Anda di halaman 1dari 17

MAKALAH

MUZAKKI
Disusun Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah: Fiqh Zakat

Dosen Pengampu : Choirul Huda, M.Ag.

Disusun Oleh :

1. Indah Safaroyana Purda (1805036054)


2. Saibatul Aslamiyah (1805036055)
3. R Larashati Bifa Zulfirman (1805036056)
4. Mochamad Toriq Rasyal A.S (1805036057)

PROGRAM STUDI S1 PERBANKAN SYARIAH

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM

UIN WALISONGO SEMARANG

2019
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT. karena dengan rahmat, karunia,
serta taufik dan hidayah-Nya sehingga saya dapat menyelesaikan makalah ini dengan baik
meskipun banyak kekurangan didalamnya. Dan juga kami berterima kasih Bapak Chirul
Huda, M. Ag selaku dosen Fiqih Zakat yang telah memberikan tugas kepada kami.

Saya sangat berharap makalah ini dapat berguna dalam rangka menambah wawasan
serta pengetahuan kita mengenai Muzakki (Orang yang wajib Membayar Zakat). Kami juga
menyadari sepenuhnya bahwa di dalam makalah ini terdapat kekurangan dan jauh dari kata
sempurna. Oleh sebab itu, kami berharap adanya kritik, saran dan usulan demi perbaikan
makalah yang telah kami buat di masa yang akan datang, mengingat tidak ada sesuatu yang
sempurna tanpa saran yang membangun.

Semoga makalah sederhana ini dapat dipahami bagi siapapun yang membacanya.
Sebelumnya kami mohon maaf apabila terdapat kesalahan kata-kata yang kurang berkenan.

Semarang, 15 September 2019

Penyusun

1
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR……………………………………………………………...………1

DAFTAR ISI………………………………………………………………………...……...2

BAB I PENDAHULUAN

1. Latar Belakang……………………………………………………..……3

2. Rumusan Masalah…………………………………………………..…...4

3. Tujuan……………………………………………………………..…….4

BAB II PEMBAHASAN

1. Sejarah Singkat Diwajibkannya Zakat...………..…………………...…..5

2. Pengertian Dari Muzakki Beserta Syarat-Syaratnya…………..………...6

3. Pandangan Para Ulama Tentang Syarat Muzakki ……………..…..…....9

4. Kriteria Muzakki Pada Masa Kini…………………………………..…………13

BAB III PENUTUP

1. Kesimpulan………………………………………………….…….…...14
2. Saran………………………………………………………………..…..14

DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………………..…..15

2
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG


Zakat adalah ibadah yang bercorak sosial-ekonomi, merupakan bagian dari sistem
moneter dan sosial Islam yang sangat penting dalam pemberdayaan, harmonisasi, dan
kesejahteraan umat. Kedudukannya yang sangat strategis ini menuntut umat Islam
untuk benar-benar memperhatikan dan mengupayakan penghimpunan dan
pemberdayaannya secara maksimal, sehingga mampu mengatasi berbagai kesenjangan
dan persoalan ekonomi dan sosial masyarakat Islam.
Bersamaan dengan perkembangan kehidupan sosial dan perekonomian
masyarakat akhir-akhir ini terutama masyarakat Islam, maka pembicaraan tentang zakat
yang merupakan rukun Islam yang bercorak sosial ekonomi ini semakin menjadi fokus
perhatian para ahli dan pihak-pihak yang berkompeten. Hal itu, karena selain
merupakan salah satu rukun Islam dan bagian dari ibadah, zakat juga sebagai salah satu
sumber keuangan dalam Islam yang sangat penting, artinya untuk membebaskan kaum
miskin dari kesulitan dan kelaparan, serta sangat berguna untuk pemberdayaan umat.
Selain itu tujuan terpenting dari zakat adalah mempersempit ketimpangan ekonomi di
dalam masyarakat sampai seminimal mungkin.

Sementara itu pemerintah sebagai penguasa, mempunyai kewajiban untuk


mengatur dan mengawasi pelaksanaan zakat sehingga berjalan dengan baik sesuai
dengan aturan. Pemerintah berkewajiban memungut dari orang yang wajib
mengeluarkan zakat (muzakki) dan memberikan kepada orang yang berhak
menerimanya (mustahiq).
Selain dari ulama dan pemerintah, muzakki menjadi bagian yang tidak terpisahkan
dari pelaksanaan perintah wajib zakat ini karena merekalah orang yang dibebani
kewajiban untuk mengeluarkan bagian tertentu dari harta kekayaannya untuk kemudian
diberikan kepada yang berhak menerimanya. Berhasil tidaknya pelaksanaan zakat,
salah satunya ditentukan oleh kemampuan menghimpun muzakki, karena dana yang
akan didistribusikan kepada mustahiq dalam rangka memperbaiki ekonomi umat
berasal dari mereka.
Hal inilah yang akan menjadi fokus perhatian pada makalah ini, terutama untuk
mengemukakan tentang siapa dan apa kriteria muzakki.

3
1.2 RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang di atas, maka penulis merumuskan beberapa rumusan
masalah terkait fiqih zakat khususnya muzakki atau orang yang wajib berzakat yakni
sebagai berikut.
1. Bagaimana sejarah singkat diwajibkannya zakat?
2. Apa pengertian dari Muzakki serta syarat-syarat Muzakki?
3. Bagaimana pandangan para ulama tenang Muzakki?
4. Bagaimana kriteria Muzakki pada masa kini?

1.3 TUJUAN
Berdasarkan latar belakang di atas, penulis menujukan agar pembaca dapat
mengetahui dan memahami poin-poin penting terkait fiqih zakat khususnya muzakki
atau orang yang wajib berzakat yakni sebagai berikut.
1. Untuk mengetahui sejarah singkat diwajibkannya zakat.
2. Untuk dapat mengetahui pengertian dari Muzakki beserta syarat-syaratnya.
3. Untuk dapat pandangan para ulama tentang Muzakki.
4. Untuk mengetahui kriteria Muzakki pada masa kini.

4
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 SEJARAH SINGKAT KEWAJIBAN ZAKAT


Pada awal kelahiran Islam di Mekkah, kewajiban zakat senantiasa disampaikan
Allah SWT dengan ungkapan ‫( اَ ْن ِفقُ ْواَفِيَسبِ ْي ِلَهللا‬berinfaklah kamu di jalan Allah SWT).
Saat itu belum ditentukan jenis-jenis harta kekayaan yang wajib diinfakkan, demikian
juga nisab dan persentase yang harus diserahkan untuk kepentingan fi sabilillah. Tujuan
infak pada saat itu adalah untuk menutupi hajat orang-orang miskin, dan dana penyiaran
agama Islam.
Pada saat al-Qur’an yang memerintahkan berinfak diturunkan, kaum muslimin
pernah dua kali mengajukan pertanyaan tentang apa saja yang akan mereka infakkan dan
berapa nilai atau kadar yang harus diinfakkan. Tetapi Allah SWT tetap saja tidak
menentukan apa saja dan berapa saja yang mereka infakkan. Allah SWT
menyerahkannya kepada hati nurani umat Islam untuk mengaplikasikan rasa syukur
terhadap nikmat dan keimanan kepada Allah SWT. Allah SWT hanya memberi batasan
bahwa yang diinfakkan itu adalah yang melebihi dari kebutuhan, seperti firman Allah
SWT dalam ayat 219 surat l-Baqarah1:

َ٢١٩َ....‫َقُ ِلَا ْلع ْفو‬,‫سئلُ ْوَنكَماذاَيُ ْن ِفقُ ْون‬


ْ ‫وي‬
Artinya: “Dan mereka bertanya kepadanya tentang apa yang mereka nafkahkan.
Katakanlah: “Yang kebih dari keperluan…” (QS. Al-Baqarah: 219)

Demikianlah al-Qur’an memerintahkan kewajiban zakat dengan ungkapan kata


‘nafaqa’ tanpa memberi batasan tentang jenis harta dan kadar yang dinafkahkan. Hal ini
berlangsung sampai tahun pertama setelah Nabi bersama umatnya hijrah ke Madinah.
Hal ini dapat dipahami karena umat Islam saat itu belum siap menerima kewajiban yang
beraspek sosial yang dibatasi dengan ketentuan-ketentuan yang mengikat. Oleh karena
itu, kepada mereka diberi kebebasan apa saja dan berapa kadar yang mereka nafkahkan.

1
Rahman Ritonga dan Zainuddin, Fiqh Ibadah, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2002), hal. 173

5
Pada tahun kedua hijriyah, baru Allah SWT memerintahkan kewajiban zakat
dengan menggunakan ungkapan ‘atu al-zakat’ (tunaikanlah zakat). Seiring dengan
perintah itu Nabi SAW memberikan penjelasan mengenai ketentuan-ketentuannya,
seperti jenis harta yang dikenakan wajib zakat, kadar nisab, dan persentasenya. Jadi
sebenarnya pensyariatan zakat di Madinah merupakan pembaharuan terhadap perintah
zakat yang diturunkan di Mekkah dengan ungkapan infaq.

Ketentuan zakat tersebut ditetapkan karena umat Islam saat itu sudah berbeda
dengan ketika mereka di Mekah. Di Madinah mereka telah memiliki iman yang
terkonsentrasi dan wilayah kehidupan mereka pun menjadi luas. Mereka telah
membangun suatu masyarakat yang memiliki sistem kehidupan dan tujuan yang ingin
dicapai di samping kondisi mereka yang telah memungkinkan menerima ketentuan dan
batasan zakat. Puncak dari pensyariatan zakat adalah menetapkan atau
mengumumkannya sebagai salah satu rukun Islam oleh Nabi SAW berdasarkan pada
surat At-Taubah ayat 11:

ََ‫َاْليتَِ ِلق ْو ٍمَيَ ْعل ُمون‬ ِ ‫االَّزَكوةَف ِإ ْْخوآَنُ َُُك ْمَ َفِىَالد‬
ْ ‫َونُف ِص ُل‬,‫ِين‬ َّ ‫صلوةَوءات َُو‬
َّ ‫ف ِإ ْنَتابُ ْواَوأقا ُمواَال‬
)‫(اا‬

Artinya: “Dan jika mereka bertobat, melaksanakan shalat dan menunaikan zakat, maka
(berarti mereka itu) adalah saudara-saudaramu seagama. Kami menjelaskan
ayat-ayat itu bagi orang-orang yang mengetahui.” (QS. At-Taubah: 11).

2.2 PENGERTIAN DAN SYARAT-SYARAT MUZAKKI


Muzakki adalah orang atau badan yang dimiliki oleh orang Muslim yang
bekewajiban menunaikan zakat.2 Menurut Undang-Undang No. 38 Tahun 1999 tentang
Pengelolaan Zakat, pasal (1) yang dimaksud Muzakki adalah orang atau badan yang
dimiliki oleh orang muslim yang berkewajiban menunaikan zakat. 3 Dari pengertian di
atas jelaslah bahwa zakat tidak hanya diwajibkan kepada perorangan saja, melainkan juga
badan.

2
Umrotul Khasanah, Manajemen Zakat Modern: Instrumen Pemberdayaan Ekonomi Umat
(Malang: UIN-Maliki Press, 2010), hal. 37
3
Kementerian Agama, “UU No. 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat”,
http://kemenag.go.id, diakses pada Sabtu, 12 September 2015, 12:23 WIB

6
Seluruh ahli fiqih sepakat bahwa setiap muslim, merdeka, baligh dan berakal
wajib menunaikan Zakat diwajibkan atas orang yang telah memenuhi syarat-syarat
sebagai berikut:
1. Islam
Dalil yang mendasarinya adalah perkataan Abu Bakar r.a:
ْ ‫َوسلَّمَعلىَا ْل ُم‬
َ َ‫س ِل ِميْن‬ َّ َّ‫ََّللاَِصل‬
ً ‫ىََّللاَُعَل ْي ِه‬ َّ ‫ه ِذهَِف ِريْضةَُال‬
ُ ‫صدق ِةَالَّتِ ْىَف َّرضهاَر‬
َّ ‫س ْو ُل‬
Artinya: “Inilah kewajiban zakat yang telah ditetapkan oleh Rasulullah SAW atas
kaum muslimin.” (Riwayat al-Bukhari: 1386)
Dengan adanya kata-kata “atas kaum muslimin”, berarti jelas bahwa selain
orang Islam tidak dituntut mengeluarkan zakat.4
Sedangkan untuk orang murtad, status hartanya ditangguhkan hingga ia
kembali Islam. Jika sampai meninggal dunia tidak kembali Islam, maka status
hartanya adalah harta fa’i (harta yang diperoleh pemerintah muslim dari orang kafir
tanpa melalui peperangan) dan jelaslah bahwa sebenarnya kepemilikannya telah
hilang sejak ia murtad. Jka kembali Islam, maka ia dituntut untuk mengeluarkan
(melunasi utang) zakat selama masa murtadnya.5
2. Merdeka
Keharusan merdeka bagi wajib zakat menafikan kewajiban zakat terhadap
hamba sahaya. Hal ini sebagai konsekuensi dari ketiadaan hak milik yang diberikan
kepadanya. Hamba sahaya dan semua yang ada padanya menjadi milik tuannya.
Demikian halnya untuk budak mukattab (budak yang mencicil kepada majikannya
agar bebas dari status budak), maka tidak wajb membayar zakat karena status
kepemilikan lemah.
Menurut Habib Muhammad bin Ahmad bin Umar asy-Syathiri, zakat tidak
wajib bagi budak. Adapun budak Muba’ad (sebagian dirinya berstatus merdeka dan
sebagian yang lain berstatus budak), maka wajib mengeluarkan zakat dari harta yang
ia miliki dengan status merdeka yang terdapat pada dirinya.6
3. Baligh dan berakal sehat
Ahli fiqh mazhab Hanafi menetapkan baligh dan berakal sebagai syarat wajib
zakat. Menurut mereka, harta anak kecil dan orang gila tidak dikenakan wajib zakat

4
Anshory Umar Sitanggal, Fiqh Syafi’i Sistimatis II, Semarang: CV. Asy Syifa’, 1987, hal. 13
5
Rahman Ritonga dan Zainuddin, Fiqh Ibadah, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2002), hal. 178
6
Habib Hasan bin Ahmad al Kaaaf, Taqrirat as Sadidah, Yaman, Dar al Mirats an Nabawi, cetakan
pertama, 2003, hal. 397.

7
karena keduanya tidak dituntut membayarkan zakat hartanya seperti halnya shalat
dan puasa. Mayoritas ahli fiqh selain Hanafiyah tidak menetapkan baligh dan berakal
sebagai syarat wajib zakat. Oleh karena itu, menurut mereka harta anak kecil dan
orang gila wajib dikeluarkan zakatnya, dan yang mengeluarkannya adalah walinya,
berdasarkan hadits Nabi SAW berikut:
َُ‫َوسلَّمَقالَم ْنَو ِليَيَتِ ْي ًماَله‬ َّ َّ‫ََّللاَِصَل‬
ً ‫ىََّللاَُعل ْي ِه‬ ُ ‫بَع ْنَأب ْي ِهَع ْنَج ِدهَِع ْنَر‬
َّ ‫سو ُل‬ ٍ ‫ع ْنَع ْم َِرب ِْنَشُع ْي‬
)‫صدقةَُ(رواهَالبيهقى‬ َّ ‫مالٌَف ْليت َّ ِج ْرَلهَُوَلَيتْ ُر َْكهَُحتَّىَتأَْكُلهَُال‬
Artinya: Dari ‘Amr bin Syu’aib, dari bapaknya, dari neneknya, sesungguhnya
Rasulullah SAW bersabda: “Siapa yang menjadi wali anak yatim yang
memiliki harta hendaklah dia memperdagangkannya (mengembang-
kannya) dan dia tidak boleh meninggalkannya sampai harta itu termakan
oleh zakat.” (HR. Baihaqi)
4. Memiliki harta atau kekayaan yang cukup haul dan nisab
Orang tersebut memiliki sejumlah harta yang telah cukup jumlahnya untuk
dikeluarkan zakatnya. Harta atau kekayaan yang dimiliki telah cukup waktu untuk
mengeluarkan zakat yang biasanya kekayaan itu telah dimilikinya dalam waktu satu
tahun.
5. Memiliki harta secara sempurna
Maksudnya adalah bahwa orang tersebut memiliki harta yang tidak ada di
dalamnya hak orang lain yang wajib dibayarkan. 7 Atas dasar syarat ini, seseorang
yang memiliki harta yang cukup satu nisab, tetapi karena ia masih mempunyai
hutang pada orang lain yang jika dibayarkan sisa hartanya tidak lagi mencapai satu
nisab, maka dalam hal ini tidak wajib zakat padanya karena hartanya bukanlah
miliknya secara sempurna.
6. Muzakki adalah orang yang berkecukupan atau kaya
Sebagai penguat, zakat itu wajib atas si kaya yaitu orang yang mempunyai
kelebihan dari kebutuhan-kebutuhan yang vital bagi seseorang, seperti untuk makan,
pakaian, dan tempat tinggal. Zakat tersebut dibagikan kepada fakir miskin atau orang
yang berhak menerima zakat. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah SAW.:
)‫َلَصدقةَا ٍََّلَع ْنَطه ٍْرَغنِيٍَ(رواهَاحمدَوالبخار‬
Artinya: “Tidak wajib zakat kecuali dari pihak si kaya.”8 (HR. Ahmad dan Bukhari).

7
Rahman Ritonga dan Zainuddin, Fiqh Ibadah, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2002), hal. 179
8
Slamet Abidin dan Suyono, Fiqih Ibadah (Bandung: Pustaka Setia, 1998), hal. 196

8
Sementara itu, untuk zakat badan atau perushaan, para peserta Muktamar
Internasional Pertama tentanf zakat di Kuwait (29 Rajab 1404 H), menganalogikan zakat
perusahaan dengan zakat perdagangan. Hal itu dikarenakan jika dipandang dari aspek
legal dan ekonomi, kegiatan perusahaan intinya berpijak pada kegiatan trading atau
perdagangan. Oleh karena itu, secara umum pola pembayaran dan perhitungan zakat
perusahaan dianggap sama dengan zakat perdagangan begitupun dengan kadar nisabnya
setara dengan 85 gram emas.
Abu Ubaid (wafat tahun 224 H) di dalam Al Amwaal menyatakan bahwa:
“Apabila engkau telah sampai batas waktu membayar zakat (yaitu usaha engkau
telah berlangsung selama satu tahun, misalnya usaha dimulai pada bulan Zulhijjah
1421 H dan telah sampai pada Zukhujjah 1422H), perhatikanlah apa yang engkau
miliki, baik berupa uang (kas) ataupun barang yang siap dierdagangkan
9persediaan), kemudian nilailah dengan uang dan hitunglah utang-utang engkau
atas apa yang engkau miliki”.
Dari penjelasan di atas, maka daptlah diketahui bahwa pola perhitungan zakat
perusahaan didasarkan pada laporan keuangan (neraca) dengan mengurangkan
kewajiban aset lancar, atau seluruh harta (di luar sarana dan prasarana) dutambah
keuntungan, dikurangi pembayaran utang dan kewajiba lainnya, lalu dikeluarkan 2,5%
sebaga zakatnya. Sementara ada pendapat lain yang mengatakan zakatnya hanyaah dari
keuntungannya saja.9

2.3 PANDANGAN PARA ULAMA TENTANG MUZAKKI


Persoalan yang sangat terkait dengan kewajiban zakat adalah atas siapa
diwajibkan berzakat itu. Inilah sebenarnya yang menjadi inti dari pembahasan tema ini.
Telah disepakati oleh umat Islam bahwa zakat hanya diwajibkan kepada seorang muslim,
merdeka, dewasa yang berakal, yang memiliki kekayaan dalam jumlah tertentu dengan
syarat tertentu.10 Ketentuan ini ada yang disepakati dan ada pula yang tidak.
2.3.1 Pandangan Ulama Mengenai Zakat Bagi Non Muslim.

9
https://baznas.go.id.zakat-perusahaan. Diakses pada 15 Oktober 2019
10
Yusuf Qardhawi, op. cit., hal. 95. Di dalam Kitabul Fiqh ‘alal Mazaahibil arba’ah dijelaskan bahwa Syarat
diwajibkan berzakat itu adalah, baligh, berakal, dan Islam. Untuk anak-anak dan orang gila yang mempunyai harta
menurut tiga Imam kecuali Hanafiyyah, wajib dikeluarkan zakatnya, tetapi kewajiban mengeluarkan dibebankan
kepada walinya. Abdurrahman al-Jazayri, Kitaabul fiqhi ‘alal mazaahibil arba’ah, (Beirut: Daar al-Rasyaad al-
Hadiitsah,t.th) Juz. I, hal. 590-591.

9
Mengenai ketentuan yang pertama, para ulama telah sepakat bahwa zakat
tidak diwajibkan kepada non muslim. Dasar pendapat mereka ini adalah hadis shahih
yang menjelaskan tentang instruksi nabi kepada Mu’az bin Jabal ketika beliau
mengutusnya ke Yaman:

“… Yang pertama yang harus kamu lakukan adalah mengajak mereka agar
meyakini bahwa Tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah RasulNya.
Apabila mereka menyambut seruanmu, maka ajarkanlah bahwa Allah mewajibkan
mereka salat lima kali dalam sehari. Dan bila mereka mengerjakannya, maka
barulah kamu beritahukan kepada mereka bahwa Allah mewajibkan mereka
berzakat, yang dipungut dari orang kaya mereka dan diberikan kepada orang yang
miskin.”
Manurut madhab Hanafi, Syafi’i dan Hanbali Islam merupakan syarat atas
kewajiban menunaikan zakat. Dengan demikian, zakat tidak diwajibkan atas non-
Muslim. Mereka tidak mewajibkan zakat atas non-Muslim mendasarkan
pendapatnya kepada ucapan Abu Bakar bahwa zakat adalah sebuah kewajiban dari
Rasulallah SAW kepada kaum Muslimin.11 Sementara, orang kafir baik pada masa
kekafirannya atau sesudahnya, tidak diwajibkan menunaikan zakat sebagaimana
mereka tidak dikenai pula kewajiban sholat.

Dengan ini jelaslah bahwa kewajiban zakat ini terkait dengan keislaman
seseorang, dan ia merupakan salah satu dari lima landasan tempat berdirinya
bangunan keislaman itu, yaitu syahadat, salat, zakat, puasa dan haji ke Baitullah.
Karena itu tidak diwajibkan bagi orang yang tidak Islam atau non muslim.
2.3.2 Pandangan Ulama Mengenai Zakat Bagi Budak
Para ulama juga sepakat bahwa zakat hanya diwajibkan bagi Muslim yang
merdeka. Zakat tidak wajib atas budak, karena budak tidak memiliki apa-apa,
bahkan ia sendiri adalah milik tuannya. Kalaupun ia memiliki sesuatu, maka itu
bukanlah kepemilikan yang sempurna (penuh). Mengenai kewajiban zakat bagi
budak, ada tiga pendapat tentang hal itu, yakni:
1. Para sahabat: Ibnu Umar dan Jabir, dan para Fuqaha seperti Ahmad dan Abi
Ubaid berpendapat budak sama sekali tidak diwajibkan membayar zakat.

11
Muhammad Ibrahim Jannati, Fiqih Perbandingan Lima Mazhab 2, Jakarta: Cahaya, 2007,
hal. 65

10
2. Al Syafi’i, Al Saurid dan Abu Hanifah serta pengikutnya berpendapt
kewajiban zakat bagi budak ada pada tuannya.
3. Ibnu Umar (sahabat), ‘Atha (tabi’in), dan ahlu zahir berpendapat kewajiban
zakat bagi harta budak. Budak ada yang statusnya budak dan ada budak
dengan status dalam proses merdeka dengan cara mengangsur pembayaran
dirinya. Jumhur ulama berpendapat bahwa budak mukattib (dalam proses
merdeka) tidak diwajibkan zakat sampai ia merdeka.
Para ulama berbeda pendapat tentang kewajiban zakat bagi orang memiliki
hutang hingga menghabiskan hartanya atau menghabiskan hartanya yang kena
zakat dan dia masih punya harta kena zakat yang lain. Pendapat-pendapat tersebut
antara lain:
1. Al Sauri, Abu Sauri dan Ibnu al Mubarak berpendapat orang yang memiliki
hutang wajib membayar hutangnya terlebih dahulu. Jika masih sisa maka
sisa harta tersebut yang diperhitungkan untuk membayar zakat. Jika masih
satu nisab maka dia wajib membayar zakat dan jka tidak mencapa nisab
maka tidak wajib membayar zakat.
2. Abu Hanifah dan pengikutnya berpendpat hutang tidak menghalangi
kewajiban zakt biji-bijian tetapi menghalangi kewajiban zakat harta lain.
3. Imam Malik berpendapat hutang menghalangi kewajiban zakat harta barang
berharga (emas dan perak), kecuali barang berharga tersebut dimaksud
untuk diperdagangkan dan tidak menghalangi kewajiban harta lainnya.
4. Sebagian ulama ada yang berpendapat hutang tidak menghalangi kewajiban
zakat sama sekali. 12
Ulama yang berpandangan zakat adalah ibadah maka orang yang
berhutang sedangkan hartanya mencapai nisab maka wajib untuk membayar
zakat yang merupakan kewajiba (taklif) yang harus ditunaikan. Jadi semua
mukallaf wajib menunaikannya tidak terhalang oleh ada atau tidak adanya
hutang.
2.3.3 Pandangan Ulama Mengenai Zakat dari Harta Anak-Anak dan Orang
Gila
Sementara itu, para ulama berbeda pendapat tentang harta anak-anak
dan orang gila, ada yang berpendapat tidak wajib, dan ada yang sebaliknya.

12
Ibnu Rusyd. Bidayah al Mujtahid. Juz I, Dar Al Fikr, hal 178.

11
Beberapa ulama seperti Abu Ja’far al-Baqir, Hasan, Mujahid dan lain-lain
berpendapat bahwa harta anak-anak dan orang gila tidak wajib dikeluarkan
zakatnya. Mereka beralasan13:
1. Zakat adalah ibadah mahdhah seperti salat, dan ibadah ini perlu niat, yang
tidak dipunyai oleh anak-anak atau orang gila, dan kalaupun mereka bisa
melakukannya, tidaklah dianggap. Karena itu, ibadah tidak wajib atas
mereka, dan mereka tidak dikhithab dengannya.
2. Dalil lain menurut mereka adalah firman Allah dalam QS. At Taubah (9)
ayat 103 yakni:
Artinya: “Ambilah zakat dari harta mereka guna membersihkan dan
menyucikan mereka dan berdoalah untuk mereka.”
Di sini dijelaskan bahwa tujuan dari perintah pemungutan zakat itu
adalah untuk membersihkan dan mensucikan dari dosa, sedangkan anak-anak
dan orang gila tidak berdosa. Karena itu, tentu mereka tiak termasuk dalam
tuntutan ayat ini.
3. Selain itu, kemashlahatan yang menjadi perhatian Islam dalam setiap
penetapan hukumnya, menurut mereka tidak akan tercapai dengan
mewajibkan zakat kepada harta mereka ini, karena ketidak-mampuan mereka
mengelola harta, maka penarikan zakat dari tahun ketahun dikhawatirkan
akan menghabiskan harta mereka dan menyebabkan mereka miskin.
Sementara itu, Jumhur ulama dari kalangan sahabat, tabi’in dan orang
yang sesudah mereka berpendapat bahwa harta anak-anak dan orang gila wajib
dikeluarkan zakatnya. Alasan mereka adalah14:
1. Nash ayat dan hadis yang mewajibkan zakat bersifat umum, yang
mencakup pada semua harta orang kaya, tanpa mengecualikan anak-
anak dan orang gila.
2. Hadis riwayat Syafi’i dari Yusuf bin Mahak bahwa Rasululullah
bersabda: “Terimalah atau Ambillah oleh kalian zakat dari harta
seorang anak yatim (yang kaya), atau harta kekayaan anak-anak yatim
yang tidak mengakibatkan harta itu habis.

13
Ibid., Juz I, hal. 105-108
14
Ibid., hal. 108-111

12
3. Selain itu mereka beralasan dengan tindakan para sahabat, seperti Umar,
Ali, Abdullah bin Umar, Aisyah dan Jabir bin Abdullah yang
mewajibkan zakat atas kekayaan anak-anak.
4. Kemudian mereka juga melihat dari sisi makna dari diwajibkannya zakat,
yang menurut mereka adalah untuk membantu orang yang
membutuhkan di samping untuk mensyukuri nikmat Allah, karena itu
anak-anak dan orang gila, bila memang kaya tidak terlepas dari
kewajiban zakat ini.

Setelah memperhatikan semua alasan dari kedua belah pihak, maka


Yusuf Qardhawi berpendapat bahwa yang mewajibkan zakat harta anak dan
orang gila lebih kuat dalilnya.15 Lebih lanjut ia menegaskan bahwa kekayaan
anak-anak dan orang gila wajib zakat, karena zakat merupakan kewajiban yang
terkait dengan kekayaan bukan dengan orang, yang tidak gugur karena
pemiliknya masih anak-anak atau orang gila.
Dengan paparan di atas jelaslah bahwa untuk penentuan muzakki itu
tidaklah terlalu sulit, karena kriterianya sangat sederhana sekali. Telah dijelaskan
bahwa muzakki itu adalah seorang muslim atau lembaga yang dimiliki oleh
orang Islam yang memiliki harta yang diwajibkan zakat, baik sudah dewasa atau
tidak, berakal atau tidak.

2.4 KRITERIA MUZAKKI PADA MASA KINI


Salah satu hal penting yang harus menjadi perhatian adalah muzakki, karena
ia merupakan salah satu komponen penting untuk tercapainya cita cita menjadikan
zakat sebagai salah satu potensi ekonomi umat. Karena merekalah yang dikenai
wajib zakat. Penjelasan yang simpel dan mudah tentang kriteria muzakki diharapkan
akan dapat membantu berbagai pihak yang terkait untuk memahami bahwa muzakki
itu bukan hanya petani, peternak, pedagang, pemilik emas dan perak, ataupun
seorang pengusaha tambang. Tetapi muzakki itu bisa lebih banyak dan lebih
beragam dari itu. Muzakki bisa saja dari pegawai, para professional, pemilik
bermacam-macam aset yang disewakan, pemilik saham, pengusaha, dan lain
sebagainya.

15
Ibid.,hal 111-112.

13
Jika kita melihat keadaan saat ini, sudah sangat jarang ditemukan budak atau
hamba sahaya yang mana peran dari zakat dalam meningkatkan perekonomian
masyarkat Islam seharusnya bisa lebih besar dari pada masa-masa sebelumnya. Kita
dapat berkaca bagaimana pemerintahan dari Umar bin Abdul Aziz yang mana pada
saat itu sulit ditemukan mustahiq (orang yang wajib menerima zakat). Hal tersebut
terjadi karena adanya transformasi dari mustahiq menjadi muzakki. 16 Dan pada saat
ini pun sebenarnya telah terjadi transformasi mustahiq ke muzakki salah satunya
ditandai dengan sangat jarangnya ditemukan hamba sahaya atau budak pada
sekarang ini. Oleh karenanya, seharusnya peran zakat saat ini lebih dapat
ditingkatkan dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat muslim.
Dengan memahami kriteria muzakki ini diharapkan setiap umat Islam yang
mempunyai harta akan terpanggil jiwanya untuk menghitung dan menilai sendiri,
apakah dia termasuk orang yang wajib berzakat atau tidak, sehingga ia tidak lagi
menunggu orang lain mengingatkan.

16
https://medianeliti.com, Muzakki dan Kriterianya dalam Tinjauan Fiqih, diakses pada hari
Minggu tanggal 15 September 2019 pukul 21.57

14
BAB III

PENUTUP

3.1 KESIMPULAN
Dari pemaran diatas, penulis menyimpulkan beberapa point terkait pembahasan
tersebut, yakni sebagai berikut:
1. Pada awal kelahiran Islam, kewajiban zakat disampaikan Allah SWT, dengan
ungkapan ‘infaq’. Pada tahun kedua hijriyah, baru Allah SWT memerintahkan
kewajiban zakat dengan menggunakan ungkapan ‘atu al-zakat’ (tunaikanlah
zakat).
2. Muzakki adalah orang atau badan yang dimiliki oleh orang Muslim yang
bekewajiban menunaikan zakat. syarat-syarat sebagai berikut: Islam, Merdeka,
Baligh dan berakal sehat, Memiliki harta atau kekayaan yang cukup nisab,
haul, dimiliki secara sempurna.
3. Para ulama memiliki pandangan yang berbeda-beda mengenai muzakki
diantaranya: muzakki seorang muslim, kewajiban zakat pada muzakki seorang
budak, kewajiban zakat bagi muzakki yang berutang, dan muzakki seorang
anak anak dan orang gila. Akan tetapi seluruh ahli fiqih sepakat bahwa setiap
Muslim, merdeka, sudah baligh maupun belum, dan berakal wajib menunaikan
zakat.
4. Muzakki itu bukan hanya petani, peternak, pedagang, pemilik emas dan perak,
ataupun seorang pengusaha tambang. Tetapi muzakki itu bisa lebih banyak dan
lebih beragam dari itu. Muzakki bisa saja dari pegawai, para professional,
pemilik bermacam-macam aset yang disewakan, pemilik saham, pengusaha,
dan lain sebagainya.

3.2 SARAN
Demikianlah makalah ini kami susun, kami menyadari bahwa dalam penulisan
makalah ini masih banyak kekurangan dan kesalahan. Oleh karena itu, kritik dan saran
yang membangun kami harapkan guna memperbaiki makalah yang sselanjutnya.
Semoga apa yang kami sampaikan dalam makalah ini dapat bermaanfaat bagi kita
semua.

15
DAFTAR PUSTAKA

Buku :
Abidin, Slamet dan Suyono. 1998. Fiqih Ibadah. Bandung: Pustaka Setia.
Hasan, Habib bin Ahmad al Kaaf. 2003. Taqrirat as Sadidah. Yaman. Dar al Mirats an
Nabawi. cetakan pertama.
Jannati, Muhammad Ibrahim. 2007. Fiqih Perbandingan lima mazhab. Jakarta:
Cahaya.
Khasanah, Umroul. 2010. Manajemen Zakat Modern: Instrumen Pemberdayaan
Ekonomu Umat. Malang: UIN-Maliki Press.
Sitanggal, Anshory Umar. 1987. Fiqh Syafi’i Sistematis II. Semarang: CV. Asy Syifa’.
Ritonga, Rahman dan Zainuddin. 2002. Fiqh Ibadah. Jakarta: Gaya Media Pratama.

Website :
https://kemenag.go.id diakses tanggal 12 September 2019 pukul 12.23 WIB.
https://baznas.go.id/id/zakat-perusahaan. Diakses pada 15 Oktober 2019 pukul 08.23 WIB.

16

Anda mungkin juga menyukai