Anda di halaman 1dari 22

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Memang sangat disayangkan ketika arus globalisasi semakin menggelora,
masih saja didapatkan aliran-aliran radikal ataupun fundamentalis yang selalu saja
menjadi penyakit penghambat untuk berkembangnya pola fikir yang merdeka dan
bertoleransi. Aliran ini sangatlah intoleran dan eksklusif. terhadap pemikiran-
pemikiran baru, dan selalu saja melahirkan produk hukum (meminjam istilah
Khaled M, Abu el-Fadl) yang otoriter. Ini sangat bertentangan dengan Alqur’an
sebagai kitab suci umat Islam, walaupun taken for granted,  tapi Alqur’an
merupakan fundamen toleransi. Artinya, umat Islam adalah umat pilihan Tuhan
yang diperintahkan agar menjadikan toleransi sebagai nilai fundamental. Bila
umat Islam berhasil membangun, maka akan mampu membangun peradaban
kemanusiaan yang berdasarkan dialog dan saling pengertian. Sebaliknya,
bilamana umat Islam menebarkan kekerasan dan claim-claim otoriter atas nama
Tuhan, maka yang akan terjadi adalah kehancuran dan kegagalan.
Islam merupakan agama yang mengakomodir pelbagai kebutuhan manusia
serta tidak memberikan kesulitan bagi semua pengikutnya dalam melarapkan
hukum-hukmnya sebagaimana disinyalir dalam Al-Qur’an ‫وماجعل عليكم في الدين من‬
‫حرج‬ (dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama kesempitan).
Dengan kata lain, Islam menghendaki terciptanya kemaslahatan seluruh umat
manusia tak terkecuali hanya yang membedakan mungkin dari sisi konsekuensi
(balasan) dan perlakuan terhadap orang-orang di luar Islam.
Selain itu, Tujuan dari tasyrî Islam adalah merealisasikan mashlahah umat di
dunia dan akhirat. Oleh karenanya syari’at Islam ditegaskan oleh Allah sebagai
rahmat bagi manusia; ”Wahai manusia sesungguhnya telah datang kepadamu
pelajaran dari Tuhanmu dan penyembuh bagi penyakit-penyakit (yang berada)
dalam dada dan petunjuk serta rahmat bagi orang-orang   yang beriman.”(Q.S.
Yunus: 57) Maka tepatlah apa yang dikatakan oleh Ibnu al Qayyim bahwasanya
syari’ah merupakan keadilan, rahmat, mashlahah dan hikmah secara

1
universal. Jika ada hal-hal yang menyimpang dari kriteria tersebut maka bukan
merupakan syari’ah. Nilai-nilai Islam yang dimaksudkan adalah
terimplementasinya maqâ shid syarî ah al-khamsah yang merupakan Tujuan dan
etika hukum Islam sebagaimana yang akan dijelaskan dalam makalah ini.

B. Rumusan Masalah
1. Apa itu maqasid al-syariah ?
2. Jelaskan pembagian-pembagian maqasid al-syariah ?

C. Tujuan
Tujuan dari pembuatan makalah ini adalah untuk menambah pengetahuan
mahasiswa mengenai tujuan dan etika hukum islam ( maqashid al-syariah ) dan
apa saja pembagian-pembagian dari maqasid al-syariah.

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Maqashid Al-syariah


Secara bahasa, maqashid merupakan jama’ dari kata maqshid yang berarti
kesulitan dari apa yang ditujukan atau dimaksud. Secara akar
bahasa, maqashidberasal dari kata qashada, yaqshidu, qashdan, qashidun, yang
berarti keinginan yang kuat, berpegang teguh, dan sengaja. Namun, dapat juga
diartikan dengan menyengaja atau bermaksud kepada (qashada ilaihi).
Sedangkan kata asy syari’ah berasal dari kata  syara’a as-syai yang berarti
menjelaskan sesuatu. Atau diambil dari kata asy-syara’ah dan asy-
syari’ah dengan arti tempat sumber air yang tidak pernah terputus dan orang
datang kesana tidak memerlukan alat. Selain itu asy-syari’ah berasal dari akar
kata syara’a, yasri’u, syar’an yang berarti memulai pelaksanaan suatu
pekerjaan, dengan demikian asy-syari’ah mempunyai pengertian pekerjaan yang
baru mulai dilaksanakan. Syara’a juga berarti menjelaskan, menerangkan dan
menunjukkan jalan. Syar’a lahum syar’an berarti mereka telah menunjukkan
jalan kepada meraka atau bermakna sanna yang berarti menunjukkan jalan atau
peraturan.
Jadi, secara bahasa syari’ah menunjukkan kepada tiga pengertian, yaitu
sumber tempat air minum, jalan yang lurus dan terang dan juga awal dari pada
pelaksanaan suatu pekerjaan.
Syariat adalah hukum yang ditetapkan oleh Allah bagi hamba-Nya tentang
urusan agama, atau, hukum yang ditetapkan dan diperintahkan oleh Allah baik
berupa ibadah (puasa, shalat, haji, zakat, dan seluruh amal kebaikan) atau
muamalah yang menggerakkan kehidupan manusia (jual, beli, nikah, dan lain-
lain). Sebagaimana firman Allah :
‫اَأْلم ِر‬ ٍِ
ْ ‫اك َعلَى َش ِر َيعة م َن‬
َ َ‫ُ َّم َج َع ْلن‬
“ kemudian Kami jadikan kamu berada di atas suatu syariat (peraturan) dari
urusan (agama itu)” (QS. Al Jatsiyah : 18)
Dengan mengetahui pengertian  maqashid dan asy-syari’ah secara bahasa,
maka dapat membantu kita menjelaskan pengertian yang terkandung dalam
istilah, yaitu tujuan-tujuan dan rahasia-rahasia yang diletakkan Allah dan
terkandung dalam setiap hukum untuk keperluan pemenuhan manfaat umat. Atau
tujuan dari Allah menurunkan syari’at, dimana menurut al-Syatibi tujuan dari

3
pada maqashid asy-syari’ah adalah untuk mewujudkan kemashlahatan manusia di
dunia dan akhirat. 1
Abu Ishaq al-Syatibi melaporkan hasil penelitian para ulama terhadap ayat-
ayat Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah bahwa hukum-hukum disyariatkan Allah
untuk mewujudkan kemaslahatan umat manusia, baik di dunia maupun di akhirat
kelak. Kemaslahatan yang akan diwujudkan itu menurut al-Syatibi terbagi
menjadi tiga tingkatan, yaitu kebutuhan dharuriyyah, kebutuhan hajiyat dan
kebutuhan tahsiniyat.
1. Kebutuhan Dharuriyat (primer)
Kebutuhan dharuriyat ialah tingkat kebutuhan yang harus ada atas disebut
dengan kebutuhan primer. Yakni sesuatu yang sangat perlu dipelihara atau
diperhatikan seandainya tidak atau terabaikan membawa kepada tidak ada atau
tidak berartinya kehidupan. Bila tingkat kebutuhan itu tidak terpenuhi, akan
terancam keselamatan umat manusia baik di dunia maupun akhirat. Menurut al-
Syatibi ada 5 (lima) hal yang termasuk dalam kategori, yaitu memelihara agama,
memelihara jiwa, memelihara akal, memelihara kehormatan dan keturunan, serta
memelihara harta.
2. Kebutuhan Hajiyat (sekunder)
Kebutuhan hajiyat ialah kebutuhan-kebutuhan sekunder, dimana bilamana
tidak terwujudkan tidak sampai mengancam keselamatannya, namun akan
mengalami kesulitan.[31] Artinya sesuatu kebutuhan untuk memeliharanya, jika
tidak dipelihara tidak membawa pada hancurnya kehidupan, tetapi hanya
menimbulkan kesulitan-kesulitan atau kekurangan dalam melaksanakannya.
[32] Syariat Islam menghilangkan segala kesalahan itu. Adanya
hukum rukhshah (keringanan) seperti dijelaskan Abd al-Wahhab Khallaf, adalah
sebagai contoh dari kepedulian Syariat Islam terhadap kebutuhan ini.
3. Kebutuhan Tahsiniyat (Tersier)
Kebutuhan tahsiniyat ialah tingkat kebutuhan yang apabila tidak terpenuhi
tidak mengancam eksistensi salah satu dari lima pokok dan tidak menimbulkan
kesulitan. Tingkat kebutuhan ini berupa kebutuhan pelengkap, seperti

1 Bakri, Asafri Jaya. Konsep Maqashid Syariah. Jakarta : Raja Grafindo Persada. Hlm. 60-
66.

4
dikemukakan al-Syatibi, hal-hal yang merupakan kepatutan menurut adat istiadat,
menghindarkan hal-hal yang tidak enak dipandang mata, dan berhias dengan
keindahan yang sesuai dengan tuntutan norma dan akhlak.2

Menurut ‘Alal Al-Fasiy, maqashid Syari’ah adalah tujuan yang dikehendaki


syara’ dan rahasia-rahasia yang ditetapkan oleh syari’ (Allah) pada setiap hukum.
Adapun inti dari maqashid syari’ah adalah untuk mewujudkan kebaikan sekaligus
menghindarkan keburukan, atau menarik manfaat dan menolak mudharat, atau
dengan kata lain adalah untuk mencapai kemaslahatan, karena tujuan penetapan
hukum dalam Islam adalah untuk menciptakan kemaslahatan dalam rangka
memelihara tujuan-tujuan syara’.
Dalam kitabnya maqashid Syari’ah Al-Islamiyah, Ibnu ‘Asyur menyataan
bahwa maqashid syari’ah adalah makna-makna dan hikmah-hikmah yang
dicatatkan atau diperlihatkan oleh Allah swt. dalam semua atau sebagian besar
syari’at-Nya, juga masuk dalam wilayah ini sifat-sifat syari’ah atau tujuan
umumnya.

Inti dari maqashid syari’ah adalah untuk mencapai kemaslahatan umat yang


sebesar-besarnya, karena tujuan penetapan hukum dalam Islam adalah untuk
mencapai kemaslahatan dalam rangka memelihara tujuan-tujuan syara’. Adapun
tujuan syara’ yang harus dipelihara adalah sebagai berikut :

1. Perlindungan Terhadap Agama (hifz al-din)


Islam menjaga hak dan kebebasan, dan kebebasan yang pertama adalah
kebebasan berkeyakinan dan beribadah; setiap pemeluk agama berhak atas nama
agama dan madzhabnya, ia tidak boleh dipaksa untuk meninggalkannya menuju
agama atau madzhab lain, juga tidak boleh ditekan untuk berpindah dari
keyakinannya untuk masuk Islam. Dasar hak ini sesuai firman Allah :

‫الر ْش ُد ِم َن الْغَ ِّي‬


ُّ َ ‫اَل ِإ ْكَر َاه يِف الدِّي ِن قَ ْد َتَبنَّي‬
“ tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); Sesungguhnya telah jelas
jalan yang benar daripada jalan yang sesat.” (QS. Al Baqarah : 256)

Asbabun Nuzul ayat ini (sebagaimana dikatakan para ulama alhi tafsir)

2 Dzajuli. 2003. Fiqh Siyasah. Jakarta : Kencana Prenada Media Group. Hlm. 251

5
‘menjelaskan kepada kita satu sisi mengagumkan agama ini (Islam). Mereka
meriwayatkan dari Ibnu Abbas yang menceritakan, ada seorang perempuan yang
sedikit keturunannya, dia bersumpah kepada dirinya, bahwa bila dia dikaruniai
anak, dia akan menjadikannya sebagai seorang Yahudi (hal seperti ini dilakukan
oleh para wanita dari kaum Anshar pada masa jahiliyah), lalu ketika muncul Bani
Nadhir, diantara mereka terdapat keturunan dari kaum Anshar. Maka bapak-bapak
mereka berkata, “Kami tidak akan membiarkan anak-anak kami”; mereka tidak
akan membiarkan anak-anak mereka memeluk agama Yahudi, lalu Allah
menurunkan ayat ini,
Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam).
Meski ada usaha memaksa dari pihak orangtua yang ingin menjaga anak-anak
mereka agar tidak mengikuti musuh yang memerangi mereka, yang berbeda
agama dan berbeda kaum, dan meski dalam keadaan khusus yang dihadapi anak-
anak atau keturunan mereka, agama Yahudi adalah minoritas. Dan meski arus
fanatik dan penindasan kepada orang yang berbeda madzhab mendominasi dunia
saat itu, terlebih yang berbeda agama (seperti yang terjadi dalam madzhab
pemerintahan Roma yang memberikan pilihan kepada rakyatnya, antara kaum
Kristen atau dibunuh), akan tetapi, ketika madzhab Al-Malkani kuat,
penyembelihan dilakukan atas orang-orang Nasrani dari golongan Yaqubian dan
yang lainnya, yang tidak mau masuk dan mengikuti agamanya.
Atas semua peristiwa yang telah terjadi ini, Al –Qur’an tetap menolak segala
bentuk pemaksaan, karena orang yang diberi petunjuk oleh Allah, maka Dia akan
membukakan dan menerangi mata hatinya, lalu orang tersebut akan masuk Islam
dengan bukti dan hujjah. Barangsiapa yang hatinya dibutakan, pendengaran, dan
penglihatannya ditutup oleh Allah, maka tidak ada gunanya mereka masuk Islam
dalam keadaan dipaksa, sebagaimana dikatakan Ibnu Katsir.
Islam menjaga tempat beribadatan orang – orang nonmuslim, menjaga
kehormatan syiar mereka, bahkan Al-Qur’an menjadikan salah satu sebab
diperkenankannya berperang adalah karena untuk menjaga kebebasan beribadah,
dan hal ini tersirat dalam firman-Nya,

6
‫ُأخ ِر ُجوا ِم ْن‬ ِ َّ ِ ِ َ‫ِذ َن لِلَّ ِذين ي َقاَتلُو َن بَِأنَّهم ظُلِموا وِإ َّن اللَّه علَى ن‬
ْ ‫ين‬َ ‫) الذ‬39( ‫ص ِره ْم لََقد ٌير‬
ْ ََ َ ُ ُْ َُ
ٍ ‫ض ُه ْم بَِب ْع‬ ِ َّ َّ ‫ِ ِ ِ ِ ِ ِإاَّل‬
‫ت‬
ْ ‫ِّم‬
َ ‫ض هَلُد‬ َ ‫ديَاره ْم بغَرْي َح ٍّق َأ ْن َي ُقولُوا َربُّنَا اللهُ َولَ ْواَل َدفْ ُع الله الن‬
َ ‫َّاس َب ْع‬
]40 ، 39 : ‫اس ُم اللَّ ِه َكثِ ًريا! [احلج‬ ِ ِ ِ
ْ ‫ات َو َم َساج ُد يُ ْذ َك ُر ف َيها‬ َ ‫ص َوام ُع َوبِيَ ٌع َو‬
ٌ ‫صلَ َو‬ َ
“Telah diizinkan (berperang) bagi orang-orang yang diperangi, karena
Sesungguhnya mereka telah dianiaya. dan Sesungguhnya Allah, benar-benar
Maha Kuasa menolong mereka itu, (yaitu) orang-orang yang telah diusir dari
kampung halaman mereka tanpa alasan yang benar, kecuali karena mereka
berkata: "Tuhan Kami hanyalah Allah". dan Sekiranya Allah tiada menolak
(keganasan) sebagian manusia dengan sebagian yang lain, tentulah telah
dirobohkan biara-biara Nasrani, gereja-gereja, rumah-rumah ibadat orang
Yahudi dan masjid- masjid, yang di dalamnya banyak disebut nama Allah.” (QS.
AL Hajj : 39-40)
Tak hanya nash – nash dalam al –Qur’an yang menjamin kebebasan
beragama, Rasulullah dan para sahabatpun menghormati orang-orang nonmuslim
dalam segala hal.
Sebagaimana janji Nabi saw. kepada penduduk Najran menyatakan bahwa
mereka berada dalam perlindungan Allah dan tanggungan atau jaminan Rasulul-
Nya untuk urusan harta, agama, dan baiat mereka.
Pada suatu hari Umar bin Khattab melihat seorang kakek tua yang buta
meminta-minta di sebuah pintu. Umar pun bertanya, dan dari situ dia tahu bahwa
kakek tua itu adalah seorang Yahudi, lantas dia bertanya, “Apa yang membuatmu
seperti ini?” si kakek menjawab, “Jizyah, kebutuhan, dan usia.” Mendengar
jawaban itu, Umar menuntun kakek tersebut dan pergi ke rumahnya, lalu dia
member uang yang mencukupi kebutuhannya saat itu. Setelah itu beliau mengirim
surat kepada bendahara baitul mal, “Lihatlah! Demi Allah, tidak adil bila kita
memakan dari (jerih payah) masa mudanya, lalu kita menelantarkannya saat dia
tua.”

7
“sesungguhnya zakat-zakat itu hanyalah untuk orang-orang fakir dan orang-
orang miskin.”
 Dan kakek ini termasuk salah satu orang miskin dari golongan ahli kitab.
Maka jelaslah toleransi Islam dalam interaksinya yang baik, muamalahnya
yang lembut, perhatiannya mengenai hubungan dengan tetangga, dan juga
toleransi dalam masalah perasaan kemanusiaan yang besar, yakni dengan
kebaikan, rahmat, dan kemurahan hati. Ini merupakan hal yang sangat dibutuhkan
dalam kehidupan sehari-hari. Islam mengajarkan bagaimana caranya
memanusiakan manusia, apa pun agama, jenis, dan warna kulitnya. Sebagaimana
firman Allah :

َ ‫َولََق ْد َكَّر ْمنَا بَيِن‬


]70 : ‫آد َم [اإلسراء‬
“dan Sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam” (QS. Al – Isra’ : 70)

Kemudian yang ditetapkan al-Qur’an ini menuntut adanya hak dihormati dan
dilindungi bagi setiap manusia, dan satu keyakinan yang benar bahwa perbedaan
agama manusia terjadi dengan kehendak Allah yang telah mengaruniakan
kebebasan dan pilihan atas apa yang akan dilakukan atau ditinggalkan seorang
manusia.

]29 : ‫فَ َم ْن َشاءَ َفْلُيْؤ ِم ْن َو َم ْن َشاءَ َفْليَ ْك ُف ْر [الكهف‬


“ Maka Barangsiapa yang ingin (beriman) hendaklah ia beriman, dan
Barangsiapa yang ingin (kafir) Biarlah ia kafir". (QS. Al-Kahfi : 29) 3

2. Perlindungan Terhadap Nyawa/Jiwa (hifz al-nafs)


Hak pertama dan paling utama yang diperhatikan Islam adalah hak hidup, hak
yang disucikan dan tidak boleh dihancurkan kemuliaannya. Manusia adalah
ciptaan Allah.

]88 : ‫ [النمل‬ )88( ‫ُصْن َع اللَّ ِه الَّ ِذي َأْت َق َن ُك َّل َش ْي ٍء ِإنَّهُ َخبِريٌ مِب َا َت ْف َعلُو َن‬

3 Jauhar, Ahmad Al-mursi Husain. 2010. Maqashid Syariah. Jakarta : Amzah. Hlm. 1-20

8
“ dan kamu Lihat gunung-gunung itu, kamu sangka Dia tetap di tempatnya,
Padahal ia berjalan sebagai jalannya awan. (Begitulah) perbuatan Allah yang
membuat dengan kokoh tiap-tiap sesuatu; Sesungguhnya Allah Maha mengetahui
apa yang kamu kerjakan.” (QS. An-Naml : 88).
Adalah sangat jelas hikmah Allah dalam menciptakan manusia dengan fithrah
yang diciptakan-Nya untuk manusia, lalu Dia menjadikan, menyempurnakan
kejadian dan menjadikan (susunan tubuh) nya seimbang, dalam bentuk apa saja
yang Dia kehendaki, Dia menyusun tubuhnya.
ِِ
]14 : ‫ني [املؤمنون‬ ْ ُ‫َفتَبَ َار َك اللَّه‬
َ ‫َأح َس ُن اخْلَالق‬
“Maka Maha sucilah Allah, Pencipta yang paling baik.” (QS. Al-Mu’minun : 14)

Kemudian Allah mengaruniakan nikmat-nikmat-Nya, lalu memuliakan dan


memilih manusia,

]70 : ‫َولََق ْد َكَّر ْمنَا بَيِن َآد َم [اإلسراء‬


“dan Sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam” (QS. Al-Isra’ : 70)

Maka, tidak mengherankan bila jiwa manusia dalam syariat Allah sangatlah
dimuliakan, harus dipelihara, dijaga, dipertahankan, tidak menghadapkannya
dengan sumber-sumber kerusakan atau kehancuran. Allah berfirman :

]195 : ‫ [البقرة‬ ‫َواَل ُت ْل ُقوا بَِأيْ ِدي ُك ْ!م ِإىَل الت َّْهلُ َك ِة‬
“dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan.” (QS. Al-
Baqarah : 195)
Islam melarang terjadinya pembunuhan. Baik membunuh diri sendiri maupun
membunuh orang lain. Salah satu sabda Rasulullah yang menjelaskan dilarangnya
bunuh diri :

‫ب بِِه ىِف النَّا ِر‬ ٍ ِ


َ ‫َم ْن َقتَ َل َن ْف َسهُ ب َش ْىء عُ ِّذ‬
“ Barangsiapa yang membunuh dirinya dengan menggunakan sesuatu, dia akan
disiksa dengan menggunakan sesuatu tersebut di dalam neraka.”(HR. Muslim)

9
Adapun larangan membunuh orang lain kecuali dengan alasan yang
benar dijelaskan dalam banyak ayat al – Qur’an, diantaranya dalam QS. Al-
An’am : 151

]151 : !‫س الَّيِت َحَّر َم اللَّهُ ِإاَّل بِاحْلَ ِّق [األنعام‬ َّ ‫وَاَل َت ْقُتلُوا‬
َ ‫الن ْف‬
“dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya)
melainkan dengan sesuatu (sebab) yang benar.”(QS. Al – An’am : 151)
Membunuh adalah menghancurkan bangunan iradah Allah dan melenyapkan
nyawa si korban tanpa alasan yang benar, yang dilakukan oleh orang lain. Dalam
perbuatan ini ada penganiayaan kepada keluarga atau ahli waris si korban, yakni
mereka yang menjadi mulia karena keberadaan si korban, mereka yang dapat
mengambil manfaat dari diri si korban, dan mereka yang akan sangat
membutuhkan bantuan ketika si korban tidak lagi bersama mereka. Dalam
masalah ini, membunuh orang muslim dan membunuh kafir dzimmi berhukum
sama, yakni diharamkan.
Dalam hal ini, pelaku pembunuhan diancam dengan hukuman qishas
(pembalasan yang seimbang), diyat (denda) dan kafarat (tebusan) sehingga yang
demikian diharapkan agar seseorang sebelum melakukan pembunuhan, berfikir
secara dalam terlebih dahulu, karena jika yang dibunuh mati, maka seseorang
yang membunuh juga akan mati, atau jika yang dibunuh mengalami cidera, maka
dia juga akan cidera sesuai dengan perbuatannya. 4

3. Perlindungan Terhadap Akal  (hifz al-aql)


Akal merupakan sumber hikmah (pengetahuan), sinar hidayah, cahaya mata
hati, dan media kebahagiaan manusia di dunia dan akhirat. Dengan akal, surat
perintah dari Allah swt. disampaikan, dengannya pula manusia berhak menjadi

4 Ibid. Hlm. 21-45.

10
pemimpin di muka bumi, dan dengannya manusia menjadi sempurna, mulia, dan
berbeda dengan makhluk lainnya. Allah swt. berfirman :
ِ ِّ‫َر والْبح! ِر ورز ْقنَاهم ِمن الطَّي‬ ‫آد َم َومَحَْل ُ يِف‬
‫اه ْم َعلَى‬
ُ َ‫ض ! ْلن‬
َّ َ‫بَات َوف‬ َ ْ ُ َ َ َ ْ َ َ ِّ ‫نَاه ْم الْب‬ َ ‫َولَقَ ْد َكَّر ْمنَا بَيِن‬

]70 : ‫ [اإلسراء‬  ‫َكثِ ٍري مِم َّْن َخلَ ْقنَا َت ْف ِضياًل‬


“dan Sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, Kami angkut mereka
di daratan dan di lautan, Kami beri mereka rezki dari yang baik-baik dan Kami
lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk
yang telah Kami ciptakan.”(QS. Al-Isra’ : 70)
Melalui akalnya, manusia mendapatkan petunjuk menuju ma’rifat kepada
Tuhan dan Penciptanya. Dengan akalnya, dia menyembah dan menaati-Nya,
menetapkan kesempurnaan dan keagungan untuk-Nya, mensucikan-Nya dari
segala kekurangan dan cacat, membenarkan para rasul dan para nabi, dan
mempercayai bahwa mereka adalah perantara yang akan memindahkan kepada
manusia apa yang diperintahkan Allah kepada mereka, membawa kabar gembira
untuk mereka dengan janji, dan membawa peringatan dengan ancaman. Maka
manusia mengoperasikan akal mereka, mempelajari yang halal dan haram, yang
berbahaya dan bermanfaat, serta yang baik dan buruk.
Akal dinamakan ‫عقل‬ (ikatan) karena ia bisa mengikat dan mencegah
pemiliknya untuk melakukan hal-hal buruk dan mengerjakan kemungkaran.
Dinamakan demikian, karena akal pun menyerupai ikatan unta; sebuah ikatan
akan mencegah manusia menuruti hawa nafsu yang sudah tidak terkendali,
sebagaimana ikatan akan mencegah unta agar tidak melarikan diri saat berlari.
Islam memerintahkan untuk menjaga akal, mencegah segala bentuk
penganiayaan yang ditujukan kepadanya, atau yang bisa menyebabkan rusak dan
berkurangnya akal tersebut untuk menghormati dan memuliakan mereka, dan
untuk merealisasikan semua kemaslahatan umum yang menjadi pondasi
kehidupan manusia, yakni dengan menjaga agama, jiwa, akal, keturunan dan harta
benda.

11
Menjaga dan melindungi akal bisa dilaksanakan dengan penjagaan antara akal
itu sendiri dengan ujian dan bencana yang bisa melemahkan dan merusakkannya,
atau menjadikan pemiliknya sebagai sumber kejahatan dan sampah dalam
masyarakat, atau menjadi alat dan perantara kerusakan di dalamnya.
Diantara hal yang dapat merusak akal adalah mengkonsumsi segala sesuatu
yang bersifat memabukkan. Keadaan mabuk menyebabkan padamnya bara api
pikiran, meredupkan cahaya akal, membunuh kemauan, mematikan cita-cita,
melemahkan karakter, menghilangkan akhlak mulia. Keadaan tersebut juga
menyebabkan kehinaan, kemerosotan, hancurnya kekuatan, keroposnya bangunan
tubuh, dan lemahnya anggota badan.
Seringkali Islam mengingatkan tentang nilai dan eksistensinya, menyanjung
orang-orang yang menggunakan akal dan kemampuan mereka dalam
memperhatikan alam dengan segala ciptaan indah, makhluk yang mulia, dan
keserasiannya. Allah berfirman :
ٍ ‫النهَا ِر آَل‬
ِ ‫يَات ُأِلويِل اَأْللْب‬ ِ ‫ض واختِاَل‬ ِ
)190( ‫َاب‬ َّ ‫ف اللَّْي ِ!ل َو‬ ْ ‫ِإ َّن يِف َخ ْل ِق ال َّس! َم َاوات َو‬
ْ َ ِ ‫اَأْلر‬
ِ ‫الَّ ِذين يَ ْذ ُكرو َن اللَّه قِي !ام ! ! !!ا و ُقعُودا وعلَى جنُوهِبِم ويَت َف َّكرو َن يِف خ ْل! ! ! ! ِ!ق ال َّس ! ! ! !ماو‬
‫ات‬ ََ َ ُ ََ ْ ُ ََ ً َ ًَ َ ُ َ
ِ َ‫اطاًل سبحان‬
]191 ، 190 : ‫عمران‬ ‫اب النَّا ِر [آل‬ َ َ ْ ُ ِ َ‫ت َه َذا ب‬
َ ‫ك فَقنَا َع َذ‬ ِ ‫اَأْلر‬
َ ‫ض َربَّنَا َما َخلَ ْق‬ ْ ‫َو‬
“ Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam
dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal, (yaitu) orang-
orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan
berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya
berkata): "Ya Tuhan Kami, Tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia,
Maha suci Engkau, Maka peliharalah Kami dari siksa neraka.”(QS. Ali ‘Imran :
190-191)
Al-Qur’an mencela orang-orang yang menyia-nyiakan akal mereka, tidak
untuk berpikir, memperhatikan, dan merenung; mereka yang tidak memanfaatkan
kemampuan (akal) yang dikaruniakan Allah (yang melalui akal tersebut Allah
memuliakan mereka) untuk menyikapi kekuasaan Sang Pencipta, keagungan-Nya,

12
dan kekuatan Sang Pemberi rezeki. Mereka tidak menuntunnya menuju dermaga
iman dan kesempurnaan Islam, serta ketundukan kepada hal yang haq dan yang
yaqin, bahkan mereka tidak menundukkan akal mereka ke dalam bidang
kehidupan yang karenanya mereka diciptakan, juga untuk melakukan eksplotasi
kekayaan, sumber daya alam, dan kekuatan yang sudah tersedia untuk
kebahagiaan individu serta kemajuan umat dan bangsa-bangsa.5

4. Perlindungan Terhadap Kehormatan/Keturunan (hifz al-nasl)


Islam menjamin kehormatan manusia dengan memberikan perhatian yang
dapat digunakan untuk memberikan spesialisasi kepada hak asasi mereka.
Perlindungan ini jelas terlihat dalam sanksi berat yang dijatuhkan dalam masalah
zina, masalah menghancurkan kehormatan orang lain, dan masalah qaszaf. Islam
juga memberikan perlindungan melalui pengharaman ghibah (menggunjing),
mengadu domba, memata-matai, mengumpat, dan mencela dengan menggunakan
panggilan-panggilan buruk, juga perlindungan-perlindungan lain yang
bersinggungan dengan kehormatan dan kemuliaan manusia. Di antara bentuk
perlindungan yang diberikan adalah dengan menghinakan dan memberikan
ancaman kepada para pembuat dosa dengan siksa yang sangat pada hari kiamat.
Para ulama mendefinisikan, bahwa zina adalah hubungan seksual yang
sempurna antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan yang diinginkan
(menggairahkan), tanpa akad pernikahan sah ataupun pernikahan yang
menyerupai sah.
Sanksi perbuatan zina sudah diterangkan dalam syariat Islam dengan tahapan-
tahapan berikut :
1. Pada permulaan Islam, sanksi bagi wanita pezina adalah dengan dikurung di
rumah keluarganya sampai mati atau sampai Allah memberikan jalan
untuknya. Sedangkan sanksi bagi laki-laki pezina adalah dengan disiksa
(ta’zir atau dipukul). Apabila setelah itu dia bertaubat dan perbaiki amalnya,
maka harus dibiarkan.

5 Al-Qardhawi, Yusuf, Fikih Maqashid Syari’ah, Jakarta : Pustaka al-Kautsar, 2007. Hlm. 77

13
2. Setelah itu turun ayat dalam surah An-Nur yang menghapus hukum dari dua
ayat diatas. Ayat inilah yang menjadihukum sanksi pezina, yakni dengan
pencambukan dan pengasingan ghairu muhshan (bagi pelaku yang belum
menikah), dan dengan hukum rajam bagi yang muhshan, yakni laki-laki
yang baligh dan berakal, yang berhubungan seksual melalui qubul seorang
wanita, sedang dia memiliki pernikahan yang sah, meskipun perbuatan ini
dilakukan hanya sekali.
Karena sanksi zina sangat berat, maka syariah mewajibkan diberlakukannya
sanksi tersebut dengan pengakuan, ditetapkan dengan adanya saksi yang harus
memenuhi syarat-syarat berikut. Saksi adalah empat orang laki-laki adil :
1) Kesaksian harus dengan menjelaskan masuknya kemaluan laki-laki ke
dalam lubang kemaluan wanita.
2) Kesaksian harus menggunakan ucapan jelas yang menyatakan perbuatan
zina, bukan kinayah atau kiasan.
3) Tempat dan waktu kesaksian tidak boleh berbeda; kesaksian empat orang
tersebut harus ada di satu majlis.
4) Kesaksian tidak diberikan setelah laporan sudah lama diajukan/berlalu.
Islam juga mengharamkan perbuatan menggunjing, mengadu domba,
memata-matai, mengumpat, mencaci, memanggil dengan julukan tidak baik, dan
perbuatan-perbuatan sejenis yang menyentuh kehormatan atau kemuliaan
manusia. Islam pun menghinakan orang yang melakukan dosa-dosa ini, juga
mengancam mereka dengan janji yang pedih pada hari kiamat, dan memasukkan
mereka ke dalam golongan orang-orang yang fasik.
Islam juga menjaga kehormatan nasab, silsilah dalam sebuah keluarga.
semisal status anak kandungn dan anak angkat. Islam juga menetapkan, setelah
menikah, nasab seorang wanita tidak akan mengalami perubahan. Setelah
menikah, wanita muslimah namanya tetap terjaga, demikian juga nama keluarga
dan nasab aslinya. Dia tidak akan membawa nama suaminya, betapapun tinggi
kedudukan sang suami.
Para ulama’ juga mengharamkan masturbasi (melampiaskan hasrat seksual
dengan cara yang tidak syar’i, dan dikenal di kalangan pemuda sebagai ‘kebiasaan

14
rahasia’) dan juga mengharamkan homo seksual, hukum pengharaman ini terdapat
penjagaan dan perlindungan yang diberikan Islam kepada para pemuda dari
berbagai bahaya ‘kebiasaan rahasia’.

5. Perlindungan Terhadap Harta Benda (hifz al-maal)


Harta merupakan salah satu kebutuhan inti dalam kehidupan, dimana manusia
tidak akan bisa terpisah darinya.

ُّ
]46 : ‫[الكهف‬ .……‫الد ْنيَا‬ ‫ال َوالَْبنُو َن ِزينَةُ احْلَيَ ِاة‬
ُ ‫الْ َم‬
“ harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia ….”(QS. Al-Kahfi :
46)
Meskipun pada hakikatnya semua harta benda itu kepunyaan Allah, namun
Islam juga mengakui hak pribadi seseorang. Oleh karena manusia sangat tama’
kepada harta benda, dan mengusahakannya melalui jalan apapun, maka Islam
mengatur supaya jangan sampai terjadi bentrokan antara satu dengan yang lain.
Untuk itu, Islam mensyariatkan peraturan-peraturan mengenai mu’amalat seperti
jual beli, sewa menyewa, gadai, dll.
Cara menghasilkan harta tersebut adalah dengan bekerja dan mewaris, maka
seseorang tidak boleh memakan harta orang lain dengan cara yang bathil.
Harta yang baik pasti berasal dari tangan-tangan orang yang cara memilikinya
berasal dari pekerjaan yang dianjurkan agama, seperti bekerja di sawah, pabrik,
perdagangan, perserikatan dengan operasional yang syar’i, atau dari warisan dan
hal sejenis. Perlindungan untuk harta yang baik ini tampak dalam dua hal berikut.
Pertama, memiliki hak untuk dijaga dari para musuhnya, baik dari tindak
pencurian, perampasan, atau tindakan lain memakan harta orang lain (baik
dilakukan kaum muslimin atau nonmuslim) dengan cara yang batil, seperti
merampok, menipu, atau memonopoli.
Kedua, harta tersebut dipergunakan untuk hal-hal yang dihalalkan Allah. Maka
harta ini tidak dinafkahkan untuk kefasikan, minuman keras, atau berjudi. Allah
berfirman,

15
ِ َ‫َل ال َّش !يط‬ ِ ‫اَأْلزاَل م ِرج‬ ِ ِ َّ
‫ان‬ ْ ِ ‫س م ْن َعم‬ٌ ْ ُ ْ ‫اب َو‬ َ ْ‫ين َآمنُوا ِإمَّنَا اخْلَ ْ!م ُ!ر َوالْ َمْيس ! ُر َواَأْلن‬
ُ !‫ص‬ َ ‫يَا َأيُّهَا الذ‬
]90 : !‫ [املائدة‬ )90( ‫اجتَنِبُوهُ لَ َعلَّ ُك ْم ُت ْفلِ ُحو َن‬
ْ َ‫ف‬
“ Hai orang-orang yang beriman, Sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi,
(berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah Termasuk
perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat
keberuntungan.”(QS. Al-Maidah : 90)
Diantara harta – harta haram adalah memakan harta anak yatim, melatih babi
dengan tujuan untuk dijual, dan sebagainya.
Allah melarang memboroskan harta dalam kebodohan, karena harta adalah
sumber kekuatan hidup. Dalam firman-Nya disebutkan,

‫وه ْم َوقُولُوا‬ ِ ‫واَل ُت تُوا ال ُّس! َفهاء َأم!والَ ُكم الَّيِت جعَل اللَّه لَ ُكم قِيام!ا وارزق‬
ُ !‫ُوه ْم فيهَا َوا ْك ُس‬
ُ ُْ َ ً َ ْ ُ َ َ ُ َْ َ َ ‫َ ْؤ‬

]5 : ‫ [النساء‬ ‫هَلُ ْم َق ْواًل َم ْع ُروفًا‬


“dan janganlah kamu serahkan kepada orang-orang yang belum sempurna
akalnya, harta (mereka yang ada dalam kekuasaanmu) yang dijadikan Allah
sebagai pokok kehidupan. berilah mereka belanja dan pakaian (dari hasil harta
itu) dan ucapkanlah kepada mereka kata-kata yang baik.”(QS. An-Nisa’ : 5)
Allah mengharamkan berlaku kikir dalam menafkahkan harta pada bidang
yang semestinya, di proyek-proyek social dan proyek kesejahteraan.
Sangat jelas sekali bahwa harta tidak boleh diberdayagunakan untuk hal-hal
yang haram. Melalui harta, jangan sampai berbuat suap atau kesaksian palsu, atau
digunakan untuk mencari kesenangan yang haram, serta berbagai macam
pekerjaan haram, seperti meminjamkannya dengan sistem riba, digunakan untuk
membeli kertas-kertas lotre, bergabung dalam sebuah penggadaian yang haram,
dan sebagainya.
ِ َ‫َل ال َّش !يط‬ ِ ‫اَأْلزاَل م ِرج‬ ِ ِ َّ
‫ان‬ ْ ِ ‫س م ْن َعم‬ٌ ْ ُ ْ ‫اب َو‬ َ ْ‫ين َآمنُوا ِإمَّنَا اخْلَ ْ!م ُ!ر َوالْ َمْيس ! ُر َواَأْلن‬
ُ !‫ص‬ َ ‫يَا َأيُّهَا الذ‬
]90 : ‫ [املائدة‬ ‫اجتَنِبُوهُ لَ َعلَّ ُك ْم ُت ْفلِ ُحو َن‬
ْ َ‫ف‬

16
“ Hai orang-orang yang beriman, Sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi,
(berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah Termasuk
perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat
keberuntungan.”(QS. Al-Maidah : 90)
Demikianlah ayat-ayat al-Qur’an mencakup masalah harta dari semua aspek,
agar harta bisa menjadi sumber kenikmatan dan kebahagiaan bagi masyarakat,
menjauhkan kedengkian, ketamakan, dan eksplotasi sehingga kepercayaan dan
ketenangan bisa mendominasi masyarakat. Kita tidak yakin bahwa ada pemikiran
politik atau ekonomi yang mampu mencakup semua permasalahan harta seperti
yang diterangkan agama Islam. 6

6. Memelihara Lingkungan
Menurut Yusuf Qardhawi dalam bukunya Ri’ayah al-Bi’ah fi Syari’ah al-
Islam (2001), menjelaskan bahawa terdapat hubungan yang signifikan antara
agama dan lingkungan hidup. Agama secara signifikan dapat memberikan
kontribusi terhadap menjaga kualitas lingkungan alam sekitar. Beliau menjelaskan
bahwa memelihara lingkungan sama halnya dengan menjaga lima tujuan dasar
Islam (maqashid al-syari’ah). Karena itu, memelihara lingkungan sama hukumnya
dengan maqashid al-syari’ah. Dalam kaidah Ushul Fiqh disebutkan, ma la
yatimmu al-wajib illa bihi fawuha wajibun (sesuatu yang membawa kepada
kewajiban, maka sesuatu itu hukumnya wajib). Selanjutnya beliau menambahkan
ada lima alasan menjaga lingkungan adalah kewajiban bagi setiap muslim.
Pertama, rekonstruksi makna khalifah. Dalam Alquran ditegaskan bahwa menjadi
khalifah di muka bumi ini tidak untuk melakukan perusakan dan pertumpahan
darah. Tetapi untuk membangun kehidupan yang damai, sejahtera, dan penuh
keadilan. Dengan demikian, manusia yang melakukan kerusakan di muka bumi ini
secara otomatis mencoreng atribut manusia sebagai khalifah. Karena, walaupun
alam diciptakan untuk kepentingan manusia. tetapi tidak diperkenankan
menggunakannya secara semena-mena. Sehingga, perusakan terhadap alam

6 Nursidin, Ghilman, konstruksi pemikiran maqashid syari’ah Imam Al-Haramain Al-


Jiwaini,Tesis, IAIN WaliSongo Semarang, 2012. Hlm. 35

17
merupakan bentuk dari pengingkaran terhadap ayat-ayat (keagungan) Allah, dan
akan dijauhkan dari rahmat-Nya. Karena itulah, pemahaman bahwa manusia
sebagai khalifah di muka bumi ini bebas melakukan apa saja terhadap lingkungan
sekitarnya sungguh tidak memiliki sandaran teologisnya. Justru, segala bentuk
eksploitasi dan perusakan terhadap alam merupakan pelanggaran berat. Kedua,
ekologi sebagai doktrin ajaran. Artinya, menempatkan wacana lingkungan pada
doktrin utama (ushul) ajaran Islam. Ketiga, tidak sempurna iman seseorang jika
tidak peduli lingkungan. Keberimanan seseorang tidak hanya diukur dari
banyaknya ritual di tempat ibadah. Tapi, juga menjaga dan memelihara
lingkungan merupakan hal yang sangat fundamental dalam kesempurnaan iman
seseorang. Keempat, perusak lingkungan adalah kafir ekologis (kufr al-bi’ah). Di
antara tanda-tanda kebesaran Allah adalah adanya jagad raya (alam semesta) ini.
Karena itulah, merusak lingkungan sama halnya dengan ingkar (kafir) terhadap
kebesaran Allah. Kelima, memperjuangkan politik hijau (green politic), sebuah
gerakan mendampingi pembangunan agar berperspektif ekologis. Kebijakan-
kebijakan politik yang anti-ekologi, mekanistik, dan materialistik diarahkan
menuju kebijakan politik yang sadar lingkungan (ecological politic). Hal ini
penting karena kerusakan alam yang sedemikian parah tidak mungkin hanya
diselesaikan melalui pendekatan agama. Akan tetapi, perlu pendekatan yang
komprehensif. Mulai dari agama, ekonomi, politik, budaya, dan sosial bersatu
padu menangani krisis ekologis ini.7
Yusuf Qardhawi dalam karyanya yang berjudul Ri’ayah Al Bi’ah fi al-
Syari’ah al-Islam yang diterjemahkan menjadi Islam Agama Ramah
Lingkungan (2002) menjelaskan bahwa menjaga lingkungan adalah termasuk
kepada maqashid al-syariah. Menjaga lingkungan sama dengan menjaga agama
(hifddiin) karena hal tersebut tersurat dalam firman Allah surat Al-Araf: 56, “Dan
janganlah kamu membuat kerusakan di mukabumi, sesudah (Allah)
memperbaikinya …”

7 Muhammad Syah, Ismail, Filsafat Hukum Islam, Jakarta : Bumi Aksara,1992. 20

18
Qardhawi juga menjelaskan bahwa menjaga lingkungan sama pentingnya dengan
menjaga jiwa, harta, keturunan, dan akal. Tanpa alam yang bersih dan sehat,
mencapai maqasid syariah yang lima menjadi mustahil.

19
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
maqashid syari’ah adalah untuk mencapai kemaslahatan umat yang sebesar-
besarnya, karena tujuan penetapan hukum dalam Islam adalah untuk mencapai
kemaslahatan dalam rangka memelihara tujuan-tujuan syara’.
Adapun pembagian Maqashid Syari’ah yang harus dilindungi syara’
sebagai berikut :
1.      Perlindungan terhadap agama
Setiap orang berhak memilih agamanya sesuai dengan keyakinan masing-
masing, Allah melarang seseorang untuk memaksa orang lain masuk agama
Islam.
2.      Perlindungan terhadap nyawa
Hidup dan mati seseorang hanya Allah yang dapat menentukan. Jadi, Islam
melarang seseorang membunuh tanpa adanya alasan yang dapat dibenarkan.
Baik membunuh diri sendiri maupun membunuh orang lain.
3.      Perlindungan terhadap akal
Akal merupakan anugerah yang diberikan Allah kepada manusia. Maka,
Allah melarang manusia untuk merusak akalnya. Seperti halnya dengan cara
mengkonsumsi hal-hal yang memabukkan dan obat-obatan terlarang, yang
mengakibatkan hilang dan rusaknya akal mereka.
Manusia yang baik adalah mereka yang menggunakan akalnya untuk
memikirkan dan merenungkan ciptaan Allah, sehingga menjadikan mereka
lebih dekat dengan-Nya.
4.      Perlindungan terhadap kehormatan
Islam sangat menjaga kehormatan manusia, dan melarang segala sesuatu yang
dapat merusak kehormatannya.
5.      Perlindungan terhadap harta benda
Hidup di dunia, pastilah membutuhkan harta benda. Namun, hakikatnya harta
yang dimiliki manusia adalah milik Allah. Maka, manusia diperintahkan
untuk mendapatkan dan menggunakan harta dengan cara yang benar.

20
6. Perlindungan terhadap lingkungan
menjaga lingkungan adalah termasuk kepada maqashid al-syariah. Menjaga
lingkungan sama dengan menjaga agama (hifddiin), menjaga jiwa, harta,
keturunan, dan akal. Tanpa alam yang bersih dan sehat, mencapai maqasid
syariah yang lima menjadi mustahil.

B. Saran
Penyusun mengakui dalam pembuatan makalah ini masih banyak kekeliruan
dan kesalahan dan jauh dari sempurna, untuk itu mohon kritik dan saran yang
membangun dari pembaca pada umumnya agar dalam pembuatan makalah akan
lebih baik lagi. Terima kasih.

21
DAFTAR PUSTAKA

Al-Qardhawi, Yusuf. 2007.  Fikih Maqashid Syari’ah, Jakarta : Pustaka al-


Kautsar.
Al-Mursi Husain Jauhar, Ahmad, Maqashid Syariah, Terj. Khikmawati, Jakarta :
Amzah, 2010
Bakri, Asafri Jaya. Konsep Maqashid Syariah. Jakarta : Raja Grafindo Persada.
Dzajuli. 2003. Fiqh Siyasah. Jakarta : Kencana Prenada Media Group
Departemen Agama RI, 2009. Al Qur’an dan Tafsirnya, Jakarta : Depag RI.
Muhammad, Shahih Bukhari, Al-Qahirah : Dar Asy-Sya’b, T.Tb
Muhammad Syah, Ismail. 1992. Filsafat Hukum Islam, Jakarta : Bumi Aksara.
Nursidin, Ghilman. 2012. konstruksi pemikiran maqashid syari’ah Imam Al-
Haramain Al-Jiwaini,Tesis, IAIN WaliSongo Semarang.

22

Anda mungkin juga menyukai