Anda di halaman 1dari 5

NAMA : ODILIA KUR’AIN

NIM : 190101091
MK : PRAKTIK LEGAL OPINION
SEMESTER : VII (TUJUH)

[LEGAL OPINION]
Makna Hubungan Keperdataan Antara Anak Luar
Kawin Dengan Ibu Dan Keluarganya
Berdasarkan Pasal 43 Ayat (1) UU Perkawinan

I. Fakta Hukum
Anak yang dilahirkan di luar perkawinan seringkali disebut dengan istilah
anak luar kawin atau anak tidak sah. Dengan berpegang pada rumusan Pasal 42
UU Perkawinan yang berbunyi “anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam
atau sebagai akibat perkawinan yang sah” maka berdasarkan penafsiran a
contrario dapat dirumuskan bahwa termasuk anak luar kawin yakni, anak yang
tidak termasuk dalam tiga kategori anak sah sebagaimana yang diatur dalam Pasal
42 UU Perkawinan, yaitu :
a. Anak yang dibenihkan dan dilahirkan dalam perkawinan yang sah.
b. Anak yang dibenihkan sebelum perkawinan dan dilahirkan dalam
perkawinan yang sah.
c. Anak yang dibenihkan dalam perkawinan yang sah dan dilahirkan
setelah perkawinan putus.
Dengan demikian nampak bahwa termasuk anak sah tidak hanya anak yang
dibenihkan dan dilahirkan dalam perkawinan yang sah, tetapi mungkin juga
setelah setelah perkawinan yang putus. Nampaknya UU Perkawinan tidak melihat
siapa ayah biologis dari anak yang dilahirkan isteri. Sepanjang anak tersebut lahir
memenuhi salah satu kriteria tersebut, maka anak akan berkedudukan sebagai
anak sah.
Dari ketentuan Pasal 43 ayat (1) dapat dipahami bahwa hubungan keperdataan
antara anak luar kawin dengan Ibunya secara yuridis telah mempunyai kepastian
hukum. Adapun hubunganya adalah adanya hubungan timbal balik antara ibu
yang melahirkan dengan anak luar kawin tersebut. Dari rumusan ketentuan pasal
43 ayat (1) UU Perkawinan, dapat diketahui bahwa ada aturan yang tidak jelas
mengenai hubungan keperdataan antara anak luar kawin dengan ayah biologisnya.
Dari ketentuan ayat (2) dapat dilihat bahwa kedudukan anak tersebut dalam ayat
(1) di atas selanjutnya akan di atur dalam peraturan pemerintah. Jika ditelusuri
lebih jauh mengenai peraturan pemerintah yang dijanjikan oleh pembuat UU
Pekawinan, nampaknya sudah hampir berjalan setengah abad sejak
diundangkanya UU Perkawinan tersebut, peraturan pemerintah (PP) yang
dijanjikan seperti di dalam ketentuan Pasal 43 ayat (2) yakni yang akan mengatur
kedudukan anak luar kawin ternyata sampai saat ini belum terwujud, sehingga
terjadi ketidakpastian hukum mengenai hubungan keperdataan anak luar kawin
dengan ayah biologisnya. Dengan demikian kedudukan anak luar kawin yang
lahir dari perkawinan siri yang dilakukan oleh ayah biologisnya yang masih
terikat tali perkawinan dengan isterinya, nampaknya belum mendapatkan keadilan
di negara yang berdasarkan atas hukum, sehingga hak asasi-nya sebagai generasi
penerus bangsa telah disamarkan oleh pembuat Undang-Undang, dan hal ini
terbukti sampai saat ini peraturan pemerintah (PP) yang diharapkan akan
mengatur tentang kedudukan anak luar kawin belum ada.
Selain itu, ketentuan ini tidak dapat diberlakukan secara otomatis, perlu
tindakan administrasi untuk menimbulkan hubungan perdata tersebut. Sekalipun
demikian, guna menciptakan hubungan perdata antara anak luar kawin dengan
orang tuanya perlu dengan pengakuan anak, baik melalui pengakuan secara
sukarela dimana pengakuan ini dilakukan oleh seseorang dengan cara ditentukan
oleh Undang-Undang bahwa ia adalah bapaknya (ibunya) seorang anak yang lahir
di luar perkawinan. Sesuai dengan ketentuan dalam pasal 281 KUHPerdata. Selain
itu ada pengakuan secara paksa yang dilakukan oleh si anak yang dilahirkan di
luar kawin mengajukan gugatan kepada bapak atau ibunya kepada pengadilan
negri, agar anak luar kawin itu dapat diakui sebagai anak bapak atau ibunya.
II. Dasar Hukum
Dalam kedudukannya sebagai anak luar kawin mempunyai kedudukan yang
sangat lemah, jika ditinjau dari teori perlindungan hukum, bahwa dalam suatu
hubungan hukum, dimana salah satu pihak dalam kedudukan berada lebih lemah
atau tidak seimbang dengan pihak lainya, maka pihak yang berkedudukan lebih
lemah tersebut harus mendapat perlindungan dari negara (pemerintah) melalui
instrument hukum melaui perundang-undangan.
Mengenai hubungan keperdataan anak luar kawin, khususnya anak luar kawin
yang lahir sebagai akibat dari perkawinan siri yang dilakukan oleh ayah
biologisnya yang masih terikat tali perkawinan sah dengan isterinya dan isterinya
tidak pernah menyetujui suaminya untuk berpoligini, namun di dalam Pasal 43
ayat (1) UU Perkawinan hanya mengatur mengenai anak yang dilahirkan di luar
perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibu dan keluarga ibunya;
sedangkan di dalam ayat (2) diatur mengenai kedudukan anak tersebut dalam ayat
(1) di atas selanjutnya akan di atur dalam peraturan pemerintah.
Sejak di undangkannya, Pasal 43 UU Perkawinan menentukan bahwa bahwa
anak luar kawin hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibu dan keluarga
ibunya. Selanjutnya UU Perkawinan mengamanatkan di dalam pasal 43 ayat (2)
bahwa tentang kedudukan anak luar kawin akan diatur lebih lanjut dengan
peraturan pemerintah. Berpijak dari adanya kondisi yang demikian itu terbukti
bahwa mengatur mengenai anak luar kawin yang lahir akibat dari perkawinan siri
yang dilakukan oleh ayah bologisnya yang masih terikat tali perkawinan sah
dengan isterinya memang sangat sulit dan bahkan sangat sensitif, karena adanya
berbagai pandangan yang mengatakan bahwa perkawinan siri ada yang
menganggap secara agama sah, namun ada pula yang menilai bahwa perkawinan
siri secara hukum Negara belum dianggap sah, karena belum dicatatkan. Dalam
posisi yang lemah ini, terbukti bahwa perlindungan terhadap kedudukan anak luar
kawin masih belum maksimal dan utuh sebagaimana halnya dengan perlindungan
hukum yang diberikan kepada anak yang lahir dari perkawinan yang sah.
Dalam KUH.Perdata, pada Pasal 280 KUH.Perdata dinyatakan bahwa :
“Dengan pengakuan yang dilakukan terhadap anak luar kawin, timbulah hubungan
perdata antara si anak dengan bapak atau ibunya”. Dengan itu, guna menciptakan
hubungan perdata antara anak luar kawin dengan orangtuanya perlu dengan
pengakuan anak, baik melalui pengakuan secara sukarela maupun pengakuan
secara paksaan.
Terobosan hukum yang dilakukan Mahkamah Konstitusi (MK) dengan
putusanya Nomor/46/PUU-VIII/2010 tanggal 17 Pebruari 2012 dengan
memberikan hak perdata kepada anak di luar perkawinan sepanjang seorang anak
terbukti memiliki hubungan darah dengan ayah biologis-nya melalui berdasarkan
ilmu pengetahuan dan teknologi (pengujian DNA) atau alat bukti yang menurut
hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga
ayahnya. Tujuan dari putusan Nomor/46/PUU-VIII/2010 tanggal 17 Pebruari
2012 untuk menegaskan mengenai kedudukan anak luar kawin, bahwa anak luar
kawin pun berhak mendapatkan perlindungan seperti halnya anak-anak yang lahir
dari perkawinan yang sah.

II. Analisis
Pasal 43 ayat (1) mengenai hubungan keperdataaan anak luar kawin dengan
ibu dan keluarganya di dalam UU Perkawinan merupakan salah satu wujud usaha
untuk menciptakan hukum nasional di bidang perkawinan. Ada banyak
permasalahan yang tidak di atur secara rinci dalam UU Perkawinan memang
didalamnya sudah diatur mengenai hubugan perdata antara anak luar kawin
dengan ibu dan orang tuanya dan adapula aturang yang mengatur tentang
hubungan anak luar kawin dengan ayah biologisnya namun hal itu dikembalikan
lagi kepada peraturan pemerintah dan sayangnya sampai saat ini pun peraturan
pemerintah yang diharapkan dapat menyelesaikan permasalahan seperti itu tidak
ada yang mengatur hal itu.
Seperti yang sudah di paparkan diatas Anak yang dilahirkan di luar
perkawinan seringkali disebut dengan istilah anak luar kawin atau anak tidak sah.
Dengan berpegang pada rumusan Pasal 42 UU Perkawinan yang berbunyi “anak
yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang
sah” yang menjadi pembahasan dalam hal ini ialah makna hubungan keperdataan
antara anak luar kawin dengan ibu dan keluarganya berdasaran rumusan ketentuan
Pasal 43 ayat (1) dapat dipahami bahwa hubungan keperdataan antara anak luar
kawin dengan Ibunya secara yuridis telah mempunyai kepastian hukum. Adapun
hubunganya adalah adanya hubungan timbal balik antara ibu yang melahirkan
dengan anak luar kawin tersebut. Ibu berkewajiban untuk mememlihara anak
tersebut secara optimal sebagai harkat dan martabatnya sebagai mahluk ciptaan
Tuhan, yang tidak dapat diperlakukan secara diskriminatif, apalagi diperlakukan
secara sewenang-wenang. Dan juga sebaliknya bilamana orang tuanya (ibunya)
sudah tua dan menjadi jompo, maka si anak luar kawin ini mempunyai kewajiban
untuk menanggung dan mememilahara ibunya sampai tua dan sepanjang hayat di
kandung badan.
Hubungan keperdataan yang saling bertimbal balik antara si ibu yang
melahirkan dengan anak di luar kawin ini dapat di pahami secara jelas. Namun
dsri rumusan ketentuan pasal 43 ayat (1) UU Perkawinan, dapat diketahui bahwa
ada aturan yang tidak jelas mengenai hubungan keperdataan antara anak luar
kawin dengan ayah biologisnya. Dari ketentuan ayat (2) dapat dilihat bahwa
kedudukan anak tersebut dalam ayat (1) di atas selanjutnya akan di atur dalam
peraturan pemerintah. Jika ditelusuri lebih jauh mengenai peraturan pemerintah
yang dijanjikan oleh pembuat UU Pekawinan, nampaknya sudah hampir berjalan
setengah abad sejak diundangkanya UU Perkawinan tersebut, peraturan
pemerintah (PP) yang dijanjikan seperti di dalam ketentuan Pasal 43 ayat (2)
yakni yang akan mengatur kedudukan anak luar kawin ternyata sampai saat ini
belum terwujud, sehingga terjadi ketidakpastian hukum mengenai hubungan
keperdataan anak luar kawin dengan ayah biologisnya. Dengan demikian
kedudukan ank luar kawin yang lahir dari perkawinan siri yang dilakukan oleh
ayah biologisnya yang masih terikat tali perkawinan dengan isterinya, nampaknya
belum mendapatkan keadilan di negara yang berdasarkan atas hukum, sehingga
hak asasi-nya sebagai generasi penerus bangsa telah disamarkan oleh pembuat
Undang-Undang, dan hal ini terbukti sampai saat ini peraturan pemerintah (PP)
yang diharapkan akan mengatur tentang kedudukan anak luar kawin belum ada.
Dengan hal ini dapat dikatakan bahwa hukum yang mengatur tentang anak
luar kawin masih belum sesuai dengan apa yang diharapkan. Jika terdapat perkara
seperti ini maka para hakim yang memeriksa dan mengadili perkara mengenai
anak luar kawin khususnya terhadap hubungannya dengan ibu dan keluarga,
dengan adanya Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor/46/PUU-VIII/2010
tanggal 17 Pebruari 2012 menyangkut anak luar kawin yang merupakan
Terobosan hukum yang dilakukan Mahkamah Konstitusi (MK) dengan putusanya
Nomor/46/PUU-VIII/2010 tanggal 17 Pebruari 2012 dengan memberikan hak
perdata kepada anak di luar perkawinan sepanjang seorang anak terbukti memiliki
hubungan darah dengan ayah biologis-nya melalui berdasarkan ilmu pengetahuan
dan teknologi (pengujian DNA) atau alat bukti yang menurut hukum mempunyai
hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya. Tujuan
dari putusan Nomor/46/PUU-VIII/2010 tanggal 17 Pebruari 2012 untuk
menegaskan mengenai kedudukan anak luar kawin, bahwa anak luar kawin pun
berhak mendapatkan perlindungan seperti halnya anak-anak yang lahir dari
perkawinan yang sah.

III. Simpulan
Anak yang dilahirkan di luar perkawinan seringkali disebut dengan istilah
anak luar kawin sedangkan anak sah pada rumusan Pasal 42 UU Perkawinan
yang berbunyi “anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai
akibat perkawinan yang sah” namun yang termasuk anak sah tidak hanya anak
yang dibenihkan dan dilahirkan dalam perkawinan yang sah, tetapi mungkin juga
setelah setelah perkawinan yang putus.Hukum perkawinan yang berlaku di
Indonesia adalah UU Perkawinan, sebagai hukum positif, salah satunya yang
diatur didalam UU Perkawina ialah mengenai Pasal 43 ayat (1) UU Perkawinan
hanya mengatur mengenai anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya
mempunyai hubungan perdata dengan ibu dan keluarga ibunya; sedangkan di
dalam ayat (2) diatur mengenai kedudukan anak tersebut dalam ayat (1) di atas
selanjutnya akan di atur dalam peraturan pemerintah.
Anak yang di lahirkan dari perkawinan siri yang dilakukan oleh ayah
biologisnya yang masih terikat tali perkawinan dengan isterinya, berdasarkan
Pasal 43 ayat (1) UU Perkawinan maka anak bersangkutan tergolong sebagai anak
luar kawin, dan hanya mempunyai hubungan dengan ibu dan keluarga ibunya.
Mengenai hubungan hukum dengan ayah biologisnya diatur dalam pasal 43 ayat
(2) UU Perkawinan yang masih di janjikan untuk diatur lebih lanjut dan sampai
setengah abad dari peraturan tersebut di terapkan belum juga ada peraturan yang
dimaksud. Berarti ank luar kawin yang dihasilkan dari kawin siri tersebut,
berdasarkan UU Perkawinan kedudukan hukumnya tidak jelas kalau dikaitkan
dengan ayah biologis-nya. Dalam masyarakat hal ini merupakan ganjalan yang
sangat menyesakan, mengingat kepentingan anak luar kawin hasil perkawinan
sirih sepatutnya sama seperti halnya anak sah yaitu tentunya harus memperoleh
kehidupan dan pertumbuhan yang layak.

Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor/46/PUU-VIII/2010 tanggal 17


Pebruari 2012 menyangkut anak luar kawin, demi terwujudnya penyempurnaan
kedudukan hukum anak luar kawin yang pengaturannya dalam UU Perkawinan
belum tuntas, pada sisi lain anak luar kawin itu diharapkan dapat tumbuh dan
berkembang sebagaimana ank-anak lainya secara layak, terutama uluran perhatian
dari ayah biologisnya. Dasar pertimbangan Putusan Mahkamah Konstitusi adalah
demi memberikan perlindungan hukum kepada anak luar kawin, terutama
menyangkut hubungan hukumnya dengan ayah biologisnya. Memang harus diakui
bahwa dengan munculnya Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor/46/PUU-
VIII/2010 tanggal 17 Pebruari 2012, persoalan kedudukan anak luar kawin dengan
ayah biologisnya belum dapat diharapkan tuntas, mengingat materi anak luar
kawin ini sangat sensitif. Dan dengan hal itu diharapkan dapat memberikan
perlindungan dan kepastian hukum yang adil terhadap seorang anak yang
dilahirkan dan hak-hak yang ada pada anak yang lahir di luar perkawinan atau
yang disebut dengan anak luar kawin yang mana saat ini masih dianggap belum
sempurna.

Anda mungkin juga menyukai