Anda di halaman 1dari 14

Tugas Terstruktur Dosen Pengampu

Ilmu Faraidh M. Zain Arifuddin Noor

Rukun, Syarat, Sebab dan

Penghalang dalam hukum Waris

Disusun Oleh :

Kelompok 2

M. Syahrul Arqam : 190101010480


M. Arsyad : 190101010443

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI ANTASARI

FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

BANJARMASIN

2021
Kata Pengantar

Puji syukur ke hadirat Allah SWT yang telah memberikan taufiq, hidayah serta inayah-
Nya kepada kami sehingga dapat menyelesaikan makalah ini. Shalawat serta salam selalu
dilimpahkan kepada junjungan kita Nabi Muhammad SAW.

Kami menyadari bahwa dalam makalah ini, masih terdapat kekurangan dan kekhilafan.
Oleh karena itu, kepada para pembaca dan para pakar, penulis mengharapkan saran kritik
konstruktif demi kesempurnaan makalah ini. Akhirnya kami berharap, semoga makalah ini
bermanfaat bagi kami dan para pembaca pada umumnya.

Banjarmasin, 20 Februari 2020

Penulis

i
Daftar Isi

Kata Pengantar ........................................................................................................................i

Daftar Isi ..................................................................................................................................ii

BAB I : PENDAHULUAN

a. Latar Belakang .....................................................................................................................1

b. Rumusan Masalah ...............................................................................................................1

c. Tujuan Masalah ...................................................................................................................1

BAB II : PEMBAHASAN

a. Rukun Waris.........................................................................................................................2

b. Syarat Waris.........................................................................................................................3

c. Sebab Waris..........................................................................................................................4

d. Penghalang dalam Waris .....................................................................................................5

BAB III : PENUTUP

1. Kesimpulan ..........................................................................................................................7

2. Saran ....................................................................................................................................8

DAFTAR PUSTAKA ..............................................................................................................9

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Secara etimologi lafaż farāiḍ adalah bentuk jamak dari farīḍah (sesuatu yang diwajibkan),
diambil dari kata al-farḍu (kewajiban) yang memiliki makna etimologi dan terminologi. Secara
etimologi kata al-farḍu memiliki beberapa arti, di antaranya adalah: al-wājibu (wajib),
almuqaddaru (diperkirakan), al-ḥaẓzu (pembatasan), altaqdīru (ketentuan), al-qaṭ‟u
(ketetapan/kepastian), alinzālu (menurunkan), at-tabyīnu (penjelasan), al-Naṣību al-muqaddaru
al-mafrūḍu (bagian yang ditentukan). Dan dinamakan al-farḍu sebagai farḍan karena ada
karakteristik dari ilmu tersebut yang langsung ditetapkan oleh Allah swt.

B. Rumusan Masalah

1. Apa saja rukun waris?

2. Apa saja syarat waris?

3. Apa penyebab dan penghalang hukum waris?

C. Tujuan Masalah

1. Untuk mengetahui berbagai macam rukun waris

2. Untuk mengetahui syarat-syarat waris

3. Untuk mengetahui penyebab dan penghalang hukum waris

1
BAB II

PEMBAHASAN

A. Rukun Waris

Rukun waris adalah sesuatu yang harus ada untuk mewujudkan bagian harta waris,
dimana bagian harta waris tidak akan didapatkan bila tidak ada rukun-rukunnya. Rukun-rukun
untuk mewarisi ada tiga yaitu:

1. Al-Muwarriṡ (pewaris), yaitu orang yang meninggal dunia baik secara hakiki (sebenarnya)
maupun ḥukmī (suatu kematian yang dinyatakan oleh keputusan hakim) seperti mafqūd (orang
yang hilang).

2. Al-Wāriṡ (ahli waris), yaitu orang yang hidup ketika pewaris meninggal dan merupakan orang
yang berhak mendapatkan warisan meskipun keberadaannya masih dalam kandungan atau orang
yang hilang.

3. Al-Maurūṡ (harta warisan), yaitu harta benda yang menjadi warisan. Termasuk juga harta-
harta atau hakhak yang mungkin dapat diwariskan, seperti hak qiṣaṣ (perdata), hak menahan
barang yang belum dilunasi pembayarannya, dan hak menahan barang gadaian.

Inilah tiga rukun waris. Jika salah satu dari rukun tersebut tidak ada, waris mewarisi tidak
dapat dilaksanakan. Jika seorang meninggal dunia namun tidak memiliki ahli waris, atau ada ahli
waris tapi tidak ada harta yang ditinggalkan, maka waris mewarisi tidak bisa dilakukan, karena
tidak memenuhi rukun waris.

B. Syarat Waris

Syarat waris adalah sesuatu yang karena ketiadaannya maka tidak akan ada proses
pembagian warisan. Adapun syarat-syarat untuk mewarisi ada tiga, yaitu:

2
1. Meninggalnya pewaris, baik secara hakiki1, hukmī2 , dan taqdirī3.
2. Hidupnya ahli waris pada saat pewaris meninggal dunia, baik secara hakiki atau hukmī.
3. Mengetahui sebab menerima warisan atau mengetahui hubungan antara pewaris dan ahli
warisnya atau mengetahui seluk beluk pembagian harta warisan. Apakah menjadi ahli
waris karena hubungan pernikahan, hubungan darah, atau wala‟ (pemerdekaan budak).
Ahli waris harus diketahui pasti, baik dari kedekatan kekerabatannya, bagian-bagiannya
serta hajib (yang menghalang) dan mahjub (terhalang) untuk mendapatkan warisan4

C. Sebab Mendapatkan Waris

Sebab adanya pewarisan adalah sesuatu yang mewajibkan adanya hak mewarisi jika
sebab-sebabnya terpenuhi. Demikian juga hak mewarisi menjadi tidak ada jika sebab-sebabnya
tidak terpenuhi. Sebab-sebab mewarisi yang disepakati oleh para ulama ada tiga, yaitu sebagai
berikut:

1. Pernikahan
Pernikahan dengan menggunakan akad yang sah, merupakan sebab untuk saling mewarisi
antara suami dan istri, meskipun keduanya belum sempat melakukan hubungan badan dan
berkhalwat (tinggal berdua). Barangsiapa yang akad tanpa ada wali maka ini adalah nikah
batil/tidak sah karena tidak memenuhi salah satu dari rukun nikah. Begitu juga orang yang

1
Meninggal hakiki adalah kematian yang benar-benar terjadi, dapat dilihat dengan penglihatan kasat
mata, berdasarkan pendenganran (berita), atau dengan persaksian dua orang yang dapat dipercaya, atau dengan
bukti-bukti lainnya
2
Meninggal hukmī adalah kematian atas putusan hakim, seperti seorang yang hilang dalam jangka waktu
yang lama dan pencariannya sudah melewati batas waktu yang ditentukan, maka dihukumi sudah meninggal
berdasarkan dugaan yang disejajarkan dengan kayakinan yang kuat (kepastian)
3
Meninggal taqdirī adalah kematian yang disebabkan/diikutkan kepada orang lain. Seperti seorang wanita
hamil disiksa kemudian lahirlah janin dalam keadaan meninggal, maka janin ini berhak mendapatkan diat sebab
meninggal karena ibu yang mengandungnya disiksa. Sementara apakah janin tersebut berhak mewarisi dan
mendapatkan warisan dari ibunya yang telah meninggal karena disiksa terdapat perbedaan pendapat ulama.
Menurut Abu Hanifah, janin tersebut dapat mewaris dan dapat mewariskan (sebagai pewaris), karena ia
diperkirakan masih hidup ketika ibunya meninggal, dan ia meninggal sebab kematian ibunya. Jumhur ulama
berpendapat janin tersebut belum tentu hidup dan tidak mewariskan, kecuali harta diyatnya. Lihat Wahbah al-
Zuhaili, Fiqh Islami Wa adillatuh, (Damaskus: Dār al-Fikr, 1997), Jilid X, h. 7708.
4
Syamsuddin Muhammad Khaṭib al-Syarbainī, Mughnī alMuḥtāj, (Beirut: Dār al-Kutub al-„Ilmiyah, 1415),
Jilid IV, h. 10

3
menikahi mahramnya, dan orang yang menikahi perempuan lebih dari empat. Semua bentuk
pernikahan ini tidak bisa menjadi sebab untuk bisa saling mewarisi antara suami dan istri.

Masalah yang mungkin akan dijumpai dari sebab saling mewarisi karena pernikahan sah
adalah bagaimana ketika terjadi kasus perceraian (ṭalaq) diantara mereka, apakah memutuskan
sebab mewarisi atau tidak. Dalam hal ini ṭalaq terbagi dua, pertama, ṭalaq raj‟ī, yaitu suami
menceraikan istrinya yang masih ada masa untuk kembali („iddah raj‟ī), baik satu kali talak atau
dua. Maka suami memiliki hak untuk kembali (ruju‟) kepada istrinya apabila masih dalam masa
„iddah. Dalam masalah ini, sepakat para ulama bahwa antara suami dan istri masih tetap bisa
saling mewarisi selama dalam masa’iddah. Kedua, ṭalaq bāin21, yaitu talak tiga, dalam hal ini
sepakat para ulama menjadi sebab untuk tidak saling mewarisi antara suami dan istri, baik
diceraikan ketika suami dalam keadaan sehat atau dalam keadaan sakit parah, namun bukan
dengan tujuan untuk menghalagi istri mendapatkan warisan

Adapun jika tujuan suami menjatuhkan ṭalaq ba‟in pada waktu sakit parah dengan tujuan
menghalangi istri untuk dapat warisan, ulama berbeda pendapat:

a. Mazhab Syafi‟iyyah bependapat bahwa istri tidak bisa mendapatkan warisan dari
suami secara mutlak, karena terputus hubungan pernikahan yang merupakan salah
satu sebab untuk saling mewarisi.
b. Mazhab Hanafiyah, berpendapat bahwa istri tersebut mewarisi harta suaminya jika
ketika suaminyameninggal iddahnya belum habis. Jika iddahnya sudah habis maka
tidak dapat mewarisi.
c. Mazhab Hanabilah, berpendapat bahwa istrinya tetap mendapatkan warisan dari
suaminya meskipun sudah berakhir masa ‘iddah, dengan catatan bahwa suami
menceraikannya karena tidak ingin meberikan warisan untuknya, istrinya belum
menikah dengan lelaki lain, dan merupakan orang yang berhak menerima waris pada
waktu ditalak bain oleh suaminya.
d. Mazhab malikiyyah, berpedapat bahwa istri tetap mendapatkan warisan dari
suaminya meskipun sudah berakhir masa ‘iddah atau belum, istrinya sudah menikah
lagi dengan lelaki lain satu orang atau lebih.
2. Qarabah (kekerabatan).

4
Hubungan qarabah atau disebut juga hubungan nasab (darah) yaitu setiap hubungan
persaudaraan yang disebabkan kelahiran (keturunan), baik yang dekat maupun jauh. Hubungan
nasab ini mencakup anak keturunan pewaris (furu‟ al-waris), kedua orang tua pewaris (ushul al-
wariṡ), saudara-saudara pewaris (Hawasyī) baik laki-laki, perempuan yang sekandung, seayah
atau seibu, paman pewaris („Umumah) baik paman kandung atau seayah maupun anak laki-laki
dari keduanya, serta pemerdeka budak (wala‟) laki-laki atauperempuan. Atau dengan sebab rahm
(żawil arḥām).

3. Hubungan wala’

Merupakan kerabat hukmy yang juga disebut wala’ al-itqi atau wala’ al-ni’mah. Yaitu
hubungan kekerabatan yang disebakan karena memerdekakan hamba sahaya. Jika seseorang tuan
memerdekakan hambanya, maka ia mempunyai hubungan kekerabatan dengan hamba yang telah
dimerdekakannya yang disebut wala’ al-itqi. Dengan sebab itu si tuan berhak mewarisi hartanya
karena ia telah berjasa memerdekakan dan mengembalikan nilai kemanusiaannya. Hukum Islam
memberikan hak waris kepada tuan yang memerdekakan, bila budak itu tidak meninggalkan ahli
waris sama sekali baik berdasarkan hubungan kekerabatan maupun pernikahan (suami istri).

D. Penghalang Hak Waris

Warisan akan terhalang oleh 4 hal yaitu sebagai berikut:

1. Perbudakan, seorang yang berstatus budak yang tidak mempunyai hak untuk mewarisi
dari saudaranya sendiri. (Q.S An Nahl ayat 75). Sedangkan menurut Idris Ramulyo,
perbudakan menjadi penghalang mewarisi bukan karena status sosialnya, tetapi karena
dipandang sebagai hamba sahaya yang tidak cakap menguasai harta benda.
2. Pembunuhan, pembunuhan terhadap pewaris oleh ahli waris menyebabkan tidak dapat
mewarisi harta yang ditinggal oleh orang yang bunuh, meskipun yang dibunuh tidak
meninggalkan ahli waris lain selain yang dibunuh.
3. Berlainan agama, keadaan berlainan agama akan menghalangi mendapatkan harta
warisan, dalam hal ini yang dimaksud adalah antara ahli waris dengan muwarris yang
berbeda agama.

5
Berlainan negara, dilihat dari segi agama orang yang mewariskan dan orang yang mewarisi,
berlainan negara diklasifikasikan menjadi dua yaitu berlainan negara antar orang-orang non
muslim dan berlainan negara antar orang Islam.

6
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Beberapa syarat dan rukun harus dipenuhi. Ketiadaan salah satu syarat dan rukun
menjadikan harta warisan tidak boleh dibagikan kepada ahli waris. Rukun ada tiga yaitu: Al-
Muwarriṡ (pewaris), Al-Wāriṡ (ahli waris), dan Al-Maurūṡ (harta warisan). Sayratnya ada tiga
yaitu: meningalnya pewaris, adanya ahli waris, dan adanya sebab menerima dan hubungan antara
pewaris dan ahli waris.

B. Saran

Jika salah satu dari rukun atau syarat yang sudah dipaparkan di atas tidak terpenuhi maka
pewarisan menjadi batal. Hal ini dikarenakan warisan adalah hak seseorang terhadap harta orang
lain. Orang yang tidak memenuhi rukun dan syarat tidak berhak memperoleh kepemilikan
pusaka mayit yang sudah meninggal.

1
DAFTAR PUSTAKA

Muhibbussabry, Fiqh Mawaris (Medan: CV. Pusdikra Mitra Jaya, 2020).

2
Hasil Diskusi

Pertanyaan:

1. Ahmad Baihaqi (190101010464)


Sebagaimana yang terdapat didalam makalah bahwasanya sebab mendapatkan waris
yakni dikarenakan adanya sebuah pernikahan.
Yang ingin saya tanyakan bagaimana mengenai suami yang berpoligami ketika ia
meninggal meninggalkan 2 istri, yang mana dari hasil pernikahan kedua istri itu ada
meninggalkan harta warisan. Sedangkan hubungan dengan istri pertamanya sudah lama
tak berkomunikasi dan tak tahu keberadaannya.( Masih ada ikatan perkawinan).
Apakah hal itu juga tetap mendapatkan hak waris nya atau bagaimana?
2. Chandra Agustina Wardani (190101010030)
izin bertanya mengenai sebab pemberian harta waris kepada orang yang berhak
mewarisinya, kasusnya seseorang meninggal karena kecelakaan pesawat dan
mendapatkan uang duka dari maskapai tersebut (misal 100 juta). Pertanyaan nya
bagaimana kepemilikan uang tersebut apakah dibagikan sebagai mana hitungan waris
atau menjadi milik keluarga yg masih hidup atau bagaimana ?
3. Nanda Prianti (190101010476)
Apabila kita sebagai seorang ahli waris yg mendapatkan warisan menolak untuk
menerima warisan di karenakan ketidaksetujuan dari berbagai pihak soal masalah
pembagian hasil waris dan kemudian kita memutuskan untuk mengalah saja agar tidak
terjadi pertikaian keluarga kemudian akhirnya kita tidak mendapatkan warisan sesuai
yg di tuliskan apakah dengan penolakan itu di perbolehkan atau bagaimana?
4. Saya Widya Astuti (190101010613)
Seperti di dalam makalah kan warisan akan terhalang oleh 4 hal salah satunya yaitu
pembunuhan terhadap pewaris oleh ahli waris menyebabkan tidak dapat mewarisi
harta yang ditinggal oleh orang yang bunuh, meskipun yang dibunuh tidak
meninggalkan ahli waris lain selain yang dibunuh. Pertanyaan saya jika tidak ada lagi
ahli waris nya lalu kemana harta warisan tersebut di bagikan?

Jawab:

1. Izin menjawab pertanyaan dari saudara Ahmad Baihaqi.

3
Istri kedua jelas tetap mendapatkan bagiannya. Lalu bagaimana degan istri pertama?
Istri pertama akan tetap mendapatkan bagiannya juga selama si suami tidak pernah
melakukan talak / istri pertama tidak mengajukan gugatan cerai kepada si suami.
Lain halnya jika mereka berdua telah resmi bercerai, maka putuslah hak waris nya.
Pasal 476 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (“KUH Perdata”) Apabila
seseorang meninggalkan tempat tinggalnya tanpa memberi kuasa untuk mewakili
urusan-urusannya, dan telah lampau 5 tahun sejak kepergiannya atau sejak diperoleh
berita terakhir yang membuktikan bahwa ia masih hidup, sedangkan dalam 5 tahun itu
tak pernah ada tanda-tanda tentang hidupnya atau matinya, maka orang yang dalam
keadaan tak hadir itu, atas permohonan pihak-pihak yang berkepentingan dan dengan
izin Pengadilan Negeri di tempat tinggal yang ditinggalkannya, boleh dipanggil untuk
menghadap pengadilan itu dengan panggilan umum yang berlaku selama jangka
waktu tiga bulan atau lebih dengan 3 kali panggilan. jika tidak menemukan petunjuk
maka bisa dianggab meninggal. Setelah adanya pernyataan dari Pengadilan Negeri,
orang-orang yang diduga menjadi ahli waris dari orang yang diduga telah meninggal
tersebut berhak atas harta peninggalannya.

2. Izin menjawab pertanyaan dari saudari Chandra Agustina Wardani


Uang duka sepenuhnya milik keluarga, bukan warisan si korban. Karena uang duka
sendiri memang ditujukan kepada keluarga yang ditinggal korban. Beda halnya
dengan warisan korban yang menjadi harta nya semasa hidup. Uang duka merupakan
Hibah maskapai penerbangan untuk keluarga korban. Uang itu bukan berasal dari
harta si mayyit jadi itu bukan masuk dalam pewarisan.

Tambahan dari Rismayandi Ansari (190101010025)


Perlu diperjelas, HIBAH itu pemberian seseorang saat masih hidup dan membagi
hartanya ketika ia masih hidup juga. WASHIAT itu pesan seseorang untuk
memberikan sejumlah harta jika ia telah meninggal sehingga membagi hartanya
setelah ia mati. WARISAN itu peninggalan seseorang yang telah mati yang
dibagikan otomatis pada ahli waris yang berhak setelah ia mati, sesuai faraidh.

4
Contoh wasiat : "aku beisi tabungan 10 M... mun ku meninggal, duitnya gsn ikam
untuk biaya sekolah dan kawin ikam kena"
Kalau contoh Hibah : "Duit tabunganku 10 M itu kubari akan aja gsn ikam... ini kartu
ATM nya dan ini no pinnya... jangan boros lah."
Pemberian bantuan sosial berupa santunan uang duka krn tanggung jawab maskapai,
itu sama seperti hibah. Demikian.

3. Izin menjawab pertanyaan dari saudari Nanda Prianti


Pada prinsipnya dalam hukum waris Islam, ahli waris tidak boleh menolak warisan.
Namun, penolakan warisan oleh ahli waris dapat dilakukan jika disetujui oleh para
ahli waris dan memang pengunduran diri tersebut atas dasar kerelaan dan niat yang
baik.

4. Izin menjawab pertanyaan dari saudari Wdya Astuti.


Jika sudah tidak ada lagi ahli waris maka harta warisan itu akan di berikan kepada
lembaga baitul maal untuk di manfaatkan hartanya.
Bila pewaris tidak meninggalkan ahli waris sama sekali, atau ahli warisnya tidak
diketahui ada atau tidaknya, maka harta tersebut atas putusan Pengadilan Agama
diserahkan penguasaannya kepada Baitul Maal untuk kepentingan agama Islam dan
kesejahteraan umum (Pasal 191 KHI).

Komentar dari bapak Ali Muammar: hal yang didiskusikan yang ada diatas sangat sering sekali
muncul di kehidupan sehari-hari. Harapanya dengan hal yang didikusikan dapat menjadi
tambahan ilmu dan jadi pengalaman untuk semua agar pada saat terjadi keadaan yang sama kita
dapat mampu menaggapi.

Anda mungkin juga menyukai