Anda di halaman 1dari 13

ETIKA BISNIS DALAM PERSPEKTIF ISLAM

PROGRAM STUDI EKONOMI SYARIAH

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM

SEBELAS APRIL SUMEDANG

TAHUN AKADEMIK 2019-2020


BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Perkembangan ekonomi Islam adalah wujud dari upaya


menerjemahkan Islam sebagai rahmatan lil ‘alamin, dimana Islam memiliki
nilai-nilai universal yang mampu masuk ke dalam setiap sendi kehidupan
manusia tidak hanya aspek spiritual semata namun turut pula masuk dalam
aspek duniawi termasuk di dalamnya dalam aktivitas ekonomi masyarakat.
Ekonomi Islam yang tengah berkembang saat ini baik tataran teori maupun
praktik merupakan wujud nyata dari upaya operasionalisasi Islam sebagai
rahmatan lil ‘alamin, dengan melalui proses panjang dan akan terus
berkembang sesuai dengan perkembangan jaman. Perkembangan teori
ekonomi Islam telah dimulai pada masa Rasulullah dengan turunnya ayat-
ayat Al-Qur’an yang berkenaan dengan ekonomi seperti QS Al-Baqarah ayat
275 dan 279 tentang jual beli dan riba; QS Al-Baqarah ayat 282 tentang
pencatatan transaksi muamalah; QS Al-Maidah ayat 1 tentang akad; QS Al-
A’raf ayat 31, An-Nisaa’ ayat 5 dan 10 tentang pengaturan pencarian,
penitipan dan pembelanjaan harta; serta masih banyak ayat lainnya yang
menjelaskan tentang berbagai aktivitas ekonomi masyarakat. Ayat-ayat di
atas ini memperlihatkan bahwa Islam pun telah menetapkan pokok aturan
mengenai ekonomi meskipun pada masih bersifat umum dan praktik
implementasi di lapangan akan saling berbeda antar generasi dan jaman.

Para pemikir muslim yang mendalami ekonomi Islam juga hingga kini
belum ada kesatuan pandangan dalam mengkonstruksi teori ekonomi Islam.
Terdapat perbedaan penafsiran, pendekatan, dan metodologi yang dibangun
dalam membentuk konsep ekonomi Islam. Hal ini karena adanya perbedaan
latar belakang pendidikan, keahlian, dan pengalaman yang dimiliki. Beberapa
definisi dan pengertian Ekonomi Islam telah dikemukakan oleh para pakar
yang mengembangkan keilmuan ini.
Maqashid al-Syari’ah menjelaskan pengertian yang terkandung dalam
istilah, yaitu tujuan-tujuan dan rahasia-rahasia yang diletakkan Allah dan
terkandung dalam setiap hukum untuk keperluan pemenuhan manfaat umat.
Atau tujuan dari Allah menurunkan syari’at,adalah untuk mewujudkan
kemashlahatan manusia di dunia dan akhirat

B. Rumusan Masalah

1. Apa yang dimaksud dengan etika bisnis dan maqashid Syariah?

2. Bagaimna prinsip bisnis dalam islam?

3. Bagaimna etika bisnis dalam perspektif maqashid Syariah?

C. Tujuan Masalah

1. Untuk mengetahui etika bisnis dan maqashid Syariah

2. Untuk mengetahui prinsip bisnis dalam islam

3. Untuk mengetahui etika bisnis dalam perspektif maqashid Syariah


BAB ll

PEMBAHASAN

A. Pengertian etika bisnis dan maqashid Syariah

1. Etika bisnis adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan cara


melakukan kegiatan bisnis yang mencakup seluruh aspek yang masih
berkaitan dengan personal, perusahaan ataupun masyarakat. atau bisa juga
diartikan pengetahuan tentang tata cara ideal dalam pengaturan dan
pengelolaan bisnis yang memperhatikan norma dan moralitas yang berlaku
secara universal secara ekonomi maupun sosial.

Dalam menerapkan etika dalam berbisnis kamu harus memperhatikan


norma dan moralitas yang berlaku di dalam masyarakat. Disamping itu etika
bisnis juga bisa diterapakan dan dimunculkan dalam perusahaan sendiri
karena memiliki keterkaitan dengan profesional bisnis. Perusahaan menyakini
prinsip bisnis yang baik adalah yang memperhatikan etika-etika yang berlaku,
seperti menaati hukum dan peraturan yang berlaku.

Sedangkan Menurut Velasques pengertian etika bisnis adalah


merupakan studi yang dikhususkan mengenai moral yang benar dan salah.
Studi ini berkonsentrasi pada standar moral sebagaimana diterapkan dalam
kebijakan, institusi, dan perilaku bisnis.

Etika bisnis merupakan cara untuk melakukan kegiatan bisnis, yang


mencakup seluruh aspek yang berkaitan dengan individu, perusahaan dan
juga masyarakat. Etika Bisnis dalam suatu perusahaan dapat membentuk
nilai, norma dan perilaku karyawan serta pimpinan dalam membangun
hubungan yang adil dan sehat dengan pelanggan/mitra kerja, pemegang
saham, masyarakat.
Etika Bisnis dapat menjadi standar dan pedoman bagi seluruh
karyawan termasuk manajemen dan menjadikannya sebagai pedoman untuk
melaksanakan pekerjaan sehari-hari dengan dilandasi moral yang luhur, jujur,
transparan dan sikap yang profesional.

2. Maqashid Syari’ah ditinjau dari lughawi (bahasa), maka terdiri dari dua
kata, yakni maqashid dan syari’ah. Maqashid adalah bentuk jama’ dari
maqashid yang berarti kesengajaan atau tujuan. Syari’ah secara bahasa berarti
‫ المواض<<ع تح<<در الى الم<<اء‬yang berarti jalan menuju sumber air. Jalan menuju
sumber air ini dapat juga dikatakan sebagai jalan kearah sumber pokok
kehidupan.Kaitan dengan maqashid syari’ah tersbut, al-Syatibi
mempergunakan kata yang berbeda-beda yaitu maqashid syari’ah, al-
maqashid al-syar’iyyah fi al-syari’ah, dan maqashid min syar’i al-hukm.
Walau dengan kata-kata yang berbeda, manurut Asafri Jaya Bakri
mengandung tujuan yang sama yakni tujuan hukum yang diturunkan oleh
Allah SWT.

Sebagaimana ungkapan al-Syatibi: “Sesungguhnya syari’at itu


bertujuan mewujudkan kemaslahatan manusia di dunia dan di akhirat” dan
“Hukum-hukum disyari’atkan untuk kemaslahatan hamba”.Dengan demikian,
memberikan pengertian bahwa kandungan maqashid syari’ah adalah
kemaslahatan umat manusia. Sedangkan menurut istilah, dikalangan ulama
ushul fiqh adalah makna dan tujuan yang dikehendaki syarak dalam
mensyariatkan suatu hukum bagi kemaslahatan umat manusia, disebut juga
dengan asrar asy-syari’ah yaitu rahasia-rahasia yang terdapat di balik hukum
yang ditetapkan oleh syarak, berupa kemaslahatan bagi umat manusia, baik di
dunia maupun di akhirat. Oleh karena itu, Asafri Jaya Bakri memandang
bahwa kandungan maqashid syari’ah adalah kemaslahatan. Kemaslahatan itu,
melalui maqashid syari’ah tidak hanya dilihat dalam arti teknis belaka, akan
tetapi dalam upaya dinamika dan pengembangan hukum dilihat sebagai
susuatu yang mengandung nilai filosofis dari hukum-hukum yang di
syari’atkan Tuhan terhadap manusia.
Di dalam Alqur’an Allah ta’ala menyebutkan beberapa kata “syari’ah”
diantaranya adalah:

َ َ‫ثُ َّم َج َع ْل ٰن‬


َ‫ك َعلَ ٰى َش ِري َع ۢ ٍة ِّمنَ ٱأْل َ ْم ِر فَٱتَّبِ ْعهَا َواَل تَتَّبِ ْع أَ ْه َوآ َء ٱلَّ ِذينَ اَل يَ ْعلَ ُمون‬

Kemudian Kami jadikan kamu berada di atas suatu syariat (peraturan) dari
urusan (agama itu), Maka ikutilah syariat itu dan janganlah kamu ikuti hawa
nafsu orang-orang yang tidak mengetahui. QS. Al-Jatsiyah: 18.

‫ص ْينَا بِ ِٓۦه إِ ْب ٰ َر ِهي َم َو ُمو َس ٰى َو ِعي َس ٰ ٓى ۖ أَ ْن‬ َ ‫ى أَوْ َح ْينَآ إِلَ ْي‬
َّ ‫ك َو َما َو‬ ٓ ‫َش َر َع لَ ُكم ِّمنَ ٱلدِّي ِن َما َوص َّٰى بِِۦه نُو ۭ ًحا َوٱلَّ ِذ‬
۟ ُ‫وا ٱل ِّدينَ َواَل تَتَفَ َّرق‬
‫وا فِي ِه‬ ۟ ‫أَقِي ُم‬

Dia telah mensyari'atkan bagi kamu tentang agama apa yang telah
diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu
dan apa yang telah Kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa dan Isa yaitu:
Tegakkanlah agama dan janganlah kamu berpecah belah tentangnya. QS.
Asy-Syuura: 13.

 Tujuan syariat dalam maqashid syariah dilihat dari 5 elemen ,yaitu:

a) memelihara agama (Hifzh Al-din)

Menjaga atau memelihara agama, berdasarkan kepentingannya, dapat dapat


dibedakan menjadi tga peringkat:

 peringkat dharuriyat

Yaitu: memelihara dan melaksanakan kewajiban keagamaan, yang


termasuk dalam peringkat primer, seperti melaksankan sholat lima
waktu, kalau sholat itu diabaikan maka akan terancam eksistensi agama.

 peringkat hajiyyat

Yaitu mewlaksanakan ketentuan agama, dengan maksud menghindari


kesulitan , seperti sholat jamak dan qashar bagi orang yang sedang
berpergian, jika ketentuan ini tidak dilaksanakan maka tidak mengancam
eksistensi agama namun hanya akan mempersulit bagi orang tersebut

 Peringkat tahsiniyyat

Yaitu mengikuti petunjuk agama guna menjunjung tinggi martabat


manusia. Misalnya menutup aurat, membersihkan badan dan lain-lain.

b) Menjaga Jiwa (Hifz Al Nafs)

Juga terbagi kedalam tiga bagian:

 tingkat dharuriyat

Seperti memenuhi kebutuhan pokok berupa makanan untuk


mempertahankan hidup. Jika ini diabaikan maka akan terancam hidup
manusia itu sendiri.

 Tingkat hajiyyat

Seperti diperbolehkan berburu binatang utuk menikmati makanan yag


lezat dan halal, tapi jia ini diabaikan maka tidak akan mengancam hidup
tetapi hanya mempersulit hidupnya.

 Tingkat tahsiniyyat

Seperti ditetapkanya tata cara makan dan minum. Jika ini tidak
terlaksana maka tidak akan mengancam eksistensi jiwa dan juga tidak
akan mempersulit kehidupan seseorang.

c) memelihara akal (Hifzh al-aql)

Dilihat dari segi kepentingannya maka dapat dibedakan menjadi tiga


pula yaitu:

a. tingkat dharuriyat
seperti diharamkan minuman keras. Jika ini tidak diindahkan
maka akan berakibat terancamnya eksistensi akal.

b. tingkat hajiyyat

seperti dianjurkan menuntut ilmu. Sekiranya hal itu tidak


dilakukan, maka tidak akan merusak akal, tetapi akan mempersulit
seseorang dalam kaitanya dengan pengembangan ilmu pengetahuan.

c. tingkat tahsiniyyat

menghidarkan diri dari mengkhayal ataumendengarkan


sesuatu yan tidak berfaidah. Hal ini erat kaitanya denganetika dan
tidak akan mengancameksisitensi akal secara langsung.

d) memelihara keturunan (Hifzh al-Nasl)

Ditinjau dari segi kebutuhannya dapat dibedakan menjadi tiga bagian


yakni:

a. tingkat dharuriyat

seperti disyariatkan nikah dan dilarang berzina. Kalau kegiatan ini


diabaikan maka eksistensi keturunan akan terancam.

b. tingkat hajiyyat

seperti ditetapkannya ketentuan menyebutkan mahar bagi suami


pada waktu akad nikah. Jika mahar itu tidak disebutkan pada waktu
akad nikah maka suami akan mengalami kesulitan, karena ia harus
membayar mahar misl.

c. tingkat tahsiniyyat
Seperti disyariatkan khitbah atau walimah dalam perkawinan. Jika
hal ini diabaikan maka tidak akan mengancam eksisitensi keturunan
dan tidak pula mempersulit orang yang melakukan perkawinan.

e) Memelihara Harta (Hifzh al-Mal)

Dilihat dari segi kepentingannya, maka dapat dibedakan menjadi tiga


macam yaitu:

a. tingkat dharuriyat

seperti syariat tentang cara pemilikan harta dan larangan


mengambil harta orang lain dengan cara yang tidak sah. Apabila
aturan ini dilanggar maka akibatnya akan terancam eksistensi harta.

b. tingkat hajiyyat

seperti jual beli dengan cara salam. jika ini tidak dipakai maka
hanya akan mempersulit orang yang memerlukan modal

c. tingkat tahsiniyyat

seperti ketentuan tentang menghindarkan diri daripengecohan


atau penipuan. Hal ini juga berpengaruh pada sah tidaknya jual beli
itu, sebab peringkat yang ketiga ini juga merupakan syarat adanya
peringkat kedua dan pertama.

B. Prinsip Bisnis Islam

1. Kesatuan (unity)

Kesatuan yang dimaksud terefleksikan pada konsep tauhid yang


memadukan keseluruhan aspek aspek kehidupan muslim baik dalam bidang
ekonomi, politik, sosial menjadi keseluruhan yang homogen, serta
mementingkan konsep konsistensi dan keteraturan yang menyeluruh. Dari
konsep ini maka islam menawarkan keterpaduan agama, ekonomi, dan sosial
demi membentuk kesatuan. Atas dasar pandangan ini pula maka etika dan
bisnis menjadi terpadu, vertikal maupun horisontal, membentuk suatu
persamaan yang sangat penting dalam sistem Islam (Naqvi, 1993: 50-51).

2. Keseimbangan (keadilan)

Dalam beraktivitas di dunia kerja dan bisnis, Islam mengharuskan


untuk berbuat adil, tak terkecuali pada pihak yang tidak disukai. Hal ini
sesuai dengan firman Allah dalam Surat Al-Maidah:8. Keseimbangan atau
keadilan menggambarkan dimensi horizontal ajaran Islam yang berhubungan
dengan keseluruhan harmoni pada alam semesta. Hukum dan tatanan yang
kita lihat pada alam semesta mencerminkan keseimbangan yang harmonis.
(Beekun, 1997: 23.) Dengan demikian keseimbangan, kebersamaan,
kemoderatan merupakan prinsip etis mendasar yang harus diterapkan dalam
aktivitas maupun entitas bisnis.

3. Kehendak Bebas

Kebebasan merupakan bagian penting dalam nilai etika bisnis islam,


tetapi kebebasan itu tidak merugikan kepentingan kolektif. Kepentingan
individu dibuka lebar. Tidak adanya batasan pendapatan bagi seseorang
mendorong manusia untuk aktif berkarya dan bekerja dengan segala potensi
yang dimilikinya. Sampai pada tingakat tertentu, manusia dianugerahi
kehendak bebas untuk memberi arahan dan membimbing kehidupannya
sendiri sebagai khalifah di mukabumi (QS. Al-Baqarah, 2:30). Berdasarkan
prinsip kehendak bebas ini, manusia mempunyai kebebasan untuk membuat
suatu perjanjian termasuk menepati janji atau mengingkarinya. Tentu saja
seorang muslim yang percaya kepada kehendak Allah akan memuliakan
semua janji yang dibuatnya. (Beekun,1997: 24).

4. Pertanggungjawaban

Kebebasan tanpa batas adalah suatu hal mustahil, lantaran tidak


menuntut tanggung jawab. Menurut Al-Ghozali, konsep adil meliputi hal
bukan hanya equilibrium tapi juga keadilan dan pemerataan. Untuk
memenuhi tuntutan keadilan dan kesatuan, manusia perlu mempertanggung
jawabkan tindakannya. Allah menekankan konsep tanggung jawab moral
tindakan manusia, (QS. 4:123-124).) Menurut Sayyid Qutub prinsip
pertanggungjawaban Islam adalah pertanggungjawaban yang seimbang dalam
segala bentuk dan ruang lingkupnya. Antara jiwa dan raga, antara person dan
keluarga, individu dan sosial antara suatu masyarakat dengan masyarakat
lainnya. (Beekun, 1997: 103)

5. Kebenaran: Kebajikan dan Kejujuran

Kebenaran dalam konteks ini selain mengandung makna kebenaran


lawan dari kesalahan, mengandung pula dua unsur yaitu kebajikan dan
kejujuran. Dalam konteks bisnis kebenaran dimaksudkan sebagia niat, sikap
dan perilaku benar yang meliputi proses akad (transaksi) proses mencari atau
memperoleh komoditas pengembangan maupun dalam proses upaya meraih
atau menetapkan keuntungan. Adapun kebajikan adalah sikap ihsan,yang
merupakan tindakan yang dapat memberi keuntungan terhadap orang lain
(Beekun, 1997: 28). Dalam al-Qur’an prinsip kebenaran yang mengandung
kebajikan dan kejujuran dapat diambil dari penegasan keharusan menunaikan
atau memenuhi perjanjian atau transaksi bisnis. Termasuk ke dalam kebajikan
dalam bisnis adalah sikap kesukarelaandan keramahtamahan. Kesukarelaan
dalam pengertian, sikap suka-rela antara kedua belah pihak yang melakukan
transaksi, kerja sama atau perjanjian bisnis. Hal ini ditekankan untuk
menciptakan dan menjaga keharmonisan hubungan serta cinta mencintai
antar mitra bisnis. Adapun kejujuran adalah sikap jujur dalam semua proses
bisnis yang dilakukan tanpa adanya penipuan sedikitpun. Sikap ini dalam
khazanah Islam dapat dimaknai dengan amanah. Dengan prinsip kebenaran
ini maka etika bisnis Islam sangat menjaga dan berlaku preventif terhadap
kemungkinan adanya kerugian salah satu pihak yang melakukan transaksi,
kerjasama atau perjanjian dalam bisnis. Dari sikap kebenaran, kebajikan dan
kejujuran demikian maka suatu bisnis secara otomatis akan melahirkan
persaudaraan, dan kemitraan yang saling menguntungkan, tanpa adanya
kerugian dan penyesalan.

C. Etika bisnis dalam perspektif maqashid Syariah

Etika bisnis merupakan aplikasi pemahaman kita tentang apa yang baik dan
benar untuk beragam institusi, teknologi, transaksi, aktivitas dan usaha yang kita
sebut bisnis. Etika dan Bisnis, mendeskripsikan etika bisnis secara umum dan
menjelaskan orientasi umum terhadap bisnis, dan mendeskripsikan beberapa
pendekatan khusus terhadap etika bisnis, yang secara bersama-sama
menyediakan dasar untuk menganalisis masalah-masalah etis dalam bisnis.

Dengan demikian, bisnis dalam islam memposisikan pengertian bisnis yang


pada hakikatnya merupakan usaha manusia untuk mencari keridhaan Allah swt.
Bisnis tidak bertujuan jangka pendek, individual dan semata-mata keuntungan
yang berdasarkan kalkulasi matematika, tetapi bertujuan jangka pendek
sekaligus jangka panjang, yaitu tanggung jawab pribadi dan sosial dihadap
masyarakat, Negara dan Allah swt.

Etika dalam bisnis Islam sangat menekankan tentang empat sifat sekaligus
yaitu kesatuan, keseimbangan, kebebasan, dan tanggung jawab menjadi bagian
yang tidak dapat terpisahkan yang sesuai dengan teori yang dikemukakan oleh
Syed Haider Naqvi. Islam menawarkan keterpaduan agama, ekonomi, dan sosial
demi membentuk kesatuan yang mengajurkan untuk berbuat adil dalam
berbisnis, dan melarang berbuat curang atau berlaku dzalim karena Al-Qur’an
memerintahkan kepada kaum muslimin untuk menimbang dan mengukur dengan
cara yang benar dan jangan sampai melakukan kecurangan dalam bentuk
pengurangan takaran dan timbangan. Tidak adanya batasan pendapatan bagi
seseorang mendorong manusia untuk aktif berkarya dan bekerja dengan segala
potensi yang dimilikinya namun tetap menetapkan batasan mengenai apa yang
bebas dilakukan oleh manusia dengan bertanggungjawab atas semua yang
dilakukannya. Prinsip otonomi, kejujuran, keadilan, saling menguntungkan dan
integritas moral sangat dijunjung tinggi dalam etika bisnis islam karena perilaku
tersebut merupakan beberapa prinsip muamalah sekaligus ibadah yang termasuk
dalam rukun islam. Perilaku-perilaku tersebut sangat berpengaruh pada
hubungan manusia dengan manusia lain ( Hablu min Annas ) dan hubungan
manusia dengan Tuhannya ( Hablu min Allah ). Konsep ini sesuai dengan apa
yang dikemukakan oleh Dr.Supawi Pawenang, SE,MM dalam teorinya.
Maqashid Al syariah pun membedakan kebutuhan manusia sesuai manfaat dan
kegunaannya yang terdiri dari kebutuhan primer ( Dzaruriyyat), sekunder
(Hajiyyat), dan tersier (Tahsiniyyat) sehingga dalam etika bisnis islam
merupakan bisnis yang bukan semata-mata mencari keuntungan namun bisnis
yang disesuaikan dengan kebutuhan manusia dan mutlak mencari ridho Allah.
Dan hubungan etika bisnis islam dengsn teori yang telah disebutkan sama-sama
bemanfaat untuk mencapai kemahaslatan umat (Rahmatan lil’ alamin).

DAFTAR PUSTAKA

https://hanaqyen12.wordpress.com/2013/05/12/etika-bisnis-ekonomi-islam/

http://sakirman87.blogspot.co.id/2012/11/maqasid-syariah-imam-asy-syatibi.html

http://repository.unib.ac.id/483/1/1-JUDUL%20ETIKA%20BISNIS%20DALAM
%20ISLAM.pdf

http://serbamakalah.blogspot.co.id/2013/05/etika-bisnis-dalam-ekonomi-
islam_2527.html

https://www.islampos.com/inilah-5-ketentuan-etika-bisnis-dalam-islam-109003/

Anda mungkin juga menyukai