Kelompok 4:
Surogasi oleh pasangan sejenis lebih-lebih lagi keharamannya. Aktivitas seksual sesama jenis adalah
perbuatan haram. Dalilnya adalah ayat Alquran surah al-A’raaf ayat 80 dan 81
Surogasi haram hukumnya dalam Islam. Meski dilakukan oleh pasangan hetero yang terikat dalam
pernikahan sah. Alasannya, adanya pihak ketiga (pemilik rahim yang disewa) selain suami pemilik
sperma dan istri pemilik sel telur, sehingga ibu sebenarnya bagi si bayi mustahil diketahui. Dengan
kata lain, mustahil ditentukan siapa yang lebih berhak menjadi ibu si bayi, apakah istri pemilik sel telur
yang darinya tercipta janin dan terbawa seluruh sifat genetiknya, ataukah perempuan yang di dalam
rahimnya berlangsung seluruh proses perkembangan janin hingga menjadi sosok bayi yang sempurna
Masalah Etik
Praktik surogasi dapat menimblkan banyak masalah seperti kesulitan mengenai pembentukan filiasi dan
kewarganegaraan anak, masalah dapat timbul dalam situasi jika kesehatan atau kehidupan ibu pengganti
akan terancam selama kehamilan, jika ibu pengganti mengubah pikirannya dan infin menjaga anaknya.jika
anak itu lahir dengan cact dan orang tua pembawa benih tidak mau menerima kenyataan itu, atau jika
kecacatan terdeteksi selama kehamilan, dapatkah ibu pengganti bertanggung jawab menggugurkan?
Belum lagi masalah jika yang melakukan praktik surogasi adalah orang tua tunggal yang mengambil sperma
atau ovum dari donor. Masalah lain akan timbul jika pendonor tersebut meminta hak asuh atas anak
tersebut, lebih jauh lagi jika pendonor tersebut memiliki anak dari pasangannya yang lain dan anak
keturunan mereka menikah karena sebelumnya tidak diketahui keturunannya maka akan terjadi incest
(hubungan sadarah), secara genetika akan banyak menimbulkan masalah dengan kelainan-kelainan pada
keturunanya , dan masalah lain yang akan muncul di kemudian hari.
Surrogate Mother dalam Hukum Pidana
Berbagai pandangan dari para pakar hukum telah memberikan batasan terhadap hukum
pidana yang tujuannya tidak lain hanya semata-mata sebagai pedoman dan/atau standar
dalam menentukan perbuatan mana yang dapat dikenakan sanksi.
Simons menyatakan bahwa hukum pidana adalah semua tindakan keharusan (gebod) dan
larangan (verbod) yang dibuat oleh negara atau penguasa umum lainnya yang diancam dengan
derita khusus; yaitu pidana.
Sedangkan Moeljatno menyatakan bahwa hukum pidana bagian dari hukum yang mengadakan
dasar aturan untuk menentukan perbuatan-perbuatan mana yang tidak boleh dilakukan, yang
dilarang dengan disertai ancaman sanksi berupa suatu pidana tertentu, bagi barangsiapa
yang melanggar larangan tersebut, kapan dan dalam hal apa kepada mereka yang melanggar
larangan-larangan itu dapat dikenakan atau dijatuhi pidana sebagaimana yang telah
diancamkan, dan dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat dilaksanakan apabila ada
orang yang melanggar larangan tersebut.
Kedua pandangan tersebut di atas sangat relevan dalam menentukan apakah perbuatan
surrogate mother merupakan suatu delik yang dapat dikenakan sanksi pidana. Untuk
melihat korelasi tersebut perlu diketengahkan mengenai pengertian delik itu sendiri.
Dalam kaitan dengan surrogate mother rumusan delik yang menurut pandangan penulis
mempunyai relevansi yaitu pandangan yang dikemukakan Simons, di mana dikatakan
bahwa strafbaar feit ialah kelakuan yang diancam dengan pidana, yang bersifat
melawan hukum yang berhubungan dengan kesalahan dan dilakukan oleh orang yang
mampu bertanggungjawab. Berdasarkan rumusan tersebut, unsur-unsur dari delik
meliputi: (1) diancam dengan pidana oleh hukum; (2) bertentangan dengan hukum; (3)
dilakukan oleh orang yang bersalah; (4) orang itu dipandang mampu bertanggungjawab
atas perbuatannya.
Telaah Kasus
Tahun 2015, seorang pria berusia 51 tahun, berasal dari
California, namanya Chester Shannon Moore Jr. Sebenarnya dia
adalah seorang pria tak beristri (single), memiliki disabilitas tuli dan
bisu, bahkan sulit memahami bahasa isyarat. Tuan Chester sangat
ingin memiliki anak biologis. Setelah mendapatkan sel telur dari klinik
reproduksi yang menyediakannya, sel telur dan sperma itu kemudian
diproses menjadi embrio. Kini Tuan Chester membutuhkan ibu
pengganti, dan melalui peran broker, didapatkan seorang ibu pengganti
bernama Melissa Cook. Melissa Cook sudah beberapa kali menjadi ibu
pengganti dan kali ini dia akan dibayar sekitar 30 ribu US Dollar atau
sekitar 405 juta Rupiah.
Beberapa embrio kemudian ditanamkan ke dalam rahim Melissa Cook
dan akhirnya 3 embrio berhasil berkembang. Ketika Tuan Chester tahu bahwa
Melissa mengandung tiga bayi kembar, dia mendesak Melissa supaya
menggugurkan salah satunya, tetapi Melissa menolak dengan alasan dia
termasuk penentang aborsi. Ketiga embrio itu kemudian berhasil berkembang
dan akhirnya lahirlah 3 bayi mungil. Alih-alih menyerahkan ketiga bayi itu ke
Tuan Chester, Melissa membawa ketiga bayi itu ke Georgia, tempat asalnya
sendiri.
Melissa justru berusaha mempertahankan ketiga bayi itu sebagai
miliknya. Dia membawa perkara ke pengadilan, bahwa Tuan Chester Moore
sebenarnya tidak mampu membesarkan anak-anak tersebut. Bahwa selain bisu
dan tulis, keluarga Tuan Chester pun miskin, tidak memiliki penghasilan yang
cukup untuk memberi makan ketiga anak-anak itu. Apalagi orangtua biologis
Tuan Chester sudah sangat tua dan hidupnya tergantung pada pemeliharaan
anak-anak mereka.
Kaitannya Dengan Hukum DiIndonesia
Di Indonesia sendiri hal tersebut tidak diperbolehkan, sesuai dalam Pasal 127 ayat
(1) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (“UU Kesehatan”) diatur bahwa
upaya kehamilan di luar cara alamiah hanya dapat dilakukan oleh pasangan suami istri yang sah
dengan ketentuan: Hasil pembuahan sperma dan ovum dari suami istri yang bersangkutan
ditanamkan dalam rahim istri dari mana ovum berasal;dilakukan oleh tenaga kesehatan yang
mempunyai keahlian dan kewenangan untuk itu;pada fasilitas pelayanan kesehatan tertentu.
Jadi, yang diperbolehkan oleh hukum Indonesia adalah metode pembuahan sperma dan ovum
dari suami istri yang sah yang ditanamkan dalam rahim istri dari mana ovum berasal. Metode ini
dikenal dengan metode bayi tabung. Adapun metode atau upaya kehamilan di luar cara alamiah
selain yang diatur dalam Pasal 127 UU Kesehatan, termasuk ibu pengganti atau sewa
menyewa/penitipan rahim, secara hukum tidak dapat dilakukan di Indonesia.