Anda di halaman 1dari 9

Memahami dan menguasai aturan hukum Islam dan dalil-

dalil tentang zakat, tujuan, dan hikmahnya.

1. Menganalisis definisi zakat


2. Menunjukkan hukum zakat menurut dalil-dalil syara
3. Membedakan jenis-jenis zakat
4. Menguraikan tujuan dan hikmah di balik perintah
wajib zakat
5. Menunjukkan kelembagaan dan manajemen
pengelolaan zakat

1. Pengertian Zakat
2. Hukum Zakat Menurut Dalil Syara
3. Jenis-jenis Zakat
4. Tujuan dan Hikmah Perintah Zakat
5. Kelembagaan dan Manajemen Pengelolaan Zakat

1
URAIAN MATERI

A. Pengertian Zakat
Ditinjau dari segi bahasa, kata zakat merupakan kata dasar (masdar) dari zaka
yang berarti berkah, tumbuh, bersih dan baik. Jika ada kalimat berbunyi: “sesuatu itu
zaka”, berarti tumbuh dan berkembang, dan “seorang itu zaka”, berarti orang itu baik.
Menurut Lisan al-‘Arab, kata zakat berarti suci, tumbuh, berkah, dan terpuji. Semua
kata tersebut digunakan dalam al-Qur’an dan hadis. Akan tetapi, pendapat terkuat yang
diungkapkan oleh al-Wahidi dan lain-lain bahwa zakat memiliki kata dasar zaka yang
berarti bertambah dan tumbuh. Jadi, “tanaman itu zaka” artinya tumbuh. Sedangkan
tiap sesuatu yang bertambah disebut zaka, artinya bertambah. Bila satu tanaman
tumbuh tanpa cacat, kata zaka berarti bersih.
Menurut istilah, zakat berarti “sejumlah harta tertentu yang diwajibkan Allah
untuk diserahkan kepada orang-orang yang berhak menerima zakat.” Selain itu, zakat
dapat berarti “mengeluarkan jumlah tertentu itu sendiri”. Jumlah barang atau sesuatu
yang dikeluarkan disebut zakat, karena yang dikeluarkan akan menambah banyak,
tambah berkah, lebih bermakna, dan melindungi kekayaan dari kebinasaan. Sedangkan
Wahbah al-Zuhaili menjelaskan bahwa zakat menurut definsi fuqaha digunakan untuk
perbuatan pemberian zakat itu sendiri. Artinya memberikan hak yang wajib pada harta.
Zakat juga digunakan untuk pengertian bagian tertentu dari harta yang telah ditetapkan
oleh Allah sebagai hak orang-orang fakir.

B. Hukum Zakat Menurut Dalil Syara’


Zakat merupakan kewajiban dalam Islam dan rukun dari rukun Islam yang lima,
yang terpenting setelah salat. Hal ini sesuai dengan firman Allah swt.:
ِ ِ َّ ‫الزَكاةَ وارَكعواْ مع‬ ِ
-٤٣- ‫ني‬
َ ‫الراكع‬ َ َ ُ ْ َ َّ ْ‫الصالَةَ َوآتُوا‬
َّ ْ‫يموا‬
ُ ‫َوأَق‬
Dan dirikanlah salat, tunaikanlah zakat, dan ruku’lah bersama orang-orang yang
ruku’. (QS al-Baqarah/2:43)
Dalam ayat yang lain Allah swt. berfirman:
-١٠٣- ‫ص َدقَةً تُطَ ِه ُرُه ْم َوتَُزكِي ِهم ِِبَا‬ ِِ ِ
َ ‫ُخ ْذ م ْن أ َْم َواِل ْم‬
Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersih-
kan dan mensucikan mereka. (QS al-Taubah/9: 103)
Seiring dengan ayat-ayat tersebut, hadis juga mengungkapkan perintah
menunaikan zakat seperti hadis yang diriwayatkan dari Abdullah bin Umar r.a.
berkata, “Saya mendengar Rasulullah saw. bersabda: Sesungguhnya engkau akan
mendatangi Ahlul Kitab. Jika engkau telah sampai kepada mereka maka ajaklah
mereka untuk bersaksi bahwa tidak ada llah (yang berhak disembah) kecuali Allah dan
Muhammad adalah Rasullullah.” (Dalam riwayat lain: “Maka jadikan yang kamu seru
pertama kali kepada mereka adalah ibadah kepada Allah.”) (Dalam riwayat lain:
“Supaya mereka mentauhidkan Allah.”) “Kalau mereka menaatimu (Dalam riwayat

2
lain: “Apabila mereka telah mengenal Allah”), maka kabarkan kepada mereka bahwa
Allah telah mewajibkan kepada mereka salat lima kali sehari semalam. Apabila
mereka telah menaatimu dalam perkara itu, kabarkanlah bahwa Allah mewajibkan atas
mereka zakat yang diambil dari orang-orang kaya mereka dan diberikan kepada para
fakirnya. Jika mereka menaatimu dalam perkara itu, maka berhati-hatilah engkau
terhadap harta mereka yang bagus-bagus (jangan sampai engkau hanya mau
mengambil dan mengutamakan harta mereka yang bagus-bagus) sebagai zakat dan
takutlah kamu terhadap doa orang yang teraniaya, karena sesungguhnya tidak ada hijab
(penghalang) antara dia dengan Allah.” (HR. Bukhari No. 1395 dan riwayat Muslim
No. 19).
Selain al-Qur’an dan hadis, ulama pun berijma’ akan wajibnya zakat bagi setiap
umat Islam. Para sahabat Rasulullah radhiallahu ‘anhum bersepakat akan hukuman
bunuh bagi setiap muslim yang menolak membayar zakat. Dengan demikian, telah
tsabit wajibnya zakat menurut al-Qur’an, sunnah, dan ijma’.

C. Macam-macam Zakat
Secara garis besar para ulama sepakat bahwa zakat terdiri atas dua macam yaitu:
1. Zakat Nafs (Zakat Jiwa )
Zakat nafs atau disebut juga zakat fitrah ialah zakat diri yang diwajibkan atas
diri setiap individu lelaki dan perempuan muslim yang berkemampuan dengan syarat-
syarat yang ditetapkan. Kata fitrah yang ada merujuk pada keadaan manusia saat baru
diciptakan sehingga dengan mengeluarkan zakat ini manusia dengan ijin Allah akan
kembali fitrah.
Fitrah berasal dari akar kata f-t-r dalam bahasa Arab yang berarti membuka atau
menguak. Fitrah sendiri mempunyai makna asal kejadian, keadaan yang suci dan
kembali ke asal. Dalam Islam, terdapat konsep bahwa setiap orang dilahirkan dalam
keadaan fitrah. Fitrah dalam hal ini berarti bayi dilahirkan dalam keadaan suci, tidak
memiliki dosa apapun. Seseorang yang kembali kepada fitrahnya, mempunyai makna
ia mencari kesucian dan keyakinannya yang asli sebagaimana pada saat ia dilahirkan.
Pada prinsipnya seperti definisi di atas, setiap muslim diwajibkan untuk menge-
luarkan zakat fitrah untuk dirinya, keluarganya, dan orang lain yang menjadi tang-
gungannya, baik orang dewasa, anak kecil, laki-laki maupun wanita. Berikut adalah
syarat yang menyebabkan individu wajib membayar zakat fitrah:
a. Individu yang mempunyai kelebihan makanan atau hartanya dari keperluan
tanggungannya pada malam dan pagi hari raya.
b. Individu yang hidup setelah matahari terbenam pada akhir bulan Ramadan menurut
jumhur fukaha dan sesudah terbit fajar Syawal menurut Hanfi.
Besar zakat yang dikeluarkan menurut para ulama berbeda-beda sesuai
penafsiran terhadap hadis adalah sebesar satu sha'. Hal ini dapat dilihat pada tabel
berikut:

3
Tabel 3.1 Kadar Zakat Fitrah dalam Kilogram dan Liter

KADAR ZAKAT KONVERSI KE


PENDAPAT
FITRAH KG LTR
Dewan Fatwa
1 Sha 3 kg
Saudi Arabiyah
Al-Syaikh Ibnu Utsaimin 1 Sha 2,040 kg
Abu Hanifah dan
1 Sha 3,800 kg
Muhammad
Jumhur Fuqaha 1 Sha 2,751 kg

MUI 1 Sha 2,500 kg 3,5 ltr


Zakat Fitrah dikeluarkan pada bulan Ramadan paling lambat sebelum orang-
orang selesai menunaikan salat Ied. Jika waktu penyerahan melewati batas ini, maka
yang diserahkan tersebut tidak termasuk dalam kategori zakat, tetapi sedekah biasa.
2. Zakat Mal (Harta Benda)
Yaitu zakat yang dikeluarkan dari harta benda tertentu yang memenuhi persya-
ratan nisab (jumlah minimal harta), haul (masa memiliki harta setelah cukup nisab),
dan kadar (jumlah yang wajib dikeluarkan dari harta yang terkena zakat). Jenis harta
yang disepakati wajib dizakati, meliputi: barang logam, yaitu emas dan perak; tanam-
tanaman, meliputi korma, gandum, dan sya’ir; hewan ternak: unta, kambing, sapi/
kerbau. Sedang harta yang lain diperselisihkan apakah wajib dizakati atau tidak serta
bentuk zakat untuk harta tersebut. Hal ini akan dibahas lebih lanjut pada bagian lain.

D. Tujuan dan Hikmah Perintah Zakat


Orang yang mengingkari akan kewajiban zakat karena tidak memahami hukum
zakat, atau karena kebodohannya, seperti orang baru masuk Islam, maka belum sampai
kepada orang tersebut hukum zakat. Bagi orang yang tinggal jauh dari peradaban dan
tidak mengerti hukum zakat, maka wajib baginya diberi pemahaman akan kewajiban
zakat dan tidak boleh dihukumi kafir karena mereka termasuk orang yang uzur. Jika
orang yang mengingkari kewajiban zakat adalah seorang muslim yang tinggal di
negeri Islam dan di sana ada ahlul ilmu (ulama), maka oorang tersebut dihukumi
murtad (keluar dari Islam), dan hendaknya diminta taubat selama 3 hari. Jika ia tidak
bertaubat dan masih mengingkarinya, maka ia berhak untuk dibunuh.
Hukuman berat yang ditimpakan bagi pengingkar kewajiban zakat disebabkan
telah jelas di dalam al-Qur’an, sunnah, dan ijma’ (kesepakatan) kaum Muslimin.
Maka, siapa pun yang menolak dan mengingkarinya, berarti mereka termasuk orang
yang mengingkari dan mendustakan Al-Qur’an dan sunah. Sedangkan orang yang
enggan menunaikan zakat karena dia bakhil (bodoh) dengan tetap meyakini kewajib-
annya, maka dia mendapatkan dosa besar. Akan tetapi, tidak membuatnya keluar dari
Islam. Hal ini dikarenakan zakat termasuk cabang dari cabang-cabang agama, maka
tidak dikafirkan orang yang meninggalkan zakat sekedar hanya meninggalkan.

4
Rasulullah saw. bersabda terhadap orang yang enggan menunaikan zakat, “Kemudian
dia melihat jalannya apakah menuju surga atau menuju neraka.”
Sekiranya dia dihukumi kafir tidak mungkin dia melhat jalannya ke surga. Orang
seperti ini wajib diambil zakatnya dengan cara paksa disertai dengan hukuman yang
sesuai anjuran agama Islam. Kalau dia tetap enggan menunaikan zakat, maka ia
dibunuh, sampai dia tunduk perintah Allah Azza wajalla dan menunaikan zakat karena
firman Allah.
ِ ‫الزَكاةَ فَخلُّواْ سبِيلَهم إِ َّن اّلل َغ ُف‬ َّ ْ‫فَإِن ََتبُواْ َوأَقَ ُاموا‬
-٥- ‫يم‬
ٌ ‫ور َّرح‬
ٌ َ ْ ُ َ َ َّ ْ‫الصالَةَ َوآتَ ُوا‬
Jika mereka bertobat, mendirikan salat, dan menunaikan zakat, maka berilah
kebebasan kepada mereka untuk berjalan. Sesungguhnya Allah Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS al-Taubah/9: 5)
Rasulullah saw. juga bersabda: “Aku diperintahkan untuk memerangi manusia
hingga mereka bersaksi bahwa tidak ada Ilah selain Allah dan bahwa Muhammad
adalah Rasulullah, menegakkan salat dan menunaikan zakat. Jika mereka melakukan
hal itu maka darah dan harta mereka akan dilindungi kecuali dengan hak Islam dan
perhitungan mereka ada pada Allah swt.” (HR. Bukhari No. 2946 dan Muslim No. 21).
Abu Bakar al-Shiddiq r.a. berkata: “Kalau mereka enggan menunaikan zakat
„anaqan yang mereka tunaikan di masa Rasulullah saw., niscaya aku perangi mereka.”
(HR. Bukhari No. 1400 dan Muslim No. 20). „Anaqan adalah anak betina kambing
yang umurnya belum genap setahun. Pendapat Abu Bakar tersebut didukung tiga
khalifah dan seluruh sahabat r.a. Orang yang enggan menunaikan zakat karena bakhil
masuk nash ini untuk diperangi. Hal inilah yang membuat pemerintahan di masa
Khulafa al-Rasyidin terjadi peperangan bagi mereka yang menolak dan mengingkari
untuk menunaikan kewajiban zakat.
Mengeluarkan zakat, banyak hikmah yang dapat diambil, baik bagi mereka yang
mengeluarkan zakat, bagi yang menerima zakat, maupun masyarakat secara luas.
Adapun hikmah mengeluarkan zakat di antaranya adalah sebagai berikut:
a. Menolong orang yang susah dan lemah dalam hal ekonomi, agar ia dapat
menunaikan kewajibannya kepada Allah dan terhadap makhluk-Nya;
b. Membersihkan diri yang mengeluarkan zakat dari sifat kikir dan akhlak yang
tercela, serta mendidik agar bersifat mulia dan pemurah dengan membiasakan diri
membayarkan amanat kepada orang yang berhak menerimanya;
c. Sebagai ungkapan syukur dan terima kasih atas nikmat kekayaan yang telah
diberikan oleh Allah kepada orang yang mengeluarkan zakat;
d. Untuk mencegah timbulnya kejahatan-kejahatan yang mungkin timbul akibat
kelemahan ekonomi yang dialami oleh mereka yang menerima zakat;
e. Untuk mendekatkan hubungan dan menghindari kesenjangan sosial antara yang
miskin dan yang kaya;

5
E. Kelembagaan dan Manajemen Pengelolaan Zakat
KH MA Sahal Mahfudh mengatakan, zakat merupakan rukun Islam yang fardlu
'ain dan kewajiban ta'abbudi. Dalam al-Qur’an perintah zakat sama pentingnya
dengan perintah salat. Hal ini dapat kita lihat dari nash al-Qur’an yang selalu menyebut
kewajiban zakat beriringan dengan kewajiban salat. Akan tetapi, dalam realitasnya
rukun Islam yang ketiga ini justru belum berjalan sesuai dengan harapan. Pengelolaan
zakat di masyarakat masih banyak memerlukan tuntunan, baik dari segi syari'ah
maupun konteks perkembangan zaman. Pendekatan kepada masyarakat Islam masih
memerlukan tuntunan serta metode yang tepat.
Orang yang membayar zakat (muzakki) misalnya, masih melaksanakan kewajib-
annya secara terpencar. Pembagian zakat pun masih jauh dari kata memuaskan.
Dengna demikian, sangat penting untuk melakukan penataan dengan cara melemba-
gakan zakat itu sendiri. Penataan zakat tidak boleh hanya sebatas upaya pembentukan
panitia zakat, tetapi harus menyentuh hal yang lebih substantif, seperti manajemen
modern yang up to date, agar zakat menjadi kekuatan yang dapat mendorong tercipta-
kan kesetaraan dan kesejahteran bagi sesama manusia.
Dalam konteks penataan zakat, hal yang perlu diperhatikan berupa pendataan,
pengumpulan, penyimpanan, pembagian dan yang menyangkut kualitas manusianya.
Selain itu, aspek syari'ah tak bisa kita lupakan. Oleh karena itu, kita memerlukan
organisasi yang kuat dan rapi. Barang-barang yang wajib dizakati adalah emas, perak,
simpanan, hasil bumi, binatang ternak, barang dagangan, hasil usaha, rikaz dan hasil
laut. Mengenai zakat binatang ternak, barang dagangan, emas, dan perak, hampir tidak
ada perbedaan antara para ulama dan imam mazhab. Sedangkan mengenai zakat hasil
bumi, ada beberapa perbedaan di antara mazhab empat.
Menurut Imam Abu Hanifah, setiap yang tumbuh di bumi, kecuali kayu, bambu,
rumput, dan tumbuh-tumbuhan yang tidak berbuah wajib dizakati. Menurut Imam
Malik, semua tumbuhan yang tahan lama dan dibudidayakan manusia wajib dizakati,
kecuali buah-buahan yang berbiji seperti buah pir, delima, jambu dan lain-lain.
Menurut Imam Ahmad bin Hanbal, biji-bijian, buah-buahan, rumput yang ditanam
wajib dizakati. Begitu pula tumbuhan lain yang mempunyai sifat yang sama dengan
tamar, kurma, mismis, buah tin, dan mengkudu, wajib dizakati. Hasil bumi seperti
tembakau dan cengkih, wajib dizakati apabila diperdagangkan. Ketentuannya sama
dengan zakat tijarah (perdagangan), bukan zakat zira’ah (hasil bumi). Adapun gaji
dan penghasilan dari profesi menurut Imam Syafi’i, tidak wajib dizakati, sebab tidak
memenuhi syarat haul dan nisab. Tetapi bukankah gaji diberikan tiap bulan? Dengan
demikian, gaji setahun yang memenuhi nisab itu hanya memnuhi syarat hak, tidak
memenuhi syarat milik. Benda yang wajib dizakati harus merupakan hak milik. Gaji
atau pun upah jasa lainnya, kalau pun dikenakan zakat, adalah zakat mal jika
memang sudah mencapai nisab dan haul. Penghasilan dari industri juga wajib dizakati.
Kewajiban ini dikiaskan dengan-barang dagangan dan hasil usaha. Sebab tidak ada

6
industri yang tidak diperdagangkan. Sedangkan uang, asal memenuhi nisab dan haul,
menurut Imam Maliki, wajib dizakati. Imam Maliki mengkiaskan uang dengan emas.
Ketentuan-ketentuan barang yang wajib dizakati tersebut sangat relevan dan bisa
diterapkan dalam situasi dan kondisi kita sekarang ini. Ulama dari empat mazhab
hampir tidak memiliki perbedaan pendapat dalam masalah nisab dan haul barang-
barang yang wajib dizakati. Misalnya, untuk emas nisabnya 20 dinar dengan zakat 2,5
persen. Begitu pula dengan barang dagangan, bila nilainva mencapai 20 dinar, wajib
dizakati 2,5 persen. Emas/perak dan barang dagangan wajib dizakati apabila
pemilikannya mencapai 1 tahun (haul). Untuk hasil bumi tanpa haul. Setiap kali panen
wajib langsung dizakati. Nisabnya 5 wasak. Berkaitan dengan binatang ternak, juga
sudah ada ketentuannya sendiri.
Dalam masalah nisab dan haul, yang perlu dilakukan adalah mengkonversikan-
nya dengan ketentuan-ketentuan yang ada di negara kita. Salah satu contohnya, satu
dinar sama dengan berapa rupiah, satu wasak itu berapa kilogram dan seterusnya. Hal
ini akan memudahkan kita cara menghitung berapa zakat yang wajib dikeluarkan
untuk tiap-tiap harta.
Dalam masalah mustahiq (yang berhak menerima zakat), juga tidak ada
perbedaan pendapat sebab mustahiq sudah jelas disebutkan dalam surat al-Taubah ayat
60. Mustahiq adalah faqir, miskin, amil, muallaf, riqab, gharim, sabilillah dan ibnu
sabil. Para mustahiq tersebut biasa disebut asnaf al-tsamaniyah (delapan kelompok).
Perdebatan muncul biasanya berkaitan dengan kategori tiap-tiap mustahiq,
terutama untuk fi sabilillah. Jumhur ulama berpendapat, fi sabilillah adalah perang di
jalan Allah. Bagian untuk fi sabilillah diberikan kepada para angkatan perang yang
tidak mendapat gaji dari pemerintah. Menurut Imam Ahmad bin Hanbal, bagian
zakat untuk fi sabilillah bisa ditasharufkan (digunakan) untuk membangun madrasah,
masjid, jembatan, dan sarana umum lainnya. Dalam persoalan ini, kita perlu
melebarkan pemaknaan fi sabililllah, tidak hanya pada perang semata. Hal ini
dimaksukdkan agar zakat tersebut berdaya guna dan tepat guna. Pengertian yang lebih
luas terhadap makna fi sabilillah akan berdampak pada kemaslahatan semua orang.
Selain itu, pemaknaan tersebut berkonsekwensi terhadap pelaksanaan pengumpulan
dan pentasharrufan zakat dapat berjalan sebaik-baiknya. Di sinilah pentingnya
pendataan terhadap muzakki, barang yang wajib dizakati, dan mustahiq zakat.
Menurut Imam Syafi’i, pengumpulan zakat harus berupa barang yang dizakati
itu sendiri, kecuali untuk barang dagangan. Artinya, untuk hasil bumi, yang harus
dizakatkan adalah hasil bumi itu sendiri. Pengumpulan zakat tidak bisa diganti dengan
uang misalnya, meski senilai barang yang dizakati. Namun, untuk barang dagangan,
zakat harus berupa uang. Pedagang konveksi misalnya, tidak boleh mengeluarkan
zakat dalam bentuk barang-barang konveksi, seperti baju, celana, dan lain sebagainya.
Dalam hal pembagiannya, harus berupa barang yang dizakati itu sendiri. Zakat
hasil bumi harus dibagi berupa hasil bumi. Zakat hewan ternak harus dibagi berupa
hewan ternak. Hal ini didasarkan pada aturan bahwa pembagiannya harus berupa

7
barang yang dizakati itu sendiri, maka sudah barang tentu penyimpanannya juga harus
berupa barang itu sendiri.
Ditinjau dari segi teknis, memang tidak praktis karena di zaman modern ini,
barang sebesar apa pun dapat dilipat dan dimasukkan dalam kantong, terutama ketika
diwujudkan menjadi lembaran-lembaran uang. Bahkan, uang pun bisa diringkas lagi
menjadi cheque (cek). Pengumpulan, penyimpanan, dan pembagian yang mensyarat-
kan barang yang dizakati itu sendiri tidak praktis ditinjau dari segi waktu, tenaga, dan
tempat yang dibutuhkan untuk keperluan itu.
Berkaitan dengan petugas pengumpul dan pembagi zakat, disebut ‘amil,
sebenarnya penyebutan amil salah kaprah, karena sesungguhnya mereka baru panitia
zakat. Sedangkan amil seharusnya diangkat oleh pemerintah yang boleh mengambil
bagian zakat. Organisasi sosial keagamaan atau institusi apapun tidak berhak
membentuk amil zakat.
Menurut ketentuan fikih, jika pemerintah (imam) mengumpulkan zakat, ia bebas
menyerahkan hasil pengumpulan kepada mustahiq dalam bentuk apa pun, baik berupa
modal maupun alat-alat kerja. Pemabagian zakat menurut Imam Syafi’i, harus di
antara delapan asnaf. Tapi, menurut pendapat yang lain, zakat boleh diberikan kepada
mustahiq tertentu saja.
Pengelolaan zakat secara profesional memerlukan tenaga yang terampil,
menguasi masalah-masalah yang berhubungan dengan zakat, penuh dedikasi, jujur,
dan amanah. Kita tidak bisa menyerahkan tugas pengelolaan zakat bagi mereka yang
tidak menguasai masalah-masalah yang berhubungan dengan zakat, seperti soal
muzakki, nisab, haul, dan mustahiq zakat. Persoalan akan muncul ketika pengelola
zakat tidak jujur dan amanah. Hal terburuk yang akan terjadi adalah zakat tidak sampai
kepada mustahiq dan mungkin pula hanya dipakai untuk kepentingan pribadi saja.
Oleh karena itu, adanya tenaga yang terampil, menguasai masalah-masalah zakat,
jujur, dan amanah sangat dibutuhkan dalam sistem pengelolaan zakat yang profesional,
terutama di era sekarang ini.
Zakat adalah ibadah sosial yang formal, terikat oleh syarat dan rukun tertentu.
Dalam upaya pembentukan dana, sesungguhnya zakat tidak sendirian. Jika keperluan-
nya ialah penyantunan fakir miskin, sesungguhnya fikih telah menetapkan kewajiban
lain atas hartawan muslim untuk menyantuni mereka. Kewajiban ini, jika dikembang-
kan justru merupakan potensi lebih besar daripada zakat.
Kewajiban itu berupa memberikan nafkah. Menurut ketentuan fikih, bila tidak
ada baitul mal, wajib bagi para hartawan untuk memberi nafkah kepada fakir miskin.
Nafakah berbeda dengan sedekah, sebab sedekah adalah ibadah sunah, sedangkan
nafakah bersifat wajib. Seadekah dapat dijadikan alternatif pemecahan masalah sosial
karena sebagaimana nafakah, sedekah tidak terikat ketentuan nisab dan haul layaknya
zakat. Orang boleh saja bersedekah kapan saja dan berapa saja.
Sebagai alternatif, nafakah dan sedekah banyak memberikan kemungkinan.
Lebih-lebih bila diingat bahwa di negara kita tidak ada baitul mal. Maka nafakah

8
sebagai ibadah wajib perlu digalakkan pelaksanaannya. Demikian juga untuk pengem-
bangan dan pembangunan masyarakat kita perlu menghimpun dana melalui sedekah.

Anda mungkin juga menyukai