Anda di halaman 1dari 18

MAKALAH FIQIH MAWARIS ASHABAH

DOSEN PENGAMPUH :

BITOH PURNOMO LL, M

DISUSUN OLEH :

Vengki Dimansya (23051020013)

Mustofa Syahab (23041020008)

M Irsyad Amrullah (230510200015)

PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MAZHAB


FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI RADEN FATAH
PALEMBANG 2024
KATA PENGANTAR

Bismillahirrohmannirrohim. Alhamdulillahirabbil`alamin. Puji syukur


kami panjatkan kepada allah SWT. Yang maha pengasih lagi maha penyayang
tanpa karunia-nya, Mustahil makalah ini dapat terselesaikan. Tim penyusun
berhasil menyelesaikan tugas makalah dengan tepat waktu yang berjudul
“ashobah”.

Dalam penyusunan makalah ini, Semua isi ditulis berdasarlan buku-buku


dan jurnal referensi yang berkaitan dengan pancasilah dalam Prinsip Kedaulatan
Rakya. Apabilah dalam isi makalah ditemukan kekeliruan atau informasi yang
kurang valid, Tim penyusuan sangat terbuka dengan kritik dan saran yang
membangun untuk diperbaiki selanjutnya. Akhir kata, Tim penyusuan makalah
mengucapkan terima kasih.

Palembang, 19 maret 2024

Kelompok 4
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI ........................................................................................................... 3


BAB I ...................................................................................................................... 4
PENDAHULUAN .................................................................................................. 4
Rumusan Masalah ............................................................................................... 5
BAB II ..................................................................................................................... 6
PEMBAHASAN ..................................................................................................... 6
A. 'Ashabah ......................................................................................................... 6
B. Ashabah sababiyah ........................................................................................ 16
ВАВ Ш .................................................................................................................. 17
PENUTUP ............................................................................................................. 17
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................ 18
BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang

Sebelum Era islam, bangsa arab telah mengenal system waris yang menjadi
sebab berpindahnya hak kepemilikan atas harta benda atau hak-hak material
lainnya, dari seseorang yang meninggal kepada orang lain yang menjadi ahli
warisnya. Islam telah meletakkan aturan kewarisan dan hukum mengenai harta
benda dengan sebaik-baik dan seadil-adilnya. Agama Islam menetapkan hak milik
seseorang atas harta, baik laki-laki atau perempuan melalui jalan syara'. seperti
perpindahan hak milik laki-laki dan perempuan di waktu masih hidup ataupun
perpindahan harta kepada para ahli warisnya setelah ia meninggal dunia.

Dalam Al-Qur'an telah dijelaskan dan merinci secara detail hukum-hukum


yang berkaitan dengan hak warisan tanpa mengabaikan hak seorang pun. Bagian
yang harus diterima semuanya dijelaskan sesuai kedudukan nasab terhadap
pewaris, apakah dia sebagai anak, ayah, istri, suami, kakek, ibu, paman, cucu, atau
bahkan hanya sebatas saudara seayah atau seibu. Seiring berkembangnya zaman,
masalah kewarisan dikembangkan secara kompleks oleh para fuqoha. Dalam
kewarisan tersebut mereka mengelompokkan pihak-pihak dalam hal warisan
diantaranya Ashabah.

Mewariskan dengan cara Ashabah merupakan cara kedua untuk


memberikan harta waris kepada ahli waris si mayit. Sebab, sebagaimana yang kita
ketahui bahwa pembagian harta waris dapat dilakukan dengan dua cara yaitu fard
dan ta'shib (ashabah). Ahli waris yang mewarisi bagian tetap lebih didahulukan dari
pada ahli yang menjadi ashabah. Hal ini dikarenakan kedudukan ashabul furudh
lebih utama daripada kedudukan ashabah. Nabi SAW bersabda. “Berikanlah
bagian-bagian tetap itu kepada orang yang berhak, dan jika ada sisa, baru untuk
laki-laki dari keturunannya”.
Dalam istilah ulama fiqh ashabah berarti ahli waris yang tidak mempunyai
bagian tertentu, baik besar maupun kecil, yang telah disepakati para ulama (seperti
ashabu furudh) atau yang belum disepakati oleh mereka.

Rumusan Masalah
1. Apa pengertian ahli waris ashabah ?
2. Apa saja macam-macam ashabah ?
BAB II

PEMBAHASAN

A. 'Ashabah
Ashabah adalah bentuk jama' dari kata ‫ عاصب‬yakni ahli waris yang
mendapat harta warisan dengan bagian yang tidak ditentukan.1 Sedangkan ahli
faroid mendefinilkan 'ashabah yaitu setiap orang yang mendapat seluruh harta
jika berada sendirian dan mendapat sisanya setelah Ashabul furudh mendapat
bagian mereka yang telah ditentukan.2 Jika ahli waris mayit hanya mereka,
maka mereka mengambil semua harta, dan apabila bersama mereka ini ada ahli
waris yang mendapat bagian furudh, maka mereka mengambil sisa harta
setelah bagian furudh diberikan. Namun jika harta tidak tersisa, maka mereka
tidak mendapat apa-apa.3

Dalam pembagian sisa harta warisan, ahli waris yang terdekatlah yang
lebih dahulu menerimanya. Konsekuensinya adalah, ahli waris yang peringkat
kekerabatannya dibawah tidak mendapatkan bagian. Hal ini berdasarkan hadist
Rasulullah :

َ ‫ْلحِ قُوا ْالف ََرائ‬


َ ‫ِض بِأ َ ْه ِل َها فَ َما بَق‬
‫ِي فَ ُه َو ِّل َ ْولَى َر ُجل ذَكَر‬

"Berikanlah warisan kepada ahli waris yang berhak menerimanya dan


jika tersisa, maka diberikan kepada ahli waris laki-laki yang lebih berhak
menerimanya”. (H.R Al-Bukhari dan Muslim ).

Ahli waris ashabah harus menunggu sisa pembagian dari ahli


waris yang telah ditentukan bagiannya, dan keistimewaan ashabah ini ia dapat

1
1. Muhammad bin Shahil al-'Utsaimin, Panduan Praktis Hukum Waris, (Bogor, Pustaka Ibnu
Katsir, 2009) hlm. 96
2
Muhammad Ali Ash-Shabuni, Ilmu Hukum Wris Menurut ajaran Islam, (Surabaya, Mutiara Ilmu,
2010) hlm.55
3
Suhrawardi K.Lubis, Hukum Waris Islam (Jakarta, Sinar Grafika, 2007) hlm 99
menghabiskan seluruh kalau ahli waris yang ditentukan bagiannya sudah
mengambil apa yang menjadi haknya.

A. Macam-macam 'Ashabah
Ashabah terbagi menjadi 2 bagian yaitu "Ashabah Nasabiah dan
Ashabah Sababiyah. Nasabiah adalah ashabah yang disebabkan oleh nasab.
Sedangkan ashabah Sababiah adalah ashabah yang disebabkan pembebasan
budak.4

I. Ashabah Nasabiah

adalah ashabah yang disebabkan oleh nasab. Adapun macam-


macam ashabah nasabiah terbagi kepad 3 macam yaitu:

1. Ashabah bin Nafsi


Yaitu ahli waris yang karena kedudukan dirinya sendiri
berhak menerima bagian ashabah, ahli waris kelompok ini
semuanya laki-laki, kecuali mu'tiqah (orang perempuan
yang memerdekakan hamba sahaya) yaitu terdi dari:
✓ Anak laki-laki
✓ Cucu laki-laki dari garis laki-laki
✓ Bapak
✓ Kakek (dari garis bapak)
✓ Saudara laki-laki sckandung
✓ Saudara laki-laki scayah
✓ Anak laki-laki saudara laki-laki sekandung
✓ Anak laki-laki saudara laki-laki se ayah Paman
CCCCCCCCCCCCCCsekandung
✓ Paman se ayah
✓ Anak laki-laki paman sekandung

4
Muhammad Ali Ash-Shabuni, Op. Cit, hlm 57
✓ Anak laki-laki paman se ayah
✓ Mu'tiq atau mu'tiqah (orang laki-laki atau perempuan
SSSSSSSSSSSSSSSSyang memerdekakan hamba sahaya).5

Sebagai contohnya, jika seseorang meninggal dunia dengan meninggalkan


ahli waris seorang ayah dan seorang anak laki-laki, maka ayah mendapatkan 1/6
dan selebihnya diberikan kepada anak laki-laki sebagai bagian ashabah. Dalam hal
ini bapak tidak mendapatkan ashabah, sebab jalur bunuwwah mendahului arah
ubuwwah.”6 Hukum 'ashabah bin nafsi “

"Ashabah bin nafsh mempunyai empat arah dan derajat kekuatan hak
warisnya sesuai urutannya. Hingga salah satunya secara tunggal (sendirian)
menjadi ahli waris seorang yang meninggal dunia, maka ia berhak mengambil
seluruh warisan yang ada. Namun bila ternyata pewaris mempunyai ahli waris dari
'ashabul furudh, maka sebagai ashabah mendapat sisa harta setelah dibagikan
kepada ashabul furudh. Dan bila setelah dibagikan kepada 'ashabul furudh ternyata
tidak ada sisa, maka para 'ashabah tidak mendapat bagian.

Adapun bila para 'ashabah bin nafsh lebih dari satu orang, maka cara
penarjihannya (pengunggulannya) sebagai berikut:

Pertama: penarjihan dari segi arah

Apabila ada suatu keadaan pembagian waris terdapat beberapa 'ashabah bin nafs,
maka pengunggulannya di lihat dari segi arah. Arah anak lebih didahulukan.
dibanding yang lain. Anak akan mengambil seluruh harta peninggalan yang ada,
atau akan menerima sisa harta waris setelah dibagikan kepada 'ashabul furudh
bagian masing-masing. Apabila anak tidak ada, maka cucu laki-laki dari keturunan
anak laki-laki dan seterusnya. Sebab cucu akan menduduki posisi anak bila anak

5
Ahmad Rofiq, Op., Cit
6
6. Muhammad bin Shalih al-'Utsaimin, Op. Cit, hlm 101
tidak ada. Misalnya, seseorang wafat dan meninggalkan anak laki-laki, ayah, dan
saudara kandung. Dalam keadaan demikian, yang menjadi 'ashabah adalah anak
laki-laki. Sebab arah anak lebih didahulukan dari pada arah yang lain. Sedangkan
ayah termasuk ashabul furudh karena mewarisi bersama-sama dengan anak laki-
laki. Sementara itu, saudara kandung laki-laki tidak mendapatkan waris
dikarenakan arahnya lebih jauh.

Kedua: penarjihan secara derajat

Apabila dalam suatu keadaan pembagian waris terdapat 'ashabah bin nafs,
kemudian merekapun dalam satu arah, maka penarjihannya dengan melihat derajat
mereka, siapakah diantara mereka yang paling dekat pada pewaris. Sebagai misal,
seseorang wafat dan meninggalkan anak dan cucu keturunan anak laki-laki. Dalam
hal ini hak warisnya secara 'ashabah diberikan kepada anak, sedangkan cucu tidak
mendapatkan bagian apapun. Sebab, anak lebih dekat kepada pewaris dibandingkan
cucu laki-laki.

Ketiga: penarjihan menurut kuatnya kekerabatan.

Bila dalam suatu kedaan pembagian waris terdapat banyak ashabah bin nafsi yang
sama dalam arah dan derajatnya, maka penarjihannya dengan melihat manakah
diantara mereka yang paling kuat kekerabatannya dengan pewaris. Misal: saudara
kandung lebih kuat dari pada seayah, paman kandung lebih kuat dari pada paman
seayah, anak dari saudara kandung lebih kuat dari pada anak dari saudara seayah
dan seterusnya. Dalam hal ini hanya digunakan untuk arah saudara dan arah paman.
2. 'Ashabah bil ghair

Yaitu ahli waris yang menerima bagian dari sisa karena bersama-
sama dengan ahli waris yang telah menerima bagian sisa apabila ahli
waris penerima sisa tidak ada maka ia tetap menerima bagian tertentu.
Ahli waris penerima 'ashabah bil ghair tersebut terdiri dari:

A. Anak perempuan bersama-sama dengan anak laki-laki


B. Cucu perempuan garis laki-laki bersama dengan cucu laki-laki
garis laki-laki
C. Saudara perempuan sekandung bersama saudara laki-laki
sekandung
D. Saudara perempuan se ayah bersama dengan saudara laki-laki se
ayah."7

Adapun syarat-syarat 'ashabah bil ghair:

1. Perempuan tersebut tergolong ahli waris ashabul furud (mempunyai


bagian tetap). Orang perempuan yang tidak tergolong ashabul furud
walaupun ia mewarisi bersama dengan muasib-nya, tidak menjadi
ashabah bil ghair. Misalnya, anak perempuannya saudara laki-laki
sekandung tidak dapat menjadi ashabah dengan saudara laki-laki
sekandung. Hal ini, karena anak perempuannya saudara laki- laki
sekandung tidak mempunyai bagian tetap. Demikian juga, saudara
perempuan ayah sekandung tidak dapat menjadiashabah dengan
saudara laki- laki ayah sekandung. Karena saudara perempuan ayah
sekandung tidak memiliki bagian tetap.
2. Antara perempuan yang mempunyai bagian tetap (ashabul furud)
dengan orang yang meng-ashabah-kan (muasibnya) memiliki tingkatan
(dalam jihat) yang sama.Dengan demikian, anak perempuan atau cucu
perempuan dari anak laki-laki yang mewarisi bersama saudara kandung

7
Suhrawardi K.Lubis, Op.Cit hlm 100
tidak menjadi ashabah bil ghair, karena kedudukan derajat mereka tidak
sama. Anak perempuan dari anak laki-laki jihatnya adalah bunuwwah,
sedangkan saudara sekandung jihatnya adalah ukhuwwah.
3. Orang yang meng-ashabah-kan (muasib) harus sama derajatnya dengan
perempuan yang mempunyai bagian tetap (ashabul furud). Oleh karena
itu, cucu perempuan dari anak laki-laki bila ia mewarisi bersama
dengan anak laki-laki, tidak dapat menjadi ashabah bil ghair
sebagaimana halnya saudari kandung bila bersama-sama anak laki-laki
saudara kandung. Dalam contoh terakhir, saudara kandung mendapat
bagian, kemudian sisanya yaitu ½ di berikan kepada anak laki-laki
saudara sekandung secara ashabah.
4. Adanya persamaan kekuatan kerabat antara perempuan ashabul
furuddengan muasib-nya. Saudari kandung yang mempunyai (yang
mempunyai dua jurusan kekerabatan) bila bersama-sama dengan
saudara seayah (yang hanya mempunyai satu jurusan kekerabatan)
tidak dapat menjadi ashabah bil ghair, kecuali cucu perempuan dari
anak laki-laki yang dapat menjadi ashabah bil ghair dengan cucu laki-
laki dari anak laki-laki yang lebih rendah derajatnya, bila ia di butuhkan
oleh cucu perempuan tersebut untuk memperoleh warisan."8

Adapun beberapa contoh dari ashabul bil ghair yaitu:

a. Seseorang wafat meninggalkan anak perempuan, ibu, dan paman,


dalam hal ini anak perempuan memperoleh ½ dari harta warisan, ibu
memperoleh 1/6 berdasarkan furudh dan paman mendapatkan
sisanya ashabah.
b. Seseorang wafat meninggalkan 2 anak perempuan, istri, dan paman,
dalam hal ini dua anak perempuan memperoleh 2/3 bagian

8
Dian Khairul Umam, Fiqih Mawaris, (Cet: III, Bandung, Pustaka Setia, 2006) hlm 89-90
berdasarkan ketentuanfurudh, istri mendapatkan 1/8 bagian
berdasarkan ketentuan furudh, dan paman mendapatkan sisanya
ashabah.
c. Seseorang wafat meninggalkan ayah, ibu, anak laki-laki, dan anak
perempuan dalam hal ini, ayah memperoleh 1/6 bagian berdasarkan
ketentuan furdh, ibu memperoleh 1/6 bagian berdasarkan ketentuan
furudh,dan anak laki-laki dan anak perempuan mendapatkan sisanya
sebagaiashabah dengan ketentuan bagian kali-laki adalah dua kali
lipat bagian perempuan.9

3. Ashabah ma'al ghair


Ashabah ma'al ghair adalah ahli waris yang menerima bagian
ashabah karena bersama ahli waris lain yang bukan penerima
bagian ashabah. Apabila ahli waris lain tadi tidak ada, maka
menerima bagian tertentu. Ashabah ma'al ghair ini diterima ahli
waris:
✔ Saudara perempuan sekandung (seorang atau lebih) karena
bersama dengan anak perempuan (seorang atau lebih), atau
bersama dengan cucu perempuan garis laki-laki (seorang atau
lebih). Misalnya, seorang meninggal ahli warisnya terdiri dari
seorang anak perempuan, saudara perempuan dan ibu. Maka
bagian:

• Anak perempuan 1/2


• Saudara perempuan sekandung Ibu ashabah ashabah

9
M. Thaha Abul Ela Khalifah, Hukum Waris, (Cet. 1 Solo, Tiga Serangkai, 2007) hlm.409
• Ibu 1/6

✓ Saudara perempuan seayah (seorang atau lebih) bersama


dengan anak atau cucu perempuan (seorang atau lebih). Misalnya
seorang meniggal, ahli warisnya terdiri dari seorang anak
perempuan, seorang cucu perempuan garis laki-laki dan dua orang
saudara perempuan seayah. Maka bagian masing-masing adalah:

• Anak perempuan 1/2


• Cucu perempuan garis laki-laki 1/6
• 2 saudara perempuan seayah ashabah

Yang menjadi ashabah ma'al ghair ini adalah saudara


perempuan seibu sebapak karena mewaris bersama dengan anak
perempuan, cucu perempuan, cicit perempuan, dan seterusnya.
Apabila saudara perempuan seayah seibu menjadi ashabah bersama
lainnya, maka ia menjadi seperti saudara lelaki seayah maupun
seibu. Maka ia menutupi saudara-saudara seayah, baik laki-laki
maupun perempuan dan menutup ashabah yang derajatnya di bawah
mereka seperti anak-anak lelaki dari saudara-saudara lelaki dan
paman-paman seayah seibu atau seayah.
Begitu pula saudara perempuan seayah bilamana menjadi
ashabah bersama anak perempuan. la menjadi sama kekuatannya
dengan saudara lelaki seayah dan menutup anak-anak lelaki dari
saudara lelaki dan yang sesudah mereka"10

10
Muhammad Ali Ash-Shabuni, Op.Cit., hlm 62-65
Contoh kasus 1:

Seseorang wafat meninggalkan seorang anak perempuan,


cucu perempuan dan saudara kandung perempuan, dalam hal ini
seorang anak perempuan memperoleh ½ dari harta warisan, cucu
perempuan memperoleh 1/6 dari harta warisan untuk melengkapi
2/3, dan saudara kandung perempuan memperoleh sisa sebagai
ashabah.

Contoh kasus 2:
Seorang wanita wafat meninggalkan suami, ibu, dua anak
perempuan, dan saudara perempuan scayah, dalam hal ini suami
memperoleh dari harta warisan, ibu memperoleh 1/6 dari harta
warisan, dua anak perempuan memperoleh 2/3 bagian. Dari contoh
diatas dapat diketahui bahwa ashabah ma al ghair memiliki dua
kondisi dalam warisan:

a) mewarisi apa yang tersisa setelah ashabul furud sebagaimana


dalam contoh pertama.
b) Tidak mewarisi apapun. Hal itu terjadi jika seluruh harta
warisan telah habis dibagikan kepada asbabul furud.

Perbedaan Ashabah Bil Ghair dan Ashabah Ma'al Ghair


Ashabah bin nafsi adalah setiap perempuan yang
mempunyai bagian tetap (ashabul furud) kemudian mendapatkan
ashabah dengan saudaranya. Misalnya, anak perempuan dengan
anak laki-laki, saudara perempuan sekandung dengan saudara laki-
laki sekandung, dan seterusnya, ketentuan hukum warisannya adalah
seorang laki-laki mendapatkan bagian dua kali lipat bagian
perempuan.

Adapun ashabah ma'al ghair adalah ashabah yang diperoleh


saudara perempuan dengan beberapa anak perempuan. Ketentuan
hukum warisnya adalah saudara-saudara perempuan mendapatkan
sisa harta warisan setelah dibagikan kepada ahli warisyang
mempunyai bagian tetap (ashabul furud). Dari ketentuan ini dapat,
dapat di ketahui letak perbedaannya, yaitu dalam ashabah bil ghair,
selalu ada orang-orang yang memperoleh ashabah dengan dirinya
sendiri, yaitu anak laki-laki, anak laki-lakinya anak laki-laki, saudara
laki-laki sekandung, dan saudara laki-laki seayah. Adapun. dalam
ashabah ma'al ghair tidak ada orang mendapat ashabah dengan
dirinya sendiri. lain (ahli waris) yang mendapatkan ashabah dengan
dirinya sendiri.

Dalam Syarah Syirajiyah dijelaskan bahwa perbedaan


tersebut dapat di lihat dari dua segi, yaitu:

a) Dari segi mu'asib-nya


Muashib ashabah bil ghair adalah para ashabah bin nafsi,
seperti anak laki-lak, cucu laki-lakidari anak laki-laki, dan
saudara sekandung atau seayah

b) Dari segi penerimaan pusaka


Pada ashabah bil ghair baik orang yang di ashabahkan maupun
muasibnya, bersama-sama menerima bagian ashabah dari
ashabul furud, atau seluruh harta peninggalan bila seluruh ahli
waris hanya ashabah saja, dengan ketentuan, laki-laki mendapat
bagian dua kali lipat bagian perempuan.
Adapun pada ashabah ma'al ghair, muasibnya tidak turut
menerima usubah. la hanya di minta untuk meng-ashabahkan saja.
Selesai tugasnya, ia menduduki fungsinya sebagai ashabul furud."11

B. Ashabah sababiyah

Ashabah sababiyah adalah ashabah yang terjadi karena telah


memerdekakan budak. Nabi SAW bersabda: "Hak ketuanan itu
milik orang memerdekakannya". Orang laki-laki atau perempuan
yang memerdekakan budak tidak boleh menjadi ahli waris, kecuali
apabila yang bekas budak itu tidak meninggalkan orang yang
termasuk ashabah nasabiyah. Dari Abdullah bin Syaddah dari
putrid Hamzah, ia berkata: "Bekas budakku telah meninggal dunia
dan ia meninggalkan seorang putri, maka Rasulullah SAW
membagi harta peninggalannya kepada kami dan kepada putrinya,
yaitu beliau menetapkan separuh untukku dan separuh lagi untuk
dia”

11
Dian Khairul Umam, Op.Cit.,hlm 94-95
ВАВ Ш
PENUTUP

D. Kesimpulan

Kata ashabah merupakan jamak dari ‫ عاصب‬yang berarti kerabat seseorang


dari pihak bapaknya dalam memberikan defenisi ashabah atau ta'shib pada
hakikatnya, para ulama faraid mempunyai kesamaan persepsi dan asal-usul
antara lain sebagai mana yang dikemukakn Rifa'l Arif. Dalam pengertian lain
ashabah adalah bagian sisa setelah diberikan kepada ahli waris ashbul al-furud.
Sebagai ahli waris penerima bagian sisa, ahli waris ashabah terkadang
menerima bagian banyak (seluruh harta warisan) terkadang menerima bagian
sedikit, tetapi terkadang tidak menerima bagian sama sekali, karena telah habis
diberikan kepada ahli waris ashabul al-furud.

Macam-macam Ashabah

1. Ashabah bi nafsi

Yaitu ahli waris yang karena kedudukan dirinya sendiri berhak


menerima bagian ashabah, ahli waris kelompok ini semuanya laki-
laki, kecuali mu'tiqah (orang perempuan yang memerdekakan hamba
sahaya)

2. Ashabah bi al-ghair

Yaitu ahli waris yang menerima bagian sisa karena bersama-sama


dengan ahli waris yang telah menerima bagian sisa apabila ahli waris
penerima sisa tidak ada maka ia tetap menerima bagian tertentu.

3. Ashabah ma'al-ghair

Yaitu ahli waris yang menerima bagian sisa karena bersama-sama


dengan ahli waris lain yang tidak meneriman bagian sisa.
DAFTAR PUSTAKA

Ash Shabuni, Ali. 2010. Ilmu hukum waris menurut ajaran islam. Surabaya
Mutiara Ilmu

Rofiq, Ahmad. 1993.fiqih waris. Jakarta: Raja Grafindo Persada Utsaimin, Shahil,
2009. Panduan Praktis, fiqih waris, Bogor Pustaka Ibnu Katsir

Umam, Dian Khairun. 2006. fiqih waris. Bandung Pustaka Setia

Lubis K, Suhrawardi. 2007.hukum waris islam. Jakarta: Raja Grafindo Persada


Khalifah, Thaha Abul Ela. 2007.hukum waris. Solo: Tiga Serangkai Sayid Sabiq..
Mahyudin Syaf, terjemahan 1993 Figh Sunnah, jil. 14, Penerbit Al-Maarif,
Bandung

Faturrahman.,1987, Ilmu mawaris PT-Al-Ma'arif, bandung: Bulan Bintang

Anda mungkin juga menyukai