“Surrogate Mother”
Kelompok 2.2
FAKULTAS KEDOKTERAN
2017
I. PENGERTIAN
Surrogate mother adalah perjanjian antara seorang wanita yang mengikatkan diri
dengan pihak lain yaitu suami dan istri untuk mengandung hasil pembuahan suami dan
istri tersebut yang ditanamkan ke dalam rahimnya, dan setelah melahirkan diharuskan
menyerahkan bayi tersebut kepada pihak suami-istri (gestational agreement).
Surrogate mother secara harfiah disamakan dengan istilah “Ibu Pengganti” atau
“Ibu Wali” yang didefinisikan sebagai seorang wanita yang mengikatkan dirinya
melalui suatu ikatan perjanjian dengan pihak lain (biasanya suami-istri) untuk
mengandung dari hasil pembuahan di luar Rahim (In Vitro Fertilization) sperma dan
sel telur pihak yang membuat perjanjian dengannya. Wanita tersebut akan
mengandung sampai melahirkan anak tersebut kemudian menyerahkannya kepada
pihak suami – istri dengan mendapat imbalan sesuai perjanjian.
II. SEJARAH
Surrogate Mother pertama kali ada pada abad ke- 23 SM di Babilonia atau Babel,
dimana ini adalah negara kuno yang terletak di selatan Mesopotamia yang kita kenal
sekarang dengan Irak.
Pada tahun 1944 Profesor Harvard Medical School John Rock ,merupakan
orang pertama yang membuahi sel telur manusia di luar rahim.
Pada tahun 1978 Louise Brown , merupakan bayi tabung pertama yang lahir di
Inggris.
Pada tahun 1980 Pengacara Michigan Noel Keane menulis kontrak surrogacy
pertama, dimana ia menciptakan kontrak yang mengarah pada kasus Baby M.
Pada tahun 1986, Mellisa Sterm atau dikenal sebagai Baby M lahir di Amerika
Serikat. Mary Beth Whitehead ( ibu pengganti Baby M ) menolak memberikan
hak asuh nya kepada pasangan William & Elizabeth Sterm, saat itu pengadilan
New Jersey mengatakan bahwa kontrak ibu pengganti adalah ilegal dan tidak
sah, sehingga demi kepentingan bayi tersebut pengadilan memberikan hak
asuh pada ayah dan ibu kandung Mellisa bukan kepada ibu pengganti nya.
1. Benih yang akan ditanam berasal dari pasangan suami istri kemudian
ditanam kembali ke rahim istri.
2. Salah satu benih dari donor (baik sperma maupun sel telur) yang kemudian
ditanam ke rahim istri.
3. Benih berasal pasangan suami istri, tetapi ditanam pada rahim wanita lain.
Berdasarkan cara tersebut di atas, surrogate mother dikenal dalam dua tipe, yakni:
2. Tipe Genetic Surrogacy, dimana sel telur berasal dari perempuan lain yang
bukan istri, kemudian dipertemukan sperma dari suami yang selanjutnya
ditanam dalam rahim perempuan tersebut. Dalam surogasi tradisional,
sang pengganti dijadikan hamil secara alami ataupun artifisial (buatan),
tetapi anak yang dilahirkan memiliki keterkaitan genetik dengannya.
IV. INDIKASI MELAKUKAN SURROGACY
"Ada tapi diam-diam," kata aktivis perempuan Agnes Widanti dalam seminar
'Surrogate Mother (Ibu Pengganti) Dipandang dari Sudut Nalar, Moral, dan Legal' di
Ruang Teater Thomas Aquinas, Universitas Katolik (Unika) Soegiyapranata
Semarang, Jl Pawiyatan Luhur, Sabtu (5/6/2010).
Agnes yang juga pengajar Unika dan koordinator Jaringan Peduli Perempuan
dan Anak (JPPA) Jateng itu mengacu pada thesis mahasiswinya yang berjudul
'Penerapan Hak Reproduksi Perempuan dalam Sewa-menyewa Rahim'. Thesis itu
mengambil lokasi di Papua dan menjelaskan adanya sewa-menyewa rahim.
Kasus sewa rahim yang sempat mencuat adalah pada Januari 2009 ketika artis
Zarima Mirafsur diberitakan melakukan penyewaan rahim untuk bayi tabung dari
pasangan suami istri pengusaha. Zarima, menurut mantan pengacaranya, Ferry Juan
mendapat imbalan mobil dan Rp 50 juta dari penyewaan rahim tersebut. Tapi kabar ini
telah dibantah Zarima. Menurut Agnes, jika kasus sewa rahim Zarima tidak dapat
diverifikasi, thesis yang dilakukan mahasiswanya benar-benar terjadi yang praktiknya
dilakukan diam-diam.
Sebab itu, Agnes bersama dua pembicara lainnya dalam acara itu, Liek
Wilardjo (Dosen UKSW Salatiga) dan Sofwan Dahlan (Pakar Hukum Kesehatan
Undip), berharap pemerintah memperhatikan masalah tersebut. Sewa-menyewa rahim
bukan persoalan biologis semata, tapi juga kehidupan dan kemanusiaan.
Baik Agnes maupun Dahlan menyebut wacana sewa rahim bukan bermaksud
latah, melainkan antisipasi terhadap problem kehidupan. Tidak menutup
kemungkinan, banyak pasutri yang ingin melakukan sewa rahim, sehingga memilih ke
luar negeri karena di dalam negeri belum diizinkan.
Seminar yang digelar Magister Hukum Kesehatan itu diikuti sekitar 100 orang.
Mereka terdiri dari mahasiswa, kalangan medis, dan aktivis sosial.
Majelis Ulama Indonesia (MUI) juga hanya mengeluarkan fatwa tentang bayi
tabung yang boleh dilakukan tapi tidak dengan penyewaan rahim.
3. Pada ibu yang baru pertama kali melakukan 'Sewa Rahim' dapat merasa
tertekan batinnya yang mengakibatkan terganggunya perasaan dan
jiwanya akibat tidak bisa bertemu dengan anak yang baru dilahirkan.
Bagi Anak
2. Anak kehilangan kasih sayang, anak yang dilahirkan oleh “si ibu sewa”
tidak mendapatkan kasih sayang dari ibu kandungnya sendiri.
3. Anak tidak mengetahui orang tuanya, dibesarkan dan diasuh oleh orang
tuanya sendiri.
5. Bayi yang dilahirkan tidak akan mendapatkan ASI dari ibu pengganti
yang melahirkan karena batas kontrak yang telah ditentukan
Kasus Surrogate Mother di Amerika Serikat. Mary Beth Whitehead sebagai ibu
pengganti (surrogate mother) yang berprofesi sebagai pekerja kehamilan dari pasangan
William dan Elizabeth Stern pada akhir tugasnya memutuskan untuk mempertahankan
anak yang dilahirkannya itu. Timbul sengketa diantara mereka yang kemudian oleh
Pengadilan New Jersey, ditetapkan bahwa anak itu diserahkan dalam perlindungan
ayah biologisnya, sementara Mrs. Mary Beth Whitehead (ibu pengganti) diberi hak
untuk mengunjungi anak tersebut selama 2 jam per minggunya.
Etika
c. Agama
Dalam pasal 127 UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (UU Kesehatan)
diatur bahwa upaya kehamilan di luar cara alamiah hanya dapat dilakukan oleh
pasangan suami istri yang sah dengan ketentuan :
Hasil pembuahan sperma dan ovum dari suami istri yang bersangkutan
ditanamkan dalam rahim istri dari mana ovum berasal;
Hal ini berarti bahwa metode atau kehamilan di luar cara alamiah selain yang
diatur dalam pasal 127 UU Kesehatan, termasuk ibu pengganti (surrogate mother),
secara hukum tidak dapat dilakukan di Indonesia. Larangan ini juga termuat dalam
pasal 16 UU Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan (lama), yang menegaskan
bahwa kehamilan di luar cara alami dapat dilaksanakan sebagai upaya terakhir untuk
membantu suami istri mendapat keturunan, dan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor :
73/Menkes/Per/II/1999 tentang Penyelenggaraan Pelayanan Teknologi Reproduksi
Buatan : Pasal 4, juga menegaskan bahwa pelayanan teknologi reproduksi buatan
hanya dapat diberikan kepada pasangan suami istri yang terikat perkawinan yang sah
dan sebagai upaya terakhir untuk memperoleh keturunan serta berdasarkan suatu
indikasi medik.
Nilai moral :
1. Secara sisi moral bagi wanita yang telah menyewakan rahimnya, biasanya jika
telah mengandung dan melahirkannya si wanita tersebut sulit untuk
memberikan janin yang telah dilahirkannya. Maka dari itu akan memancing
timbulnya konflik antara pasangan yang telah menyewa rahim dan wanita yang
menyewakan rahimnya.
2. Secara moral apakah dibenarkan seorang anak yang dilahirkan dari seorang ibu
pengganti, meski bukan berasal dari benih ibu tersebut, kemudian diserahkan
begitu saja kepada keluarga (pasangan suami isteri) yang menyewa rahim.
Bahwa rahim yang dimiliki oleh seorang perempuan bukanlah mesin produksi,
namun adalah organ reproduksi manusia, yang proses pembuahan, masa
mengandung dan persalinannya sarat dengan nilai-nilai moral
Nilai keagamaan :
Agama Kristen juga menganggap embrio, baik yang dihasilkan di dalam rahim
maupun di luar, sebagai kehidupan baru yang harus dihargai dan dihormati. Gereja
melarang pengambilan sel embrio untuk keperluan apa pun, yang dihasilkan dari
proses fertilisasi, adalah kehidupan baru yang harus dihormati. Gereja, juga tidak
mentoleransi penggunaan sel embrio sisa proses bayi tabung karena apa pun
bentuknya mereka adalah cikal bakal manusia yang mempunyai hak untuk hidup.
Nilai sosial :
Dari sisi etika, penggunaan surrogate mother memiliki dua sisi yang
berlawanan yaitu etis dan tidak etis tergantung dari sudut pandang yang bersangkutan.
Dikatakan etis, karena keputusan surrogate mother atas dasar perjanjian kedua belah
pihak dan tanpa paksaan. Hal ini menyangkut hak otonomi setiap orang, dimana ia
berhak menentukan apa yang boleh atau tidak boleh dilakukan terhadap dirinya atau
dengan kata lain ia bebas menentukan nasibnya sendiri. Disamping itu, adanya
surrogate mother dapat memenuhi harapan pasutri untuk memiliki anak hasil dari
pembuahan sel sperma dan sel telur mereka sendiri. Dilakukannya surrogate mother
dikatakan tidak etis karena dapat menimbulkan eksploitasi wanita, dampak psikologis
yang negatif bagi ibu pengganti dan anak yang dilahirkan serta masalah perkembangan
anak kedepannya. Selain itu, surrogate mother juga menimbulkan masalah hukum
karena tindakan ini tidak memiliki perlindungan hukum, dan dampak sosial dimana
dapat timbul stigma buruk terhadap ibu pengganti serta pengucilan dari warga
setempat.
X. DAFTAR PUSTAKA
Barton, Gina. 2012. Paid surrogacy triggers debate about legal, moral issues.
Wiscounsin: Journal Sentinel. Diakses dari:
http://archive.jsonline.com/news/health/surrogacy-business-raises-issue-of-ethics-
3c67d96-165480456.html
Desriza Ratman. Surrogate Mother dalam Perspektif Etika dan Hukum (Jakarta,
PT.Gramedia, h. viii).
Imrie, Susan; Jadva, Vasanti (4 July 2014). "The long-term experiences of surrogates:
relationships and contact with surrogacy families in genetic and gestational surrogacy
arrangements". Reproductive BioMedicine.
Politt, Katha. 2 Januari 1998. Artikel the Nation “The Strange Case of Baby M: I think
I understand Judge Harvey Sorkow's ruling in the Baby M case.
https://www.thenation.com/article/strange-case-baby-m/
The Ethics and Religious Liberty Comission of The Southern Baptist Convention.
2014. Issue Analysis: Surrogacy.Diakses dari: http://erlc.com/resource-
library/articles/issue-analysis-surrogacy pada 8 Mei 2017