Anda di halaman 1dari 11

Catatan tambahi

bab sertivikasi pranikah dan analissi


Analisis Maqasidu Syariah

Terhadap Wacana Sertivikasi Pranikah


Bab I

Pengertian Teori Maqasidu Syariah

Menurut bahasa Maqāṣid al-Syarῑ’ah merupakan istilah gabungan dari dua kata:
Maqā ṣid al-Syarῑ’ah. Maqā ṣid adalah bentuk plural dari maqṣud, qaṣud, maqṣud atau quṣū d
yang merupakan derivasi dari kata kerja qaṣada yaqṣudu, dengan beragam makna seperti
menuju suatu arah, tujuan, tengah-tengah, adil dan tidak melampaui batas, jalan lurus,
tengah-tengah antara berlebih-lebihan dan kekurangan. 1 Syari’ah, secara etimologi
bermakna jalan menuju mata air, jalan menuju mata air ini dapat pula dikatakan sebagai
jalan kearah sumber pokok kehidupan. Syari’ah secara terminologi adalah al-nushū sh al
muqaddasah (teks-teks suci) dari al-Quran dan al-Sunnah yang mutawā tir yang sama sekali
belum dicampuri oleh pemikiran manusia.2

Secara terminologi, maqā ṣid al-syarῑ’ah dapat diartikan sebagai nilai dan makna
yang dijadikan tujuan dan hendak direalisasikan oleh pembuat Syariah (Allah Swt) dibalik
pembuatan Syariat dan hukum, yang diteliti oleh para ulama mujtahid dari teks-teks
syariah.3

Para ulama’ klasik, al-Maqā ṣid al-ḍ arū riyah dalam membuat syariah Islam
terangkum dalam penjagaan lima hal pokok dalam kehidupan, yaitu: menjaga agama (hifẓ
al-dīn), menjaga jiwa (hifẓ al-nafs), menjaga akal (hifẓ al-‘aql), menjaga keturunan (hifẓ al-
nasl) dan menjaga harta (hifẓ al-mā l). Para ulama’ klasik, semisal al-Ghazali dan al-Syatibi
menyebutnya dengan al-kulliyah al-khamsah yang menurut mereka dianggap sebagai usū l
al-syariah dan merupakan tujuan umum dari pembuatan syariah tersebut. 4

Para ulama klasik menyusun maqā ṣid al-Sharī’ah dalam tingkatan yang bersifat
piramida, yang dimulai dari maqā ṣid ‘amah sebagai pusatnya kemudian bercabang-cabang

1
Ahmad Imam Mawardi, Fiqh Minoritas Fiqh Aqalliyât dan Evolusi Maqāṣid al- Syarīah Dari Konsep ke Pendekatan,
(Yogyakarta: LKiS, 2010), 178-179.
2
Asafri Jaya Bakrie, Konsep Maqashid Syari’ah menurut al- Syatibi, (Jakarta: Pt. Raja Grafindo Persada, 1996), 61.
3
Jasser Auda, Fiqh al- Maqāṣid Ināṭat al-Ahkām bi Maqāṣidihā, (Herndon: IIIT, 2007), 15.
4
Jasser Auda, Maqāṣid al-Ahkām al-Shar’iyyah wa ‘Ilaluhā, diunduh dari
http://www.jasserauda.net/modules/Research_Articles/pdf/article1A.pdf diakses pada 18 nOVEMBER 2019.
menjadi maqā ṣid khasah dan terakhir maqā ṣid juz’iyah. Kemudian dari sisi yang lain
dimulai dari al-ḍ arū riyah, ḥ ā jiyah kemudian tahsīniyah.

Sebagai contoh, pandangan tokoh popular klasik, imam Al-Syatibi mempergunakan


kata yang berbeda-beda berkaitan dengan almaqasid. Kata-kata itu ialah maqasid al-
syariah, al-maqasid al-syar’iyyah, dan maqasid min syar’I al-hukm. Meskipun demikian,
beberapa kata tersebut mengandung pengertian yang sama yakni tujuan hukum yang
diturunkan oleh Allah SWT.5

Sedangkan tujuan-tujuan syariat dalam Maqā ṣid al-Syarῑ’ah menurut al-Syatibi


ditinjau dari dua bagian. Pertama, berdasarkan pada tujuan Tuhan selaku pembuat syariat.
Kedua, berdasarkan pada tujuan manusia yang dibebani syariat. Pada tujuan awal, yang
berkenaan dengan segi tujuan Tuhan dalam menetapkan prinsip ajaran syariat, dan dari
segi ini Tuhan bertujuan menetapkannya untuk dipahami, juga agar manusia yang dibebani
syariat dapat melaksanakan. Dan agar mereka memahami esensi hikmah syariat tersebut. 6

Dalam al-Muwafaqat, al-Syatibi membagi al-maqasid dalam dua bagian penting,


yakni maksud syari’ (qashdu asy-syari’) dan maksud mukallaf (qashdu al-mukallaf);
Tujuan-tujuan syariat dalam Maqashid al-Syariah menurut al-Syatibi ditinjau dari dua
bagian. Pertama, berdasar pada tujuan Tuhan selaku pembuat syariat. Kedua, berdasar
pada tujuan manusia yang dibebani syariat. Pada tujuan awal, yang berkenaan dengan segi
tujuan Tuhan dalam menetapkan prinsip ajaran syariat, dan dari segi ini Tuhan bertujuan
menetapkannya untuk dipahami, juga agar manusia yang dibebani syariat dapat
melaksanakan, kedua, agar mereka memahami esensi hikmah syariat tersebut. Agar dapat
memahami Maqashid al-Syariah atau tujuan syariah secara sempurna, maka terlebih
dahulu paparkan beberapa unsur dari maqashid al-syariah, yaitu Hakim, Hukum, Mahkum
Fih dan Mahkum Alaih.

Maqasid Syariah berarti tujuan Allah dan Rasul-Nya dalam merumuskan hukum-
hukum Islam. Kemaslahatan yang akan diwujudkan itu menurut al-Syatibi terbagi kepada

5
Ibid, 19.
6
Abu Ishaq al-Syatibi, al-Muwafa fi uṣul al-syarῑ’ah,(Beirut: Darul Ma’rifah, 1997), 261.
tiga tingkatan, yaitu kebutuhan dharuriyat, kebutuhan hajiyat, dan kebutuhan tahsiniyat.
12

Adapun para ulama’ kontemporer membagi maqā ṣid kepada tiga tingkatan, yaitu
maqā ṣid ‘ā mah (General maqā ṣid/tujuan-tujuan umum), maqā ṣid khā ṣṣah (Specific
maqā ṣid /tujuan-tujuan khusus) dan maqā ṣid juz`iyah (Partial maqā ṣid/ tujuan-tujuan
parsial). Maqā ṣid ‘ā mah adalah nilai dan makna umum yang ada pada semua kondisi tasyri’
atau di sebagian besarnya, seperti keadilan, kebebasan, keadilan dan kemudahan. Maqā ṣid
khaṣṣah adalah maslahat dan nilai yang ingin direalisasikan dalam satu bab khusus dalam
syariah, seperti tujuan tidak merendahkan dan membahayakan perempuan dalam system
keluarga, menakut-nakuti masyarakat dan efek jera dalam memberikan hukuman,
menghilangkan gharar (ketidakjelasan) dalam muamalat, dan lainnya. Sedang maqā ṣid
juz`iyah adalah tujuan dan nilai yang ingin direalisasikan dalam pentasyri’an hukum
tertentu, seperti tujuan kejujuran dan hafalan dalam ketentuan persaksian lebih dari satu
orang, menghilangkan kesulitan pada hukum bolehnya tidak berpuasa bagi orang yang
tidak sanggup berpuasa karena sakit, bepergian atau lainnya.7

Walaupun kelihatannya teori ini sederhana, namun ternyata aplikasi teori ini dalam
realitas sangat sulit dan rumit. Karena itu muncul pandangan lain di antara ulama
kontemporer semisal Jamaludin ‘Atiyah dan Jasser Auda yang berbeda dengan susunan
klasik di atas. Mereka berpendapat bahwa maqā ṣid al-Syarī’ah dengan segala tingkatannya
bukan merupakan susunan/bangunan yang bersifat piramid, yang mana maqasid terbagi
antara yang atas dengan yang bawah, namun ia merupakan lingkaran-lingkaran yang saling
bertemu dan bersinggungan (dawā ir mutadā khilah wa mutaqā ṭi’ah), yang hubungannya
saling terkait satu dengan lainnya.

Misalnya tokoh kontemporer Jasser Auda berusaha menawarkan konsep fiqh


modern berdasarkan Maqasid alSyariah. Islam adalah agama yang menjunjung tinggi nilai-
nilai kemanusiaan dan memberikan solusi untuk kehidupan manusia agar selaras dan
seimbang. Hal inilah yang berusaha diangkat oleh Jasser bagaimana sebuah konsep sistem
dapat mengatur kehidupan umat Islam agar berjalan sesuai aturan dan memberi manfaat
7
Jasser Auda, Fiqh al- Maqāṣid, h. 15-17; Jasser Auda, Maqasid al-Shari’ah as Philosophy of Islamic Law a System
Approach, (Herndon: IIIT, 2008), h. 5.
bagi manusia. Dalam Maqasid al-Shari’ah as Philosophy of Law: A syistem Approach Jasser
Auda mengartikan Maqasid pada empat arti, pertama, Hikmah dibalik suatu Hukum. Kedua,
tujuan akhir yang baik yang hendak dicapai oleh Hukum. Ketiga, kelompok tujuan ilahiyah
dan konsep Moral yang menjadi basis dari hukum. Keempat, Mashalih. Dalam konsep
Maqasid yang ditawarkan oleh Jasser Auda, nilai dan Prinsip kemanusian menjadi pokok
paling utama.

Hal ini disebabkan perkembangan dan perubahan zaman tentu saja akan berefek
pada perubahan hukum. Sesuatu yang pada masa klasik dianggap tidak berharga bisa jadi
saat ini menjadi berharga dan bernilai, sebagaimana terdapat dalam berbagai komoditas,
jenis tumbuhan, jenis pekerjaan dan lainnya. Begitu juga, sesuatu pada kondisi dan tempat
tertentu sangat berharga tetapi pada kondisi dan tempat yang lain menjadi tidak berharga. 8

Dengan demikian, kedua tokoh maqasid klasik dan kontemporer ini dapat
disimpulkan. Antara ijtihad dengan maqashid al-syariah tidak dapat dipisahkan. Ijtihad
pada intinya adalah upaya penggalian hukum syara’ secara optimal. Upaya penggalian
hukum syara’ itu berhasil apabila seorang mujtahid dapat memahami maqashid alsyariah.
Oleh karenanya pengetahuan tentang maqashid al-syariah adalah salah satu syarat yang
dimiliki oleh seorang mujtahid

8
Ibid, 19.
BAB II

Sertifikasi pranikah

Pernikahan berkualitas adalah kondisi dimana dengan pernikahan dapat


menghasilkan kebahagiaan, kesesuaian serta kestabilan pernikahan. Sedangkan tingkat
kualitas pernikahan sendiri dipengaruhi oleh faktor seperti komposisi optimal keluarga,
siklus kehidupan keluarga, kelayakan sosio ekonomi dan kesesuaian peran, faktor sumber
daya sosial dan pribadi suami istri bahkan oleh kondisi pranikah. Islam memandang bahwa
pernikahan berkualitas akan diukur dari proses pra, pas, dan pasca nikah. Bagaimana
seseorang memulai proses dari mencari calon istri atau suami hingga sampai akad nikah
dan pasca nikah akan mempunyai keturunan, kesemuanya itu dibalut dalam syariat yang
jelas. Sehingga harapannya ketika mempunyai keturunan, adalah anak yang saleh dan
salehah, bisa memberikan kebermanfaatan untuk umat.

Untuk membentuk keluarga yang sakinah mawaddah warahmah sudah seharusnya


kepada setiap calon pengantin berhak untuk mendapatkan pembekalan yang cukup dari
instansi atau lembaga terkait yang berkecimpung di bidang pernikahan sebagai modal awal
dalam mengarungi samudera kehidupan rumah tangga, agar selamat dari goncangan
ombak yang akan menerpanya. Calon pengantin perlu mendapatkan pembekalan dan
pemahaman tentang syarat keluarga yang berkualitas. keluarga berkualitas tidak dilihat
dari jumlah anak, namun yang terpenting adalah kualitas pendidikan, kesehatan, dan
kesejahteraannya. Agar setiap keluarga berkualitas mampu membangun dirinya secara
mandiri minimal harus mampu menghayati, memiliki dan berperan dalam fungsi-fungsi
keluarga diantaranya norma agama, nilai sosial budaya, membangun cinta kasih dalam
keluarga, mengatur reproduksinya, dan memelihara lingkungan serta alam.

Secara terperinci pembekalan pra nikah diarahkan pada terwujudnya pengetahuan


dan pemahaman calon pengantin akan pengetahuan tentang hukum perkawinan, keluarga,
reproduksi sehat, pemecahan masalah-masalah keluarga, penanaman nilai keimanan,
ketaqwaan, akhlakul karimah, tuntunan ibadah dan pendidikan agama dalam keluarga,
khususnya hubungan suami isteri, tujuan yang hendak dicapai adalah terciptanya situasi
yang menyenangkan dalam suatu hubungan suami isteri, sehingga dengan situasi yang
menyenangkan tersebut keluarga dapat mencapai kebahagiaan.9

Berkaitan dengan fungsi keluarga, dalam PP No. 21 tahun 1994 dalam pasal 5
disebutkan, setiap anggota keluarga wajib mengembangkan kualitas diri dan fungsi
keluarga agar keluarga dapat hidup mandiri dan mampu mengembangkan kualitas
keluarga. Lebih lanjut dalam Pasal 6 disebutkan, pengembangan kualitas diri dan fungsi
keluarga dilakukan melalui upaya peningkatan pendidikan kesehatan, ekonomi, sosial
budaya, mental spiritual, nilai-nilai keagamaan, dan peningkatan usaha kesejahteraan
lainnya. Kemudian dalam pasal 7 ayat (1) Dalam rangka mendukung pengembangan
kualitas dan fungsi keluarga pemerintah dan/atau masyarakat menyelenggarakan
pembinaan dan pelayanan keluarga. Dalam ayat (2), disebutkan, pembinaan dan pelayanan
keluarga sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan melalui komunikasi, informasi,
dan edukasi termasuk penyediaan sarana dan prasarana serta upaya lainnya.

Dengan demikian berjalan atau tidaknya sejumlah fungsi keluarga tersebut sangat
ditentukan oleh kesiapan dan kematangan kedua calon pasangan nikah dalam
menyongsong kehidupan berumah tangga. Maksud kesiapan dan kematangan adalah
tingkat kompetensi dan/ atau tingkat pengetahuan calon pasangan tentang seluk beluk
kehidupan rumah tangga. Artinya, dibutuhkan sejumlah pengetahuan oleh para calon
pasangan suami dan isteri agar dapat menjalankan sejumlah fungsi keluarga tersebut.
Kursus pra-nikah adalah sarana untuk mendapatkan kompetensi atau pengetahuan
tersebut. Untuk menjamin berjalannya fungsi keluarga, di lingkungan Kementerian Agama
RI, telah ditetapkan beberapa peraturan.

Dari beberapa peraturan tersebut muncul dua kursus, yakni Kursus Pra Nikah dan
Kursus Calon Pengantin. Aturan teknis Kursus Pra Nikah adalah Peraturan Direktur
Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam (Bimas Islam) No: DJ. II/542 tahun 2013, tentang
Pedoman Penyelenggaraan Kursus Pra Nikah. Sementara aturan teknis Kursus Calon
Pengantin ada dalam Peraturan Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam No. DJ.
II/491 tahun 2009 tentang Kursus Calon Pengantin. Dalam Peraturan Dirjen Bimas Islam
9
Dirjen Bimas Islam dan Penyelenggaraan Haji Kementerian Agama, Buku Pegangan Calon Pengantin, (Jakarta:
Dirjen Bimas Islam dan Penyelenggaraan Haji Kementerian Agama, 2003), hal. 17-263.
No: DJ.II/542 tahun 2013, tentang Pedoman Penyelenggaraan Kursus Pra Nikah, yang
menyatur aturan teknis Kursus Pra Nikah, ditetapkan materi diklat Kursus Pra Nikah,
bukan materi Kursus Pra Nikah. Meskipun demikian boleh diasumsikan bahwa materi
diklat inilah yang kelak menjadi materi Kursus Pra Nikah
Bab III

Analisis Maqasidu Syariah

Terhadap Wacana Sertifikasi Pranikah

Wacana sertiviaksi pranikah baru-baru ini ramai dibincangkan publik. Ada


beberapa pihak yang pro dan kontra. Salah satu alasan yang dikemukan pejabat
pemerintah mengenai sertivikasi pranikah adalah untuk membangun ketahanan keluarga
atau bahasa lain keluarga sakinah. Banyak kasus perceraian, stunting, kemiskinan,
radikalisme mendorong pemerintah untuk ikut andil dalam masalah keluarga. Sedangkan
pihak yang tidak bersepakat memandang hal itu tidak perlu karena pemerintah dianggap
dari mulai belum memenuhi aspek gender, kajian, dan terlalu intervensi mengenai masalah
pernikahan.

Untuk dapat menjawab wacana di atas ada beberapa hal yang patut
dipertimbangkan. Pertama,

Merujuk pemikiran asy Syatibi ada 3 (tiga) tingkatan kemaslahatan; dharuriyyat


(maslahat yang urgen), hajiyyat (maslahat pendukung), dan tahsiniyyat (maslahat
penyempurna/aksesoris). Maka tingkat kemaslahatan sertivikasi pranikah termasuk pada
tingkatan tahsiniyyat yaitu sesuatu yang sebaiknya ada untuk memperindah kehidupan.
Tanpa terpenuhinya kebutuhan tersier, kehidupan tidak akan rusak dan juga tidak akan
menimbulkan kesulitan. Keberadaannya dikehendaki untuk kemuliaan akhlak dan
kebaikan tata tertib pergaulan.10 Karena dengan adanya sertivikasi pranikah diharapkan
bisa menekan angka perceraian, mewujudkan keluarga Sakinah, Mawaddah dan
Warahmah, dll. dan tanpa adanya sertifikasi pranikah tidak akan menimbulkan kesulitan
bagi pasangan yang akan menikah seperti sebelum sertifikasi pranikah diwacanakan.
Kedua, karena sertifikasi pranikah bertujuan untuk memperindah kehidupan
(Tahsiniyyat), maka sertifikasi pranikah tidak boleh menimbulkan kesulitan lain, dalam hal
ini biaya sertifikasi pranikah

10
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh jilid 2,( Jakarta: Kencana, 2011), 228.
Daftar Pustaka
Ahmad Imam Mawardi, Fiqh Minoritas Fiqh Aqalliyâ t dan Evolusi Maqā ṣid al-
Syarīah Dari Konsep ke Pendekatan, (Yogyakarta: LKiS, 2010).
Asafri Jaya Bakrie, Konsep Maqashid Syari’ah menurut al- Syatibi, (Jakarta: Pt. Raja
Grafindo Persada, 1996).
Jasser Auda, Fiqh al- Maqā ṣid Inā ṭat al-Ahkā m bi Maqā ṣidihā , (Herndon: IIIT, 2007).
Jasser Auda, Maqā ṣid al-Ahkā m al-Shar’iyyah wa ‘Ilaluhā , diunduh dari
http://www.jasserauda.net/modules/Research_Articles/pdf/article1A.pdf diakses pada 18
nOVEMBER 2019.
Abu Ishaq al-Syatibi, al-Muwafa fi uṣul al-syarῑ’ah,(Beirut: Darul Ma’rifah, 1997)
Jasser Auda, Fiqh al- Maqā ṣid, h. 15-17; Jasser Auda, Maqasid al-Shari’ah as
Philosophy of Islamic Law a System Approach, (Herndon: IIIT, 2008).
Dirjen Bimas Islam dan Penyelenggaraan Haji Kementerian Agama, Buku Pegangan
Calon Pengantin, (Jakarta: Dirjen Bimas Islam dan Penyelenggaraan Haji Kementerian
Agama, 2003).
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh jilid 2, Jakarta: Kencana, 2011

Anda mungkin juga menyukai