7 Taujihat Manhajiyah fit Tahshilil-Ilmiy hal. 48, Prof. Dr. Zaid Abdul Karim Az-Zaid
8 Lihat perkataan2 ini dalam kitab Ali Hasan al-Halabi, yang berjudul Al’Aqlaniyyun Afrakhul Mu’tazilah, pada fasal
keempat, Maqalat al-Aqlaniyyin Qadiiman wa Haditsa.
9 Idem
B. Metode Penelitian
Deskriftif kualitatif adalah metode yang digunakan dalam pemhasan ini. Dimana
metode ini bertujuan memberikan gambaran tentang kedudukan Akal yang sumber
referensinya adalah Al-Quran dan as-Sunnah berdasarkan keterangan para ulama dalam
karya-karya ilmiyah mereka baik berupa tafsir, syarah hadits ataupun yang lainnya.
Sedang studi kepustakaan merupaka tekhnik yang digunakan dalam pegumpulan datanya
II. Pembahasan
A. Kajian Teoritis
Pengertian Akal
Kata akal sendiri merupakan serapan dari bahawa arab, ( اىعقوal-„aqlu) yang
memiliki makna asal ( اىحثسal-habsu) yang berarti mengekang, ( اىَْعal man‟u) yang
berarti menghalangi, ( اإلٍساكal-imsaku) yang menahan menahan. 10 Dalam hadits, Nabi
SAW memerintahkan untuk mengikat unta dengan sabdanya :
اعقيٖا ٗت٘مو عيى هللا
“Ikatlah dan bertawakkallah kepada Allah”. (HR. Tirmidzi)
Akal didefinisikan dengan makna tersebut karena berkaitan dengan fungsi akal
yang digunakan untuk membedakan baik buruk sesuatu, kelebihan dan kekurangan
sesuatu, dan menimbang mana yang lebih baik dari dua kebaikan, dan yang paling buruk
dari dua keburukan11 sehingga dikatakan:
ٓاىعاقو اىزي ٌحثس ّفسٔ ٌٗشدٓ عِ ٕ٘ا
Orang berakal adalah yang mampu mengekang dan mengembalikannya dari hawa
nafsunya. 12
Fairuz Abadi mengatakan, „Dinamakan akal dikarenakan dia memberikan pemahaman
kepada pemiliknya dari perkara yang tidak baik‟. 13
Dari paparan di atas maka bisa kita katakan, kelebihan utama yang diberikan
kepada manusia sehingga ia mendapat predikat makhluk paling sempurna adalah adanya
akalnya. Akal inilah yang membedakan manusia dengan makhluk ciptaan Allah lain.
Dengan akal manusia mampu memilih, mempertimbangkan, dan mengupayakan jalan
hidupnya. Dengan akal manusia dapat mengendalikan hawa nafsunya, dan dapat
membedakan mana yang hak dan mana yang batil, mana yang boleh dimakan dan mana
yang tidak boleh dimakan, mana yang bisa dinikmati dan ana yang tidak boleh
dinikmatinya.
10 Lihat, Ibnu Faris Mu’jam Maqayis al-Lughah 1/69, Ibnu Mandzur, Lisanul Arab 11/458,
11 Al-Qamus al-Muhith, hal.1336
12 Ibnu Mandzur, Lisan Al-‘Arab, 11/458.
13 Bashairu Dzawi at-Tamyiiz, 4/85.
Akal secara istilah
Berkaitan dengan makna akal secara istilah, terdapat banyak variasi dan
perbedaan yang disebutkan para ahli.
Menurut KBBI, akal adalah daya pikir untuk memahami sesuatu atau kemampuan
melihat cara-cara memahami lingkungannya14.
Muhammad Abduh berpendapat bahwa akal adalah suatu daya yang hanya dimiliki
manusia dan oleh karena itu dialah yang memperbedakan manusia dari mahluk lain. 15
Menurut para ahli filsafat, mereka memutlakan kata akal kepada makna-makna
berikut :
1. Benda yang sederhana yang dapat menjangkau segala hal dan hakikat-hakikatnya.
2. Kekuatan jiwa yang dengannya dapat diperoleh gambaran tentang makna-makna,
tersusunnya ketentuan-ketentuan dan analogi-analogi.
3. Kekuatan dalam menepati suatu hukum.
4. Kekuatan insting yang ada pada jiwa yang siap menerima ilmu pengetahuan. 16
Ali Hasan al-Halabi berpendapat, definisi yang paling tepat adalah kata akal
digunakan untuk empat makna :
1. Insting, yang dengannya manusia mengetahui dan memahami seperti kekuatan
penglihatan pada mata, kekuatan indra perasa pada lisan dan dia adalah syarat dalam
logika dan pengetahuan. Dan dia adalah poros pembebanan syariat, dan dengannya
manusia dibedakan dari seluruh hewan.
2. Ilmu Dharuri (Pasti), yang mencakup semua orang-orang yang berakal, seperti ilmu
yang berkaitan dengan perkara-perkara yang mungkin terjadi, kewajiban-kewajiban
dan ketidakmungkinan-ketidakmungkinan yang dikenal oleh para filosof dan ahli
kalam.
3. Teori-teori ilmu pengetahuan yang diperoleh dengan analisa dan penelitian.
4. Perbuatan-perbuatan yang merupakan kosekwensi pengetahuan. 17
Makna Akal dalam Al-Quran dan Sunnah
Dalam al-Quran redaksi akal tidak digunakan secara aksplisit akan tetapi
digunakan secara implisit dalam bentuk kata kerja fi‟il mudhari ya‟qilun disebutkan
sebanyak 22 kali dan ta‟qilun disebutkan sebanyak 24 kali. Sedangkan dengan lafazh
na‟qilu dan na‟qiuhu dan aqaluhu, masing-masing disebut satu kali dalam al-Quran.
Kata-kata itu datang dengan kandungan makna paham dan mengerti18.
14 KBBI
15 Tesis : Konsep Akal Menurut Muhammad Abduh dan Implikasinya dalam Pendidikan Islam oleh Aiman Syarif, 2016
16 Al-Aql, Nashir Abdul Karim, al-Ittijahat al-Aqlaniyyah al-Haditsah, hal.15.
17 Al-Halabi, Ali Hasan, Al-‘Aqlaniyun
18 Muhammad Amin, Kedudukan Akal dalam Islam, Jurnal Tarbawi| Volume 3|No 1| ISSN 2527-4082| 80
Disebutkan dalam kitab al-Ittijahat al-Aqlaniyah al-Haditsah, bahwa akal dalam
Al-Quran dan as-Sunnah bermakna sifat atau alat yang digunakan oleh orang yang
berakal untuk membedakan banyak hal dan menjangkau apa yang bisa dijangkau. Dan
akal merupakan sumber atau poros taklif atau pembebanan syariat.
Begitu juga Ibnu Taimiyah berpandangan. Akal menurut kaum muslimin dan
kebanyakan para pemikir adalah sifat yang ada pada orang yang berakal. Dan makna
tersebutlah yang ditunjukan dalam firman Allah SWT :
ُ٘ىعينٌ تعقي
“Agar kalian berfikir”.
Dan firman-Nya :
أفيٌ ٌسٍشٗا فً األسض فتنُ٘ ىٌٖ قي٘ب ٌعقيُ٘ تٖا
“Apakah mereka tidak berjalan di muka bumi sehingga mereka dapat memiliki hati yang
digunakan untuk memahami”. (QS. Al-Hajj : 46)
Dan firman-Nya :
ُ٘قذ تٍٍْا ىنٌ اٌَات ىعينٌ تعقي
“Kami telah terangkan kepada kalian ayat-ayat tersebut agar kalian bisa
memahaminya”. (QS. Ali Imran : 118)
Dan yang semisalnya yang menunjukkan akal adalah kata sumber aqala - ya‟qilu - aqlan.
Jika demikian maka orang yang berilmu saja namun tidak mengamalkannya tidaklah
disebut sebagai orang yang berakal. Begitu juga orang yang beramal tanpa ilmu.
Berdasarkan makna inilah para penduduk neraka berkata :
ٗقاى٘ا ى٘ مْا ّسَع أٗ ّعقو ٍا مْا فً أصحاب اىسعٍش
“Mereka berkata, „Seandainya kami dahulu mendengar dan berakal, niscaya kami tidak
berada bersama para penghuni neraka Sa‟ir”. (QS. Al-Mulk : 10)19
Adapun dalam sunnah atau hadits Nabi maka didapati sangat banyak sekali
penggunaan kata akal dan turunannya yang menunjukkan kepada asas dan kekuatan
jangkauan, pemahaman, dan pemikiran yang lurus. 20
Hanya saja terkait keutamaan akal yang disebutkan dalam haidits-hadits Nabi
secara eksplisit menurut para peneliti hadits diantaranya Ibnul Qayyim al-Jauziyah dan
Muhammad Nashiruddin al-Albani, tidak ada satu pun hadits yang otentik yang
menyebutkan tentang hal tersebut.21 Diantaranya hadits :
Ini pula yang semakna dengan ucapan Ali Bin Abi Thalib RA,
فل ٌْفع ٍطث٘ع إرا ىٌ ٌنِ ٍسَ٘عا مَا ال ٌْفع ض٘ء اىشَس ٗض٘ء اىعٍِ ٍَْ٘ع, ٍطث٘ع ٍٗسَ٘ع: ُاىعقو عقل
“Akal itu ada dua macam : Mathbu‟ (yang diciptakan sesuai denga tabiatnya) dan
Masmu‟ yang diperdengarkan (ilmu). Akal mathbu‟ tidak akan bermanfaat apabila dia
tidak masmu‟ sebagaimana sinar matahari tidak akan bermanfaat dalam keadaan sinar
mata terhalangi”.23
Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan, “Jika dua macam akal ini ada pada
seorang hamba, maka itu adalah anugrah besar yang Allah berikan kepada hamba yang
Dia kehendaki, segala urusan kehidupannya akan menjadi baik, dan kebahagiaan akan
menghampirinya dari segala arah.24
Akal Memiliki Keterbatasan
Penjelasan di atas merupakan bukti bahwa akal lebih lemah dari pada ilmu dan
bahwasanya agama tidak bisa dijangkau hanya dengan akal semata karena kelemahan
yang ada padanya. Dan yang menunjukkan akan kebenaran hal ini adalah ketika orang
yang berakal itu mengalami kegilaan atau kehilangan akal iktisabinya maka ia tidak
22 Al-Taimi Al-Asbahani, Abul Qasim Ismail bin Muhammad, Al-Hujjah fi Bayanil Mihajjah 2/535.
23 Az-Zabidi, Muhammad Murtadha, Taj al-Arus 8/35.
24 Al-Jauziah, Ibnul Qayyim, Mifath Dari as-Sa’adah, 1/117
mengerti perkara yang berkaitan dengan akhiratnya dan agamanya. Akan tetapi tersisa
padanya akal gharizinya. 25
Maka dari itu, betapa pun hebatnya kejeniusan dan tingginya kemampuan akal
manusia, namun tetap saja ia merupakan bagian dari kekuatan manusia. Dan tidak bisa
dipungkiri bahwa kekuatan manusia pasti memiliki keterbatasan dan titik nadir. Hal itu
disebabkan karena sumber kekuatan akal berasal dari makhluk yang lemah, dan sumber
yang lemah, tentu akan menghasilkan sesuatu yang lemah pula.
Hal ini bisa dibuktikan dengan banyaknya hakekat yang ada pada alam semesta
ini bahkan ada pada manusia itu sendiri yang tidak bisa dijelaskan dan dijangkau oleh
akal, seperti halnya ruh, mimpi, jin, dan masih banyak lagi yang berkaitan dengan alam
ghaib. Karena itu, ketika datang kepada Imam Malik dan bertanya tentang bagaimana
Istiwanya (bersemyam) Allah diatas Arasy-Nya beliau menjawab,
االست٘اء ٍعيً٘ ٗاىنٍف ٍجٖ٘ه ٗاإلٌَاُ تٔ ٗاجة ٗاىسؤاه عْٔ تذعة
“Istiwa itu maknanya sudah diketahui, hakikatnya yang tidak diketahui, beriman
dengannya adalah wajib, dan bertanya tentangnya adalah bid‟ah”. (HR. Baihaqi dalam
Asma wa Sifat)
Nabi SAW bersabda,
تفنشٗا فً آالء هللا ٗال تفنشٗا فً رات هللا
“Fikirkanlah nikmat-nikmat Allah dan janganlah kalian berfikir tentang Dzat Allah”.
(HR. Baihaqi dalam Syu‟ab al-Iman)
Hasil-hasil penelitian manusia yang menggunakan akal sebagai dasarnya yang
berkaitan dengan dunia atau alam semesta pun, ternyata sering didapati adanya perbedaan
dan perubahan seiring perbedaan dan perubahan waktu, seperti teori bumi itu datar atau
bulat, atau teori matahari mengitari bumi atau sebaliknya, dan semisalnya.
Akal tidak akan Kontradiksi dengan Wahyu
Dan dari sini pula muncullah teori dalam teologi Ahlu Sunnah wal Jama‟ah
bahwa Akal yang sehat tidak akan bertentangan dengan nash yang valid atau wahyu baik
Al-Quran maupun hadits shahih. Berbeda dengan muktazilah yang mengedepankan akal
daripada naql atau wahyu.
Dan Ahlu Sunnah menyatakan, apabila ada bagian dari Syariat Islam atau dalil-
dalil dari Al-Quran dan Sunnah yang diklaim kontradiksi dengan akal atau dimustahilkan
oleh akal, maka hal itu kembali kepada salah satu dari tiga perkara :
1. Yang dianggap sebagai hal yang logis pada hakikatnya bukanlah hal yang logis. Atau
yang diklaim sesuai logika hanya hasil dari pemikiran yang rusak. Seperti logika Iblis
Akal semakin sempurna dengan bertambahnya ilmu dan amal. Jika hal itu ada pada
diri seseorang, yaitu akal yang dibimbing oleh ilmu berupa wahyu kemudian
diaplikasikan oleh amal perbuatan maka saat itulah ia dapat disebut dengan insan
kamil (sempurna). Allah berfirman tentang ketinggian kedudukan orang yang
berillmu :
شٖذ هللا أّٔ ال إىٔ إال ٕ٘ ٗاىَلئنة ٗأٗى٘ اىعيٌ قائَا تاىقسظ
“Allah mempersaksikan bahwasanya tidak ada ilah yang berhak disembah selain
Dia. Begitu juga para malaikat-Nya dan orang-orang yang berilmu yang tegak diatas
keadilan (mempersaksikan hal tersebut)”. (QS. Ali Imran : 18)
6. Ijtihad untuk mengeluarkan hukum. Ijtihad dalam istilah fikih Islam adalah
mengerahkan segenap kemampun untuk mengeluarkan suatu kepastian hukum dalam
masalah-masalah agama berdasarkan sumber-sumbernya.
Rasulullah SAW bersabda :
إرا اجتٖذ اىحامٌ فأصاب فئ أجشاُ ٗإرا اجتٖذ فأخطأ فئ أجش
“Apabila seorang hakim berijtihad lalu ia benar, maka ia akan mendapatkan dua
pahal. Dan jika berijtihad dan ijtihadnya salah, maka ia mendapatkan satu pahala”.
Inilah puncak kemuliaan seorang yang telah mapan ilmunya di dalam Islam, dimana
kesalahan ijtihadnya dalam menentukan hukum suatu masalah tetap berganjar pahala.
Meski ganjaran tersebut bukanlah karena kesalahannya akan tetapi karena upaya dan
kesungguhannya dalam mengerahkan segenap kemampuannya untuk memperoleh
kebenaran hukum dengan akal dan ilmu pengetahuan yang dimiliki. Dan tentunya
kedudukan itu akan dicapai bagi orang yang mampu mengoptimalkan akalnya dalam
mempelajari ilmu syar‟i.
Apa yang dipaparkan diatas menunjukkan kepada kita akan kemuliaan Islam.
Islam meletakkan akal sesuai dengan kapasitasnya. Tidak berlebihan dan tidak pula
merendahkannya. Dan itu merupakan bentuk pemuliaan Islam terhadap akal manusia
yang membedakannya dengan semua makhluk lainnya sehingga sebagian ulama
mengatakan, tidak ada ajaran yang memuliakan akal sebagaimana Islam memuliakan
akal.
III. Kesimpulan
IV. Penutup
Diakhir rangkaian pembahasan ini, yang ingin disampaikan penulis :
- Hendaknya kita senantiasa bersyukur atas nikmat Allah yang agung berupa akal yang
sehat
- Dan rasa syukur itu hendaknya diwujudkan dengan :
1. Menjaga akal kita dari hal-hal yang dapat menciderainya
2. Memaksimalkan potensi akal yang kita miliki, mengembangkannya dan
menambah pengetahuannya dengan terus belajar khususnya yang berkaitan dengan
ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu lainnya yang bermaslahat untuk pribadi dan hajat
kehidupan umat di dunia dan akhirat.
- Memahami keterbatasan, kelemahan dan kekurangan yang dimiliki oleh akal
sehingga
1. kita senantiasa tunduk kepada Penciptanya dan titahnya
2. Tidak melampaui batasan-batasan yang telah digariskan
3. Dan tidak sombong atas karunia yang Allah berikan kepada kita.
Refferensi :