Anda di halaman 1dari 17

KEDUDUKAN AKAL DALAM ISLAM

MAKALAH

Disusun untuk memenuhi tugas Mata Kuliah


Epistemologi Islam

Dosen Pengampu:
Dr. H.A. Khisni

Disusun Oleh:

Nama : Yunus Rahendra


NIM : 20301900205

PROGRAM MAGISTER ILMU HUKUM


UNIVERSITAS ISLAM SULTAN AGUNG
SEMARANG
2020
1

KEDUDUKAN AKAL DALAM ISLAM

I. Pendahuluan

Epistemologi adalah salah satu cabang filsafat yang membahas tentang hakikat

pengetahuan manusia. Persoalan pokok yang berkembang dalam epistemologi adalah

meliputi sumber-sumber pengetahuan, watak dari pengetahuan manusia, apakah pengetahuan

itu benar (valid) ataukah tidak. Bagaimana pengetahuan manusia itu didapat, dengan cara apa

dan apa saja syarat-syarat yang harus dipenuhi. Sehingga epistemologi sampai pada problem

hubungan metodologi dengan obyek dari ilmu pengetahuan.1

Dalam lingkungan studi Islam, istilah epistemologi sering dipertukarkan dengan

istilah pemikiran. Pemikiran berasal dari kata pikir yang berarti akal budi, ingatan, angan-

angan, sehingga pemikiran berarti proses, cara, perbuatan memikir. Dalam Kamus Besar Ilmu

Pengetahuan, pikiran berarti suatu entitas yang memperlihatkan fungsi-fungsi seperti

mencerap, mengamati, mengingat memungkinkan manusia merefleksikan dunia obyektif ke

dalam tataran konsep, putusan dan teori lewat proses abstraksi, analisis, sintesis, pemecahan

dan hipotesis.2

Dalam Perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi dewasa ini maka masyarakat

dianggap telah memasuki tahap berpikir rasional. Dengan demikian maka terjadilah

perubahan paradigma dimana Masyarakat yang mempertahankan keyakinan dan kebenaran

agama, dinilai sebagai masyarakat nonrasional yang naif dan subyektif. Bahkan lebih dari itu,

masyarakat yang berpola pikir non-rasional yang diidentikkan dengan bangsa Timur, non

Barat dianggap sebagai masyarakat berbudaya primitif. 3 Artinya bahwa saat ini pemikiran

dunia mengarahkan bahwa Rasio atau akal manusia adalah sesuatu hal yang memiliki
1
Kaelan, Metode Penelitian Kualitatif bidang Filsafat (Yogyakarta:
Paradigma, 2005), 36.
2
Save. M. Dagun, Kamus Besar Ilmu Pengetahuan (Jakarta: Lembaga
Pengkajian Kebudayaan Nusantara (LPKN), 1997), 847.
3
anwar mujahidin, epistemologi islam: Kedudukan wahyu sebagai sumber ilmu, jurnal studi
keislaman “ulumuna”, volume 17 no.1 juni 2013, hlm. 44.
2

kedudukan yang tinggi, bahkan mengalahkan kedudukan agama. Betapa banyak orang yang

mendewakan akal. Setiap perkara selalu dia timbang-timbang dengan akal atau logikanya

terlebih dahulu. Walaupun sudah ada nash Al Qur’an atau Hadits, namun jika bertentangan

dengan logikanya, maka logika lebih dia dahulukan daripada dalil syar’i. Inilah yang biasa

terjadi pada ahli kalam. Lalu bagaimanakah mendudukkan akal yang sebenarnya? Apakah

kita menolak dalil akal begitu saja? Ataukah kita mesti mendudukkannya pada tempatnya?

Dalam agama Islam akal memiliki posisi yang sangat mulia. Meski demikian, bukan

berarti akal diberi kebebasan tanpa batas dalam memahami agama. Islam memiliki aturan

untuk menempatkan akal sebagaimana mestinya. Di dalam Islam, dalam menggunakan akal

mestilah mengikuti kaedah-kaedah yang ditentukan oleh wahyu supaya akal tidak digiring

oleh kepentingan, sehingga tidak menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang halal.4

Selain itu di dalam memahami agama Islam pun akal diberikan batasan-batasan yang telah

ditentukan sehingga akal dan agama dapat berjalan seusia koridor yang telah ditentukan.

II. Pembahasan

A. Hakikat Akal

1) Definisi akal

Secara bahasa, ‘aql (akal) bisa bermakna al-hikmah (kebijakan) atau bisa juga

bermakna tindakan yang baik dan tepat. Akal juga bisa bermakna sifat,

dikatakan; ‘uqila lahu shay’un’ artinya “Dijaga atau “diikat (hubisa) akalnya dan

dibatasi”. [lihat kitab Lisanul ‘Arab, Muhammad ibnu Mukarram]

Sedangkan secara istilah, akal adalah daya pikir yang diciptakan Allah Ta’ala (untuk

manusia) kemudian diberi muatan tertentu berupa kesiapan dan kemampuan yang

dapat melahirkan sejumlah aktivitas pemikiran yang berguna bagi kehidupan manusia

4
Muhammad Amin, Kedudukan Akal dalam Islam, Jurnal Pendidikan Agama islam ”tarbawai” Volume
3 No.1, Januari – Juni 2018, hlm. 81.
3

yang telah dimuliakan oleh Allah Ta’ala. [lihat buku Syarh aqidah ahlu sunnah, Yazid

bin Abdul Qadir Jawas].

2) Islam memuliakan akal

Agama Islam adalah agama yang sangat adil dan sempurna. Agama kita

memuliakan akal sehat karena kemampuan berfikir dan memahami sesuatu dengan

baik merupakan anugerah yang besar dari Allah Ta’ala. Karena besarnya kemuliaan

akal maka agama Islam menetapkan syariat untuk menjaga dan mengembangkan akal,

diantaranya:

a) Islam memasukkan akal kedalam dharuriyatul khamsah yaitu 5 hal

kebutuhan primer yang harus dijaga, 5 hal tersebut adalah agama, jiwa, harta,

nasab (keturunan), dan akal.

b) Syari’at Islam mengharamkan semua yang bisa merusak akal, baik

yang maknawi (abstrak) seperti perjudian, (musik) dan nyanyian, memandang

sesuatu yang diharamkan, maupun yang bersifat fisik seperti khamr (minuman

keras), narkoba, dan lainnya serta memberikan sanksi kepada yang

melakukannya. [lihat kitab Maqasidu Syari’ah ‘Inda Ibni Taimiyah, Dr. Yusuf

bin Muhammad Al-Badawi]

c) Agama Islam menjadikan akal sebagai salah satu syarat

utama taklif (pewajiban / pembebanan dalam syari’at). Orang yang masih

belum sempurna akalnya seperti anak-anak, ataupun yang memang memiliki

kekurangan dalam akalnya seperti orang gila, maka gugur kewajibannya

menjalankan syari’at.

d) Agama Islam memerintahkan umatnya untuk belajar dan menuntut

ilmu, yang dengannya akal dapat lebih berkembang dan meningkat. Kemudian

memberikan derajat yang tinggi bagi orang-orang yang berilmu dan

mengamalkannya, sebagaimana firmanNya (yang artinya), “Allah akan


4

mengangkat kedudukan orang-orang yang beriman dan diberikan ilmu di

antara kalian beberapa derajat” (QS. Al-Mujadilah:11)

3) Memposisikan akal sesuai kedudukannya

Meskipun agama Islam menghormati akal sehat, namun akal tetap

ditempatkan di tempat yang layak sesuai dengan kedudukannya. Artinya Islam

memuliakan akal namun tidak berlebih lebihan dalam memposisikannya, karena akal

manusia juga memiliki keterbatasan sebagaimana penglihatan, pendengaran, serta

indera manusia lainnya.

Sebaliknya, walaupun akal memiliki keterbatasan, agama Islam juga tidak

meremehkan dan mencela akal serta logika yang benar. Akal yang baik justru akan

menyempurnakan suatu ilmu dan amal. Intinya, sikap yang benar dalam

memposisikan akal adalah bersifat pertengahan, tidak merendahkan logika dan akal

sehat, dan juga tidak berlebih-lebihan sehingga menjadikan standar kebenaran agama

semata-mata dari logika dan akal pemikiran manusia.

4) Akal membutuhkan dalil

Sepintar-pintarnya manusia dan setinggi apapun kecerdasan akal manusia,


maka pasti tidak akan bisa berjalan dengan lurus tanpa bimbingan wahyu, baik al-
Qur’an maupun as-Sunnah. Akal manusia ibarat sepasang mata sedangkan dalil
wahyu bagaikan lentera atau cahaya. Mata tidak akan bisa berfungsi dengan baik
tanpa adanya cahaya. Mata kita baru bisa berfungsi dengan baik dan benar jika ada
cahaya. Cahaya tersebut sebagaimana kedudukan dalil wahyu (al-Qur’an dan as-
Sunnah) terhadap akal. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menjelaskan, “Akal tidaklah
bisa berdiri sendiri, akal baru bisa berfungsi jika dia memiliki naluri dan kekuatan
sebagaimana mata bisa berfungsi jika ada cahaya. Apabila akal mendapatkan cahaya
iman dan al-Qur’an barulah akal bisa seperti mata yang mendapatkan cahaya
matahari. Jika tanpa cahaya tersebut, akal tidak akan bisa melihat atau mengetahui
sesuatu.” [Majmu’ Fatawa, Ibnu Taimiyah]

5) Akal yang sehat dan dalil syar’i tidak akan bertentangan

Setelah kita mengetahui bahwa akal membutuhkan dalil, maka kita juga bisa
memahami bahwa akal yang sehat tidak akan pernah bertentangan atau bertolak
belakang dengan dalil syar’i baik dari al-Qur’an maupun as-Sunnah. Karena
semuanya berasal dari Allah Ta’ala Yang Maha Sempurna lagi Maha Bijaksana. Akal
yang sehat adalah ciptaan Allah Ta’ala dan dalil syar’i merupakan Firman
Allah Ta’ala. Maka mustahil segala sesuatu yang sama-sama bersumber dari
5

Allah Ta’ala saling bertentangan. Imam Ibnu Qayyim al-jauziyah mengatakan,


“Sesungguhnya mempertentangkan antara akal dengan wahyu adalah asal-usul
segala kerusakan di alam semesta. Itu adalah lawan dari dakwah para rasul dari
semua sisi karena mereka (para rasul) mengajak untuk mengedepankan wahyu
daripada pendapat akal” [lihat kitab Mukhtashar Shawa’iqul Mursalah, Ibnu
Qayyim]

6) Wajib mendahulukan dalil daripada akal

Jika kita sudah berusaha untuk memahami dalil syar’i dengan metode yang

benar namun masih tampak bagi kita seolah-olah dalil tersebut bertentangan dengan

akal, fikiran, maupun tidak sesuai dengan perasaan kita. Maka wajib bagi kita untuk

mengedepankan dalil syar’i daripada akal dan perasaan kita. Karena sesungguhnya

anggapan kita bahwa dalil syar’i tidak selaras dengan akal sehat bisa disebabkan

karena tiga hal :

a) Karena kurangnya ilmu kita yang menyebabkan adanya kerancuan dan

syubhat bagi kita dalam memahami dalil.

b) Dalil yang dijadikan pijakan adalah dalil yang lemah, bukan dalil yang

shahih.

c) Kita belum bisa membedakan mana yang “membingungkan akal”

mana yang “tidak masuk akal”. Terkadang dalil syar’i memang bisa jadi

membuat kita bingung memahaminya, namun tidak mungkin dalil syar’i tidak

masuk akal sehat kita. Contohnya adalah peristiwa isra’ dan mi’raj yaitu

peristiwa naiknya Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam ke langit ke-7

dalam waktu satu malam. Maka bisa jadi kita bingung memikirkannya,

bagaimana bisa dalam satu malam saja seorang manusia tanpa teknologi

canggih bisa menembus langit tertinggi. Namun hal tersebut bukanlah hal yang

tidak masuk akal, bahkan hal tersebut sangat mungkin dan masuk akal karena
6

Allah Ta’ala adalah Dzat yang Maha Kuasa atas segala sesuatu dan mudah

bagiNya untuk mewujudkan hal tersebut.5

B. Kedudukan Akal dalam Islam

Allah Azza Wajalla telah menganugerahkan kepada umat manusia hati nurani, yang

dengannya mereka menjadi berakal, mampu berfikir, merenung, dan membedakan mana yang

baik dan mana yang buruk. Barangsiapa yang Allâh kehendaki kebaikan padanya, maka Dia

akan dipahamkan dalam agamanya. [HR. Bukhâri, no. 69; Muslim, no.1719] Begitu pula

dalam sabdanya “Orang yang paling baik di masa jahiliyyah, adalah orang yang paling baik

setelah masuk Islam, jika mereka menjadi seorang yang faqih (ahli dan alim dalam ilmu

syariat)”. [HR. Bukhâri, no. 3353 ; Muslim, no. 2378]. Dalam Hadist tersebut terlihat bahwa

Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan dorongan kepada umatnya untuk menjadi

Muslim yang benar-benar memahami syarîat Islam, dan itu tidak mungkin dicapai, kecuali

dengan memanfaatkan sebaik mungkin akalnya. Perlu diketahui bahwa sebagian Ulama

membagi akal menjadi dua jenis yaitu akal insting dan akal tambahan. Akal insting adalah

kemampuan dasar manusia untuk berfikir dan memahami sesuatu yang dibawa sejak lahir.

Sedangkan akal tambahan adalah kemampuan berfikir dan memahami, yang dibentuk oleh

pengalaman dan pengetahuan yang dimiliki oleh seseorang. Ibnul Qayyim mengatakan, “Jika

dua akal ini berkumpul pada seorang hamba, maka itu merupakan anugerah besar yang

diberikan oleh Allâh kepada hamba yang dikehendaki-Nya, urusan hidupnya akan menjadi

baik, dan pasukan kebahagiaan akan mendatanginya dari segala arah. [Miftâhu Dâris

Sa’âdah, 1/117] Tentunya adanya pembedaan dua jenis akal di atas, tidak berarti adanya

pemisah antara akal insting dengan akal tambahan. Karena akal tambahan pada dasarnya

adalah akal insting yang telah berkembang seiring bertambahnya ilmu dan pengalaman yang

diperoleh seseorang. Bisa dikatakan, bahwa akal tambahan melazimkan adanya akal insting.
5
Nizamul Adli Wibisono, Kedudukan Akal dalam Islam, https://buletin.muslim.or.id, diakses 25 Januari
2021
7

Sebaliknya, sangat jarang adanya akal insting yang tidak berkembang seiring berjalannya

waktu.

Dalam hal kedudukan akal dalam islam, akal memiliki keutamaan dimana akal

merupakan karunia agung yang diberikan Allâh Azza wa Jalla kepada bani Adam. Ia adalah

pembeda antara manusia dengan hewan, dengannya mereka dapat terus berinovasi dan

membangun peradaban, dan dengannya mereka dapat membedakan mana yang bermanfaat

dan mana yang berbahaya sesuai jangkauan akal mereka. Karena besarnya karunia akal ini,

Islam menggariskan banyak syariat untuk menjaga dan mengembangkannya, seperti: 6

a) Mengharamkan apapun yang dapat menghilangkan akal, baik makanan,

minuman, ataupun tindakan. Juga memberikan hukuman khusus berupa cambuk, bagi

mereka yang sengaja makan atau minum apapun yang memabukkan.

b) Memasukkan akal dalam lima hal primer yang harus dijaga dalam syarîat

Islam, yakni: agama, jiwa, keturunan, akal dan harta.

c) Menjadikannya sebagai syarat utama taklîf (kewajiban dalam syariat). Oleh

karena itu, ada batasan baligh, karena orang yang belum baligh biasanya kurang

sempurna akalnyA. Oleh karena itu pula, semua orang yang hilang akalnya, bebas

atau gugur kewajibannya menjalankan syariat.

d) Menganjurkan, bahkan mewajibkan umatnya untuk belajar. Lalu memberikan

derajat yang tinggi bagi mereka yang berilmu dan mengamalkan ilmunya.

e) Melarang umatnya membaca bacaan atau mendengarkan perkataan-perkataan,

yang dapat menyesatkannya dari pemahaman yang benar. Semua hal di atas

digariskan oleh Islam, terutama untuk menjaga nikmat akal, mensyukurinya, dan

mengembangkannya. Bahkan dalam al-Qur’ân, sangat banyak kita dapati ayat-ayat

yang mendorong manusia agar memanfaatkan akalnya untuk hal-hal yang berguna,

terutama untuk mencari hakekat kebenaran.

6
Ustadz Musyaffa, Kedudukan Akal dan Islam, https://almanhaj.or.id, diakses 26 Januari 2021.
8

Betapa pun jenius dan tingginya kemampuan akal, tetap saja ia merupakan salah satu

dari kekuatan manusia. Dan tidak bisa kita pungkiri bahwa semua kekuatan manusia pasti

memiliki batasan dan titik lemah. Tidak lain, itu disebabkan karena sumber kekuatannya

adalah makhluk yang lemah, dan sumber yang lemah, tentu akan menghasilkan sesuatu yang

ada lemahnya pula. Diantara bukti adanya titik lemah pada akal manusia, adalah adanya

banyak hakekat yang tidak bisa dijelaskan olehnya, seperti: hakekat ruh, mimpi, jin, mukjizat,

karamah, dan masih banyak lagi. Belum lagi, seringnya kita dapati adanya perubahan pada

hasil penelitiannya; dahulu berkesimpulan dunia ini datar, lalu muncul teori bulat, lalu

muncul teori lonjong. Dahulu mengatakan minyak bumi adalah sumber energi tak terbarukan,

lalu muncul teori sebaliknya. Dahulu mengatakan matahari mengitari bumi, lalu muncul teori

sebaliknya, dan begitu seterusnya. Kenyataan ini menunjukkan, bahwa akal tidak layak

dijadikan sebagai sandaran untuk menetapkan kebenaran hakiki. Apabila ada sumber

kebenaran hakiki yang diwahyukan, maka itulah yang harus dikedepankan, sedangkan akal

diberi ruang untuk memahami dan menerima dengan apa adanya. Oleh karenanya, Islam

memberi ruang khusus bagi akal, ia hanya boleh menganalisa sesuatu yang masih dalam

batasan jangkauannya, ia tidak boleh melewati batasan tersebut, kecuali dengan petunjuk

nash-nash yang diwahyukan. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah mengatakan, “Akal merupakan

syarat dalam mempelajari semua ilmu. Ia juga syarat untuk menjadikan semua amalan itu

baik dan sempurna, dan dengannya ilmu dan amal menjadi lengkap. Namun (untuk mencapai

itu semua), akal bukanlah sesuatu yang dapat berdiri sendiri, tapi akal merupakan

kemampuan dan kekuatan dalam diri seseorang, sebagaimana kemampuan melihat yang ada

pada mata. Maka apabila akal itu terhubung dengan cahaya iman dan al-Qur’ân, maka itu

ibarat cahaya mata yang terhubung dengan cahaya matahari atau api” [Majmû’ul Fatâwâ,

3/338]. Karena kenyataan ini, maka hendaklah kita mengetahui batasan-batasan akal,

sehingga kita tahu, kapan kita boleh melepas akal kita di lautan pandangan, dan kapan kita

harus mengontrolnya dengan wahyu Allâh Azza wa Jalla . Ini merupakan bentuk lain dari
9

penghormatan Islam terhadap akal. Islam menempatkannya pada posisi yang layak, sekaligus

menjaganya agar tidak terjatuh ke dalam jurang kesesatan yang membingungkan. Diantara

beberapa hal, yang kita tidak boleh mengedepankan akal dalam membahasnya adalah: 7

a. Hal-hal yang berhubungan dengan akidah dan perkara-perkara ghaib. Seperti

menetapkan atau menafikan Nama dan Sifat Allâh Azza wa Jalla , surga dan neraka,

nikmat dan siksa kubur, jin dan setan, malaikat, keadaan hari kiamat, dan lain-lain.

Baca Juga Istiqomah

b. Dasar-dasar akhlak dan adab yang tidak bertentangan dengan syarîat, seperti

adab makan dan minum, adab buang hajat, akhlak terhadap orang tua, sesama, dan

anak kecil, dan lain-lain.

c. Ajaran syarîat Islam, terutama dalam masalah ibadah, seperti menetapkan atau

menafikan syariat shalat, zakat, puasa, haji, jihâd, dan lain-lain.[2] Dalam perkara-

perkara ini, memang dibutuhkan akal untuk memahami, merenungi, dan

menyimpulkan suatu hukum dari dalil, tapi akal tidak boleh keluar dari dalil yang ada,

ia tidak boleh menentangnya, ataupun mengada-ada. Adapun yang berhubungan

dengan alam semesta yang kasat-mata, maka itulah lautan luas yang diberikan kepada

akal manusia untuk terus menganalisa dan meneliti, terus menemukan dan

mengolahnya.

Setiap insan beriman hendaklah bersikap patuh dan tunduk kepada Allah dan Rasul-

Nya. Setiap wahyu yaitu Al Qur’an dan Hadits itu berasal dari-Nya. Rasul memiliki

kewajiban untuk menyampaikan wahyu tersebut. Sedangkan kita memiliki kewajiban untuk

menerima wahyu tadi secara lahir dan batin. Allah berfirman, “Dan taatlah kepada Allah dan

taatlah kepada Rasul, jika kamu berpaling maka sesungguhnya kewajiban Rasul Kami

hanyalah menyampaikan (amanat Allah) dengan terang.” (QS. At Taghabun: 12)

7
Ibid.
10

Az Zuhri mengatakan, “Wahyu berasal dari Allah. Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam

hanyalah menyampaikan kepada kita. Sedangkan kita diharuskan untuk pasrah (menerima).”

(Diriwayatkan oleh Bukhari dalam Kitabut Tauhid secara mu’allaq yakni tanpa sanad)

Oleh karena itu, jika Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu perkara, maka tidak ada

pilihan bagi seorang muslim untuk berpaling kepada selainnya, kepada perkataan ulama A,

kyai B, ustadz C atau pun logikanya sendiri, padahal pendapat mereka telah nyata

menyelisihi Al Qur’an dan Sunnah (ajaran) Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Allah Ta’ala

berfirman,“Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan

yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi

mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barang siapa mendurhakai Allah dan

Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata.” (QS. Al Ahzab: 36)

Ibnul Qayyim mengatakan, “Ayat ini menunjukkan bahwa jika telah ada ketetapan dari Allah

dan Rasul-Nya dalam setiap masalah baik dalam permasalahan hukum atau pun berita

(seperti permasalahan aqidah), maka seseorang tidak boleh memberikan pilihan selain pada

ketetapan Allah dan Rasul-Nya tadi lalu dia berpendapat dengannya. Sikap berpaling kepada

ketetapan selain Allah dan Rasul-Nya sama sekali bukanlah sikap seorang mukmin. Dari sini

menunjukkan bahwa sikap semacam ini termasuk menafikan (meniadakan) keimanan.”

(Zadul Muhajir-Ar Risalah At Tabukiyah, hal.

Bahwasanya akal adalah syarat agar seseorang bisa memahami sesuatu, sehingga membuat

amalan menjadi baik dan sempurna. Oleh karena itu, akal yang baik saja yang bisa

mendapatkan taklif (beban syari’at) sehingga orang gila yang tidak berakal tidak mendapat

perintah shalat dan puasa. Seseorang yang tidak memiliki akal adalah keadaan yang serba

penuh kekurangan. Setiap perkataan yang menyelisihi akal adalah perkataan yang batil. Oleh

karena itu, Allah telah memerintahkan kita untuk memperhatikan dan merenungkan Al

Qur’an dengan menggunakan akal semisal dalam beberapa ayat berikut ini,
11

“Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al Quran?” (QS. An Nisa’: 82 dan


Muhammad: 24)
“Mengapa kamu suruh orang lain (mengerjakan) kebajikan, sedang kamu melupakan
diri (kewajiban) mu sendiri, padahal kamu membaca Al Kitab (Taurat)? Maka
tidakkah kamu berpikir?” (QS. Al Baqarah: 44)
“Dan tiadalah kehidupan dunia ini, selain dari main-main dan senda gurau belaka.
Dan sungguh kampung akhirat itu lebih baik bagi orang-orang yang bertakwa. Maka
tidakkah kamu memahaminya?” (QS. Al An’am: 32)
“Maka tidakkah mereka bepergian di muka bumi lalu melihat bagaimana kesudahan
orang-orang sebelum mereka (yang mendustakan rasul) dan sesungguhnya kampung
akhirat adalah lebih baik bagi orang-orang yang bertakwa. Maka tidakkah kamu
memikirkannya?” (QS. Yusuf: 109)
“Dan apa saja yang diberikan kepada kamu, maka itu adalah kenikmatan hidup
duniawi dan perhiasannya; sedang apa yang di sisi Allah adalah lebih baik dan lebih
kekal. Maka apakah kamu tidak memahaminya?” (QS. Al Qashash: 60)

1) Al Qur’an Menggunakan Dalil Akal (Logika)

Hal ini sebagaimana dapat kita lihat dalam permisalan-permisalan yang

digunakan dalam Al Qur’an. Di antaranya firman Allah Ta’ala mengenai penetapan

tauhid bahwa Dialah satu-satunya Pencipta,

“Inilah ciptaan Allah, maka perlihatkanlah olehmu kepadaku apa yang telah

diciptakan oleh sembahan-sembahan (mu) selain Allah.” (QS. Luqman: 11).

Lihatlah dalam ayat ini, Allah menggunakan qiyas atau analogi permisalan untuk

menunjukkan adakah sesembahan selain Allah yang dapat mencipta. Contoh lainnya

adalah tentang ayat yang menunjukkan adanya hari berbangkit. Allah misalkan

dengan menjelaskan bahwa Dia dapat menghidupkan tanah yang mati. Jika Allah

mampu melakukan demikian, tentu Allah dapat pula membangkitkan makhluk-

makhluk yang sudah mati. Allah Ta’ala berfirman,

“Dan Kami hidupkan dengan air itu tanah yang mati (kering). Seperti itulah

terjadinya kebangkitan.” (QS. Qaaf: 11)

2) Urgensi Akal dalam Syari’at Islam


12

Syari’at Islam memberikan nilai dan urgensi yang amat tinggi terhadap akal

manusia. Hal itu dapat dilihat pada beberapa point berikut ini. [Pertama] Allah hanya

menyampaikan kalam-Nya kepada orang yang berakal karena hanya mereka yang

dapat memahami agama dan syari’at-Nya. “Dan pelajaran bagi orang-orang yang

mempunyai pikiran.” (QS. Shaad: 43)

[Kedua] Akal merupakan syarat yang harus ada dalam diri manusia untuk dapat

menerima taklif (beban syari’at) dari Allah Ta’ala. Hukum-hukum syari’at tidak

berlaku bagi orang yang tidak menerima taklif seperti pada orang gila yang tidak

memiliki akal. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

“Pena diangkat (dibebaskan) dari tiga golongan: [1] orang yang tidur sampai dia

bangun, [2] anak kecil sampai mimpi basah (baligh) dan [3] orang gila sampai ia

kembali sadar (berakal).” (HR. Abu Daud. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa

hadits ini shahih). [Ketiga] Allah Ta’ala mencela orang yang tidak menggunakan

akalnya, semisal perkataan Allah pada penduduk neraka yang tidak mau

menggunakan akal. [Keempat] Penyebutan begitu banyak proses dan anjuran berfikir

dalam Al Qur’an, yaitu untuk tadabbur dan tafakkur, seperti la’allakum tatafakkarun

mudah-mudahan kamu berfikir) atau afalaa ta’qilun (apakah kamu tidak berpikir).

Begitu pula Allah memuji ulul albab (orang-orang yang berakal/berfikir),8

B. Ketika Akal Bertentangan dengan Dalil Syar’i

1) Akal Tidak Bisa Berdiri Sendiri

Walaupun akal bisa digunakan untuk merenungi dan memahami Al Qur’an,

akal tidaklah bisa berdiri sendiri. Bahkan akal sangat membutuhkan dalil syar’i (Al

Qur’an dan Hadits) sebagai penerang jalan. Akal itu ibarat mata. Mata memang

8
Muhammad Abduh Tuasikal, MSc, Mendudukkan Akal pada Tempatnya, https://rumaysho.com
diakses 25 januari 2021.
13

memiliki potensi untuk melihat suatu benda. Namun tanpa adanya cahaya, mata tidak

dapat melihat apa-apa. Apabila ada cahaya, barulah mata bisa melihat benda dengan

jelas. Jadi itulah akal dimana akal barulah bisa berfungsi jika ada cahaya Al Qur’an

dan As Sunnah atau dalil syar’i. Jika tidak ada cahaya wahyu, akal sangatlah mustahil

melihat dan mengetahui sesuatu.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan, “Bahkan akal adalah syarat untuk

mengilmui sesuatu dan untuk beramal dengan baik dan sempurna. Akal pun akan

menyempurnakan ilmu dan amal. Akan tetapi, akal tidaklah bisa berdiri sendiri. Akal

bisa berfungsi jika dia memiliki instink dan kekuatan sebagaimana penglihatan mata

bisa berfungsi jika ada cahaya. Apabila akal mendapati cahaya iman dan Al Qur’an

barulah akal akan seperti mata yang mendapatkan cahaya mentari. Jika bersendirian

tanpa cahaya, akal tidak akan bisa melihat atau mengetahui sesuatu.” (Majmu’ Al

Fatawa, 3/338-339). Intinya, akal bisa berjalan dan berfungsi jika ditunjuki oleh dalil

syar’i yaitu dalil dari Al Qur’an dan As Sunnah. Tanpa cahaya ini, akal tidak akan

berfungsi sebagaimana mestinya.

2) Ketika Akal dan Dalil Syar’i Bertentangan

Jika kita sudah mengetahui bahwa akal tidaklah bisa berfungsi kecuali dengan

adanya penerang dari Al Qur’an dan As Sunnah, maka tentu saja akal yang benar

tidaklah mungkin bertentangan dengan dalil syar’i. Jika bertentangan, maka akal

yang patut ditanyakan dan dalil syar’i lah yang patut dimenangkan.

3) Akal Tidak Mungkin Bertentangan dengan Dalil Al Qur’an dan As

Sunnah

Inilah yang diyakini oleh Ahlus Sunnah wal Jama’ah yaitu dalil akal tidaklah

mungkin bertentangan dengan dalil Al Qur’an dan As Sunnah yang shahih sama

sekali. Maka tidaklah tepat jika seseorang mengatakan bahwa logika (dalil akal)
14

bertentangan dengan dalil syar’i. Jika ada yang menyatakan demikian, maka hal ini

tidaklah lepas dari beberapa kemungkinan:

[Pertama] Itu sebenarnya syubhat (kerancuan) dan bukan logika (dalil akal) yang

benar.

[Kedua] Dalil syar’i yang digunakan bukanlah dalil yang bisa diterima, mungkin

karena dalilnya yang tidak shahih atau adanya salah pemahaman.

[Ketiga] Hal ini karena tidak mampu membedakan antara sesuatu yang mustahil bagi

akal dan sesuatu yang tidak dipahami oleh akal dengan sempurna. Syari’at itu datang

minimal dengan dalil yang tidak dipahami oleh akal secara sempurna. Dan Syari’at ini

tidak mungkin datang dengan dalil yang dianggap mustahil bagi akal.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan, “Rasul itu datang dengan wahyu minimal

tidak digapai oleh akal dengan sempurna. Namun beliau tidaklah datang dengan

wahyu yang mustahil bagi akal untuk memahaminya.” (Majmu’ Al Fatawa, 3/339). 9

III. Kesimpulan

Dari uraian menganai kedudukan akal dalam Islam maka dapat disimpulkan bahwa

Akal adalah petunjuk untuk mengetahui dalil syar’i (dalil Al Qur’an dan As Sunnah). Akal

tidak bisa berdiri sendiri namun butuh pada cahaya dalil syar’i. Tanpa adanya cahaya dalil Al

Qur’an dan As Sunnah, akal tidaklah mungkin bisa memandang atau memahami suatu

perkara dengan benar. Jika akal bertentangan dengan dalil syar’i, maka dalil syar’i yang harus

didahulukan karena akal hanya sekedar petunjuk untuk mengetahui dalil sedangkan dalil

syar’i memiliki ilmu dan pemahaman yang lebih dibanding akal. Akal (logika) yang benar

tidaklah mungkin bertentangan dengan dalil Al Qur’an dan As Sunnah. Sebaliknya, akal yang

tercela adalah akal yang bertentangan dengan dalil Al Qur’an dan As Sunnah.

9
Muhammad Abduh Tuasikal, Ketika Akal Bertentangan dengan Dalil Syar’i, https://rumaysho.com,
diakses tanggal 25 Januari 2021.
15

Daftar Pustaka
16

Kaelan Metode Penelitian Kualitatif bidang Filsafat. Yogyakarta: Paradigma. 2005.

Adli Wibisono. Nizamul. Kedudukan Akal dalam Islam. https://buletin.muslim.or.id,


diakses 25 Januari 2021.

Amin, Muhammad. Kedudukan Akal dalam Islam. Jurnal Pendidikan Agama islam
”tarbawai” Volume 3 No.1, Januari – Juni 2018.

Abduh Tuasikal, Muhammad. Mendudukkan Akal pada Tempatnya,


https://rumaysho.com. diakses 25 januari 2021.

________. Ketika Akal Bertentangan dengan Dalil Syar’i. https://rumaysho.com,


diakses tanggal 25 Januari 2021.

Halim Mahmud, Abdul. kitab Al-Islam wal Aql. https://almanhaj.or.id. diakses 26


Januari 2021

Mujahidin, anwar. epistemologi islam: Kedudukan wahyu sebagai sumber ilmu. jurnal
studi keislaman “ulumuna”. volume 17 no.1 juni 2013.

Musyaffa. Kedudukan Akal dan Islam. https://almanhaj.or.id. diakses 26 Januari 2021.

M. Dagun, Save. Kamus Besar Ilmu Pengetahuan. Jakarta: Lembaga Pengkajian


Kebudayaan Nusantara (LPKN). 1997.

Anda mungkin juga menyukai