Anda di halaman 1dari 36

TUGAS MATA KULIAH

STUDI TEKS ISLAM (TAFSIR AYAT AHKAM)

HUKUM ZAKAT PENGHASILAN & PROFESI


(Tafsir Alquran Surah Al-Baqarah Ayat 267)

Disusun oleh:
AHMAD SYAFAAT, ST., MM.
NIM. 180311020037

DOSEN PENGASUH:

PROF. DR. H. AKH. FAUZI ASERI, MA (KOORDINATOR)


PROF. DR. H. MAHYUDDIN BARNI, M.Ag
PROF. DR. H. ABDULLAH KARIM, MA
DR. H. M. HANAFIAH, MH

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI ANTASARI


PROGRAM PASCASARJANA
PROGRAM STUDI S-3 ILMU SYARIAH
BANJARMASIN
2018
2

HUKUM ZAKAT PENGHASILAN & PROFESI

A. Pendahuluan
Zakat merupakan rukun islam yang ke-3 setelah shalat yang selain sebagai suatu

ibadah, juga memiliki fungsi sosial ekonomi sehingga ayat-ayat tentang zakat tidak hanya

dikaji oleh para mufassir dan ahli-ahli fiqih, tetapi juga oleh para ahli ekonomi dan

keuangan dari seluruh dunia. Syariat zakat yang menumbuhkan hikmah kepedulian dan

kesejahteraan sosial dengan cara pengentasan kemiskinan telah sukses mengatasi

persoalan penting ini dibandingkan agama-agama dan sistem-sistem lain yang dibuat oleh

manusia.

Namun, kondisi dunia yang terus berkembang dan bertransformasi sesuai

perkembangan teknologi, memunculkan hal-hal baru dalam kehidupan masyarakat

khususnya dalam bidang perekonomian yang sebelumnya tidak ada saat Al-Qur’an

diturunkan. Sumber-sumber ekonomi, uang, bentuk transaksi dan cara-cara masyarakat

dalam memenuhi kebutuhan hidupnya telah mengalami perubahan. Hal ini menimbulkan

pertanyaan dari para ulama dan pemikir islam bagaimana Al-Qur’an menjawab tantangan

perbedaan zaman. Zakat dengan hikmahnya yang telah disebutkan sebelumnya harus

dapat dipertahankan agar tetap dapat memberi kemaslahatan bagi manusia. 1

Al-Qur’an adalah sumber hukum bagi umat islam di seluruh dunia. Kalau di

setiap negara memiliki konstitusi dan perundang-undangan yang dibuat oleh pemikiran

manusia, maka bagi umat islam Al-Qur’an adalah konstitusi dan undang-undang dari

Allah SWT yang menjadi sandaran dan kerangka berfikir dalam bertindak dan bertingkah

1
Yusuf Qardawi, Hukum Zakat (Bandung: Mizan, 1996), 3–4.
3

laku. Maka dari itu, hukum-hukum dan asas yang dikandung dalam Al-Qur’an

mengandung prinsip-prinsip yang bersifat umum, sedangkan unsur-unsur penyusun

hukum tersebut sendiri dijelaskan melalui hadits-hadist Nabi Muhammad SAW dan apa

yang dibenarkan oleh keduanya. Namun ada juga hukum-hukum yang dijelaskan secara

detail dan terperinci dalam Al-Qur’an. Hal ini dimaksudkan untuk memberi penegasan

dan keteraturan. Keduanya tercermin dalam Al-Qur’an Surah Al-Baqarah ayat 267 dan

Surah At-Taubah ayat 60.2

B. Pengertian Zakat
Ditinjau dari segi bahasa, kata zakat merupakan kata dasar (masdar) dari zakat

yang berarti berkah, tumbuh, bersih dan baik. Zakat dari segi istilah fiqih berarti

“sejumlah harta tertentu yang diwajibkan Allah diserahkan kepada orang-orang yang

berhak.”3

Zakat menjadi kewajiban secara utuh di Madinah dengan ditepntukan nishab,

ukuran, jenis kekayaan, dan distribusinya. Negara Madinah juga telah mengatur dan

menata sistem zakat dengan mengirim para petugas untuk memungut dan

mendistribusiannya. Sebenarnya, prinsip zakat sudah diwajibkan sejak fase Makkah

dengan banyaknya ayat-ayat yang menerangkan sifat-sifat orang beriman dan

menyertakan “membayar zakat” sebagai salah satunya. Misalnya seperti ayat yang

menjadi dalil kewajiban zakat tanaman, “Makanlah dari buahnya ketika berbuah, dan

berikan haknya pada hari panennya; Dan jangan berlebihan, sesungguhnya Allah tidak

menyukai orang yang berlebihan.” (Al-An’am: 141). Ayat ini adalah ayat Makkiyah.4

2
Qardawi, 507.
3
Qardawi, 34.
4
“Tafsir Al-Qur’an,” t.t., https://tafsiralquran2.wordpress.com/2013/01/28/pengertian-zakat/.
4

Berbeda dengan ayat-ayat Al Qur’an yang turun di Makkah, ayat-ayat yang turun

di Madinah sudah menjelaskan bahwa zakat itu wajib dalam bentuk perintah yang tegas

dan instruksi pelaksanaan yang jelas. Salah satu surat yang terakhir turun adalah surat At

Taubah yang juga merupakan salah satu surat dalam Quran yang menumpahkan perhatian

besar pada zakat. Coba kita perhatikan ayat-ayat surat At Taubah di bawah ini yang tidak

lepas dari masalah zakat :5

a. Dalam ayat permulaan surat itu Allah memrintahkan agar orang-orang musyrik

yang melanggar perjanjian damai itu dibunuh. Tetapi jika mereka (1) bertaubat, (2)

mendirikan shalat wajib, dan (3) membayar zakat, maka berilah mereka kebebasan (QS

9:5).

b. Enam ayat setelah ayat diatas Allah berfirman :”…jika mereka bertaubat,

mendirikan shalat dan membayar zakat, barulah mereka teman kalian seagama….” (QS

9:11)

c. Allah juga merestui orang-orang yang menyemarakan masjid; yaitu orang-orang

yang beriman kepada Allah dan hari kemudian, mendirikan sholat, membayar zakat (QS

9:18)

d. Allah mengancam dengan azab yang pedih kepada orang-orang yang menimbun

emas dan perak dan tidak menafkahkannya di jalan Allah (QS 9:34-35)

e. Dalam surat ini juga terdapat penjelasan tentang sasaran-sasaran penerima zakat,

yang sekaligus menampik orang-orang yang rakus yang ludahnya meleleh melihat

kekayaan zakat tanpa hak. (QS 9:60).

5
Abu Mujahid, “Zakat Pada Periode Madinah,” 2007, https://almanaar.wordpress.com/2007/11/07/zakat-pada-
periode-madinah/.
5

f.Allah menjelaskan pula bahwa zakat merupakan salah satu institusi seorang Mu’min

(QS 9:71) yang membedakannya dari orang munafik (yang menggenggam tangan

mereka/kikir, QS 9:67).

g. Allah memberikan instruksi kepada Rasul-Nya dan semua orang yang bertugas

memimpin ummat setelah beliau untuk memungut zakat (QS 9:103)

Khuz min amwalihim shadaqah….(Pungutlah zakat dari kekayaan mereka….). Kata

“min” berarti sebagian dpari harta, bukan seluruh kekayaan. Kata “amwalihim” dalam

bentuk jamak yang berarti : harta-harta kekayaan mereka, yaitu meliputi berbagai jenis

kekayaan.Kata shodaqah dalam ayat ini oleh kebanyakan ulama salaf maupun khalaf

ditafsirkan sebagai zakat dengan dasar hadits dan riwayat shahabat.

Zakat merupakan kewajiban yang sangat penting dalam ajaran Islam. Urgensi

kewajiban tersebut dapat kita lihat dengan diiringkannya kata Zakat dalam Al-Qur’an

bersama dengan Shalat sebanyak 28 kali. Hal ini menunjukkan bahwa Zakat adalah salah

satu ibadah penting yang harus diperhatikan oleh kaum muslimin setelah shalat.6 Zakat

mempunyai beberapa istilah dalam Al-Qur’an, di antaranya:7

a. Zakat

              

Jika mereka bertaubat, mendirikan sholat dan menunaikan zakat, Maka (mereka
itu) adalah saudara-saudaramu seagama. dan Kami menjelaskan ayat-ayat itu bagi kaum
yang mengetahui. (QS At-Taubah:11)

b. Shadaqah

                  

6
Qardawi, 39.
7
Anshori, “Studi ayat-ayat zakat sebagai instrumen ekonomi dalam tafsir Al-Misbah,” Misykat Al-Anwar 29 (2018),
http://fai-umj.ac.id/jurnal/index.php/MaA16/article/view/57.
6

Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan
dan mensucikan mereka dan mendoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu
(menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. dan Allah Maha mendengar lagi Maha
mengetahui. . (QS At-Taubah:103)

Ayat ini menganjurkan Rasulullah untuk mengambil sedekah dari harta orang-

orang yang bertobat, dimana sedekah tersebut dapat membersihkan mereka dari dosa dan

kekikiran dan dapat mengangkat derajat mereka di sisi Allah. Serta mendoakan mereka

dengan kebaikan dan hidayah, karena sesungguhnya doa itu dapat menenangkan jiwa dan

menenteramkan kalbu mereka. Allah Maha Mendengar doa dan Maha Mengetahui orang-

orang yang ikhlas dalam bertobat.8

Yusuf Qardhawi dalam bukunya Hukum Zakat mengatakan, bahwa zakat dapat

membersihkan dan mensucikan harta seseorang, serta memperkembangkan dan menambah

sesuatu pada harta kekayaan seseorang. Karena berhubungan hak orang lain dan sesuatu

harta, akan menyebabkan harta tersebut bercampur atau kotor, yang tidak bisa suci kecuali

dengan mengeluarkannya. 9

Bahwasanya zakat dapat dikenakan pada harta diam yang dimiliki seseorang setelah

satu tahun, harta yang produktif tidak dikenakan zakat. Hal ini dipandang mendorong

produktifitas yang dapat mengembangkan dan menambah harta kekayaan seseorang.

Sehingga perputaran uang yang beredar di masyarakat bertambah. Pada akhirnya,

perekonomian suatu Negara akan berjalan lebih baik.

c. Haq

8
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah: Pesan, kesan dan Keserasian Al-Quran, vol. 5 (Jakarta: Lentera Hati, 2002),
706.
9
Qardawi, Hukum Zakat, 602.
7

              

                    

Artinya: “Dialah Allah yang menciptakan tumbuh-tumbuhan yang dibuat panggungnya dan
yang tidak dibuat, menciptakan kurma dan tumbuh-tumbuhan yang beraneka rasanya,
zaitun dan buah delima yang hamper-hampir bersamaan bentuknya dan yang tidak
bersamaan. Makanlah sebagian daripada buahnya apabila dia berbuah dan berikan haqnya
(zakatnya) di hari dia dituai dan janganlah kamu berlebih-lebihan, sesungguhnya Allah
tidak menyukai orang yang berlebih-lebihan.” (QS. Al-An’am 6: 141)

d. Nafaqah

               

               

Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian dari hasil
usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu.
dan janganlah kamu memilih yang buruk-buruk lalu kamu menafkahkan daripadanya,
Padahal kamu sendiri tidak mau mengambilnya melainkan dengan memincingkan mata
terhadapnya. dan ketahuilah, bahwa Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji.(QS. Al-Baqarah
267)

C. Ayat Alquran Surah Al-Baqarah ayat 267

1. Asbabun Nuzul Ayat

Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Sa’id Al-

Asyaj, telah menceritakan kepada kami Ubaidillah, dari Israil, dari As-Saddi, dari Abu

Malik , dari Al-Barra r.a. sehubungan dengan firman-Nya (QS Al-Baqarah 267).

Al-Barra r.a mengatakan,”Ayat ini diturunkan berkenaan dengan kami (kalangan

Anshar), orang Anshar. Di antara kami ada orang-orang yang memiliki kebun kurma.

Dulu seseorang menyedekahkan sebagian hasil kebunnya sesuai dengan jumlah yang

dimiliki. Kemudian dada seorang lelaki dangan dengan membawa buah kurma yang
8

buruk, lalu menggantungkannya di masjid. Sedangkan golongan suffah (fakir miskin)

tidak mempunyai makanan; seseorang di antara mereka apabila lapar dating, lalu

memukulkan tongkatnya pada gantungan buah kurma yang belum masak dan yang

berkualitas rendah, lalu memakannya. Di antara orang-orang yang tidak

menginginkan kebaikan memberikan sedekahnya berupa buah kurma yang buruk dan

yang telah kering dan belum masak, untuk itu ia datang dengan membawa buah

kurmanya yang buruk dan menggantungkannya di masjid. Maka turunlah ayat

tersebut.

Al-Barra ibnu Azib r.a mengatakan,”Seandainya seseorang di antara kalian diberi

hadiah buah kurma seperti apa yang biasa ia berikan, niscaya dia tidak mau

mengambilnya kecuali dengan memicingkan mata terhadapnya dengan perasaan

malu. Maka sesudah itu seseoran di antara kami selalu datang dengan membawa hasil

yang paling baik yang ada padanya.” Hal yang sama diriwayatkan oleh Imam

Turmuzi.10

2. Penjelasan para mufassir.

1. Jalaluddin As-Suyuthi & Jalaluddin Muhammad Ibnu Ahmad Al-

Mahally

(Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah), maksudnya zakatkanlah

(sebagian yang baik-baik) dari (hasil usahamu) berupa harta (dan sebagian)

yang baik-baik dari (apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu) berupa

biji-bijian dan buah buahan (dan janganlah kamu sengaja) mengambil (yang

jelek) atau yang buruk (darinya) maksudnya dari yang disebutkan itu, lalu
10
Tafsir Ibnu Katsir, 3 (Sinar Baru Al-Gesindo, t.t.), 96–102.
9

(kamu keluarkan untuk zakat) menjadi 'hal' dari dhamir yang terdapat pada

'tayammamu' (padahal kamu sendiri tidak mau mengambilnya) maksudnya

yang jelek tadi, seandainya ia menjadi hak yang harus diberikan kepadamu

(kecuali dengan memejamkan mata terhadapnya), artinya pura-pura tidak tahu

atau tidak melihat kejelekannya, maka bagaimana kamu berani

memberikan itu guna memenuhi hak Allah! (Dan ketahuilah bahwa Allah

Maha Kaya) sehingga tidak memerlukan nafkahmu itu (lagi Maha Terpuji)

pada setiap kondisi dan situasi.11

2. Ibnu Katsir

Surah Al-Baqarah ayat 267 ini menjelaskan bahwa Allah Swt memerintahkan

kepada hamba-hamba-Nya yang beriman untuk berinfak. Yang dimaksud

dengan infak dalam ayat ini ialah bersedekah.

Menurut Ibnu Abbas, sedekah harus diberikan dari harta yang baik (yang

halal) yang dihasilkan oleh orang yang bersangkutan. Menurut Mujahid, yang

dimaksud dengan hasil usaha ialah berdagang; Allah telah memudahkan cara

berdagang bagi mereka.

Menurut Ali dan As-Saddi, makna firman-Nya:


     
dari hasil usaha kalian yang baik. (Al-Baqarah: 267)

Yakni emas dan perak, juga buah-buahan serta hasil panen yang telah

ditumbuhkan oleh Allah di bumi untuk mereka. Ibnu Abbas mengatakan

bahwa Allah memerintahkan kepada mereka untuk berinfak dari sebagian


11
“Tafsir Jalalain,” t.t.
10

harta mereka yang baik, yang paling disukai dan paling disayang. Allah

melarang mereka mengeluarkan sedekah dari harta mereka yang buruk dan

jelek serta berkualitas rendah; karena sesungguhnya Allah itu Mahabaik, Dia

tidak mau menerima kecuali yang baik.

Yakni janganlah kalian sengaja memilih yang buruk-buruk. Seandainya

kalian diberi yang buruk-buruk itu, niscaya kalian sendiri tidak mau

menerimanya kecuali dengan memicingkan mata terhadapnya. Allah

Mahakaya terhadap hal seperti itu dari kalian, maka janganlah kalian

menjadikan untuk Allah apa-apa yang tidak kalian sukai.

Yakni janganlah kalian menyimpang dari barang yang halal, lalu dengan

sengaja mengambil barang yang haram, kemudian barang yang haram itu

kalian jadikan sebagai nafkah kalian.12

3. Asy-Syaukani

Asy-Syaukani berkata, dalam ayat di atas terdapat perintah berinfaq dengan

harta yang baik dan larangan berinfaq dengan harta yang buruk. Sejumlah

ulama salaf berpendapat bahwa ayat tersebut berkenaan dengan ayat

bersedekah wajib. Ibn Jarir meriwayatkan dari ‘Ubaidah as-Salmani yang

berkata,” Saya pernah bertanya kepada ‘Ali bin Abi Thalib tentang ayat di

atas”. Ia menjawab,”Ayat itu berkenaan dengan zakat yang wajib.” Ulama lain

berpendapat bahwa ayat tersebut berkaitan dengan sedekah wajib dan yang

sunnah sekaligus.13

12
Tafsir Ibnu Katsir, 96–98.
13
Muhammad Amin Suma, Tafsir Ahkam Ayat-Ayat Ibadah (Lentera Hati, 2016), 62–63.
11

4. Ibnu Qoyyim

Ibnu Qayyim berpendapat ada beberapa kemungkinan alasan mengapa Allah

hanya menyebutkan secara khusus dua jenis kekayaan dalam ayat di atas,

yaitu kekayaan yang keluar dari bumi dan harta niaga. Kemungkinan yang

pertama karena melihat kenyataan bahwa keduanya merupakan jenis kekayaan

yang umum dimiliki masyarakat pada saat itu. Kemungkinan kedua adalah

karena keduanya merupakan harta kekayaan yang utama (pokok). Sedangkan

jenis kekayaan yang lain sudah termasuk di dalam atau timbul dari keduanya.

Hal ini karena istilah “usaha” mencakup segala bentuk perniagaan dengan

berbagai ragam dan jenis harta seperti pakaian, makanan, budak, hewan,

peralatan, dan segala benda lainnya yang berkaitan dengan perdagangan.

Sedangkan “harta yang keluar dari bumi” meliputi biji-bijian, buah-buahan,

harta terpendam (rikaz) dan pertambangan. Jelaslah bahwa keduanya

merupakan harta yang pokok dan dominan. Allah melarang mengeluarkan

(menginfakkan) dengan sengaja harta yang buruk, berkualitas rendah,

sebagaimana dorongan jiwa pada umumnya yaitu menyimpan harta yang baik

dan mengeluarkan harta berkualitas rendah.14

5. Yusuf Qardawi

Al Qardawi menafsirkan keumuman lafaz “ma kasabtum” dalam ayat di atas

yang berarti mencakup segala macam usaha; perdagangan atau pekerjaan dan
14
Suma, 60–61.
12

profesi. Para ulama fiqih berpegang pada keumuman maksud ayat tersebut

sebagai landasan zakat perdagangan, yang oleh karena itu dapat juga dipakai

sebagai landasan zakat pencarian atau profesi. Berbeda dengan Al-Qur’an

Surah At-Taubah ayat 60 yang secara rinci menerangkan kepada siapa zakat

itu harus diberikan. Sehingga tidak diperkenankan para penguasa membagikan

zakat menurut kehendak mereka sendiri. 15

           

             
“Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-

orang miskin, pengurus-pengurus zakat, Para mu'allaf yang dibujuk hatinya,

untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah

dan untuk mereka yuang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan

yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.”

D. Diskusi Seputar Zakat Penghasilan dan Profesi

Diskusi yang menonjol saat ini adalah tentang hukum mengeluarkan zakat pencarian

atau profesi yang digagas oleh DR. Yusuf Qardawi. Hal tersebut terjadi karena zakat jenis

ini belum pernah di praktekkan oleh Nabi SAW semasa beliau masih hidup. Disamping itu

para ulama klasik sepakat hanya ada empat macam harta kekayaan yang wajib dizakati,

yaitu: emas dan perak, binatang ternak, tanaman/buah-buahan dan harta perniagaan. Namun

ada baiknya kita pelajari penjelasan DR. Yusuf Qardawi tentang zakat profesi.

15
Qardawi, Hukum Zakat, 476.
13

Beliau berpendapat harta hasil usaha seperti gaji pegawai, upah karyawan, pendapatan

dokter, insinyur, advokat dan yang lain yang mengerjakan profesi tertentu dan juga seperti

pendapatan yang diperoleh dari modal yang diinvestasikan di luar sektor perdagangan,

seperti pada mobil, kapal, kapal terbang, percetakan, tempat- tempat hiburan, dan lain-

lainnya, wajib terkena zakat tanpa persyaratan satu tahun dan dikeluarkan pada waktu

diterima.

Sebagai penjelasan dari pendapat dalam masalah yang sensitif itu, beliau

mengemukakan beberapa butir alasan di bawah ini, supaya kebenaran dapat jelas yang

dikuatkan dengan dalil:

1. Persyaratan satu tahun dalam seluruh harta termasuk harta penghasilan tidak

berdasar nash yang mencapai tingkat shahih atau hasan yang darinya bisa diambil

ketentuan hukum Syara' yang berlaku umum bagi umat.

Ketentuan setahun itu ditetapkan berdasarkan hadis-hadis dari empat sahabat,

yaitu Ali, Ibnu Umar, Anas dan Aisyah r.a. Tetapi hadis-hadis itu lemah, tidak

bisa dijadikan landasan hukum.16

HADIS DARI ALI

Hadis dari Ali diriwayatkan oleh Abu Daud tentang Zakat Ternak. "Kami

diberitahu oleh Sulaiman bin Daud al-Mahri, oleh Ibnu Wahab, oleh Jarir bin

Hazim, yang lain mengatakan dari Abu Ishaq, dari Ashim bin Dzamra dan Haris

'A'war, dari Ali r.a., dari Nabi s.a.w. Bila engkau mempunyai dua ratus dirham

dan sudah mencapai waktu setahun, maka zakatnya adalah 5 (lima) dirham, dan

tidak ada suatu kewajiban zakat yaitu atas emas-sampai engkau mempunyai dua

puluh dinar dan sudah mencapai masa setahun, yang zakatnya adalah setengah
16
Qardawi, Hukum Zakat.
14

dinar. Lebih dari itu menurut ketentuan di atas, Abu Daud berkata, "Saya tidak

tahu apakah Ali yang mengatakan "Lebih dari itu menurut ketentuan" tersebut

ataukah yang mengatakannya Nabi sendiri. Begitu juga tentang ketentuan masa

setahun bagi wajib zakat, selain ucapan Jarir, "Hadis dari Nabi tersebut

bersambung dengan "Tidak ada kewajiban zakat atas satu kekayaan sampai

melewati waktu setahun." Demikian hadis Ali yang diriwayatkan oleh Abu Daud,

sedangkan penilaian ulama-ulama hadis tentang hadis tersebut sebagai berikut:

a. Ibnu Hazm berkata, diikuti oleh Abdul Haq dalam Ahkamuhu, "Hadis itu

diriwayatkan oleh Ibnu Wahab dari Jarir bin Hazim dari Abu Ishaq dari Ashim

dan Haris dari Ali. Abu Ishaq membandingkan antara Ashim dan Haris, Haris

adalah pembohong yang menyangkutkannya kepada Nabi s.a.w., sedangkan

Ashim tidak menyangkutkannya. Kemudian Jarir menggabungkan kedua hadis

dari kedua orang tersebut. Hadis tersebut diriwayatkan pula oleh Syuibah, Sufyan,

dan Mu'ammar dari Abu Ishaq dari Ashim dari Ali secara mauquf. Demikian juga

semua yang diriwayatkan oleh Ashim mesti hanya sampai kepada Ali. Seandainya

Jarir menyangkutkannya ke Ashim dan menjelaskan hal tersebut, kita akan

menerimanya.

b. Ibnu Hajar berkata dalam at-Talkhish -mengomentari pendapat Ibnu Hazm -

"Hadis tersebut diriwayatkan oleh Turmizi dari Abu Awanah dari Abu Ishaq dari

Ashim dari Ali sebagai hadis marfu'. Menurut saya hadis Abu Awanah tidak

menyebut-nyebut masalah setahun, yang oleh karena itu tidak bisa dijadikan

landasan hukum. Teksnya sebagaimana diriwayatkan oleh Turmizi mengenai

zakat emas dan uang adalah sabda Rasul, "Saya dulu memaafkan zakat kuda dan
15

uang, sekarang keluarkanlah zakatnya: dari setiap empat puluh dirham satu

dirham, seratus sembilan puluh tidak ada zakatnya, tetapi bila sudah mencapai dua

ratus dirham maka zakatnya lima dirham.

c. Semua ini berdasarkan pendapat bahwa Ashim terjamin kejujurannya tetapi

sebenarnya ia tidak bebas dari cacat. Mundziri dalam Mukhtashar as-Sunan

mengatakan bahwa Haris dan Ashim tidak bisa dipercaya. Tetapi Zahabi dalam

Mizan al-I'tidal mengatakan bahwa terdapat empat orang memperoleh hadis itu

darinya dan dikuatkan oleh Ibnu Mu'ayyan dan Ibnu Madini. Ahmad berkata

bahwa ia lebih baik dari Haris-A'war dan dapat dipercaya. Nasa'i juga berpendapat

demikian. Tetapi Ibnu Adi mengatakan bahwa ia meriwayatkan hadis tersebut

sendiri saja dari Ali. Menurut Ibnu Hiban, Ashim mempunyai daya hafal yang

jelek, banyak salah, dan selalu menghubungkan ucapannya itu kepada Ali yang

oleh karena itu lebih baik tidak diperhatikan, namun ia lebih baik dari Haris.

Ucapan ini mendukung pendapat Mundzir, bahwa hadis tersebut tidak bisa

dijadikan landasan hukum.

d. Dengan demikian hadis tersebut ada cacatnya, sebagaimana diperingatkan oleh

Ibnu Hajar dalam at-Talkhish bahwa hadis yang kita sebutkan dari Abu Daud

tersebut ada cacatnya. Ia mengatakan bahwa Ibnu Muwaq memperingatkan bahwa

hadis tersebut mempunyai cacat yang tersembunyi, yaitu bahwa Jarir bin Hazim

tidak mungkin mendengarnya dari Abu Ishaq, tetapi diriwayatkan oleh banyak

penghafal seperti Sahnun, Harmala, Yunus, Bahr bin Nashir, dan lain- lainnya dari

Ibnu Wahab dariJarir bin Hazim dari Haris bin Nabhan dari Hasan bin 'Imarah

dari Abu Ishaq. Ibnu Muwaq berkata bahwa meragui kebenaran hadis tersebut
16

karena Sulaiman adalah guru Abu Daud merupakan dugaan -dugaan untuk

menjatuhkan seseorang saja. Hasan bin 'Imarah yang tidak terdapat dalam sanad

jelas tidak dapat dibenarkan.

Dengan demikian kita dapat melihat bahwa hadis tersebut tidak dapat dijadikan

landasan. Sikap Ibnu Hajar yang diam saja atas kritikan Ibnu Muwaq atas hadis

tersebut, bahkan menegaskan hadis tersebut ada cacatnya, dinilai sudah

menyimpang dari pendapatnya dalam at-Talkhish, bahwa hadis Ali benar

sanadnya dan dikuatkan oleh banyak atsar sehingga dapat dijadikan landasan

hukum. Jelaslah bahwa dalam hadis tersebut terdapat banyak kekurangan. Yaitu

dari pihak Haris yang diduga pembohong karena sebagian saja mengatakan hadis

itu ke pihak sebelumnya, dari pihak Ashim yang dipersoalkan kejujurannya, dan

dari segi cacat seperti disebut oleh Ibnu Muwaq dan dikuatkan oleh Ibnu Hajar.

Allahlah yang lebih tahu bahwa orang-orang yang menganggap bahwa hadis Ali

adalah hasan, bila mengetahui cacat yang diperingatkan oleh Ibnu Muwaq yang

juga dikuatkan oleh Ibnu Hajar dalam bukunya tersebut, pasti akan meralat

pendapat mereka, dan akan menyatakan bahwa hadis tersebut betul bercacat.

HADIS DARI IBNU UMAR

Mengenai hadis dari Ibnu Umar, Ibnu Hajar berkata bahwa hadis yang

diriwayatkan oleh Daruquthni dan Baihaqi, didalamnya terdapat Ismail bin Iyasy

yang menerima dari sumber bukan penduduk Syam, adalah lemah. Diriwayatkan

pula oleh Ibnu Numair, Mu'tamar, dan lain-lain dari gurunya, yaitu Ubaidillah bin

Umar, yang meriwayatkan dari Nafi' kemudian terputus, yang dibenarkan oleh

Daruquthni dalam al-'Ilal bahwa hadis tersebut memang mauquf.


17

HADIS DARI ANAS

Mengenai hadis dari Anas, Daruquthni meriwayatkan yang didalamnya ada Hasan

bin Siyah yang lemah yang telah meriwayatkan sendiri saja dari Sabit (Talkhish:

175) bahwa Ibnu Hiban berkata dalam kitab adz-Dzu'afa' bahwa ia meragui hadis

itu yang tidak diperbolehkannya untuk landasan hukum karena ia

meriwayatkannya sendiri saja.

HADIS DARI AISYAH

Hadis dari Aisyah diriwayatkan oleh Ibnu Majah, Daruquthni, Baihaqi, serta

Uqaili dalam adz-Dzu'afa' bahwa didalamnya terdapat Harisha bin Abur Rijal,

yang lemah. Ibnu Qayyim berkata dalam Tahdhib Sunan Abi Daud hadis bahwa

tidak ada zakat pada harta benda sampai lewat setahun diriwayatkan dari Aisyah

dengan sanad yang shahih. Muhammad bin Ubaidillah bin Munadi berkata bahwa

hadis tersebut diriwayatkan kepada mereka oleh Abu Zaid Syuja, bin al-Walid,

dari Harisha bin Muhammad dari Umrah dari Aisyah "Saya mendengar Rasulullah

bersabda: "Tidak ada zakat pada suatu harta sampai lewat setahun," diriwayatkan

oleh Abu Husain bin Basyran dari Usman bin Samak dari Ibnu Munadi.

Adalah aneh Ibnu Qayyim menilai hadis tersebut shahih dengan sanad tersebut

oleh karena bila kita tidak menggubris Syuja, bin Walid ayah Badr gelar yang

diberikan padanya lihat al-Mizan, jilid 2: 264 sedangkan tentangnya Abu Hakim

mengatakan suaranya hampir tidak kedengaran, tua, tidak kuat, tidak dapat

dipercaya, tetapi mempunyai hadis- hadis shahih lain dari sumber Muhammad bin

Amru, maka kita tidak bisa pula menganggap tidak ada gurunya yaitu Harisha bin
18

Muhammad yang sebenarnya adalah Harisha bin Abu Rijal sendiri, yang

meriwayatkan dari Umrah yang hadis-hadis darinya dianggap lemah oleh

Daruquthni dan Uqaili. Zahabi berpendapat dalam bukunya bahwa Ahmad dan

Ibnu Mu'ayyan menganggap hadis itu lemah, Nasa'I berpendapat bahwa hadis

tersebut matruk, sedangkan Bukhari menilai hadis tersebut tidak benar tak seorang

pun yang mengakuinya. Madini berkata bahwa sahabat-sahabatnya masih

menganggapnya lemah, sedangkan lbnu Adi mengatakan bahwa kebanyakan hadis

yang diriwayatkan olehnya tidak benar. Ini berarti bahwa menurut ijmak

perawinya lemah dan bercacat, yang oleh karena itu tidak mungkin hadis yang

diriwayatkan sendirian bisa dianggap shahih. Agaknya ia memakai nama ayahnya

- yaitu Muhammad - dan tidak dengan nama aslinya yang terkenal - yaitu Abu

Rijal - merupakan petunjuk ketidak- benaran tersebut.

Hadis -hadis tersebut adalah hadis-hadis yang berhubungan dengan persyaratan

waktu setahun (haul) bagi wajib zakat semua jenis harta benda baik "harta

pendapatan" maupun bukan.

2. Para sahabat dan tabi'in memang berbeda pendapat dalam harta penghasilan:

sebagian mempersyaratkan adanya masa setahun, sedangkan sebagian lain tidak

mempersyaratkan satu tahun itu sebagai syarat wajib zakat tetapi wajib pada

waktu harta penghasilan tersebut diterima

3. Beliau menilai bahwa adalah tidak mungkin syariat yang sederhana dan berbicara

untuk seluruh umat manusia membawa persoalan-persoalan kecil yang sulit

dilaksanakan sebagai kewajiban bagi seluruh umat.


19

4. Mereka yang tidak mempersyaratkan satu tahun bagi syarat harta penghasilan

wajib zakat lebih dekat kepada nash yang berlaku umum dan tegas di atas

daripada mereka yang mempersyaratkannya, karena nash-nash yang mewajibkan

zakat baik dalam Quran maupun dalam sunnah datang secara umum dan tegas dan

tidak terdapat di dalamnya persyaratan setahun.

5. Allah menyatukan penghasilan yang diterima seseorang Muslim dengan hasil

yang dikeluarkan Allah dari tanah dalam satu ayat, yaitu "Hai orang- orang yang

beriman keluarkanlah sebagian penghasilan kalian dan sebagian yang kami

keluarkan untuk kalian dari tanah," mengapakah harus membedabedakan dua

masalah yang di atur Allah dalam satu aturan sedangkan kedua-duanya adalah

rezeki dan nikmat dari Allah?

6. Pemberlakuan syarat satu tahun bagi zakat harta penghasilan berarti

membebaskan sekian banyak pegawai dan pekerja profesi dari kewajiban

membayar zakat atas pendapatan mereka yang besar, Itu berarti hanya

membebankan zakat pada orang-orang yang hemat dan ekonomis saja. Hal itu

jauh sekali dari maksud kedatangan syariat yang adil dan bijak.

7. Pendapat yang menetapkan setahun sebagai syarat harta penghasilan jelas terlihat

saling kontradiksi yang tidak bisa diterima oleh keadilan dan hikmat Islam.

8. Pengeluaran zakat penghasilan setelah diterima, diantaranya gaji, upah,

penghasilan dari modal yang ditanamkan pada sektor selain perdagangan, dan

pendapatan para ahli, akan lebih menguntungkan fakir miskin dan orang yang

berhak lainnya, menambah besar perbendaharaan zakat, disamping menambah


20

perbendaharaan negara dan pemiliknya dapat dengan mudah mengeluarkan

zakatnya.

9. Pembebasan penghasilan-penghasilan yang berkembang sekarang tersebut dari

sedekah wajib atau zakat dengan menunggu masa setahunnya, berarti membuat

orang-orang hanya bekerja, berbelanja, dan bersenang-senang, tanpa harus

mengeluarkan rezeki pemberian Tuhan dan tidak merasakasihan kepada orang

yang tidak diberi nikmat kekayaan itu dan kemampuan berusaha.

10. Persyaratan setahun bagi harta penghasilan ini berarti, bahwa seorang Muslim

kadang-kadang bisa mempunyai berpuluh-puluh masa tempo masing-masing

kekayaan yang diperoleh pada waktu yang berbeda-beda. Ini sulit sekali

dilakukan, dan sulit pula bagi pemerintah memungut dan mengatur zakat yang

dengan demikian zakat tidak bisa terpungut dan sulit dilaksanakan.17p

Di antara ulama kontemporer dan lembaga yang mengukuhkan eksistensi keberadaan

zakat profesi baik secara eksplisit maupun implisit diantaranya Syeikh Abdul Wahhab

Khallaf, Syeikh Abu Zahrah, Al-Ghazali, Prof. Didin Hafidhuddin, Quraisy Syihab, Majelis

Tarjih Muhammadiyah, MUI (Majelis ulama Indonesia).

Namun ada pula sebagian yang tidak setuju dan tidak membolehkan zakat profesi,

dengan alasan utama bahwa zakat profesi tidak pernah dicontohkan oleh Nabi SAW. Mereka

misalnya Dr. Wahbah Az Zuhaili, Prof. Ali As Salus, Syeikh Bin Baz, Syeikh Muhammad

bin Shaleh Utsaimin, Hai`ah Kibaril ulama, Dewan Hisbah PERSIS, Bahtsul Masail NU, dan

juga Hizbut Tahrir Indonesia (HTI).18

17
Qardawi, 475–79.
18
Fuad Riyadi, “Kontroversi Zakat Profesi Pesrpektif Ulama Kontemporer,” Ziswaf 2 (2015): 1.
21

Para penentang zakat profesi ketika menolak keberadaannya umumnya selain

selain lewat mempertanyakan dalil, juga mengkritik teknis pelaksanaannya yang rancu. 19

1. Zakat Ibadah Mahdhah

Dalil yang paling sering dikemukakan oleh mereka yang menentang keberadaan zakat

profesi adalah bahwa zakat merupakan ibadah mahdhah, dimana segala ketentuan dan

aturannya ditetapkan oleh Allah SWT lewat pensyariatan dari Rasulullah SAW. Kalau ada

dalil yang pasti, maka barulah zakat itu dikeluarkan, sebaliknya bila tidak ada dalilnya, maka

zakat tidak boleh direkayasa.

2. Tidak Ada Nash dari Al-Quran dan As-Sunnah

Prinsipnya, selama tidak ada nash dari Rasulullah SAW, maka kita tidak punya

wewenang untuk membuat jenis zakat baru. Meski demikian, para ulama ini bukan ingin

menghalangi orang yang ingin bersedekah atau infaq. Hanya yang perlu dipahami, mereka

menolak bila hal itu dimasukkan ke dalam bab zakat, sebab zakat itu punya banyak aturan

dan konsekuensi.

Sedangkan bila para artis, atlet, dokter, lawyer atau pegawai itu ingin menyisihkan gajinya

sebesar 2,5 % per bulan, tentu bukan hal yang diharamkan, sebaliknya justru sangat

dianjurkan. Namun janganlah ketentuan itu dijadikan sebagai aturan baku dalam bab zakat.

Sebab bila tidak, maka semua orang yang bergaji akan berdosa karena meninggalkan

kewajiban agama dan salah satu dari rukun Islam. Sedangkan bila hal itu hanya dimasukkan
19
Ahmad Sarwat, “Mengapa Para Ulama Masih Berbeda Pendapat Dalam Zakat Profesi?,” Rumah Fiqih Indonesia,
2015, http://www.rumahfiqih.com/x.php?id=1434999850&=mengapa-para-ulama-masih-berbeda-pendapat-
dalam-zakat-profesi.htm.
22

ke dalam bab infaq sunnah, tentu akan lebih ringan dan tidak menimbulkan konsekuensi

hukum yang merepotkan.

3. Tidak Pernah Ada Sepanjang 14 Abad

Selama nyaris 14 abad ini tidak ada satu pun ulama yang berupaya melakukan

'penciptaan' jenis zakat baru. Padahal sudah beribu bahkan beratus ribu kitab fiqih ditulis

oleh para ulama, baik yang merupakan kitab fiqih dari empat mazhab atau pun yang

independen. Namun tidak ada satu pun dari para ulama sepanjang 14 abad ini yang

menuliskan bab khusus tentang zakat profesi di dalam kitab mereka. Bukan karena tidak

melihat perkembangan zaman, namun karena mereka memandang bahwa masalah zakat

bukan semata-mata mengacu kepada rasa keadilan. Tetapi yang lebih penting dari itu, zakat

adalah sebuah ibadah yang tidak terlepas dari ritual. Sehingga jenis kekayaaan apa saja yang

wajib dizakatkan, harus mengacu kepada nash yang shahih dan kuat dari Rasulullah SAW.

Dan tidak boleh hanya didasarkan pada sekedar sebuah ijtihad belaka.

E. Kesimpulan

Barangkali bentuk penghasilan yang paling menyolok pada zaman sekarang ini

adalah apa yang diperoleh dari pekerjaan dan profesinya. Pekerjaan yang menghasilkan uang

ada dua macam. Pertama adalah pekerjaan yang dikerjakan sendiri tanpa tergantung kepada

orang lain, berkat kecekatan tangan ataupun otak. Penghasilan yang diperoleh dengan cara

ini merupakan penghasilan profesional, seperti penghasilan seorang doktor, insinyur,

advokat seniman, penjahit, tukang kayu dan lain-lainnya. Yang kedua, adalah pekerjaan

yang dikerjakan seseorang buat pihak lain-baik pemerintah, perusahaan, maupun perorangan
23

dengan memperoleh upah, yang diberikan, dengan tangan, otak, ataupun kedua- duanya.

Penghasilan dari pekerjaan seperti itu berupa gaji, upah, ataupun honorarium.

Wajibkah kedua macam penghasilan yang berkembang sekarang itu dikeluarkan

zakatnya ataukah tidak? Bila tidak wajib kenapa padi dan barang perdagangan yang tidak

dizakati pada masa Rasulullah, yang kewajibannya juga berdasar ijithad para Sahabat, pada

masa sekarang ini menjadi wajib dizakati. Sedang gaji yang tidak dizakati pada masa

Rasulullah tetapi dizakati di masa Sahabat, sekarang ini menjadi tidak wajib dizakati?

Apakah logika yang berusaha membedakan penghasilan dari sektor perdagangan dengan

penghasilan dari sektor jasa dalam masalah zakat ini masih layak dipertahankan?
24

DAFTAR PUSTAKA

Al-Faridy, Hasan Rifa’i. Panduan Zakat Praktis. Jakarta: Dompet Dhuafa Republika, 2004.

Anshori. “Studi ayat-ayat zakat sebagai instrumen ekonomi dalam tafsir Al-Misbah.” Misykat Al-

Anwar 29 (2018). http://fai-umj.ac.id/jurnal/index.php/MaA16/article/view/57.

Dahlan, Abdul Aziz. Ensiklopedi Hukum Islam. IV. Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoev, 2003.

Mujahid, Abu. “Zakat Pada Periode Madinah,” 2007.

https://almanaar.wordpress.com/2007/11/07/zakat-pada-periode-madinah/.

Qardawi, Yusuf. Hukum Zakat. Bandung: Mizan, 1996.

Riyadi, Fuad. “Kontroversi Zakat Profesi Pesrpektif Ulama Kontemporer.” Ziswaf 2 (2015): 1.

Sarwat, Ahmad. “Mengapa Para Ulama Masih Berbeda Pendapat Dalam Zakat Profesi?” Rumah

Fiqih Indonesia, 2015. http://www.rumahfiqih.com/x.php?id=1434999850&=mengapa-

para-ulama-masih-berbeda-pendapat-dalam-zakat-profesi.htm.

Shihab, M. Quraish. Tafsir Al-Misbah: Pesan, kesan dan Keserasian Al-Quran. Vol. 5. Jakarta:

Lentera Hati, 2002.

Suma, Muhammad Amin. Tafsir Ahkam Ayat-Ayat Ibadah. Lentera Hati, 2016.

Syahroni, Oni. “Bitcoin Menurut Fiqih.” Diakses 3 Januari 2019.

https://www.republika.co.id/berpita/ekonomi/syariah-ekonomi/18/01/29/p3aqzw440-

bitcoin-menurut-fikih.

“Tafsir Al-Qur’an,” t.t. https://tafsiralquran2.wordpress.com/2013/01/28/pengertian-zakat/.

Tafsir Ibnu Katsir. 3. Sinar Baru Al-Gesindo, t.t.

“Tafsir Jalalain,” t.t.


25

Tuasikal, Muhammad Abduh. “Hukum menampilkan iklan dari google adsense.,” 2012.

https://rumaysho.com/2735-meninjau-hukum-menampilkan-iklan-dari-google-

adsense.html.

Yasin Ibrahim, Al-Syaikh. Zakat Membersihkan Kekayaan, Menyempurnakan Puasa

Ramadhan. Bandung: Marja, 2004.


26

Lampiran: Hasil Diskusi

1. Apakah perusahaan tambang dikenakan zakat juga padahal hakikatnya

tambang itu adalah kekayaan bumi yang dimiliki oleh negara?

Terdapat perbedaan pendapat ulama’ fikih dalam mengartikan barangtambang

(ma’dỉn) dan harta terpendam (rikỉảz), dalam kaitannya dengan kewajiban zakat.

Ulama’ madhab Hanafi berpendapat bahwa barang tambang dan hartaterpendam yang

ditemukan seseorang mengandung pengertian yang sama,yaitu sama-sama barang

yang dikeluarkan dari perut bumi. Bedanya, menurut mereka hanya dari segi

subjeknya, yaitu barang tambang tersimpan diperutbumi atas ciptaan Allah SWT,

sedangkan harta terpendam merupakanperbuatan manusia masa lalu. Jumhur ulama’

berpendapat bahwa barang tambang adalah sesuatu yangdiciptakan Allah SWT dalam

perut bumi yang memiliki nilai tinggi seperti,emas, perak, dan tembaga. 20

Adapun harta yang terpendam adalah harta yangtersimpandiperut bumi, baik atas

ciptaan Allah SWT maupun atas perbuatanmanusia. Oleh sebab itu harta terpendam

lebih umum daripada barangtambang.Akan tetapi, ulama’ madhab Syafi’imembatasi

harta terpendam itupada emas dan perak saja. Pendapat Sayyid Quthub yang diambil

dari tafsirnya “Fi ZhilalilQur’an” yang mengomentari firman Allah surat al-Baqarah

(2) ayat 267 danmengatakan: ayat ini merupakan ajakan kepada orang beriman di

mana dankapan pun untuk membayar zakat. Pernyataan ini mencakup seluruh

20
Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam, IV (Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoev, 2003).
27

jeniskekayaan seperti hasil pertanian, tanaman, buah-buahan serta jenis-jenis mineral

dan minyak bumi. 21

2. Bagaiman perhitungan zakatnya jika perusahaan adalah syirkah antara muslim

dengan non muslim?

Pada badan usaha yang berbentuk syirkah (kerjasama), maka jika semua anggota

syirkah beragama Islam, zakat dikeluarkan lebih dulu sebelum dibagikan kepada

pihak-pihak yang bersyirkah. Tetapi jika anggota syirkah terdapat orang yang non

muslim, maka zakat hanya dikeluarkan dari anggota syirkah muslim saja (apabila

jumlahnya lebih dari nishab). Usaha patungan dengan non muslim labanya

dipisahkan secara proporsional berdasarkan modal masing-masing.22

Kekayaan yang dimiliki badan usaha tidak akan lepas dari salah satu atau lebih dari

tiga bentuk di bawah ini :

1. Kekayaan dalam bentuk barang

2. Uang tunai

3. Piutang

Maka yang dimaksud dengan harta perusahaan yang wajib dizakati adalah yang

harus dibayar (jatuh tempo) dan pajak.

3. Berikan penjelasan tentang harta yang di infakkan adalah harta yang baik.

Kenapa?

21
Al-Syaikh Yasin Ibrahimp, Zakat Membersihkan Kekayaan, Menyempurnakan Puasa Ramadhanp, vol. p
(Bandung: Marja, 2004), 66, p.
22
Hasan Rifa’i Al-Faridy, Panduan Zakat Praktis (Jakarta: Dompet Dhuafa Republika, 2004), 20.
28

Menurut Ibnu Abbas dalam tafsir ibnu katsir, sedekah harus diberikan dari harita

yang baik (yang halal) yang dihasilkan oleh orang yang bersangkutan. Allah

memerintahkan kepada manusia untuk berinfak dari sebagian harta mereka yang baik,

yang paling disukai dan paling disayang. Allah melarang mereka mengeluarkan

sedekah dari harta yang buruk dan jelek serta berkualitas rendah; karena

sesungguhnya Allah itu Maha Baik, Dia tidak mau menerima kecuali yang baik.

Karena itulah dalam firman selanjutnya disebutkan:

“Dan janganlah kalian memilih yang buruk-buruk, lalu kalian nafkahkan darinya,

padahal kalian sendiri tidak mau mengambilnya. (Al-Baqarah: 267)

Yakni janganlah kalian sengaja memilih yang buruk-buruk. Seandainya kalian diberi

yang buruk-buruk itu, niscaya kalian sendiri tidak mau menerimanya kecuali dengan

memicingkan mata terhadapnya. Allah Maha Kaya terhadap hal seperti itu dari

kalian, maka janganlah kalian menjadikan untuk Allah apa-apa yang tidak kalian

sukai. Menurut pendapat yang lain, makna firman-Nya itu yakni janganlah kalian

menyimpang dari barang yang halal, lalu dengan sengaja mengambil barang yang

haram, kemudian barang yang haram itu kalian jadikan sebagai nafkah kalian.23

4. Bagaimana jika uang yang dimiliki berupa e-money (uang virtual) seperti

bitcoin, apakah wajib di zakati?

Sebelum menjelaskan pandangan fikih terkait Bitcoin, terlebih dahulu dijelaskan apa

itu Bitcoin agar gambaran tentang Bitcoin menjadi jelas.

23
Tafsir Ibnu Katsir.
29

Bitcoin adalah uang digital yang diterbitkan oleh pihak selain otoritas moneter yang

diperoleh dengan cara pembelian, transfer pemberian (reward), atau mining (proses

menghasilkan sejumlah Bitcoin baru, melibatkan proses matematika yang rumit).

Jika dibuat ilustrasi sederhana, dalam sebuah bazar, panitia memberikan kupon-

kupon kepada masyarakat untuk mempermudah pembelian barang oleh masyarakat.

Dengan kupon tersebut, masyarakat menukar dengan barang. Setelah barang habis,

kupon-kupon masih tersedia, maka kupon tersebut diperjualbelikan. Kupon dalam

ilustrasi tersebut adalah seperti Bitcoin.

Bitcoin tidak memiliki underlying asset, nilai tukar sangat fluktuatif, tidak bisa

diprediksi dan kenaikan sangat tidak wajar. Bitcoin juga tidak diakui sebagai alat

pembayaran yang sah oleh otoritas dan transaksi person to person tanpa lembaga

perantara resmi.

Berdasarkan gambaran tersebut, bisa disimpulkan bahwa Bitcoin bukan uang karena

belum memenuhi dua kriteria uang (diterima oleh masyarakat luas dan diterbitkan

oleh otoritas), sebagaimana definisi uang.

“Naqd (uang) adalah segala sesuatu yang menjadi media pertukaran dan diterima

secara umum....” (Sulaiman al-Mani, Buhuts fi al-Iqtishad al-Islami). Juga pengertian

uang yang lain, “Naqd (uang) adalah sesuai yang dijadikan harga oleh masyarakat

baik terdiri atas logam atau kertas yang dicetak maupun dari bahan lainnya yang

diterbitkan oleh lembaga keuangan pemegang otoritas.” (Rawwas Qal'ah Ji, al-

Mu'amalat al-Maliyah).
30

Dalam Undang-Undang No 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang menegaskan, "Dan

setiap transaksi yang mempunyai tujuan pembayaran atau kewajiban lain yang harus

dipenuhi dengan uang atau transaksi keuangan lainnya yang dilakukan di wilayah

Negara Kesatuan Republik Indonesia wajib menggunakan rupiah."

Kedua, Bitcoin sarat dengan ketidakjelasan dan spekulasi karena tidak memiliki

underlying asset, nilai tukar sangat fluktuatif, dan kenaikan sangat tidak wajar.

Bitcoin hanya angka-angka yang diperjualbelikan.

Dalam fikih, ketidakjelasan tersebut disebut garar yang dilarang berdasarkan hadis

Rasulullah SAW, “Rasulullah SAW melarang jual beli gaarar.” (HR Muslim dari

Abu Hurairah/'Umdatul Qari’, 11/264). Standar syariah AAOIFI No 31 tentang Garar

mejelaskan bahwa ketidakjelasan yang dilarang adalah ketidakjelasan yang berat

(gharar fahisy).

Dalam fikih, spekulasi tersebut disebut maisir sebagaimana ditegaskan oleh Ibnu

Taimiyah dalam Majmu fatawa: Risiko terbagi menjadi dua, yang pertama adalah

risiko bisnis, yaitu seseorang yang membeli barang dengan maksud menjualnya

kembali dengan tingkat keuntungan tertentu dan dia bertawakal kepada Allah atas hal

tersebut. Yang kedua adalah maisir yang berarti memakan harta orang lain dengan

cara yang batil. Spekulasi inilah yang dilarang Allah dan Rasul-Nya.

Bank Indonesia sebagai otoritas juga telah berkesimpulan bahwa pemilikan virtual

currency (di antaranya Bitcoin) itu sangat berisiko dan sarat akan spekulasi karena

tidak ada otoritas yang bertanggung jawab dan tidak terdapat administrator resmi.
31

Selain itu, karena tidak terdapat underlying asset yang mendasari harga virtual

currenpcy dan nilai perdagangan sangat fluktuatif, sehingga rentan terhadap risiko

penggelembungan.

Dengan demikian, Bitcoin bukan alat pembayaran sah, tidak dilindungi oleh otoritas,

sehingga tidak ada perlindungan konsumen. Begitu pula, Bitcoin sangat berisiko dan

sarat dengan spekulasi karena tanpa underlying asset, harga tidak bisa diprediksi,

kenaikan sangat tidak wajar dan berpotensi merugikan masyarakat. Dalam fikih,

kondisi ini adalah dharar (negatif dan merugikan) yang harus dihindarkan. Karena

status asal dari bitcoin itu sendiri sudah haram, maka tidaklah benar mengeluarkan

zakat darinya.24

5. Bagaimana dengan penghasilan yang diperoleh dari dunia maya seperti youtube

dengan membuat video yang menjadi viral sehingga memperoleh banyak

viewer?

Penghasilan yang didapat seseorang dari banyaknya viewer pada sebuah video dari

youtube sesungguhnya di dapat dari iklan perusahaan yang menampilkan konten

iklannya pada video tersebut. Yang mana perusahaan pengiklan tersebut terlebih

dahulu mendaftarkan iklannya melalui apa yang disebut dengan google adword.

Terkait hal ini dijelaskan oleh Muhammad Abduh Tuasikal dalam web rumaysho.com

sebagai berikut. 25

24
Oni Syahroni, “Bitcoin Menurut Fiqih,” t.t., https://www.republika.co.id/berpita/ekonomi/syariah-
ekonomi/18/01/29/p3aqzw440-bitcoin-menurut-fikih.
25
Muhammad Abduh Tuasikal, “Hukum menampilkan iklan dari google adsense.,” 2012,
https://rumaysho.com/2735-meninjau-hukum-menampilkan-iklan-dari-google-adsense.html.
32

Google Adsense adalah program yang dibuat oleh Google yang menampilkan iklan.

Isi dari iklan adsense tersebut biasanya adalah text link atau gambar komersial dan

dipasang pada sebuah website atau blog. Yang dipasang bisa juga berupa search box

atau kotak untuk pencarian. Google akan membayar pemasang setiap kali link

tersebut diklik. Biasanya link atau gambar tersebut akan disesuaikan dengan isi dari

website pemasang secara otomatis oleh Google. Misalnya, website pemasang

Adsense berhubungan dengan e-book, maka iklan yang dipasang pun semisal

mempromosikan e-book.

Beberapa Tipe Google Adsense

Tipe pertama yang disebut Adsense for content. Tipe ini merupakan tipe yang biasa

yang paling banyak digunakan orang. Bentuknya yaitu berupa iklan yang akan

mendapatkan dollar jika ada yang mengklik iklan tersebut dengan kata lainnya yaitu

PPC (Paid Per Click). Tapi kadang-kadang juga bisa mendapatkan dollar setiap 1000

impression/ tampil (Paid Per Impression), tapi untuk yang ini sepertinya hanya untuk

iklan-iklan tertentu dan dibuka di negara-negara tertentu.

Tipe yang lain adalah Adsense for search. Yang ini bentuknya berupa “Search

engine” yang hanya akan mendapatkan bayaran bila ada orang yang melakukan

pencarian melalui search engine yang dipasang di web/blog dan kemudian orang

tersebut mengklik pada salah satu hasil pencarian yang berupa iklan. Jadi tidak

semua hasil pencarian itu berupa iklan yang dibayar. Biasanya yang diberi kotak dan

ada kode “Ads by google”.


33

Masalah dalam Google Adsense

Kita sudah mengetahui bahwa dengan sekali pengunjung mengklik blog atau web

yang memasang google adsense, maka si pemilik akan mendapatkan bayaran dari

pihak google. Dan google adalah perantara antara perusahaan pemasang iklan dan

pemilik website. Sayangnya, segala macam iklan boleh muncul dan seperti terlihat

tidak memperhatikan aturan Islam. Di antara iklan-iklan tersebut terdapat iklan bank

ribawi, perusahaan forex, iklan film, iklan musik dan iklan perempuan bahkan

sebagian iklan ada yang menampilkan wanita yang berdandan yang tidak tahu aturan

(mutabarrijaat). Wanita yang dipajang seperti ini dalam papan iklan tentu saja tidak

dibenarkan dalam aturan Islam.

Hukum Bergabung dengan Google Adsense

Melihat hal yang diceritakan di atas, maka asalnya tidak boleh bergabung dengan

adsense semacam ini agar selamat dari iklan yang tidak islami dan dinilai haram.

Karena kita sama sekali tidak boleh mengiklankan atau menyebarkan kemungkaran.

Sebagaimana Allah Ta’ala berfirman,

ِ ‫َّللاَ َش ِدي ُد ْال ِعقَا‬


‫ب‬ َّ ‫اْل ْث ِم َو ْال ُع ْد َوا ِن َواتَّقُوا‬
َّ ‫َّللاَ إِ َّن‬ َ ‫اونُوا َعلَى ْالبِ ِّر َوالتَّ ْق َوى َو ََل تَ َع‬
ِ ْ ‫اونُوا َعلَى‬ َ ‫َوتَ َع‬
34

“Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan

jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran” (QS. Al Maidah: 2).

Memasang iklan yang bermasalah termasuk tolong menolong dalam berbuat dosa.

Juga Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

ُ ُ
‫ضالَلَ ٍة‬
َ ‫ ِِلَى‬p‫ور ِه ْم َش ْيئًا َو َم ْن َدعَا إ‬ ِ ‫َم ْن َدعَا إِلَى هُدًى َكانَ لَهُ ِمنَ األَجْ ِر ِم ْث ُل أج‬
ِ ‫ُور َم ْن تَبِ َعهُ َلَ يَ ْنقُصُ َذلِكَ ِم ْن أ ُج‬

‫َكانَ َعلَ ْي ِه ِمنَ ا ِْل ْث ِم ِم ْث ُل آثَ ِام َم ْن تَبِ َعهُ َلَ يَ ْنقُصُ َذلِكَ ِم ْن آثَا ِم ِه ْم َش ْيئًا‬

“Barangsiapa yang mengajak pada petunjuk (kebaikan), maka ia akan mendapatkan

pahala sebagaimana pahala orang yang mengikuti ajakannya dan tidak mengurangi

pahala mereka sedikit pun juga. Sebaliknya, barangsiapa yang mengajak pada

kesesatan, maka ia akan mendapatkan dosa sebagaimana dosa orang yang

mengikutinya dan tidak mengurangi dosa mereka sedikit pun juga. ” (HR. Muslim).

Memasang iklan yang haram dari sisi syari’at berarti termasuk menyebar kesesatan.

Maka khawatirlah terkenanya dosa seperti ini.

Namun jika iklan yang tampil sesuai dengan konten website kita dan tidak

mengandung iklan-iklan yang haram, maka tidak mengapa bergabung dengan

adsense tersebut. Tetapi, jika iklan jelek dan bermasalah tidak bisa dikendalikan atau

terkontrol, maka sudah sepantasnya tidak mengikuti adsense semacam itu. Dan pasti

ada ganti dari Allah jika kita meninggalkan pekerjaan yang haram karena-Nya. Nabi

shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

ُ‫ك ِم ْنه‬ َّ ‫ك‬


َ َ‫َّللاُ بِ ِه َما هُ َو َخ ْي ٌر ل‬ َ َ‫ك لَ ْن تَ َد َع َشيْئا ً ِ ََّلِلِ َع َّز َو َج َّل إَِلَّ بَ َّدل‬
َ َّ‫إِن‬
35

“Sesungguhnya jika engkau meninggalkan sesuatu karena Allah, niscaya Allah akan

memberi ganti padamu dengan yang lebih baik bagimu.” (HR. Ahmad 5: 363,

shahih). Wallahu waliyyut taufiq. [Panggang-Gunung Kidul, 21 Ramadhan 1433 H]

(*) Penjelasan hukum google adsense digali dari pembahasan Syaikh Sholih Al

Munajjid dalam Fatwa Al Islam Sual wal Jawab no. 101806.

Baca Selengkapnya : https://rumaysho.com/2735-meninjau-hukum-menampilkan-

iklan-dari-google-adsense.html

Jadi semuanya tergantung dari iklan yang ditampilkan pada video kita. Kalau kita

bisa memfilter video iklan sesuai syariah saja yang ditampilkan maka penghasilan

kita adalah halal dan dikeluarkan zakatnya setelah cukup nishabnya. Namun jika

tidak, maka bukan saja tidak dapat dikeluarkan zakatynya, namun juga haram

memanfaatkannya untuk keperluan kita. Wallahu A’lam.

6. Berikan penjelasan Tafsir terkait surah At-Taubah ayat 103!

Jawaban dapat dilihat pada halaman 6 makalah ini.

7. Hadits tentang syarat haul pada harta yang wajib dizakati sangat banyak

hingga hampir mencapai derajat mutawatir. Jadi bagaimana penjelasan

tersebut dikaitkan dengan zakat profesi yang tidak mensyaratkan adanya haul?

Jawaban dapat dilihat pada halaman 13- 18 makalah ini.

8. Bagaimana perintah zakat pada masa mekkah dan madinah?

Jawaban dapat dilihat pada halaman 3 – 5 makalah ini.


36

9. Mengapa perintah zakat sering diiringkan dengan perintah shalat?

Hal ini menandakan bahwa shalat sebagai ibadah special seorang hamba dengan

Allah tidak bisa terlepas dari keharusan untuk peduli pada kondisi masyarakat di

sekitarnya. Dengan bahasa lain, umat islam yang baik adalah mereka yang senantiasa

memposisikan secara beriringan antara ibadah individual dan ibadah social.

(www.nu.or.id/post/read/81958/makna-perintah-zakat-bergandengan-dengan-

perintah-shalat-dalam-al-quran di akses pada tanggal 03/01/2019)

Anda mungkin juga menyukai