MAKALAH
Dosen Pengampu:
Dr. H.A. Khisni
Disusun Oleh:
I. Pendahuluan
Epistemologi adalah salah satu cabang filsafat yang membahas tentang hakikat
itu benar (valid) ataukah tidak. Bagaimana pengetahuan manusia itu didapat, dengan cara apa
dan apa saja syarat-syarat yang harus dipenuhi. Sehingga epistemologi sampai pada problem
istilah pemikiran. Pemikiran berasal dari kata pikir yang berarti akal budi, ingatan, angan-
angan, sehingga pemikiran berarti proses, cara, perbuatan memikir. Dalam Kamus Besar Ilmu
dalam tataran konsep, putusan dan teori lewat proses abstraksi, analisis, sintesis, pemecahan
dan hipotesis.2
Dalam Perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi dewasa ini maka masyarakat
dianggap telah memasuki tahap berpikir rasional. Dengan demikian maka terjadilah
agama, dinilai sebagai masyarakat nonrasional yang naif dan subyektif. Bahkan lebih dari itu,
masyarakat yang berpola pikir non-rasional yang diidentikkan dengan bangsa Timur, non
Barat dianggap sebagai masyarakat berbudaya primitif. 3 Artinya bahwa saat ini pemikiran
dunia mengarahkan bahwa Rasio atau akal manusia adalah sesuatu hal yang memiliki
1
Kaelan, Metode Penelitian Kualitatif bidang Filsafat (Yogyakarta:
Paradigma, 2005), 36.
2
Save. M. Dagun, Kamus Besar Ilmu Pengetahuan (Jakarta: Lembaga
Pengkajian Kebudayaan Nusantara (LPKN), 1997), 847.
3
anwar mujahidin, epistemologi islam: Kedudukan wahyu sebagai sumber ilmu, jurnal studi
keislaman “ulumuna”, volume 17 no.1 juni 2013, hlm. 44.
2
kedudukan yang tinggi, bahkan mengalahkan kedudukan agama. Betapa banyak orang yang
mendewakan akal. Setiap perkara selalu dia timbang-timbang dengan akal atau logikanya
terlebih dahulu. Walaupun sudah ada nash Al Qur’an atau Hadits, namun jika bertentangan
dengan logikanya, maka logika lebih dia dahulukan daripada dalil syar’i. Inilah yang biasa
terjadi pada ahli kalam. Lalu bagaimanakah mendudukkan akal yang sebenarnya? Apakah
kita menolak dalil akal begitu saja? Ataukah kita mesti mendudukkannya pada tempatnya?
Dalam agama Islam akal memiliki posisi yang sangat mulia. Meski demikian, bukan
berarti akal diberi kebebasan tanpa batas dalam memahami agama. Islam memiliki aturan
untuk menempatkan akal sebagaimana mestinya. Di dalam Islam, dalam menggunakan akal
mestilah mengikuti kaedah-kaedah yang ditentukan oleh wahyu supaya akal tidak digiring
oleh kepentingan, sehingga tidak menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang halal.4
Selain itu di dalam memahami agama Islam pun akal diberikan batasan-batasan yang telah
ditentukan sehingga akal dan agama dapat berjalan seusia koridor yang telah ditentukan.
II. Pembahasan
A. Hakikat Akal
1) Definisi akal
Secara bahasa, ‘aql (akal) bisa bermakna al-hikmah (kebijakan) atau bisa juga
bermakna tindakan yang baik dan tepat. Akal juga bisa bermakna sifat,
dikatakan; ‘uqila lahu shay’un’ artinya “Dijaga atau “diikat (hubisa) akalnya dan
Sedangkan secara istilah, akal adalah daya pikir yang diciptakan Allah Ta’ala (untuk
manusia) kemudian diberi muatan tertentu berupa kesiapan dan kemampuan yang
dapat melahirkan sejumlah aktivitas pemikiran yang berguna bagi kehidupan manusia
4
Muhammad Amin, Kedudukan Akal dalam Islam, Jurnal Pendidikan Agama islam ”tarbawai” Volume
3 No.1, Januari – Juni 2018, hlm. 81.
3
yang telah dimuliakan oleh Allah Ta’ala. [lihat buku Syarh aqidah ahlu sunnah, Yazid
Agama Islam adalah agama yang sangat adil dan sempurna. Agama kita
memuliakan akal sehat karena kemampuan berfikir dan memahami sesuatu dengan
baik merupakan anugerah yang besar dari Allah Ta’ala. Karena besarnya kemuliaan
akal maka agama Islam menetapkan syariat untuk menjaga dan mengembangkan akal,
diantaranya:
kebutuhan primer yang harus dijaga, 5 hal tersebut adalah agama, jiwa, harta,
sesuatu yang diharamkan, maupun yang bersifat fisik seperti khamr (minuman
melakukannya. [lihat kitab Maqasidu Syari’ah ‘Inda Ibni Taimiyah, Dr. Yusuf
menjalankan syari’at.
ilmu, yang dengannya akal dapat lebih berkembang dan meningkat. Kemudian
memuliakan akal namun tidak berlebih lebihan dalam memposisikannya, karena akal
meremehkan dan mencela akal serta logika yang benar. Akal yang baik justru akan
menyempurnakan suatu ilmu dan amal. Intinya, sikap yang benar dalam
memposisikan akal adalah bersifat pertengahan, tidak merendahkan logika dan akal
sehat, dan juga tidak berlebih-lebihan sehingga menjadikan standar kebenaran agama
Setelah kita mengetahui bahwa akal membutuhkan dalil, maka kita juga bisa
memahami bahwa akal yang sehat tidak akan pernah bertentangan atau bertolak
belakang dengan dalil syar’i baik dari al-Qur’an maupun as-Sunnah. Karena
semuanya berasal dari Allah Ta’ala Yang Maha Sempurna lagi Maha Bijaksana. Akal
yang sehat adalah ciptaan Allah Ta’ala dan dalil syar’i merupakan Firman
Allah Ta’ala. Maka mustahil segala sesuatu yang sama-sama bersumber dari
5
Jika kita sudah berusaha untuk memahami dalil syar’i dengan metode yang
benar namun masih tampak bagi kita seolah-olah dalil tersebut bertentangan dengan
akal, fikiran, maupun tidak sesuai dengan perasaan kita. Maka wajib bagi kita untuk
mengedepankan dalil syar’i daripada akal dan perasaan kita. Karena sesungguhnya
anggapan kita bahwa dalil syar’i tidak selaras dengan akal sehat bisa disebabkan
b) Dalil yang dijadikan pijakan adalah dalil yang lemah, bukan dalil yang
shahih.
mana yang “tidak masuk akal”. Terkadang dalil syar’i memang bisa jadi
membuat kita bingung memahaminya, namun tidak mungkin dalil syar’i tidak
masuk akal sehat kita. Contohnya adalah peristiwa isra’ dan mi’raj yaitu
dalam waktu satu malam. Maka bisa jadi kita bingung memikirkannya,
bagaimana bisa dalam satu malam saja seorang manusia tanpa teknologi
canggih bisa menembus langit tertinggi. Namun hal tersebut bukanlah hal yang
tidak masuk akal, bahkan hal tersebut sangat mungkin dan masuk akal karena
6
Allah Ta’ala adalah Dzat yang Maha Kuasa atas segala sesuatu dan mudah
Allah Azza Wajalla telah menganugerahkan kepada umat manusia hati nurani, yang
dengannya mereka menjadi berakal, mampu berfikir, merenung, dan membedakan mana yang
baik dan mana yang buruk. Barangsiapa yang Allâh kehendaki kebaikan padanya, maka Dia
akan dipahamkan dalam agamanya. [HR. Bukhâri, no. 69; Muslim, no.1719] Begitu pula
dalam sabdanya “Orang yang paling baik di masa jahiliyyah, adalah orang yang paling baik
setelah masuk Islam, jika mereka menjadi seorang yang faqih (ahli dan alim dalam ilmu
syariat)”. [HR. Bukhâri, no. 3353 ; Muslim, no. 2378]. Dalam Hadist tersebut terlihat bahwa
Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan dorongan kepada umatnya untuk menjadi
Muslim yang benar-benar memahami syarîat Islam, dan itu tidak mungkin dicapai, kecuali
dengan memanfaatkan sebaik mungkin akalnya. Perlu diketahui bahwa sebagian Ulama
membagi akal menjadi dua jenis yaitu akal insting dan akal tambahan. Akal insting adalah
kemampuan dasar manusia untuk berfikir dan memahami sesuatu yang dibawa sejak lahir.
Sedangkan akal tambahan adalah kemampuan berfikir dan memahami, yang dibentuk oleh
pengalaman dan pengetahuan yang dimiliki oleh seseorang. Ibnul Qayyim mengatakan, “Jika
dua akal ini berkumpul pada seorang hamba, maka itu merupakan anugerah besar yang
diberikan oleh Allâh kepada hamba yang dikehendaki-Nya, urusan hidupnya akan menjadi
baik, dan pasukan kebahagiaan akan mendatanginya dari segala arah. [Miftâhu Dâris
Sa’âdah, 1/117] Tentunya adanya pembedaan dua jenis akal di atas, tidak berarti adanya
pemisah antara akal insting dengan akal tambahan. Karena akal tambahan pada dasarnya
adalah akal insting yang telah berkembang seiring bertambahnya ilmu dan pengalaman yang
diperoleh seseorang. Bisa dikatakan, bahwa akal tambahan melazimkan adanya akal insting.
5
Nizamul Adli Wibisono, Kedudukan Akal dalam Islam, https://buletin.muslim.or.id, diakses 25 Januari
2021
7
Sebaliknya, sangat jarang adanya akal insting yang tidak berkembang seiring berjalannya
waktu.
Dalam hal kedudukan akal dalam islam, akal memiliki keutamaan dimana akal
merupakan karunia agung yang diberikan Allâh Azza wa Jalla kepada bani Adam. Ia adalah
pembeda antara manusia dengan hewan, dengannya mereka dapat terus berinovasi dan
membangun peradaban, dan dengannya mereka dapat membedakan mana yang bermanfaat
dan mana yang berbahaya sesuai jangkauan akal mereka. Karena besarnya karunia akal ini,
minuman, ataupun tindakan. Juga memberikan hukuman khusus berupa cambuk, bagi
b) Memasukkan akal dalam lima hal primer yang harus dijaga dalam syarîat
karena itu, ada batasan baligh, karena orang yang belum baligh biasanya kurang
sempurna akalnyA. Oleh karena itu pula, semua orang yang hilang akalnya, bebas
derajat yang tinggi bagi mereka yang berilmu dan mengamalkan ilmunya.
yang dapat menyesatkannya dari pemahaman yang benar. Semua hal di atas
digariskan oleh Islam, terutama untuk menjaga nikmat akal, mensyukurinya, dan
yang mendorong manusia agar memanfaatkan akalnya untuk hal-hal yang berguna,
6
Ustadz Musyaffa, Kedudukan Akal dan Islam, https://almanhaj.or.id, diakses 26 Januari 2021.
8
Betapa pun jenius dan tingginya kemampuan akal, tetap saja ia merupakan salah satu
dari kekuatan manusia. Dan tidak bisa kita pungkiri bahwa semua kekuatan manusia pasti
memiliki batasan dan titik lemah. Tidak lain, itu disebabkan karena sumber kekuatannya
adalah makhluk yang lemah, dan sumber yang lemah, tentu akan menghasilkan sesuatu yang
ada lemahnya pula. Diantara bukti adanya titik lemah pada akal manusia, adalah adanya
banyak hakekat yang tidak bisa dijelaskan olehnya, seperti: hakekat ruh, mimpi, jin, mukjizat,
karamah, dan masih banyak lagi. Belum lagi, seringnya kita dapati adanya perubahan pada
hasil penelitiannya; dahulu berkesimpulan dunia ini datar, lalu muncul teori bulat, lalu
muncul teori lonjong. Dahulu mengatakan minyak bumi adalah sumber energi tak terbarukan,
lalu muncul teori sebaliknya. Dahulu mengatakan matahari mengitari bumi, lalu muncul teori
sebaliknya, dan begitu seterusnya. Kenyataan ini menunjukkan, bahwa akal tidak layak
dijadikan sebagai sandaran untuk menetapkan kebenaran hakiki. Apabila ada sumber
kebenaran hakiki yang diwahyukan, maka itulah yang harus dikedepankan, sedangkan akal
diberi ruang untuk memahami dan menerima dengan apa adanya. Oleh karenanya, Islam
memberi ruang khusus bagi akal, ia hanya boleh menganalisa sesuatu yang masih dalam
batasan jangkauannya, ia tidak boleh melewati batasan tersebut, kecuali dengan petunjuk
nash-nash yang diwahyukan. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah mengatakan, “Akal merupakan
syarat dalam mempelajari semua ilmu. Ia juga syarat untuk menjadikan semua amalan itu
baik dan sempurna, dan dengannya ilmu dan amal menjadi lengkap. Namun (untuk mencapai
itu semua), akal bukanlah sesuatu yang dapat berdiri sendiri, tapi akal merupakan
kemampuan dan kekuatan dalam diri seseorang, sebagaimana kemampuan melihat yang ada
pada mata. Maka apabila akal itu terhubung dengan cahaya iman dan al-Qur’ân, maka itu
ibarat cahaya mata yang terhubung dengan cahaya matahari atau api” [Majmû’ul Fatâwâ,
3/338]. Karena kenyataan ini, maka hendaklah kita mengetahui batasan-batasan akal,
sehingga kita tahu, kapan kita boleh melepas akal kita di lautan pandangan, dan kapan kita
harus mengontrolnya dengan wahyu Allâh Azza wa Jalla . Ini merupakan bentuk lain dari
9
penghormatan Islam terhadap akal. Islam menempatkannya pada posisi yang layak, sekaligus
menjaganya agar tidak terjatuh ke dalam jurang kesesatan yang membingungkan. Diantara
beberapa hal, yang kita tidak boleh mengedepankan akal dalam membahasnya adalah: 7
menetapkan atau menafikan Nama dan Sifat Allâh Azza wa Jalla , surga dan neraka,
nikmat dan siksa kubur, jin dan setan, malaikat, keadaan hari kiamat, dan lain-lain.
b. Dasar-dasar akhlak dan adab yang tidak bertentangan dengan syarîat, seperti
adab makan dan minum, adab buang hajat, akhlak terhadap orang tua, sesama, dan
c. Ajaran syarîat Islam, terutama dalam masalah ibadah, seperti menetapkan atau
menafikan syariat shalat, zakat, puasa, haji, jihâd, dan lain-lain.[2] Dalam perkara-
menyimpulkan suatu hukum dari dalil, tapi akal tidak boleh keluar dari dalil yang ada,
dengan alam semesta yang kasat-mata, maka itulah lautan luas yang diberikan kepada
akal manusia untuk terus menganalisa dan meneliti, terus menemukan dan
mengolahnya.
Setiap insan beriman hendaklah bersikap patuh dan tunduk kepada Allah dan Rasul-
Nya. Setiap wahyu yaitu Al Qur’an dan Hadits itu berasal dari-Nya. Rasul memiliki
kewajiban untuk menyampaikan wahyu tersebut. Sedangkan kita memiliki kewajiban untuk
menerima wahyu tadi secara lahir dan batin. Allah berfirman, “Dan taatlah kepada Allah dan
taatlah kepada Rasul, jika kamu berpaling maka sesungguhnya kewajiban Rasul Kami
7
Ibid.
10
Az Zuhri mengatakan, “Wahyu berasal dari Allah. Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam
hanyalah menyampaikan kepada kita. Sedangkan kita diharuskan untuk pasrah (menerima).”
(Diriwayatkan oleh Bukhari dalam Kitabut Tauhid secara mu’allaq yakni tanpa sanad)
Oleh karena itu, jika Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu perkara, maka tidak ada
pilihan bagi seorang muslim untuk berpaling kepada selainnya, kepada perkataan ulama A,
kyai B, ustadz C atau pun logikanya sendiri, padahal pendapat mereka telah nyata
menyelisihi Al Qur’an dan Sunnah (ajaran) Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Allah Ta’ala
berfirman,“Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan
yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi
mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barang siapa mendurhakai Allah dan
Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata.” (QS. Al Ahzab: 36)
Ibnul Qayyim mengatakan, “Ayat ini menunjukkan bahwa jika telah ada ketetapan dari Allah
dan Rasul-Nya dalam setiap masalah baik dalam permasalahan hukum atau pun berita
(seperti permasalahan aqidah), maka seseorang tidak boleh memberikan pilihan selain pada
ketetapan Allah dan Rasul-Nya tadi lalu dia berpendapat dengannya. Sikap berpaling kepada
ketetapan selain Allah dan Rasul-Nya sama sekali bukanlah sikap seorang mukmin. Dari sini
Bahwasanya akal adalah syarat agar seseorang bisa memahami sesuatu, sehingga membuat
amalan menjadi baik dan sempurna. Oleh karena itu, akal yang baik saja yang bisa
mendapatkan taklif (beban syari’at) sehingga orang gila yang tidak berakal tidak mendapat
perintah shalat dan puasa. Seseorang yang tidak memiliki akal adalah keadaan yang serba
penuh kekurangan. Setiap perkataan yang menyelisihi akal adalah perkataan yang batil. Oleh
karena itu, Allah telah memerintahkan kita untuk memperhatikan dan merenungkan Al
Qur’an dengan menggunakan akal semisal dalam beberapa ayat berikut ini,
11
“Inilah ciptaan Allah, maka perlihatkanlah olehmu kepadaku apa yang telah
Lihatlah dalam ayat ini, Allah menggunakan qiyas atau analogi permisalan untuk
menunjukkan adakah sesembahan selain Allah yang dapat mencipta. Contoh lainnya
adalah tentang ayat yang menunjukkan adanya hari berbangkit. Allah misalkan
dengan menjelaskan bahwa Dia dapat menghidupkan tanah yang mati. Jika Allah
“Dan Kami hidupkan dengan air itu tanah yang mati (kering). Seperti itulah
Syari’at Islam memberikan nilai dan urgensi yang amat tinggi terhadap akal
manusia. Hal itu dapat dilihat pada beberapa point berikut ini. [Pertama] Allah hanya
menyampaikan kalam-Nya kepada orang yang berakal karena hanya mereka yang
dapat memahami agama dan syari’at-Nya. “Dan pelajaran bagi orang-orang yang
[Kedua] Akal merupakan syarat yang harus ada dalam diri manusia untuk dapat
menerima taklif (beban syari’at) dari Allah Ta’ala. Hukum-hukum syari’at tidak
berlaku bagi orang yang tidak menerima taklif seperti pada orang gila yang tidak
“Pena diangkat (dibebaskan) dari tiga golongan: [1] orang yang tidur sampai dia
bangun, [2] anak kecil sampai mimpi basah (baligh) dan [3] orang gila sampai ia
kembali sadar (berakal).” (HR. Abu Daud. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa
hadits ini shahih). [Ketiga] Allah Ta’ala mencela orang yang tidak menggunakan
akalnya, semisal perkataan Allah pada penduduk neraka yang tidak mau
menggunakan akal. [Keempat] Penyebutan begitu banyak proses dan anjuran berfikir
dalam Al Qur’an, yaitu untuk tadabbur dan tafakkur, seperti la’allakum tatafakkarun
mudah-mudahan kamu berfikir) atau afalaa ta’qilun (apakah kamu tidak berpikir).
akal tidaklah bisa berdiri sendiri. Bahkan akal sangat membutuhkan dalil syar’i (Al
Qur’an dan Hadits) sebagai penerang jalan. Akal itu ibarat mata. Mata memang
8
Muhammad Abduh Tuasikal, MSc, Mendudukkan Akal pada Tempatnya, https://rumaysho.com
diakses 25 januari 2021.
13
memiliki potensi untuk melihat suatu benda. Namun tanpa adanya cahaya, mata tidak
dapat melihat apa-apa. Apabila ada cahaya, barulah mata bisa melihat benda dengan
jelas. Jadi itulah akal dimana akal barulah bisa berfungsi jika ada cahaya Al Qur’an
dan As Sunnah atau dalil syar’i. Jika tidak ada cahaya wahyu, akal sangatlah mustahil
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan, “Bahkan akal adalah syarat untuk
mengilmui sesuatu dan untuk beramal dengan baik dan sempurna. Akal pun akan
menyempurnakan ilmu dan amal. Akan tetapi, akal tidaklah bisa berdiri sendiri. Akal
bisa berfungsi jika dia memiliki instink dan kekuatan sebagaimana penglihatan mata
bisa berfungsi jika ada cahaya. Apabila akal mendapati cahaya iman dan Al Qur’an
barulah akal akan seperti mata yang mendapatkan cahaya mentari. Jika bersendirian
tanpa cahaya, akal tidak akan bisa melihat atau mengetahui sesuatu.” (Majmu’ Al
Fatawa, 3/338-339). Intinya, akal bisa berjalan dan berfungsi jika ditunjuki oleh dalil
syar’i yaitu dalil dari Al Qur’an dan As Sunnah. Tanpa cahaya ini, akal tidak akan
Jika kita sudah mengetahui bahwa akal tidaklah bisa berfungsi kecuali dengan
adanya penerang dari Al Qur’an dan As Sunnah, maka tentu saja akal yang benar
tidaklah mungkin bertentangan dengan dalil syar’i. Jika bertentangan, maka akal
yang patut ditanyakan dan dalil syar’i lah yang patut dimenangkan.
Sunnah
Inilah yang diyakini oleh Ahlus Sunnah wal Jama’ah yaitu dalil akal tidaklah
mungkin bertentangan dengan dalil Al Qur’an dan As Sunnah yang shahih sama
sekali. Maka tidaklah tepat jika seseorang mengatakan bahwa logika (dalil akal)
14
bertentangan dengan dalil syar’i. Jika ada yang menyatakan demikian, maka hal ini
[Pertama] Itu sebenarnya syubhat (kerancuan) dan bukan logika (dalil akal) yang
benar.
[Kedua] Dalil syar’i yang digunakan bukanlah dalil yang bisa diterima, mungkin
[Ketiga] Hal ini karena tidak mampu membedakan antara sesuatu yang mustahil bagi
akal dan sesuatu yang tidak dipahami oleh akal dengan sempurna. Syari’at itu datang
minimal dengan dalil yang tidak dipahami oleh akal secara sempurna. Dan Syari’at ini
tidak mungkin datang dengan dalil yang dianggap mustahil bagi akal.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan, “Rasul itu datang dengan wahyu minimal
tidak digapai oleh akal dengan sempurna. Namun beliau tidaklah datang dengan
wahyu yang mustahil bagi akal untuk memahaminya.” (Majmu’ Al Fatawa, 3/339). 9
III. Kesimpulan
Dari uraian menganai kedudukan akal dalam Islam maka dapat disimpulkan bahwa
Akal adalah petunjuk untuk mengetahui dalil syar’i (dalil Al Qur’an dan As Sunnah). Akal
tidak bisa berdiri sendiri namun butuh pada cahaya dalil syar’i. Tanpa adanya cahaya dalil Al
Qur’an dan As Sunnah, akal tidaklah mungkin bisa memandang atau memahami suatu
perkara dengan benar. Jika akal bertentangan dengan dalil syar’i, maka dalil syar’i yang harus
didahulukan karena akal hanya sekedar petunjuk untuk mengetahui dalil sedangkan dalil
syar’i memiliki ilmu dan pemahaman yang lebih dibanding akal. Akal (logika) yang benar
tidaklah mungkin bertentangan dengan dalil Al Qur’an dan As Sunnah. Sebaliknya, akal yang
tercela adalah akal yang bertentangan dengan dalil Al Qur’an dan As Sunnah.
9
Muhammad Abduh Tuasikal, Ketika Akal Bertentangan dengan Dalil Syar’i, https://rumaysho.com,
diakses tanggal 25 Januari 2021.
15
Daftar Pustaka
16
Amin, Muhammad. Kedudukan Akal dalam Islam. Jurnal Pendidikan Agama islam
”tarbawai” Volume 3 No.1, Januari – Juni 2018.
Mujahidin, anwar. epistemologi islam: Kedudukan wahyu sebagai sumber ilmu. jurnal
studi keislaman “ulumuna”. volume 17 no.1 juni 2013.