Anda di halaman 1dari 8

MAKALAH

MAQASHID SYARIAH
"Corak pemikiran Maqashid syariah Imam Al Gazzali"

OLEH:

VIRGIAWAN LISTANTO NDEO


(193080001)
TAUFIK RIFAL HASBI
(193080003)

PERBANDINGAN MADZHAB

FAKULTAS SYARIAH

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI DATOKARAMA PALU


BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Sebelum kita mengetahui karunia Allah yang terkandung dalam perintah dan larangan-NYA,
mari kita menilik posisi manusia disbanding dengan mahkluk-mahkluk lainnya malaikat tercipta dari
cahaya, mereka tidak makan, tidak berketurunan, dan tidak berselisih. Dalam hidup mereka hanyalah
untuk beribadah, mereka tidak membutuhkan penjelasan mengenai hak wajib dan haram untuk
mereka. Disisi lain manusia adalah campuran antara roh dan jasad maka harus ada batasan-batasan
yang menjelaskan antara yang boleh dan yang tidak boleh di lakukan. Sejatinya manusia lebih mulia
dibanding dengan malaikat apabila dia mengetahui bagaimana meninvestasikannya dalam lingkup
pancaran hidayah religious. Manusia memiliki kemampuan spiritual yang tidak dimiliki makhluk
lainnya. Sehingga manusia memiliki tanggung jawab agama untuk membedakan mana yang benar dan
mana yang salah.
Manusia memiliki kewajiban untuk taat kepada Allah karena itulah Allah mengutus para
Rasul dan mengirimkan kitab agar bisa memberikan petunjuk kepada manusia. Kita tahu bahwa Allah
tidak lah membuat perundang-undangan atau syariat tanpa tujuan. Namun Allah mensyariatkan
peraturan islam dengan tujuan kemahslahatan dunia dan akhirat kembali kepada para hamba sehingg
kesejahteraan akan merata dan rasa aman akan mendominasi.
Kemaslahatan dunia dikategorikan menjadi dua baik yang pencapaian dengan cara menarik
kemanfaatan atau dengan cara menolak kemudharatan. Kemaslahatan ada dua yaitu:

1. Kemaslahatan dharuriyyah (inti/pokok); kemaslahatan maqashid syariah yang berada dalam


urutan paling atas.

2. Kemaslahatan ghairu dharuriyyah (bukan kemaslahatan pokok); namun kemaslahatan ini


tergolong penting dan tidak bias dipisahkan.

Dari dua kemaslahatan inilah kita akan membahas salah satunya yaitu Kemaslahatan
dharuriyyah (inti/pokok); kemaslahatan maqashid syariah yang berada dalam urutan paling atas.
Kemaslahatan yang menurut pemikiran Imam Al-Ghazali dibagi menjadi lima yaitu : menjaga
agama(hifdz ad din)menjaga jiwa (hifdz an-nafs), Menjaga akal (hifdz al- aql), menjaga keturunan
(hifdz an-nasl) dan harta benda (maal). Dari pemikiran Imam Al-Ghazali membuat kita harus berfikir
dan membahasa bagaimana pemikiran dari beliau

B. Rumus Masalah

1. Apa itu maqashid syariah?


2. Bagaimana pemikiran Imam Al-Ghazali tentang maqashid syariah?

C. Tujuan
Dari rumusan masalah diatas dapat diambil tujuan pembahasan makalah ini sebagai berikut:
1. Dapat memahami apa yang dimaksut dengan maqashid syariah
2. Mengetahui pemikiran Imam Al-Ghazali tentang Maqashid Syariah
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian dari Maqashid Syariah


Secara bahasa Maqashid Syari’ah terdiri dari dua kata yaitu Maqashid dan Syari’ah.
Maqashid berarti kesengajaan atau tujuan, Maqashid merupakan bentuk jama’ dari maqsud yang
berasal dari suku kata Qashada yang berarti menghendaki atau memaksudkan, Maqashid berarti hal-
hal yang dikehendaki dan dimaksudkan.[2] Sedangkan Syari’ah secara bahasa berarti ‫المواضع تحدر الي‬
‫ الماء‬artinya Jalan menuju sumber air, jalan menuju sumber air dapat juga diartikan berjalan menuju
sumber kehidupan.

Didalam Alqur’an Allah Swt menyebutkan beberapa kata Syari’ah diantaranya sebagai mana
yang terdapat dalam surat al-Jassiyah dan al-Syura:

َ‫َري َع ٍة ِمنَ اَأْل ْم ِر فَاتَّبِ ْعهَا َواَل تَتَّبِ ْع َأ ْه َوا َء الَّ ِذينَ اَل َي ْعلَ ُمون‬
ِ ‫ثُ َّم َج َع ْلنَاكَ َعلَ ٰى ش‬

Artinya: kemudian Kami jadikan kamu berada di atas suatu syariat (peraturan) dari urusan
(agama itu), Maka ikutilah syariat itu dan janganlah kamu ikuti hawa nafsu orang-orang yang
tidak mengetahui.( Q:S, 45 : 18)

‫ص ْينَا بِ ِه ِإ ْب َرا ِهي َم َو ُمو َس ٰى َو ِعي َس ٰى ۖ َأ ْن َأقِي ُموا ال ِّدينَ َواَل تَتَفَ َّرقُوا‬
َّ ‫ِّين َما َوص َّٰى بِ ِه نُوحًا َوالَّ ِذي َأوْ َح ْينَا ِإلَ ْيكَ َو َما َو‬
ِ ‫ش ََر َع لَ ُك ْم ِمنَ الد‬
‫فِي ِه‬

Artinya: Dia telah mensyari'atkan bagi kamu tentang agama apa yang telah diwasiatkan-Nya
kepada Nuh dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu dan apa yang telah Kami
wasiatkan kepada Ibrahim, Musa dan Isa Yaitu: Tegakkanlah agam dan janganlah kamu
berpecah belah tentangnya. (Q:S, 42: 13)

Dari dua ayat diatas bisa disimpulkan bahwa Syariat sama dengan Agama, namun dalam
perkembangan sekarang terjadi Reduksi muatan arti Syari’at. Aqidah misalnya, tidak masuk dalam
pengertian Syariat, Syeh Muhammad Syaltout misalnya sebagaimana yang dikutip oleh Asafri Jaya
Bakri dalam bukunya Konsep Maqashid Syari’ah menurut al-Syatibi mengatakan bahwa Syari’at
adalah: Aturan-aturan yang diciptakan oleh Allah SWT untuk dipedomani oleh manusia dalam
mengatur hubungan dengan tuhan, dengan manusia baik sesama Muslim maupun non Muslim, alam
dan seluruh kehidupan.

Selain itu Maqashid syariah adalah tujuan-tujuan syariat dan rahasia-rahasia yang
dimaksudkan oleh allah dalam setiap hukum dari keseluruan hukumnya. Inti dari tujuan syariah
adalah merealisasikan kemaslahatan bagi manusia dan menghilangkan kemudorotan, sedangkan
mabadi (pokok dasar) yakni memperhatikan nilai-nilai dasar islam. Seperti keadilan persamaan, dan
kemerdekaan.
B. Pemikiran Imam Al-Ghazali

Menurut Imam Al-Ghazali kemaslahatan inti atau pokok mencakup lima hal yang tertuang
dalam syair,

Ketahuilah hal itu telah dijaga


Oleh setiap agama yang sudah lalu
Menjaga lima perkara dalam semua syariat
Ialah agama, jiwa dan akal urutan ketiga
Juga keturunan dan harta
Maka kumpulkanlah dalam pendengaran

1. Menjaga agama ( hifdz ad-Din); illat (alasan) diwajibkannya berperang dan berjihat jika
ditunjukan untuk para musuh atau tujuan senada.
2. Menjaga jiwa ( hifdz an-Nafs); illat (alas an) diwajibkan hukum qishaash diantaranya dengan
menjaga kemuliaan dan kebebasannya
3. Menjaga akal ( hifdz al-aql); illat (alasan) diharamkan semua benda yang memabukan atau
narkotika dan sejenisnya.
4. Menjaga harta ( hifdz al-Mal); illat (alasan); pemotongan tangan untuk para pencuri, illat
diharamkannya riba dan suap menyuap, atau memakan harta orng lain dengan cara bathil
yang lain.
5. Menjaga keturunan ( hifdz an-Nasl); illat (alasan); diharamkannya zina dan menuduh orang
berbuat zina.

Maqashid syariah atau mashlahat dharuriyyah merupakan sesuatu yang penting demi
terwujudnya kemaslahatan agama dan dunia. Apabila hal tersebut tidak terwujud maka akan
menimbulkan kerusakan bahkan maqashid syariah atau mashlahat yaitu menjaga agama(hifdz ad
din)menjaga jiwa (hifdz an-nafs), Menjaga akal (hifdz al- aql), menjaga keturunan (hifdz an-nasl) dan
harta benda (maal)

Menurut imam al-ghazali” tujuan utama syariah adalah mendorong kesejahteraan manusia,
yang terletak dalam perlindungan terhadap agama mereka (diin), dari (nafs), akal, keturunan (nasl),
harta benda (maal) apa sak. Apa saja yang menjamin terlindungnya lima perkara ini berarti
melindungi kepentingan umum dan dikehendaki. Implikasi lima perkara ini dalam ilmu ekonomi akan
dikaji belakangan, hanya saja disini perlu disadari bahwa tujuan suatu masyarakat muslim adalam
untuk berjuang mencapai cita-cita ideal. Kata melindungi tidak perlu diartikan melindungi status quo,
tetapi mengandung arti perlunya mendorong pengayaan perkara-perkara ini secara terus menerus
sehingga keadaan makin mendekat kepada kondisi ideal dan membantu umat manusia meningkatkan
kesejahteraan secara kontinu. Banyak usaha dilakukan oleh sebagian fuqaha untuk menambahkan
lima perkara dan mengubah urutannya, namun usaha-usaha ini tampaknya tidak memuaskan para
fuqaha lainnya. Imam asy-syatibi menulis kira-kira tiga abad setelah imam al-gazali, menyetujui
daftar dan urutan imam ghazali yang menunjukkan bahwa gagasan itu dianggap sebagai yang paling
cocok dengan esensi syariah.

Dalam membahas masalah maqashid, pengayaan agama, diri akal, keturunan, dan harta
benda sebenarnya telah menjadi focus utama usaha semua manusia. Manusia itu sendiri menjadi
tujuan sekaligus alat. Tujuan dan alat dalam pandangan al-gazali dan juga para fuqaha lainnya, saling
berhubungan satu sama lain dan berada dalam satu proses perputaran sebab-akibat. Realisasi tujuan
memperkuat alat dan lebih jauh akan mengintensifkan realisasi tujuan.

Diri,akal, keturunan dan harta. Harta benda ditempatkan pada urutan terakhir. Hal ini tidak
disebabkan ia adalah perkara yang tidak penting, namun karena harta itu tidak dengan sendirinya
membantu mewujudkan kesejahteraan bagi semua orang dalam suatu pola yang adil kecuali jika
factor manusia itu sendiri telah direformasi untuk menjamin beroperasinya pasar secara fair. Jika harta
benda ditempatkan pada urutan pertama dan menjadi tujuan sendiri, akan menimbulkan ketidak adilan
yang kian buruk, ketidak seimbangan, dan akses-akses yang lain pada gilirannya akan mengurngi
kesejhteraan mayoritas generasi sekarang maupun yang akan datang. Oleh karena itu, keimanan dan
harta benda keduanya memang diperlukn bagi kehidupan manusia tetapi imanlah yang membantu
menyuktikan suatu disiplin dan makna dalam memperoleh penghidupan dan melakukan pembelajaran
sehingga memungkinkan harta itu memenuhi tujuannya seraca lebih efektif.

Selain itu maslahat menurut al-Ghâzalî adalah memelihara agama, jiwa, akal, keturunan dan
harta. Kelima macam maslahat di atas bagi al-Ghâzalî berada pada skala prioritas dan urutan yang
berbeda jika dilihat dari sisi tujuannya, yaitu peringkat primer, sekunder dan tersier. Dari keterangan
ini jelaslah bahwa teori maqâshid al-syarî‘ah sudah mulai tampak bentuknya. Pemikir dan ahli teori
hukum Islam berikutnya yang secara khusus membahas maqâshid al-syarî‘ah adalah Izz al-Dîn ibn
Abd. al-Salam dari kalangan Syâfî’iyah. Ia lebih banyak menekankan dan mengelaborasi konsep
maslahat secara hakiki dalam bentuk menolak mafsadat dan menarik manfaat.Menurutnya, maslahat
keduniaan tidak dapat dilepaskan dari tiga tingkat urutan skala prioritas, yaitu: dharûriyât, hâjiyat, dan
takmîlat atau tatimmat.Lebih jauh lagi ia menjelaskan, bahwa taklîfharus bermuara pada terwujudnya
maslahat manusia, baik di dunia maupun di akhirat. Pembahasan tentang maqâshid al-syarî‘ah secara
khusus, sistematis dan jelas dilakukan oleh al-Syâtibî dari kalangan Mâlikiyah.

Al-Gazali menyebutkan macam-macam maslahat dilihat dari segi dibenarkan dan tidaknya
oleh dalil syarak terbagi menjadi 3 macam, yaitu:
1. Maslahat yang dibenarkan oleh syarak, dapat dijadikan hujjah dan kesimpulannya kembali
kepada qiyas, yaitu mengambil hukum dari jiwa/semangat nas dan ijma’. Contoh:
menghukumi bahwa setiap minuman dan makanan yang mema-bukkan adalah haram
diqiyaskan kepada khamar.
2. Maslahat yang dibatalkan oleh syarak. Contoh: pendapat sebagian ulama kepada salah
seorang raja ketika melakukan hubungan suami istri di siang hari Ramadhan, hen-daklah
berpuasa dua bulan berturut-turut. Ketika pendapat itu disang-gah, mengapa ia tidak
memerintah-kan Raja itu untuk memerdekakan budak, padahal ia kaya, ulama itu berkata,
kalau raja itu saya suruh memerdekakan hamba sahaya, sangatlah mudah baginya, dan ia
dengan ringan akan memerdekakan hamba sahaya untuk memenuhi kebutuhan syahwatnya.
Oleh karena itu, maslahatnya, ia wajib berpuasa dua bulan berturut-turut, agar ia jera. Ini
adalah pendapat yang batal dan menyalahi nas dengan maslahat. Membuka pintu ini akan
merobah semua ketentuan-ketentuan hukum Islam dan nas-nasnya disebabkan perubahan
kondisi dan situasi.
3. Maslahat yang tidak dibenarkan dan tidak pula dibatalkan oleh syarak.

Ketiga hal tersebut di atas dijadi-kan landasan oleh imam al-Ghazali dalam membuat batasan
operasional maslalah-mursalah untuk dapat diterima sebagai dasar dalam penetapan hukum Islam:
1. Maslahat tersebut harus sejalan dengan tujuan penetapan hukum Islam yaitu memelihara
agama, jiwa, akal, harta dan keturunan atau kehormatan.
2. Maslahat tersebut tidak boleh ber-tentangan dengan al-Qur’an, al-Sunnah dan ijma’.
3. Maslahat tersebut menempati level daruriyah (primer) atau hajiyah (sekunder) yang setingkat
dengan daruriyah.
4. Kemaslahatannya harus berstatus qat’i atau zanny yang mendekati qat’i.
5. Dalam kasus-kasus tertentu diperlu-kan persyaratan, harus bersifat qat’iyah, daruriyah,dan
kulliyah.

Berdasarkan persyaratan operasi-onal yang dibuat oleh Imam al-Ghazali di atas terlihat bahwa
Imam al-Ghazali tidak memandang maslahah-mursalah sebagai dalil yang berdiri sendiri, terlepas dari
al-Qur’an, as-Sunnah dan ijma’. Imam al-Ghazali memandang maslahah-mursalah hanya sebagai
sebuah metode istinbath (menggali/ penemuan) hukum, bukan sebagai dalil atau sumber hukum
Islam.

Sedangkan ruang lingkup opera-sional maslahah-mursalah tidak di-sebutkan oleh Imam al-
Ghazali secara tegas, namun berdasarkan hasil peneli-tian yang dilakukan oleh Ahmad Munif Suratma
Putra terhadap contoh-contoh kasus maslahah mursalah yang di-kemukakan oleh Imam al-Ghazali
dalam buku-bukunya (al-Mankhul, Asas al-Qiyas, Shifa al-Galil, al-Mustafa) dapat disimpulkan
bahwa Imam al-Ghazali membatasi ruang lingkup operasional maslahah-mursalah yaitu hanya di
bidang muamalah saja.

Implementasi maslahah-mursalah tersebut, para ulama memakai istilah yang berbeda-beda,


bahkan Imam al-Ghazali memakai beberapa istilah untuk menyebut maslahah-mursalah, sehingga
berimplikasi kepada ketidak-sempurnaan pemahaman generasi beri-kutnya mengenai pendapat ulama
ter-dahulu tentang masalah ini.

Dalam kitab al-Mankul, Imam al-Ghazali menyebut maslahah-mursalah dengan istilah istidlal
sahih (bukan istidlal mursal), dalam kitab Asas al-Qiyas dia memakai istilah istislah, dan dalam kitab
Shifa al-Galil disebutnya dengan istilah munasib mula’im, sedangkan dalam kitab al-Mustasfa, Imam
al-Ghazali tetap menyebutnya dengan istilah maslahah-mursalah. Karena Imam al-Ghazali menyebut
maslahah-mursalah dengan beberapa istilah, maka ada pendapat yang mengatakan bahwa Imam al-
Ghazali tidak konsisten menjadikan maslahah-mursalah sebagai dasar dalam menetapkan hukum
Islam. Penggunaan terma yang berbeda-beda tersebut juga berimplikasi pada terjadinya distorsi
pemahaman pada generasi selanjutnya mengenai teori maslahah-mursalah.
BAB III
Penutup

KESIMPULAN

Maqashid syariah adalah tujuan-tujuan syariat dan rahasia-rahasia yang dimaksudkan oleh
allah dalam setiap hukum dari keseluruan hukumnya. Inti dari tujuan syariah adalah merealisasikan
kemaslahatan bagi manusia dan menghilangkan kemudorotan, sedangkan mabadi (pokok dasar) yakni
memperhatikan nilai-nilai dasar islam. Seperti keadilan persamaan, dan kemerdekaan.

Dalam pemikirannya Imam Al-Ghazali membagi maslahat menjadi lima yaitu


1. Menjaga agama ( hifdz ad-Din); illat (alasan) diwajibkannya berperang dan berjihat jika
ditunjukan untuk para musuh atau tujuan senada.
2. Menjaga jiwa ( hifdz an-Nafs); illat (alas an) diwajibkan hukum qishaash diantaranya dengan
menjaga kemuliaan dan kebebasannya
3. Menjaga akal ( hifdz al-aql); illat (alasan) diharamkan semua benda yang memabukan atau
narkotika dan sejenisnya.
4. Menjaga harta ( hifdz al-Mal); illat (alasan); pemotongan tangan untuk para pencuri, illat
diharamkannya riba dan suap menyuap, atau memakan harta orng lain dengan cara bathil
yang lain.
5. Menjaga keturunan ( hifdz an-Nasl); illat (alasan); diharamkannya zina dan menuduh orang
berbuat zina.

Daftar Pustaka
Ahmad Munif Suratmaputra, Filsafat Hukum Islam al-Ghazali: Maslahah Mursalah dan
Relevansinya dengan Pembaharuan Hukum Islam

Jauhar ,Ahmad Al-Mursi Husain. Maqashid Syariah, Jakarta:Amzah,2010.

Jaya, Asafri. Konsep Maqashid, h. 62.bisa dilihat: Mahmud Syaltout, Islam: ‘Aqidah wa
Syari’ah, Kairo: Dar al-Qalam,1966.

M.Umer Chapra. Masa Depan Ilmu Ekonomi Sebuah Tinjauan Islam.Tazkia Cendekia.
2001

Qorib, Ahmad. Ushul Fikih 2, Jakarta: PT. Nimas Multima, 1997, Cet, II.

Rahman, Fazlur. Islam, Alih Bahasa: Ahsin Muhammad, Bandung: Pustaka, 1994.

http://jurnaldiktum.blogspot.co.id/2015/01/v-behaviorurldefaultvmlo_97.html,di ambil
tanggal 5 oktober 2017 pukul 20.09 wib.

Anda mungkin juga menyukai