Pertemuan ke 09
DISUSUN OLEH
RISNI RISTIAWATI
NIM 180311020030
DOSEN PENGAMPU
A. Latar Belakang
Perceraian merupakan pilihan hukum antara pasangan yang telah menikah setelah tidak
bias menyatukan perbedaan yang timbul di antara keduanya. 1 Perceraian terkadang dibutuhkan
oleh sepasang suami istri karena kemaslahatan akan lebih mereka dapatkan daripada
antara suami istri dengan mengutus dua penengah dari keluarga mereka berdua, yang lebih
mengutamakan memperbaiki hubungan pasangan suami sitri sehingga mereka berdua dapat
menghindari terjadinya talak. Dua penengah ini tugasnya adalah menasehati dan mengingatkan
mereka berdua dan memberitahukan kepada mereka dampak negatif perceraian dan mudharatnya
serta hancurnya kehidupan rumah tangga yang telah dibina bersama. Apabila dua penengah ini
memandang cerai merupakan pilihan yang terbaik bagi mereka, maka dua penengah dapat
B. Analisis
1
Amina Wadud Muhsin, 1994, Wanita di dalam Al-Qur’an (trans) Yaziar Radianti, Bandung : Fajar
Bhakti, hlm. 106.
2
Taudihul Ahkam, Al-Mulakhos Al-Fiqhiy, hlm. 410.
Kajian Tafsir
Mufrodat
اﺣﺴ ﺎن : Memberi lebih banyak dari pada yang harus diberikan
Kemudian jika si suami mentalaknya (sesudah Talak yang kedua), Maka perempuan itu tidak
lagi halal baginya hingga Dia kawin dengan suami yang lain. kemudian jika suami yang lain itu
menceraikannya, Maka tidak ada dosa bagi keduanya (bekas suami pertama dan isteri) untuk
kawin kembali jika keduanya berpendapat akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Itulah
hukum-hukum Allah, diterangkan-Nya kepada kaum yang (mau) mengetahui.
Asbabul Nuzul
Ø Ayat 229
Mengenai sebab turunnya QS. Al-Baqarah ayat : 229 terdapat riwayat yang menerangkan bahwa
pada permulaan Islam, talak itu tidak dibatasi jumlahnya. Seorang lelaki boleh saja merujuk
seorang istri yang telah ditalaknya itu pada masa iddahnya, kemudian menalaknyadan
merujuknya kembali sesuka hati. Kemudian terjadilah perselisihan antara seorang lelaki Anshar
dan istrinya. Lalu dia berkata kepada istrrinya “Aku tidak melindungimu dan tidak juga berpisah
darimu” Si istri bertanya, “Bagaimana itu?” Dia menjawab “ Saya ceraikan engkau, kemudian
apabila telah dekat habisnya iddahmu, maka saya rujuk kembali engkau” kemudian wanita itu
melaporkan hal itu kepada Rasulullah SAW. Kemudian turunlah ayat "Talak (yang dapat
Sebelum turunnya ayat ini, istri-istri orang Arab Jahiliyah menjadi barang mainan di tangan
suaminya. Para suami sering menjatuhkan talak kemudian merujuknya kembali pada masa
iddah. Mereka tidak mempunyai batasan dan ketentuan berapa kali talak bisa dijatuhkan. Un tuk
menyakiti istrinya, suami dapat saja menjatuhkan talaknya kapan saja sesua dengan kemauan
hatinya. Talak sebelum datangnya Islam merupakan salah satu cara untuk menyiksa wanita.
Orang-orang jahiliyah biasanya menceraikan istrinya dan memisahkan darinya. Tetapi ia tidak
Ø Ayat 230
Sedangkan dalam ayat 230 terdapat riwayat yang mengemukakan bahwa sebab turunnya ayat ini
berkenaan dengan pengaduan Aisyah binti Abdirrahman kepada Rasulullah bahwa ia telah
ditalak ba’in oleh suaminya yang pertama (Rifa’ah bin Wahab bin ‘Atik) Setelah habis iddahnya
maka dia menikah dengan Abdurrahman bin Zuber kemudian menceraikannya sebelum
menggauli. “Apakah saya boleh menikah kembali dengan suami yang pertama?” Rasulullah
SAW menjawab: “Tidak, kecuali kamu telah digauli suami yang kedua”.
Dikemukakan bahwa maksud penjatuhan talak dari ayat 229, yaitu menjatuhkan talak
secara terpisah antara talak yang pertama dengan talak yang kedua dan ketiga. Atas dasar itu,
mengumpulkan dua talak atau tiga talak sekaligus adalah haram hukumnya. Menurut pendapat
Abu Zayd al-Dabusy, sebagaimana dikutip oleh al-Razy, golongan yang mengharamkan ini
termasuk diantaranya, Umar, Ustman, Ali, Abdullah Ibn Mas’ud, Ibn ‘Abbas, Ibn Umar, Imran
Quraish Shihab, sependapat dengan hal di atas, yakni dua talak diucapkan dalam waktu
yang berbeda. Akan tetapi ia menyebutkan bahwa ‘Umar Ibn Khattab pernah mengambil
kebijakan lain dengan menetapkan bahwa talak jatuh dua atau tiga kali sesuai dengan ucapan
walau dalam sekali waktu atau sekali ucap. Hal ini ia tempuh untuk memberi pelajaran kepada
3
http://d-jabahri.blogspot.com/2008/08/al-quran-berbicara-tentang-talak.html.
suami yang ketika itu dengan sangat mudah mengucapkan talak, agar berhati-hati dalam
ucapannya.4
Ulama berbeda pendapat mengenai mengumpulkan talak tiga dalam satu ucapan, apakah
jatuh satu talak atau tiga talak sekaligus. Menurut Hanafi dan Maliki hal tersebut dibolehkan
disertai dengan hukumnya adalah makruh. Sedangkan menurut al-Razy, disamping jatuh talak
Talak pada masa jahiliyah dan terus berlanjut pada masa awal Islam, yaitu seorang suami
dapat menceraikan istrinya tanpa batas, dimana apabila ia menghendaki memudharatkan istrinya,
maka dia ceraikan dulu dan apabila hampir selesai masa iddahnya ia ruju’ kembali, kemudian ia
ceraikan kembali dan begitulah seterusnya, hingga membuat kemudharatan bagi wanita.
Turunnya ayat ini menghapus tradisi yang berlaku, yaitu seorang laki-laki lebih berhak merujuk
isterinya setelah mentalaknya seratus kali selama masih dalam menjalani masa iddah. Ketika
tradisi tersebut banyak merugikan para isteri, maka Allah membatasi mereka dengan tiga talak
saja, dan membolehkan mereka untuk merujuknya kembali pada talak pertama dan kedua saja,
dan tidak memungkinkan untuk ruju’ (kembali) lagi setelah talak yang ketiga.
tasriihu bi ihsaan (Talak “yang dapat dirujuk” dua kali, setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara
yang ma’ruf atau menceraikannya dengan cara yang baik). Dihapuskannya ruju’ setelah talak
yang ketiga, diriwayatkan dari Ibnu Abbas, mengenai firman Allah : wal muthallaqaatu
khalaqallaaHu fii arhaamiHinna; bahwasanya jika seorang laki-laki menalak istrinya, maka ia
lebih berhak merujuknya meskipun ia telah menalaknya tiga kali. Lalu hal itu dinasakh (dihapus)
dengan firman Allah : ath-thalaaqu marrataani (Talak “yang dapat dirujuk” dua kali).
4
Ibid.
5
Ibid.
Ibnu Abu Hatim meriwayatkan dari Hisyam bin Urwah, dari ayahnya, bahwasanya ada
seorang laki-laki yang mengatakan kepada isterinya, “Aku tidak akan pernah menceraikanmu
untuk selama-lamanya dan tidak juga mencampurimu untuk selama-lamanya.” “Bagaimana hal
itu bisa terjadi?” Tanya isterinya. Maka ia menjawab: “Aku akan menceraikanmu hingga apabila
masa iddahmu sudah dekat, aku akan merujukmu kembali.” Kemudian wanita itu pun datang
kepada Rasulullah SAW, dan menceritakan hal itu kepada beliau, maka Allah swt. menurunkan
boleh rujuk lagi dengan cara yang ma’ruf atau menceraikannyadengan cara yang baik), artinya,
jika engkau (seorang suami) mengucapkan talak kepada istri pada saat yang pertama kalinya
atau pada saat yang kedua kalinya, maka engkau mempunyai dua pilihan selama masa iddahnya
masih tersisa, merujuknya kembali dengan niat mengadakan ishlah dan dengan berbuat baik
kepadanya atau membiarkannya menyelesaikan masa iddahnya, hingga akhirnya dirimu memilih
untuk menceraikannya maka ceraikanlah dengan cara yang baik, dengan tidak menzhalimi
Dalam tafsirnya, Abd bin Humaid meriwayatkan, dari Ismail bin Sami’, bahwa Abu
Razin al-Asadi mengatakan, ada seseorang yang berkata: “Ya Rasulallah, bagaimana pendapat
Anda mengenai firman Allah bahwa “Talak (yang dapat dirujuk) dua kali,” lalu bagaimana
dengan yang ketiganya?” Maka Rasulullah SAW menjawab, “Yang ketiga adalah (pada kalimat)
menceraikannya dengan cara yang baik”. Hadits ini juga diriwayatkan oleh Imam Ahmad.
Ibnu Mardawaih juga meriwayatkan, dari Anas bin Malik, ia menceritakan, ada
seseorang yang datang kepada Rasulullah SAW seraya berkata: “Ya Rasulallah, Allah telah
menyebutkan talak dua kali. Lalu di mana yang ketiga?” Maka Rasulullah SAW pun bersabda :
“Merujuk kembali dengan cara yang ma’ruf atau menceraikannya dengan cara yang baik”.
Maka Allah Ta’ala memberitahukan bahwa, { ق
ُ َ} اﻟﻄﱠﻼ “talak” yaitu yang boleh
dilakukan ruju’ padanya, { ِ} َﻣ ﱠﺮﺗَﺎن “dua kali” agar suami dimungkinkan (apabila ia tidak
bermaksud memudharatkan), untuk kembali kepada istrinya dan ia berfikir kembali pada masa
tersebut, namun jika lebih dari masa itu maka tidaklah haram baginya, karena barangsiapa yang
menalak lebih dari dua kali maka dia itu kalau bukan karena lancang terhadap yang haram atau
Karena itu Allah memerintahkan kepada suami tersebut untuk meruju’ istrinya,
{ ٍ} ﺑِ َﻤ ْﻌﺮُوف ”dengan cara yang ma’ruf”, yaitu pergaulan yang baik yang berlaku di antara
mereka seperti apa yang berlaku pada pasangan yang semisal mereka, dan inilah yang lebih kuat,
bila tidak, maka hendaklah menceraikan dan meninggalkannya, { ٍ“ } ﺑِﺈ ِﺣْ ﺴَﺎنdengan cara yang
baik”.
Di antara cara yang baik itu adalah tidak mengambil sesuatu pun dari harta istrinya
karena perceraian tersebut, karena tindakan itu adalah kezhaliman dan mengambil harta tanpa
{ َ} ﺤِ ﻞﱡ ﻟَ ُﻜ ْﻢ أَن ﺗَﺄْ ُﺧﺬُوا ِﻣﻤﱠﺎ َء اﺗَ ْﯿﺘُﻤُﻮھُﻦﱠ َﺷ ْﯿﺌًﺎ إِﻵﱠ أَن ﯾَ َﺨﺎﻓَﺂ أَﻻﱠ ﯾُﻘِﯿﻤَﺎ ُﺣﺪُو َدﷲِوَ ﻻَ ﯾ
“Tidak halal bagi kamu mengambil kembali sesuatu dari yang telah kamu berikan kepada
mereka, kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah”,
yaitu, melakukan khulu’ dengan cara yang ma’ruf dimana sang istri membenci suaminya akibat
kejelekan akhlak, paras atau kurangnya agamanya, dan ia khawatir tidak dapat menaati Allah
padanya.
Imam Syafi’i mengatakan, para sahabat kami berbeda pendapat mengenai masalah
khulu’, lalu Sufyan memberitahu kami, dari Ibnu Abbas mengenai seseorang yang menceraikan
isterinya dengan talak dua, setelah itu isterinya meminta khulu’ darinya, maka ia boleh
menikahinya kembali jika ia menghendaki, karena Allah telah berfirman yang artinya :
“Talak (yang dapat dirujuk) dua kali. Setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang ma’ruf atau
menceraikan dengan cara yang baik. Tidak halal bagi kamu mengambil kembali sesuatu dari
yang telah kamu berikan kepada mereka, kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan dapat
menjalankan hukum-hukum Allah. Jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami istri) tidak dapat
menjalankan hukum-hukum Allah, maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran
yangdiberikan oleh istri untuk menebus dirinya. Itulah hukum-hukum Allah, maka janganlah
kamu melanggarnya. Barangsiapa yang melanggar hukum-hukum Allah mereka itulah orang-
orang yang zhalim. Kemudian jika si suami menalaknya (sesudah talak yang kedua), maka
perempuan itu tidak halal lagi baginya hingga dia kawin dengan suami yang lain. Kemudian jika
suami yang lain itu menceraikanya, maka tidak ada dosa bagi keduanya (bekas suami pertama
dan istri) untuk kawin kembali jika keduanya berpendapat akan dapat menjalankan hukum-
hukum Allah. Itulah hukum-hukum Allah, diterangkanNya kepada kaum yang (mau)
Firman Allah SWT selanjutnya : fa in thallaqaHaa falaa tahillu laHuu mim ba’du hattaa
tankiha zaujan ghairaHu (Kemudian jika si suami menalaknya “sesudah talak yang kedua”,
maka perempuan itu tidak halal baginya hingga ia menikah dengan suami yang lain).
Maksudnya, jika seorang suami menceraikan istrinya yang ketiga kalinya, yang sebelumnya ia
telah menjatuhkan dua kali talak, maka si istri haram dirujuk oleh si suami tersebut sebelum
wanita itu menikah lagi dengan laki-laki lain. Artinya, hingga wanita itu berhubungan badan
dengan laki-laki melalui pernikahan yang sah. Jika wanita itu disetubuhi oleh laki-laki lain tanpa
melalui proses pernikahan, sekalipun karena perbudakan, maka mantan suami yang pertama
tidak boleh merujuk kembali mantan istrinya tersebut. Karena lelaki itu bukan sebagai suami.
Demikian halnya, jika wanita itu sudah menikah kembali dengan laki-laki lain tetapi belum
dicampuri oleh sang suami, maka belum halal bagi suami pertama.
Ibnu Jarir meriwayatkan, dari Aisyah radiallahu’anha, bahwasanya ada seseorang laki-
laki yang menceraikan istrinya dengan talak tiga, wanita itu menikah kembali dengan laki-laki
lain, kemudian laki-laki itu menceraikannya sebelum menyetubuhinya, lalu ditanyakan kepada
Rasulullah SAW apakah boleh bagi mantan suaminya yang pertama merujuknya kembali? Maka
Rasulullah SAW pun bersabda : “Tidak, sehingga ia (suami kedua) itu merasakan al-‘Usailah
(madu)nya sebagaimana yang telah dirasakan oleh suami pertama.” (HR. Al-Bukhari, Muslim
dan an-Nasa’i.).
Imam Ahmad meriwayatkan, dari Aisyah radiallahu anha, katanya: “Istri Rifa’ah al-
Quradzi masuk, sedang aku dan Abu Bakar berada di samping Rasulullah SAW, lalu ia
mengatakan, “Sesungguhnya Rifa’ah telah menceraikanku dengan talak tiga, dan Abdurrahman
bin Zubair telah menikahiku. Dan miliknya (kemaluan Abdurrahman bin Zubair) bagaikan ujung
kain jilbab, seraya memegang ujung kain jilbabnya, sedangkan saat itu Khalid bin Sa’idbin ‘Ash
berada di pintu belum diizinkan masuk, ia berujar; “Hai Abu Bakar, tidakkah engkau melarang
wanita ini berbicara blak-blakan di hadapan Rasulullah”. Kemudian Rasulullah SAW tersenyum
seraya berkata (kepada bekas isteri Rifa’ah) : “Sepertinya engkau hendak kembali ke Rifa’ah.
Tidak boleh, sehingga engkau merasakan madunya (kemanisannya) dan ia merasakan madumu”.
Demikian pula yang diriwayatkan al-Bukhari, Muslim, dan an-Nasa’i. Sedangkan dalam
hadits Abdur Razak, menurut riwayat Muslim, bahwa Rifa’ah menceraikannya pada kali ketiga.
Hadits tersebut juga diriwayatkan jama’ah kecuali Abu Dawud, al-Bukhari, Muslim dan an-
Nasa’i. Suami kedua yang dimaksud harus benar-benar suka dan bertujuan untuk hidup berdua
selamanya, sebagaimana disyaria’atkan dalam pemikahan. Dan selain itu Imam Malik
mensyaratkan, suami harus menyetubuhi istrinya itu pada saat yang dibenarkan. Jika ia
menyetubuhinya pada saat istrinya itu sedang menjalankan ihram atau berpuasa atau beri’tikaf
atau sedang haid atau nifas. Atau pihak suami barunya itu sedang dalam keadaan puasa atau
ihram atau sedang i’tikaf, maka mantan suami pertama belum diperbolehkan untuk merujuknya.
Demikian juga jika suami barunya itu seorang dzimmi, maka tidak diperbolehkan bagi seorang
muslim untuk menikahinya, karena pernikahan dengan orang kafir itu tidak sah (batal).
Maksud al-‘Usailah dalam hadits Rasulullah SAW ini bukanlah air mani (sperma). Hal
itu sebagaimana yang diuraikan dalam hadits yang diriwayatkan Imam Ahmad dan Nasa’i, dari
Aisyah radiallahu anha, bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Ketahuilah, sesungguhnya al-
Muhallil : Orang yang menikah hanya untuk menghalalkan seorang wanita bagi mantan
suaminya.
Muhallal lahu : Suami pertama yang meminta muhallil melakukan hal itu ataupun si wanita jika
ia yang memintanya. Dan jika suami yang kedua hanya bertujuan untuk menghalalkan wanita itu
bagi suami pertama, maka inilah yang disebut muhallil (yang menghalalkan) yang mana
beberapa hadits telah mencela dan melaknatnya. Dan jika muhallil menyatakan maksudnya
secara jelas di dalam akad, maka batallah pernikahan tersebut. Demikian menurut pendapat
jumhur ulama.
“Rasulullah SAW melaknat wanita yang mentato (kulitnya) dan wanita yang minta dibuatkan
tato, wanita yang menyambung rambutnya dan wanita yang minta disambungkan rambutnya,
muhallil dan muhallal-lahu dan orang yang memakan riba dan yang memberikannya”.
Kemudian Imam Ahmad, at-Tirmidzi dan an-Nasa’i juga meriwayatkandari jalur lain. At-
Tirmidzi mengatakan, para ulama dari kalangan sahabat, di antaranya Umar bin Khaththab,
Utsman bin Affan, dan Ibnu Umar mengamalkan hal tersebut. Ini juga merupakan pendapat para
fuqaha dari kalangan tabi’in. Hal itu juga diriwayatkan dari Ali bin Abi Thalib, Ibnu Masud, dan
Ibnu Abbas. Dalam kitab al-Mustadrak, al-Hakim meriwayatkan, dari Ibnu Umarbin Nafi’, dari
ayahnya, ia pernah menceritakan: “Ada seseorang yang datang kepada Ibnu Umar dan
menanyakan tentang seseorang yang menceraikan istrinya dengan talak tiga, lalu wanita itu
dinikahi oleh saudaranya sendiri tanpa adanya konsultasi darinya, supaya dengan demikian
menjadi halal bagi saudaranya. Bolehkah bagi mantan suami pertama itu menikahinya kembali?”
Maka Ibnu Umar pun menjawab, “Tidak, kecuali nikah yang didasarkan karena keinginan. Dan
kami mengkategorikan hal itu sebagai perzinaan pada masa Rasulullah”. Kemudian ia
mengatakan bahwa hadits ini berisnad shahih, tetapi al-Bukhari dan Muslim tidak
meriwayatkannya.
suami yang kedua, setelah bercampur dengannya : falaa junaaha ‘alaiHimaa ay yataraaja’aa
(Maka tidak ada dosa bagi keduanya untuk menikah kembali) yaitu wanita tersebut dengan
suami pertama. In dhannaa ay yuqiimaa huduudallaaHi (Jika keduanya berpendapat akan dapat
dengan baik. Mujahid mengatakan : “Jika keduanya beranggapan bahwa pernikahan mereka
berdua itu bukan palsu”. Wa tilka huduudullaaHi (Itulah hukum-hukum Allah), maksudnya
Haramnya thalaq tiga dalam sekali ucapan (seperti ucapan “Kamu saya talaq tiga
sekaligus”), karena Allah Ta’ala berfirman, “Talak (yang dapat dirujuki) dua kali”. Maksudnya,
seseorang mengucapkan kata talaq kepada istrinya langsung talaq tiga, ucapan seperti ini adalah
termasuk talaq bid’iy (talaq yang bid’ah) dan jumhur ulama berpendapat bahwa walaupun
demikian ia tetap jatuh talaq tiga secara langsung. Dan selain jumhur berpendapat bahwa hal itu
adalah talaq bid’iy akan tetapi hanya jatuh talaq satu saja, dalil mereka adalah ayat tersebut di
atas (Talak “yang dapat dirujuki” dua kali) dan (Wanita-wanita yang ditalaq hendaklah menahan
diri (menunggu) tiga kali quru’), thalaq dengan lafadz thalaq tiga sekaligus maka di dalamnya
tidak ada 2x thalaq raj’I seperti dalam ayat, tidak pula masa quru’ sehingga ini termasuk bid’ah.
Dan tidaklah lafadz tersebut menjadi thalaq ba’in (jatuh thalaq tiga), akan tetapi hanya jatuh
Wanita yang dithalaq tiga tidaklah halal bagi suami yang menceraikannya sehingga
wanita tersebut menikah dengan laki-laki lain (dan iapun mencampurinya) lalu laki-laki yang
menikahinya tadi menceraikannya atau meninggal. Maka setelah itu baru suami pertama tadi
Pengulangan yang dianggap (terbanyak) terhadap suatu ucapan atau perbuatan adalah
dengan tiga kali. Hal ini banyak sekali contohnya, diantaranya : pengucapan salam terbanyak
adalah tiga kali, meminta izin (untuk masuk rumah misalnya) terbanyak adalah tiga kali,
pengulangan suatu pembicaraan apabila belum dipahami adalah tiga kali, pengulangan dalam
berwudhu terbanyak adalah tiga kali dan lain sebagainya. Maka dapat disimpulkan bahwa
pengulangan yang dianggap cukup (terbanyak) adalah dengan bilangan ‘tiga kali’.
Jumlah thalaq yang dibolehkan bagi suami untuk ruju’ adalah dua kali, thalaq satu dan
thalaq dua, lalu bagi siapa yang menthalaq istrinya dengan thalaq yang kedua kemudian ruju’
lagi maka ada dua pilihan baginya setelah itu : mempertahankan tali pernikahannya dengan baik
selama hidupnya atau ia menceraikannya lagi (dengan thalaq ketiga) dengan cara yang baik, jika
ia menthalaqnya maka tidak halal lagi baginya kecuali istrinya telah menikah lagi dengan laki-
laki lain.
Para ulama masih berbeda pendapat mengenai permasalahan, jika seorang suami
menceraikan isterinya dengan talak dua dan kemudian meninggalkan hingga ia selesai menjalani
iddahnya, setelah itu ia menikah dengan laki-laki lain dan sudah bercampur dengannya, lalu
diceraikan kembali oleh laki-laki tersebut, dan setelah selesai menjalani iddahnya, suaminya
yang pertama menikahinya kembali. Apakah kembalinya itu berikut jumlah talak yang pernah
dia jatuhkan sebagaimana pendapat Imam Malik, Syafi’i dan Ahmad bin Hanbal, dan juga
pendapat para Sahabat, ataukah suami yang kedua itu telah menghapuskan jumlah talak yang
pernah dia jatuhkan sehingga ia kembali memiliki jatah talak tiga kali lagi, sebagaimana
pendapat Abu Hanifah para sahabatnya. Alasan Abu Hanifah dan para sahabatnya itu adalah jika
suami yang kedua dapat menghapuskan keberadaan talak tiga, tentu penghapusan talak di bawah
C. Kesimpulan
Al-Qur’an diturunkan Allah sebagai petunjuk bagi seluruh umat. Di dalamnya terdapat
manusia dengan Tuhan dan hubungan manusia dengan menusia lainnya. Tidak hanya itu Al-
Qur’an juga mengatur manusia dalam hidup berumahtangga agar manusia dapat mewujudkan
kehidupan yang harmonis. Namun jika hubungan berumah tangga tidak bisa dipertahankan lagi,
Dengan turunnya ayat mengenai talak dan mengenai hukum-hukumnya yang telah
dijelaskan di atas, seharusnya angka perceraian di masyarakat menjadi kecil. Karena sangat
mudah menjatuhkan talak kepada istri tapi konsekuensinya sangat pahit apabila telah terjadi
talak tiga. Dalam ayat 230 Allah mengisyaratkan lewat firmannya menggunakan kata إنin.
apabila diterjemahkan berarti seandainya. Kata ini biasa digunakan untuk sesuatu yang jarang
terjadi. Dengan demikian, ayat ini mengisyaratkan bahwa sebenarnya perceraian itu jarang
terjadi di kalangan mereka yang memperhatikan tuntunan-tuntunan Ilahi, atau dengan kata lain
ada suami yang telah mentalak istrinya lebih dari dua kali ketika di pengadilan di upayakan
perdamaian maka apabila terjadi perdamain diantara keduanya, maka menurut hukum Islam
walaupun dalam pengadilan keduanya dinyatakan bisa rujuk kembali tetapi menurut QS. Al-
Baqarah ayat : 229 keduanya tidak halal lagi untuk membangun hubungan rumah tangga kecuali
istri telah dinikahi lelaki lain. Permasalahan inilah yang harus disosialisasikan kepada
masyarakat.
D. Daftar Pustaka
Al-Maqdisi, Syaikh Abdul Ghani. 2005. Umdatul Ahkam. Yogyakarta : Media Hidayah.
Asy-Syafi’I, Al-Imam. 1982. Al-Umm Kitab Induk. Kuala Lumpur : Victory Agencie.
Az-Zuhaili, Wahbah. 2001. Fiqih Islam Wa Adillatuhu. Jakarta : Gema Insani. Jilid 7.
Hamidy, Mu’ammal, dkk. 2001. Terjemahan Nailul Authar Himpunan Hadis-hadis Hukum.
Kamal, Abu bin as-Sayyid Salam Malik. 2006. Shahih Fiqih Sunnah. Jakarta : Pustaka At-
Tazkia.
Katsir, Ibnu. 1999. (trans) Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir. Jakarta : Gema Insani.
Ma’ani, Abd. Adzim, dkk. 2003. Hukum-hukum dari Al-Qur’an dan Hadis Secara Etimologi,
Muhammad, Al-Imam Jalaluddin. 2010. Tafsir Jalalain. Surabaya : Pustaka ELBA. Cet. I, Juz
18.
Shihab, Muhammad Quraish. 2000. Tafsir Al-Misbah Pesan, Kesan, dan Keserasian Al-Qur’an.