Anda di halaman 1dari 14

1

HUKUM WARIS & SYARAT-SYARAT HUKUM WARIS


(HUKUM PERDATA)

MAKALAH INDIVIDU

Tafsir Ahkam (HPI 2163)

OLEH :

Nadya Syavira Arani (2020103099)

Dosen pengumpu : RAMIAH LUBIS, SH., MH

FAKULTAS SYARIAH

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI RADEN FATAH PALEMBANG 2020


2

Kata Pengantar

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa atas segala limpahan Rahmat, Inayah, Taufik
dan Hinayahnya sehingga saya dapat menyelesaikan penyusunan makalah ini dalam bentuk
maupun isinya yang sangat sederhana. Semoga makalah ini dapat dipergunakan sebagai salah
satu acuan, petunjuk maupun pedoman bagi pembaca dalam administrasi pendidikan dalam
proses belajar.

Harapan saya semoga makalah ini membantu menambah pengetahuan dan pengalaman bagi para
pembaca, sehingga saya dapat memperbaiki bentuk maupun isi makalah ini sehingga kedepannya
dapat lebih baik.

Makalah ini saya akui masih banyak kekurangan karena pengalaman yang saya miliki sangat
kurang.Oleh kerena itu saya harapkan kepada para pembaca untuk memberikan masukan-
masukan yang bersifat membangun untuk kesempurnaan makalah ini.

Palembang, Desember 2021

Penyusun
3

KATA PENGANTAR……………………………………………………………………………. i

DAFTAR ISI……………………………………………………………… …………..ii

BAB I
PENDAHULUAN………………………………………………………………………………......4

1.1 Latar Belakang……………………………………………….….. …………………………….4

1.2 Rumusan Masalah……………………………………………….. ……………………………….4

1.3 Tujuan……………………………………………………………………………………………. 4

BAB II PEMBAHASAN……………………………………………………………

A.  Kewarisan menurut hukum islam ….………………………………………………………5

B. Empat golongan yang berhak menerima warisan………..………………………….……..10

C. Hukum waris menurut KUH Perdata………………………………………………………………10

BAB III PENUTUP…………………………………………………………… 13

Kesimpulan………………………………………………………………………..…….. 13

DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………………………14

BAB I
4

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Hukum waris merupakan salah satu bagian dari hukum perdata secara keseluruhan dan merupakan bagian
terkecil dari hukum kekeluargaan. Hukum waris sangat erat kaitannya dengan ruang lingkup kehidupan
manusia. Sebab semua manusia akan menglami peristiwa hukum yang di namakan kematian. seseorang
diantaranya ialah masalah bagaimana pengurusan dan kelanjutan hakhak dan kewajiban- kewajiban
seseorang yang meninggal dunia tersebut. Penyelesaian hak-hak dan kewajiban-kewajiban sebagai akibat
meninggal nya seseorang, di atur oleh hukum waris.

Hukum kewarisan Islam merupakan satu dari sekian banyak hukum Islam yang terpenting. Hukum
warisan adalah hukum yang mengatur siapa-siapa saja orang yang bisa mewarisi dan

tidak bisa mewarisi dan tidak bisa mewarisi bagianbagian yang diterima setiap ahli waris dan caracara
pembagiannya. Dalam hukum kewarisan Islam penerima harta warisan di dasarkan pada asas Ijbari, yaitu
harta warisan pindah dengan sendirinya menurut ketentuan Allah SWT Tanpa digantungkan pada
kehendak pewaris atau ahli waris

1.2 Rumusan Masalah

Apa pengertian secara terperinci mengenai hukum waris

1. Siapa saja yang berhak menerima warisan sesuai dengan hukum waris

2. Bagaimana pembagian warisan sesuai dengan syarat hukum syarat

1.3 Tujuan

Untuk mengetahui dan mendalami pembagian warisan yang sesuai dengan syarat-syarat
hukum waris

BAB II

PEMBAHASAN
5

A. Kewarisan Menurut Hukum Islam

Hukum Kewarisan menuuut hukum Islam sebagai salah satu bagian dari hukum kekeluargaan (Al
ahwalus Syahsiyah) sangat penting dipelajari agar supaya dalam pelaksanaan pembagian harta warisan
tidak terjadi kesalahan dan dapat dilaksanakan dengan seadil-adilnya, sebab dengan mempelajari hukum
kewarisan Islam maka bagi ummat Islam, akan dapat menunaikan hak-hak yang berkenaan dengan harta
warisan setelah ditinggalkan oleh muwarris (pewaris) dan disampaikan kepada ahli waris yang berhak
untuk menerimanya. Dengan demikian seseorang dapat terhindar dari dosa yakni tidak memakan harta
orang yang bukan haknya, karena tidak ditunaikannya hukum Islam mengenai kewarisan. Hal ini lebih
jauh ditegaskan oleh rasulullah Saw. Yang artinya:

“Belajarlah Al Qur’an dan ajarkanlah kepada manusia, dan belajarlah faraidh dan ajarkanlah kepada
manusia, karena sesungguhnya aku seorang yang akan mati, dan ilmu akan terangkat, dan bisa jadi akan
ada dua orang berselisih, tetapi tak akan mereka bertemu seorang yang akan mengabarkannya HR.
Ahmad Turmudzi dan An Nasa’I”.

Berdasarkan hadits tersebut di atas, maka ilmu kewarisan menururt Islam adalah sangat penting, apalagi
bagi para penegak hukum Islam adalah mutlak adanya, sehingga bisa memenuhi harapan yang tersurat
dalam hadits rasulullah di atas.

Dalam pasal 171 Kompilasi Hukum Islam, ada beberapa ketentuan mengenai kewarisan ini, yaitu:

Hukum kewarisan adalah hukum yang mengatur tentang pemindahan hak pemilikan harta peninggalan
(tirkah) pewaris, menentukan siapa-siapa yang berhak menjadi ahli waris dan berapa bagiannya masing-
masing.

Pewaris adalah orang yang pada saat meninggal berdasarkan putusan Pengadilan beragama Islam,
meninggalkan ahli waris dan harta peninggalan.

Ahli waris adalah orang yang pada saat meninggal dunia mempunyai hubungan darah atau hubungan
perkawinan dengan pewaris, beragama Islam dan tidak terhalang karena hukum unutk menjadi ahli waris.

Harta peninggalan adalah harta yang ditinggalkan oleh pewaris baik yang berupa harta benda yang
menjadi hak miliknya maupun hak-haknya.

Harta warisan adalah harta bawaan ditambah bagian dari harta bersama setelah digunakan untuk
keperluan pewaris selama sakit sampai meninggalnya, biaya pengurusan jenazah, pembayaran hutang dan
pemberian untuk kerabat.

Wasiat adalah pemberian suatu benda dari pewaris kepada orang-orang lain atau lembaga yang akan
berlaku setelah pewaris meninggal dunia.

Hibah adalah pemberian suatu benda secara sukarela dan tanpa imbalan dari seseorang kepada orang lain
yang masih hidup untuk dimiliki.
6

Baitul Maal adalah balai harta keagamaan.

SeDang kewajiban ahli waris terhadap pewaris menurut ketentuan pasal 175 KHI adalah:

Mengurus dan menyelesaikan sampai pemakaman jenazah selesai.

Menyelesaikan baik hutang-hutang berupa pengobatan, perawatan termasuk kewajiban pewaris maupun
menagih piutang.

Menyelesaiakan wasiat pewaris.

Membagi harta warisan diantara ahli waris yang berhak.

Para ahli waris baik secara bersama-sama atau perseorangan dapat mengajukan permintaan kepada ahli
waris yang tidak menyetujui permintaan itu, maka yang bersangkutan dapat mengajukan gugatan melalui
Pengadilan Agama untuk dilakukan pembagian harta warisan (pasal 188 KHI).

Bila pewaris tidak meninggalkan ahli waris sama sekali, atau ahli warisnya tidak diketahui ada atau
tidaknya, maka harta tersebut atas putusan Pengadilan Agama diserahkan penguasaannya kepada Baitul
Maal untuk kepentingan agama Islam dan kesejahteraan umum (Pasal 191 KHI).

Bagi pewaris yang beristeri dari seorang, maka masing-masing isteri berhak mendapat bagian dagi gono-
gini dari rumah tangga dengan suaminya sedangkan keseluruhan bagian pewaris adalah menjadi hak milik
para ahli warisnya (Pasal 190 KHI).

Duda mendapat separuh bagian, bila pewaris tidak meninggalkan anak, dan bila pewaris meninggalkan
anak, maka duda mendapat seperempat bagian (Pasal 179 KHI).

Janda mendapat seperempat bagian, bila pewaris tidak meninggalkan anak, dan apabila pewaris
meninggalkan anak, maka janda mendapat seperempat bagian (Pasal 180 KHI).

Masalah waris malwaris dikalangan ummat Islam di Indonesia, secara jelas diatur dalam pasal 49
Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989, bahwa Pengadilan Agama berwenang memeriksa, memutus dan
menyelesaikan perkara-perkara kewarisan baik ditingkat pertama antara orang-orang yang beragama
Islam dibidang:

Perkawinan.

Kewarisan, wasiat dan hibah yang dilakukan berdasarkan hukum Islam.

Wakaf dan sedekah.

Menurut hukum Islam hak waris itu diberikan baik kepada keluarga wanita (anak-anak perempuan, cucu-
cucu perempuan, ibu dan nenek pihak perempuan, saudara perempuan sebapak seibu, sebapak atau seibu
saja). Para ahli waris berjumlah 25 orang, yang terdiri dari 15 orang dari pihak laki-laki dan 10 dari pihak
perempuan.

Ahli waris dari pihak laki-laki ialah:

a. Anak laki-laki (al ibn).


7

b. Cucu laki-laki, yaitu anak laki-laki dan seterusnya kebawah (ibnul ibn) .

c. Bapak (al ab).

d. Datuk, yaitu bapak dari bapak (al jad).

e. Saudara laki-laki seibu sebapak (al akh as syqiq).

f. Saudara laki-laki sebapak (al akh liab).

g. Saudara laki-laki seibu (al akh lium).

h. Keponakan laki-laki seibu sebapak (ibnul akh as syaqiq).

i. Keponakan laki-laki sebapak (ibnul akh liab).

j. Paman seibu sebapak.

k. Paman sebapak (al ammu liab).

l. Sepupu laki-laki seibu sebapak (ibnul ammy as syaqiq).

m. Sepupu laki-laki sebapak (ibnul ammy liab).

n. Suami (az zauj).

o. Laki-laki yang memerdekakan, maksudnya adalah orang yang memerdekakan seorang hamba apabila
sihamba tidak mempunyai ahli waris.

Sedangkan ahli waris dari pihak perempuan adalah:

a. Anak perempuan (al bint).

b. Cucu perempuan (bintul ibn).

c. Ibu (al um).

d. Nenek, yaitu ibunya ibu ( al jaddatun).

e. Nenek dari pihak bapak (al jaddah minal ab).

f. Saudara perempuan seibu sebapak (al ukhtus syaqiq).

g. Saudara perempuan sebapak (al ukhtu liab).

h. Saudara perempuan seibu (al ukhtu lium)

i. Isteri (az zaujah).

j. Perempuan yang memerdekakan (al mu’tiqah).


8

Sedankan bagian masing-masing ahli waris adalah isteri mendapat ¼ bagian apabila sipewaris mati tidak
meninggalkan anak atau cucu, dan mendapat bagian 1/8 apabila sipewaris mempunyai anak atau cucu,
dan isteri tidak pernah terhijab dari ahli waris. Adapun yang menjadi dasar hukum bagian isteri adalah
firman Allah dalam surat An Nisa’ ayat 12, yang artinya:

“Para isteri memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan, jika kamu tidak mempunyai anak, dan
jika kamu mempunyai anak, maka isteri-isteri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan
sesudah dipenuhi wasiat atau setelah dibayar hutang-hutangmu”.

Suami mendapat ½ bagian apabila pewaris tidak mempunyai anak dan mendapat ¼ bagian apabila
pewaris mempunyai anak, berdasarkan firman Allah surat an Nisa’ ayat 12, yang artinya:

“Dan bagimu (suami-suami) seperdua bagian dari harta yang ditinggalkan oleh isteri-isterimu, jika tidak
mempunyai anak, dan jika ada anak maka kamu mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkan
sesudah dipenuhi wasiat dan sesudah dibayar hutang-hutangnya”.

Sedangkan bagian anak perempuan adalah:

Seorang anak perempauan mendapat ½ bagian, apabila pewaris mempunyai anak laki – laki.

Dua anak perempauan atau lebih, mendapat 2/3 bagian, apabila pewaris tidak mempunyai anak laki-laki.

Seorang anak perempuan atau lebih, apabila bersama dengan anak laki-laki, maka pembagiannya dua
berbanding satu (anak laki-laki mendapat dua bagian dan anak perempuan mendapat satu bagian), hal ini
berdasarkan firman Allah dalam Surat An Nisa’ Ayat 11 yang artinya:

“Jika anakmu, yaitu bagian seorang anak laki-laki sama dengan bagian dua orang anak perempuan”.

Bagian anak laki-laki adalah:

Apabila hanya seorang anak laki-laki saja, maka dia mengambil semua warisan sebagai ashabah, jika
tidak ada ahli waris dzawil furudz, namun jika ada ahli waris dzawil furudz maka ia hanya memperoleh
ashabah (sisa) setelah dibagikan kepada ahli waris dzwil furudz tersebut (ashabah bin nafsih).

Apabila anak laki-laki dua orang atau lebih, dan tidak ada anak perempauan, serta ahli waris dzwil furudz
yang lain, maka ia membagi rata harta warisan itu, namun jika ada anak perempuan, maka dibagi dua
banding satu (ashabah bil ghair), berdasarkan surat Anisa’ ayat 11 dan 12 tersebut.

Ibu dalam menerima pusaka/bagian harta waris adalah sebagai berikut:

Ibu mendapat seperenam, apabila pewaris meninggalkan anak.

Ibu mendapat sepertiga bagian, apabila pewaris tidak mempunyai anak.


9

Dan diantara ahli waris yang ada, apabila ada ibu maka yang dihijab ibu adalah nenek dari pihak ibu,
yaitu ibu dari ibu dan seterusnya keatas. Nenek dari pihak bapak yaitu ibu dari bapak dan seterusnya
keatas. Hal ini berdasarkan surat An Nisa’ ayat 11 yang artinya:”Dan untuk dua orang ibu bapak, baginya
seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika pewaris itu mempunyai anak”.

Bagian Bapak adalah:

Apabila sipewaris mempunyai anak laki-laki atau cucu dari anak laki-laki, maka bapak mendapat 1/6 dari
harta peninggalan dan sisanya jatuh kepada anak laki-laki.

Apabila pewaris hanya meninggalkan bapak saja, maka bapak mengambil semua harta peninggalan
dengan jalan ashabah.

Apabila pewaris meninggalkan ibu dan bapak, maka ibu mendapat 1/3 dan bapak mengambil 2/3 bagian.

Sedangkan bagian nenek adalah:

Apabila seorang pewaris meninggalkan seorang nenek saja, dan tidak meninggalkan ibu, maka nenek
mendapat bagian 1/6.

Apabila seorang pewaris meninggalkan nenek lebih dari seorang dan tidak meninggalkan ibu, maka
nenek mendapat 1/6 dibagi rata diantara nenek tersebut.

Menurut hukum waris Islam, oarng yang tidak berhak mewaris adalah:

Pembunuh pewaris, berdasrkan hadtis yang diriwayatkan oleh At tirmidzi, Ibnu Majah, Abu Daud dan An
Nasa’i.

Orang murtad, yaitu keluar dari agama Islam, berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Abu Bardah.

Orang yang berbeda agama dengan pewaris, yaitu orang yang tidak menganut agama Islam atau kafir.

Anak zina, yaitu anak yang lahir karena hubungan diluar nikah, berdasarkan hadits yang diriwayatkan
oleh At Tirmidzi (Hazairin, 1964: 57).

Perlu diketahui bahwa jika pewaris meninggalkan ibu, maka semua nenek terhalang, baik nenek dari
pihak ibu sendiri maupun nenek dari pihak ayah (mahjub hirman). Dan jika semua ahli waris ada, maka
yang berhak mendapat warisan adalah hanya anak (baik laki-laki maupun perempuan), ayah, ibu, dan
janda atau duda sedangkan ahli waris yang lain terhalang (mahjub) (Pasal 174 Ayat (2) KHI).

B. Sistem Hukum kewarisan menurut KUH Perdata (BW).


10

Menurut Kitab Undang-undang Hukum Perdata ada dua cara untuk mendapatkan warisan, yaitu:

Sebagai ahli waris menurut Undang-undang.

Karena ditunjuk dalam surat wasiat (testament).

Cara yang pertama dinamakan mewarisi menurut Undang-undang atau “ab intestato” dan cara yang kedua
dinamakan mewarisi secara “testamentair”.

Dalam hukum waris berlaku suatu asas, bahwa hanyalah hak-hak dan kewajiban-kewajiban dalam
lapangan hukum kekayaan harta benda saja yang dapat diwariskan. Dengan kata lain hanyalah hak-hak
dan kewajiban-kewajiban yang dapat dinilai dengan uang saja (Subekti, 1993: 95).

Bila orang yang meninggal dunia tidak membuat testamen, maka dalam Undang-undang Hukum Perdata
ditetapkan pembagian warisan sebagai berikut:

Yang pertama berhak mendapat warisan yaitu suami atau isteri dan anak-anak, masing – masing berhak
mendapat bagian yang sama jumlahnya (pasal 852 BW).

Apabila tidak ada orang sebagaimana tersebut di atas, maka yang kemudian berhak mendapat warisan
adalah orang tua dan saudara dari orang tua yang meninggal dunia, dengan ketentuan bahwa orang tua
masing-masing sekurang-kurangnya mendapat seperempat dari warisan (pasal 854 BW).

Apabila tidak ada orang sebagaimana tersebut di atas, maka warisan dibagi dua, separuh untuk keluarga
pihak ibu dan separuh lagi untuk pihak keluarga ayah dari yang meninggal dunia, keluarga yang paling
dekat berhak mendapat warisan. Jika anak-anak atau saudara-saudara dari pewaris meninggal dunia
sebelum pewaris, maka tempat mereka diganti oleh keturunan yang sah (pasal 853 BW).

Empat Golongan yang Berhak Menerima Warisan

A. GOLONGAN I.

Dalam golongan ini, suami atau istri dan atau anak keturunan pewaris yang berhak menerima warisan.
Dalam bagan di atas yang mendapatkan warisan adalah istri/suami dan ketiga anaknya. Masing-masing
mendapat ¼ bagian. Ayah Ibu Pewaris Saudara Saudara

B. GOLONGAN II

Golongan ini adalah mereka yang mendapatkan warisan bila pewaris belum mempunyai suami atau istri,
dan anak. Dengan demikian yang berhak adalah kedua orangtua, saudara, dan atau keturunan saudara
pewaris. Dalam contoh bagan di atas yang mendapat warisan adalah ayah, ibu, dan kedua saudara
kandung pewaris. Masing-masing mendapat ¼ bagian. Pada prinsipnya bagian orangtua tidak boleh
kurang dari ¼ bagian

C. GOLONGAN III
11

kakek nenek kakek nenek Dalam golongan ini pewaris tidak mempunyai saudara kandung sehingga yang
mendapatkan waris adalah keluarga dalam garis lurus ke atas, baik dari garis ibu maupun ayah. Contoh
bagan di atas yang mendapat warisan adalah kakek atau nenek baik dari ayah dan ibu. Pembagiannya
dipecah menjadi ½ bagian untuk garis ayah dan ½ bagian untuk garis ibu.

D. GOLONGAN IV

Pada golongan ini yang berhak menerima warisan adalah keluarga sedarah dalam garis atas yang masih
hidup. Mereka ini mendapat ½ bagian. Sedangkan ahli waris dalam garis yang lain dan derajatnya paling
dekat dengan pewaris mendapatkan ½ bagian sisanya.

Di dalam KUH Perdata (BW) dikenal pula harta peninggalan yang tidak terurus yaitu jika seorang
meninggal dunia lalu mempunyai harta, tetapi tidak ada ahli warisnya, maka harta warisan itu dianggap
sebagai tidak terurus. Dalam hal yang demikian itu maka Balai Harta peninggalan (Wesskamer) dengan
tidak usah menuggu perintah dari Pengadilan wajib mengurus harta itu namun harus memberitahukan
kepada pihak Pengadilan. Dalam hal ada perselisihan apakah suatu harta warisan dapat dianggap sebagai
tidak terurus atau tidak. Hal ini akan diputuskan oleh Pengadilan, Weeskamer itu diwajibkan membuat
catatan tentang keadaan harta tersebut dan jika dianggap perlu didahului dengan penyegelan barang-
barang, dan selanjutnya membereskan segala sangkutan sipewaris berupa hutang-hutang dan lain-lain.
Wesskamer harus membuat pertanggungjawaban, dan juga diwajibkan memanggil para ahli waris yang
mungkin ada dengan panggilan-panggilan umum, seperti melalui RRI, surat-surat kabar dan lain-lain cara
yang dianggapa tepat. Jika setelah lewat tiga tahun belum juga ada seorang ahli waris yang tampil atau
melaporkan diri, maka weeskamer akan melakukan pertanggungjawaban tentang pengurusan harta
peninggalan itu kepada negara, dan selanjutnya harta tersebut akan menjadi milik negara.

Menurut ketentuan pasal 838 KUH Perdata, yang dianggap tidak patut menjadi ahli waris dan karenanya
tidak berhak mewaris ialah:

Mereka yang telah dihukum karena dipersalahkan telah membunuh atau mencoba membunuh pewaris.

Mereka yang dengan putusan hakim Pengadilan dipersalahkan karena dengan fitnah telah mengajukan
pengaduan terhadap pewaris mengenai suatu kejahatan yang diancam dengan hukuman penjara lima
tahun lamanya atau hukuman yang lebih berat.

Mereka yang dengan kekerasan telah mencegah pewaris membuat atau mencabut surat wasiatnya.

Mereka yang telah menggelapkan, merusak atau memalsukan surat wasiat pewaris.

III. Persamaan dan perbedaan antara sistem hukum Islam dengan sistem KUH Perdata (BW).

Sistem hukum kewarisan menurut KUH Perdata tidak membedakan antara anak laki-laki dan anak
perempuan, antara suami dan isteri, mereka berhak semua mewaris, dan bagian anak laki-laki sama
dengan bagian anak perempuan, bagian seorang isteri atau suami sama dengan bagian anak.

Apabila dihubungkan dengan sistem keturunan, maka KUH Perdata menganut system keturunan
Bilateral, dimana setiap orang itu menghubungkan dirinya dengan keturunan ayah mapun ibunya, artinya
12

ahli waris berhak mewaris dari ayah jika ayah meninggal dan berhak mewaris dari ibu jika ibu meninggal,
berarti ini ada persamaan dengan hukum Islam.

Persamaanya apabila dihubungkan antara sitem hukum waris menurut Islam dengan sistem kewarisan
menurut KUH Perdata, baik menurut KUH Perdata maupun menurut hukum kewarisan Islam sama-sama
menganut system kewarisan individual, artinya sejak terbukanya waris (meninggalnya pewaris) harta
warisan dapat dibagi-bagi pemilikannya antara ahli waris. Tiap ahli waris berhak menuntut bagian
warisan yang menjadi haknya. Jadi sistem kewarisan yang dianut oleh KUH Perdata adalah sistem
kewarisan individul bilateral (Subekti, 1953: 69), sedangkan perbedaannya adalah terletak pada saat
pewaris meninggal dunia, maka harta tersebut harus dikurangi dulu pengluaran-pengluaran antara lain
apakah harta tersebut sudah dikeluarkan zakatnya, kemudian dikurangi untuk membayar hutang atau
merawat jenazahnya dulu, setelah bersih, baru dibagi kepada ahli waris, sedangkan menurut KUH Perdata
tidak mengenal hal tersebut, perbedaan selanjutnya adalah terletak pada besar dan kecilnya bagian yang
diterima para ahli waris masing-masing, yang menurut ketentuan KUH Perdata semua bagian ahli waris
adalah sama, tidak membedakan apakah anak, atau saudara, atau ibu dan lain-lain, semua sama rata,
sedangkan menurut hukum Islam dibedakan bagian antara ahli waris yang satu dengan yang ahli waris
yang lain.

Persamaan tersebut disebabkan karena pola dan kebutuhan masyarakat yang universal itu adalah sama,
sedangkan perbedaan-perbedaan itu disebabkan karena cara berfikir orang-orang barat adalah abstrak,
analistis dan sistematis, dan pandangan hidup mereka adalah individulaistis dan materialistis, sedangkan
hukum Islam dilatar belakangi oleh cara berfikir yang logis, riil dan konkrit, dan pandangan hidup dalam
hukum Islam didasarkan pada sistem kekeluargaan dan bersifat rohani (magis).
13

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Dari pemaran mengenai Hukum waris adalah Hukum yang mengatur tentang peralihan harta warisan dari
pewaris kepada ahli waris dinamakan hukum kewarisan, yang dimana warisan tersebut dapat di wariskan
kepada orang-orang yang mempunyai Hubungan darah , Hubungan pernikahan , Hubungan
memerdekakan budak , Hubungan wasiat untuk tolan perjanjian termasuk anak angkat, yang berdasarkan
dengan syarat-syarat hukum waris
14

DAFTAR PUSTAKA

https://tafsiralquran.id/tafsir-surat-an-nisa-ayat-59-bentuk-dukungan-rasulullah-terhadap-pemimpin-dan-
ulama/

https://www.dream.co.id/your-story/kandungan-surat-an-nisa-ayat-59-perintah-untuk-taat-kepada-
allah-dan-rasul-210203u.html

https://kalam.sindonews.com/ayat/57/5/al-maidah-ayat-57

Anda mungkin juga menyukai