Anda di halaman 1dari 14

KEDUDUKAN A KAL MENURUT AL-QURAN DAN AS-SUNNAH

Untuk memenuhi Tugas Matakuliah Tafsir Hadits Pendidikan

Dosen Pengampu: Dr. Ahmad Alim, Lc, M.PDi.


Oleh: Ridwan Wirabumi Asri

UNIVERSITAS IBN KHALDUN


BOGOR
2020
I. Pendahuluan

A. Latar Belakang maslah


Allah berfirman :
ِ ‫ٍِش ٍِ ََّ ِْ َخيَ ْقَْا ت َ ْف‬
ً ‫ض‬
‫ٍل‬ َ ٌْ ُٕ‫ت َٗفَض َّْيَْا‬
ٍ ‫عيَ ٰى َمث‬ َّ ‫َٗىَقَذْ م ََّش ٍَْْا تًَِْ آدَ ًَ َٗ َح ََ ْيَْإُ ٌْ فًِ ْاىثَ ِ ّش َٗ ْاىثَحْ ِش َٗ َسصَ ْقَْإُ ٌْ ٍَِِ اى‬
ِ ‫طٍِّثَا‬
“Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, Kami angkut mereka di
daratan dan di lautan, Kami beri mereka rezeki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan
mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami
ciptakan.”
Ayat ini menunjukkan bawa manusia adalah makhluk yang banyak diberikan
keistimewaan. Diantaranya adalah akal fikiran yang menjadi karakteristik dan
identitasnya yang membedakannya dari banyak makhluk lainnya.
Karena itu, dalam mendefiniskan kata al-insan (baca : manusia) para filosof
menyebutkan :
‫األّساُ حٍ٘اُ ّاطق‬
Manusia adalah Hayawan Natiq.
Kata hayawan yang dimaksud disini adalah yang memiliki kehidupan. Sedangkan natiq
secara literal berasal dari kata nutq yang memiliki arti berbicara meski sebenarnya bisa
juga dimaknai dengan kemampuan berfikir dan mengarttikulasikan buah fikiran
diantarnya dengan berbicara. Karenanya kata mantiq yang juga diambil dari kata nutq
yang saat ini menjadi salah satu cabang ilmu yaitu ilmu mantiq bisa dimaknai logika. 1
Sejalan dengan itu, Omar Mohammad Al-Toumy Al-Syaibany menerangkan
bahwa manusia merupakan makhluk yang dianggap paling mulia dikarenakan manusia
memiliki kemampuan berfikir.2 Karena kata manusia sendiri secara bahasa berasal dari
kata “manu” (Sansekerta), mens (latin) yang berarti berfikir dan berakal budi. Dan secara
biologis, manusia diklasifikasikan sebagaai Homo sapiens (Bahas Latin) yang berarti
manusia yang tahu, sebuah spesies primate dari golongan mamalia yang dilengkapi otak
berkemampuan tinggi. 3
Maka akal merupakan anugrah besar yang ada pada manusia yang memiliki
potensi luar biasa. Karena itulah Allah menjadikan manusia sebagai penerima mandat
kekhilafahan di muka bumi. Akan tetapi dengan segala kehebatan yang dimilikinya, akal
tetap memiliki keterbatasan untuk bisa mengetahui segala hal dan berperan dalam segala
hal. Termasuk hal-hal yang paling bermaslahat untuk kehidupannya dan dalam mengatur

1 At-Taumi Al-Syaibani, Umar Muhammad, Falsafah at-Tarbiyah al-Islamiyyah, hal.83


2 At-Taumi Al-Syaibani, Umar Muhammad, Falsafah at-Tarbiyah al-Islamiyyah, hal.83
3 Wikipedia
kehidupannya. Akal tidak bisa memahaminya secara baik kecuali dengan bimbingan
wahyu Allah.
Akal dengan wahyu diibaratkan ulama seperti mata dan cahaya. Ibnu Taimiyah
mengatakan “Akal tidaklah bisa berdiri sendiri, akal baru bisa berfungsi jika dia memiliki
naluri dan kekuatan sebagaimana mata bisa berfungsi jika ada cahaya. Apabila akal
mendapatkan cahaya iman dan Al-Qur‟an barulah akal bisa seperti mata yang
mendapatkan cahaya matahari. Jika tanpa cahaya tersebut, akal tidak akan bisa melihat
atau mengetahui sesuatu”.4
Akal adalah pemahaman dan pemikiran. Akal adalah pembeda antara petunjuk
dan kesesatan. Akal adalah pandangan dan perenungan. Begitulah yang diungkapkan oleh
Abbas Mahmud Al‟Aqqad dalam Al-Insan fil-Quran. 5
Akan tetapi dalam perjalanannya, akal memilki catatan sejarah yang kelam. Akal
acap kali dieksploitasi oleh hawa nafsu sehingga melampaui kapasitasnya dan
kewenangannya, dikultuskan bahkan sampai dipertuhankan.
Iblis misalnya, ketika Allah memerintahkannya untuk sujud kepada Adam, ia
malah membantah dengan logikanya. Ia berasumsi dengan akalnya yang sakit, bahwa api
lebih baik daripada tanah sehingga tidak pantas Iblis yang diciptakan dari api sujud
kepada Adam yang diciptakan dari tanah.
Kemudian filsafat Barat yang secara histori muncul pada tahun 650 SM di
Athena, Yunani. Dalam perspektif para filosof, akal erat kaitannya dengan filsafat.
Karena filsafat adalah ilmu yang berusaha mencari sebab yang sedalam-dalamnya bagi
segala sesuatu berdasarkan rasio atau fikiran. Dan pada akhirnya mereka menolak
eksistensi Tuhan dan memunculkan paham atheis dan sekuler karena tidak sejalan dengan
akal mereka.6
Dan ironisnya kaum muslimin yang Allah berikan pedoman berupa Al-Quran dan
Hadits untuk menjalani dan mengatur kehidupan ini pun akhirnya terkontaminasi dengan
pola fikir Iblis dan para filsafat Yunani.
Sebut saja sekte teologi, Muktazilah, yang mengedepankan akal dari pada wahyu.
Tokoh utama mereka, Amru Bin Ubaid ketika disampaikan kepadanya hadits yang
diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim yang jalur periwayatannnya dari Al-„Amasy, dari
Zid Bin Wahb, dari Abdullah Bin Mas‟ud, dari Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, ia
mengatakan : “Kalau aku mendengar Al‟Amasy mengatakan ini aku akan mendusatinya.
Jika aku mendengar langsung Zaid bin Wahb yang mengatakannya, aku tidak akan
membenarkannya. Jika aku mendengar Abdullah bin Mas‟ud mengatakannya maka aku
tidak akan menerimanya, Jika aku mendengar Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam

4 Majmu’ Fatawa Ibnu Taimiyah 3/339.


5 Al-‘Aqqad, Abbas Mahmud, Al-Insan Fil-Quran cet.2005, hal. 17-18
6 Rian Hidayat, Akal dalam Perspektif Barat dan Islam, hal.1
mengatakannya, aku menolaknya, Jika aku mendengar Allah yang mengatakannya aku
akan katakana, „Bukan diatas ini Engkau mengambil perjanjian dengan kami‟”. 7
Dan saat ini, kaum yang menamakan diri mereka dengan al‟Aqlaniyyun maupun
pengusung pemahaman libralisme pun menjadi penerus eksistensi perjuangan para
pemuja akal. Salah seorang diantara mereka berkata, “Para pemeluk Islam telah
berkonsensus - kecuali sebagian kecil di antara mereka yang tidak perlu digubris - bahwa
jika akal dan naql (wahyu) saling bertentangan, maka apa yang ditunjukkan oleh aqly
harus diambil.”8
Seorang jurnalis yang juga menganggap dirinya sebagai pemikir ulung yang
bernama Fahmy Huwaidy berkata di dalam sebuah artikelnya yang berjudul Watsaniyyun
Hum Abadatun-Nushush, “Kaum paganis adalah para penyembah nash, mengerahkan
segenap upaya peniadaan rasio di hadapan nash, dan ini merupakan gambaran paganisme
modern. Sebab yang disebut paganis itu tidak hanya orang-orang yang menyembah
berhala. Tetapi paganisme pada zaman sekarang berubah menjadi penyembahan terhadap
simbol-simbol yang tertuang dalam tulisan dan ritual keagamaan.”9
Di sisi lain, tidak sedikit pula yang menyia-nyiakan nikmat ini, tidak
memaksimalkan dan mengoptimalkan fungsi akal dengan sebaik-baiknya. Semisal kaum
musyrikan yang menyembah selain Allah dan berdoa meminta kepada selain pada
dasarnya mereka telah membunuh akal mereka untuk bisa memahami hakikat
penyembahan yang tidak boleh diberikan kepada selain Allah. Dalam Al-Quran orang-
orang musyrik atau orang-orang yang tidak beriman kepada Allah sering kali diajak
untuk berfikir merenung dengan akal mereka tentang hakikat peribadatan dan siapa yang
berhak untuk diibadahi.
Kaum yang berpaling dari mempelajari Al-Quran dan As-sunnah atau Islam pun
pada hakikatnya mereka telah memarginalkan akal yang merupakan fasilitas terbaik
untuk mempelajari dinul Islam berdasarkan sumber-sumbernya yang otentik Al-Quran
dan As-Sunnah. Mereka menggunakan akal hanya untuk hal-hal yang beroerientasi
kepada kehidupan dunia yang tidak lebih berharga dari pada sayap seekor nyamuk. Allah
berfirman menceritakan pengakuaan orang kafir di akhirat nanti.
Ada pula sekelompok mencedarai akalnya dengan bersikap taklid buta tanpa mau
bersikap ilmiyah terhadap perkara-perkara duniawi dan perkara-perkara agama.
Dari sinilah kita ingin menjelaskan bagaimana konsep akal dalam Islam dan
mendudukkannya sesuai fungsional dan kapasitas yang telah diberikan Allah kepadanya
berdasarkan apa yang telah Allah terangkan dalam Al-Quran dan as-Sunnah.

7 Taujihat Manhajiyah fit Tahshilil-Ilmiy hal. 48, Prof. Dr. Zaid Abdul Karim Az-Zaid
8 Lihat perkataan2 ini dalam kitab Ali Hasan al-Halabi, yang berjudul Al’Aqlaniyyun Afrakhul Mu’tazilah, pada fasal
keempat, Maqalat al-Aqlaniyyin Qadiiman wa Haditsa.
9 Idem
B. Metode Penelitian
Deskriftif kualitatif adalah metode yang digunakan dalam pemhasan ini. Dimana
metode ini bertujuan memberikan gambaran tentang kedudukan Akal yang sumber
referensinya adalah Al-Quran dan as-Sunnah berdasarkan keterangan para ulama dalam
karya-karya ilmiyah mereka baik berupa tafsir, syarah hadits ataupun yang lainnya.
Sedang studi kepustakaan merupaka tekhnik yang digunakan dalam pegumpulan datanya

II. Pembahasan

A. Kajian Teoritis
Pengertian Akal
Kata akal sendiri merupakan serapan dari bahawa arab, ‫( اىعقو‬al-„aqlu) yang
memiliki makna asal ‫( اىحثس‬al-habsu) yang berarti mengekang, ‫( اىَْع‬al man‟u) yang
berarti menghalangi, ‫( اإلٍساك‬al-imsaku) yang menahan menahan. 10 Dalam hadits, Nabi
SAW memerintahkan untuk mengikat unta dengan sabdanya :
‫اعقيٖا ٗت٘مو عيى هللا‬
“Ikatlah dan bertawakkallah kepada Allah”. (HR. Tirmidzi)

Akal didefinisikan dengan makna tersebut karena berkaitan dengan fungsi akal
yang digunakan untuk membedakan baik buruk sesuatu, kelebihan dan kekurangan
sesuatu, dan menimbang mana yang lebih baik dari dua kebaikan, dan yang paling buruk
dari dua keburukan11 sehingga dikatakan:
ٓ‫اىعاقو اىزي ٌحثس ّفسٔ ٌٗشدٓ عِ ٕ٘ا‬
Orang berakal adalah yang mampu mengekang dan mengembalikannya dari hawa
nafsunya. 12
Fairuz Abadi mengatakan, „Dinamakan akal dikarenakan dia memberikan pemahaman
kepada pemiliknya dari perkara yang tidak baik‟. 13
Dari paparan di atas maka bisa kita katakan, kelebihan utama yang diberikan
kepada manusia sehingga ia mendapat predikat makhluk paling sempurna adalah adanya
akalnya. Akal inilah yang membedakan manusia dengan makhluk ciptaan Allah lain.
Dengan akal manusia mampu memilih, mempertimbangkan, dan mengupayakan jalan
hidupnya. Dengan akal manusia dapat mengendalikan hawa nafsunya, dan dapat
membedakan mana yang hak dan mana yang batil, mana yang boleh dimakan dan mana
yang tidak boleh dimakan, mana yang bisa dinikmati dan ana yang tidak boleh
dinikmatinya.

10 Lihat, Ibnu Faris Mu’jam Maqayis al-Lughah 1/69, Ibnu Mandzur, Lisanul Arab 11/458,
11 Al-Qamus al-Muhith, hal.1336
12 Ibnu Mandzur, Lisan Al-‘Arab, 11/458.
13 Bashairu Dzawi at-Tamyiiz, 4/85.
Akal secara istilah

Berkaitan dengan makna akal secara istilah, terdapat banyak variasi dan
perbedaan yang disebutkan para ahli.
Menurut KBBI, akal adalah daya pikir untuk memahami sesuatu atau kemampuan
melihat cara-cara memahami lingkungannya14.

Muhammad Abduh berpendapat bahwa akal adalah suatu daya yang hanya dimiliki
manusia dan oleh karena itu dialah yang memperbedakan manusia dari mahluk lain. 15

Menurut para ahli filsafat, mereka memutlakan kata akal kepada makna-makna
berikut :
1. Benda yang sederhana yang dapat menjangkau segala hal dan hakikat-hakikatnya.
2. Kekuatan jiwa yang dengannya dapat diperoleh gambaran tentang makna-makna,
tersusunnya ketentuan-ketentuan dan analogi-analogi.
3. Kekuatan dalam menepati suatu hukum.
4. Kekuatan insting yang ada pada jiwa yang siap menerima ilmu pengetahuan. 16
Ali Hasan al-Halabi berpendapat, definisi yang paling tepat adalah kata akal
digunakan untuk empat makna :
1. Insting, yang dengannya manusia mengetahui dan memahami seperti kekuatan
penglihatan pada mata, kekuatan indra perasa pada lisan dan dia adalah syarat dalam
logika dan pengetahuan. Dan dia adalah poros pembebanan syariat, dan dengannya
manusia dibedakan dari seluruh hewan.
2. Ilmu Dharuri (Pasti), yang mencakup semua orang-orang yang berakal, seperti ilmu
yang berkaitan dengan perkara-perkara yang mungkin terjadi, kewajiban-kewajiban
dan ketidakmungkinan-ketidakmungkinan yang dikenal oleh para filosof dan ahli
kalam.
3. Teori-teori ilmu pengetahuan yang diperoleh dengan analisa dan penelitian.
4. Perbuatan-perbuatan yang merupakan kosekwensi pengetahuan. 17
Makna Akal dalam Al-Quran dan Sunnah

Dalam al-Quran redaksi akal tidak digunakan secara aksplisit akan tetapi
digunakan secara implisit dalam bentuk kata kerja fi‟il mudhari ya‟qilun disebutkan
sebanyak 22 kali dan ta‟qilun disebutkan sebanyak 24 kali. Sedangkan dengan lafazh
na‟qilu dan na‟qiuhu dan aqaluhu, masing-masing disebut satu kali dalam al-Quran.
Kata-kata itu datang dengan kandungan makna paham dan mengerti18.

14 KBBI
15 Tesis : Konsep Akal Menurut Muhammad Abduh dan Implikasinya dalam Pendidikan Islam oleh Aiman Syarif, 2016
16 Al-Aql, Nashir Abdul Karim, al-Ittijahat al-Aqlaniyyah al-Haditsah, hal.15.
17 Al-Halabi, Ali Hasan, Al-‘Aqlaniyun
18 Muhammad Amin, Kedudukan Akal dalam Islam, Jurnal Tarbawi| Volume 3|No 1| ISSN 2527-4082| 80
Disebutkan dalam kitab al-Ittijahat al-Aqlaniyah al-Haditsah, bahwa akal dalam
Al-Quran dan as-Sunnah bermakna sifat atau alat yang digunakan oleh orang yang
berakal untuk membedakan banyak hal dan menjangkau apa yang bisa dijangkau. Dan
akal merupakan sumber atau poros taklif atau pembebanan syariat.
Begitu juga Ibnu Taimiyah berpandangan. Akal menurut kaum muslimin dan
kebanyakan para pemikir adalah sifat yang ada pada orang yang berakal. Dan makna
tersebutlah yang ditunjukan dalam firman Allah SWT :
ُ٘‫ىعينٌ تعقي‬
“Agar kalian berfikir”.
Dan firman-Nya :
‫أفيٌ ٌسٍشٗا فً األسض فتنُ٘ ىٌٖ قي٘ب ٌعقيُ٘ تٖا‬
“Apakah mereka tidak berjalan di muka bumi sehingga mereka dapat memiliki hati yang
digunakan untuk memahami”. (QS. Al-Hajj : 46)
Dan firman-Nya :
ُ٘‫قذ تٍٍْا ىنٌ اٌَات ىعينٌ تعقي‬
“Kami telah terangkan kepada kalian ayat-ayat tersebut agar kalian bisa
memahaminya”. (QS. Ali Imran : 118)
Dan yang semisalnya yang menunjukkan akal adalah kata sumber aqala - ya‟qilu - aqlan.
Jika demikian maka orang yang berilmu saja namun tidak mengamalkannya tidaklah
disebut sebagai orang yang berakal. Begitu juga orang yang beramal tanpa ilmu.
Berdasarkan makna inilah para penduduk neraka berkata :
‫ٗقاى٘ا ى٘ مْا ّسَع أٗ ّعقو ٍا مْا فً أصحاب اىسعٍش‬
“Mereka berkata, „Seandainya kami dahulu mendengar dan berakal, niscaya kami tidak
berada bersama para penghuni neraka Sa‟ir”. (QS. Al-Mulk : 10)19
Adapun dalam sunnah atau hadits Nabi maka didapati sangat banyak sekali
penggunaan kata akal dan turunannya yang menunjukkan kepada asas dan kekuatan
jangkauan, pemahaman, dan pemikiran yang lurus. 20
Hanya saja terkait keutamaan akal yang disebutkan dalam haidits-hadits Nabi
secara eksplisit menurut para peneliti hadits diantaranya Ibnul Qayyim al-Jauziyah dan
Muhammad Nashiruddin al-Albani, tidak ada satu pun hadits yang otentik yang
menyebutkan tentang hal tersebut.21 Diantaranya hadits :

19 Al-Aql, Nashir Abdul Karim, al-Ittijahat al-Aqlaniyyah al-Haditsah, hal.13-14.


20 An-Najjar, Fahmi Quthbid Din, al-Aql fis Sunnah.
21 Lihat kitab Manarul Munif karya Ibnul Qayyim al-Jauziyah, dan Silsilah Ahaadits adh-Dha’ifah wa al-Maudhu’ah
karya Muhammad Nashiruddin al-Albani.
ٔ‫اىذٌِ ٕ٘ اىعقو ٍِٗ ال دٌِ ىٔ ال عقو ى‬
“Agama itu adalah akal, dan seseorang itu tiada agama baginya yang tidak ada akal
baginya.” (HR. An-Nasai dalam kitab al-Kuna).
Macam-Macam Akal
Sebagian ulama memklasifikasikan akal menjadi dua macam yaitu akal insting
(gharizi) dan akal yang diusahakan (iktisabi). Akal insting adalah kemampuan dasar
manusia untuk memahami sesuatu yang sudah ada sejak lahir seperti bayi yang
mempunyai naluri untuk menyusu, makan, tertawa, menangis dan sebagainya. Sedangkan
akal iktisabi adalah akal tambahan atas akal gharizi yang dimiliki seseorang yang
dibentuk oleh pengalaman dan pengetahuan seiring berjalannya waktu sampai dia
berumur 40 tahun. Maka ketika itulah akalnya menjadi sempurna. Allah ta‟ala berfirman :
‫حتى إرا تيغ أشذٓ ٗتيغ أستعٍِ سْة‬
“Hingga ia mencapai puncak kedewasaannya dan berumur 40 tahun”. (QS. Al-Ahqaf :
15)
Yaitu mencapai kesempurnaan akal dan berumur 40 tahun. Setelah itu, akal akan kembali
mengalami penurunan.22

Ini pula yang semakna dengan ucapan Ali Bin Abi Thalib RA,
‫ فل ٌْفع ٍطث٘ع إرا ىٌ ٌنِ ٍسَ٘عا مَا ال ٌْفع ض٘ء اىشَس ٗض٘ء اىعٍِ ٍَْ٘ع‬, ‫ ٍطث٘ع ٍٗسَ٘ع‬: ُ‫اىعقو عقل‬
“Akal itu ada dua macam : Mathbu‟ (yang diciptakan sesuai denga tabiatnya) dan
Masmu‟ yang diperdengarkan (ilmu). Akal mathbu‟ tidak akan bermanfaat apabila dia
tidak masmu‟ sebagaimana sinar matahari tidak akan bermanfaat dalam keadaan sinar
mata terhalangi”.23
Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan, “Jika dua macam akal ini ada pada
seorang hamba, maka itu adalah anugrah besar yang Allah berikan kepada hamba yang
Dia kehendaki, segala urusan kehidupannya akan menjadi baik, dan kebahagiaan akan
menghampirinya dari segala arah.24
Akal Memiliki Keterbatasan
Penjelasan di atas merupakan bukti bahwa akal lebih lemah dari pada ilmu dan
bahwasanya agama tidak bisa dijangkau hanya dengan akal semata karena kelemahan
yang ada padanya. Dan yang menunjukkan akan kebenaran hal ini adalah ketika orang
yang berakal itu mengalami kegilaan atau kehilangan akal iktisabinya maka ia tidak

22 Al-Taimi Al-Asbahani, Abul Qasim Ismail bin Muhammad, Al-Hujjah fi Bayanil Mihajjah 2/535.
23 Az-Zabidi, Muhammad Murtadha, Taj al-Arus 8/35.
24 Al-Jauziah, Ibnul Qayyim, Mifath Dari as-Sa’adah, 1/117
mengerti perkara yang berkaitan dengan akhiratnya dan agamanya. Akan tetapi tersisa
padanya akal gharizinya. 25
Maka dari itu, betapa pun hebatnya kejeniusan dan tingginya kemampuan akal
manusia, namun tetap saja ia merupakan bagian dari kekuatan manusia. Dan tidak bisa
dipungkiri bahwa kekuatan manusia pasti memiliki keterbatasan dan titik nadir. Hal itu
disebabkan karena sumber kekuatan akal berasal dari makhluk yang lemah, dan sumber
yang lemah, tentu akan menghasilkan sesuatu yang lemah pula.
Hal ini bisa dibuktikan dengan banyaknya hakekat yang ada pada alam semesta
ini bahkan ada pada manusia itu sendiri yang tidak bisa dijelaskan dan dijangkau oleh
akal, seperti halnya ruh, mimpi, jin, dan masih banyak lagi yang berkaitan dengan alam
ghaib. Karena itu, ketika datang kepada Imam Malik dan bertanya tentang bagaimana
Istiwanya (bersemyam) Allah diatas Arasy-Nya beliau menjawab,
‫االست٘اء ٍعيً٘ ٗاىنٍف ٍجٖ٘ه ٗاإلٌَاُ تٔ ٗاجة ٗاىسؤاه عْٔ تذعة‬
“Istiwa itu maknanya sudah diketahui, hakikatnya yang tidak diketahui, beriman
dengannya adalah wajib, dan bertanya tentangnya adalah bid‟ah”. (HR. Baihaqi dalam
Asma wa Sifat)
Nabi SAW bersabda,
‫تفنشٗا فً آالء هللا ٗال تفنشٗا فً رات هللا‬
“Fikirkanlah nikmat-nikmat Allah dan janganlah kalian berfikir tentang Dzat Allah”.
(HR. Baihaqi dalam Syu‟ab al-Iman)
Hasil-hasil penelitian manusia yang menggunakan akal sebagai dasarnya yang
berkaitan dengan dunia atau alam semesta pun, ternyata sering didapati adanya perbedaan
dan perubahan seiring perbedaan dan perubahan waktu, seperti teori bumi itu datar atau
bulat, atau teori matahari mengitari bumi atau sebaliknya, dan semisalnya.
Akal tidak akan Kontradiksi dengan Wahyu
Dan dari sini pula muncullah teori dalam teologi Ahlu Sunnah wal Jama‟ah
bahwa Akal yang sehat tidak akan bertentangan dengan nash yang valid atau wahyu baik
Al-Quran maupun hadits shahih. Berbeda dengan muktazilah yang mengedepankan akal
daripada naql atau wahyu.
Dan Ahlu Sunnah menyatakan, apabila ada bagian dari Syariat Islam atau dalil-
dalil dari Al-Quran dan Sunnah yang diklaim kontradiksi dengan akal atau dimustahilkan
oleh akal, maka hal itu kembali kepada salah satu dari tiga perkara :
1. Yang dianggap sebagai hal yang logis pada hakikatnya bukanlah hal yang logis. Atau
yang diklaim sesuai logika hanya hasil dari pemikiran yang rusak. Seperti logika Iblis

25 Al-Halabi, Ali Hasan, Al-Aqlaniyun, hal.21


ketika ia menganggap api lebih baik dari tanah sehingga ia tidak mau sujud kepada
Adam ketika Allah memerintahkannya.
2. Yang dianggap sebagai sebagai wahyu padahal bukan seperti hadits-hadits yang yang
tidak shahih, yang lemah, palsu ataupun tidak ada asal usulnya.
3. Tidak dapat membedakan antara perkara yang dimustahilkan oleh akal dengan
perkara yang tidak dijangkau oleh akal. Syariat ini tidaklah datang dengan sesuatu
yang dimustahilkan oleh akal tapi ada bagian dari syariat ini yang memang tidak bisa
dijangkau oleh akal. Seperti peristiwa Isra dan Mi‟rajnya Nabi Muhammad SAW. 26
Kedudukan Akal Dalam Islam
Islam menempatkan akal dalam kedudukan yang mulia. Bentuk pemulian Islam
bisa digambarkan dalam point-point berikut ini.
1. Islam menjadikan akal sebagai salah satu dari lima perkara yang sangat mendasar
yang harus dilindungi (adh-Dharuriyatul Khams) yaitu: agama, akal, harta, jiwa, dan
kehormatan. Dan dalam rangka inilah, Allah subhanahu wa ta‟ala mengharamkan
khamr untuk menjaga eksistensi akal. Allah SWT berfirman,
َُُ٘‫ٲجتَِْثُُ٘ٓ ىَعَيَّنٌُۡ ت ُ ۡف ِيح‬ َ ٰ ٍۡ ‫ش‬
ۡ َ‫ط ِِ ف‬ َ ِِۡ ٍّ ‫اب َٗ ۡٱأل َ ۡص ٰىَ ٌُ ِس ۡجس‬
َّ ‫ع ََ ِو ٱى‬ ُ ‫ص‬َ َّ‫ٌََٰٰٓأٌَُّ َٖا ٱىَّزٌَِِ َءا ٍَُْ َٰٓ٘اْ إَِّّ ََا ۡٱىخ ََۡ ُش َٗ ۡٱى ََ ٍۡس ُِش َٗ ۡٱأل‬
“Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamr, berjudi,
(berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah perbuatan keji,
termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu
mendapat keberuntungan.” (QS : al-Maidah : 90)

Nabi shallallahu „alaihi wa sallam bersabda,


ْ ٍُ ‫مُ ُّو‬
ً‫سن ٍِش َح َشا‬
“Setiap yang memabukkan itu haram.” (Muttafaqun „alaihi(

Asy-Syinqithi rahimahullah mengatakan, “Dalam rangka menjaga akal maka wajib


ditegakkan hukuman atas peminum khamr.”27
2. Allah SWT menjadikan akal sebagai poros hukum sehingga orang yang tidak berakal
tidak dibebani hukum dalam menjani syariat. Nabi SAW bersabda,
ٌَِ ‫ص ِث ًّ ِ َحتَّى ٌَ ْحتَي‬
َّ ‫ع ِِ اى‬
َ َٗ ‫ظ‬ َ َٗ ،َ‫ع ْق ِي ِٔ َحتَّى ٌَث َْشأ‬
َ ‫ع ِِ اىَّْائٌِ َحتَّى ٌَ ْست َ ٍْ ِق‬ َ ‫يى‬
َ ‫ع‬َ ِ‫ع ِِ اىَ ْج َُْْ ْ٘ ُِ ْاى ََ ْغيُ ْ٘ب‬ َ ٌُ َ‫ُسفِ َع ْاىقَي‬
َ ،ٍ‫ع ِْ ثَلَثَة‬
“Pena diangkat dari tiga golongan: orang gila yang akalnya tertutup sampai ia
sembuh, orang tidur hingga ia bangun, dan anak kecil sampai ia baligh.” (HR. Ibnu
Khuzaimah, Ibnu Hibban, dan ad-Daruquthni)
3. Sarana untuk berfikir dan memahami kebenaran. Dalam perspektif Islam, akal
memiliki posisi yang layak, tidak dikultuskan apalagi dipertuhankan dan tidak pula
dihinakan sehingga orang yang berakal disamakan posisinya dengan hewan. Akal

26 Lihat Alu Nashr, Muhammad Musa, al-‘Aqlu wa manzilatuhu fi al-Islam, hal.41.


27 Asy-Syinqithy, Muhammad Amin, al-Islam Din Kamil, hal.21
diberikan ruang untuk menganalisa sesuatu yang masih dalam kapasitas
jangkauannya, ia tidak boleh melampaui batasannya, kecuali berdasarkan petunjuk
wahyu berupa Al-Quran dan as-Sunnah.
Ibnu Taimiyyah mengatakan, “Akal merupakan syarat dalam mempelajari semua
macam ilmu. Ia juga syarat untuk menjadikan seluruh amalan itu baik dan sempurna.
Dan dengan akal ilmu dan amal menjadi lengkap. Namun akal bukanlah sesuatu yang
dapat berdiri sendiri, tapi akal merupakan kemampuan dan kekuatan yang ada pada
diri seseorang, sebagaimana kemampuan melihat yang ada pada mata. Maka apabila
akal itu terhubung dengan cahaya iman dan al-Quran, maka itu ibarat cahaya mata
yang terhubung dengan cahaya matahari atau api”. 28
4. Dakwah kepada aqidah dan ibadah tegak diatas penerimaan akal. Artinya Islam tidak
memadamkan cahaya akalnya dengan hanya sekedar meyakini saja tanpa memberi
kesempatan untuk memahaminya secara logis. Justru Islam mengajak manusia untuk
memfungsikan akalnya dan membangkitkan kekuatan logikanya agar bisa
memperoleh hal-hal yang bermanfaat dalam berbagai bidang kehidupannya. Contoh
dalam hal ini sangat banyak sekali dalam Al-Quran diantaranya, firman Allah SWT
‫اسك ِىٍَذَّت َُّشٗا آ ٌَاتِ ِٔ َٗ ِىٍَتَزَ َّم َش أُٗىُ٘ ْاأل َ ْى َثاب‬
َ َ‫ِمت َاب أ َ ّْضَ ْىَْآُ إِىٍَْلَ ٍُث‬
“Kitab yang Kami turunkan kepadamu yang diberkahi agar mereka merenungi ayat-
ayatnya dan orang-orang yang berakal mau mengingatnya”. (QS. Shad : 29)
Karena itu Islam tidak memaksa manusia untuk beriman bahkan Islam memberikan
pilihan antara keimanan dan kekufuran.
‫فَِ شاء فيٍؤٍِ ٍِٗ شاء فيٍنفش‬
“Barang siapa mau silahkan ia beriman. Dan barang siapa yang mau silahkan ia
kafir”. (QS. Al-Kahfi : 29)
Dalam konteks hubungan seorang hamba dengan Allah baik dalam bingkai aqidah
maupun ibadah dibangun diatas kejelasan logika, sehingga Islam tidak
memperbolehan kerahiban (kehidupun membujang untuk fokus beribadah) karena hal
itu dapat mematikan akal dan menghilangkan potensi dan kekuatan manusia. Karena
itu, Islam tidak membenarkan taqlid buta yaitu mengikuti sesuatu tanpa ada kejelasan
secara ilmiyah, begitu juga dengan fanatisme terhadap pandangan-pandangan yang
tidak memiliki dasar dan meyakini hal-hal yang berbau khurafat dan takhayul.
5. Islam memerintahkan untuk menuntut ilmu. Diantara bentuk pemuliaan Islam
sekaligus penjagaan terhadap akal, Islam memerintahkannya untuk belajar; sebab akal
akan berkembang dengan belajar sebagaimana badan tumbuh besar dengan makan.
Maka salah satu media untuk menjaga akal adalah ilmu. Dan ilmu didapat dengan
cara belajar

28 Ibnu Taimiyah, Majmu’ al-Fatawa, 3/338.


ٌ‫إَّا اىعيٌ تاىتعي‬
“Ilmu itu didapat dengan belajar”. (HR. Bukhari)
Dan salah cara belajar belajar adalah dengan membaca; Karena itu wahyu pertama
yang diturunkan kepada Rasulullah SAW adalah perintah untuk membaca
‫اقشأ تاسٌ ستل اىزي خيق‬
“Bacalah dengan menyebut nama Rabbmu yang menciptakan”. (QS. Al-„Alaq : 1)
Dan setelahnya Allah menjelaskan :
ٌْ َ‫ساَُ ٍَا ىَ ٌْ ٌَ ْعي‬ ِ ْ ٌَ َّ‫عي‬
َ ّْ ‫اإل‬ َ
“Dia mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya”. (QS. Al-Alaq : 5)
Ini menunjukkan bahwa ilmu itu datang Allah SWT dan Allah yang mengajarkan
kepada hamba-hamba-Nya apa yang tidak diketahuinya sebagaimana Allah pertama
kali mengajarkan ilmu kepada manusia pertama yaitu Adam AS.
‫ٗعيٌ آدً األسَاء ميٖا‬
“Dan Allah mengajarkan Adam semua nama-nama”. (QS. Al- Baqarah : 31)
Dan dalam Al-Quran, Allah tidaklah memerintahkan kepada Nabi-Nya untuk
meminta tambahan kecuali yang berkaitan dengan ilmu. Allah SWT berfirman :

‫َٗقُ ْو َسبّ ِ ِصدًِّْ ع ِْي ًَا‬

“Dan katakanlah : “Ya Rabbku, tambahkanlah kepadaku ilmu pengetahuan” (QS.


Thaha : 114)

Akal semakin sempurna dengan bertambahnya ilmu dan amal. Jika hal itu ada pada
diri seseorang, yaitu akal yang dibimbing oleh ilmu berupa wahyu kemudian
diaplikasikan oleh amal perbuatan maka saat itulah ia dapat disebut dengan insan
kamil (sempurna). Allah berfirman tentang ketinggian kedudukan orang yang
berillmu :
‫شٖذ هللا أّٔ ال إىٔ إال ٕ٘ ٗاىَلئنة ٗأٗى٘ اىعيٌ قائَا تاىقسظ‬
“Allah mempersaksikan bahwasanya tidak ada ilah yang berhak disembah selain
Dia. Begitu juga para malaikat-Nya dan orang-orang yang berilmu yang tegak diatas
keadilan (mempersaksikan hal tersebut)”. (QS. Ali Imran : 18)
6. Ijtihad untuk mengeluarkan hukum. Ijtihad dalam istilah fikih Islam adalah
mengerahkan segenap kemampun untuk mengeluarkan suatu kepastian hukum dalam
masalah-masalah agama berdasarkan sumber-sumbernya.
Rasulullah SAW bersabda :
‫إرا اجتٖذ اىحامٌ فأصاب فئ أجشاُ ٗإرا اجتٖذ فأخطأ فئ أجش‬
“Apabila seorang hakim berijtihad lalu ia benar, maka ia akan mendapatkan dua
pahal. Dan jika berijtihad dan ijtihadnya salah, maka ia mendapatkan satu pahala”.
Inilah puncak kemuliaan seorang yang telah mapan ilmunya di dalam Islam, dimana
kesalahan ijtihadnya dalam menentukan hukum suatu masalah tetap berganjar pahala.
Meski ganjaran tersebut bukanlah karena kesalahannya akan tetapi karena upaya dan
kesungguhannya dalam mengerahkan segenap kemampuannya untuk memperoleh
kebenaran hukum dengan akal dan ilmu pengetahuan yang dimiliki. Dan tentunya
kedudukan itu akan dicapai bagi orang yang mampu mengoptimalkan akalnya dalam
mempelajari ilmu syar‟i.
Apa yang dipaparkan diatas menunjukkan kepada kita akan kemuliaan Islam.
Islam meletakkan akal sesuai dengan kapasitasnya. Tidak berlebihan dan tidak pula
merendahkannya. Dan itu merupakan bentuk pemuliaan Islam terhadap akal manusia
yang membedakannya dengan semua makhluk lainnya sehingga sebagian ulama
mengatakan, tidak ada ajaran yang memuliakan akal sebagaimana Islam memuliakan
akal.

III. Kesimpulan

Dan disini kita dapat memberikan kesimpulan sebagai berikut.


1. Akal merupakan anugrah besar yang diberikan Sang Pencipta kepada manusia.
2. Orang yang berakal adalah orang yang bisa menahan dirinya dari perkara-perkara
yang buruk, membedakan kebaikan dengan keburukan bahkan mengetahui mana yang
paling baik dari dua kebaikan dan yang paling buruk dari dua keburukan.
3. Akal tidak berdiri sendiri dalam memahami kebenaran. Namun akal harus dibimbing
oleh harus karena bagaiamana hebatnya akal yang dimiliki manusia tetaplah akal
memilki kekurangan dan kelemahan.
4. Karena itu orang yang berakal dengan akal gharizi dituntut untuk menambah ilmu
pengetahuannya yang dapat mendatangkan kemaslahatan bagi dirinya untuk dunia
dan akhiratnya.
5. Islam menempatkan akal sesuai dengan kedudukan dan kapasitasnya. Dan itu
merupakan bentuk pemuliaan terhadap akal.

IV. Penutup
Diakhir rangkaian pembahasan ini, yang ingin disampaikan penulis :
- Hendaknya kita senantiasa bersyukur atas nikmat Allah yang agung berupa akal yang
sehat
- Dan rasa syukur itu hendaknya diwujudkan dengan :
1. Menjaga akal kita dari hal-hal yang dapat menciderainya
2. Memaksimalkan potensi akal yang kita miliki, mengembangkannya dan
menambah pengetahuannya dengan terus belajar khususnya yang berkaitan dengan
ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu lainnya yang bermaslahat untuk pribadi dan hajat
kehidupan umat di dunia dan akhirat.
- Memahami keterbatasan, kelemahan dan kekurangan yang dimiliki oleh akal
sehingga
1. kita senantiasa tunduk kepada Penciptanya dan titahnya
2. Tidak melampaui batasan-batasan yang telah digariskan
3. Dan tidak sombong atas karunia yang Allah berikan kepada kita.

Refferensi :

1. Al-„Aqqad, Abbas Mahmud, Al-Insan Fil-Quran cet.2005


2. Al-Aql, Nashir Abdul Karim, al-Ittijahat al-Aqlaniyyah al-Haditsah, th.2001
3. Al-Halabi, Ali Hasan, Al‟Aqlaniyyun Afrakhul Mu‟tazilah, cet. Maktabah al-
Ghuraba al-Atsariyah Madinah Nabawiyah
4. Al-Jauziah, Ibnul Qayyim, Mifath Dari as-Sa‟adah.
5. Al-Taimi Al-Asbahani, Abul Qasim Ismail bin Muhammad, Al-Hujjah fi Bayanil
Mihajjah
6. Alu Nashr, Muhammad Musa, al-„Aqlu wa manzilatuhu fi al-Islam, ad-Dar al-
Atsariyah, cet.Th.2005.
7. An-Najjar, Fahmi Quthbid Din, al-Aql fis Sunnah.
8. Asy-Syinqithy, Muhammad Amin, al-Islam Din Kamil, cet. Ar-Riasah al-
„Ammah lil-Buhuts wa al-Ifta
9. At-Taumi Al-Syaibani, Umar Muhammad, Falsafah at-Tarbiyah al-Islamiyyah.
10. Az-Zabidi, Muhammad Murtadha, Taj al-Arus
11. Az-Zaid, Abdul Karim, Taujihat Manhajiyah fit Tahshilil-Ilmiy
12. Ibnu Manzhur, Lisan al-„Arab.
13. Ibnu Taimiyah, Majmu‟ Fatawa.
14. KBBI
15. Muhammad Amin, Kedudukan Akal dalam Islam, Jurnal Tarbawi| Volume 3|No
1| ISSN 2527-4082| 80
16. Rian Hidayat, Akal dalam Perspektif Barat dan Islam,
17. Tesis : Konsep Akal Menurut Muhammad Abduh dan Implikasinya dalam
Pendidikan Islam oleh Aiman Syarif, 2016
18. Wikipedia

Anda mungkin juga menyukai