Anda di halaman 1dari 12

AYAT AYAT TENTANG TAHARA DAN ADZAN

OLEH :

RAHMAT
NIM : 193080005

UNIVERSITAS DATOKARAMA
PALU TA 2021/2022
Kata Pengantar

Puji syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa. Atas rahmat dan hidayah-Nya, penulis dapat
menyelesaikan tugas makalah tentang ayat-ayat thara adzan.
Makalah disusun untuk memenuhi tugas Mata kuliah Tafsir ahkam perbandingan . Selain itu,
makalah ini bertujuan menambah wawasan bagi para pembaca dan juga bagi penulis.

Penulis menyadari makalah ini masih jauh dari sempurna. Oleh sebab itu, saran dan kritik yang
membangun diharapkan demi kesempurnaan makalah ini.

Pasang kayu 24, mei 2022.


BAB I
PEMBAHASAN

1. Pengertian Taharah

Taharah terbagi menjadi dua macam yaitu Taharah Bathiniyah dan Taharah Lahiriyah,
Taharah
 Thaharah Bathiniyah adalah menyucikan diri dari dampak – dampak dosa dan maksiat
dengan taubat yang sungguh – sungguh dari setiap dosa dan maksiat, juga menyucikan
hati dari noda-noda syirik, ragu, dengki, curang, sombong, bangga diri, riya’ dan sum’ah,
yaitu dengan keikhlasan, keyakinan, mencintai kebaikan, kelembutan, kejujuran, randah
hati dan mengharapkan Wajah Allah dengan segala niat dan amal shalih.

 Thaharah lahiriyah adalah bersuci dari kotoran dan hadast. Bersuci dari kotoran adalah
menghilangkan berbagai najis dengan air suci dari pakaian dan badan orang yang shalat,
serta tempat shalatnya. Bersuci dari hadast adalah dengan cara: Wuduh, mandi dan
tayamum

A Ayat Taharah

 Qs. Al-Maidah {6}


Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat,
Maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan
(basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki, dan jika kamu junub Maka mandilah,
dan jika kamu sakit[403] atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air
(kakus) atau menyentuh[404] perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, Maka
bertayammumlah dengan tanah yang baik (bersih); sapulah mukamu dan tanganmu
dengan tanah itu. Allah tidak hendak menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak
membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmat-Nya bagimu, supaya kamu
bersyukur.”

 Asbabun nuzul
Dalam suatu riwayat dikemukakan bahwa kalung Siti ‘Aisyah jatuh dan hilang di suatu
lapangan dekat kota Madinah. Rasulullah saw. memberhentikan untanya, lalu turun untuk
mencarinya. Kemudian beliau beristirahat hingga tertidur di pangkuan Siti ‘Aisyah. Tidak lama
kemudian datanglah Abu bakar menampar Siti ‘Aisyah sekerasnya seraya berkata “kamulah
yang menahan orang-orang karena sebuah kalung!” Nabi saw. terbangun dan tibalah waktu
subuh. Beliau mencari air tapi tidak mendapatkannya. Maka turunlah ayat ini (QS. Al-maidah:6).
Berkatalah Usaid bin Mudlair: “Allah telah memberi berkah kepada manusia dengan sebab
keluarga abu bakr.” Ayat tersebut mewajibkan berwudu’ atau bertayammum sebelum shalat .
(Diriwayatkan oleh al-Bukhari dari ‘amr bin al-Harits, dari Abdurrahman bin Qashim, dari
bapaknya, yang bersumber dari ‘Aisyah)

Dalam riwayat lain dikemukakan, setelah terjadi peristiwa hilangnya kalung ‘Aisyah yang
menimbulkan fitnah besar, pada sutu ketika, dalam suatu peperangan beserta Rasulullah saw.,
kalung ‘Aisyah jatuh lagi. Orang-orang pun terhalang pulang karena perlu mencari kalung yang
hilang itu. Berkatalah Abu bakr pada ‘Aisyah: “Wahai anakku, tiap-tiap perjalanan engkau selalu
menjadi bala dan menjengkelkan orang lain”. Maka Allah menurunkan ayat ini (QS. Al-
maidah:6) yang membolehkan tayammum. Abu bakar berkata: “sesungguhnya engkau membawa
berkah.”(Diriwayatkan ole hath-Thabarani dari Abdullah bin Zubair yang bersumber dari
‘Aisyah.)
 Makna Hukum
َّ ‫ِإ َذا قُ ْم ُت ْم ِإلَى‬ (apabila kamu hendak mengerjakan shalat……
Secara dzahir ayat ِ‫الص الَة‬
dst( menunjukkan bahwa wudhu’ wajib bagi setiap orang yang hendak mengerjakan shalat,
sekalipun ia tidak berhadats. Namun para ulama’ sepakat bahwa wudhu’ tidak wajib selain bagi
orang yang berhadats.

Dengan demikian restriksi atau pembatasan wajib wudhu’ bagi orang yang berhadats
dipandang tidak diungkapkan (tetapi sudah tercakup) dalam ayat tersebut, sehingga makna ayat
tersebut menjadi: “apabila kamu hendak mengerjakan shalat padahal kamu sedang berhadats,
maka…..dst. mereka menakwilkan ayat tersebut dengan makna yang demikian itu ialah karena
adanya ijma’, bahwasanya wudhu’ itu tidak wajib selain orang yang berhadats, dan karena di
dalam ayat tersebut terdapat petunjuk kepada makna yang demikian itu, yakni bahwasanya
tayammum adalah pengganti whudu’ dan menduduki kedudukannya. Di dalam ayat tesebut
kewajiban bertayammum dibatasi dengan adanya hadats. Karena itu yang menjadi pokok yaitu
wudhu’, harus dibatasi dengan adanya hadats, agar yang menjadi pengganti yaitu tayammum
dapat menduduki kedudukan yang pokok itu. Juga karena perintah berwudhu’ itu sejajar dengan
perintah mandi janabat, yang terikat dengan hadats besar, sebagaimana difirmankan Allah
‫اطَّهَّرُوا‬KKKَ‫ا ف‬KKKً‫ َوِإن ُكنتُ ْم ُجنُب‬ (dan jika kamu junub maka mandilah), maka perintah yang sejajar
dengan perintah mandi yaitu perintah berwudhu’ harus terikat dengan adanya hadats kecil.

Selanjutnya ayat ini menerangkan cara-cara bertayammum. Jika seseorang dalam


keadaan sakit dan tidak boleh memakai air, atau dalam keadaan musafir tidak menemukan air
untuk berwudhu’, maka wajib bertayammum dengan debu tanah. Caranya dengan meletakkan
kedua belah telapak tangan pada debu tanah yang bersih lalu disapukan ke muka, kemudian
meletakkan lagi kedua telapak tangan ke atas debu tanah bersih, lalu telapak tangan yang kiri
menyapu tangan kanan mulai dari belakang jari-jari tangan terus ke pergelangan sampai dengan
siku, dari siku turun ke pergelangan tangan lagi untuk menyempurnakan penyapuan yang belum
tersapu, sedang telapak tangan yang sebelah kanan yang berisi debu tanah jangan diganggu untuk
disapukan pula ke tangan sebelah kiri dengan cara yang sama seperti menyapu tangan kanan.
Demikian cara nabi bertayammum.

Kemudian akhir ayat ini menjelaskan bahwa perintah berwudhu’ dan tayamum bukanlah
untuk mempersulit kaum muslimin, tetapi untuk menuntun mereka mengetahui cara-cara bersuci,
dan untuk menyempurnakan nikmat-Nya, agar kaum muslimin menjadi umat yang bersyukur.
 Pendapat ulama’
Mengenai hukum mengusap kepala dan bagaimana ukurannya, para Fuqaha telah sepakat
untuk menetapkan, bahwa mengusap kepala adalah termasuk salah satu dari fardunya wudhu’,
berdasarkan firman allah ‫ُوس ُك ْم‬
ِ ‫وا ْم َس حُوا ِب ُرء‬...... (dan
َ usaplah kepalamu). Tetapi mereka berbeda
presepsi tentang ukuran mengusap itu. Dalam hal ini ada beberapa pendapat:

 Ulama’ Malikiyah dan Hanabila mengatakan, wajib mengusap seluruh kepala, karena
hati-hati (ihtiyath)
 Ulama’ Hanafiyyah berpendapat, wajib mengusap seperempat kepala saja, karena
mengikuti jejak Nabi saw. yang mengusap ubun-ubunya saja.
 Ulama’ Syafiyyah berpendapat, cukup mengusap sebagain kecil dari kepala, asalkan
sudah dikatakan “mengusap” walaupun hanya beberapa helai rambut saja, karena
berdasarkan keyakinan.

Madzhab maliki dan madzhab Hambali berhujjah dari hal wajibnya seluruh kepala diusap
dengan menerangkan bahwa partikel ‫ب‬ ِ  (dalam ‫وا ْم َسحُوا ِب ُرءُوسِ ُك ْم‬..... َ .) dapat merupakan kata yang
berfungsi (sebagai kata depan), akan tetapi dapat juga merupakan kata lebih jadi tidak berfungsi)
yang dicantumkan untuk memperkuat makana. Memandang partakel ‫ب‬ ِ di sini sebagai kata lebih
ُ
(tanpa fungsi) adalah lebih utama, sehingga kalimat ‫ َوا ْم َسحُوا بِ ُر ُءو ِسك ْم‬ (dan usaplah kepala).
Para ulama’ kedua madzhab itu menerangkan bahwasanya ayat yang membicarakan masalah
menyapu seluruh muka, dalam firmannya: ُ‫فَا ْم َسحُوا بِ ُوجُو ِه ُك ْم َوَأ ْي ِدي ُكم ِّم ْنه‬ (maka sapulah mukamu dan
tanganmu dengan tanah itu). Maka karena dalam tayamum diwajibkan menyapu seluruh muka,
demikian juga halnya dengan mengusap kepala dalam wudhu’, harus seluruh kepala diusap tidak
diperbolehkan mengusap hanya sebagaian kepala saja. Ketentuan ini diperkuat oleh perbuatan
Nabi saw. Bahwasanya telah itsbat, bahwa apabila mengambil wudhu’, mengusap seluruh
kepala.

Sedangakan madzhab Hanafi dan syafi’i berhujjah bahwa ‫ب‬ ِ  dalam ‫بِ ُر ُءو ِس ُك ْم‬ adalah kata
yang mempunyai arti “sebagian” ia bukan kata lebih, tanpa fungsi. Jadi: ‫حُوا‬KKKK‫َوا ْم َس‬
‫وس ُك ْم‬
ِ ‫بِ ُر ُء‬ maknanya ‫ ُكم‬K‫وس‬
ِ ‫ْض بِ ُر ُء‬
َ ‫ َوا ْم َسحُوا بَع‬ (dan usaplah sebagian kepalamu). Hanya dalam hal ini
madzhab Hanafi memperkirakan sebagian kepala itu dengan seperempat kepala berdasarkan
Hadits yang diriwayatkan Al-Mughirah bin Syu’bah bahwasanya Nabi saw. pada suatu hari
dalam perjalanan kemudian kalian pergi untuk kala hajat, setelah itu beliau kembali, lalu
mengambil wudhu’ dan mengusap ubun-ubunnya.

Ulama’-ulama’ madzhab Syafi’i mengatakan bahwa ‫ب‬


ِ  adalah kata yang mempunyai arti
“sebagian”. Maka seminimum-minimum perbuatan yang masih dapat disebut “mengusap” sudah
masuk dengan yakin dalam katagori “mengusap”. lebih dari pada itu tidak termasuk fardhu
(kewajiban), melainkan hanya sunnat belaka.

Imam Asy-Syafi’i berkata: “firman Allah swt. ‫ ُك ْم‬K ‫وس‬


ِ ‫حُوا بِ ُر ُء‬K ‫ َوا ْم َس‬ memberi kemungkinan
artinya: “mengusap sebagian kepala” dan “mengusap seluruh kepala”. Perbuatan Nabi saw.
Menunjukkan bahwa mengusap sebagian kepala diperbolehkan, yaitu bahwasanya Nabi saw.
Mengusap ubun-ubunnya.
Dibagian lain Imam Asy-Syafi’i berkata: “seandainya ada yang mengatakan bahwa Allah
swt. Dalam masalah tayamum berfirman: Apakah boleh menyapu sebagian muka saja dengan
tanah dalam tayamum itu?” maka jawabannya: “ menyapu muka dalam tayamum adalah
pengganti membasuh muka dalam wudhu’. Analogik atau sejalan dengan itu maka menyapu
muka dalam tayammum harus meliputi semua bagian muka yang dibasuh dalam wudhu’. Hal ini
berbeda dengan masalah mengusap kepala dalam wudhu’. Yang merupakan dasar (bukan
analogi). Inilah perbedaan antara keduanya.

Al-Qurtubi berkata: ulama’-ulama’ kita menanggapi hadits (yang meriwayatkan bahwa


Nabi saw. mengusap ubun-ubunnya) dengan mengatakan : “ Mungkin Nabi saw. berbuat
demikian itu karena suatu uzur, apa lagi perbuatan itu dilakuakn oleh Nabi saw. dalam
perjalanan, sedang perjalan itu adalah tempat memperoleh uzur dan kesempatan untuk bergesa-
gesa dan mempersingkat. Lagi pula, Nabi saw. tidak cukup dengan mengusap ubun-ubunnyasaja,
bahkan sampai mengusap serbannya juga. Sekiranya mengusap seluruh kepala itu tidak wajib,
maka nabi saw. tidak akan mengusap serbannya.

2 Definisi Adzan
Adzan adalah pemberitahuan mengenai telah tibanya waktu shalat dengan lafazh tertentu. Adzan
termasuk salah satu wajib kifayah (kewajiban yang jika di lakukan oleh sebagian orang, maka
hal itu di anggap cukup serta di hukum gugur dari yang lainya) bagi penduduk suatu kota dan
suatu kampung berdasarkan sabda Rasullah Saw yang artinya:” jika telah dating waktu shalat,
hendaklah salah satu dari kamu mengomandangkan adzan dan hendaklah orang paling tua di
antara kamu mengimani sholatmu (HR Bukhari Muslim)

B Ayat Tentang Adzan

 Al-Maidah: 58
Artinya: “Dan apabila kamu menyeru (mereka) untuk (mengerjakan) sembahyang, mereka
menjadikannya buah ejekan dan permainan. yang demikian itu adalah karena mereka benar-
benar kaum yang tidak mau mempergunakan akal.”
Ayat berikut diturunkan ketika orang-orang Yahudi menanyakan kepada Nabi saw. kepada
rasul mana sajakah ia beriman?. Jawannya “Kepada Allah, dan kepada apa-apa yang diturunkan
kepada kami….sampai akhir ayat”. Ketika Nabi saw. menyebut nama Isa, mereka berkata: “
Sepengetahuan kami tidak agama yang lebih buruk dari agamamu!” (kaum orang-orang Yahudi
benci kepada orang-orang Nasrani, pent).

 Makna Hukum
Ayat ini menjelaskan sebagian dari ejekan dan permainan orang-orang kafir tentang agama
Islam, yaitu apabila umat Islam mengajak mereka untuk untuk sholat maka orang-orang kafir itu
menjadikan ajakan itu bahan ejekan dan permainan sambil menertawakan mereka.
Menurut riwayat Ibnu jarir dari as-Suddi, ia menceritakan, bahwa ada seseorang laki-laki Nasrani
di Madinah, apabila ia mendengar seruan adzan Asyhadu anna Muhammad Rasulullah (saya
mengaku bahwa sesungguhnhya Muhammad adalah rasul Alah), ia berkata, Haraq al-
Kazzab (semoga terbakarlah pembohong itu). Kemudian pada suatu malam pembantu rumah
tangganya datang masuk membawa api dan jatuhlah butiran kecil dari api yang dibawanya,
sehingga menyebabkan rumah itu terbakar semuanya dan terbakar pulalah laki-laki Nasrani
tersebut beserta keluarganya ketika sedang tidur.

Selanjutnya diterangkan bahwa perbuatan orang-orang kafir yang demikian, disebabkan


karena mereka adalah kaum yang tidak mau mempergunakan akal dan tidak mau tahu tentang
hakikat agama Allah yang mewajibkan mereka mengagungkan dan memuja-Nya.
Andaikata mereka mempergunakan akal secara wajar, tanpa dipengaruhi oleh rasa benci dan
permusuhan, maka hati mereka akan khusu’, apabila mereka mendengar adzan dengan suara
yang merdu, apabila jika mereka mengerti dan memahami adzan yang dimulai dengan kata-kata
yang mengagungkan Allah.

Imam syaf’i berkata bahwa dalam ayat tersebut Allah swt. Menyebutkan adzan sebagai
tanda waktu sholat. Rasulullah juga mempraktikkan adzan untuk sholat fardhu, tidak seorang pun
pernah tahu bahwa beliau memerintahkan adzan untuk selain shalat fardhu. Akan tetapi, zuhri,
meriwayatkan dari Rasulullah swt. bahwa beliau memerintahkan adzan dalam shalat dua hari
raya. Dia kemudian berkata, ‘adzan hanya untuk shalat fardhu, demikian pula dengan iqamat.

 Qs An-Nisa :43
Artinya: “ Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat, sedang kamu dalam Keadaan
mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan, (jangan pula hampiri mesjid) sedang
kamu dalam Keadaan junub, terkecuali sekedar berlalu saja, hingga kamu mandi. dan jika kamu
sakit atau sedang dalam musafir atau datang dari tempat buang air atau kamu telah menyentuh
perempuan, kemudian kamu tidak mendapat air, Maka bertayamumlah kamu dengan tanah yang
baik (suci); sapulah mukamu dan tanganmu. Sesungguhnya Allah Maha Pema'af lagi Maha
Pengampun.”

 Asbabun Nuzul
Dalam suatu riwayat dikemukakan bahwa ‘abdurrahman bin ‘Auf mengundang makan ‘Ali
dan kawan-kawannya. Kemudian dihidangkan minumam khamar (arak/minuman keras),
sehingga terganggulah otak mereka. Ketika tiba waktu shalat, orang-orang menyuruh ‘Ali
menjadi imam, dan pada waktu itu beliau membaca dengan keliru, Qul ya ayyuhal kafirun; la
a’budu ma ta’budun; wa nahnu na’budu ma ta’budun (katakanlah: “Hai orang-orang kafir; Aku
tidak akan menyembah apa yang kamu sembah; dan kami akan menyembah apa yang kamu
sembah”). Maka turunlah ayat tersebut di atas (QS. An-Nisa’: 43) sebagai larangan shalat dalam
keadaan mabuk. (diriwayatkan oleh Abu Daud , at-Tirmidzi, an-Nasa’I, dan al-hakim, yang
bersumber dari ‘Ali)

 Makna hukum
Orang mslim mukmin dilarang mengerjakan shalat pada waktu mereka sedang mabuk.
Mereka tidak diperbolehkan shalat sehingga mreka menyadari apa yang dibaca dan apa yang
dilakukan dalam shalat. Pada waktu dalam keadaan mabuk itu memungkinkan beribadat dengan
khusuk. Ayat ini belum mengharamkan khamar secara tegas, namun telah memperingatkan kaum
Muslim akan bahaya minum khamar sebelum diharamkan sama sekali.
Dalam ayat ini juga dijelaskan bahwa orang mukmin dilarang melaksanakan shalat pada
waktu ia berhadats besar. Larangan ini akan berakhir setelah ia mandi janabah, karena mandi
akan membersihkan lahir dan batin. Di antara hikmah mandi, apabila seseorang sedang lesu,
lelah dan lemah biasanya akan menjadi segar kembali, setelah ia mandi.

Lazimnya meskipun shalat dapat dilakukan dimana saja, shalat itu sebaiknya dilakukan di
masjid. Maka orang yang sedang junub dilarang shalat, juga dilarang berada di masjid kecuali
sekedar lewat saja karena ada keperluan. Dalam hal ini ada riwayat yang menerangkan bahwa
seorang sahabat nabi dari golongan ansar, pintu rumahnya di pinggir masjid. Pada waktu junub,
ia tidak dapat keluar rumah kecuali melewati masjid, maka ia dibolehkan oleh Rasulullah swt
melewatinya dan tidak memerintahkan menutup pintu rumahnya yang ada di pinggir masjid itu
Dapat dimaklumi bahwa orang yang shalat harus suci dari hadats kecil, yaitu hadats yang
timbul oleh misalnya: karena buang air kecil atau suci dari hadats besar sesudah bersetubuh.
Menyucikan hadats itu adalah dengan wudhu’ atau mandi. Untuk berwudu’ atau mandi kadang-
kadang orang-orang tidak mendapatkan air, atau ia tidak boleh terkena air karena penyakit
tertentu, maka baginya dalam keadaaan serupa itu diperbolehkan tayammum yaitu mengusap
muka dan tangan dengan debu tanah yang suci.

Yang dimaksud dengan au lamastum an-nisa’ ialah menyentuh perempuan yang bukan


mahram. Maka menyentuh perempuan mengakibatkan hadats kecil yang dapat dihilangka
dengan wudhu’ atau tayamum. Apabila seseorang buang air kecil atau besar, maka kedua hal itu
menyebabkan hadats kecil yang dapat dihilangkan dengan wudhu’. Setiap orang yang buang air
kecil atau besar diwajibkan menyucikan dirinya dengan membersihkan tempat najis itu dengan
istinja’. Hal itu dapat dilakukan dengan memakai air atau benda-benda suci yang bersih seperti
batu, kertas kasar. Diantara ulama’ ada yang berpendapat bahwa yang dimaksud dengan
“menyentuh perempuan” dalam ayat ini adalah bersetubuh, sedang bersetubuh mengakibatkan
hadats besar yang dapat dihilangkan dengan mandi jinabah.
Hukum-hukum yang tersebut di atas menunjukkan bahwa Allah tidak memberati hamba-Nya di
luar batas kemampuannya, karena Dia adalah Maha Pemaaf dan Maha Pengampun.

 Qs Al-Mudatsir: 4-6
Artinya: “Dan pakaianmu bersihkanlah, 5. Dan perbuatan dosa tinggalkanlah, 6. Dan janganlah
kamu memberi (dengan maksud) memperoleh (balasan) yang lebih banyak.”

 Makna Hukum
Dalam ayat ini, allah memerintahkan Nabi Muhammad supaya membersihkan pakaian.
Makna membersihkan pakaian menurut sebagian ahli tafsir adalah:

 Membersihkan pakaian dari segala najis dan kotoran karena bersuci dengan maksud
beribadah hukumnya wajib, dan selain beribadah hukumnya sunnah. Mebrsihkan di
sini juga termasuk cara memperolehnya yaitu pakaian yang digunakan harus
diperoleh dengan cara halal. Ketika ibnu Abbas ditanya orang tentang ayat ini, beliau
menjawab bahwa firman Allah tersebut berarti larangan memakai pakaian untuk
perbuatan dosa dan penipuan. Jadi menyucikan pakian adalah membersihkannya dari
najis dan kotoran. Pengertian yang lebih luas lagi, yakni membersikan tempat tinggal
dan lingkungan hidup dari segala bentuk bentuk kotoran, sampah, dal lain-lain.
Sebab pakaian, tubuh, dan lingkngan yang kotor banyak terdapt dosa. Sebaliknya
dengan membersihkan badan, tempat tinggal, dan lain-lain berarti berusaha
menjauhkan diri dari dosa. Demikian para ulama’ Syafi’iyah mewajibkan
membersihkan pakaian dari najis bagi orang yang hendak shalat. Begitulah Islam
mengharuskan para pengilutnya untuk selalu hidup bersih, karena kebersihan
jasmani mengangkat manusia kepada akhlak yang mulia.
 Membersihkan pakaian berarti membersihkan rohani dari segala watak dan sifat-sifat
tercela. Khusus buat Nabi Muhammad, ayat ini memerintahkan beliau menyucikan
nilai-nilai nubuwwah (kenabian) yang dipikulnya dari segala yang mengotorinya
(dengki, dendam, pemarah, dan lain-lain). Pengertian kedua ini bersifat kiasan
(majazi), dan memang dalam bahasa arab kadang-kadang menyindir orang yang
tidak menepati janji denagn memakai perkataan, “Dia suka mengotori (pakaian)-
nya”. Sedangkan orang yang suka menepati janji selalu dipuji dengan ucapan, “Dia
suka membersihkan baju (pakaian)-nya”.

Secara singkat, ayat ini memerintahkan agar membersihkan diri, pakaian, dan lingkungan
dari segala najis, kotoran, sampah, dan lain-lain. Disamping itu juga berarti perintah memelihara
kesucian dan kehormatan pribadi dari segala perangai yang tercela.
Seperti hanya benda-benda yang termasuk najis ialah kencing, tahi, muntah, darah, mani hewan,
nanah, cairan luka yang membusuk, ( ma’ al- quruh ), ‘alaqah, bangkai , anjing, babi ,dan anak
keduanya, susu binaang yang tidak halal diamakan kecuali manusia, cairan kemaluan
wanita.Jumhur fuqaha juga berpendapat bahwa khamr adalah najis, meski dalam masalah ini
banyak sekali perbedaan pendapat dilingkungan ahli Hadits.
Berbagai tempat yang harus dibersihkan lantaran najis, ada tiga tempat, yaitu : tubuh, pakaian
dan masjid. Kewajiban membersihkan pakaian didasarkan pada firman Allah pada surat al-
Mudatsir ayat 4.
Benda yang dipakai untuk membersihkan najis yaitu air. Umat Islam sudah mengambil
kesepakatan bahwa air suci yang mensucikan bisa dipakai untuk membersihkan najis untuk
ketiga tempat tersebut. Pendapat lainnya menyatakan bahwa najis tidk bisa dibersihkan
(dihilangkan ) kecuali dengan air. Selain itu bisa dengan batu, sesuai dengan kesepakatan ( imam
malik dan asy- syafi’I ).
Para ulama mengambil kata sepakat bahwa cara membersihkan najis adalah dengan
membasuh ( menyiram ), menyapu, mencipratkan air. Perihal menyipratkan air, sebagian fuqaha
hanya mangkhususkan untuk membersihkan kencing bayi yang belum menerima tambahan
makanan apapun.
Cara membersihkan badan yang bernajis karena jilatan anjing adalah dengan
membasuhnya dengan air sebanyak tujuh kali, salah satu diantaranya dicampur dengan tanah.
Hal ini berdasarkan Hadits Rasul SAW, yang artinya “ menyucikan bejana seseorang kamu,
apabila anjing minum di dalam bejana itu , ialah dengan membasuhnya tujuh kali , yang pertama
diantaranya dengan tanah.
Selanjutnya Nabi Muhammad diperintahkan supaya meninggalkan perbuatan dosa seperti
menyembah berhala atau patung. Kata ar-rujz yang dimaksud adalah perintah menjauhkan segala
sebab yang mendatangkan siksaan, yakni perbuatan maksiat. Termasuk yang dilarang oleh ayat
ini ialah mengerjakan segala macam perbuatan yang menyebabkan perbuatan maksiat.
Membersihkan diri dari dosa apalagi bagi seorang dai adalah suatu kewajiban. Sebab,
kalau pada diri sang dai sendiri diketahui ada cela dan aib oleh masyarakat, tentu perkataan dan
nasihatnyasulit diterima orang.
Dalam ayat ini, Nabi Muhammad dilarang memberi dengan maksud memperoleh yang
lebih banyak . Artinya dengan usaha dan ikhtiar mengajak manusia ke jalan Allah, serta dengan
ilmu dan risalah yang disampaikan. Beliau dilarang mengharapkan ganjaran atau upah yang lebih
besar dari orang-orang yang diserunya. Tegasnya jangan menjadiakan dakwah sebagai objek
bisnis yang mendatangkan keuntungan duniawi. Bagi seorang nabi lebih ditekankan lagi agar
tidak mengharapkan upah sama sekali dalam dakwah, guna memelihara keluhuran martabat
kenabian yang dipikulnya. 
BAB II
KESIMPULAN

  Setiap orang yang berhadats kecil yang hendak mengerjakan shalat, wajib mengambil
wudu lebih dahulu dengan air yang suci bersih. Apabila tidak ada air atau dalam keadaan
sakit yang tidak boleh memakai air, maka sebagai gantinya harus bertayammum dengan
debu tanah yang bersih
 Penyebutan adzan sebagai tanda waktu sholat. Dimana Rasulullah juga mempraktikkan
adzan untuk sholat fardhu,tetapi ada juga pendapat bahwa adzan hanya digunakan untuk
sholat fardhu dan iqamah saja.
 Dilarang melakukan shalat dalam keadaan mabuk. Begitu juga orang yang sakit tidak
boleh kena air, seorang musafir atau orang yang sedang bunag air besar maupun kecil
bila tidak mendapatkan air untuk berwudhu’ , maka ia boleh bertayamum.
 Memerintahkan agar membersihkan diri, pakaian, dan lingkungan dari segala najis,
kotoran, sampah, dan lain-lain sebelum menunaikan shalat. Begitu juga anjuran
meninggalkan perbuatan dosa.

Anda mungkin juga menyukai