Anda di halaman 1dari 10

REFERAT

“Pediatric Asthma: Guidelines-Based Care, Omalizumab,


and Other Potential Biologic Agents”

Disusun oleh:
Lidwina Dewisetyorini (42170198)
Valentina Adinda Putri (42170199)
Rosalia Septaviana (42170200)

Pembimbing:
dr. Margareta Yuliani, Sp. A

KEPANITERAAN KLINIK ILMU ANAK RS BETHESDA


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS KRISTEN DUTA WACANA
YOGYAKARTA
2019
Pediatric Asthma: Guidelines-Based Care, Omalizumab, and Other Potential Biologic
Agents
Immunol Allergy Clin North Am. 2015 February ; 35(1): 129–144.
doi:10.1016/j.iac.2014.09.005

Michelle Fox Huffaker, MD, Wanda Phipatanakul, MD, MS, M.F. Huffaker, and W.
Phipatanakul

Sinopsis
Selama beberapa dekade terakhir, bukti yang mendukung manajemen asma anak secara
rasional berkembang dengan cepat. Karena lebih banyak dipelajari tentang berbagai fenotipe
asma, kompleksitas manajemen akan terus tumbuh. Ulasan ini berfokus pada bukti-bukti yang
mendukung manajemen asma pediatrik berbasis guideline yang digunakan saat ini dan
mengeksplorasi manajemen asma kedepannya sehubungan dengan heterogenitas fenotipik dan
biologis

Introduction
Asma diderita lebih dari 6 juta anak dan menjadikannya salah satu penyakit kronis
yang paling banyak diderita pada masa anak-anak, dan prevalensinya terus meningkat. Asma
menyumbang lebih dari 14 juta ketidakhadiran di sekolah setiap tahunnya dan merupakan
penyebab utama rawat inap di kalangan anak-anak. Untungnya, kemajuan dalam terapi medis
telah mengurangi jumlah kematian yang berkaitan asma dan meningkatkan kualitas hidup
secara keseluruhan untuk banyak penderita asma. Pedoman manajemen yang efektif sekarang
sudah ada, dengan bukti pendukung signifikan dari uji klinis pada anak-anak penderita asma.
Selama dekade terakhir terdapat peningkatan pesat dalam terapi baru untuk manajemen asma
dan beberapa di antaranya telah dipelajari pada anak-anak.
Hal yang mempersulit managemen asma kedepannya adalah diagnosis asma itu
sendiri. Terdapat heterogenitas yang signifikan di antara anak-anak yang mengi, dan hanya
sebagian dari semua anak yang mengi akan berkembang menjadi asma. Beberapa penelitian
telah mengamati kedua kelompok anak yang mengi dan mereka yang kemudian berkembang
menjadi asma di kemudian hari dan telah mengelompokkan anak-anak tersebut menjadi
fenotipe yang berbeda. Variabilitas fenotipik ini hanya bagian dari puncak gunung es dalam
heterogenitas di antara penderita asma, seperti yang dapat dilihat dengan berbagai respons
terhadap terapi berbasis guideline. Meskipun heterogenitas ini menyebabkan beberapa
kesulitan dalam diagnosis dan pengelolaan asma pada anak-anak, hal ini juga memberikan
peluang yang unik untuk terapi asma yang ditargetkan. Di era biologi, terapi yang ditarget
mungkin menjadi semakin penting dan penting bagi penatalaksanaan.
Ulasan ini akan fokus pada (1) peluang potensial untuk pencegahan asma pada anak
(2) bukti yang mendukung terapi berbasis pedoman terbaru dengan penekanan pada
heterogenitas fenotipik, dan (3) terapi baru yang menjanjikan yang belum dimasukkan ke
dalam perawatan standar.
Pencegahan
Pencegahan adalah cawan suci dari setiap manajemen penyakit kronis, termasuk
untuk asma. Dengan alat-alat seperti Asma Predictive Index untuk memprediksi anak-anak
yang akan berkembang menjadi asma, pencegahan mungkin menjadi kemungkinan untuk
kemudian hari. Salah satu fenotipe yang telah ditargetkan untuk pencegahan adalah fenotip
alergi atopik. Terdapat hubungan yang kuat antara sensitisasi alergen dan asma, dan paparan
dini terhadap alergen pada anak-anak penderita atopik yang peka telah terbukti mengurangi
fungsi paru-paru. Intervensi profilaksis bertujuan untuk mengurangi paparan alergen dan
stimulasi toleransi. The Inner City Asthma Study menunjukkan bahwa mengurangi alergen
berupa kecoa dan tungau debu di rumah secara signifikan mengurangi gejala asma pada anak-
anak asma. Jacobsen et al menunjukkan bahwa terapi dengan menggunakan subcutaneous
allergen immunotherapy dapat mencegah berkembangnya asma pada anak-anak dengan atopik.
Percobaan-percobaan yang selanjutnya telah mendukung temuan ini, dan hasil serupa telah
diperoleh dengan menggunakan sublingual immunotherapy.
Terdapat juga hubungan yang kuat antara bronkiolitis RSV dan perkembangan asma.
Palivizumab, sebuah antibodi monoklonal anti-RSV, telah terbukti mengurangi mengi pada
bayi prematur, yang mengesankan bahwa mungkin antibodi tersebut dapat mencegah
perkembangan asma pada bayi di populasi ini. Dampak palivizumab pada bayi cukup bulan
yang mengi masih harus dipastikan lebih lanjut.
Terakhir, mengingat semakin banyak bukti untuk peran flora usus dalam
pengembangan penyakit alergi dan atopik, probiotik telah menjadi perhatian dalam langkah
pencegahan tidak hanya untuk asma, tetapi juga penyakit alergi lainnya. Sayangnya, data yang
ada belum mendukung penggunaan probiotik dalam pencegahan asma sejauh ini. Berbagai
penelitian telah membatasi jika ada hasil positif dan meta-analisis uji coba terbaru mengenai
suplementasi probiotik pada kehamilan dan bayi tidak menemukan bukti bahwa probiotik dapat
mencegah terjadinya asma. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa mungkin ada peran
probiotik dalam mencegah asma pada anak-anak yang punya riwayat atopik, meskipun
penelitian lebih lanjut diperlukan.

Kepatuhan Pengobatan
Setelah diagnosis asma ditegakkan, memastikan kepatuhan pengobatan menjadi
komponen dasar manajemen asma. Kepatuhan yang buruk menyebabkan peningkatan
morbiditas dan peningkatan regimen pengobatan yang tidak perlu. Pada anak-anak dengan
asma, ketidakpatuhan dengan inhaler adalah suatu masalah yang signifikan dalam semua
kategori keparahan penyakit, dengan beberapa penelitian mengutip tingkat kepatuhan di bawah
60% .
Alasan ketidakpatuhan banyak dan berbeda-beda, tergantung pada anak dan keluarga.
Biaya, kurangnya pengetahuan tentang asma, dan motivasi pasien telah dikutip dalam berbagai
penelitian sebagai hambatan yang paling kritis untuk kepatuhan. Dalam beberapa analisis,
edukasi kepada orang tua atau pengasuh tentang pentingnya pengobatan dan dampak pada
penyakit yang mendasari ditemukan menjadi faktor utama dalam meningkatkan kepatuhan
anak mengkonsumsi obat. Penyedia layanan kesehatan juga memainkan peran penting, karena
keterbatasan waktu kontrol, perubahan penyedia layanan kesehatan, dan hambatan untuk
menjadwalkan janji temu, semuanya telah terbukti memperburuk ketidakpatuhan pengobatan.
Penerapan terapi berdasarkan guidelines dan perkembangan terapi baru untuk penderita asma
refrakter yang dibahas di bawah ini hanya akan bermanfaat jika dokter merujuk pada kepatuhan
sebagai komponen utama manajemen asma.

Kortikosteroid Inhalasi

Berdasarkan beberapa penelitian besar, kortikosteroid inhalasi telah menjadi terapi


lini pertama dalam managemen asma dan yang lebih dipilih untuk semua derajat asma persisten
pada anak-anak. Sayangnya, meskipun meningkatkan kontrol asma, kortikosteroid inhalasi
belum terbukti mengubah progresi dari asma. Dalam RCT besar dari Grup CAMP, budesonide
tidak terbukti menjaga fungsi paru-paru bila dibandingkan dengan plasebo. PEAK trial
menunjukkan bahwa kortikosteroid inhalasi mengurangi episode mengi dan kebutuhan inhaler
tambahan pada anak-anak dengan modifikasi Asthma Predictive Index positif, tetapi efek ini
tidak bertahan jika kortikosteroid inhalasi dihentikan. Demikian pula, kortikosteroid inhalasi
belum terbukti mengubah progresi asma intermiten menjadi persisten pada bayi. Selain itu, ada
bukti yang menunjukkan bahwa anak dengan asma yang terkontrol dengan baik yang
menggunakan kortikosteroid inhalasi dan hasil spirometri normal akan terus memiliki kelainan
pada indeks pembersihan paru-paru, yang mengarah pada kelainan menetap tetap terjadi
meskipun tidak terdeteksi menggunakanstandard office measurement.
Menariknya, data yang lebih baru menunjukkan bahwa kortikosteroid inhalasi
mungkin memiliki manfaat lebih besar pada subpopulasi tertentu. Sejumlah penelitian telah
menunjukkan heterogenitas dalam respon terhadap kortikosteroid inhalasi. Sebagai contoh,
beberapa penelitian telah menunjukkan bahwa pengobatan dengan fluticasone propionate
memiliki manfaat terbesar pada anak-anak dengan gejala yang sering muncul, riwayat keluarga
asma, dan mereka yang memiliki Asthma Predictive Index positif. Studi lain menemukan hasil
yang lebih baik dengan kortikosteroid inhalasi pada Kaukasia, jenis kelamin pria, dan mereka
yang peka terhadap aeroallergen. Baru-baru ini, manfaat dari fluticasone propionate telah
dikaitkan dengan polimorfisme genetik CYP3A4 spesifik.
Selain itu, kortikosteroid inhalasi generasi baru dapat meningkatkan kontrol untuk
populasi asma secara keseluruhan. Kortikosteroid inhalasi generasi baru, ciclosenide dan
mometasone, memiliki ukuran partikel yang lebih kecil dan dengan demikian lebih baik
mencapai saluran nafas perifer pada dosis yang lebih rendah. Meskipun ada bukti yang
menunjukkan bahwa anak-anak yang menggunakan kortikosteroid inhalasi jangka panjang
mungkin memiliki peningkatan risiko untuk terjadi gangguan pertumbuhan, penelitian
mendukung bahwa sebagian besar anak-anak mencapai tinggi badan dewasa yang diprediksi
ketika diobati dengan dosis yang direkomendasikan. Namun demikian, penelitian
menunjukkan bahwa generasi baru kortikosteroid inhalasi memiliki profil efek samping yang
lebih kecil karena dosis harian yang lebih rendah. Pada 2013 Cochrane Review, bagaimanapun,
tidak menemukan perbedaan dalam kontrol gejala asma, eksaserbasi, atau efek samping antara
ciclosenide, budesonide, dan fluticasone. Namun, potensi manfaat tambahan dari agen-agen
yang lebih baru ini adalah bahwa siklosenida dan mometason efektif sebagai dosis sekali
sehari, dan dengan demikian dapat meningkatkan kepatuhan pengobatan.

Alternatif untuk Kortikosteroid inhalasi


Agen lain, termasuk kromolin dan leukotrien reseptor antagonist, juga menunjukkan
beberapa manfaat pada anak-anak tetapi sebagian besar belum digunakan seperti kortikosteroid
inhalasi sehingga tidak dianggap sebagai terapi lini pertama. Seperti kortikosteroid inhalasi,
mungkin ada beberapa variabilitas fenotipik dalam respon terhadap leukotrien receptor
antagonists. Bukti menunjukkan bahwa respons yang berbeda-beda terhadap kortikosteroid
inhalasi dan leukotrien antagonis reseptor paling besar pada anak-anak dengan fungsi paru-
paru yang lebih rendah, peradangan saluran napas alergi, dan peningkatan FeNO, dan anak-
anak dengan rasio leukotrien E4 urin yang lebih tinggi terhadap FeNO mungkin merespons
lebih baik terhadap antagonis reseptor leukotrien. Data agak tidak konsisten dan dengan
demikian biomarker ini belum membuatnya menjadi pedoman untuk praktik klinis.
Theophilin, suatu agen dengan sejarah panjang dalam manajemen asma, telah
terbukti lebih rendah daripada kortikosteroid inhalasi dan lebih rendah daripada montelukast
sebagai terapi tambahan. Satu percobaan kecil menunjukkan bahwa penambahan teofilin ke
kortikosteroid inhalasi mengakibatkan peningkatan aliran ekspirasi puncak, tetapi tidak
meningkatkan FEV1 atau reaktivitas bronkial. Mengingat kurangnya bukti pendukung yang
substansial, potensi toksisitas, dan kebutuhan untuk pemantauan yang sering, teofilin bukan
bagian dari terapi lini pertama untuk anak-anak dengan asma dan tidak dianjurkan untuk anak-
anak di bawah 5 tahun.

Terapi Step-Up
Jika kortikosteroid inhalasi tidak secara adekuat mengelola asma anak, guideline
menyarankan bahwa langkah selanjutnya dalam terapi adalah penambahan long-acting beta
agonist. Penambahan long-acting beta agonist terhadap kortikosteroid inhalasi telah terbukti
meningkatkan fungsi paru-paru pada sebagian besar anak-anak, tetapi banyak penelitian telah
menunjukkan adanya variabilitas yang signifikan dalam respon dan menghasilkan kontrol
asma. The Best Add-On Giving Effective Response (BADGER) menunjukkan bahwa
penambahan long-acting beta agonist terhadap kortikosteroid inhalasi dosis rendah adalah yang
paling mungkin untuk mengurangi eksaserbasi, dan meningkatkan FEV1 dan jumlah hari
kontrol asma bila dibandingkan dengan kortikosteroid inhalasi dosis menengah atau
penambahan antagonis reseptor leukotrien, penelitian ini juga menunjukkan bahwa ada
variabilitas yang signifikan di antara anak-anak berkenaan dengan hasil ini. Sebanyak 26,7%
anak-anak dalam penelitian merespon lebih baik terhadap dosis menengah kortikosteroid
inhalasi dan 29,2% terhadap antagonis reseptor leutkotriene.
Dalam sebuah studi baru-baru ini analisis post-hoc dari studi BADGER, Rabinovitch
et al. mengidentifikasi variabel fenotipik yang akan membedakan populasi anak-anak ini. Para
penulis menemukan bahwa impuls oscillometry reactance area yang lebih tinggi, mengarah
pada obstruksi jalan napas perifer, dan berkaitan dengan respons yang lebih baik terhadap
penambahan long-acting beta agonist terhadap kortikosteroid inhalasi dosis rendah daripada
meningkatkan dosis inhalasi kortikosteroid atau menambahkan antagonis reseptor leukotrien.
Selain itu, mereka menemukan bahwa kadar leukotrien E4 yang lebih tinggi memperkirakan
respons yang lebih baik terhadap penambahan antagonis reseptor leukotrien. Jadi, seperti
halnya dengan kortikosteroid inhalasi dan antagonis reseptor leukotrien seperti yang telah
dibahas sebelumnya, ada kemungkinan bahwa variabilitas fenotipik dalam merespon long-
acting beta agonist. Penelitian lebih lanjut diperlukan untuk mendukung penggunaan
biomarker ini untuk membedakan fenotip asma dalam praktek klinis.

Penggunaan obat baru


Makrolide telah dipelajari secara luas pada penyakit paru kronis orang dewasa serta
anak-anak dengan fibrosis kistik, dan telah menunjukkan manfaat yang signifikan pada
beberapa pasien. Peningkatan yang diamati diperkirakan terkait dengan peran imunomodulator
makrolida dan mengakibatkan penurunan neutrophil pada saluran napas. Optimisme awal
seputar manfaat makrolide dalam pengelolaan asma refrakter menurun karena terdapat
penemuan bahwa banyak makrolida mengurangi pembersihan steroid. Baru-baru ini, beberapa
penelitian kecil menunjukkan bahwa penggunaan makrolide pada anak-anak dengan asma
dapat mengurangi hiper-responsif bronkial, neutrofil jalan napas, dan mempersingkat durasi
gejala. Ada juga beberapa bukti yang menunjukkan bahwa makrolida lebih bermanfaat pada
penderita asma dengan kolonisasi oleh Chlamydia pneumonia atau Mycoplasma pneumonia.
Beberapa berpendapat bahwa mengingat risiko makrolida yang relatif rendah, percobaan terapi
dalam asma refrakter termasuk masuk akal, meskipun rekomendasi ini belum menjadi bagian
dari pedoman AS untuk manajemen asma pediatrik. NHLBI AsthmaNet saat ini sedang
menyelidiki apakah azithromycin yang dimulai pada awal infeksi saluran pernapasan atas pada
anak usia prasekolah akan mengubah perkembangan penyakit saluran pernapasan bawah dan
eksaserbasi.
Vitamin D juga diketahui memiliki efek imunomodulator dan dapat berperan dalam
manajemen asma. Vitamin D secara in vitro untuk merangsang sel-sel T-regulator dan produksi
IL-10 sebagai respons terhadap steroid, yang kemudian menghambat sel TH2 spesifik-alergen.
Selanjutnya, sebuah studi dari Childhood Asthma Management Programme menemukan
bahwa anak-anak dengan defisiensi vitamin D lebih cenderung memiliki fungsi paru-paru yang
lebih buruk dan lebih sedikit responsnya terhadap kortikosteroid inhalasi. Dampak
suplementasi vitamin D pada keluaran asma masih harus ditentukan dan saat ini sedang
dievaluasi pada orang dewasa di NHLBI AsthmaNet (NCT01248065)

Era Biologis
Beberapa penderita asma tetap menunjukkan gejala yang berat meskipun telah
menerima terapi di atas, dan sebelum adanya pengembangan biologis, para pasien tersebut
sangat bergantung pada penggunaan steroid oral jangka panjang. Dengan semakin majunya
perkembangan biologis, kini ada harapan bagi penderita asma yang bergantung pada steroid
jangka panjang untuk dapat memiliki opsi terapi lain.
Selain itu, berkembangnya biologi juga memberikan peluang untuk dapat memilih
terapi secara selektif berdasarkan fenotip asma. Agen pertama yang direkomendasikan pada
guideline nasional adalah Omalizumab. Omalizumab adalah antibodi anti-IgE monoclonal
yang direkomendasikan pada guideline terbaru dari the National Asthma Education and
Prevention Program untuk anak usia 12 tahun ke atas dengan asma derajat sedang hingga berat.
Rekomendasi ini didukung dengan berkurangnya frekuensi eksaserbasi asma, kunjungan ke
IGD, rawat inap dan penggunaan obat darurat dan steroid pada anak dengan asma selama lebih
dari 10 tahun pengamatan mengenai efek omalizumab. Data mengenai keamanan dan
efektifitas penggunaan jangka panjang masih terbatas; beberapa studi terpanjang menunjukkan
bahwa omalizumab dapat ditoleransi setidaknya selama 3 tahun dengan peningkatan gejala dan
fungsi paru. Sebagai tambahan, data untuk anak usia di bawah 12 tahun juga masih terbatas.

Omalizumab telah diteliti lebih lanjut pada populasi pasien spesifik dan terdapat
manfaat yang signifikan pada beberapa fenotip asma, Uji RCT terhadap penggunaan
omalizumab pada anak-anak dengan berbagai derajat keparahan menunjukkan hasil yang
signifikan, yaitu pada pengurangan eksaserbasi dan gejala asma. Omalizumab memiliki
manfaat terbesar pada anak yang peka terhadap paparan debu tungau dan kecoa. Analisis post-
hoc yang dilakukan lebih lanjut mendukung teori bahwa terapi anti Ig-E memiliki manfaat
khusus terutama pada pasien dengan eksaserbasi musiman. Penelitian lain mengenai
penggunaan omalizumab pada fenotip lain yaitu yang dipicu oleh Th2, termasuk pada pasien
dengan rhinosinusitis kronis dan polip nasal juga menunjukkan hasil serupa. Mengingat
besarnya biaya omalizumab, banyak pendapat mengenai pentingnya mengidentifikasi populasi
yang akan memiliki manfaat secara signifikan dan dapat menggunakan obat secara selektif
pada kelompok tersebut. Secara tradisional, populasi yang diidentifikasi adalah kelompok
dengan kadar IgE tinggi dan derajat asma berat, meskipun penelitian baru sudah dimulai untuk
melihat dampak anti-IgE pada biomarker spesifik penderita asma dengan alergi yang mencakup
FeNO, eosinofilia dan periostin.

Saat ini omalizumab masih menjadi satu-satunya agen biologis yang diterima sebagai
terapi asma pada anak. Telah dilakukan sejumlah penelitian terhadap penggunaan agen biologis
lain dan didapatkan hasil yang baik pada orang dewasa. Hal ini tidak menutup kemungkinan
bahwa ke depannya, agen biologis ini dapat digunakan pada anak. Selain itu, kini masih
berlangsung uji klinis mengenai penggunaan agen biologis lain terdapat anak usia 12 tahun ke
atas yang menargetkan sel T atau sitokin sel T. Peran sel T pada asma telah banyak diketahui
dan dijelaskan secara rinci pada penelitian lain. Penelitian ini membahas beberapa agen
biologis terbaru, tetapi hanya sebagai ilustrasi dari banyak dan beragamnya agen biologis untuk
asma dan tidak dimaksudkan untuk menjadi daftar komprehensif bagi semua agen biologis
yang pernah dicoba sebagai terapi asma hingga saat ini.

Salah satu agen biologis lain yang diteliti adalah keliximab, yaitu antibodi monoklonal
terhadap reseptor CD4. Pada percobaan fase kedua, keliximab tampaknya meningkatkan aliran
ekspirasi puncak, tetapi mengakibatkan penurunan jumlah CD4. Beberapa agen biologis lain
yang menargetkan sitokin pada alergi dan asma yang dipicu oleh Th-2, termasuk IL-2, IL-5,
IL-4 dan IL-3 sedang diteliti. IL-2 mengarah pada aktivasi sel TH2, dimana telah diketahui
sejak lama apabila penderita asma simptomatik mengalami peningkatan reseptor IL-2.
Daclizumab, antibodi monoklonal terhadap reseptor IL-2, menunjukkan adanya peningkatan
fungsi paru pada orang dewasa dengan asma derajat sedang hingga berat yang menggunakan
kortikosteroid inhalasi. Belum ada penelitian mengenai manfaat daclizumab pada penderita
asma pada anak atau remaja.
IL-4 dan IL-3 terlibat langsung dalam degranulasi sel mast dan hipersekresi mukus
yang diperantarai IgE dan berperan dalam remodelling jalan nafas pada asma. Dupilumab,
antibodi monoklonal manusia terhadap IL-4 telah terbukti dapat mengurangi frekuensi
eksaserbasi asma dan meningkatkan fungsi paru pada orang dewasa dengan asma persisten
derajat sedang-berat dan meningkatkan eosinofil pada dahak. Belum ada penelitian mengenai
manfaat dupilumab pada anak atau remaja dengan asma. Pitrakinra, bentuk rekombinan IL-4
yang memblokir sinyal reseptor IL-4, mengurangi eksaserbasi asma dan gejalanya pada pasien
dengan polimorfisme reseptor IL-4 yang spesifik. Belum ada penelitian mengenai peran
pitrakinra pada anak atau remaja dengan asma. Lebrikizumab, antibodi monoklonal untuk IL-
13, terbukti meningkatkan fungsi paru pada orang dewasa, terutama mereka dengan
peningkatan serum periostin. Periostin merupakan protein matriseluler yang disekresikan oleh
sel epitel bronkial sebagai respon terhadap IL-13 dan menghasilkan remodelling jalan nafas.
Lebrikizumab saat ini sedang dipelajari pada anak usia 12-17 tahun, baik yang menggunakan
kortikosteroid inhalasi dan agen pengontrol kedua. Penelitian tersebut juga dilakukan pada
anak usia 12 tahun ke atas yang bergantung pada steroid dengan desain percobaan yang
berfokus pada perubahan biomarker. Tralokinumab, antibodi monoklonal lain untuk IL-13,
terbukti juga meningkatkan fungsi paru dan secara dramatis pada mereka yang memiliki kadar
eosinofil tinggi. Saat ini sedang dilakukan penelitian farmakokinetik pada anak usia 12-17
tahun.

Terdapat beberapa antibodi monoklonal baru yang menargetkan IL-5, yaitu sebuah
sitokin yang berikatan langsung dengan dahak yang mengandung eosinofil dan respon
berlebihan jalan nafas pada asma, Mepolizumab, antibodi monoklonal terhadap IL-5, telah
terbukti menunjukkan adanya pengurangan eksaserbasi dan meningkatkan angka kualitas
hidup pada penderita asma dengan eosinofilia di fase ketiga uji klinis. Namun banyak
penelitian memperlihatkan bahwa mepolizumab tidak memiliki dampak terhadap FeNO atau
FEV1. Masih banyak uji klinis mengenai mepolizumab yang sedang berlangsung untuk melihat
pengaturan dosis, efikasi, keamanan jangka panjang dan manfaatnya dibandingkan steroid pada
anak usia 12 tahun ke atas. Reslizumab, merupakan antibodi monoklonal lain terhadap IL-5
yang juga menunjukkan peningkatan kualitas hidup dan fungsi paru pada penderita asma.
Menariknya, manfaat terbesar didapat oleh penderita asma dan polip nasal. Efikasi dan
keamanan reslizumab pada anak usia 12 tahun ke atas sedang diselidiki pada beberapa uji
klinis.
Target Terapeutik Potensial
Selain sitokin yang disebutkan diatas, banyak sitokin lain yang disarankan sebagai
target dalam pengobatan asma (Table 1)

Penelitian pada tikus putih menunjukkan bahwa ada kemungkinan IL-9 mempunyai
peran dalan respon hiperresponsivitas jalan nafas, eosinofilia dan sekresi mukus. Medi-528,
antibodi monoklonal untuk IL-9 sedang dalam penelitian dan pada tahap kedua uji klinis
dengan beberapa kemungkinan. Sedang dikembangkan pula penelitian mengenai antibodi IL-
25 pada penderita asma dengan alergi, karena IL-25 berperan dalam aktivasi limfosit TH2 dan
pembentukan sifat pada penderita asma dengan alergi. IL-33 juga baru-baru ini diidentifikasi
sebagai target potensial, karena ditemukan dapat memicu perbaikan pada anak-anak penderita
asma yang resisten terhadap steroid. Studi praklinis telah menunjukkan bahwa IL-33 dapat
mencegah perkembangan asma karena alergi pada tikus. TNF- α selama ini diketahui memiliki
manfaat yang besar dalam berbagai penyakit radang kronis, kini diketahui juga mengatur jalan
nafas pada penderita asma derajat berat. Sayangnya, agen anti TNF, seperti infliximab dan
golimumab, belum memiliki manfaat yang cukup baik dalam mengatasi asma.

Tyrosine kinase inhibitors, yang telah menjadi standard dalam menangani berbagai
keganasan, kini juga diteliti kegunaannya pada penderita asma karena perannya dalam ekspresi
gen inflamasi. Studi pendahuluan mengenai masitinib, sebuah c-kit / PDGF reseptor tyrosine
kinase inhibitor, menunjukkan adanya kemungkinan dalam mengurangi gejala pada penderita
asma derajat berat yang tergantung pada steroid. Dibutuhkan penelitian lebih lanjut untuk
menentukan apakah manfaatnya melebihi potensi efek samping pengobatan.

Chemokines yang terlibat dalam penarikan sel inflamasi juga menjadi ketertarikan
tersendiri untuk diteliti sebagai target potensial dalam menangani asma. CCR3 dan eotaxin
terlibat dalam infiltrasi eosinofil di jalan nafas, level eosinofil pada dahak dan hubungannya
dengan keparahan asma. Saran untuk dilakukan penelitian untuk melihat peran CCR3 pada
remodeling otot polos di jalan nafas penderita asma. Terdapat beberapa penelitian terhadap
CCR3 dan eotaxin antagonis, dimana hasil uji klinis reseptor antagonis CCR3 pada orang
dewasa dengan asma derajat ringan – sedang menunggu untuk dipublikasikan. CCR4
diekspresikan secara berlebihan pada limfosit TH2 di penderita asma, sedangkan RS-1748,
antagonis dari CCR4, telah terbukti mengurangi peradangan saluran nafas pada hewan.
Antagonis CCR4 lain, AMG 761, saat ini sedang menjalani fase I uji klinis pada penderita
asma.

Masih terdapat penelitian terhadap target potensial lain seperti phospolipase A2, 5-
lipoxygenase, phosphodiesterase-4, thymic stromal lymphopoietin, OX40 ligand dan jaringan
kallikrein-1, dan target-target ini dibahas lebih lanjut pada penelitian lain secara lebih rinci.

Kesimpulan
Penanganan asma menjadi lebih spesifik pada tiap pasien, dengan bertambahnya
pengetahuan mengenai biologi dibalik progresi dan perkembangan asma. Manajeman asma di
masa mendatang akan melibatkan karakteristik fenotip dan mungkin pada karakteristik gen
pada kasus tertentu untuk menentukan terapi yang tepat. Hingga saat itu, terapi yang paling
tepat untuk kebanyakan anak penderita asma adalah untuk selalu mengikuti guideline terbaru,
serta edukasi pada pasien dan penyedia fasilitas kesehatan.

Anda mungkin juga menyukai