Anda di halaman 1dari 31

BAB II

HADANAH MENURUT HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITITF

A. Hadanah Menurut Hukum Islam

1. Pengertian Hadanah

Di dalam Hukum Islam tidak ada aturan yang khusus mengatur

kekuasaan orang tua dalam perwalian terhadap anak. Namun ada istilah

khusus yang mengatur tentang pengasuhan anak yaitu dalam istilah fiqih,

biasa disebut dengan hadlanah.1 Hadhanah berasal dari kata “Hidhan” ‫حضن‬

yang berarti lambang. Seperti kata ‫ حضنة ا لطا ير بيضه‬Hadhanah atl-thaairu

baidhah‘ burung itu mengapit telur di bawah sayapnya’. Begitu pula

seorang perempuan (ibu) yang mengapit anaknya.

Abdul Rahman Ghazaly manjelaskan makna hadanah yakni

“meletakkan sesuatu dekat tulang rusuk atau di pangkuan”, karena ibu

waktu menyusukan anaknya meletakkan anak itu di pangkuannya, seakan-

akan ibu di saat itu melindungi dan memelihara anaknya, sehingga

“Hadhanah” dijadikan istilah yang maksudnya: “pendidikan dan

pemeliharaan anak sejak dari lahir sampai sanggup berdiri sendiri mengurus

dirinya yang dilakukan oleh kerabat anak itu”2

Para ulama’ fiqih mendefinisikan hadhanah, yaitu melakukan

pemeliharaan anak-anak yang masih kecil, baik laki-laki ataupun

perempuan, atau yang sudah besar tetapi belum mumayyiz, menyediakan

1
Wasman & Wardah Nuroniyah, (Hukum Perkawinan Islam di Indonesia), hal 246.
2
Abdul Rahman Ghazaly, “Fikih Munakahat”.(Jakarta: Kencana ), Tahun 2006, hal 175. Dan
selanjutnya disebut Abdul Rahman Ghazaly. “Fikih Munakahat”., hal.

21
sesuatu yang menjadikan kebaikannya, menjaganya dari sesuatu yang

menyakiti dan merusaknya, mendidik jasmani, rohani, dan akalnya agar

mampu berdiri sendiri menghadapi hidup dan memikul tanggung

jawabnya3.

Dengan demikian, mengasuh artinya memelihara dan mendidik.

Maksudnya adalah mendidik dan mengasuh anak-anak yang belum

mumayyiz atau belum dapat membedakan antara yang baik dan yang buruk,

belum pandai menggunakan pakaian dan bersuci dan sebagainya.Seorang

anak pada permulaan hidupnya sampai umur tertentu memerlukan orang

lain dalam kehidupannya, baik dalam pengaturan fisiknya, maupun dalam

pembentukan akhlaknya. Seseorang yang melakukan tugas hadanah sangat

berperan dalam hal tersebut.Oleh sebab itu masalah hadanah mendapat

perhatian khusus dalam ajaran Islam. Di atas pundak bapak dan ibunya

terletak kewajiban untuk melakukan tugas tersebut. Bilamana bapak dan

ibunya tidak dapat atau tidak layak untuk tugas itu disebabkan tidak

mencukupi syarat-syarat yang diperlukan menurut pandangan Islam, maka

hendaklah dicarikan pengasuh yang mencukupi syarat-syaratnya.

Untuk kepentingan seorang anak, sikap peduli dari kedua orangtua

terhadap masalah hadhanah memang sangat diperlukan. Jika tidak, maka

bisa mengakibatkan seorang anak tumbuh tidak terpelihara dan tidak terarah

seperti yang diharapkan. Maka yang paling diharapkan adalah keterpaduan

3
Aminuddin & Slamet Abidin, ”Fikih Munakahat 2”, (Bandung: Cv. Pustaka Setia), Tahun
1999, Hal 171. Dan selanjutnya disebut Aminuddin& Slamet Abidin, (Fikih Munakahat), hal .

22
kerjasama antara ayah dan ibu dalam melakukan tugas ini. Jalinan kerjasama

antara keduanya hanya akan bisa diwujudkan selama kedua orang tua itu

masih tetap dalm hubungan suami istri. Dalam suasana demikian, kendati

pun tugas hadhanah sesuai dengan tabiatnya akan lebih banyak dilakukan

oleh pihak ibu, namun peranan ayah tidak bisa diabaikan, baik dalam

memenuhi semua kebutuhan yang memperlancar tugas hadhanah, maupun

dalam menciptakan suasana damai dalam rumah tangga dimana anak diasuh

dan dibesarkan.

Harapan diatas tidak akan pernah tercapai, bilamana terjadi

perceraian antara ayah dan ibu si anak. Peristiwa perceraian, apapun

alasannya merupakan petaka bagi anak. Di saat itu anak tidak lagi dapt

merasakan kasih sayang sekaligus dari kedua orangtuanya. Padahal

merasakan kasih sayang sekaligus dari kedua orangtua merupakan unsur

penting bagi pertumbuhan mental seorang anak.Pecahnya rumah tangga

kedua orangtua, tidak jarang membawa kepada terlantarnya pengasuhan

anak.Itulah sebabnya perceraian sedapat mungkin harus dihindarkan. Dalam

sebuah hadist diingatkan, bahwa :

‫حدثنا كثير بن عا بد ثنا محمد بن خا لد عن معر ف بن و ا صل عن محر ب بن دينا‬


‫ أ بغض ا لحال ل ا لى‬: ‫ُر عن ا بن عمر أ ّن ر سو ل ا هلل صلى هللا عليه و سلم قا نل‬
)‫هللا الطالق (رواه ابوداودوالحا كم‬

Artinya : Dari Ibnu umar, sesungguhnya Rasulullah SAW Bersabda :


“perbuatan halal yang paling dimurkai Allah adalah Thalaq”
(HR. Abu Daud dan Hakim )4.

4
Abi Sunan Sulaiman, (Beirut : Dâr Ibnu Khazm, t.t), jilid II, hal 225.

23
2. Status Hukum dan Dasar Hadanah Akibat Perceraian

Para ulama menetapkan bahwa pemeliharaan anak itu hukumnya wajib,

sebagaimana wajib memeliharanya selama berada dalam ikatan

perkawinan.Adapun dasar hukum membiayai anak dan istri dalam firman

Allah pada surat al-baqarah (2) ayat 233:

             

             

              

            

              

  

Artinya : “Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun


penuh, Yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. dan
kewajiban ayah memberi Makan dan pakaian kepada Para ibu
dengan cara ma'ruf. seseorang tidak dibebani melainkan menurut
kadar kesanggupannya. janganlah seorang ibu menderita
kesengsaraan karena anaknya dan seorang ayah karena anaknya, dan
warispun berkewajiban demikian. apabila keduanya ingin menyapih
(sebelum dua tahun) dengan kerelaan keduanya dan
permusyawaratan, Maka tidak ada dosa atas keduanya. dan jika kamu
ingin anakmu disusukan olehorang lain, Maka tidak ada dosa bagimu
apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut.
bertakwalah kamu kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha
melihat apa yang kamu kerjakan. (QS. Al-Baqarah : 233)5

5
“Departement Agama RI”, (Al-Qur`an dan Terjemahannya), hal 57.

24
Begitu juga dalam al-qur’an yang lain yaitu: Surat at-tahrim ayat 06:

         

           



Artinya : Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu


dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu;
penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak
mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada
mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan. (QS. At-
Tahrim : 6)6

Kewajiban membiayai anak yang masih kecil bukan hanya berlaku selama

ayah dan ibu masih terkait dalam tali perkawinan saja, akan tetapi juga

berlanjut setelah terjadinya perceraian dalam perkawinan7. Nabi Muhammad

bersabda:

((‫من فرق بين والدة وولدهـا فرق هللا بي و و بين بته و م ا الاياا)) بخرجو ال رمذي و ابن ماجو‬

Artinya :“Barang siapa memisahkan antara seorang ibu dengan anaknya,


maka Allah akan memisahkan antara dia dan keaksih-kekasihnya
pada hari kiamat.”(HR. Tirmidzi dan Ibnu Majah)

Pemeliharaan atau pengasuhan anak itu berlaku antara dua unsur yang

menjadi rukun dalam hukumnya, yaitu orang tua yang mengasuh yang disebut

hadhin dan anak yang diasuh disebut mahdhun.Keduanya harus memenuhi

6
“Departement Agama RI”, (Al-Qur`an dan Terjemahannya), hal 951.
7
Syarifiddin, Amir, ”Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia Antara Fiqh Munakahat Dan
Undang-Undang Perkawinan”, (Jakarta: 2006), hal. 328. Dan selanjutnya disebut Syarifiddin
Amir, ( Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia Antara Fiqih Munakahat dan Undang-Undang
Perkawinan), hal.

25
syarat yang ditentukan untuk wajib dan sahnya tugas mengasuh itu.Dalam

masa ikatan perkawinan ibu dan ayah secara bersama berkewajban untuk

memelihara anak hasil dari perkawinan itu.Setelah terjadinya perceraian dan

keduanya harus berpisah, maka ibu atau ayah berkewajiban memelihara

anaknya secara sendiri-sendiiri8.

Ayah dan ibu yang akan bertindak sebagai pengasuh disyaratkan hal-

hal sebagai berikut:9

a. Sudah dewasa. Orang yang belum dewasa tidak akan mampu melakukan

tugas yang berat itu, oleh karenanya belum diketahui kewajiban dan

tindakan yang dilakukannya itu belum dinyatakan memenuhi persyaratan.

b. Berpikir sehat. Orang yang kurang akalnya seperti idiot tidak mampu

berbuat untuk dirinya sendiri dan dengan keadaanya itu tentu tidak akan

mampu berbuat untuk orang lain.

c. Beragama islam. Ini adalah pendapat yang dianut oleh jumhur ulama,

karena tugas pengasuhan itu termasuk tugas pendidikan yang akan

mengarahkan agama anak yang diasuh. Kalau diasuh oleh orang yang bukan

islam dikhawatirkan anak yang diasuh akan jauh dari agamanya.

d. Adil dalam arti menjalankan secara baik, dengan meninggalkan dosa besar

dan menjahui dosa kecil. Kebalikan dari adil dalam hal ini disebut fasiq

yaitu tidak konsisten dalam beragama. Orang yang komitmen agamanya

8
Amir Syarifudin, (Hukum Perkawinan Islam di Indonesia antara Fiqih Munakahat dan Undang-
Undang Perkawinan ), hal 328.
9
Amir Syarifudin, (Hukum Perkawinan Islam di Indonesia antara Fiqih Munakahat dan Udang-
Undang Perkawinan), hal 329.

26
rendah tidak dapat diharapkan untuk mengasuh dan memelihara anak yang

masih kecil.

Adapun syarat untuk anak yang akan diasuh (mahdhun) itu adalah:10

1. Ia masih berada dalam usia anak-anak dan belum dapat berdiri sendiri

dalam mengurus hidupnya sendiri.

2. Ia berada dalam keadaan tidak sempurna akalnya dan oleh karena itu

tidak dapat berbuat sendiri, meskipun telah dewasa, seperti orang

idiot. Orang yang telah dewasa dan sehat sempurna akalnya tidak

boleh berada di bawah pengasuhan siapapun.

3. Hadanah Menurut Pandangan Fuqaha

Para fuqaha’ sepakat bahwa hak pemeliharaan anak (hadhanah) ada pada

ibu selama ia belum bersuami lagi. Apabila ia telah bersuami lagi dan sudah

disetubuhi oleh suami yang baru maka gugurlah pemeliharaannya. 11 Sedangkan

para Imam Mazhab berbeda pendapat tentang suami istri yang bercerai, adapun

mereka mempunyai seorang anak atau lebih. Siapakah yang berhak memelihara

anaknya?12

Menurut pendapat Imam Hanafi dalam salah satu riwayatnya: Ibu lebih

berhak atas anaknya hingga anak itu besar dan dapat berdiri sendiri dalam

memenuhi keperluan sehari-hari seperti makan, minum, pakaian, beristinjak, dan

10
Amir Syarifudin, (Hukum perkawinan Islam di Indonesia Antara Fiqih Munakahat dan
Undang-Undang Perkawinan), hal 330.
11
Muhammad bin Abdurrahman, ”Fikih Empat Mazhab”. (Bandung: 2004), hal. 416., dan
selanjutnya disebut Muhammad bin Abdurahnan, ( Fiqih Empat Madzhab), hal.
12
Muhamad Jawad Mughniyah, “Fiqih Lima Madzhab”, (Jakarta : Lentera), Tahun 1996, hal
416., dan selanjutnya disebut Muhamad Jawad Mughniyah, (Fiqih Lima Madzhab), hal.

27
berwudhu. Setelah itu, bapaknya lebih berhak memeliharanya. Untuk anak

perempuan, ibu lebih berhak memeliharanya hingga ia dewasa, dan tidak diberi

pilihan.

Imam Miliki berkata: ibu lebih berhak memelihara anak perempuan

hingga ia menikah dengan orang laki-laki dan disetubuhinya. Untuk anak laki-

laki juga seperti itu, menurut pendapat Maliki yang masyhur, adalah hingga anak

itu dewasa.

Imam Syafi’i berkata: Ibu lebih berhak memeliharanya, baik anak itu

laki-laki maupun perempuan, hingga ia berusia tujuh tahun. Apabila anak

tersebut telah mencapai usia tujuh tahun maka anak tersebut diberi hak pilih

untuk ikut diantara ayah atau ibunya.

Imam Hambali dalam hal ini mempunyai dua riwayat: Pertama, ibu lebih

berhak atas anak laki-laki sampai ia berumur tujuh tahun. Setelah itu, ia boleh

memilih ikut bapaknya atau masih tetap bersama ibunya. Sedangkan untuk anak

perempuan, setelah ia berumur tujuh tahun, ia terus tetap bersama ibunya, tidak

boleh diberi pilihan. Kedua, seperti pendapatnya Imam Hanafi, yaitu ibu lebih

berhak atas anaknya hingga anak itu besar dan berdiri sendiri dalam memenuhi

keperluan sehari-hari sepeti makan, minum, pakaian, beristinjak, dan

berwuduk.Setelah itu, bapak lebih berhak memeliharanya. Untuk anak

perempuan, ibu yang lebih berhak memeliharanya hingga ia dewasa dan tidak

diberi pilihan13.

13
Muhammad bin Abdurrahman, (Fiqih Empat Madzhab), hal 417.

28
Dari berbagai pemaparan di atas dapatlah penulis menarik kesimpulan

tentang makna hadanah, yaitu pemeliharaan atau pengasuhan, dalam arti lengkap

adalah pemeliharaan anak yang masih kecil setelah terjadinya putus

perkawinan.Atau melakukan pemeliharaan anak-anak yang masih kecil laki-laki

ataupun perempuan yan sudah besar tetapi belum tamyiz, tanpa perintah

kebaikannya menjaga dari suatu nyang menyakiti atau merusaknya, mendidik

jasmani rohani dan akalnya agar mampu berdiri sendiri menghadapi hidup dan

memikul tanggung jawabnya.Mengasuh anak-anaknya yang masih kecil

hukumnya wajib, sebab mengabaikannya berarti menghadapkan anak-anak yang

masih kecil kepada bahaya kebinasaan.Hal ini di bicarakan dalam fiqih karena

secara praktis antara suami dan istri telah terjadi perpisahan sedangkan anak-

anak memerlukan bantuan dari ayah dan ibunya. 14

4.Berhentinya Hadanah

Hadhanah berhenti (habis) bila anak kecil tersebut sudah tidak lagi

memerlukan pelayanan perempuan, telah dewasa, dan dapat berdiri sendiri, serta

telah mampu untuk mengurus sendiri kebutuhan pokoknya, seperti makan

sendiri, berpakaian sendiri, mandi sendiri.Dalam hal ini, tidak ada batasan

tertentu tentang waktu habisnya 15.

Fatwa pada mazhab Hanafi dan lain-lainnya, “Masa hadhanah berakhir

(habis) bilamana telah berumur tujuh tahun bagi laki-laki dan sebilan tahun kalau

ia perempuan”.Mereka menetapkan masa hadhanah perempuan lebih lama agar

14
Sayyid Sabiq, (Fiqih Sunnah), hal 160.
15
Sayyid Sabiq, ”Fikih Sunnah”,(Jakarta Pusat: Pena Pundi Aksara), Tahun 2004, hal., 246.
Dan selanjutnya disebut Sayyid Sabiq, (Fikih Sunnah), hal.

29
dia dapat menirukan kebiasaan-kebiasaan kewanitaannya dari hadhanah (ibu

pengsuhnya).

Mazhab Syafi’i berpendapat bahwa masa hadhanah itu berakhir setelah

anak itu mumayyiz, yakni berumur lima dan enam tahun16. Begitu juga beberapa

Imam Mazhad berpendapat tentang hal ini, yaitu: Imam Syafi’i dan ishak

mengatakan bahwa lama masa mengasuh adalah sampai 7 tahun atau 8 tahun.

Ulama-ulama Hanafiah dan Ats-Tsauri mengatakan bahwa ibu lebih berhak

mengasuh anak laki-laki sampai ia pandai makan sendiri, dan berpakaian sendiri.

Sedangkan anak perempuan sampai ia haid. Sesudah itu baru bapaknya yang

berhak dengan keduanya17.

1. Syarat Menjadi Pengasuh Hadanah

Terdapat berbagai pendapat mengikut mazhab dalam meletakkan syarat

kepada seorang penjaga (hadanah). Menurut mazhab Syafi’i, seseorang

pengasuh itu mestilah memenuhi syarat-syarat berikut:18

a. Islam. Seorang ibu yang kafir atau murtad tidak boleh dan tidak berhak

mengasuh kanak-kanak kecil.

b. Berakal. Orang gila tidak boleh menjadi pengasuh kecuali gilanya itu

terlalu sedikit, seperti sehari dalam masa setahun.

16
Abd Rahman Ghazaly, “Fikih Munakahat”, hal 186.
17
Aminuddin & Slamet Abidin, (Fiqih Munakahat 2), Hal .184.
18
Ibnu Mas`ud & Zainal Abidin S, “Fiqih Madzhab Syafi`i”, hal 418.

30
c. Beramanah. Orang perempuan yang mempunyai sifat khianat tidak berhak

menjadi penjaga atau pengasuh, kerana dia tidak akan menjaga kanak-kanak

itu dengan sebaik mungkin.

d. Baligh. Kanak-kanak kecil perlu kepada orang yang lebih dewasa, lebih-

lebih lagi untuk urusan muamalat.

e. Perempuan yang baik serta bermoral tinggi. Perempuan fasik, seperti

penzina, peminum arak, pencuri dan sebagainya tidak berhak menjadi

pengasuh.

f. Merdeka. Hamba tidak berhak menjadi pengasuh kepada kanak-kanak.

g. Tinggal bersama kanak-kanak yang diasuh.

h. Jika pengasuh itu ibunya sendiri, disyaratkan dia belum lagi berkahwin

dengan lelaki lain. Jika dia berkahwin dengan seseorang daripada mahram

kanak-kanak tersebut, hak pengasuhan itu tidak gugur jika bekas suaminya

rela.

i. Mempunyai tempat tinggal. Kanak-kanak tidak boleh diserahkan kepada

ibu atau pengasuh lain jika mereka tidak mempunyai tempat tinggal tetap,

sama ada milik sendiri atau rumah sewa.

j. Jika pengasuh kanak-kanak merupakan seorang wanita asing, disyaratkan

suaminya mestilah mempunyai pertalian saudara dengan kanak-kanak

berkenaan.

Menurut Mazhab Hanbali yang dikutip dalam Fiqih sunnah mengatakan

antara syarat-syarat penjaga adalah seperti berikut:

a. Islam.

31
b. Berakal yaitu tidak gila dan tidak ma’tuh.

c. Tidak fasik.

d. Penjaga bukan seorang hamba.

e. Tidak buta atau kurang penglihatan.

f. Tidak mengalami sakit sopak atau kusta. Hak penjagaan akan gugur

sekiranya penjaga mempunyai sakit sopak atau kusta.

g. Penjaga tidak menikah dengan lelaki lain yang tiada mempunyai hubungan

kekeluargaan dengan anak itu. Jika penjaga itu menikah dengan saudara

terdekat kepada anak tersebut, maka ibu kepada anak itu berhak

memeliharanya 19.

Tegasnya, sekiranya pengasuh menikah dengan lelaki lain, dia tidak

berhak untuk memelihara anak itu. Akan tetapi sekiranya dia berkahwin

dengan saudara terdekat anaknitu, maka dia berhak menjaganya. Menurut

pendapat Mazhab Hanafi yang dikutip dari buku hukum-hukum fiqih Islam

berpendapat bahawa syarat-syarat penjaga hadanah adalah apabila dia seorang

lelaki atau seorang perempuan adalah seperti berikut:20

1. Berakal. Penjaga yang gila tidak boleh menjadi penjaga walaupun dia

waras untuk sebentar saja.

2. Berkuasa untuk melakukan kerja. Orang yang sudah tua atau lanjut umur,

orang buta, bisu, pekak dan orang yang sentiasa sakit tidak boleh menjadi

penjaga.

19
Sayyid Sabiq, (Fiqih Sunnah), hal 241.
20
Tengku Muhamad Hasbi Ash Shidiqi, “Hukum-Hukum Fiqih Islam”, hal 264.

32
3. Sekiranya anak yang dipelihara itu perempuan, maka penjaganya mestilah

berkuasa mengawasi dan menjaga kanak-kanak itu daripada melakukan

sifat-sifat buruk khususnya perbuatan-perbuatan yang didorong oleh nafsu

dan syahwat. Jika penjaga tidak sanggup untuk menghalang dan mencegah

anak itu daripada melakukan sifat-sifat buruk yang disebutkan, maka lebih

baik penjaga mengundurkan diri.

4. Penjaga mestilah seorang yang amanah kepada agama, bukan peminum

arak atau penzina.

5. Penjaga mestilah seorang yang sihat daripada semua penyakit yang

berjangkit seperti sopak atau kusta.

6. Penjaga mestilah seorang yang cerdik dalam pengurusan harta dan bukan

seorang yang pembazir.

7. Jika penjaga itu wanita, maka disyartiatkan dia bukanlah seorang yang

sering didatangi lelaki asing, kecuali jika wanita berkahwin dengan mahram

anak itu. Jika penjaga sering didatangi oleh lelaki asing, maka haknya

sebagai penjaga akan gugur.

Di dalam mazhab Maliki, Islam telah mengatur untuk lelaki atau

perempuan tidak menjadi syarat dalam hak hadanah.21Jika pengasuh bukan

seorang Islam dan ditakuti dia memberikan anak-anak itu makanan yang haram

seperti daging babi, maka pengasuh itu hendaklah diawasi oleh orang Islam

bukan pengasuh itu dilarang untuk mengasuhnya. Jika pengasuhnya adalah

seorang lelaki, maka disyaratkan pengasuh itu hendaklah ada bersamanya

21
Muhamad Jawad Mughniyah, (Fiqih Lima Madzhab), hal 417.

33
seorang wanita yang turut sama mengasuh kanak-kanak itu seperti isterinya

atau amahnya (hambanya). Akan tetapi pengasuh itu hendaklah mahram yaitu

bukan lelaki yang boleh di nikahi oleh anak-anak tersebut.

2. Upah Hadanah

Upah hadhanah seperti upah menyusuhi, ibu tidak berhak atas upah

hadhanah selama ia masih menjadi istri dari ayah anak kecil itu, atau selama

masih dalam masa iddah. Karena dalam keadaan tersebut, ia masih

mempunyai hak nafkah sebagai istri atau nafkah masa iddah.22 Allah SWT.

Berfirman: (al-baqarah:233)

            

             

             

            

           

       

Artinya :“Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun


penuh, Yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. dan
kewajiban ayah memberi Makan dan pakaian kepada Para ibu
dengan cara ma'ruf. seseorang tidak dibebani melainkan menurut
kadar kesanggupannya. janganlah seorang ibu menderita
kesengsaraan karena anaknya dan seorang ayah karena anaknya,
dan warispun berkewajiban demikian. apabila keduanya ingin
menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan keduanya dan
permusyawaratan, Maka tidak ada dosa atas keduanya. dan jika

22
Aminuddin & Slamet Abidin, (Fiqih Munakahat 2), hal 181.

34
kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, Maka tidak ada dosa
bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut.
bertakwalah kamu kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha
melihat apa yang kamu kerjakan23”. (QS. Al-Baqarah : 233)
Maka ia berhak mendapatkan upah itu seperti haknya kepada upah

menyusui, apabila setelah habisnya masa iddah. Allah SWT. Berfirman: (at-

talak 06)

           

            

           

“Artinya :“tempatkanlah mereka (para isteri) di mana kamu bertempat


tinggal menurut kemampuanmu dan janganlah kamu menyusahkan
mereka untuk menyempitkan (hati) mereka. dan jika mereka (isteri-
isteri yang sudah ditalaq) itu sedang hamil, Maka berikanlah
kepada mereka nafkahnya hingga mereka bersalin, kemudian jika
mereka menyusukan (anak-anak)mu untukmu Maka berikanlah
kepada mereka upahnya, dan musyawarahkanlah di antara kamu
(segala sesuatu) dengan baik; dan jika kamu menemui kesulitan
Maka perempuan lain boleh menyusukan (anak itu) untuknya”.(at-
talak : 6)24

3. Syarat-syarat Bagi yang Melakukan Hadhanah

Untuk kepentingan anakdan pemeliharannya diperlukan beberapa syarat


bagi yang melakukan hadhanah, sebagai berikut:25

a. Yang melakukan hadhanah hendaklah sudah balig berakal, tidak terganggu


ingatannya, sebab hadhanah itu merupakan pekerjaan yang penuh
tanggung jawab. Oleh karena itu, seorang ibu yang mendapat gangguan
jiwa atau gangguan ingatn tidal layak melakukan tugas hadhanah. Ahmad

23
“Departement Agama RI”, (Al-Qur`an dan Terjemahannya), hal 57.
24
“Departement Agama RI”, (Al-Qur`an dan Terjemahannya), hal 946.
25
Sayyid Sabiq, (Fiqih Sunnah), hal 166.

35
bin Hanbali menambahkan agar yang melakukan hadhanah tidak
mengidap penyakit menular.
b. Mempunyai kemampuan dan kemauan untuk memelihara dan
mendidikmahdun (anak yang diasuh), dan tidak terikat dengan suatu
pekerjaan yang bisa mengakibatkan tugas hadhanah menjadi terlantar.
c. Sesorang yang melakukan hadhanah hendaklah dapat dipercaya
memegang amanah, sehingga dengan itu dapat lebih menjamin
pemeliharaan anak. Orang yang rusak akhlaknya tidak dapt memberikan
contoh yang baik kepada anak yang diasuh, oleh karena itu tidak layak
melakukan tugas ini.
d. Seseorang melakukan yang hadhanah harus beragam Islam. Seorang non
muslim tidak berhak dan tidak boleh ditunuk sebagai pengasuh. Tugas
mengasuh termasuk didalamnya usaha mendidik anak menjadi muslim
yang baik, dalam hal ini menjadi kewajiban mutlak atas kedua orang tua.
Para ahli fiqh menjadikan ayat tersebut yang mana mengajarkan agar
memelihara diri dan keluarga dari siksa api neraka sebagai dasar
disyaratkannya seorang hadhin (orang yang mengasuh) beragama Islam.
Karena salah satu tujuan dari hadhanah adalah menjadikan anak seorang
muslim yang hakiki dan tujuan itu sulit tercapai apabila yang mengasuhnya
bukan seorang muslim.

B. Hadanah Menurut Hukum Positif

Pengadilan Agama (PA) adalah pengadilan tingkat pertama dalam

lingkungan pengadilan agama.hal itu menunjukan bahwa pengadilan agama

adalah salah satu unit penyelenggara Pengadilan Agama. Tugas pokoknya,

sebagaimana yang diatur dalam pasal 2 undang-undang no 14 tahun 1970

tentang ketentuan-ketentuan pokok kekuasaan kehakiman adalah menerima,

memeriksa, mengadili, memutuskan dan menyelesaikan perkara yang

diajukan kepadanya. Perkara-perkara yang yang menjadi wewenang

36
pengadilan agama adalah perkara-perkara tertentu antara orang-orang yang

beragama Islam demi tegaknya hukum dan keadilan.26Dalam bidang

perkawinan, waris, wasiat, hibah, wakaf, infak, shadaqah, dan ekonomi

syari`ah.277 tahun 1989 tentang peradilan Agama, instruksi presiden nomor 1

tahun 1991 tentang kompilasi Hukum Islam dan berbagai peraturan dan

keputusan negara lainnya.

Hukum perkawinan dalam Islam juga mempunyai kedudukan yang

amat penting, diketahui dari banyaknya ayat dalam al-qur`an maupun hadist

dan penjelasan detail nya. Hal ini disebabkan hukum perkawinan mengatur

tata cara kehidupan berkeluarga yang merupakan inti kehidupan masyarakat

sejalan dengan kedudukan manusia sebagai mahluk yang berkehormatan

melebihi mahluk-mahluk lainnya.28

Perkara-perkara dibidang perkawinan merupakan sengketa keluarga

yang memerlukan penangan secara khusus sesuai dengan amant Undang-

Undang perkawinan.Oleh karena itu, maka dalam undang-undang ini diatur

dalam secara khusus hal-hal yang berkenaan dengan sengketa perkawinan

tersebut dan sekaligus untuk meningkatkan pengaturan hukum acara

26
Anggota IKAPI, ”Pengadilan Islam di Indonesia”, (Bandung: Pustaka Bani Quraisy), Tahun
2004, hal.73. dan selanjutnya disebut Anggota IKAPI, (Pengadilan Islam Di Indonesia), hal.
27
Mardani, ”Hukum Acara Perdata Pengadilan Agama dan Mahkamah Syari`ah”, (Jakarta:
Sinar Grafika), Tahun 2009), hal 54. Dan selanjutnya disebut Mardani, (Hukum Acara Perdata
Pengadilan Agama Dan Mahkamah Syari`ah, hal.
28
Ahmad Azhar Basyir, “Hukum Perkawinan Islam”, (Yogyakarta: UII Press), Tahun 1999),
Cetakan ke 9, hal 1. Dan selanjutnya disebut Ahmad Azhar Basyir, (Hukum Perkawinan Islam), hal.

37
sengketa perkawinan yang sampai saat di undangkannya Undang-Undang ini

masih diatur dalam peraturan pemerintah nomor 9 tahun 1975.29

Undang-Undang perkawinan bertujuan antara lain melindungi kaum

perempuan pada umumnya dan pihak istri pada khususnya, namun dalam hal

gugatan perceraian yang diajukan oleh istri, peraturan pemerintah Nomor 9

tahun 1975 menentukan bahwa gugatan harus diajukan ke Pengadilan yang

daerah hukumnya meliputi tempat kediaman tergugat sesuai dengan prinsip

hukum secara perdata umum.30

1. Pemeliharaan Anak dan Tanggung Jawab Terhadap Anak Bila


Terjadi Perceraian.

Pemeliharaan Anak adalah pemenuhan berbagai aspek kebutuhan

primer dan sekundar bagi Anak.Pemeliharaan meliputi berbagai aspek,

yaitu pendidikan, biaya hidup, kasehatan, ketentraman, dan segala aspek

yang berkaitan dengan kebutuhannya. Dalam ajaran Islam diungkapkan

bahwa tanggung jawab ekonomi berada di pundak suami sebagai kepala

rumah tangga, dan tidak tertutup kemungkinan tanggung jawab itu beralih

kepada istri untuk membantu suaminya bila suaminya tidak mampu

melaksanakan kewajibannya. Oleh karena itu,amat penting mewujudkan

kerja sama dan saling membantu antara suami dan istri dalam memelihara

29
Amandeman Undang-Undang Peradilan Agama nomor 3 tahun 2006, (Jakarta: Sinar Grafika),
Tahun 2008, hal 77. Dan selanjutnya disebut Amandeman Undang-Undang Peradilan Agama
nomor 3 tahun 2006, hal.
30
Rahmat Hakim, Hukum Perkawinan Islam, (Bandung: Pustaka Setia), Tahun 2000, hal . 167-
168. Dan selanjutnya disebut Rahmat hakim, (Hukum Perkawinan Islam), hal.

38
Anak sampai dewasa. Hal dimaksud pada prinsipnya adalah tanggung

jawab suami istri pada Anak-Anaknya.KHI menjelaskan sebagai berikut31.

Pasal 98 KHI32 Kompilasi Hukum Islam menyatakan :

a) Batas usia anak yang mampu berdiri sendiri atau dewasa adalah 21

tahun, sepanjang anak tersebut tidak bercacat fisik maupun mental atau

belum pernah melangsungkan pernikahan.

b) Orang tuanya mewakili anak tersebut mengenai segala perbuatan

hukum di dalam dan di luar pengadilan.

c) Pengadilan agama dapat menunjuk salah satu seorang kerabat terdekat

yang mampu menunaikan kewajiban tersebut apabila kedua orang

tuanya meninggal.

Pasal 9833 tersebut memberikan isyarat bahwa kewjiban kedua orang

tua adalah mengantarkan Anak-anaknya, dengan cara mendidik,

membekali dengan ilmu pengetahuan untuk menjadi bekal mereka di hari

dewasanya. Secara khusus al-quran menganjurkan kepada ibu agar

menyusui anak-anaknya secara sempurna (sampai usia dua tahun).

Namun, Al-quran juga mengisyaratkan kepada ayah dan ibu supaya

melaksanakan kewjibannya berdasarkan kemampuannya, dan sama sekali

al-quran tidak menginginkan ayah dan ibu menderita karena anaknya.

31
Zainudin Ali, “Hukum Perdata Islam di Indonesia”, (Jakarta: Sinar Grafika), Tahun 2006,
cetakan-1, hal 64. Dan selanjutnya di sebut Zainudin Ali, (Hukum Perdata Islam Di Indonesia), hal.
32
Abdurrahman,”Kompilasi Hukum Islam di Indonesia”, (Jakarta: Cv Akademika Pressindo),
Tahun 2010, cetakan- 1, hal 137. Dan selanjutnya disebut Abdurrahman, (Kompilasi Hukum
Islam Di Indonesia), hal.
33
Subagyo, “Himpunan Peraturan Perundang-undangan yang berkaitan dengan Kompilasi
Hukum Islam serta pengertian dalam pembahasanya”., (Jakarta: Mahkamah Agung RI), Tahun
2011), hal 88. Dan selanjutnya disebut Subagyo, (Himpunan Peraturan Perundang-Undangan Yang
Berkaitan Dengan Kompilasi Hukum Islam Serta Pengertian Dan Pembahasannya), hal.

39
Apabila orang tua tidak mampu memikul tanggung jawab terhadap

anaknya, maka tanggung jawabnya dapa dialihkan kepada keluarganya

(surah al-baqarah (2) ayat 233). Selain itu, hak anak terhadap orang tuanya

adalah anak mendapatkan pendidikan, baik menulis maupun membaca,

pendidikan keterampilan, dan mendapatkan rezeki yang halal, hal ini

berdasarkan hadist Nabi Muhamad SAW34.

Berdasarkan hadits tersebut, dalam pasal 45, 46, dan 47 menyatakan

bahwa Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan

membuat garis hukum sebagai berikut35.

Pasal 45 Menyatakan :

1) Kedua orang tua wajib memlihara dan mendidik anak-anak mereka

sebaik-baiknya.

2) Kewajiban orang tua yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini berlaku

sampai anak itu kawin atau dapat berdiri sendiri, kewajiban man

berlaku terus meskipun perkawinan antara orang tua putus.

Pasal 46 Menyatakan :

1) Anak wajib menghormati orang tua dan menaati kehendak mereka

yang baik.

2) Jika anak lebih dewasa, ia wajib memelihara menurut

kemampuannya, oarng tua dan keluarga dakam garis lurus ke atas, bila

mereka itu memerlukan bentuannya.

34
“Hak seorang Anak kepada orang tuanya adalah mendapat pendidikan menulis, renang,
memanah dan mendapat rezeki yang halal. (Riwayat Baihaqi).
35
Zainudin Ali, ( Hukum Perdata Islam Di Indonesia), hal 65.

40
Pasal 47 Menyatakan :

1) Anak yang belum mencapai umur 18 (delapan belas tahun) atau belum

pernah melangsungkan perkawinan ada di bawah kekuasaan orang

tuanya selam mereka tidak dicabut kekuasaanya.

2) Orang tua mewakili anak tersebut mengenai perbuatan hukum di

dalam dan di luar pengadilan.

Selain kewajiban di atas, kewjiban lain yang menjadi

tanggung jawab orang tua, yaitu hak kebendaan. Pasal 106 KHI

mengungkapkan garis hukum sebagai berikut .

Pasal 106 KHI36(Kompilasi Hukum Islam ) menyatakan :

1. Orang tua berkewajiban merawat dan mengembangkan harta anak-

anaknya yang belum dewasa atau di bawah pengmpuan, dan tidak

diperbolehkan memindahkan atau menggadaikannya kecuali karena

keperluan yang mendesak jika kepentingan dan kemaslahatan sang

anak itu menghendaki atau suatu kenyataan yang tidak dapat

dihidarkan lagi.

2. Orang tua bertanggung jawab atas kerugian yang ditimbulkan karena

kesalahan dan kelalaian dari kewajiban tersebut pada ayat (1) 37.

Selain KHI38 tersebut, pasal 48 Undang-undang

perkawinan menjelaskan dan menegaskan bahwa orang tua tidak

diperbolehkan memindahkan hak atau menggadaikan barang-barang

36
Zainudin Ali, ( Hukum Perdata Islam Di Indonesia), hal 66.
37
Abdurrahman, (Kompilasi Hukum Islam Diindonesia), hal 138.
38
Subagyo, (Himpunan Peraturan Perundang-Undangan Yang Berkaitan Dengan Kompilasi
Hukum Islam Serta Pengertian Dan Pembahasannya), hal 90.

41
tetap yang dimiliki anaknya yang belum berumur 18 (delapan belas

tahun) atau belum melangsungkan perkawinan kecuali apabila ada

kepentingan anak itu menghendakinya.

Kalau seorang bayi disusukan oleh orang yang bukan

yang melahirkannya, maka perempuan yang menyusui bayi

ditanggung oleh ayah bayi itu. Hal ini di atur oleh pasal 104 KHI

sebagai berikut.

Pasal 104 KHI39(Kompilasi Hukum Islam ) menyatakan :

1. Semua penyusuan anak dipertanggung jawabkan kepada ayahnya.

Apabila ayahnya telah meninggal dunia, maka biaya penyusuan

dibebankan kepada orang yang berkewjiban member nafkah

kepada ayahnya atau walinya.

2. Penyusuan dilakukan untuk paling lama dua tahun dan dapat

dilakukan pemyapuhan dalam masa kurang dua tahun dengan

persetujuan ayah dan ibunya 40.

2. Tanggung Jawab Terhadap Anak Apabila Terjadi Perceraian.

Pada dasarnya orang tua bertanggung jawab atas pemeliharaan

anak-anaknya, baik orang tua dalam keadaan rukun maupun dalam

keadaan sudah bercerai.Pemeliharaan anak biasanya disebut hadanah

dalam kajian fiqih. Hadanah adalah pemeliharaan memelihara sesorang

anak yang belum mampu hidup mandiri yang meliputi pendidikan dan

39
Abdurrahman, (Kompilasi Hukum Islam Di Indonesia), hal 138.
40
Subagyo,(Himpunan Peraturan Perundang-Undangan yang Berkaitan Dengan Kompilasi
Hukum Islam Serta Pengertiannya Dan Pembahasannya), hal 89.

42
segala sesuatu yang diperlukannya baik dalam bentuk melaksanakan

maupun dalam bentuk menghindari sesuatu yang dapat merusaknya. Hal

ini dirumuskan garis hukumnya dalam pasal 41 Undang-undang

perkawinan sebagai berikut.41.

Pasal 41 UUmenyatakan :

Akibat putusnya perkawinan karena perceraian adalah:

1) Baik ibu atau ayah tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-

anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak bilamana ada

perselisihan mengenai penguasaan anak-anak pengadilan member

keputusannya;

2) Bapak yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan

pendidikan yang diperlukan anak itu, apabila bapak dalam kenyataan

tidak dapat memenuhi kewajiban tersebut, pengadilan dapat

menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut.

3) Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan

biaya penghidupan dan/atau menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas

istri.

Pasal 156 menyatakan :

1) Anak yang belum mumayizz berhak mendapatkan hadhanah dan

ibunya, kecuali bila ibunya telah meninggal dunia, maka kedudukannya

digantikan oleh :

41
Zainudin Ali, (Hukum Perdata Islam Di Indonesia), hal 67.

43
a. Wanita-wanita dalam garis lurus ke atas dari ibu;

b. Ayah;

c. Wanita-wanita dalam garis lurus ke atas dari ayah;

d. Saudara perempuan dari anak yang bersangkutan;

e. Wanita-wanita kerabat sedarah menurut garis samping dari ayah.

2) Anak yang sudah mumayyiz berhak memilih untuk mndapatkan

hadanah dari ayahnya atau ibunya;

3) Apabila pemegang hadanah ternyata tidak dapat menjamin

keselamatan jasmani dan rohani anak, meskipun biaya nafkah dan

hadanah telah dicukupi, maka atas permintaan kerabat yang

bersangkutan Pengadilan Agama dapat memindahkan hak hadanah

kepada kerabat lain yang mempunyai hak hadhanh pula;

4) Semua biaya hadhanah dan nafkah anak menjadi tanggung jawab

ayah menurut kemampuannya, sekurang-kurangnya sampai anak

tersebut dewasa dapat mengurus diri sendiri (21 tahun);

5) Bilamana terjadi perselisihan mengenai hadhanah dan nafkah anak,

Pengadilan Agama memberikan putusannya berdasarkan huruf

(a),(b), dan (d);

6) Pengadilan dapat pula dengan mengingat kemampuan ayahnya

menetapkan jumlah biaya untuk pemeliharaan dan pendidikan anak

yang tidak turut padanya 42.

42
Subagyo, (Himpunan Peraturan Perundang-Undangan yang Berkaitan Dengan Kompilasi
Hukum Islam Serta Pengertian Dan Pembahasannya), hal 102.

44
Garis hukum yang terkandung dalam pasal 41 Undang-undang

tersebut, tampak tidak membedakan antara tanggung jawab

pemeliharaan yang mengandung nilai materiil dengan tanggung jawab

pengasuhan anak yang mengandung nilai non materiil yang

mengandung nilai kasih saying. Undang-undang perkawinan

penekanannya berfokus pada nilai materiilnya, sedangkan pasal 105

kompilasi hukum Islam yang penekanannya meliputi kedua aspek

tersebut, yakni sebagai berikut.

Pasal 105 KHI.43(Kompilasi Hukum Islam Menyatakan) Dalam

hal terjadi perceraian:

1) Pemeliharaan anak yang belum mummayiz atau belum berumur 12

tahun adalah hak ibunya 44;

2) Pemeliharaan anak yang sudah mummayiz diserahkan kepada anak

untuk memilih antara ayah atau ibunya sebagai pemegang hak

pemeliharaanya;

3) Biaya pemeliharaan ditanggung oleh ayahnya;

Ketentuan KHI45 tersebut, tampak bahwa tanggung jawab seorang

ayah kepada anaknya tidak dapat gugur walaupun ia sudah bercerai

dengan istrinya atau ia sudah kawin lagi. Dapat juga dipahami ketika

43
Abdurrahman, ( Kompilasi Hukum Islam Di Indonesia), hal 138.
44
Suparno, “Himpunan Kaidah Hukum Putusan Perkara Dalam Buku Yurisprudensi Mahkamah
Agung RI tahun 1969-2004”, (Jakarta: Direktorat Hukum dan Peradilan Mahkamah agung RI),
Tahun 2005, hal 9. Dan selanjutnya di sebut Suparno, ( Himpunan Kaidah Hukum Putusan Perkara
Dalam Buku Yurespudensi Mahkamah Agung RI Tahun 1969-2004, hal.
45
Subagyo, (Jakarta: Mahkamah Agung RI), Tahun 2011, hal 89.

45
anak itu masih kecil (belum baligh) maka pemeliharaannya

merupakan hak ibu, namun biaya ditanggung oleh ayahnya.Selain

itu, anak yang belum mummayiz maka ibu mendapat prioritas utama

untuk mengasuh anaknya. Apabila anak sudah mummayiz maka

sang anak berhak memilih di antara ayah atau ibunya yang ia ikuti.

Tergantung dari anak dalam menentukan pilihannya.Lain halnya

bila orang tua lalai dalam melaksanakan tanggung jawab, baik dalam

merawat dan mengembangkan harta anaknya.Orang tua yang

demikian dapat dicabut atau dialihkan kekuasaanya bila ada alasan-

alasan yang menuntut pengalihan tersebut, hal ini berdasarkan pasal

49 Undang-undang Perkawinan yang berbunyi sebagai berikut.

1) Salah seorang atau kedua orang tua dapat dicabut kekuasaanya

terhadap sorang anak atau lebih untuk waktu yang tertentu atas

permintaan orang tua yang lain, keluarga anak dalam garis lurus

ke atas dan saudara kandung yang telah dewasa atau pejabat yang

berwenang, dengan keputusan pengadilan dalam hal-hal:

a. Ia sangat melalaikan kewjibannya terhadap anaknya

b. Ia berkelakuan buruk sekali

2) Meskipun orang tua dicabut kekuasaanya, mereka masih tetap

berkewajiban untuk member biaya pemeliharaan kepada anak

tersebut.

Kalau perceraian dilakukan olah pegawai negeri, orang

tua terikat dalam pelaksanaan tanggung jawab terhadap anaknya.

46
Hal ini diatur oleh pemerintah melalui surat edaran Kepala Badan

Administrasi Kepegawaian Negara (BAKN) nomor 08/SE/1983

pada poin 19 yang menyatakan46:Apabila perceraian terjadi atas

kehendak pegawai negeri sipil pria, maka ia wajib menyerahkan

sebagian gajinya untuk penghidupan bekas istrinya dan anak-

anaknya, dengan ketentuan sebagian berikut.

1. Apabila anak mengikuti bekas istri, maka pembagian gaji

ditetapkan sebagai berikut :

a. Sepertiga gaji untuk pegawai negeri sipil pria yang

bersangkutan;

b. Sepertiga untuk bekas istrinya;

c. Sepertiga gaji untuk anaknya yang diterimakan kepada

bekas istrinya.

2. Apabila perkawinan tidak menghasilkan anak, maka gaji

dibagi dua, yaitu setengah untuk pegawai negeri sipil pria yang

bersangkutan dan setengah untuk bekas istrinya.

3. Apabila anak mengikuti pegawai sipil pria yang bersangkutan

maka pembagian gaji ditetapkan sebagai berikut;

a. Sepertiga gaji untuk pegawai negeri sipil pria yang

bersangkutan;

b. Sepertiga gaji untuk bekas istrinya;

46
Zainudin Ali, (Hukum Perdata Islam Di Indonesia), hal 68.

47
c. Sepertiga gaji untuk anaknya yang diterimakan kepada

pegawai negeri sipil pria yang bersangkutan.

4. Apabila sebagian anak mengikuti pegawai negeri sipil yang

bersangkutan dan sebagian lagi mengikuti bekas istri, maka

1/3 (sepertiga) gaji yang menjadi hak anak itu dibagi menurut

jumlah anak. Umpamanya seorang pegawai negeri sipil

bercerai dengan istrinya, pada waktu perceraian terjadi mereka

mempunyai 3 (tiga) orang anak, yang seorang mengikuti

pegawai negeri sipil yang bersangkutan dan yang 2 orang

mengikuti bekas istri. Dalam hal yang demikian, maka bagian

gaji yang menjadi hak anak itu dibagi sebagai berikut:

a. 1/3 (sepertiga) dari 1/3 (sepertiga) gaji = 1/9 (sepersembilan)

gaji diterimakan kepada pegawai negeri sipil yang

bersangkutan;

b. 2/3 (dua pertiga) dari 1/3 (sepertiga gaji) = 2/9 (dua

persembilan) gaji yang diterimakan kepada bekas istrinya.

Ketentuan di atas tidak berlaku apabila perceraian

terjadi atas kehendak istri yang bersangkutan, kecuali istri

yang bersangkutan meminta cerai karena dimadu maka

sesudah perceraian terjadi bekas istri tersebut berhak atas

bagian gaji tersebut.Selain itu, apabila bekas istri yang

bersangkutan kawin lagi, pembayaran bagian gaji tersebut

dihentikan terhitung mulai bulan berikutnya bekas istri yang

48
dimaksud kawin lagi.Demikian juga, bekas istri yang

bersangkutan kawin lagi, sedangkan semua anak ikut kepada

bekas istri tersebut, maka 1/3 (sepertiga) gaji tetap menjadi hak

anak yang diterimakan kepada bekas istri yang

bersangkutan.Lain halnya, pada waktu perceraian sebagian

anak mengikuti pegawai negaeri sipil dan sebagian lagi

mengikuti bekas istri dan bekas istri kawin lagi dan anak tetap

mengikutinya, maka baian gaji yang menjadi hak anak itu tetap

diterimakan kepada bekas istri yang dimaksud.

Aturan yang di atas diberlakukan kepada pegawai

negeri sipil, muatan ketentuannya dapat juga diberlakukan

kepada suami istri yang bercerai bila mereka mempunyai anak.

Karena masa depan anak adalah tanggung jawab kedua orang

tuanya47.

3. Berhentinya Hadanah

Berakhirnya masa asuhan adalah pada waktu anak itu sudah bisa

ditanya kepada siapa dan akan terus ikut. Batas usia anak dalam

pengawasan orang tuanya adalah sampai usia anak 21 tahun selama belum

melakukan pernikahan (pasal 98 KHI). Kalau anak tersebut memilih

ibunya maka si ibu tetap berhak mengasuh anak itu, kalau anak itu memilih

ikut bapaknya maka hak mengasuh pindah pada bapak.

47
Zainudin Ali, (Hukum Perdata Islam Di Indonesia), hal 69.

49
Erat kaitannya mengenai hadhanah yang menjadi tugas para

pemegang kewajiban tersebut sebagai wali dari seorang anak yang dalam

asuhannya. Adapun perwalian anak menurut Kompilasi Hukum Islam

terdapat dalam pasal 107 poin 1 sampai 4 yang berbunyi : 48

1. Perwalian hanya terdapat anak yang belum mencapai umur 21 tahun

dan atau belum pernah melangsungkan perkawinan.

2. Perwalian meliputi perwalian terhadap diri dan harta kekayaannya.

3. Bila wali tidak mampu berbuat atau lalai melaksankan tugas

perwaliannya, maka pengadilan agama dapat menunjuk salah seorang

kerabat untuk bertindak sebagai wali atas permohonan kerabat tersebut.

4. Wali sedapat-dapatnya diambil dari keluarga anak tersebut atau orang

lain yang sudah dewasa, berpikiran sehat, adil, jujur, dan berkelakuan

baik, atau badan hukum.

48
Kompilasi Hukum Islam,( Surabaya: Kesindo Utama.) hal.

50
51

Anda mungkin juga menyukai