Menurut bahasa Maqāṣid al-Syarῑ’ah merupakan istilah gabungan dari dua kata:
Maqā ṣid al-Syarῑ’ah. Maqā ṣid adalah bentuk plural dari maqṣud, qaṣud, maqṣud atau quṣū d
yang merupakan derivasi dari kata kerja qaṣada yaqṣudu, dengan beragam makna seperti
menuju suatu arah, tujuan, tengah-tengah, adil dan tidak melampaui batas, jalan lurus,
tengah-tengah antara berlebih-lebihan dan kekurangan. 1 Syari’ah, secara etimologi
bermakna jalan menuju mata air, jalan menuju mata air ini dapat pula dikatakan sebagai
jalan kearah sumber pokok kehidupan. Syari’ah secara terminologi adalah al-nushū sh al
muqaddasah (teks-teks suci) dari al-Quran dan al-Sunnah yang mutawā tir yang sama sekali
belum dicampuri oleh pemikiran manusia.2
Secara terminologi, maqā ṣid al-syarῑ’ah dapat diartikan sebagai nilai dan makna
yang dijadikan tujuan dan hendak direalisasikan oleh pembuat Syariah (Allah Swt) dibalik
pembuatan Syariat dan hukum, yang diteliti oleh para ulama mujtahid dari teks-teks
syariah.3
Para ulama’ klasik, al-Maqā ṣid al-ḍ arū riyah dalam membuat syariah Islam
terangkum dalam penjagaan lima hal pokok dalam kehidupan, yaitu: menjaga agama (hifẓ
al-dīn), menjaga jiwa (hifẓ al-nafs), menjaga akal (hifẓ al-‘aql), menjaga keturunan (hifẓ al-
nasl) dan menjaga harta (hifẓ al-mā l). Para ulama’ klasik, semisal al-Ghazali dan al-Syatibi
menyebutnya dengan al-kulliyah al-khamsah yang menurut mereka dianggap sebagai usū l
al-syariah dan merupakan tujuan umum dari pembuatan syariah tersebut. 4
Para ulama klasik menyusun maqā ṣid al-Sharī’ah dalam tingkatan yang bersifat
piramida, yang dimulai dari maqā ṣid ‘amah sebagai pusatnya kemudian bercabang-cabang
1
Ahmad Imam Mawardi, Fiqh Minoritas Fiqh Aqalliyât dan Evolusi Maqāṣid al- Syarīah Dari Konsep ke Pendekatan,
(Yogyakarta: LKiS, 2010), 178-179.
2
Asafri Jaya Bakrie, Konsep Maqashid Syari’ah menurut al- Syatibi, (Jakarta: Pt. Raja Grafindo Persada, 1996), 61.
3
Jasser Auda, Fiqh al- Maqāṣid Ināṭat al-Ahkām bi Maqāṣidihā, (Herndon: IIIT, 2007), 15.
4
Jasser Auda, Maqāṣid al-Ahkām al-Shar’iyyah wa ‘Ilaluhā, diunduh dari
http://www.jasserauda.net/modules/Research_Articles/pdf/article1A.pdf diakses pada 18 nOVEMBER 2019.
menjadi maqā ṣid khasah dan terakhir maqā ṣid juz’iyah. Kemudian dari sisi yang lain
dimulai dari al-ḍ arū riyah, ḥ ā jiyah kemudian tahsīniyah.
Maqasid Syariah berarti tujuan Allah dan Rasul-Nya dalam merumuskan hukum-
hukum Islam. Kemaslahatan yang akan diwujudkan itu menurut al-Syatibi terbagi kepada
5
Ibid, 19.
6
Abu Ishaq al-Syatibi, al-Muwafa fi uṣul al-syarῑ’ah,(Beirut: Darul Ma’rifah, 1997), 261.
tiga tingkatan, yaitu kebutuhan dharuriyat, kebutuhan hajiyat, dan kebutuhan tahsiniyat.
12
Adapun para ulama’ kontemporer membagi maqā ṣid kepada tiga tingkatan, yaitu
maqā ṣid ‘ā mah (General maqā ṣid/tujuan-tujuan umum), maqā ṣid khā ṣṣah (Specific
maqā ṣid /tujuan-tujuan khusus) dan maqā ṣid juz`iyah (Partial maqā ṣid/ tujuan-tujuan
parsial). Maqā ṣid ‘ā mah adalah nilai dan makna umum yang ada pada semua kondisi tasyri’
atau di sebagian besarnya, seperti keadilan, kebebasan, keadilan dan kemudahan. Maqā ṣid
khaṣṣah adalah maslahat dan nilai yang ingin direalisasikan dalam satu bab khusus dalam
syariah, seperti tujuan tidak merendahkan dan membahayakan perempuan dalam system
keluarga, menakut-nakuti masyarakat dan efek jera dalam memberikan hukuman,
menghilangkan gharar (ketidakjelasan) dalam muamalat, dan lainnya. Sedang maqā ṣid
juz`iyah adalah tujuan dan nilai yang ingin direalisasikan dalam pentasyri’an hukum
tertentu, seperti tujuan kejujuran dan hafalan dalam ketentuan persaksian lebih dari satu
orang, menghilangkan kesulitan pada hukum bolehnya tidak berpuasa bagi orang yang
tidak sanggup berpuasa karena sakit, bepergian atau lainnya.7
Walaupun kelihatannya teori ini sederhana, namun ternyata aplikasi teori ini dalam
realitas sangat sulit dan rumit. Karena itu muncul pandangan lain di antara ulama
kontemporer semisal Jamaludin ‘Atiyah dan Jasser Auda yang berbeda dengan susunan
klasik di atas. Mereka berpendapat bahwa maqā ṣid al-Syarī’ah dengan segala tingkatannya
bukan merupakan susunan/bangunan yang bersifat piramid, yang mana maqasid terbagi
antara yang atas dengan yang bawah, namun ia merupakan lingkaran-lingkaran yang saling
bertemu dan bersinggungan (dawā ir mutadā khilah wa mutaqā ṭi’ah), yang hubungannya
saling terkait satu dengan lainnya.
Hal ini disebabkan perkembangan dan perubahan zaman tentu saja akan berefek
pada perubahan hukum. Sesuatu yang pada masa klasik dianggap tidak berharga bisa jadi
saat ini menjadi berharga dan bernilai, sebagaimana terdapat dalam berbagai komoditas,
jenis tumbuhan, jenis pekerjaan dan lainnya. Begitu juga, sesuatu pada kondisi dan tempat
tertentu sangat berharga tetapi pada kondisi dan tempat yang lain menjadi tidak berharga. 8
Dengan demikian, kedua tokoh maqasid klasik dan kontemporer ini dapat
disimpulkan. Antara ijtihad dengan maqashid al-syariah tidak dapat dipisahkan. Ijtihad
pada intinya adalah upaya penggalian hukum syara’ secara optimal. Upaya penggalian
hukum syara’ itu berhasil apabila seorang mujtahid dapat memahami maqashid alsyariah.
Oleh karenanya pengetahuan tentang maqashid al-syariah adalah salah satu syarat yang
dimiliki oleh seorang mujtahid
8
Ibid, 19.
BAB II
Sertifikasi pranikah
Berkaitan dengan fungsi keluarga, dalam PP No. 21 tahun 1994 dalam pasal 5
disebutkan, setiap anggota keluarga wajib mengembangkan kualitas diri dan fungsi
keluarga agar keluarga dapat hidup mandiri dan mampu mengembangkan kualitas
keluarga. Lebih lanjut dalam Pasal 6 disebutkan, pengembangan kualitas diri dan fungsi
keluarga dilakukan melalui upaya peningkatan pendidikan kesehatan, ekonomi, sosial
budaya, mental spiritual, nilai-nilai keagamaan, dan peningkatan usaha kesejahteraan
lainnya. Kemudian dalam pasal 7 ayat (1) Dalam rangka mendukung pengembangan
kualitas dan fungsi keluarga pemerintah dan/atau masyarakat menyelenggarakan
pembinaan dan pelayanan keluarga. Dalam ayat (2), disebutkan, pembinaan dan pelayanan
keluarga sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan melalui komunikasi, informasi,
dan edukasi termasuk penyediaan sarana dan prasarana serta upaya lainnya.
Dengan demikian berjalan atau tidaknya sejumlah fungsi keluarga tersebut sangat
ditentukan oleh kesiapan dan kematangan kedua calon pasangan nikah dalam
menyongsong kehidupan berumah tangga. Maksud kesiapan dan kematangan adalah
tingkat kompetensi dan/ atau tingkat pengetahuan calon pasangan tentang seluk beluk
kehidupan rumah tangga. Artinya, dibutuhkan sejumlah pengetahuan oleh para calon
pasangan suami dan isteri agar dapat menjalankan sejumlah fungsi keluarga tersebut.
Kursus pra-nikah adalah sarana untuk mendapatkan kompetensi atau pengetahuan
tersebut. Untuk menjamin berjalannya fungsi keluarga, di lingkungan Kementerian Agama
RI, telah ditetapkan beberapa peraturan.
Dari beberapa peraturan tersebut muncul dua kursus, yakni Kursus Pra Nikah dan
Kursus Calon Pengantin. Aturan teknis Kursus Pra Nikah adalah Peraturan Direktur
Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam (Bimas Islam) No: DJ. II/542 tahun 2013, tentang
Pedoman Penyelenggaraan Kursus Pra Nikah. Sementara aturan teknis Kursus Calon
Pengantin ada dalam Peraturan Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam No. DJ.
II/491 tahun 2009 tentang Kursus Calon Pengantin. Dalam Peraturan Dirjen Bimas Islam
9
Dirjen Bimas Islam dan Penyelenggaraan Haji Kementerian Agama, Buku Pegangan Calon Pengantin, (Jakarta:
Dirjen Bimas Islam dan Penyelenggaraan Haji Kementerian Agama, 2003), hal. 17-263.
No: DJ.II/542 tahun 2013, tentang Pedoman Penyelenggaraan Kursus Pra Nikah, yang
menyatur aturan teknis Kursus Pra Nikah, ditetapkan materi diklat Kursus Pra Nikah,
bukan materi Kursus Pra Nikah. Meskipun demikian boleh diasumsikan bahwa materi
diklat inilah yang kelak menjadi materi Kursus Pra Nikah
Bab III
Untuk dapat menjawab wacana di atas ada beberapa hal yang patut
dipertimbangkan. Pertama,
10
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh jilid 2,( Jakarta: Kencana, 2011), 228.
Daftar Pustaka
Ahmad Imam Mawardi, Fiqh Minoritas Fiqh Aqalliyâ t dan Evolusi Maqā ṣid al-
Syarīah Dari Konsep ke Pendekatan, (Yogyakarta: LKiS, 2010).
Asafri Jaya Bakrie, Konsep Maqashid Syari’ah menurut al- Syatibi, (Jakarta: Pt. Raja
Grafindo Persada, 1996).
Jasser Auda, Fiqh al- Maqā ṣid Inā ṭat al-Ahkā m bi Maqā ṣidihā , (Herndon: IIIT, 2007).
Jasser Auda, Maqā ṣid al-Ahkā m al-Shar’iyyah wa ‘Ilaluhā , diunduh dari
http://www.jasserauda.net/modules/Research_Articles/pdf/article1A.pdf diakses pada 18
nOVEMBER 2019.
Abu Ishaq al-Syatibi, al-Muwafa fi uṣul al-syarῑ’ah,(Beirut: Darul Ma’rifah, 1997)
Jasser Auda, Fiqh al- Maqā ṣid, h. 15-17; Jasser Auda, Maqasid al-Shari’ah as
Philosophy of Islamic Law a System Approach, (Herndon: IIIT, 2008).
Dirjen Bimas Islam dan Penyelenggaraan Haji Kementerian Agama, Buku Pegangan
Calon Pengantin, (Jakarta: Dirjen Bimas Islam dan Penyelenggaraan Haji Kementerian
Agama, 2003).
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh jilid 2, Jakarta: Kencana, 2011