Anda di halaman 1dari 17

TUGAS MATA KULIAH : FILSAFAT ILMU

METODE INDUKSI DALAM PENETAPAN


MAQASHID SYARIAH

Oleh :
YOGABAKTI ADIPRADANA SETIAWAN
NIM. 180311020038

DOSEN PENGASUH:
PROF. DR. H. KAMRANI BUSERI, MA
ZAINAL FIKRI, M.Ag, MA., Ph.D
DR. IRFAN NOOR, M.Hum
DR. H. SUKARNI, M.Ag

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI ANTASARI


PROGRAM PASCASARJANA
PROGRAM STUDI S-3 ILMU SYARIAH
BANJARMASIN
2018
1

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG MASALAH

Secara bahasa, maqashid syariah terdiri dari dua kata yakni, maqashid

dan syariah. 1Maqashid adalah bentuk jamak dari maqshid yang berarti

kesengajaan atau tujuan dan syariah berarti jalan menuju sumber air. Jalan

menuju sumber air ini dapat pula dikatakan sebagai jalan ke arah sumber pokok

kehidupan, tentu dalam hal ini adalah kehidupan manusia itu sendiri. Hukum

diciptakan oleh Allah hanya untuk manusia di muka bumi ini, walaupun hukum

itu sendiri sudah Allah ciptakan di surga ketika Adam dan Hawa dilarang untuk

mendekati buah quldi. “wa laa taqrabaa hadhihi assyajarota fatukana

minadhzzolimin. Di dalam isitilah sosiologi hukum disebut kata “disiplin”.

Disiplin adalah sebuah ajaran kenyataan. Jadi Adam dan Hawa sudah diberikan

tindakan disiplin untuk tidak mendekati buah quldi. Menurut asy-Syatibi,

maqashid syariah merupakan tujuan syariah yang lebih memperhatikan

kepentingan umum.2

Konsep maqashid syariah sebenarnya telah dimulai dari masa al-

Juwayni yang terkenal dengan Imam Haramain dan oleh Imam al-Gazali

kemudian disusun secara sistematis oleh seorang ahli ushul fikih bermazhab

maliki dari Granada (Spanyol), yaitu Imam Shatibi (w. 790 H).

1
Totok, 2005, Kamus Ushul Fiqih, Jakarta: Dana Bakti Wakaf, hlm.97.
2
Sahal Mahfudh, 1994, Nuansa Fikih Sosial, Yogyakarta: LKIS, hlm.22.
2

Konsep itu ditulis dalam kitabnya yang terkenal, al-Muwwafaqât fî Ushûl

al-Ahkâm, khususnya pada juz II, yang beliau namakan kitab al-Maqâshid.

Menurut al-Syâtibî, pada dasarnya syariat ditetapkan untuk mewujudkan

kemaslahatan hamba (mashâlih al-‘ibâd), baik di dunia maupun di akhirat.

Kemaslahatan inilah, dalam pandangan beliau, menjadi maqâshid al-syarî‘ah.

Dengan kata lain, penetapan syariat, baik secara keseluruhan (jumlatan)

maupun secara rinci (tafshilan), didasarkan pada suatu ‘Illat (motif penetapan

hukum), yaitu mewujudkan kemaslahatan hamba.3

Untuk mewujudkan kemashlahatan tersebut al-Syâtibî membagi

Maqâshid menjadi tiga tingkatan, yaitu: Maqâshid dharûriyât, Maqâshid

hâjiyat, dan Maqâshid tahsîniyât. Dharûriyât artinya harus ada demi

kemaslahatan hamba, jika tidak ada, akan menimbulkan kerusakan, misalnya

rukun Islam. Hâjiyât maksudnya sesuatu yang dibutuhkan untuk

menghilangkan kesempitan, seperti rukhsah (keringanan) tidak berpuasa bagi

orang sakit. Tahsiniyat artinya sesuatu yang diambil untuk kebaikan kehidupan

dan menghindarkan keburukan, semisal akhlak yang mulia, menghilangkan

najis, dan menutup aurat.

Dharûriyat jelaskan lebih rinci mencakup lima tujuan, yaitu: 4

1. Menjaga agama (hifzh al-dîn);

2. Menjaga jiwa (hifzh al-nafs);

3. Menjaga akal (hifzh al-‘aql);

3
Al-Syâtibî, al-Muwafaqât fi Ushûl al-Syari’ah, Jilid II, (al-Qahirah: Musthafâ Muhammad,
t.t.), h. 2-3.
4
Al-Syâtibî, al-Muwafaqât fi Ushûl al-Syari’ah, h. 5.
3

4. Menjaga keturunan (hifzh al-nasl);

5. Menjaga harta (hifzh al-mâl).

Secara substansial maqâshid al-syarî‘ah mengandung kemaslahatan,

baik ditinjau dari maqâshid al-syâri’ (tujuan Tuhan) maupun maqâshid al-

mukallaf (tujuan Mukallaf). Dilihat dari sudut tujuan Tuhan, maqâshid al-

syarî‘ah mengandung empat aspek:

1. Tujuan awal dari Syâri’ (Allah dan Rasul-Nya) menetapkan syari’ah

yaitu untuk kemashlahatan manusia di dunia dan akhirat.

2. Penetapan syariah sebagai sesuatu yang harus dipahami.

3. Penetapan syariah sebagai hukum taklîfi yang harus dilaksanakan.

4. Penetapan Syariah guna membawa manusia ke bawah lindungan

hukum yakni terhindar dari mengikuti hawa nafsu.

B. RUMUSAN MASALAH

Perumusan masalah dalam pembahasan makalah ini adalah :

1. Apa beda maqashid sebagai filsafat dan metode?

2. Bagaimana proses dan langkah induksi dalam penetapan maqashid?

3. Apa persamaan dan perbedaan metode induksi Shatibi dengan filsafat

Barat?
4

BAB II

PEMBAHASAN

A. PERBEDAAN MAQASHID SEBAGAI FILSAFAT DAN METODE

Pembahasan tentang maqâshid al-syarî‘ah secara khusus,

sistematis dan jelas dilakukan oleh al-Syâtibî dari kalangan Mâlikiyah.

Dalam kitabnya al-Muwâfaqât yang sangat terkenal itu, ia menghabiskan

lebih kurang sepertiga pembahasannya mengenai maqâshid al-syarî‘ah.

Sudah tentu, pembahasan tentang maslahatpun menjadi bagian yang

sangat penting dalam tulisannya. Ia secara tegas mengatakan bahwa tujuan

utama Allah menetapkan hukum-hukum-Nya adalah untuk terwujudnya

maslahat hidup manusia, baik di dunia maupun di akhirat. Karena itu, taklif

dalam bidang hukum harus mengarah pada dan merealisasikan

terwujudnya tujuan hukum tersebut. Seperti halnya ulama sebelumnya, ia

juga membagi urutan dan skala prioritas maslahat menjadi tiga urutan

peringkat, yaitu dharûriyât, hâjiyat dan tahsiniyat.

Menurut Abu Ishaq Al-Syatibi, kemaslahatan yang akan

diwujudkan terbagi menjadi tiga tingkat, yaitu: Pertama, Kebutuhan

dharûriyat (maslahat yang hakiki) atau kebutuhan primer. Termasuk dalam

kebutuhan ini adalah al-kulliyatu al-khams, lima hal yang merupakan

tujuan hukum Islam. Kedua, kebutuhan hajiyat ialah kebutuhan -

kebutuhan sekunder, di mana bilamana tidak terwujud dan tidak sampai

mengancam keselamatannya, namun akan mengalami kesulitan. Tujuan

hâjiyat dari segi penerapan penetapan hukumnya dikelompokan pada 3


5

(tiga) kelompok: (1) Hal yang disuruh syara’ melakukannya untuk dapat

melaksanakan kewajiban syara’ secara baik. Hal ini sebut muqodimah

wajib. Misalnya mendirikan sekolah dalam hubungannya dengan

menuntut ilmu untuk meningkatkan kualitas akal. (2) Hal yang dilarang

syara’ melakukannya untuk menghindarkan secara tidak langsung

pelanggaran pada salah satu unsur yang dharuri. Misalnya melakukan

khalawat (berdua dengan lawan jenis ditempat sepi). (3) Segala bentuk

kemudahan yang termasuk hukum rukshah (kemudahan) yang memberi

kelapangan dalam kehidupan manusia. Ketiga, kebutuhan tahsiniyat.

Tujuan tingkat tersier ini adalah sesuatu yang sebaiknya ada untuk

memperindah kehidupan. Keberadaannya dikehendaki untuk kemuliaan

akhlak dan kebaikan tatatertib pergaulan. Misalnya berhias dan berpakaian

rapi pada waktu ke masjid.5

Keterkaitan antara maqāsid syari’ah dan metode penetapan

hukum dapat dilihat pada substansi maqāsid syari’ah tersebut yakni

mewujudkan kemaslahatan dan pengembangan metode penetapan hukum

tatbīqi dengan corak penalaran ta’līli dan istislāhi. Keberadaan kedua

corak penalaran tersebut di atas, menun-jukkan bahwa antara maqāsid

syari’ah dan metode penetapan hukum dalam filsafat hukum Islam

memiliki hubungan yang erat sebagaimana yang terlihat dalam mekanisme

ijtihad istinbāti dan tatbīqi. Ijtihad istinbāti mempunyai kaitan yang tidak

dapat dipisahkan dengan keharusan pemahaman maqāsid syari’ah karena

5
Syarifuddin, 2011, Ushûl Fiqih, Jakarta: Kencana Prenada Media Group
6

ijtihad istinbāti merupakan upaya menggali ide-ide hukum yang

terkandung dalam nas al-Qur’an dan hadis yang merupakan khitab al-

Syāri. Sementara ijtihad istinbāti dan ijtihad tatbīqi mem-punyai

hubungan yang saling memer-lukan, maka secara tidak langsung ter-dapat

kaitan antara ijtihad tatbīqi dengan maqāsid syari’ah walaupun kaitan itu

tidak secara langsung. Dari kaitan ini diapat ditegaskan bahwa hubungan

antara maqāsid syari’ah dan metode penetapan hukum dalam ijtihad tidak

dapat dipisah-kan.

Atas dasar hubungan tersebut di atas, maka maqâshid al-syari’ah

dan metode penetapan hukum tidak dapat dipisahkan satu sama lain.

Maqâshid al-syari’ah adalah menjadi cita-cita utama daripada

pembentukan hukum Islam. Dengan melakukan ijtihad berdasarkan

metode yang telah ada seperti qiyas, istihsan, istishlah, sad al-zara’iy,

maka para mujtahid akan dapat melahirkan produk-produk hukum yang

mampu mendukung maqâshid al-syari’ah.

Keterkaitan lainnya adalah bahwa tidak semua persoalan hukum

mendapat pengaturan di dalam Alquran dan hadis. Banyak persoalan

hukum baru yang tidak ditemukan dalil-dalil hukumnya dalam Alquran

dan hadis. 6Oleh karena itu, Allah dan Rasul-Nya sebagai pembuat hukum

(al-syâri’) tidak mengemukakan semua maqâshid al-syari’ah secara

tersurat (mantuq), akan tetapi sebagian dikemukakan secara tersirat

(mafhum), bahkan ada yang tidak dikemukakan (sirr).

6
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqhi, Jilid I (Cat. I; Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), h. 105
7

Dengan demikian, untuk mengeta-hui maqâshid al-syari’ah dari

hukum-hukum yang telah ditentukan oleh Allah khususnya yang mafhum

dan sirr, orang harus berijtihad dengan menggunakan metode-metode

yang ada dengan ditopang oleh pengembangan pemahaman metodo-logis,

seperti metode al-bayân dari Imām al-Syafi’i dan metode al-istiqra’ dari

Imām al-Syathibi dan metode pemahaman lain. Sebab dengan semakin

diketahuinya maqâshid al-syari’ah yang lain (selain yang telah dikenal:

al-dharûriyyah al-khamsah), maka dapat dibuat produk-produk hukum

yang relevan dengan itu. Bahkan untuk hal-hal yang belum diketahui

sekalipun, sesungguhnya para mujtahid dapat membuatkan produk

hukumnya (fiqh iftiradhy).7

B. PROSES DAN LANGKAH INDUKSI DALAM PENETAPAN

MAQASHID

Syatibi menawarkan sebuah konsep ijtihad maqāsidī yang

berupaya mereali-sasikan kemaslahatan tersebut yaitu model ijtihad

istinbāti dan Ijtihād Tatbiqī. Ijtihad istinbāti adalah sebuah upaya untuk

meneliti illah yang dikandung oleh nās sementara ijtihad tatbīqī adalah

upaya untuk meneliti suatu masalah di mana hukum diidentifikasi dan

diterapkan sesuai ide yang dikandung oleh nas. Ijtihad ini disebut juga

7
T. M. Hasbi Ash-Shiddieqy, 1978, Pengantar Ushul Fiqhi (Cet. III; Jakarta: Bulan Bintang,),
hlm. 166
8

dengan Tahqīq al-Manāt yang berfokus pada upaya mengaitkan kasus-

kasus yang muncul dengan kandungan makna yang ada dalam nas.

Pembagian yang dikemukakan Syatibi ini dapat mempermudah

untuk memahami mekanisme ijtihad karena dalam ijtihad istinbāti seorang

mujtahid dapat memfokuskan perhatiannya pada upaya penggalian ide-ide

yang dikandung oleh nas yang abstrak sedangkan dalam ijtihad tatbīqi

seorang mujtahid berupaya menerapkan ide-ide yang abstrak tadi terhadap

permasalahan-permasalahan yang konkret tadi. Jadi objek kajian ijtihad

istinbāti adalah nas sementara tatbīqi adalah manusia dengan dinamika dan

perkembangan yang dialaminya. Ijtihad tatbīqi dapat juga disebut dengan

upaya sosialisasi dan penerapan ide-ide nas pada tataran kehidupan manusia

yang senan-tiasa berkembang dan berubah sehingga wajar jika Syatibi

menyebut ijtihad tatbīqi ini sebagai ijtihad yang tidak akan berhenti sampai

akhir zaman.8

Mencermati dua model ijtihad yang dikemukakan oleh Syatibi

tersebut di atas, maka bagaimana mekanisme ijtihad istinbāti adalah ijtihad

yang dapat dilakukan seorang diri maupun kelompok yang memiliki

persyaratan-persyaratan ijtihad seperti pengertahuan bahasa Arab,

pengetahuan tentang sunnah dan penge-tahuan tentang sebab turunnya ayat.

Sebaliknya, ijtihad tatbīqi adalah model ijtihad kolektif yang dapat

dilakukan oleh sekelompok orang yang melibatkan ilmuan yang ahli tentang

suatu masalah tanpa harus memenuhi standar syarat-syarat ijtihad tersebut.

8
Al-Syâtibî, al-Muwafaqât fi Ushûl al-Syari’ah, h. 5
9

Dalam kasus ini, ilmuan dibutuhkan untuk memberi informasi dan

konfirmasi terhadap suatu masalah di mana masalah tersebut, mungkin

seorang ulama tidak memiliki kompetensi tentang hal tersebut. Misal-nya,

dalam dunia kedokteran, operasi ganti kelamin, penanaman alat genetik atau

permak ulang maka yang dibutuhkan dalam masalah ini adalah pengetahuan

seorang dokter ahli. Persoalan-persoalan seperti inilah menurut penulis

yang akan terus berkembang dan tidak berhenti sampai akhir zaman.

Sekalipun peran ijtihad tatbīqi lebih menonjol pada aspek sosial

budaya dan politik dibanding ijtihad istinbāti yang lebih terfokus pada nas

syar’i tidak berarti kedua model ijtihad ini tidak memiliki hubungan antara

keduanya. Di dalam pelaksanaan ijtihad tatbīqi, ijtihad istin-bāti memegang

peranan yang amat penting karena pengetahuan tentang esensi dan ide

umum suatu nas tetap menjadi tolok ukur dalam penerapan hukum.

Kekeliruan dalam menetapkan ide ayat akan melahirkan kekeliruan pula

dalam menilai masalah-masalah baru dan peneta-pan hukumnya. Artinya,

ijtihad tatbīqi yang disebut tahqīq al-manāt harus dikaitkan dengan takhrīj

al-manāt dan tahqīq al-manāt sebagai ijtihad istinbāti. Misalnya, kata adil

dalam QS at-Thalāq ayat 2.‫ذوي ﻋﺪ ل ﻣﻨﻜﻢ واﺷﮭﺪوا‬

Ayat ini menunjukkan bahwa orang yang dapat menjadi saksi

adalah orang yang bersifat adil. Kata adil merupakan kata kunci dalam ayat

ini. Dalam mela-kukan ijtihad seseorang harus mengetahui dengan teliti

sifat adil yang dimaksud oleh nas dan upaya mengetahui kriteri sifat adil
10

dapat disebut ijtihad istinbāti sedang meneliti pada siapa sifat adil itu yang

ditunjuk nas bisa ditemukan merupakan model ijtihad tatbīqi.

Dalam konteks hubungan antara maqāsid syari’ah dan ijtihad

sebagai sebuah metode penemuan dan penetapan hukum, maka corak

penalaran yang dikembangkan dewasa ini adalah corak penalaran ta’lili dan

corak penalaran istislāhi. Corak penalaran ta’lili adalah sebuah upaya

penggalian hukum yang bertumpu pada penentuan illah-illah hukum yang

terdapat dalam suatu nas. Penalaran ta’lili ini didukung oleh suatu

kenyataan bahwa nas al-Qur’an maupun hadis dalam penuturannya tentang

suatu masalah hukum sebagian diiringi dengan penyebutan illah-illah

hukumnya.24

Dengan memperhatikan illah yang terkandung dalam nas, maka

permasala-han-permasalahan hukum yang muncul diupayakan

pemecahannya oleh seorang mujtahid melalui penalaran terhadap illah yang

ada dalam nas tersebut. Dalam perkembangan pemikiran ushūl fiqh, corak

penalaran ta’lili ini adalah dalam bentuk metode qiyās dan istihsān.25

Sementara corak penalaran istislāhi adalah sebuah upaya

penggalian hukum yang bertumpu pada prinsip-prinsip kemaslahatan yang

disimpulkan dari al-Qur’an dan hadis. Kemaslahatan yang dimaksudkan di

sini adalah kemaslahatan yang secara umum ditunjuk oleh kedua sumber

hukum tersebut. Artinya, kemas-lahatan itu tidak dapat dikembalikan

kepada suatu ayat atau hadis secara langsung baik melalui proses penalaran

bayāni maupun ta’lili melainkan dikem-balikan kepada prinsip umum


11

kemas-lahatan yang dikandung oleh nas. Dalam perkembangan pemikiran

ushūl fiqh, corak penalaran istislāhi ini terintegrasi dalam metode maslahah

al-mursalah dan al-zari’ah.26

Dari uraian yang telah dikemukakan di atas, tampaknya

pengembangan metode ijtihad yang telah dilakukan oleh ulama baik dalam

corak penalaran ta’lili maupun corak penalaran istislāhi sangat memung-

kinkan karena dapat berperan besar dalam memberikan pemecahan terhadap

masa-lah-masalah hukum yang muncul dewasa ini apabila diberi muatan

dan pendekatan maqāsid syari’ah. Jika teori maqāsid syari’ah ini dikaitkan

dengan pesatnya dan kompleksnya persoalan yang dihadapi umat sekarang

ini, maka metode peneta-pan hukum yang dapat dikembangkan adalah

metode ijtihad tatbīqi dengan memadukan corak penalaran ta’līli dan corak

penalaran istislāhi karena yang dibutuhkan dewasa ini adalah kolektivitas

keilmuan sehingga hasil ijtihad itu menjadi komprehensif.

C. PERSAMAAN DAN PERBEDAAN METODE INDUKSI SHATIBI

DENGAN FILSAFAT BARAT

Pada masa Al-Syatibi yang telah penuh nuansa konflik yang

menyebabkan kehidupan politik tidak setabil, dan praktek-praktek

keagamaan yang menyimpang banyak diwarnai bid’ah dan khurafat, maka

dari latar belakang tersebut Al-Syatibi berusaha mengembangkan

pemikirannya, sehingga munculnya teori Al-Syatibi lebih disebabkan oleh

dorongan dan keinginan yang kuat untuk menciptakan sebuah perangkat


12

teoritis yang dapat meningkatkan fleksibilitas dan adaptabilitas hukum

positif sebagai jawaban terhadap tuduhan atau respon terhadap paktek

yang menyimpang dari ajaran agama yang benar, hal ini ditunjukkan

dalam karya monumentalnya yaitu al-Muwafaqat dan al-I’tisham, Teori

Al-Syatibi mewakili sebuah pendekatan terhadap teori hukum Sunni,

tidak dapat diartikan bahwa teori ini unik dalam hubungannya dengan

logika induktif. Embrio proses ini bermula pada abad keempat dan kelima

hijriyyah yang berhubungan dengan al-tawatur al-ma’nawi dari hadis-

hadis ahad. Dan menurut teori ini, teori tradisional akan dikenal sebagai

tawatur al-lafzi memainkan peranan penting tetapi parsial, maka konsep

utama dari teori ini adalah koroborasi induktif. Karena konsep Syatibi

mengenai induksi tematik mewakili sebuah perluasan dari al-tawatur al-

ma’nawi, ketimbang membatasi penerapan prinsip tersebut pada hadis-

hadis Nabi, Syatibi menggunakannya dalam mengkonstruk sejumlah

validitas universal dari sumber-sumber syari’ah.

Epistemologi hukum Islam yang dibangun Al-Syatibi pada

hakekatnya mendasarkan seluruh teori usul fikihnya pada prinsip-prinsip

induktif. Sebab al-Syatibi memulai dengan premis dasar bahwa prinsip-

prinsip teori hukum dan sumber-sumber hukum yang berasal dari

keotoritasan Tuhan sebagai dasar epistemologi sumber-sumber hukum,

maka harus ada tingkat probabilitas prinsip dan sumber-sumber ini,

mungkin kesimpulan dari probabilitas (zhan) tersebut dapat berubah


13

menjadi tingkatan meragukan (syakk), sehingga menjadikan syari’ah yang

merupakan hukum Tuhan dapat diubah.


14

BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian terhadap permasalahan dalam makalah

ini, maka dapat dikemukakan suatu kesimpulan sebagai berikut :

1. Perbedaan maqashid sebagai filsafat dan metode adalah ketika

maqashid sebagai filsafat maka ia menajdi tujuan dari hukum itu

sendiri ketika kemudian terjadi pergeseran yang merubah maqashid

sebagai metode maka maqashid menjadi alat untuk memahami dan

mengembangkan tujuan dari hukum.

2. Proses dalam penetapan Mqashid Syariah yaitu melakukan

penafsiran terhadap nash, dan melihat qiyas terhadap hukum-

hukum yang telah ada.

3. Persamaan metode induksi Shatibi dengan filsafat Barat tujuan dari

induksi tersebut sedangkan perbedaan metode induksi Shatibi

dengan filsafat Barat adalah dalam hal dasar dari induksi tersebut

yang mana pada metode shatibi lebih menekankan apda rasionalitas

sedangkan filsafat barat menekan pada dugaan sementara atau

hipotesis.
15

DAFTAR PUSTAKA

.
Abdul Majid al-Shogir, al-Fikr al-Ushuly wa Isykâliyyat al-Sulthah al-Ilmiyyah fi
al-Islam. Cet. I; Beirut, Dar al-Muntakhob al-Arabi, 1994.
Abū Ishāq al-Syatibi. al-Muwāfaqāt fi Ushūl al-Syari’ah. Jilid IV Beirūt: Dār al
Maārifah, t, th.
al-Jauziyah, Ibn al-Qayyim, I’lām al-Muwaqqi’in, Juz III. Kairo: Dar al-Kutub al-
Hadis, 1969.
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqhi, Jilid I. Cet. I; Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997.
Ash-Shiddieqy, T. M. Hasbi, Pengantar Ushul Fiqhi. Cet. III; Jakarta: Bulan
Bintang, 1978.
Djamil, Fathurrahman Djamil, Filsafat Hukum Islam. Cet. 1; Jakarta: Logos
Wacana Ilmu, 1997.
Hallaq, Wael B. dalam Asapri Jaya Bakri, Konsep Maqāsid Syari’ah Menurut
Syatibi. Ed. 1; Cet. 1; Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996.
Jamaluddin Atiyyah, Nahw Faaliyat al-Maqashid al-Syariah, al-Muslim al-
Muashir, Edisi 23, 2002.
Jumantoro, Totok dan Samsul Munir Amin, Kamus Ilmu Ushul Fiqh. Cet.I: Sinar
Grafika Offset, 2005.
Khallaf, Abd. Wahab. Mashâdir al-Tasyri’ fi ma la fiqhi. Kuwait: Dar Al-Kalam,
1972.
M. Abdul Mujieb et al., Kamus Istilah Fiqh. Jakarta: PT. Pustaka Firdaus, 1994.
Mahmud Syaltut, al-Islam Aqidah wa Syari’ah. Mesir: Dār Alqalamih, 1966
Muhammad Musa al-Tiwana, Ijtihad wa Mada Hajatina Ilaih fi Haza al-‘Asr. t.t.:
Dâr al-Kutub al-Hadisah, t.th.

Yusdani, “Fiqh Dan Hak Asasi Manusia (Prespektif Dialogis-Preskriptif-


Akomodatif)”. al-mawarid, Jurnal Hukum Islam. Vol. XV, No. 1,
Februari- Agustus 2014. Yogyakarta: FIAI UII. hlm.18.
16

Zuhaily, Wahbah. Ushul al-Fiqh al-Islamy, Juz II. Beirut: Dâr al-Fikr,
1986.

Anda mungkin juga menyukai