“Fiqih Munakahat, Kajian Fiqih Nikah Lengkap”, yang dikutip oleh Hadi Zulkarnain
pada Skripsi nya yang berjudul “Hak Asuh Anak Akibat Isteri Nusyuz”, bahwa anak-
anak yang berumur dibawah 3 (tiga) tahun, akan turut dengan ibu nya, sedangkan
apabila sudah lebih dari 3 (tiga) tahun anak-anak itu dapat mengikuti ketentuan-
ketentuan sesuai dengan cara menarik garis keturunan. Tentu nya keinginan dari
anak-anak itu juga harus diperhatikan, kepada siapa kehidupan mereka lebih
terjamin.1
kedua orang tua bersama, kecuali apabila perkawinan mereka terputus, dalam hal itu
ibu-lah yang berkuasa sampai si anak sudah ‘’mumayyiz’’, artinya: sudah mempunyai
dianggap mumayyiz pada usia kira-kira 7 (tujuh) tahun, kemudian si anak dapat
memilih sendiri siapa dari kedua orang tua itu yang ia ingin mengikuti nya.
Apabila dalam hal ini ibu nya sudah meninggal dunia, maka ia diganti oleh ibu nya si
ibu, dan kalau ini juga sudah meninggal dunia, maka ia diganti oleh ibu nya lagi.
Baru apabila leluhur dalam garis keibuan ini tidak ada, maka bapak nya si anak
berkuasa melakukan hadhanah, dan kalau bapak juga sudah meninggal dunia maka ia
1
Tihami, 2010, “Fiqih Munakahat, Kajian Fiqih Nikah Lengkap”, Jakarta: Raja Grafindo
Persada, Hlm. 216.
diganti oleh ibu nya, kemudian oleh ibu dari ibu nya, kalau mereka ini pun sudah
meninggal dunia, maka hadhanah harus didahulukan oleh sanak-sanak saudara yang
Hadhanah yang dimaksud dalam diskursus ini adalah kewajiban orang tua untuk
mencakup masalah ekonomi, pendidikan dan segala sesuatu yang menjadi kebutuhan
pokok si anak.3
Pasal yang secara ekplisit mengatur masalah kewajiban pemeliharaan anak adalah
1. Pemeliharaan anak yang belum mumayyiz atau belum umur 12 tahun adalah
hak ibunya.
Pemeliharaan anak juga mengandung arti sebuah tanggung jawab orang tua untuk
dari seorang anak oleh orang tua. Selanjutnya, tanggung jawab pemeliharaan berupa
pengaasan dan pelayanan serta pencukupan nafkah anak tersebut bersifat kontinu
2
R. Wirjono Projodikoro, 1991, “Hukum Perkawinan Di Indonesia”, Sumur Bandung,
Cetakan ke-9.
3
Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: Rajawali Pers, 1998. hlm. 235
4
Departemen Agama RI, Kompilasi Hukum Islam, Direktorat Kelembagaan Agama Islam,
1997/ 1998, hlm. 84.
sampai anak tersebut mencapai batas umur yang legal sebagai orang dewasa yang
manusia yang mempunyai kemampuan dan dedikasi hidup yang dibekali dengan
kemampuan kecakapan sesuai dengan pembawaan bakat anak tersebut yang akan
Para ulama berbeda pendapat tentang siapa yang memiliki hak hadhanah, apabila
yang berhak itu hadhin atau mahdum (anak) sebagian pengikut mazhab Hanafi
berpendapat hadhanah itu hak anak, sedangkan menurut Syafi’i, Ahmad dan sebagian
pengikut madzhab Maliki berpendapat bahwa yang berhak terhadap hadhanah itu
adalah hadhin.6
masalah pemeliharaan anak adalah kemaslahatan dan kepentingan si anak. Namun kalau
dalam pelaksanaan itu, kemaslahatan anak tidak terjamin maka dalam hal tersebut agama
melarangnya.7
5
Amir Nuruddin, Hukum Perdata Islam di Indonesia, Jakarta: Kencana. 2004, hlm. 294
6
Muhammad Jawad Mughniyah, , Al-Fiqh Ala Al-Mazahib Al-khamzah, Fiqih lima Mazhab:
Ja’fari, Hanafi, Syafi’i, Hambali, Terj. Mansur A.B, et. Al, Jakarta: Lentera, Cet. Ke-lV, 1999, hlm.
415-416
7
Yurisprudensi adalah putusan hakim mengenai kasus tertentu (judge decision in a particular
case) dan putusan yang mengandung pertimbangan yang mendagar yang disebut rasio desidendi atau
basic reason, M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata, Jakarta: Sinar Grafika, 2010, hlm. 830
Dalam ushul fiqh dinyatakan, jika terdapat sesuatu sebagai sarana kepada yang
diharamkan (membawa kerusakan atau mafsadah), maka sarana tersebut harus ditutup
Berbeda halnya kalau pelaksanaan eksekusi tersebut menggunakan seni atau strategi
dalam mengambil anak, dengan cara seminggu sebelum pelaksanaan eksekusi, anak
tersebut disuruh diambil penggugat, atau dalam hal ini ibunya sendiri, walaupun secara
Namun disisi lain, apabila pelaksanaan itu membawa maslahat khususnya pada anak
yang masih dibawah umur, yakni dapat membuka sarana atau jalan menuju
kemaslahatan, atau kebaikan pada anak, maka dapat dikatakan dengan Fath al-Zari’ah.
Fatwa pada mazhab Hanafi dan lain-lainnya, “Masa hadhanah berakhir (habis)
bilamana telah berumur tujuh tahun bagi laki-laki dan sebilan tahun kalau ia
perempuan”. Mereka menetapkan masa hadhanah perempuan lebih lama agar dia
pengsuhnya).
Mazhab Syafi’i berpendapat bahwa masa hadhanah itu berakhir setelah anak itu
mumayyiz, yakni berumur 7 tahun. Begitu juga beberapa Imam Mazhad berpendapat
8
Wahbah Zuhaili, Usul Fiqih Islam, Damsiq: Dar al- Fikr, t.th. hlm. 873
tentang hal ini, yaitu: Imam Syafi’i dan ishak mengatakan bahwa lama masa
mengasuh adalah sampai 7 tahun atau 8 tahun. Ulama-ulama Hanafiah dan Ats-Tsauri
mengatakan bahwa ibu lebih berhak mengasuh anak laki-laki sampai ia pandai makan
sendiri, dan berpakaian sendiri. Sedangkan anak perempuan sampai ia haid. Sesudah
“Seseorang dianggap melakukan dosa, jika dia menyia-nyiakan orang yang orang
yang wajib dia nafkahi.” (HR. Ahmad 6842, dan dishahihkan Syuaib al-Arnauth).
َح َّتى َيْس َأَل الَّرُج َل َع ْن َأْهِل بيته، أحفظ َأْم َض َّيَع:ِإَّن هللا سائل كل راع عما استرعاه
Allah akan bertanya kepada setiap pemimpin tentang rakyatnya, apakah dia jaga
ataukah dia sia-siakan. Hingga seorang suami akan ditanya tentang keluarganya. (HR.
Ibnu Hibban 4493 dan dihasankan oleh al-Albani).
Referensi: https://konsultasisyariah.com/22041-meminta-nafkah-anak-kepada-
mantan-suami-setelah-bercerai.html
9
Aminuddin & Slamet Abidin, (Fiqih Munakahat 2), Hal .184.
Empat Imam mazhab memaparkan pendapatnya dalam kondisi jika ayah miskin.
kepada orang tua dan anak kandung. Imam Syafi’I mengatakan seoranng anak/ cucu
dibebani memberi nafkah kepada bapak atau kakeknya dan seterusnya ke atas (atau
ke bawah) (konsep ‘awlad ‘aba’ atau furu’ dan ‘uṣūl). Abu Ḥanifah mengatakan
Yang dimaksud Abu Ḥanifah kerabat dari ayah, seperti kakak ayah, adik ayah, bapak
ayah juga berkewajiban dalam membantu memberi nafkah kepada anak tersebut
walaupun sudah terjadi perceraian. Aḥmad ibn Ḥanbal mengatakan seorang individu
(kerabat) yang cukup dekat kekerabatannya dengan individu lain terkait warisan bagi
menjelaskan bahwa kewajiban nafkah juga dibebankan kepada kerabat dari ayah, jika
Masih banyak orang tua laki-laki (ayah) setelah perceraian tidak melaksanakan
kewajibannya menafkahi anaknya. Hal ini menjadi salah satu faktor ketidak
beruntungan anak dalam proses kehidupan dan perkembangannya baik dilihat dari
sisi rohani maupun jasmani berupa pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari dan
mengeluarkan dan menghabiskan, namun infak hanya dipakai untuk kebaikan secara
syariat. Nafkah menurut istilah fuqaha adalah beban yang dikeluarkan seseorang
terhadap orang yang wajib ia nafkahi berupa roti, lauk pauk, pakaian, tempat
jawabnya dengan cara yang baik, mencakup makanan, pakaian, dan tempat tinggal.11
Berdasarkan pada Kamus Besar Bahasa Indonesia, nafkah adalah pendapatan suami
yang wajib diberikan kepada istri.12 Menurut ulama mazhab Hanafi, nafkah adalah
mazhab Malik ibnu `Arafah al-Maliki berkata, Nafkah adalah sesuatu yang menjadi
Hubungan antara anak dan orang tuanya tidak akan pernah putus, sekalipun berpisah
karena perceraian kedua orang tuanya dan ibunya menikah lagi. Saat ini banyak
terjadi orang tua yang mengabaikan hal ini dengan berbagai alasan dan bentuknya,
tidak bertanggung jawab terhadap anak dengan tidak memberi nafkah kepada mereka.
Islam mewajibkan bapak memberi nafkah kepada anak-anak selama mereka masih
besar yang tidak patut bagi seorang muslim.14Tidak boleh ada yang mencampuri
nafkah seorang ayah terhadap anaknya, nafkah adalah sebuah tanggung jawab bagi
dirinya (ayah). Syariat telah mewajibkan seorang bapak memberikan nafkah kepada
Menurut tinjauan hukum Islam ketika terjadi perceraian antara kedua orang tuanya
maka hak nafkah anaknya tidak putus dan tetap menjadi tanggung jawab ayahnya
sekalipun mantan istrinya telah menikah lagi dan anaknya tinggal bersama ibunya.
Nafkah menjadi tanggung jawab seorang ayah untuk memenuhi kebutuhan dasar
merupakan perintah Allah swt .35 Menafkahi anak adalah kewajiban bagi ayah
Sayyid Quthb menafsirkan ayat ini bahwa sebagai timbal balik dari melaksanakan
kewajiban yang ditetapkan Allah terhadap ibu kepada anaknya itu, maka si ayah
kepada si ibu secara patut dan baik.16 Jadi, kedua-duanya mempunyai beban dan
tanggung jawab terhadap si kecil yang masih menyusu ini. Si ibu merawatnya dengan
menyusui dan memeliharanya, dan si ayah harus memberi makanan dan pakaian
14
Ali Yusuf As-Subki, Fikih Keluarga, (Jakarta: Amzah, 2010), 283
15
Abdul Majid Mahmud Mathlub, Panduan Hukum Keluarga Sakinah, trans. Fadlhy dan
Ahmad Khotib, (Surakarta, Era Intermedia, 2005), 617
16
Sayyid Quthb, Tafsir Fi Zhilalil Qur’an, jilid 1, (Jakarta: Gema Insani, 2005) 302
Menurut tinjauan hukum Islam, walaupun orang tuanya telah bercerai maka hak
nafkah atas anak tidak putus dan tetap menjadi tanggung jawab seorang ayah
meskipun ibunya telah menikah lagi karena anak tersebut tetap bernasab kepadanya
seorang ayah jika tidak memberi nafkah kepada anaknya, berarti telah melanggar
anaknya yang sudah dewasa, apabila dia miskin, walaupun tidak cacat fisik atau
mental, nafkah itu wajib juga diberikan kepada semua keluarga yang masih saling
mewarisi, begitu juga pendapat Imam Syafi’i keluarga yang wajib diberi nafkah
meliputi keluarga dari garis keturunan ke bawah (furu’), yaitu anak, cucu dan
seterusnya ke bawah dan keluarga dari garis keturunan ke atas yaitu ayah, ibu, kakek,
Menurut mazhab Maliki, nafkah hanya wajib bagi kedua orang tuanya dan anak-
anaknya yang merupakan keturunan langsung, dan tidak mencakup orang lain seperti
halnya cucu dan nenek. Nafkah anak perempuan yang telah besar tetap ditanggung
karena pernikahan. Jika kerabat dekat namun tidak mahram maka tidak wajib
dinafkahi. Nafkah adalah kewajiban seorang ayah kepada anaknya karena hubungan
dirinya juga berkewajiban untuk menanggung kebutuhan keluarga atau anak. Hal ini
karena pernikahan sah yang menyebabkan adanya hak anak terhadap ayahnya.
Ulama fikih juga sepakat menyatakan, bahwa anak-anak berhak menerima nafkah
a. Apabila ayah mampu memberikan nafkah untuk mereka, atau paling tidak
b. Anak itu tidak memiliki harta sendiri atau belum mampu mencari nafkah
sendiri.
c. Menurut madzhab Hambali, antara anak dan ayah tidak berbeda agama,
anaknya.20
Apabila ayah dalam keadaan fakir, tetapi mampu bekerja dan memang benar-
20
Ali Hasan, Pedoman Hidup Berumah Tangga Dalam Islam, Jakarta: Siraja, 2006, hal. 224
yang menjadi kewajiban ayah mereka itu, tetapi dapat diperhitungkan sebagai
hutang ayah yang dapat ditagih pada saat ayah sudah mampu.21
Menurut Udin Safala, dalam jurnalnya yang berjudul “Nafkah Anak Pasca
Perceraian menurut Abu Zahrah”, keharusan pemberian nafkah seorang kerabat pada
(al-nafaqah al-wajibah) yang berlaku bagi usul (orang tua) terhadap furu’
(anak) mereka.
seorang dari kedua orang tua yang menafkahi anak laki-laki serta anak
21
Tihami, Sohari Sahrani, 170.
22
Udin Safala, “Nafkah Anak Pasca Perceraian menurut Abu Zahrah”, Justitia Islamica, No. 2,
Vol. 12 (Juli-Desember, 2015), 274-276.
Zakaria Ahmad al-Barry menyebutkan syarat-syarat diwajibkannya memberi
kecuali dalam masalah nafkah ayah dan ibu yang telah diwajibkan kepada
5. Yang memberi nafkah dan yang diberi nafkah itu seagama, kecuali dalam
masalah nafkah ayah kepada anaknya dan anak kepada orang tuanya. Jadi
23
Zakaria Ahmad al-Barry, Hukum Anak-Anak dalam Islam, alih bahasa Chatijah Nasution,
(Jakarta: Bulan Bintang, 2004), 91.