Anda di halaman 1dari 18

MAKALAH FIQH PERBANDINGAN

ZAKAT
Dosen Pengampu: Drs, H. Ach. Faisol M.Ag

Disusun oleh :

Kelompok 5

Alfian Naufali Rizqi (21901012033)

Naufal Ghony (21901012029)

Moh Nofal (21901012027)

Muhammad Mustaqim(21901012031)

PRODI HUKUM KELUARGA ISLAM

FAKULTAS AGAMA ISLAM

UNIVERSITAS ISLAM MALANG

2020/2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas rahmat dan karunia-Nya, sehingga
makalah yang berjudul “Zakat” ini dapat terselesaikan dengan baik, dan kini tengah berada di depan
pembaca sekalian.

Adapun tujuan dari pembuatan makalah ini adalah untuk memberikan wawasan kepada pembaca
mengenai zakat dan ruang lingkupnya dengan berbagai pendapat dari imam madzhab dan ulama fiqh.
Dengan begitu, kita dapat mengetahui perbedaan fiqh zakat dan mampu mengamalkan dengan
pemahaman yang utuh.

Makalah ini tentu dapat terselesaikan dengan baik berkat bantuan dari pihak lain juga. Untuk itu,
penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada pihak yang sudah membantu kami,
dan terimakasih kepada Drs, H. Ach. Faisol M.Ag selaku pengampu mata kuliah Fiqh dan
Manajemen Waqaf atas saran dan bimbingannya.

Semoga makalah ini dapat bermanfaat untuk semua pihak. Selain itu, penyusun berharap agar
pembaca tidak sungkan memberi masukan berupa kritik dan saran yang membangun, karena penulis
sadari bahwa makalah ini masih belum sempurna.

Malang, 30 Oktober 2021

Penyusun

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...........................................................................................................................2
DAFTAR ISI.........................................................................................................................................3
BAB 1...................................................................................................................................................4
PENDAHULUAN.................................................................................................................................4
1.1. LATAR BELAKANG...........................................................................................................4
1.2. RUMUSAN MASALAH.......................................................................................................4
1.3. TUJUAN................................................................................................................................5
BAB 2...................................................................................................................................................6
PEMBAHASAN...................................................................................................................................6
2.1. ZAKAT BINATANG TERNAK ..........................................................................................6
2.2. ZAKAT TANAMAN DAN BUAH BUAHAN....................................................................7
2.3. ZAKAT FITRAH................................................................................................................10
2.4. ZAKAT PROFESI...............................................................................................................11
2.5. ZAKAT KHUMUS..............................................................................................................13
BAB 3.................................................................................................................................................17
PENUTUP...........................................................................................................................................17
3.1. KESIMPULAN...................................................................................................................17
3.2. SARAN...............................................................................................................................17
DAFTAR PUSTAKA..........................................................................................................................18

3
BAB 1

PENDAHULUAN
1.1. LATAR BELAKANG
Kata zakat sangatlah tidak asing bagi umat islam, zakat merupakan rukun islam ke-
3. Dari segi bahasa kata zakat merupakan kata dasar dari zakaa yang berarti suci, berkah,
tumbuh dan terpuji. Sedangkan dari segi istilah fiqih, zakat berarti sejumlah harta
tertentu yang diwajibkan Allah untuk diserahkan kepada orang yang berhak
menerimanya, disamping berarti mengeluarkan jumlah tertentu itu sendiri. Secara
terminologi zakat adalah sejumlah harta yang diwajibkan oleh Allah untuk diambil dari
harta orang-orang tertentu (aghniya’) untuk diberikan kepada orang-orang yang berhak
menerimanya dengan syarat-syarat tertentu. Definisi ini tercantum dalam surah At-
Taubah ayat 103 yang berbunyi :
‫۝‬۱۰٣ٌ ‫خ ُْذ ِم ْن َا ْم َوالشه ِْم َصدَ قَ ًةت َُطهّ ُِرمُه ْ َوتُ َز ِكّهْي ِ ْم هِب َ َاو َص ِ ّل عَلَهْي ِ ْم ۗ ِا ْن َص ٰلوت ََك َس َك ٌن لَّه ُْم ۗ َواهّٰلل ُ مَس ِ ْي ٌع عَ ِلمْي‬
Artinya: “Ambillah dari zakat mereka, guna membersihkan dan mensucikan dan
berdoalah untuk merek. Sesungguhnya doamu itu (menumbuhkan) ketentraman jiwa
mereka. Allah Maha Mendengar, Maha Mengetahui” (QS. At-Taubah [9]: 103)
Berikut pendapat imam madzhab akan definisi zakat :
a. Madzhab Hanafi, mendefiniskan zakat dengan “menjadikan sebagian harta yang
khusus dari harta yang khusus sebagai milik orang yang khusus, yang ditentukan
oleh syariat karena Allah SWT”.
b. Madzhab Maliki, mendefinisikan zakat dengan “mengeluarkan bagian yang khusus
dari harta khusus pula yang telah mencapai nisab (batas kuantitas yang mewajibkan
zakat) kepada orang-orang yang berhak menerimanya. Dengan catatan kepemilikan
itu penuh dan mencapai hawl (setahun), bukan barang tambang dan bukan
pertanian”.
c. Madzhab Syafi’i, mendefinisikan zakat adalah sebuah ungkapan untuk
mengeluarkan harta atau tubuh sesuai dengan cara khusus.
d. Madzhab Hambali, mendefinisikan zakat ialah hak wajib (dikeluarkan dari harta
yang khusus untuk kelompok yang khusus pula). Yang dimaksudkan dengan
kelompok khusus adalah delapan kelompok yang di isyaratkan oleh Allah SWT.
Dengan demikian, zakat adalah pembersih harta yang didasarkan pada keimanan
kepada Allah SWT, bahwa dalam setiap harta yang diperoleh terdapat orang lain.
Adanya beberapa penerjemahan makna zakat menurut imam madzhab tidak lepas
dari ruang lingkup fiqih zakat. Untuk itu pada makalah ini penyusun mencoba untuk
memaparkan perbandingan beberapa ruang lingkup zakat menurut ulama madzhab.

1.2. RUMUSAN MASALAH


1. Apa pengertian Zakat Ternak dan Bagaimana Penjabarannya?
2. Siapa saja dan Apa saja Tanaman dan Buah buahan yang di Zakatkan?
3. Bagaimana pendapat imam madzhab terkait zakat fitrah?
4. Siapa yang berhak Zakat dalam konteks Zakat Profesi?
5. Apa pengertian Zakat Khumus dan Bagaimana Penjabarannya?

4
1.3. TUJUAN
1. Untuk memaparkan pengertian zakat ternak
2. Untuk memaparkan Siapa saja dan Apa saja Tanaman dan Buah buahan yang di
Zakatkan
3. Untuk memaparkan pendapat imam madzhab terkait zakat fitrah
4. Untuk memaparkan Siapa yang berhak Zakat dalam konteks Zakat Profesi
5. Untuk memaparkan Zakat Khumus dan Bagaimana Penjabarannya

5
BAB 2

PEMBAHASAN
2.
2.1. ZAKAT TERNAK
Di dalam fiqih, binatang ternak yang wajib dizakati hanya ada tiga macam, yaitu unta,
sapi, dan kambing. Hal ini berdasarkan beberapa hadits yang menegaskan kewajiban zakat
pada ketiga jenis binatang ternak tersebut. Mengapa hanya tiga macam binatang ini? Hikmah
di baliknya antara lain karena banyaknya manfaat binatang-binatang tersebut bagi manusia;
air susunya baik untuk kesehatan, mudah dikembang biakkan, dan lain sebagainya (Lihat An-
Nawawi, al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab, Mesir, al-Muniriyah, jilid V, halaman: 321).
Rasulullah a bersabda, “Seorang laki-laki yang memiliki unta atau sapi atau
kambingdan tidak menunaikan zakatnya di Hari Kiamat kelak akan datang dengan membawa
hewan-hewan tersebut dalam keadaan lebih besar dan lebih gemuk yang akan menginjak-
nginjaknya dengan kaki-kakinya dan menanduknya dengan tanduk-tanduknya. Setiap kali
yang terakhir darinya lewat dikembalikan lagi dari yang pertamanya, sampai dikeluarkan
putusan untuk semua orang.” (HR. al-Bukhari)
Zakat binatang ternak tidak diwajibkan pada selain tiga jenis binatang ternak tersebut,
berdasarkan sabda baginda Nabi Muhammad shallallahu alaihi wassallam

‫ص َد َق ٌة‬
َ ‫ْس َعلَى ْالمُسْ ل ِِم فِى َع ْب ِد ِه َوالَ َف َرسِ ِه‬
َ ‫لَي‬

“Bagi seorang muslim tidak menanggung beban zakat dari budak dan kudanya.” (HR.
Muslim) Begitu pula ayam, bebek, ikan dan lain sebagainya. Namun, bila selain tiga jenis
binatang ternak tersebut diperdagangkan, maka dikenai kewajiban zakat perdagangan sesuai
dengan ketentuan di dalam zakat tijarah (aset perdagangan).

Syarat-syarat wajib zakat pada hewan ternak


Ketiga binatang ternak di atas wajib dizakati jika memenuhi empat syarat:
1. Mencapai nishab (batas minimum wajib zakat) seperti nishabnya sapi yang
disebutkan di dalam satu riwayat hadits

‫ِين َب َق َر ًة َت ِبي ًعا َأ ْو‬


َ ‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم ِإلَى ْال َي َم ِن َفَأ َم َرنِي َأنْ آ ُخ َذ مِنْ ُك ِّل َثاَل ث‬
َ ُّ‫ْن َج َب ٍل َقا َل َب َع َثنِي ال َّن ِبي‬ِ ‫َعنْ ُم َعا ِذ ب‬
َ ‫َت ِبي َع ًة َومِنْ ُك ِّل َأرْ َبع‬
‫ِين مُسِ َّن ًة‬

“Dari Mu’adz ibn Jabal, ia berkata, ‘Baginda Nabi shallallahu ‘alaihi wassallam
mengutusku ke Yaman, kemudian beliau memerintahku untuk mengambil zakat dari
setiap tiga puluh ekor unta, seekor unta berusia setahun, menginjak usia tahun
keduanya, jantan atau betina, dan dari setiap empat puluh ekor unta, seekor unta
berusia dua tahun,menginjak usia ketiga’.” (HR. At-Tirmidzi)
2. Melewati haul (setahun Hijriah) seperti sabda baginda Nabi shallallahu ‘alaihi
wassallam: ‫ال َز َكاةٌ َح َّتى َيحُو َل َعلَ ْي ِه ْال َح ْو ُل‬ َ ‫َولَي‬
ٍ ‫ْس فِي َم‬
“Suatu harta tidak wajib dizakati kecuali telah melewati masa setahun.” (HR. Abu

6
Dawud) Syarat ketiga ini hanya berlaku bagi induknya saja. Sedangkan untuk anak-
anak binatang tersebut, perhitungan haul-nya diikutkan pada induknya. Sehingga,
jika induk sudah melewati setahun, maka anak-anaknya pun dihukumi haul,
walaupun sebenarnya belum melewati setahun.
3. Digembalakan. Maksudnya, sepanjang tahun binatang ternak tersebut diberi makan
dengan cara digembalakan di lahan umum atau lahan milik sendiri, tidak dengan
dicarikan rumput. Dalam sebuah hadits disebutkan
ٌ‫ت َأرْ َب ِعي َْن ِإلَى عِ ْش ِري َْن َو ِماَئ ٍة َشاة‬
ْ ‫ص َد َق ُة ْال َغ َن ِم فِى َساِئ َم ِت َهاِإ َذا َكا َن‬
َ ‫َو‬
“Zakat kambing yang digembalakan adalah satu ekor kambing ketika jumlahnya
telah mencapai empat puluh sampai seratus dua puluh ekor.” (HR. Bukhari) 4. Tidak
dipekerjakan, seperti untuk membajak sawah, mengangkut barang dan lain
sebagainya. Di dalam kitab al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab, Imam an-Nawawi
menjelaskan alasan binatang ternak yang dipekerjakan tidak wajib dizakati:
‫والن العوامل والمعلوفة ال تقتنى للنماء فلم تجب فيها الزكاة كثياب البدن وأثاث الدار‬
“Karena sesungguhnya binatang ternak yang dipekerjakan dan binatang yang diberi
makan dengan cara dicarikan rumput tidak semata-mata untuk dikembang-biakan,
sehingga tidak wajib dizakati sebagaimana pakaian dan perabot rumah.” (An-
Nawawi, al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab, Mesir, al-Muniriyah, jilid V, halaman:
323)
Jika seseorang memiliki unta, sapi atau kambing yang telah memenuhi
keempat syarat di atas, maka wajib dizakati. Semua ini menurut pendapat mazhab
Syafi’i. Sedangkan menurut pendapat mazhab Malikiyah, syarat ketiga
(digembalakan) dan syarat keempat (tidak dipekerjakan) tidak menjadi pertimbangan.
Sehingga, apabila ketiga binatang ternak tersebut telah mencapai nishab dan melewati
masa setahun (haul), maka wajib dikeluarkan zakatnya. (Lihat Muhammad ibn
Abdullah al- Kharasyi, Syarh Mukhtashar Khalil).

2.2. ZAKAT TANAMAN DAN BUAH BUAHAN


Zakat pertanian dan buah-buahan diwajibkan berdasarkan al-Qur’an dan Sunnah.
Dalil al-Qur’an adalah firman Allah swt:
َ ‫َو َءاتُوا َحقَّهُ يَوْ َم َح‬
‫صا ِد ِه‬
“Dan tunaikanlah haknya (zakatnya) pada hari memetik hasilnya (panen). (TQS. al-
An’am [6]: 141) Adapun dalil as-Sunnah adalah sabda Nabi saw, “Tidak ada zakat di
dalam jumlah kurang dari 5 wasaq”. (HR. Mutafaq Alaihi)
Dari Ibnu Umar dari Rasulullah saw bahwa beliau bersabda, “Apa-apa yang disirami
oleh hujan dan mata air maka zakatnya sepersepuluh, dan yang disirami dengan tenaga
manusia maka zakatnya seperdua puluh. (HR. Bukhari)

Jenis Tanaman dan Buah-buahan yang Wajib Zakat


Zakat diwajibkan pada gandum (al-qomhu), jewawut (asy-sya’ir), kurma (at-
tamru) dan kismis (az-zabib). Diriwayatkan dari Amru bin Syu’aib, dari dari bapaknya,
dari Abdullah bin Amru yang berkata, “ Rasulullah saw membuat daftar zakat hanya
terhadap jewawut, gandum, kurma dan kismis”.

7
Dari Musa bin Thalhah dituturkan, bahwasanya ia berkata, “Rasulullah saw telah
memerintahkan Mu’adz bin Jabal pada saat dia diutus ke Yaman, (yaitu) agar dia
mengambil zakat dari jewawut, gandum, kurma dan anggur”.

Hadits-hadits ini menjelaskan bahwa zakat pada tanaman dan buah-buahan hanya
diambil dari empat jenis saja yaitu: jewawut, gandum, kurma dan kismis. Selain dari
jenis tanaman serta buah-buahan tersebut tidak diambil zakatnya. Pasalnya, hadits yang
pertama menggunakan kata innama yang menunjukkan ta’kiid (pembatasan).
Pembatasan atas wajibnya zakat hanya pada empat jenis tanaman dan buah-buahan
dikuatkan oleh hadits yang dikeluarkan al-Hakim, al-Baihaqi dan Thabrani dari Abu
Musa dan Mu’adz pada saat Nabi saw mengutus keduanya ke Yaman untuk mengajarkan
kepada masyarakat urusan-urusan agama Islam. Di dalam hadits itu dituturkan,
“Janganlah kalian berdua mengambil zakat kecuali dari empat macam, (yaitu) gandum,
jewawut, kismis dan kurma“
Baihaqi memberikan komentar tentang hadits ini bahwa perawinya terpercaya
(tsiqah) dan sanadnya sampai kepada Rasulullah saw (muttashil). Hadits ini menjelaskan
adanya pembatasan pengambilan zakat pada tanaman dan buah-buahan hanya empat
jenis saja. Sebab, lafadz –illa– apabila diawali dengan nafiy atau nahyi menunjukkan
makna pembatasan terhadap segala sesuatu yang disebut sebelumnya, atas segala sesuatu
yang disebut sesudahnya. Walhasil, hadits ini merupakan pembatasan pengambilan
zakat hanya pada empat jenis yang disebutkan sesudahnya, yaitu: gandum, jewawut,
kismis, kurma.
Alasan lainnya adalah karena kata-kata jewawut, gandum, kurma dan kismis yang
terdapat di dalam hadits-hadits di atas, merupakan isim jamid, sehingga lafadz-lafadznya
tidak mengandung arti yang lain, baik secara manthuq, mafhum, maupun iltizam.
Pasalnya, isim semacam ini tidak termasuk isim-isim sifat, bukan juga isim-isim ma’ani,
tetapi dibatasi dengan jenis-jenis yang disebut dengan isim tersebut, dan mutlak hanya
pada jenis-jenis itu saja. Oleh karena itu tidak bisa diambil dari lafadz-lafadznya itu
makna-makna al-aqtiyatu, al-yabsu atau al-idkharu. Sebab, lafadz-lafadznya tidak
menunjukkan kepada makna-makna dan sifat-sifat ini. Sehingga hadits-hadits diatas,
yang membatasi wajibnya zakat hanya pada empat jenis tanaman dan buah-buahan,
merupakan pengkhusus (mukhashash) untuk lafadz umum yang ada pada hadits, “Pada
tanaman yang disirami hujan zakatnya sepersepuluh, dan pada tanaman yang di sirami
dengan tenaga manusia atau irigasi zakatnya seperduapuluh”.
Dengan demikian, seluruh tanaman yang disirami oleh air hujan, yakni jewawut,
gandum, kurma dan kismis, zakatnya adalah sepersepuluh. Apabila disirami oleh tenaga
manusia atau irigasi maka zakatnya adalah seperduapuluh.
Zakat tanaman dan buah-buahan tidak diwajibkan pada selain empat jenis tadi,
sehingga zakat tidak diambil dari biji sawi, beras, kacang, kacang kedelai, kacang ‘adas
dan yang lain-lainnya dari biji-bijian.,Zakat juga tidak diambil dari buah apel, pir, persik
(peach), aprikot, delima, jeruk, pisang dan lain-lain dari jenis buah-buahan. Sebab, biji-
bijian dan buah-buahan tersebut tidak termasuk dalam lafadz jewawut, gandum, kurma,
dan kismis. Tidak ada satu nash shahih pun yang menjelaskan jenis-jenis tanaman dan
buah-buahan lain yang wajib dikenai zakat. Juga tidak ada ijma’ sahabat dalam hal ini.

8
Selain itu, masalah ini tidak bisa diqiyaskan, sebab, zakat merupakan ibadah. Bahkan,
tidak ada qiyas dalam ibadah, sehingga hanya dibatasi dengan apa-apa yang disebut oleh
nash.
Zakat tidak diambil dari sayur-sayuran seperti waluh, mentimun, labu/calabash,
terong, lobak, wortel, dan lain-lain. Telah disampaikan dari Umar, Ali, Mujahid dan
lainnya bahwa sayur-sayuran tidak dipungut zakatnya. Hal itu diriwayatkan oleh Abu
Ubaid, Baihaki dan lainnya.

2.3. ZAKAT FITRAH


Zakat fitrah juga dinamakan zakat badan. Pembahasan ini akan membicarakan orang
yang wajib mengeluarkan zakat, orang yang berhak menerimanya, juga tentang jumlah
yang harus dikeluarkan serta waktu mengeluarkannya.

a. Orang yang Dibebani untuk Mengeluarkan Zakat Fitrah


Empat mazhab: Zakat fitrah ini diwajibkan kepada setiap orang Islam yang kuat,
baik tua maupun muda. Maka bagi wali anak kecil dan orang gila wajib mengeluarkan
hartanya serta memberikannya ke pada orang fakir.
Hanafi: Orang yang mampu adalah orang yang mempunyai harta yang cukup nishab,
atau nilainya lebih dari kebutuhannya.
Syafi'i, Maliki dan Hambali: Orang yang mampu adalah orang yang mempunyai
lebih dalam makanan pokoknya untuk dirinya dan untuk keluarganya pada hari dan
malam hari raya, dengan pengecualian kebutuhan tempat tinggal, dan alat-alat yang
primer. Maliki menambahkan bahwa orang yang mampu itu adalah orang yang bisa
berhutang kalau dia mempunyai harapan untuk membayamya. Imamiyah: Syarat wajib
mengeluarkan zakat fitrah itu adalah baligh, berakal dan mampu. Maka harta anak kecil
dan juga harta orang gila tidak wajib dizakati, berdasarkan hadis:
"Akan diampuni dosa, atau tidak akan dicatat, bagi tiga kelompok. Pertana adalah
anak kecil sampai bermimpi. Kedua orang gila sampai sadar, dan terakhir adalah orang
yang tidur sampai bangun."
Maka menurut Imamiyah orang yang mampu adalah orang yang mempunyai belana
untuk satu tahun, untuk diri dan untuk keluarganya, baik memperolehnya dengan bekerja
maupun dengan kekuatan, dengan syarat ia dapat mengembangkannya (menghasilkan
buah) atau dengan perusahaan yang menjadi mata pencahariannya.
Hanafi: Orang mukallaf itu wajib mengeluarkan zakat fitrah, baik untuk dirinya,
anaknya yang kecil, maupun anaknya yang sudah besar kalau dia gila. Kalau orang yang
berakal, kewajiban zakat fitrah itu tidak bisa dibebankan kepada ayahnya, sebagaimana
seorang suami tidak wajib mengeluarkan zakat fitrah untuk istrinya.
Hambali dan Syafi'i: Orang mukallaf itu wajib mengeluarkan zakat fitrah untuk
dirinya dan orang yang harus diberikan nafkahnya, seperti istri, ayah, dan anak.
Maliki: Seorang mukallaf itu wajib mengeluarkan zakat fitrah untuk dirinya, dan
untuk orang yang harus diberikan nafkah. Mereka itu adalah dua orang tua yang fakir,
dan anak-anak lelaki yang tidak mempunyai harta sampai mereka mempunyai kekuatan
untuk mencari kerja, juga anak-anak wanita yang fakir sampai mereka bersuami, dan
terakhir adalah istri.

9
Imamiyah: Orang yang mukallaf itu wajib mengeluarkan zakat fitrah untuk dirinya
dan orang yang berada dalam tanggungannya ketika memasuki malam hari raya, baik
orang yang wajib diberi nafkah maupun yang tidak. tidak ada bedanya, baik kecil
maupun besar, muslim maupun tidak, keluarga yang dekat maupun yang jauh, termasuk
tamu yang datang kepadanya sebelum munculnya (terbitnya) hilal Syawat dengan
sekejap. Bahkan berapa saja keluarga yang berada dalam tanggungannya pada malam
hari raya. dia wajib mengeluarkan zakat fitrahnya, begitu pula keluarga kalau itu
mempunyai anak, dan juga kalau anak tersebut kawin dengan seorang perempuan
sebelum tenggelamnya matahari (ghurub), maka dia wajib mengeluarkan zakat fitrah.
Tapi jika seorang anak dilahirkan atau kawin, atau ada tamu yang datang setelah
tenggelamnya matahari (ghurub), maka dia tidak wajib mengeluarkan zakat fitrah
mereka. Setiap orang yang berkewajiban mengeluarkan zakat fitrah yang menjadi beban
orang lain, maka gugurlah kewajiban mengeluarkan zakat fitrah itu bagi dirinya,
meskipun seorang yang kaya.

b. Jumlah yang Harus Dikeluarkan


Para ulama mazhab sepakat bahwa jumłah yang wajib dikeluarkan untuk setiap
orang adalah satu sha (satu gantang), baik untuk gandum, kurma, anggur kering, beras,
maupun jagung, dan seterusnya yang menjadi kebiasaan makanan pokoknya, selain
Hanafi.
Hanafi: Cukup setengah gantung saja untuk satu orang. Dan satu gantung
diperkirakan tiga kilo gram.

c. Waktu Wajibnya Mengeluarkan Zakat Fitrah


Hanafi: Waktu yang diwajibkan untuk mengeluarkannya adalah dari terbitnya fajar
malam hari raya sampai akhir umur seseorang, karena kewajiban zakat fitrah termasuk
kewajiban yang sangat luas waktunya, dan pelaksanaannya juga sah dilakukan dengan
mendahulukan ataupun diakhirkan.
Hambali: Melaksanakan pemberian zakat fitrah yang terlambat sampai akhir hari raya
adalah haram hukumnya. Dan bila dikeluarkan sebelum hari raya atau dua hari
sebelumnya dapat pahala, tetapi bila diberikan sebelum hari-hari tersebut tidak mendapat
pahala.
Syafi'i: Waktu yang diwajibkan untuk mengeluarkannya adalah akhir bulan
Ramadhan dan awal bulan Syawal, artinya pada tenggelamnya matahari dan sebelumnya
sedikit (dalam jangka waktu dekat) pada hari akhir bulan Ramadhan. Disunnahkan
mengeluarkannya pada awal hari raya, dan diharamkan mengeluarkannya setelah
tenggelamnya matahari pada hari pertama (Syawal), kecuali kalau ada udzur.
Dari Imam Malik ada dua riwayat: Salah satunya mewajibkan mengeluarkan pada
tengelamnya matahari pada hari terakhir bulan Ramadhan.
Imamiyah: Zakat fitrah itu wajib dikeluarkan pada waktu masuknya malam hari raya.
Dan kewajiban melakšanakannya mulai dari awal tengelamnya matahari sampai
tergelincirnya matahari. Dan yang lebih utama dalam melaksanakannya adalah sebelum
pelaksanaan shalat hari raya. Kalau pada waktu itu tidak ada yang berhak menerimanya,
maka si mukallaf harus memisahkan harta zakat fitrah itu dengan harta dirinya disertai

10
suatu niat untuk membayar dan melaksanakannya pada awal waktu. Apabila ia
mengakhirkan dan tidak melaksanakannya pada waktu itu, padahal orang yang berhak
menerimanya ada, maka dia wajib mengeluarkan setelahnya. dan kewajiban untuk
mengeluarkan bagi dirinya itu tidak gugur pada waktu itu.

d. Orang yang Berhak Menerima


Para ulama mazhab sepakat bahwa orang-orang yang berhak menerima zakat fitrah itu
adalah orang-orang yang berhak menerima zakat secara umum, yaitu orang- orang yang
dijelaskan dalam Al-Qur'an surat Al-taubah ayat 60, seperti yang dijelaskan di muka.
Zakat fitrah itu disunnahkan untuk diberikan kepada kerabat (famili) yang dekat dan
yang sangat membutuhkannya, kemudian tetangga. Seperti yang dijelaskan hadis berikut:
"Tetangga yang herhak menerima zakat adalah lebih berhak untuk menerimanya ".
Artinya tetangga yang termasuk kelompok penerima harus diutamakan untuk diberi.

2.4. ZAKAT PROFESI


Zakat profesi termasuk salah satu jenis zakat mal yang hukumnya wajib
dikeluarkan oleh umat islam yang mampu dan sudah memenuhi syarat. Jadi zakat profesi
dapat diartikan sebagai zakat harta yang dikeluarkan berdasarkan pendapatan yang
didapatkan oleh seseorang.

Berdasarkan pengertiannya ini, maka setiap orang yang mempunyai penghasilan wajib
untuk mengeluarkan zakat profesi. Zakat profesi atau penghasilan ini mempunyai dasar
hukum yang kuat yaitu dalam surat Al Baqarah ayat 267 dan surat At Taubah ayat 103.

Dalam kedua ayat tersebut dijelaskan bahwa harta yang dimiliki oleh seorang mukmin
harus disucikan dengan mengeluarkan zakat. Sudah jelas bukan bahwa zakat profesi atau
zakat penghasilan harus wajib dibayarkan oleh setiap mukmin yang sudah mempunyai
penghasilan.

Dasar Hukum
Allah SWT berfirman,
“Dan pada harta-harta mereka ada hak untuk orang miskin yang meminta dan orang
miskin yang tidak mendapat bagian.” (QS. adz-Dzâriyât[51]: 19)
“Dan nafkahkanlah sebagian dari hartamu yang Allah telah menjadikan kamu
menguasainya. (QS. al-Hadîd[57]: 7)
“Wahai orang-orang yang beriman, infakkanlah (zakat) sebagian dari hasil usahamu
yang baik-baik.” (QS. al-Baqarah[2]: 267)

Rasulullah SAW bersabda,


“Bila suatu kaum enggan mengeluarkan zakat, Allah akan menguji mereka dengan
kekeringan dan kelaparan.” (HR. Tabrani)
“Bila zakat bercampur dengan harta lainnya, ia akan merusak harta itu.” (HR. al-Bazzar
dan Baihaqi)

11
Hasil Profesi
Hasil profesi merupakan sumber pendapatan orang-orang masa kini, seperti
pegawai negeri, swasta, konsultan, dokter, dan notaris. Para ahli fikih kontemporer
bersepakat bahwa hasil profesi termasuk harta yang harus dikeluarkan zakatnya,
mengingat zakat pada hakikatnya adalah pungutan harta yang diambil dari orang-orang
kaya untuk dibagikan kepada orang-orang miskin di antara mereka (sesuai dengan
ketentuan syarak).
Walaupun demikian, jika hasil profesi seseorang tidak mencukupi kebutuhan
hidup (diri dan keluarga)nya, ia lebih pantas menjadi mustahiq (penerima zakat). Sedang
jika hasilnya sekadar untuk menutupi kebutuhan hidupnya, atau lebih sedikit, ia belum
juga terbebani kewajiban zakat. Kebutuhan hidup yang dimaksud adalah kebutuhan
pokok, yaitu pangan, sandang, papan, pendidikan, kesehatan, dan biaya yang diperlukan
untuk menjalankan profesinya.

Ketentuan Zakat Profesi


Zakat profesi memang belum familiar dalam khazanah keilmuan Islam klasik.
Maka dari itu, hasil profesi dikategorikan sebagai jenis harta wajib zakat berdasarkan
kias (analogi) atas kemiripan (syabbah) terhadap karakteristik harta zakat yang telah ada,
yakni:
 Model memperoleh harta penghasilan (profesi) mirip dengan panen (hasil pertanian),
sehingga harta ini dapat dikiaskan pada zakat pertanian berdasarkan nisab (653 kg
gabah kering giling atau setara dengan 522 kg beras) dan waktu pengeluaran
zakatnya (setiap kali panen),
 Model harta yang diterima sebagai penghasilan berupa uang, sehingga jenis harta ini
dapat dikiaskan pada zakat harta (simpanan atau kekayaan) berdasarkan kadar zakat
yang harus dibayarkan (2,5%).
Dengan demikian, apabila hasil profesi seseorang telah memenuhi ketentuan wajib zakat,
ia berkewajiban menunaikan zakatnya.

Syarat Sah Mengeluarkan Zakat Profesi


Hukum zakat profesi memang wajib untuk semua muslim yang sudah
mempunyai penghasilan. Namun untuk mengeluarkan zakat ini ada syarat khususnya.
Adapun syarat sah harta yang dikeluarkan untuk zakat profesi adalah :

a) Harta Dikuasai Penuh


Syarat yang pertama adalah harta yang dimiliki dikuasai penuh. Maksudnya bahwa harta
atau penghasilan yang dimiliki adalah memang milik sendiri bukan milik bersama
dengan orang lain.
b) Hartanya Berkembang dan Lebih dari Kebutuhan Pokok
Yang dimaksud dengan berkembang dan menguntungkan adalah harta atau penghasilan
tersebut bisa memenuhi kebutuhan pokok. Jika penghasilan yang didapatkan masih
kurang atau hanya cukup untuk kebutuhan pokok saja maka tidak wajib untuk
mengeluarkan zakat profesi.

12
c) Mencapai Nisab
Syarat yang ketiga untuk mengeluarkan zakat profesi adalah harta tersebut mencapai
nisab. Nisab zakat profesi disamakan dengan nisab zakat pertanian yaitu 522 kg beras
atau bahan pokok. Penghitungan nisab dari zakat profesi ini disesuaikan dengan harga
beras atau bahan pokok. Misalnya saja harga beras saat ini adalah Rp 9.000,- maka
nisabnya adalah 522 kg x Rp. 9.000,- = Rp . 4.698.000,- Jika penghasilan kamu sudah
mencapai nisab maka wajib mengeluarkan zakat profesi.

d) Bebas dari Hutang

Syarat yang terakhir adalah harta sudah terbebas dari hutang. Penghasilan yang kamu
dapatkan haruslah bebas dari hutang, jadi bayarkan terlebih dahulu hutang kamu baru
hitung dan bayar zakat profesinya

2.5. Al-Khumus (Zakat seperlima atau 20 %)


Mayoritas ulama, dari kalangan para sahabat, tabi‘in serta fuqaha mewajibkan
pengeluaran zakat atas barang-barang perdagangan yang telah memenuhi syarat-syarat
nisab dan haul-nya. Yaitu sebesar 2,5 % (dua setengah persen) dari ‘nilai harga semua
aset yang dimiliki’ (yakni dari modal dan labanya, bukan hanya dari labanya saja),
setelah dikurangi dengan jumlah hutang yang menjadi bebannya.
Kewajiban mengeluarkan zakat perdagangan ini, disimpulkan oleh para ulama
berdasarkan nash-nash umum Al-Quran dan As-Sunnah yang menegaskan bahwa Allah
Swt. mewajibkan dikeluarkannya sedekah (zakat) dari harta milik kaum hartawan, untuk
disalurkan bagi kepentingan umum, dan untuk mengurangi kesenjangan antara kaum
miskin dan kaya. Di samping itu, zakat juga dimaksudkan untuk membersihkan jiwa
kaum hartawan dari keburukan sifat kikir, dan menggantikannya dengan sifat rahmat dan
kasih sayang untuk sesama manusia, terutama yang kebetulan kurang beruntung dalam
kehidupan materiilnya.
Di samping ayat-ayat Al-Quran yang memerintahkan pengeluaran zakat dan
sedekah, seperti telah dinukilkan di awal pembahasan bab ini, dapatlah kita baca pula
beberapa lainnya seperti firman Allah Swt.: Hai orang-orang beriman, nafkahkanlah
(yakni keluarkanlah zakat atas) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik, serta
sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu. (QS Al-Baqarah [2]:
267). Dan masih ada lagi beberapa ayat Al-Quran yang secara umum menegaskan
kewajiban mengeluarkan sebagian dari keuntungan apa saja yang diperoleh manusia
sebagai hasil usahanya. Di antaranya ketika menyebutkan tentang orang-orang bertakwa,
seperti dalam QS Adz-Dzâriat [51]: 19, ...dan pada harta-harta mereka ada hak untuk
orang (miskin) yang meminta, dan miskin yang tidak beruntung memperoleh kebutuhan
hidupnya.

Abu Daud merawikan dari Samurah bin Jundab, katanya, “Ammâ ba`du;
Rasulullah Saw. memerintahkan kami mengeluarkan zakat dari (barang-barang) yang

13
kami siapkan untuk dijual.”. Ad-Dâruquthni dan Al-Baihaqi merawikan dari Abu Dzarr,
bahwa Nabi Saw. pernah bersabda: Dalam harta berupa unta, ada sedekah-nya; dalam
harta berupa domba, ada sedekahnya; dalam harta berupa sapi, ada sedekahnya; dan
dalam harta (dagangan) berupa barang-barang keperluan rumah-tangga, ada sedekahnya.

Selain itu, mayoritas ahli fiqih berpendapat bahwa barang-barang dagangan itu
adalah termasuk harta yang dimaksudkan untuk ‘berkembang dan bertambah’, sehingga
menyerupai ketiga jenis harta lainnya (pertanian, peternakan dan emas) yang wajib
dizakati. Dan seandainya tidak diwajibkan zakat atas harta perdagangan, betapa besarnya
kerugian yang diderita oleh para mustahiq, mengingat bahwa harta perdagangan
merupakan bagian terbesar dari harta yang beredar di kalangan para hartawan, terutama
di masa kini.
Berbeda dengan itu, mazhab Ja`fari (yang dianut oleh kelompok Syi‘ah
Imamiyah) berpendapat bahwa mengeluarkan zakat atas harta perdagangan adalah tidak
wajib, tetapi sunnah (yakni dianjurkan saja). Sebagai gantinya, mereka mewajibkan
pengeluaran khumus (seperlima atau 20%) dari laba bersih, atau sisa penghasilan apa
saja, termasuk di dalamnya yang berupa gaji atau honorarium, laba perdagangan dan
sebagainya, setelah dikurangi kebutuhan hidup untuk keluarga. Pendapat ini didasarkan
atas QS. Al-Anfâl [8]: 41, Ketahuilah, bahwa apa saja yang kamu peroleh, maka
sesungguhnya seperlimanya untuk Allah, Rasul, kerabat (Rasul), anak-anak yatim,
orang-orang miskin dan ibn as-sabîl, jika kamu memang benar-benar beriman kepada
Allah dan kepada apa yang Kami turunkan kepada hamba kami (Muhammad) di Hari
Furqan.
Madzhab Ja`fari mengartikan kata ghanimtum dalam ayat tersebut, sebagai
‘seluruh penghasilan yang kamu peroleh’, berupa gaji, laba perdagangan, harta temuan
dan lainnya. Sedangkan kalangan Ahl As-Sunnah mengartikan kata ghanimtum dalam
ayat tersebut, khusus hanya untuk perolehan dari rampasan perang saja. (Lihat Yusuf
Qardhawi, Fiqh Az-Zakâh I/326 dan Muhammad Jawad Maghniyyah, Al-Fiqh `Ala`l-
Madzahib Al-Khamsah 174).

Jumlah Yang Dikurangi Dari Harta Perdagangan Yang Wajib Dizakati


Dikecualikan dari harta perdagangan yang wajib dizakati:
1. Piutang yang diragukan atau yang hampir tidak dapat diharapkan akan dibayarkan.
(Untuk jelasnya, silakan membaca kembali pembahasan tentang piutang ‘yang
lancar’ dan ‘yang tidak lancar’ pada bagian sebelum ini).
2. Barang-barang inventaris yang diperlukan untuk kelancaraan perusahaan, seperti
alat-alat kantor, kendaraan dan sebagainya, yang tidak termasuk barang yang
diperdagangkan dan tidak pula digunakan sebagai alat produksi dalam perusahaan
tersebut. (Tentang alat-alat produksi seperti mesin cetak [dalam perusahaan
percetakan], mesin tenun [dalam perusahaan tekstil] dan sebagainya, akan diuraikan
dalam bab tersendiri di bawah judul Zakat Alat-Alat Produksi).

3. Harta milik perusahaan yang termasuk ‘barang tidak bergerak’, seperti gedung untuk
kantor atau gudang tempat penyimpanan barang-barang perusahaan tidak wajib

14
dizakati, mengingat semua itu tidak termasuk ‘barang yang dipersiapkan untuk
diperjualbelikan dengan tujuan mendapatkan laba’.

4. Uang atau barang yang telah diambil sebagai prive (untuk keperluan sehari-hari si
pemilik perusahaan), yakni untuk makan, pakaian, kendaraan dan rumah kediaman
yang ‘wajar’, bagi dirinya dan keluarganya, sepanjang tahun silam. Semua itu tidak
diperhitungkan sebagai harta yang wajib dizakati.

Adapun arti ‘wajar’ di sini, adalah sesuai dengan penilaian umum berdasarkan
situasi dan kondisi setempat, tidak terlalu dipersempit dan tidak terlalu diperluas. Oleh
sebab itu, seandainya seseorang mengambil uang dari perusahaannya untuk dibelikan
kendaraan pribadi yang amat mahal atau rumah pribadi yang amat mewah, maka
sebaiknya dikeluarkan pula zakatnya (atau paling sedikit, zakat dari selisih harga
kendaraan dan rumahnya itu, antara yang ‘wajar’ dan yang ‘mewah’) minimal satu kali,
yaitu ketika membelinya (atau membangunnya). Hal ini mengingat—seperti telah kami
uraikan ketika membahas tentang Zakat Perhiasan—bahwa dalam harga rumah atau
kendaraan mewah yang dibelinya itu, sesungguhnya terdapat bagian dari hak para fakir-
miskin. Di samping itu, perbuatan baik seperti itu merupakan manifestasi dari rasa
syukur kepada Alah Swt. yang telah memperkenankan seseorang menikmati karuniaNya.

Jumlah Zakat Perdagangan Yang Wajib Dikeluarkan


Apabila kekayaan bersih seseorang pada akhir haul-nya itu (yakni seluruh aset
miliknya dikurangi beban/hutangnya, seperti tersebut di atas) mencapai nisab, maka ia
wajib mengeluarkan zakatnya sebanyak 2,5% (dua setengah persen) dari nilai seluruh
kekayaannya itu.
Dalam Zakat Perdagangan ini, nisab hanya diperhitungkan pada akhir haul (atau
akhir tahun buku perdagangan tersebut); tak soal apakah nisabnya itu terpenuhi
sepanjang tahun atau tidak). Jadi, tidak sama seperti dalam Zakat Emas dan Perak, serta
Hewan Ternak, yang harus memenuhi nisabnya sepanjang tahun, sebagaimana telah
kami jelaskan pada tempatnya sebelum ini.

Zakat Tanah Yang Dibeli Untuk Investasi


Apabila seseorang membeli sebidang tanah dengan harapan dapat menjualnya
kembali kelak pada masa mendatang, dengan harga yang lebih tinggi, maka menurut
mazhab Malik, ia tidak diwajibkan mengeluarkan zakatnya kecuali satu kali saja, yaitu
ketika menjualnya. Sebabnya ialah, tanah tersebut, walaupun menjadi miliknya selama
bertahun-tahun, namun pertambahan nilainya yang riil hanya terjadi satu kali saja.
Karenanya zakatnya juga hanya satu kali.

Akan tetapi, mayoritas ulama selain Malik, mewajibkan pengeluaran zakat tanah
seperti itu setiap tahun-nya, sebanyak 2,5% dari nilainya. Kecuali apabila tanah atau
rumah tersebut benar-benar dibeli untuk dihuni, ia bebas dari zakat, sama seperti perabot
rumah tangga dan sebagainya. Menurut Syaikh Yusuf Qaradhawi, pendapat mayoritas
ulama seperti ini (yang mewajibkan dikeluarkan zakatnya setiap tahun) lebih kuat

15
dalilnya daripada pendapat Mâlik, mengingat bahwa pembelian tanah seperti itu, lebih
mirip dengan barang perdagangan yang dimaksudkan untuk pertambahan nilainya.
Walaupun demikian, pendapat Mâlik tersebut dapat pula menjadi bahan pertimbangan
pada keadaan-keadaan khusus, ketika pasar ditimpa kelesuan yang sangat, misalnya
akibat krisis ekonomi, sedemikian rupa sehingga perdagangan menjadi macet, dan uang
kontan menjadi sulit diperoleh. (Lihat Dr. Yusuf Qardhawi, Fiqh Az-Zakâh I/144 dan
I/334).

Itu mengenai pedagang biasa atau karyawan yang membeli sebidang atau dua
bidang tanah untuk investasi. Lain halnya dengan pengusaha properti ( developer
bangunan atau pengusaha real estate) yang memang membeli tanah-tanah dan
membangun rumah-rumah untuk diperdagangkan setiap saat, maka zakatnya harus
dikeluarkan setiap tahun, seperti harta perdagangan lainnya. Yaitu 2,5% dari seluruh nilai
aset yang dimilikinya, dikurangi dengan hutang yang menjadi bebannya, seperti telah
dijelaskan di atas.

16
BAB 3

PENUTUP
3.
3.1. KESIMPULAN
Di dalam fiqih, binatang ternak yang wajib dizakati hanya ada tiga macam, yaitu
unta, sapi, dan kambing. Hal ini berdasarkan beberapa hadits yang menegaskan
kewajiban zakat pada ketiga jenis binatang ternak tersebut. Lalu Hadits-hadits makalah
ini menjelaskan bahwa zakat pada tanaman dan buah-buahan hanya diambil dari empat
jenis saja yaitu: jewawut, gandum, kurma dan kismis. Selain dari jenis tanaman serta
buah-buahan tersebut tidak diambil zakatnya. Pasalnya, hadits yang pertama
menggunakan kata innama yang menunjukkan ta’kiid (pembatasan). Pembatasan atas
wajibnya zakat hanya pada empat jenis tanaman dan buah-buahan dikuatkan oleh hadits
yang dikeluarkan al-Hakim, al-Baihaqi dan Thabrani dari Abu Musa dan Mu’adz pada
saat Nabi saw mengutus keduanya ke Yaman untuk mengajarkan kepada masyarakat
urusan-urusan agama Islam.. sedangkan Zakat fitrah juga dinamakan zakat badan.
Pembahasan ini akan membicarakan orang yang wajib mengeluarkan zakat, orang yang
berhak menerimanya, juga tentang jumlah yang harus dikeluarkan serta waktu
mengeluarkannya. Adapun Zakat profesi termasuk salah satu jenis zakat mal yang
hukumnya wajib dikeluarkan oleh umat islam yang mampu dan sudah memenuhi syarat.
Jadi zakat profesi dapat diartikan sebagai zakat harta yang dikeluarkan berdasarkan
pendapatan yang didapatkan oleh seseorang. Yang terakhir ialah Mayoritas ulama, dari
kalangan para sahabat, tabi‘in serta fuqaha mewajibkan pengeluaran zakat atas barang-
barang perdagangan yang telah memenuhi syarat-syarat nisab dan haul-nya. Yaitu
sebesar 2,5 % (dua setengah persen) dari ‘nilai harga semua aset yang dimiliki’ (yakni
dari modal dan labanya, bukan hanya dari labanya saja), setelah dikurangi dengan jumlah
hutang yang menjadi bebannya. Kewajiban mengeluarkan zakat perdagangan ini,
disimpulkan oleh para ulama berdasarkan nash-nash umum Al-Quran dan As-Sunnah
yang menegaskan bahwa Allah Swt. mewajibkan dikeluarkannya sedekah (zakat) dari
harta milik kaum hartawan, untuk disalurkan bagi kepentingan umum, dan untuk
mengurangi kesenjangan antara kaum miskin dan kaya. Di samping itu, zakat juga
dimaksudkan untuk membersihkan jiwa kaum hartawan dari keburukan sifat kikir, dan
menggantikannya dengan sifat rahmat dan kasih sayang untuk sesama manusia, terutama
yang kebetulan kurang beruntung dalam kehidupan materiilnya.

3.2. SARAN
Kami sebagai penulis, menyadari bahwa makalah ini banyak sekali kekurangan dan
sangat jauh dari kesempurnaan. Tentunya, penulis akan terus memperbaiki makalah
dengan mengacu pada sumber yang dapat dipertanggungjawabkan nantinya. Oleh karena
itu, penulis sangat mengharapkan kritik dan saran tentang pembahasan makalah diatas.

17
DAFTAR PUSTAKA
An-Nawawi, al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab, Mesir, al-Muniriyah, jilid V, halaman:
321

An-Nawawi, al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab, Mesir, al-Muniriyah, jilid V, halaman:


323
https://wakool.id/blog/374-fiqih-zakat-5-zakat-perdagangan

Mughniyah, Muhammad Jawad. Fiqh Lima Madzhab: Ja’fari, Hanafi, Maliki, Syafi’i,
Hambali/Muhammad Jawad Mughniyah; penerjemah, Masykur A.B., Afif Muhammad, Idrus
Al-kaff; penyunting, Faisal Abudan, Umar Shahab.-Cet. 27.-Jakarta:Lentera,2011.

18

Anda mungkin juga menyukai