Anda di halaman 1dari 2

Bagaimana Indonesia Bisa Dijuluki Negara Agraris Begitu Lama?

Tulisan ini terilhami dari perbincangan saya dengan Ibu Lida Pet Soede (manajer saya di kantor) mengenai
pergantian posisi jabatan menteri yang baru-baru ini dilakukan oleh Pak Presiden, khususnya pada jabatan Menko
Maritim dan Kementrian Pendidikan. Awalnya, kami hanya ingin membahas mengenai sebuah program yang akan
kami tawarkan kepada Bapak Luhut Pandjaitan melalui kerjasama internal dengan Canada Embassy. Akan tetapi,
dalam diskusi yang terjadi muncul banyak sekali ironi dan “celetukan” yang cukup menarik untuk saya tulis terkait
perkembangan maritim dan pendidikan kelautan di Indonesia.
How could Indonesia be dubbed an agrarian country for so long?
Itu salah satu “celetukan” pemicu tulisan ini yang muncul dari percakapan kami. Bagaimana tidak, bila kita
bandingkan dengan wilayah tanahnya yang hanya menyumbang sekitar 1.922.570 km2, wilayah laut Indonesia
memiliki luas kurang lebih 3.257.483 km2. Dengan kata lain, seperti yang sudah banyak diketahui bahwa dua pertiga
dari wilayah Indonesia adalah lautan. Bahkan, jika zona ekonomi eksklusif juga dihitung, wilayah laut akan meluas
sebesar 7,9 juta km2 atau 81 persen dari seluruh wilayah Indonesia
Namun, jika kita melihat pada fakta yang terjadi dalam beberapa dekade belakangan, bangsa Indonesia memang
kurang atau bahkan tidak menyadari fakta geografis yang menjadi identitas asli dan sejarah bangsa ini sejak dulu.
Padahal sejarah sudah membuktikan bahwa kekayaan dan kemakmuran sejati selalu datang dari lautan – ini sudah
menjadi rahasia dari naik turunnya negara dan peradaban di seluruh dunia. Contoh saja seperti yang pernah saya
baca di sebuah artikel : Inggris yang menguasai dunia maritim dari aspek legal, politik, dan financial melalui era
Pax Britannica – nya, yang alhasil sampai sekarang memiliki kontrol kuat di dunia maritim melalui finansial dan
regulasi maritime. Amerika yang mendominasi maritim dari aspek militer yang sejak Perang Dunia kedua hingga
hari ini, seluruh Sea Lines of Communications (SLOCs) dikuasai oleh kekuatan laut Amerika. Dominasi ini mampu
menjamin keberlangsungan sistem maritim, atau dengan kata lain, sistem ekonomi dunia. Lalu, di utara Asia ada
Korea Selatan yang menjadikan industri galangan kapal sebagai sentral perekonomian mereka. Poros-poros
lainnya seperti Denmark dengan Maersk Group yang mengontrol 15% kapasitas kapal kontainer global, Singapura
dengan Port of Singapore Authority (PSA) yang merupakan salah satu operator pelabuhan terbesar di dunia, atau
Filipina yang terkenal sebagai pemasok pelaut terbesar dalam industri pelayaran global sejak hampir tiga dekade
ini.
Jika kita mengacu pada informasi dan fakta-fakta diatas, maka lagi-lagi celetukan tadi memang seharusnya
dipertanyakan :
How could Indonesia be dubbed an agrarian country for so long?
Dari beberapa sumber yang saya baca, banyak yang berpendapat bahwa hal ini terjadi karena kesalahan pada satu
atau dua generasi sebelumnya yang telah membuat bangsa ini puas dengan lahan pertanian saja. Bangsa ini sudah
dininabobokan oleh bangsa Eropa yang mengambil alih perdagangan global dengan jalur maritim sebagai jalan
hidupnya.
Menurut saya pribadi, mungkin pendapat ini masih bisa diterima dan ada benarnya jika dikemukakan pada periode
1980 hingga 1990an. Akan tetapi, relevansinya sudah sangat tidak mendukung jika alasan ini digunakan pada masa
sekarang. Pasalnya, masyarakat Indonesia sudah bukan masyarakat yang 80% nya hidup di pedesaan lagi seperti
pada masa orde baru. Bukan juga mayoritas para petani yang memang menjadi ujung tombak dari fokus peningkatan
sektor pertanian pada jaman Pak Suharto. Bukan orang-orang yang tidak melek perubahan dan teknologi. Jadi ???
How could Indonesia be dubbed an agrarian country for so long?
Menurut saya pribadi (lagi), kalau kita perhatikan dari kacamata pendidikan, rata-rata pelajar tingkat dasar sampai
menengah di Indonesia masih akrab dengan pengetahuan bahwa negara mereka adalah “negara agraris”. Buku-buku
yang berkaitan dengan pelajaran sejarah pun masih banyak yang menyebutkan hal itu. Miris sekali. Bayangkan dan
nilai saja sendiri, hampir 90 persen dari siswa-siswi sekolah dasar hingga menengah di Indonesia pasti akan
menggambar pemandangan gunung dan area persawahan untuk tugas prakarya mereka. Hal ini menjadi – apa ya
sebutannya – breath-taking phenomenon – jika mengingat bahwa 81% wilayah Indonesia adalah lautan. Dari
fenomena yang sangat miris ini bisa ditarik kesimpulan bahwa sebenarnya masalah utama dari how could Indonesia
be dubbed an agrarian country for so long? terletak pada sistem pendidikannya.
Puluhan tahun para pelajar di Indonesia ditipu dengan pengetahuan yang menyebutkan bahwa Indonesia adalah
negara agraris. Dengan profesi petani sebagai mayoritas. Mereka dibuat takut dengan pengetahuan dan warisan
budaya yang mengkondisikan bahwa lautan adalah tempat yang tabu dan penuh dengan bahaya. Sudah terdoktrin
dalam benak mereka bahwa mempelajari sejarah maritim Indonesia merupakan upaya yang sia-sia.
Pada akhirnya, sampai saat ini, bagi para pelajar itu, yang notabene-nya adalah para generasi penerus bangsa, lautan
hanya menjadi objek sampingan atau wisata belaka. Mereka mungkin tidak akan pernah tahu potensi apa yang
dimiliki negaranya jika tidak melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih spesifik, karena sistem dan kurikulum
pendidikan untuk ranah maritim dan kelautan di negara ini tidak pernah diinisiasi dan tidak cukup mendapatkan
perhatian dari pemerintah. Sebagai contoh, jujur saja, saya sendiri baru mengetahui bahwa terumbu karang itu
merupakan hewan dan bukan tumbuhan ketika saya menginjak bangku perkuliahan di jurusan ilmu kelautan.
Jadi, bagaimana mungkin bisa membangun kembali peradaban maritim yang telah hilang jika tidak dimulai dari
pengenalan dan pendidikan maritim dan kelautan sejak dini. Bagaimana doktrin sebagai negara agraris bisa
dihilangkan jika tidak ada sistem pendidikan yang diterapkan untuk menghapus ingatan itu. Semuanya harus
dimulai dengan pengetahuan yang mendalam dengan internalisasi kesadaran sejak dini mengenai ranah maritim dan
kelautan di Indonesia.
Semoga para pemangku kepentingan terkait yang sudah saya sebut diatas memahami hal ini dan mampu melakukan
gebrakan lain daripada hanya sekedar menambah jam belajar atau mengeluarkan kebijakan yang tidak relevan dan
masuk akal.
Semoga semakin banyak adik-adik kita para generasi penerus bangsa yang menggambar lautan daripada gunung dan
sawah sebagai hasil prakaryanya
Sumber: https://diasnatasasmita.wordpress.com/2016/08/10/bagaimana-indonesia-bisa-dijuluki-negara-agraris-
begitu-lama/

Anda mungkin juga menyukai