Oleh :
YOGABAKTI ADIPRADANA SETIAWAN
NIM. 180311020038
DOSEN PENGASUH:
PROF. DR. H. KAMRANI BUSERI, MA
ZAINAL FIKRI, M.Ag, MA., Ph.D
DR. IRFAN NOOR, M.Hum
DR. H. SUKARNI, M.Ag
BAB I
PENDAHULUAN
Secara bahasa, maqashid syariah terdiri dari dua kata yakni, maqashid
dan syariah. 1Maqashid adalah bentuk jamak dari maqshid yang berarti
kesengajaan atau tujuan dan syariah berarti jalan menuju sumber air. Jalan
menuju sumber air ini dapat pula dikatakan sebagai jalan ke arah sumber pokok
kehidupan, tentu dalam hal ini adalah kehidupan manusia itu sendiri. Hukum
diciptakan oleh Allah hanya untuk manusia di muka bumi ini, walaupun hukum
itu sendiri sudah Allah ciptakan di surga ketika Adam dan Hawa dilarang untuk
Disiplin adalah sebuah ajaran kenyataan. Jadi Adam dan Hawa sudah diberikan
kepentingan umum.2
Juwayni yang terkenal dengan Imam Haramain dan oleh Imam al-Gazali
kemudian disusun secara sistematis oleh seorang ahli ushul fikih bermazhab
maliki dari Granada (Spanyol), yaitu Imam Shatibi (w. 790 H).
1
Totok, 2005, Kamus Ushul Fiqih, Jakarta: Dana Bakti Wakaf, hlm.97.
2
Sahal Mahfudh, 1994, Nuansa Fikih Sosial, Yogyakarta: LKIS, hlm.22.
2
al-Ahkâm, khususnya pada juz II, yang beliau namakan kitab al-Maqâshid.
maupun secara rinci (tafshilan), didasarkan pada suatu ‘Illat (motif penetapan
orang sakit. Tahsiniyat artinya sesuatu yang diambil untuk kebaikan kehidupan
3
Al-Syâtibî, al-Muwafaqât fi Ushûl al-Syari’ah, Jilid II, (al-Qahirah: Musthafâ Muhammad,
t.t.), h. 2-3.
4
Al-Syâtibî, al-Muwafaqât fi Ushûl al-Syari’ah, h. 5.
3
baik ditinjau dari maqâshid al-syâri’ (tujuan Tuhan) maupun maqâshid al-
mukallaf (tujuan Mukallaf). Dilihat dari sudut tujuan Tuhan, maqâshid al-
B. RUMUSAN MASALAH
Barat?
4
BAB II
PEMBAHASAN
maslahat hidup manusia, baik di dunia maupun di akhirat. Karena itu, taklif
juga membagi urutan dan skala prioritas maslahat menjadi tiga urutan
(tiga) kelompok: (1) Hal yang disuruh syara’ melakukannya untuk dapat
menuntut ilmu untuk meningkatkan kualitas akal. (2) Hal yang dilarang
khalawat (berdua dengan lawan jenis ditempat sepi). (3) Segala bentuk
Tujuan tingkat tersier ini adalah sesuatu yang sebaiknya ada untuk
ijtihad istinbāti dan tatbīqi. Ijtihad istinbāti mempunyai kaitan yang tidak
5
Syarifuddin, 2011, Ushûl Fiqih, Jakarta: Kencana Prenada Media Group
6
terkandung dalam nas al-Qur’an dan hadis yang merupakan khitab al-
kaitan antara ijtihad tatbīqi dengan maqāsid syari’ah walaupun kaitan itu
tidak secara langsung. Dari kaitan ini diapat ditegaskan bahwa hubungan
antara maqāsid syari’ah dan metode penetapan hukum dalam ijtihad tidak
dapat dipisah-kan.
dan metode penetapan hukum tidak dapat dipisahkan satu sama lain.
metode yang telah ada seperti qiyas, istihsan, istishlah, sad al-zara’iy,
dan hadis. 6Oleh karena itu, Allah dan Rasul-Nya sebagai pembuat hukum
6
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqhi, Jilid I (Cat. I; Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), h. 105
7
seperti metode al-bayân dari Imām al-Syafi’i dan metode al-istiqra’ dari
yang relevan dengan itu. Bahkan untuk hal-hal yang belum diketahui
MAQASHID
istinbāti dan Ijtihād Tatbiqī. Ijtihad istinbāti adalah sebuah upaya untuk
meneliti illah yang dikandung oleh nās sementara ijtihad tatbīqī adalah
diterapkan sesuai ide yang dikandung oleh nas. Ijtihad ini disebut juga
7
T. M. Hasbi Ash-Shiddieqy, 1978, Pengantar Ushul Fiqhi (Cet. III; Jakarta: Bulan Bintang,),
hlm. 166
8
kasus yang muncul dengan kandungan makna yang ada dalam nas.
yang dikandung oleh nas yang abstrak sedangkan dalam ijtihad tatbīqi
istinbāti adalah nas sementara tatbīqi adalah manusia dengan dinamika dan
upaya sosialisasi dan penerapan ide-ide nas pada tataran kehidupan manusia
menyebut ijtihad tatbīqi ini sebagai ijtihad yang tidak akan berhenti sampai
akhir zaman.8
dilakukan oleh sekelompok orang yang melibatkan ilmuan yang ahli tentang
8
Al-Syâtibî, al-Muwafaqât fi Ushûl al-Syari’ah, h. 5
9
dalam dunia kedokteran, operasi ganti kelamin, penanaman alat genetik atau
permak ulang maka yang dibutuhkan dalam masalah ini adalah pengetahuan
yang akan terus berkembang dan tidak berhenti sampai akhir zaman.
budaya dan politik dibanding ijtihad istinbāti yang lebih terfokus pada nas
syar’i tidak berarti kedua model ijtihad ini tidak memiliki hubungan antara
peranan yang amat penting karena pengetahuan tentang esensi dan ide
umum suatu nas tetap menjadi tolok ukur dalam penerapan hukum.
ijtihad tatbīqi yang disebut tahqīq al-manāt harus dikaitkan dengan takhrīj
al-manāt dan tahqīq al-manāt sebagai ijtihad istinbāti. Misalnya, kata adil
adalah orang yang bersifat adil. Kata adil merupakan kata kunci dalam ayat
sifat adil yang dimaksud oleh nas dan upaya mengetahui kriteri sifat adil
10
dapat disebut ijtihad istinbāti sedang meneliti pada siapa sifat adil itu yang
penalaran yang dikembangkan dewasa ini adalah corak penalaran ta’lili dan
terdapat dalam suatu nas. Penalaran ta’lili ini didukung oleh suatu
hukumnya.24
ada dalam nas tersebut. Dalam perkembangan pemikiran ushūl fiqh, corak
penalaran ta’lili ini adalah dalam bentuk metode qiyās dan istihsān.25
sini adalah kemaslahatan yang secara umum ditunjuk oleh kedua sumber
kepada suatu ayat atau hadis secara langsung baik melalui proses penalaran
ushūl fiqh, corak penalaran istislāhi ini terintegrasi dalam metode maslahah
pengembangan metode ijtihad yang telah dilakukan oleh ulama baik dalam
dan pendekatan maqāsid syari’ah. Jika teori maqāsid syari’ah ini dikaitkan
metode ijtihad tatbīqi dengan memadukan corak penalaran ta’līli dan corak
yang menyimpang dari ajaran agama yang benar, hal ini ditunjukkan
tidak dapat diartikan bahwa teori ini unik dalam hubungannya dengan
logika induktif. Embrio proses ini bermula pada abad keempat dan kelima
hadis ahad. Dan menurut teori ini, teori tradisional akan dikenal sebagai
utama dari teori ini adalah koroborasi induktif. Karena konsep Syatibi
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian terhadap permasalahan dalam makalah
dengan filsafat Barat adalah dalam hal dasar dari induksi tersebut
hipotesis.
15
DAFTAR PUSTAKA
.
Abdul Majid al-Shogir, al-Fikr al-Ushuly wa Isykâliyyat al-Sulthah al-Ilmiyyah fi
al-Islam. Cet. I; Beirut, Dar al-Muntakhob al-Arabi, 1994.
Abū Ishāq al-Syatibi. al-Muwāfaqāt fi Ushūl al-Syari’ah. Jilid IV Beirūt: Dār al
Maārifah, t, th.
al-Jauziyah, Ibn al-Qayyim, I’lām al-Muwaqqi’in, Juz III. Kairo: Dar al-Kutub al-
Hadis, 1969.
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqhi, Jilid I. Cet. I; Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997.
Ash-Shiddieqy, T. M. Hasbi, Pengantar Ushul Fiqhi. Cet. III; Jakarta: Bulan
Bintang, 1978.
Djamil, Fathurrahman Djamil, Filsafat Hukum Islam. Cet. 1; Jakarta: Logos
Wacana Ilmu, 1997.
Hallaq, Wael B. dalam Asapri Jaya Bakri, Konsep Maqāsid Syari’ah Menurut
Syatibi. Ed. 1; Cet. 1; Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996.
Jamaluddin Atiyyah, Nahw Faaliyat al-Maqashid al-Syariah, al-Muslim al-
Muashir, Edisi 23, 2002.
Jumantoro, Totok dan Samsul Munir Amin, Kamus Ilmu Ushul Fiqh. Cet.I: Sinar
Grafika Offset, 2005.
Khallaf, Abd. Wahab. Mashâdir al-Tasyri’ fi ma la fiqhi. Kuwait: Dar Al-Kalam,
1972.
M. Abdul Mujieb et al., Kamus Istilah Fiqh. Jakarta: PT. Pustaka Firdaus, 1994.
Mahmud Syaltut, al-Islam Aqidah wa Syari’ah. Mesir: Dār Alqalamih, 1966
Muhammad Musa al-Tiwana, Ijtihad wa Mada Hajatina Ilaih fi Haza al-‘Asr. t.t.:
Dâr al-Kutub al-Hadisah, t.th.
Zuhaily, Wahbah. Ushul al-Fiqh al-Islamy, Juz II. Beirut: Dâr al-Fikr,
1986.