Anda di halaman 1dari 16

Senin, 12 November 2018

Pertemuan ke 09

TUGAS KULIAH STUDI TEKS ISLAM (TAFSIR AYAT AHKAM)


TELAAH TERHADAP SURAH AL-BAQARAH AYAT : 229 – 230
TENTANG TALAK RAJ’I

DISUSUN OLEH
RISNI RISTIAWATI
NIM 180311020030

DOSEN PENGAMPU

PROF. Dr. H. AKH FAUZI, MA.


PROF Dr. MAHYUDDIN BARNI, M.Ag.
PROF. Dr. H. ABDULLAH KARIM, MA.
Dr. H.M. HANAFIAH, MH.

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI ANTASARI


PROGRAM PASCASARJANA S-3 ILMU SYARIAH
BANJARMASIN
2018
TAFSIR SURAH AL-BAQARAH AYAT : 229-230
(Talak Raj’I)

A. Latar Belakang

Perceraian merupakan pilihan hukum antara pasangan yang telah menikah setelah tidak

bias menyatukan perbedaan yang timbul di antara keduanya. 1 Perceraian terkadang dibutuhkan

oleh sepasang suami istri karena kemaslahatan akan lebih mereka dapatkan daripada

mempertahankan mahligai rumah tangga mereka.

Al-Qur`ân telah menunjukkan, disyariatkan hal tersebut apabila muncul perpecahan

antara suami istri dengan mengutus dua penengah dari keluarga mereka berdua, yang lebih

mengutamakan memperbaiki hubungan pasangan suami sitri sehingga mereka berdua dapat

menghindari terjadinya talak. Dua penengah ini tugasnya adalah menasehati dan mengingatkan

mereka berdua dan memberitahukan kepada mereka dampak negatif perceraian dan mudharatnya

serta hancurnya kehidupan rumah tangga yang telah dibina bersama. Apabila dua penengah ini

memandang cerai merupakan pilihan yang terbaik bagi mereka, maka dua penengah dapat

mengizinkan suami untuk menceraikan istrinya.

B. Analisis

Talak secara bahasa : ( ‫ )ﯾ ﺔاﻟﺗﺧ ل‬yang artinya melepaskan

Secara syar’i : ( ‫ )ﺑﻌﺿ ﮫ أو اﻟﻧﻛ ﺎح ﻗﯾ د ﺣل‬artinya melepaskan ikatan pernikahan secara

menyeluruh atau sebagiannya.2

1
Amina Wadud Muhsin, 1994, Wanita di dalam Al-Qur’an (trans) Yaziar Radianti, Bandung : Fajar
Bhakti, hlm. 106.
2
Taudihul Ahkam, Al-Mulakhos Al-Fiqhiy, hlm. 410.
Kajian Tafsir

Mufrodat

‫اﻟﻄ ﻼق‬ : Melepaskan dengan harapan dapat mengembalikannya

‫ﺮﯾﺢ‬ ‫ﺗﺴ‬ : Melepaskan sesuatu bukan untuk mengembalikannya

‫اﺣﺴ ﺎن‬ : Memberi lebih banyak dari pada yang harus diberikan

‫ﺑﻠﻐ ﻦ اﺟﻠﮭ ﻦ‬ : Telah mencapai masa akhir waktunya

‫ﻣﻌﺮوف‬ : Batas Minimal dari perlakuan yang wajib

‫ﻋﻀ ﻞ‬ : Menghalangi, Menahan


“Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang ma’ruf atau
menceraikan dengan cara yang baik. tidak halal bagi kamu mengambil kembali sesuatu dari yang
telah kamu berikan kepada mereka, kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan dapat
menjalankan hukum-hukum Allah. jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami isteri) tidak
dapat menjalankan hukum-hukum Allah, Maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran
yang diberikan oleh isteri untuk menebus dirinya. Itulah hukum-hukum Allah, Maka janganlah
kamu melanggarnya. Barangsiapa yang melanggar hukum-hukum Allah mereka Itulah orang-
orang yang zalim.

(QS. Al-Baqarah ayat : 229)

Kemudian jika si suami mentalaknya (sesudah Talak yang kedua), Maka perempuan itu tidak
lagi halal baginya hingga Dia kawin dengan suami yang lain. kemudian jika suami yang lain itu
menceraikannya, Maka tidak ada dosa bagi keduanya (bekas suami pertama dan isteri) untuk
kawin kembali jika keduanya berpendapat akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Itulah
hukum-hukum Allah, diterangkan-Nya kepada kaum yang (mau) mengetahui.

(QS. Al-Baqarah ayat : 230)

Asbabul Nuzul

Ø Ayat 229

Mengenai sebab turunnya QS. Al-Baqarah ayat : 229 terdapat riwayat yang menerangkan bahwa

pada permulaan Islam, talak itu tidak dibatasi jumlahnya. Seorang lelaki boleh saja merujuk

seorang istri yang telah ditalaknya itu pada masa iddahnya, kemudian menalaknyadan

merujuknya kembali sesuka hati. Kemudian terjadilah perselisihan antara seorang lelaki Anshar

dan istrinya. Lalu dia berkata kepada istrrinya “Aku tidak melindungimu dan tidak juga berpisah

darimu” Si istri bertanya, “Bagaimana itu?” Dia menjawab “ Saya ceraikan engkau, kemudian

apabila telah dekat habisnya iddahmu, maka saya rujuk kembali engkau” kemudian wanita itu

melaporkan hal itu kepada Rasulullah SAW. Kemudian turunlah ayat "Talak (yang dapat

dirujuki) itu dua kali”

Sebelum turunnya ayat ini, istri-istri orang Arab Jahiliyah menjadi barang mainan di tangan

suaminya. Para suami sering menjatuhkan talak kemudian merujuknya kembali pada masa

iddah. Mereka tidak mempunyai batasan dan ketentuan berapa kali talak bisa dijatuhkan. Un tuk

menyakiti istrinya, suami dapat saja menjatuhkan talaknya kapan saja sesua dengan kemauan
hatinya. Talak sebelum datangnya Islam merupakan salah satu cara untuk menyiksa wanita.

Orang-orang jahiliyah biasanya menceraikan istrinya dan memisahkan darinya. Tetapi ia tidak

memperkenankan orang lain menikahinya.

Ø Ayat 230

Sedangkan dalam ayat 230 terdapat riwayat yang mengemukakan bahwa sebab turunnya ayat ini

berkenaan dengan pengaduan Aisyah binti Abdirrahman kepada Rasulullah bahwa ia telah

ditalak ba’in oleh suaminya yang pertama (Rifa’ah bin Wahab bin ‘Atik) Setelah habis iddahnya

maka dia menikah dengan Abdurrahman bin Zuber kemudian menceraikannya sebelum

menggauli. “Apakah saya boleh menikah kembali dengan suami yang pertama?” Rasulullah

SAW menjawab: “Tidak, kecuali kamu telah digauli suami yang kedua”.

Tafsir dan Penjelasan

Dikemukakan bahwa maksud penjatuhan talak dari ayat 229, yaitu menjatuhkan talak

secara terpisah antara talak yang pertama dengan talak yang kedua dan ketiga. Atas dasar itu,

mengumpulkan dua talak atau tiga talak sekaligus adalah haram hukumnya. Menurut pendapat

Abu Zayd al-Dabusy, sebagaimana dikutip oleh al-Razy, golongan yang mengharamkan ini

termasuk diantaranya, Umar, Ustman, Ali, Abdullah Ibn Mas’ud, Ibn ‘Abbas, Ibn Umar, Imran

ibn al-Hasin, Aby Musa al-‘Ash’ary, Aby al-Darda’ dan Hudhaifah.3

Quraish Shihab, sependapat dengan hal di atas, yakni dua talak diucapkan dalam waktu

yang berbeda. Akan tetapi ia menyebutkan bahwa ‘Umar Ibn Khattab pernah mengambil

kebijakan lain dengan menetapkan bahwa talak jatuh dua atau tiga kali sesuai dengan ucapan

walau dalam sekali waktu atau sekali ucap. Hal ini ia tempuh untuk memberi pelajaran kepada

3
http://d-jabahri.blogspot.com/2008/08/al-quran-berbicara-tentang-talak.html.
suami yang ketika itu dengan sangat mudah mengucapkan talak, agar berhati-hati dalam

ucapannya.4

Ulama berbeda pendapat mengenai mengumpulkan talak tiga dalam satu ucapan, apakah

jatuh satu talak atau tiga talak sekaligus. Menurut Hanafi dan Maliki hal tersebut dibolehkan

disertai dengan hukumnya adalah makruh. Sedangkan menurut al-Razy, disamping jatuh talak

tiga, hukumnya adalah mubah.5

Talak pada masa jahiliyah dan terus berlanjut pada masa awal Islam, yaitu seorang suami

dapat menceraikan istrinya tanpa batas, dimana apabila ia menghendaki memudharatkan istrinya,

maka dia ceraikan dulu dan apabila hampir selesai masa iddahnya ia ruju’ kembali, kemudian ia

ceraikan kembali dan begitulah seterusnya, hingga membuat kemudharatan bagi wanita.

Turunnya ayat ini menghapus tradisi yang berlaku, yaitu seorang laki-laki lebih berhak merujuk

isterinya setelah mentalaknya seratus kali selama masih dalam menjalani masa iddah. Ketika

tradisi tersebut banyak merugikan para isteri, maka Allah membatasi mereka dengan tiga talak

saja, dan membolehkan mereka untuk merujuknya kembali pada talak pertama dan kedua saja,

dan tidak memungkinkan untuk ruju’ (kembali) lagi setelah talak yang ketiga.

Sebagaimana firman Allah : ath-thalaaqu marrataani fa imsaakum bima’ruufin au

tasriihu bi ihsaan (Talak “yang dapat dirujuk” dua kali, setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara

yang ma’ruf atau menceraikannya dengan cara yang baik). Dihapuskannya ruju’ setelah talak

yang ketiga, diriwayatkan dari Ibnu Abbas, mengenai firman Allah : wal muthallaqaatu

yatarabbashna bi anfusiHinna tsalaatsata quruu-iw walaa yahillu laHunna ay yaktumna maa

khalaqallaaHu fii arhaamiHinna; bahwasanya jika seorang laki-laki menalak istrinya, maka ia

lebih berhak merujuknya meskipun ia telah menalaknya tiga kali. Lalu hal itu dinasakh (dihapus)

dengan firman Allah : ath-thalaaqu marrataani (Talak “yang dapat dirujuk” dua kali).

4
Ibid.
5
Ibid.
Ibnu Abu Hatim meriwayatkan dari Hisyam bin Urwah, dari ayahnya, bahwasanya ada

seorang laki-laki yang mengatakan kepada isterinya, “Aku tidak akan pernah menceraikanmu

untuk selama-lamanya dan tidak juga mencampurimu untuk selama-lamanya.” “Bagaimana hal

itu bisa terjadi?” Tanya isterinya. Maka ia menjawab: “Aku akan menceraikanmu hingga apabila

masa iddahmu sudah dekat, aku akan merujukmu kembali.” Kemudian wanita itu pun datang

kepada Rasulullah SAW, dan menceritakan hal itu kepada beliau, maka Allah swt. menurunkan

ayat : ath-thalaaqu marrataani (Talak “yang dapat dirujuk” dua kali).

Firman Allah berikutnya : fa imsaakum bima’ruufin au tasriihu bi ihsaan (Setelah itu

boleh rujuk lagi dengan cara yang ma’ruf atau menceraikannyadengan cara yang baik), artinya,

jika engkau (seorang suami) mengucapkan talak kepada istri pada saat yang pertama kalinya

atau pada saat yang kedua kalinya, maka engkau mempunyai dua pilihan selama masa iddahnya

masih tersisa, merujuknya kembali dengan niat mengadakan ishlah dan dengan berbuat baik

kepadanya atau membiarkannya menyelesaikan masa iddahnya, hingga akhirnya dirimu memilih

untuk menceraikannya maka ceraikanlah dengan cara yang baik, dengan tidak menzhalimi

haknya sedikit pun dan tidak juga merugikannya.

Dalam tafsirnya, Abd bin Humaid meriwayatkan, dari Ismail bin Sami’, bahwa Abu

Razin al-Asadi mengatakan, ada seseorang yang berkata: “Ya Rasulallah, bagaimana pendapat

Anda mengenai firman Allah bahwa “Talak (yang dapat dirujuk) dua kali,” lalu bagaimana

dengan yang ketiganya?” Maka Rasulullah SAW menjawab, “Yang ketiga adalah (pada kalimat)

menceraikannya dengan cara yang baik”. Hadits ini juga diriwayatkan oleh Imam Ahmad.

Ibnu Mardawaih juga meriwayatkan, dari Anas bin Malik, ia menceritakan, ada

seseorang yang datang kepada Rasulullah SAW seraya berkata: “Ya Rasulallah, Allah telah

menyebutkan talak dua kali. Lalu di mana yang ketiga?” Maka Rasulullah SAW pun bersabda :

“Merujuk kembali dengan cara yang ma’ruf atau menceraikannya dengan cara yang baik”.
Maka Allah Ta’ala memberitahukan bahwa, { ‫ق‬
ُ َ‫} اﻟﻄﱠﻼ‬ “talak” yaitu yang boleh

dilakukan ruju’ padanya, { ِ‫} َﻣ ﱠﺮﺗَﺎن‬ “dua kali” agar suami dimungkinkan (apabila ia tidak

bermaksud memudharatkan), untuk kembali kepada istrinya dan ia berfikir kembali pada masa

tersebut, namun jika lebih dari masa itu maka tidaklah haram baginya, karena barangsiapa yang

menalak lebih dari dua kali maka dia itu kalau bukan karena lancang terhadap yang haram atau

ia tidak mempunyai keinginan untuk meruju’, maka maksudnya adalah memudharatkan.

Karena itu Allah memerintahkan kepada suami tersebut untuk meruju’ istrinya,

{ ٍ‫} ﺑِ َﻤ ْﻌﺮُوف‬ ”dengan cara yang ma’ruf”, yaitu pergaulan yang baik yang berlaku di antara

mereka seperti apa yang berlaku pada pasangan yang semisal mereka, dan inilah yang lebih kuat,

bila tidak, maka hendaklah menceraikan dan meninggalkannya, { ٍ‫“ } ﺑِﺈ ِﺣْ ﺴَﺎن‬dengan cara yang

baik”.

Di antara cara yang baik itu adalah tidak mengambil sesuatu pun dari harta istrinya

karena perceraian tersebut, karena tindakan itu adalah kezhaliman dan mengambil harta tanpa

ada timbal baliknya sedikitpun, oleh karena itu Allah berfirman,

 { َ‫} ﺤِ ﻞﱡ ﻟَ ُﻜ ْﻢ أَن ﺗَﺄْ ُﺧﺬُوا ِﻣﻤﱠﺎ َء اﺗَ ْﯿﺘُﻤُﻮھُﻦﱠ َﺷ ْﯿﺌًﺎ إِﻵﱠ أَن ﯾَ َﺨﺎﻓَﺂ أَﻻﱠ ﯾُﻘِﯿﻤَﺎ ُﺣﺪُو َدﷲِوَ ﻻَ ﯾ‬

“Tidak halal bagi kamu mengambil kembali sesuatu dari yang telah kamu berikan kepada

mereka, kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah”,

yaitu, melakukan khulu’ dengan cara yang ma’ruf dimana sang istri membenci suaminya akibat

kejelekan akhlak, paras atau kurangnya agamanya, dan ia khawatir tidak dapat menaati Allah

padanya. 
Imam Syafi’i mengatakan, para sahabat kami berbeda pendapat mengenai masalah

khulu’, lalu Sufyan memberitahu kami, dari Ibnu Abbas mengenai seseorang yang menceraikan

isterinya dengan talak dua, setelah itu isterinya meminta khulu’ darinya, maka ia boleh

menikahinya kembali jika ia menghendaki, karena Allah telah berfirman yang artinya :

“Talak (yang dapat dirujuk) dua kali. Setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang ma’ruf atau

menceraikan dengan cara yang baik. Tidak halal bagi kamu mengambil kembali sesuatu dari

yang telah kamu berikan kepada mereka, kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan dapat

menjalankan hukum-hukum Allah. Jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami istri) tidak dapat

menjalankan hukum-hukum Allah, maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran

yangdiberikan oleh istri untuk menebus dirinya. Itulah hukum-hukum Allah, maka janganlah

kamu melanggarnya. Barangsiapa yang melanggar hukum-hukum Allah mereka itulah orang-

orang yang zhalim. Kemudian jika si suami menalaknya (sesudah talak yang kedua), maka

perempuan itu tidak halal lagi baginya hingga dia kawin dengan suami yang lain. Kemudian jika

suami yang lain itu menceraikanya, maka tidak ada dosa bagi keduanya (bekas suami pertama

dan istri) untuk kawin kembali jika keduanya berpendapat akan dapat menjalankan hukum-

hukum Allah. Itulah hukum-hukum Allah, diterangkanNya kepada kaum yang (mau)

mengetahui. (QS. Al-Baqarah: 229-230).

Firman Allah SWT selanjutnya : fa in thallaqaHaa falaa tahillu laHuu mim ba’du hattaa

tankiha zaujan ghairaHu (Kemudian jika si suami menalaknya “sesudah talak yang kedua”,

maka perempuan itu tidak halal baginya hingga ia menikah dengan suami yang lain).

Maksudnya, jika seorang suami menceraikan istrinya yang ketiga kalinya, yang sebelumnya ia

telah menjatuhkan dua kali talak, maka si istri haram dirujuk oleh si suami tersebut sebelum

wanita itu menikah lagi dengan laki-laki lain. Artinya, hingga wanita itu berhubungan badan

dengan laki-laki melalui pernikahan yang sah. Jika wanita itu disetubuhi oleh laki-laki lain tanpa

melalui proses pernikahan, sekalipun karena perbudakan, maka mantan suami yang pertama
tidak boleh merujuk kembali mantan istrinya tersebut. Karena lelaki itu bukan sebagai suami.

Demikian halnya, jika wanita itu sudah menikah kembali dengan laki-laki lain tetapi belum

dicampuri oleh sang suami, maka belum halal bagi suami pertama.

Ibnu Jarir meriwayatkan, dari Aisyah radiallahu’anha, bahwasanya ada seseorang laki-

laki yang menceraikan istrinya dengan talak tiga, wanita itu menikah kembali dengan laki-laki

lain, kemudian laki-laki itu menceraikannya sebelum menyetubuhinya, lalu ditanyakan kepada

Rasulullah SAW apakah boleh bagi mantan suaminya yang pertama merujuknya kembali? Maka

Rasulullah SAW pun bersabda : “Tidak, sehingga ia (suami kedua) itu merasakan al-‘Usailah

(madu)nya sebagaimana yang telah dirasakan oleh suami pertama.” (HR. Al-Bukhari, Muslim

dan an-Nasa’i.).

Imam Ahmad meriwayatkan, dari Aisyah radiallahu anha, katanya: “Istri Rifa’ah al-

Quradzi masuk, sedang aku dan Abu Bakar berada di samping Rasulullah SAW, lalu ia

mengatakan, “Sesungguhnya Rifa’ah telah menceraikanku dengan talak tiga, dan Abdurrahman

bin Zubair telah menikahiku. Dan miliknya (kemaluan Abdurrahman bin Zubair) bagaikan ujung

kain jilbab, seraya memegang ujung kain jilbabnya, sedangkan saat itu Khalid bin Sa’idbin ‘Ash

berada di pintu belum diizinkan masuk, ia berujar; “Hai Abu Bakar, tidakkah engkau melarang

wanita ini berbicara blak-blakan di hadapan Rasulullah”. Kemudian Rasulullah SAW tersenyum

seraya berkata (kepada bekas isteri Rifa’ah) : “Sepertinya engkau hendak kembali ke Rifa’ah.

Tidak boleh, sehingga engkau merasakan madunya (kemanisannya) dan ia merasakan madumu”.

Demikian pula yang diriwayatkan al-Bukhari, Muslim, dan an-Nasa’i. Sedangkan dalam

hadits Abdur Razak, menurut riwayat Muslim, bahwa Rifa’ah menceraikannya pada kali ketiga.

Hadits tersebut juga diriwayatkan jama’ah kecuali Abu Dawud, al-Bukhari, Muslim dan an-

Nasa’i. Suami kedua yang dimaksud harus benar-benar suka dan bertujuan untuk hidup berdua

selamanya, sebagaimana disyaria’atkan dalam pemikahan. Dan selain itu Imam Malik
mensyaratkan, suami harus menyetubuhi istrinya itu pada saat yang dibenarkan. Jika ia

menyetubuhinya pada saat istrinya itu sedang menjalankan ihram atau berpuasa atau beri’tikaf

atau sedang haid atau nifas. Atau pihak suami barunya itu sedang dalam keadaan puasa atau

ihram atau sedang i’tikaf, maka mantan suami pertama belum diperbolehkan untuk merujuknya.

Demikian juga jika suami barunya itu seorang dzimmi, maka tidak diperbolehkan bagi seorang

muslim untuk menikahinya, karena pernikahan dengan orang kafir itu tidak sah (batal).

Maksud al-‘Usailah dalam hadits Rasulullah SAW ini bukanlah air mani (sperma). Hal

itu sebagaimana yang diuraikan dalam hadits yang diriwayatkan Imam Ahmad dan Nasa’i, dari

Aisyah radiallahu anha, bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Ketahuilah, sesungguhnya al-

‘Usailah itu berarti jima’ (persetubuhan)”.

Muhallil : Orang yang menikah hanya untuk menghalalkan seorang wanita bagi mantan

suaminya.

Muhallal lahu : Suami pertama yang meminta muhallil melakukan hal itu ataupun si wanita jika

ia yang memintanya. Dan jika suami yang kedua hanya bertujuan untuk menghalalkan wanita itu

bagi suami pertama, maka inilah yang disebut muhallil (yang menghalalkan) yang mana

beberapa hadits telah mencela dan melaknatnya. Dan jika muhallil menyatakan maksudnya

secara jelas di dalam akad, maka batallah pernikahan tersebut. Demikian menurut pendapat

jumhur ulama.

Beberapa hadits yang berkenaan dengan muhallil dan muhallallahu :

“Rasulullah SAW melaknat wanita yang mentato (kulitnya) dan wanita yang minta dibuatkan

tato, wanita yang menyambung rambutnya dan wanita yang minta disambungkan rambutnya,

muhallil dan muhallal-lahu dan orang yang memakan riba dan yang memberikannya”.
Kemudian Imam Ahmad, at-Tirmidzi dan an-Nasa’i juga meriwayatkandari jalur lain. At-

Tirmidzi mengatakan, para ulama dari kalangan sahabat, di antaranya Umar bin Khaththab,

Utsman bin Affan, dan Ibnu Umar mengamalkan hal tersebut. Ini juga merupakan pendapat para

fuqaha dari kalangan tabi’in. Hal itu juga diriwayatkan dari Ali bin Abi Thalib, Ibnu Masud, dan

Ibnu Abbas. Dalam kitab al-Mustadrak, al-Hakim meriwayatkan, dari Ibnu Umarbin Nafi’, dari

ayahnya, ia pernah menceritakan: “Ada seseorang yang datang kepada Ibnu Umar dan

menanyakan tentang seseorang yang menceraikan istrinya dengan talak tiga, lalu wanita itu

dinikahi oleh saudaranya sendiri tanpa adanya konsultasi darinya, supaya dengan demikian

menjadi halal bagi saudaranya. Bolehkah bagi mantan suami pertama itu menikahinya kembali?”

Maka Ibnu Umar pun menjawab, “Tidak, kecuali nikah yang didasarkan karena keinginan. Dan

kami mengkategorikan hal itu sebagai perzinaan pada masa Rasulullah”. Kemudian ia

mengatakan bahwa hadits ini berisnad shahih, tetapi al-Bukhari dan Muslim tidak

meriwayatkannya.

Firman Allah SWT : fa in thalaqaHaa (Kemudian jika ia menceraikannya) maksudnya

suami yang kedua, setelah bercampur dengannya : falaa junaaha ‘alaiHimaa ay yataraaja’aa

(Maka tidak ada dosa bagi keduanya untuk menikah kembali) yaitu wanita tersebut dengan

suami pertama. In dhannaa ay yuqiimaa huduudallaaHi (Jika keduanya berpendapat akan dapat

menjalankan hukum-hukum Allah), artinya jika keduanya dapat bermu’asyarah (berkeluarga)

dengan baik. Mujahid mengatakan : “Jika keduanya beranggapan bahwa pernikahan mereka

berdua itu bukan palsu”. Wa tilka huduudullaaHi (Itulah hukum-hukum Allah), maksudnya

syari’at dan ketentuan-ketentuan-Nya. yubayyinuHaa liqaumiy ya’lamuun (DiterangkanNya

kepada kaum yang mau mengetahui).

Haramnya thalaq tiga dalam sekali ucapan (seperti ucapan “Kamu saya talaq tiga

sekaligus”), karena Allah Ta’ala berfirman, “Talak (yang dapat dirujuki) dua kali”. Maksudnya,

seseorang mengucapkan kata talaq kepada istrinya langsung talaq tiga, ucapan seperti ini adalah
termasuk talaq bid’iy (talaq yang bid’ah) dan jumhur ulama berpendapat bahwa walaupun

demikian ia tetap jatuh talaq tiga secara langsung. Dan selain jumhur berpendapat bahwa hal itu

adalah talaq bid’iy akan tetapi hanya jatuh talaq satu saja, dalil mereka adalah ayat tersebut di

atas (Talak “yang dapat dirujuki” dua kali) dan (Wanita-wanita yang ditalaq hendaklah menahan

diri (menunggu) tiga kali quru’), thalaq dengan lafadz thalaq tiga sekaligus maka di dalamnya

tidak ada 2x thalaq raj’I seperti dalam ayat, tidak pula masa quru’ sehingga ini termasuk bid’ah.

Dan tidaklah lafadz tersebut menjadi thalaq ba’in (jatuh thalaq tiga), akan tetapi hanya jatuh

thalaq satu saja.

Wanita yang dithalaq tiga tidaklah halal bagi suami yang menceraikannya sehingga

wanita tersebut menikah dengan laki-laki lain (dan iapun mencampurinya) lalu laki-laki yang

menikahinya tadi menceraikannya atau meninggal. Maka setelah itu baru suami pertama tadi

boleh menikahinya lagi.

Pengulangan yang dianggap (terbanyak) terhadap suatu ucapan atau perbuatan adalah

dengan tiga kali. Hal ini banyak sekali contohnya, diantaranya : pengucapan salam terbanyak

adalah tiga kali, meminta izin (untuk masuk rumah misalnya) terbanyak adalah tiga kali,

pengulangan suatu pembicaraan apabila belum dipahami adalah tiga kali, pengulangan dalam

berwudhu terbanyak adalah tiga kali dan lain sebagainya. Maka dapat disimpulkan bahwa

pengulangan yang dianggap cukup (terbanyak) adalah dengan bilangan ‘tiga kali’.

Jumlah thalaq yang dibolehkan bagi suami untuk ruju’ adalah dua kali, thalaq satu dan

thalaq dua, lalu bagi siapa yang menthalaq istrinya dengan thalaq yang kedua kemudian ruju’

lagi maka ada dua pilihan baginya setelah itu : mempertahankan tali pernikahannya dengan baik

selama hidupnya atau ia menceraikannya lagi (dengan thalaq ketiga) dengan cara yang baik, jika

ia menthalaqnya maka tidak halal lagi baginya kecuali istrinya telah menikah lagi dengan laki-

laki lain.
Para ulama masih berbeda pendapat mengenai permasalahan, jika seorang suami

menceraikan isterinya dengan talak dua dan kemudian meninggalkan hingga ia selesai menjalani

iddahnya, setelah itu ia menikah dengan laki-laki lain dan sudah bercampur dengannya, lalu

diceraikan kembali oleh laki-laki tersebut, dan setelah selesai menjalani iddahnya, suaminya

yang pertama menikahinya kembali. Apakah kembalinya itu berikut jumlah talak yang pernah

dia jatuhkan sebagaimana pendapat Imam Malik, Syafi’i dan Ahmad bin Hanbal, dan juga

pendapat para Sahabat, ataukah suami yang kedua itu telah menghapuskan jumlah talak yang

pernah dia jatuhkan sehingga ia kembali memiliki jatah talak tiga kali lagi, sebagaimana

pendapat Abu Hanifah para sahabatnya. Alasan Abu Hanifah dan para sahabatnya itu adalah jika

suami yang kedua dapat menghapuskan keberadaan talak tiga, tentu penghapusan talak di bawah

tiga itu lebih utama.

C. Kesimpulan

Al-Qur’an diturunkan Allah sebagai petunjuk bagi seluruh umat. Di dalamnya terdapat

hukum-hukum yang mencakup seluruh aspek kehidupan. Al-Qur’an mengatur hubungan

manusia dengan Tuhan dan hubungan manusia dengan menusia lainnya. Tidak hanya itu Al-

Qur’an juga mengatur manusia dalam hidup berumahtangga agar manusia dapat mewujudkan

kehidupan yang harmonis. Namun jika hubungan berumah tangga tidak bisa dipertahankan lagi,

maka Al-Qur’an juga memberi solusi yang adil, yaitu talak.

Dengan turunnya ayat mengenai talak dan mengenai hukum-hukumnya yang telah

dijelaskan di atas, seharusnya angka perceraian di masyarakat menjadi kecil. Karena sangat

mudah menjatuhkan talak kepada istri tapi konsekuensinya sangat pahit apabila telah terjadi

talak tiga. Dalam ayat 230 Allah mengisyaratkan lewat firmannya menggunakan kata ‫ إن‬in.

apabila diterjemahkan berarti seandainya. Kata ini biasa digunakan untuk sesuatu yang jarang

terjadi. Dengan demikian, ayat ini mengisyaratkan bahwa sebenarnya perceraian itu jarang

terjadi di kalangan mereka yang memperhatikan tuntunan-tuntunan Ilahi, atau dengan kata lain

perceraian adalah suatu yang diragukan terjadi di kalangan orang-orang beriman.


Selain itu, sering kita jumpai, orang yang cerai, bisa dikatakan benar benar cerai bila

sudah ada keputusan dari pengadilan. Permasalahannya, lembaga peradilan di Indonesia

mempersulit terjadinya perceraian. Artinya, untuk menuju ke perceraian diupayakan terlebih

dahulu upaya perdamaian yang dilakukan sekuat-kuatnya. Permasalahan selanjutnya, apabila

ada suami yang telah mentalak istrinya lebih dari dua kali ketika di pengadilan di upayakan

perdamaian maka apabila terjadi perdamain diantara keduanya, maka menurut hukum Islam

walaupun dalam pengadilan keduanya dinyatakan bisa rujuk kembali tetapi menurut QS. Al-

Baqarah ayat : 229 keduanya tidak halal lagi untuk membangun hubungan rumah tangga kecuali

istri telah dinikahi lelaki lain. Permasalahan inilah yang harus disosialisasikan kepada

masyarakat.

D. Daftar Pustaka

Al-Albani, Muhammad Nashiruddin. 2004. Adav Az-Zifaf. Yogyakarta : Media Hidayah.

Al-Maqdisi, Syaikh Abdul Ghani. 2005. Umdatul Ahkam. Yogyakarta : Media Hidayah.

Asy-Syafi’I, Al-Imam. 1982. Al-Umm Kitab Induk. Kuala Lumpur : Victory Agencie.

Az-Zuhaili, Wahbah. 2001. Fiqih Islam Wa Adillatuhu. Jakarta : Gema Insani. Jilid 7.

Hamidy, Mu’ammal, dkk. 2001. Terjemahan Nailul Authar Himpunan Hadis-hadis Hukum.

Surabaya : PT. Bina Ilmu.

Hamka. 2000. Tafsir Al Azhar. Jakarta : Pustaka Panjimas.

Kamal, Abu bin as-Sayyid Salam Malik. 2006. Shahih Fiqih Sunnah. Jakarta : Pustaka At-

Tazkia.

Katsir, Ibnu. 1999. (trans) Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir. Jakarta : Gema Insani.

Ma’ani, Abd. Adzim, dkk. 2003. Hukum-hukum dari Al-Qur’an dan Hadis Secara Etimologi,

Sosial, dan Syari’at. Jakarta : Pustaka Firdaus.

Muhammad, Al-Imam Jalaluddin. 2010. Tafsir Jalalain. Surabaya : Pustaka ELBA. Cet. I, Juz

18.

Quthb, Sayyid. 2000. (trans) Tafsir Fi Zhilalil-Qur’an. Jakarta : Gema Insani.


Rasjid, Sulaiman. 1994. Fiqh Islam. Bandung : Sinar Baru Algensindo.

Sabiq, Sayyid. 1997. Fikih Sunnah. Bandung : PT. Alma’arif.

Shihab, Muhammad Quraish. 2000. Tafsir Al-Misbah Pesan, Kesan, dan Keserasian Al-Qur’an.

Jakarta : Lentera Hati. Jilid 1.

Sudarsono. 1992. Pokok-Pokok Hukum Islam. Jakarta : PT. Rineka Cipta.

Anda mungkin juga menyukai