penerbitan daftar IUP hasil penataan IUP dan IUPK yang telah memenuhi ketentuan
sebagai berikut:
a) WIUP atau WIUPK-nya tidak tumpang tindih sama komoditas
b) Telah memenuhi kewajiban pembayaran penerimaan negara bukan pajak
c) Telah memenuhi kewajiban teknis dan lingkungan sesuai ketentuan
peraturan perundang-undangan;
Menimbang, bahwa apabila norma di atas dikaitkan dengan fakta terkait
substansi Objek Sengketa, akan diketahui sebagai berikut:
a) WIUPK-nya tidak tumpang tindih sama komoditas; Penggugat merupakan
pemegang Izin Usaha Pertambangan yang diterbitkan oleh Bupati Morowali
berdasarkan
 Surat Keputusan Bupati Morowali Nomor: 540/SKPW.016/Distamen/VI/2008
tanggal 10 April 2008 tentang Persetujuan Pencadangan Wilayah Untuk
Lokasi Kuasa Pertambangan PT Nikkoindo Cemerlang, seluas 628 Hektar
(vide bukti P-4)
 Surat Keputusan Bupati Morowali Nomor: 540.2/SK,005/DESDM/II/2009
tanggal 6 Ferbruari 2009 tentang Persetujuan Izin Usaha Pertambangan
Eksplorasi kepada PT Nikkoindo Cemerlang (vide bukti P-5)
 Surat Keputusan Bupati Morowali Nomor: 540.3/SK.013/DESDM/I/2011
tanggal 12 Januari 2011 tentang Persetujuan Peningkatan Izin Usaha
Pertambangan Eksplorasi Menjadi Izin Usaha Pertambangan Operasi Produksi
kepada PT Nikkoindo Cemerlang (vide bukti P-7)

40
b) telah memenuhi kewajiban pembayaran penerimaan negara bukan pajak;
Penggugat telah memenuhi kewajiban pembayaran Penerimaan Negara Bukan
Pajak periode tahun 2012-2019 dan tahun 2020-2021 (vide bukti P11a, P-11b,
P-12a dan P-12b)
c) telah memenuhi kewajiban teknis dan lingkungan sesuai ketentuan peraturan
perundang-undangan; Bahwa Penggugat telah memenuhi kewajiban teknis dan
lingkungan seperti: Dokumen Analisis Dampak Lingkungan (ANDAL), Surat
Keputusan Bupati Morowali Nomor: 660.1/443/KLH/XII/2011 tanggal 31
Desember 2010 tentang Kelayakan Lingkungan Kegiatan Penambangan Bijih
Nikel di Desa Bente Kecamatan Bungku Tengah Kabupaten Morowali
Provinsi Sulawesi Tengah oleh PT Nikkoindo Cemerlang, Laporan Studi
Kelayakan Pertambangan Nikel, Dokumen Rencana Pengelolaan Lingkungan
(RKL) Kegiatan Penambangan Bijih Nikel, Dokumen Rencana Pasca
Tambang (RPT) Pertambangan Bijih Nikel (vide bukti P-13, P-6, P-14, P-15,
dan P16)
Menimbang, bahwa berdasarkan fakta-fakta tersebut di atas, Pengadilan
berpendapat bahwa sejatinya Penggugat telah memenuhi persyaratan IUP yang
Memenuhi Ketentuan, sehingga Tergugat wajib dan sudah semestinya memasukkan
IUP Penggugat ke dalam Daftar IUP Yang Memenuhi Ketentuan sebagaimana
dimaksud Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 26 Tahun 2018
tentang Pelaksanaan Kaidah Pertambangan Yang Baik Dan Pengawasan
Pertambangan Mineral Dan Batubara
Menimbang, bahwa dengan demikian objek sengketa berupa tindakan
Tergugat yang tidak memasukkan IUP Penggugat ke dalam Daftar IUP Yang
Memenuhi Ketentuan merupakan tindakan tidak melakukan perbuatan konkret yang
menjadi kewajiban hukumnya (obligation of law) sebagaimana dimaksud Pasal 54
ayat (1) Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 26 Tahun 2018
tentang Pelaksanaan Kaidah Pertambangan Yang Baik Dan Pengawasan
Pertambangan Mineral Dan Batubara, sehingga objek sengketa bertentangan dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku
Menimbang, bahwa selain bertentangan dengan peraturan perundangundangan
yang berlaku, objek sengketa secara substansi juga bertentangan dengan asas
Kepastian Hukum, yakni asas dalam negara hukum yang mengutamakan landasan
ketentuan peraturan perundang-undangan, kepatutan, keajegan, dan keadilan dalam

41
setiap kebijakan penyelenggaraan pemerintahan, di mana tindakan Tergugat
menimbulkan ketidakpastian hukum bagi Penggugat sebagai pemegang IUP Operasi
Produksi yang masih berlaku sampai dengan tanggal 12 Januari 2031
Menimbang, bahwa secara substansi objek sengketa yang bertentangan dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku dan asasasas umum pemerintahan yang
baik adalah cacat substansi
Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan terhadap aspek prosedur dan
aspek substansi objek sengketa sebagaimana diuraikan di atas, terbukti objek sengketa
yang dilakukan oleh Tergugat adalah cacat prosedur dan cacat substansi, sehingga
objek sengketa harus dinyatakan batal
Menimbang, bahwa oleh karena objek sengketa dinyatakan batal, berdasarkan
Pasal 5 ayat (2) huruf a Perma No. 2 Tahun 2019 serta dengan memperhatikan
ketentuan Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor
15.K/HK.02/MEM.B/2022 tentang Tata Cara Pemrosesan Penerbitan dan Pendaftaran
Izin Usaha Pertambangan, kepada Tergugat diwajibkan untuk melaksanakan Tindakan
Pemerintahan berupa memasukkan IUP PT Nikkoindo Cemerlang sebagaimana
dimaksud Surat Penggugat Nomor: 004/NCESDM/Dir/VI/2022, tanggal 21 Juni 2022
ke dalam Daftar IUP Yang Memenuhi Ketentuan
Menimbang, bahwa berdasarkan rangkaian pertimbangan tersebut maka
Pengadilan berkesimpulan gugatan Penggugat dikabulkan seluruhnya, dan Tergugat
dinyatakan sebagai pihak yang kalah serta dihukum membayar biaya perkara sejumlah
yang tercantum dalam amar putusan ini
Menimbang, bahwa Pengadilan telah mempertimbangkan seluruh alat bukti
yang disampaikan para pihak, dan untuk mengambil putusan hanya menguraikan alat
bukti yang relevan dengan perkara ini
Memperhatikan, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata
Usaha Negara sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Undang-
Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, Undang-Undang Nomor
30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, serta peraturan perundang-
undangan dan ketentuan hukum lain yang berkaitan. 18

18
Pertimbangan Majelis Hakim dalam putusan dengan nomor perkara 255/G/TF/2022/PTUN.JKT. Hlm. 38-57

42
3.3 Analisis Terhadap Pertimbangan Hukum Hakim

Hukum administrasi pemerintahan sebagai hukum publik akan melakukan


tindakan publik dalam mengatur dan mengendalikan masyarakat. Di sisi lain hukum
administrasi pemerintahan juga membatasi dan mengendalikan tindakan publik
(tindakan pemerintah) itu sendiri. Fungsi hukum administrasi pemerintahan memiliki
tiga fungsi antara lain: fungsi normatif (normative functie), fungsi instrumental
(instrumentele functie), dan fungsi jaminan (waarborgfunctie).

Fungsi normatif (normative functie) yang meliputi fungsi organisasi (pemerintah)


dan instrumen pemerintahan. Penentuan norma hukum administrasi pemerintahan
dilakukan melalui tahap-tahap. Untuk dapat menemukan normanya kita harus meneliti
dan melacak melalui serangkaian peraturan perundang-undangan. Artinya, peraturan
hukum yang harus diterapkan tidak begitu saja kita temukan dalam undang-undang,
tetapi dalam kombinasi peraturan-peraturan dan Keputusan-keputusan Tata Usaha
Negara yang satu dengan yang lain saling berkaitan. Pada umumnya ketentuan
undang-undang yang berkaitan dengan hukum administrasi pemerintahan hanya
memuat norma-norma pokok atau umum, sementara perinciannya diserahkan pada
peraturan pelaksanaan.

Berdasarkan uraian di atas, dapat dirinci bahwa fungsi normatif hukum


administrasi pemerintahan yang meliputi fungsi organisasi (pemerintah) dan instrumen
pemerintahan adalah untuk mengatur dan menentukan penyelenggaraan pemerintahan
agar sesuai dengan gagasan negara hukum yang melatarbelakanginya, yakni negara
hukum Pancasila.

Fungsi instrumental (instrumentele functie) meliputi fungsi instrumental aktif dan


fungsi instrumental pasif. Fungsi instrumental aktif dalam bentuk kewenangan,
instrumental pasif dalam bentuk kebijaksanaan (beleid). Fungsi instrumental ini
diarahkan pada pencapaian tujuan pemerintahan sehingga mengandung asas efisiensi
(daya guna) dan asas efektivitas (hasil guna). Pemerintah dalam melakukan berbagai
kegiatannya menggunakan instrumen yuridis seperti peraturan kebijaksanaan,
keputusan, dan sebagainya.

Dalam negara modern yang menganut type welfare state, pemberian kewenangan
yang luas bagi pemerintah merupakan konsekuensi logis, termasuk memberikan

43
kewenangan kepada pemerintah untuk menciptakan berbagai instrumen yuridis
sebagai sarana untuk kelancaran penyelenggaraan pemerintahan. Pembuatan
instrumen yuridis oleh pemerintah harus didasarkan pada wewenang yang diberikan
peraturan perundang-undangan.

Hukum administrasi pemerintahan berfungsi sebagai norma yang mengatur


lembaga dan kekuasaan pemerintah dalam menjalankan pemerintahan. Sebagai sarana
menjalankan pemerintahan melalui wewenang atau kebijaksanaan dan berfungsi
menjamin warga negara atas tindakan pemerintah.

Peradilan Tata Usaha Negara mempunyai persamaan dengan hukum acara yang
digunakan pada peradilan umum untuk perkara perdata dengan perbedaan antara lain
pada Peradilan Tata Usaha Negara, hakim berperan aktif dalam proses persidangan
guna memperoleh kebenaran materiil dan untuk undang- undang ini mengarah pada
ajaran pembuktian bebas dan suatu gugatan tata usaha negara pada dasarnya tidak
bersifat menunda pelaksanaan Keputusan Tata Usaha Negara yang disengketakan.

Spesifikasi hukum acara Peradilan Tata Usaha Negara ditampakkan oleh asas-asas
yang menjadi landasan normatif operasional hukum acara Peradilan Tata Usaha
Negara seperti hal nya pada Asas keaktifan hakim (dominus litis). Keaktifan dimaksud
untuk mengimbangi kedudukan para pihak karena tergugat adalah Pejabat Tata Usaha
Negara. Sebaliknya, penggugat adalah orang atau badan hukum perdata dan asas
putusan pengadilan mempunyai kekuatan hukum mengikat (erga omnes).

Sengketa Tata Usaha Negara adalah sengketa hukum publik. Putusan pengadilan
berlaku bagi siapa saja tidak hanya yang bersengketa. Dalam rangka ini ketentuan
Pasal 85 tentang intervensi bertentangan dengan asas "erga omnes".

Kompetensi absolut Peradilan Tata Usaha Negara ialah memeriksa sengketa tata
usaha negara yang timbul sebagai akibat dikeluarkannya Keputusan Tata Usaha
Negara oleh badan atau pejabat pemerintahan kepada orang atau badan hukum
perdata. Dilihat dalam pekara ini dapat diketahui bahwasannya Pengadilan Tata Usaha
Negara merupakan lembaga peradilan yang benar dalam menangani dan mengadili
kasus ini dalam klasifikasi Pebuatan Melawan Pemerintah.

Kompetensi relatif (distribusi kekuasaan pengadilan kewenangan nisbi) ialah


bahwa sesuai asas "actor sequitur forum rei" (yang berwenang adalah pengadilan

44
tempat kedudukan tergugat). Dengan demikian, pengadilan yang berwenang
mengadili sengketa tata usaha negara adalah Peradilan Tata Usaha Negara yang daerah
hukumnya tempat kedudukan tergugat. Dapat kita pahami bahwa perkara ini terjadi di
daerah Jakarta dan masuk kedalam wilayah hukum kekuasaan Pengadilan Tata Usaha
Negara Jakarta.

Tugas administrasi negara yaitu menyelenggarakan kesejahteraan umum yang


mempunyai tanda istimewa, yaitu kepada administrasi negara diberikan kebebasan
untuk atas inisiatif sendiri bertindak cepat dan tepat menyelesaikan kepentingan-
kepentingan guna kesejahteraan masyarakat, memberi kepada administrasi negara
keleluasaan untuk menyelenggarakan dengan cepat dan berfaedah (doelmatig)
kepentingan-kepentingan guna kesejahteraan umum.

Untuk menjalankan tugas-tugas servis publik itu secara aktif, bagi administrasi
negara timbul konsekuensi khusus agar dapat bertindak atas inisiatif sendiri. Hal itu
terdapat terutama dalam penyelesaian persoalan-persoalan penting yang timbul secara
tiba- tiba Dalam hal demikian, administrasi negara terpaksa bertindak cepat membuat
penyelesaian.

Merujuk kepada duduk perkara yang dijelaskan dalam penjelasan penggugat,


bahwa dalam hal ini Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral – Direktur
Jenderal Mineral dan Batu Bara tidak menerbitkan dan juga mendiami surat
permohonan yang telah di ajukan penggugat karena ada alasan yang tidak jelas. Hal
ini sangat diluar konteks dari asas-asas umum pemerintahan yang baik.

Direktur Jenderal Mineral dan Batu Bara merupakan pejabag asministrasi


pemerintah yang mana dapat mengeluarkan kebijakan, dalam hal ini kebijaka tersebut
salah satu nya ada apa yang di inginkan penggugat yaitu IUP. semua tindakan pejabat
administrasi negara dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan harus memilik
sumber-sumber kewenangan yang jelas dalam rangka memenuhi aas legalitas. Selain
itu, semua tindakan pejabat administrasi negara juga harus dapat
dipertanggungjawabkan menurut akal sehat atau dapat diterima akal sehat sesuai
dengan asas motivasi dalam penetapan keputusan.

Lantas seperti apa tindakan konkret Direktur Jenderal Mineral dan Batu Bara yang
digugat dalam perkara ini, dalam rangka penyelidikan tentang sumber kewenangan
pejabat administrasi negara dalam membentuk peraturan kebijakan, dengan sendirinya

45
akan bersinggungan dengan teori-teori ketatanegaraan modern khususnya teori
pendistribusian kekuasaan negara. Dalam teori ketatanegaraan modern, ada beberapa
macam teori tentang pendistribusian kekuasaan.

Dalam penyelenggaraan sesuatu tindakan pemerintah yang bersifat aktual


(konkret). Tindakan aktual (konkret) sesungguhnya dapat dipandang sebagai
kelanjutan dari tindakan pemerintah yang lain seperti mengatur, perencanaan atau
terutama membuat perintah Perintah dikeluarkan untuk menyelenggarakan suatu tugas
yang aktual. yartu tugas tertentu. Oleh karena itu, menurut penulis, kewenangan
pejabat administrasi negara dalam membentuk peraturan kebijakan tidak mungkin
berasal dari kewenangan material pemerintah. kewenangan memutus yang dimiliki
pemerintah atau pejabat administrasi negara mengandung arti bahwa pemerintah dapat
membuat keputusan berkenaan dengan kasus-kasus yang bersifat individual.
Keputusan-keputusan yang dibuat oleh pejabat administrasi negara tidak bersifat
berlaku secara umum, melainkan berlaku secara khusus sehingga tidak mungkin
berbentuk peraturan kebijakan karena peraturan kebijakan bersifat berlaku secara
umum.

Dalam lingkungan hukum administrasi negara, ada dua macam tindakan


pemerintahan yang penting, yaitu peraturan perundang- undangan dan peraturan
kebijakan. Peraturan perundang-undangan dapat dianggap sebagai tindakan hukum
pemerintahan yang paling penting karena peraturan perundang-undangan mengatur
tata kehidupan masyarakat yang bersifat mendasar serta berlaku secara umum
sehingga sangat mempengaruhi hak dan kewajiban anggota masyarakat. Oleh sebab
itu, peraturan perundang-undangan yang dibuat oleh pejabat administrasi negara
berdasarkan kewenangan yang bersumber dari asas legalitas sangat perlu diuji dan
dipersoalkan secara hukum.

Peraturan kebijakan yang dibentuk oleh pejabat administrasi negara berdasarkan


kewenangan yang bersumber dari asas kebebasan bertindak (diskresi atau freies
ermessen) juga sangat berpengaruh terhadap tau kehidupan masyarakat, meskipun
tidak sama dengan pengaruh peraturan perundang-undangan. Peranan peraturan
kebijakan yang sangat penting dalam kehidupan bermasyarakat mengandung
konsekuensi terhadap hal-hal yang harus diperhatikan dalam pembentukan peraturan

46
kebijakan oleh pejabat administrasi negara. Peraturan kebijakan tidak dapat dibentuk
tanpa memperhatikan prinsip-prinsip tertentu yang lazim dalam praktik
penyelenggaraan pemerintahan dalam negara hukum modern. Prinsip-prinsip itu
merupakan pedoman bagi pejabat administrasi negara setiap kali akan membentuk
peraturan kebijakan supaya peraturan kebijakan yang dibentuk oleh pejabat administra
negara tersebut tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar negara hukum
kesejahteraan

Secara akademik, ada berbagai prinsip dalam pembentukan peraturan kebijakan


yang harus diperhatikan oleh pejabat administra negara. Prinsip-prinsip pembentukan
peraturan kebijakan tersebut mencakup bidang yang sangat luas sehingga tidak hanya
mencakup aspek hukum. Pada saat pembentukan peraturan kebijakan. Perspektif
pejabat administrasi negara juga harus bersifat luas sehingga tidak hanya mencakup
aspek hukum, tetapi berbagai aspek. Sebenarnya dalam hal ini Kementerian ESDM
telah mengeluarkan Peraturan Menteri terakit cara pembuatan Izin Usaha Tambang
(IUP), dimana Permen tersebut mengatur prosedur IUP tetapi yang sepatut nya jika
ada kekurangan administria Dirjen Minerba memberikan masukan atau saran kepada
perusahaan pembuat IUP, tetapi dalam perkara ini kenapa penggugat mengajukan
gugatannya karena surat permohonan IUP nya didiamkan dalam lama waktu sesuai
peraturan perudang-undangan.

Dampak dari surat permohonan yang didiami oleh pejabat administrasi (dalam hal
ini Direktur Jenderal Mineral dan Batubara) sangat banyak sekali, jika dilihat dari
alasan gugatan penggugat dalam perkara ini dapat disimpulkan bahwa garis besar
kerugian ini berada pada dua subjek, pertama yitu perusahaan tersebut selaku badan
hukum untuk menjalakan usahanya dan kedua adalah negara karena tidak menerima
pemasukan-pemasukan dari perusahaan seperti pembayaran pajak dan sebagaimannya.

Maka dapat dilihat bahwa perbuatan Direktur Jenderal Mineral dan Batubara
selaku pejabat administrasi pemerintah merupakan perbuatan melawan hukum
pemerintah. Sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 17 Undang-Undang Nomor 30
Tahun 2014, badan dan/atau pejabat pemerintahan dilarang menyalahgunakan
wewenang, larangan itu meliputi larangan melampaui wewenang, larangan
mencampuradukkan wewenang, dan/atau larangan bertindak sewenang-wenang.

47
Badan dan/atau pejabat pemerintahan dikategorikan melampaui wewenang apabila
keputusan dan/atau tindakan yang dilakukan melampaui masa jabatan atau batas waktu
berlakunya wewenang, melampaui batas wilayah berlakunya wewenang; dan/atau
bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Sementara badan dan/atau
pejabat pemerintahan dikategorikan mencampuradukkan wewenang apabila keputusan
dan/atau tindakan yang dilakukan diluar cakupan bidang atau materi wewenang yang
diberikan, dan/atau bertentangan dengan tujuan wewenang yang diberikan. Badan dan/atau
pejabat pemerintahan dikategorikan bertindak sewenang-wenang apabila keputusan dan/atau
tindakan yang dilakukan tanpa dasar kewenangan, dan/atau bertentangan dengan putusan
pengadilan yang berkekuatan hukum tetap.

Berangkat dari hal tersebut setelah penggugat telah mengajukan upaya administrasif
yaitu dengan mengajukan permohonan, mengajukan keberatan dan mengajukan banding
administrasi tetapi tetap tidak ada tindak lanjut dari Direktur Jender Mineral dan Batu Bara
saelaku pejabat administrasi yang memiliki wewenang dalam membuat kebijakan, maka
penggugat berhak mengajukan penetapan kepada pengadilan atas tindakan tersebut yang
berkekuatan hukum tetap.

Dalam analisa ini kita dapat melihat sudut pandang hakim yaitu pada pertimbangan
dan putusannya dalam putusannya, pertimbangan hukum hakim dalam perkara ini
menunjukan bahwasannya hakim benar-benar memahami terkait Pasal Pasal 17 Undang-
Undang Nomor 30 Tahun 2014 dimana hakim tidak bertele-tele dalam memberikan
pertimbangan hukumnya.

Selanjutnya kita dapat melihat sudut pandangan hakim dapat putusannya sebagai
berikut :

I. Dalam Eksepsi
Menyatakan Eksepsi Tergugat tidak dapat diterima

II. Dalam Pokok Perkara


1. Mengabulkan gugatan Penggugat untuk seluruhnya;
2. Menyatakan batal Tindakan Administrasi Pemerintahan Tergugat
berupa tidak memasukkan Izin Persetujuan Pencadangan Wilayah
Untuk Lokasi Pertambangan, Izin Usaha Pertambangan Eksplorasi dan
Izin Usaha Pertambangan Operasi Produksi atas nama PT Nikkoindo

48
Cemerlang ke dalam Daftar Izin Usaha Pertambangan Yang Memenuhi
Ketentuan, sebagaimana Surat PT Nikkoindo Cemerlang tanggal 21
Juni 2022 Nomor: 004/NC-ESDM/Dir/VI/2022;
3. Mewajibkan Tergugat untuk melakukan Tindakan Administrasi
Pemerintahan Tergugat berupa memasukkan Izin Persetujuan
Pencadangan Wilayah Untuk Lokasi Pertambangan, Izin Usaha
Pertambangan Eksplorasi dan Izin Usaha Pertambangan Operasi
Produksi atas nama PT Nikkoindo Cemerlang ke dalam Daftar Izin
Usaha Pertambangan Yang Memenuhi Ketentuan, sebagaimana Surat
PT Nikkoindo Cemerlang tanggal 21 Juni 2022 Nomor: 004/NC-
ESDM/Dir/VI/2022;
4. Menghukum Tergugat untuk membayar biaya perkara sejumlah Rp.
232.000,- (dua ratus tiga puluh dua ribu rupiah).

Dilihat dalam putusan tersebut hakim sangat jelas memahami artian dari pokok
substansi yang mengatur keputusan fiktif positif pada pasal 53 Undang-undang No. 30 Tahun
2014 tentang Administrasi Pemerintahan, dengan gugatan penggugat diterima secara
keseluruhan maka hakimdengan semua pertimbanganya pun telah benar dan sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Dalam penjelasan di latar belakang ada beberapa hal yang kami perhatikan, salah
satunya yaitu pada komparasi kami antara perkaraini dengan kasus seurpa dengan nomor
perkara : 134/G/TF/2022/PTUN-JKT dimana dalam perkara tersebut penggugat dalam duduk
perkaranya menjelaskan hal serupa seperti duduk perkara pada perkara ini, yaitu Direktur
Jendral Mineral dan Batubara di Kementrian Energi dan Sumber Daya Mineral acuh terhadap
surat permohonan IUP perusahaan. Berangkat dari hal tersebut kami selaku penulis memiliki
masuk dan saran kepada majelis hakim yang terhormat beserta praktisi hukum, alangkah
baiknya disertakan juga petitum dalam gugatan atau putusan hakim dimana jika sudah terjadi
kasus atau perkara serupa maupun sejenis yang secara persis kronologi dan juga pokok
permasalahan tersebut sebanyak dua kali atau lebih, maka perlu ditetapkan evaluasi dalam
instansi terkait agar tidak terjadi lagi hal serupa. Karena selain merugikan perseorangan atau
badan hukum privat tetapi juga merugikan negara itu sendiri.

49
DAFTAR PUSTAKA

Basah, Sajchran, 1992, Perizinan di Indonesia, Makalah untuk Penataran Hukum


Administrasi dan Lingkungan, Fakultas Hukum Unair, Surabaya : FH Unair.
Basah, Sjachran, 1992 Perlindungan Hukum Terhadap Sikap-Tindak Administrasi Negara.
Bandung: Penerbit Alumni.
Cruz, Peter de, 2010, Perbandingan Sistem Hukum Common Law, Civil Law dan Sosialits
Law, diterjemahkan oleh Narulita Yusron, Cetakan I, Bandung: Nusa Media.
HR, Dr. Ridwan, 2020, Hukum Administrasi Negara, Depok : Rajawali Pers
Indroharto, 2008, Usaha Memahami Undang-undang tentang Peradilan Tata Usaha
Negara: Buku I Beberapa Pengertian Dasar Hukum Tata Negara, Jakarta : Sinar
Harapan.
Jannah, Miftahul, Fatmawati, 2022, PERBUATAN MELANGGAR HUKUM OLEH
PEMERINTAH DALAM PERSPEKTIF HUKUM TATA NEGARA ISLAM, Makasar :
Jurnal FSH UIN Alauddin.
Lotulung, Paulus Effendi, 2013, Hukum Tata Usaha Negara dan Kekuasaan, Jakarta :
Salemba Humanika.
Manan, Bagir, 1995, Ketentuan-Ketentuan Mengenai Pengaturan Penyelenggaraan Hak
Kemerdekaan Berkumpul Ditinjau dari Perspektif UUD 1945, Jakarta : Makalah
Marbun, SF., 2001, Pembentukan, Pemberlakuan, dan Peranan Asas-Asas Umum
Pemerintahan yang Layak dalam Menjelmakan Pemerintahan yang Baik dan Bersih
di Indonesia, Disertasi, Bandung: Universitas Padjadjaran.
Muchsan, 1982, Pengantar Hukum Administrasi Negara Indonesia, Yogyakarta : Liberty
Salam, Syukron, 2018, Perkembangan Doktrin Perbuatan Melawan Hukum Penguasa,
Semarang : FH UNNES.
Sibuea, Hotma P. 2010, Asas Negara Hukum, Peraturan Kebijakan & Asas-asas Umum
Pemerintahan yang Baik, Erlangga : Jakarta.
Spelt, N.M. dan J.B.J.M. ten Berge, 1993, Pengantar Hukum Perizinan, disunting oleh
Philipus M. Hadjon, Surabaya: Yuridika.
Susilo, Agus Budi, 2013, Reformulasi Perbuatan Melanggar Hukum Oleh Badan Atau
Pejabat Pemerintahan Dalam Konteks Kompetensi Absolut Peradilan Tata Usaha
Negara, Bandung : Jurnal Hukum dan Peradilan, jurnalhukumdanperadilan.org/
Wijk, H.D. van /Willem Konijnenbelt, 1995, Hoofdstukken van Administratief Recht, Vuga,
s'Gravenhag.

50

Anda mungkin juga menyukai