Anda di halaman 1dari 8

Analisa bahan ajar kb 1

Analisa Bahan Ajar berupa jurnal/artikel berjudul :


Problem Keilmuan Pendidikan Agama Islam

1. Pendidikan, termasuk di dalamnya pendidikan Islam, memiliki ruang lingkup yang berbeda dengan
ilmu lainnya. Dilihat dari tujuannya, pendidikan agama Islam memiliki makna yang sangat mendalam,
yaitu untuk mengenal Sang Pencipta atau Allah SWT dengan harapan tercapai kebahagiaan dan
kesejahteraan kehidupan dunia dan akherat. Tujuan pendidikan agama Islam sangat luas dan
memiliki makna sangat mendalam. Tujuan utamanya untuk melahirkan profil manusia yang ideal
(baik) dan memiliki adab. Oleh sebab itu, tujuan pendidikan agama Islam tidak cukup hanya
bersifat fisik dan non fisik, tetapi lebih dari itu adalah untuk penanaman kesadaran hakikat manusia
untuk menyadari dari mana dia diciptakan, untuk apa dia dihidupkan dan dengan bagaimana
dia mencapai kebahagiaan.
2. Metode pendidikan agama Islam sedikitnya ada tiga macam yaitu; pertama, metode bayani, yaitu
metode berfikir atau
pengembangan ilmu yang bersifat tekstualis. Kedua, metode Irfani, yaitu cara berfikir atau
pengembangan ilmu pengetahuan
yang didasarkan kepada intuisi atau spiritual. Ketiga, Burhani yaitu cara pengembangan ilmu
pengetahuan yang didasarkan kepada kekuatan akal pikiran atau rasional
3. Perdebatan tentang dikotomi yang merupakan problem utama pendidikan agama Islam ini, menjadi
aspek terhambatnya perkembangan lembaga dan keilmuan Islam, karena setiap kebijakan di bawah
naungan lembaga pendidikan semacam
STAIN, IAIN dan UIN tidak bisa langsung bekerja secara optimal, melainkan terlebih dahulu ada
semacam “pemanasan”
atau perdebatan seperti apa postur, format dan perbedaan dengan ilmu di luar STAIN, IAIN dan UIN.
Lebih parah lagi, semakin asyiknya perdebatan itu, akhirnya lembaga pendidikan Islam hanya
melahirkan hasil perdebatan atau biasa dikenal “sepakat dalam perbedaan”.
4. Lembaga pendidikan Islam atau ilmu agama Islam adakalanya masih terlalu sibuk melakukan
perdebatan epistimologis
sehingga tidak optimal dalam melakukan rumusan ilmu yang memiliki manfaat untuk umat Islam
khususnya dan masyarakat
pada umumnya.
5. Problem keilmuan berupa epistimologi atau dikotomi di dalam lingkungan pendidikan Islam atau
lembaga pendidikan
Islam semacam STAIN, IAIN dan UIN merupakan problem yang selain dikatakan problem keilmuan
juga dapat dikatakan sebagai problem kultural. Artinya, problem tersebut tidak mungkin dihilangkan
karena ini menyangkut karakteristik kelembagaan dan keilmuan.
=> Materi yang diulas dlm artikel di atas sangat menarik, faktual, dan kaya referensi.
=> Mengenai dikotomi ilmu yang disebut dlm artikel di atas, kita bisa berkaca atau flash back kepada
sejarah gemilang peradaban Islam. Sejarah mencatat bahwa peradaban Islam pernah menjadi kiblat
ilmu pengetahuan dunia sekitar abad ke-7 M. sampai abad ke-15 M (tidak sampai seabad setelah
wafatnya Rasulullah SAW). Ketika menjadi kiblat ilmu pengetahuan, pendidikan Islam yang
berkembang adalah pendidikan Islam non-dikotomis yang akhirnya mampu melahirkan intelektual
muslim yang memiliki karya sangat besar dan berpengaruh positif terhadap eksistensi kehidupan
manusia sampai sekarang. Tradisi pengkajian ilmu dikalangan umat Islam dengan semangat,
kecintaan dan kesungguhan dalam belajar, menghafal, diskusi, menulis dan mencari ilmu hingga ke
lintas Negara, yang mana menjadi budaya yang tidak terpisahkan dari kehidupan umat Islam pada
waktu itu. Maka wajar saja, buah dari peradaban ilmu tersebut, bermunculan tokoh-tokoh besar
ilmuwan dan ulama, seperti, Imam Al-Ghazali, Al-Farabi, Ibnu Sina, Al-Kindi, As-Suyuthi, Ibnu Rusyd,
Ibnu Nafis, Ibn Khaldun dan lain sebagainya. Mereka menjadi referensi umat dalam berbagai
persolan kehidupan. Mereka memahami dan menguasai berbagai disiplin ilmu. Selain ilmu agama,
seperti ilmu tafsir, hadist, aqidah, fiqh dan tassawuf, mereka juga menguasai ilmu fisika, sastra,
kedokteran, kimia, sejarah, teknologi dan ilmu –ilmu umum lainnya. Mereka tidak memisahkan antara
ilmu agama dan ilmu umum, meskipun ada perbedaan ruang kajian kedua ilmu tersebut. Menariknya,
pengkajian ilmu pengetahuan dalam tradisi dan budaya Islam selalu totalitas dan selalu berpegang
pada aspek ilahiyyah dan juga adab. Sehingga semakin luas ilmu yang diperoleh maka semakin
tinggi pula amal yang dihasilkan.
Kb 2

Analisa Bahan Ajar berupa jurnal/artikel berjudul :


Hakikat Manusia dalam Tasawuf Al-Ghazali

1. Manusia dalam pandangan Al Ghazali terdiri dari komponen jasad dan ruh. Pendapat ini didasarkan pada
teori kebangkitan jasad pada akhir hayat (kehidupan). Disampaikan bahwa manusia akan dibangkitkan di hari
akhir itu jasad dan ruh, karena itu yang merasakan nikmat dan pedihnya siksa akhirat adalah jiwa dan raganya.
Dari teori ini maka manusia adalah individu yang memiliki unsur jasadi dan ruhani. Kedua unsur ini merupakan
satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan, namun yang memiliki posisi yang tinggi adalah unsur ruhani.

2. Hati dibagi dalam dua kajian, yaitu kajian umum dan khusus. Dalam kajian umum, hati itu adalah daging
yang berbentuk buah sanubari yang diletakkan pada sebelah kiri dari dada. Melalui fungsi fisik ini dapat
memberi kehidupan pada manusia dalam mengatur metabolisme tubuh. Hati dalam arti khusus, berupa hati yang
halus karena fungsinya yang soft berupa kelembutan, kebijaksanaan, hikmah, dan cinta kasih. Hati yang halus
disebut dengan hati nurani, yang mengandung unsur rabbaniyah (ketuhanan), dan ruhaniah (keruhaniaan). Hati
yang halus inilah menjadi hakikat manusia, dialah yang mengetahui, yang mengerti dan yang mengenal diri
manusia, dialah yang diajak bicara, yang disiksa, yang dicela, dan dituntut.

3. Ruh (nyawa) memiliki makna, pertama, secara fisik ruh yang ada pada badan, banjirnya cahaya kehidupan,
perasaan, penglihatan, pendengaran dan penciuman dari padanya atas semua anggotanya itu menyerupai
banjirnya cahaya dari lampu yang berputar di sudut-sudut rumah. Sesungguhnya cahaya itu tidak sampai ke
suatu rumah melainkan ia bersinar dengan cahaya itu. Dalam term lain ruh ini disebut dengan jiwa dan
kesadaran manusia. Kesadaran ini yang menjadikan manusia hidup atau mati (makna fisik) dan bermanfaat atau
tidak (makna non fisik). Namun keduanya memberi arti bahwa ruh atau nyawa adalah denyutnya kehidupan.

4. Nafsu adalah tempat yang menghimpun kekuatan marah dan nafsu syahwat pada manusia. Berdasar
kualitasnya, nafsu dibagi tiga; pertama, Nafsu muthmainnah jika mampu menentang nafsu syahwat, nafsu itu
tenang dan damai (QS. al-Fajr: 27-28). Kedua, nafsu lawwamah adalah nafsu yang tidak sempurna
ketenangannya, dia menjadi pendorong bagi nafsu syahwat dan sejenisnya (QS. al-Qiyamah: 2. Ketiga,
Nafsu al-amarah, nafsu yang mendorong pada kejahatan, tunduk dan patuh pada tuntutan syahwat
(hawa nafs). Nafs ini memiliki jiwa pembangun dan pengrusak, biasa disebut dengan id eros dan id thanatos. Id
eros adalah yang membangun disebut dengan dorongan-dorngan positif, Sedang id thanatos adalah dorongan
atau motif untuk melakukan kerusakan.

5. Akal adalah insting yang disiapkan untuk mengenali informasi-informasi nalar. Seakan-akan ia adalah cahaya
yang ditempatkan di dalam kalbu. Dengan hati siap mengenali sesuatu. Kadar dari insting berbeda dengan
tingkatannya. Kedudukan akal seperti seorang raja. Memiliki banyak pasukan, yaitu tamyiz (kemampuan
membedakan), daya hafal dan pemahaman. Kemampuan akal lainnya seperti membantu memahami (persepsi),
menyimpan, mengulang dan memanggil pemahaman (memori) serta berpikir untuk memecahkan masalah. Dari
sudut ini, akal mempunyai empat tingkatan kemampuan; al-‘aql al hayulani (akal material), al’aql bi al
malakat (habitual intellect), al- ‘aql bi al fi’il (akal aktual) serta al’aql al-mustafad (akal perolehan).

6. Konsep ma’rifatullah merupakan pemikiran Al Ghazali terkait dengan puncak kepuasaan pengetahuan
manusia, dan puncak pengetahuan itu adalah mengetahui tentang Allah SWT. Manusia acapkali mencari
kepuasaan dan kebahagiaan dan jawabnya adalah ma’rifatullah. Ma’rifatullah akan diperoleh melalui
persaksian hati yang sangat yakin (musyahadatul qolbi). Apabila manusia sudah sampai pada persaksian yang
semacam ini, ia akan merasakan suatu kebahagiaan yang memuaskan dan sulit dilukiskan.

=> Pemaparan materi yang menarik, memberi peluang terbukanya ruang diskusi
=> Mempelajari tentang tasawuf sepertinya bukan pekerjaan yang mudah dilakukan. Dari segi asal-muasal kata
saja, sering terjadi pro dan kontra. Belum lagi aplikasi praktisnya untuk menjalani kehidupan ala tasawuf itu
sendiri. Ilmu tasawuf bukan hanya teori, melainkan juga praktik. Di antara pro kontra terkait tasawwuf adalah
apakah tasawwuf itu sesat (mistik dari luar Islam) atau sebuah jalan yang hak sebagai ajaran Islam, karena
secara garis besar dapat disimpulkan bahwa ada dua teori yang berpengaruh dalam membentuk tasawuf, yaitu
teori yang berasal dari ajaran atau unsur Islam, dan teori yang berasal dari ajaran atau unsur lain di luar Islam.

Kb 3

Analisa Bahan Ajar berupa artikel berjudul PENGEMBANGAN KURIKULUM BERBASIS


MULTIKULTURALISME DI INDONESIA (LANDASAN FILOSOFIS DAN PSIKOLOGIS
PENGEMBANGAN KURIKULUM BERBASIS MULTIKULTURALISME)

Kelemahan mendasar yang terdapat masyarakat majemuk adalah rentan terjadi konflik. Kegagalan
dalam mengelola perbedaan dan kemajemukan akan bisa menyebabkan beragam ketegangan,
permusuhan, konflik yang tidak jelas ujung pangkalnya. Bahkan sangat mungkin sampai pada titik
segregasi dan disintegrasi. Pada titik ini kemajemukan justru menjadi tempat di mana permasalahan
muncul, bukan penyelesaian masalah.5 Untuk mengatasi kelemahan-kelemahan pada masyarakat
majemuk tersebut, maka dikembangkan konsep masyarakat multikultural. Dalam masyarakat
multikultural, keragaman dan perbedaan tidak dilihat sebagai alat atau alasan untuk munculnya
diskriminasi, dominasi dan hegemoni, namun justru menjadi media untuk memahami dan
mengapresiasi perbedaan tersebut. Menurut Parsudi Suparlan yang dikutip Machfud, cara terbaik
untuk merubah masyarakat majemuk menjadi masyarakat multikultural adalah dengan mengadopsi
ideologi multikulturalisme sebagai pedoman hidup dan mengaplikasikannya dalam kehidupan
seharihari. Sebagai sebuah ideologi, multikulturalisme terserap ke dalam berbagai interaksi yang ada
dalam kegiatan manusia.
Multikulturalisme adalah ideologi yang menghargai perbedaan dan kesederajatan. Perbedaan
individual maupun perbedaan kelompok dilihat sebagai perbedaan kebudayaan. Dalam perbedaan
ada kesederajatan. Kesederajatan terutama ditekankan pada perbedaan-perbedaan askriptif, seperti
perbedaan suku bangsa dan kebudayaannya, ciri-ciri fisik atau ras, keyakinan keagamaan, gender,
dan umur. Bahkan, multikulturalisme juga memperjuangkan kelas-kelas sosial yang tertindas.
Definisi kurikulum yang tertuang dalam UU Sisdiknas No.20/2003 dikembangkan kearah seperangkat
rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan
sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidik tertentu.
Demikian pula beberapa definisi kurikulum dari para ahli, seperti Saylor dan Alexander, bahwa
kurikulum adalah segala usaha sekolah atau perguruan tinggi yang bisa menghasilkan atau
menimbulkan hasil-hasil belajar yang dikehendaki, apakah dalam situasi-situasi sekolah ataupun
diluar sekolah.
Di Indonesia, sistem nilai yang berlaku adalah Pancasila. Begitu juga nilai-nilai multikulturalisme yang
dituangkan dalam semboyan “Bhinneka Tunggal Ika”. Bahkan, secara sosio-kultural, Indonesia
“pernah” menjadi prototipe sebuah kehidupan masyarakat pluralistik yang ideal.22 Karena itu
membentuk manusia yang Pancasilais merupakan tujuan dan arah segala ikhtiar berbagai level dan
jenis pendidikan. Dengan demikian, isi kurikulum yang disusun harus memuat dan mencerminkan
nilai-nilai Pancasila.23 Falsafah Pancasila adalah landasan pengembangan kurikulum secara
tersendiri yang cukup unik karena berbeda dengan aliran-aliran filsafat pada umumnya.
Idealitas Pancasila sebagai landasan filosofis pengembangan kurikulum pendidikan multikultural
memiliki titik temu yang sangat tepat, baik pancasila sebagai falsafah negara, ideologis, maupun
sistem nilai. Hal ini dikarenakan pancasila lahir dengan mengakomodir karakteristik kemajemukan
kebudayaan masyarakat Indonesia.Pancasila sebagai etika misalnya, adalah landasan untuk
berperilaku dan tata susila dalam kultural masyarakat. Begitu juga Pancasila sebagai nilai, adalah sisi
religiusitas, keadilan, kejujuran, dan rasa saling menghargai sebagai sesama manusia. Dan Pancasila
juga sebagai norma paling dasar (landasan hukum). Entitas manusia Indonesia dalam mengamalkan
amanah Pancasila adalah melaksanakan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila.
=> Ulasan yang menarik, data-data yang ditampilkan faktual, dan kaya referensi, serta memberi
peluang terbukanya ruang diskusi, misalnya mengenai pengaruh multikulturalisme terhadap
pendidikan Agama Islam
=> Pendidikan Islam selalu mengalami perkembangan. Seiring dengan perkembangan tersebut
banyak hal yang dialami dunia pendidikan Islam. Mulai dari hal-hal yang bersifat mendukung
perkembangan tersebut hingga tantangan pemikiran yang datang dari luar. Di antara tantangan
pemikiran tersebut adalah munculnya wacana multikulturalisme yang mencoba untuk menyelesaikan
konflik sosial-budaya. Paham tersebut berupaya untuk mengakomodir keragaman etnis, budaya,
suku, bahkan agama. Seiring dengan perkembangan tersebut paham multikulturalisme mulai masuk
ke ranah pendidikan Islam. Di antara pemikiran yang digagas melalui paham tersebut adalah paham
pluralisme agama, relativisme kebenaran, rekonstruksi penafsiran al-Qur’an, dan juga religiositas
dalam beragama. Tidak menutup kemungkinan bahwa dampak yang timbul adalah dampak buruk.
Untuk mengantisipasi dampak buruk dari konsep pendidikan multikulturalisme yang diwacanakan
dalam pendidikan Agama Islam maka sebagai solusi adalah konsep ta’dib, sangatlah cocok untuk
dijadikan konsep pengajaran yang komprehensif. Dalam konsep tersebut sudah mencakup
pendidikan dan pengajaran.

Kb 4

Analisa Bahan Ajar berupa artikel berjudul


Studi KebijakanPengembangan KurikulumPendidikanAgama IslamModel Kurikulum
2013
UU Sisdiknas No. 23 tahun 2003, menyebutkan bahwa kurikulum adalah “seperangkat
rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan ajar, serta cara yang digunakan
sebagai pedoman bagi guru dalam menyelenggarakan kegiatan pembelajaran untuk mencapai
tujuan tertentu
Pengembangan kurikulum pada hakekatnya suatu proses atau kegiatan yang disengaja dan
dipikirkan untuk menghasilkan sebuah kurikulum sebagai pedoman dalam proses dan
penyelenggaraan pembelajaran oleh guru di sekolah.7 “Pengembangan kurikulum bermakna
mengarahkan kurikulum sekarang ke tujuan pendidikan yang diharapkan karena adanya
berbagai pengaruh yang sifatnya positif yang datangnya dari luar atau dari dalam sendiri
dengan harapan agar peserta didik dapat menghadapi masa depannya dengan baik.
Pengembangan kurikulum pendidikan agama Islam (PAI) adalah suatu kegiatan
menghasilkan kurikulum PAI atau proses yang mengaitkan satu komponen dengan yang
lainnya untuk menghasilkan kurikulum PAI yang lebih baik dan kegiatan penyusunan
(desain) pelaksanaan penilaian dan penyempurnaan kurikulum PAI.
Pengembangan kurikulum PAI menurut setidaknya harus memperhatikan empat komponen,
yaitu materi, tujuan, metode (strategi) dan evaluasi. kurukulum PAI satu sama lain memiliki
korelasi serta saling terkait sebagai bentuk kerjasama dalam perwujudan kurikulum PAI agar
tetap relevan dengan realitas, waktu, kondisi masyarakat, kondisi peserta didik, dan kondisi
perkembangan ilmu pengetahuan serta teknologi. Perlu ditekankan pada kurikulum PAI yaitu
proses ditanamkannya nilai-nilai Islam sebagai sumbu utama yang menjadi ciri khas.
Metode pendidikan islam yang dikehendaki oleh Umat Islam pada hakikatnya adalah
methode of education through the teaching of islam (metode pendidikan melalui ajaran islam)
atas semua bidang ilmu pengetahuan dan keterampilan menurut ajaran Islam.30 Untuk
memperkuat pendekatan ilmiah (scientific), tematik terpadu (tematik antar matapelajaran),
dan tematik (dalam suatu mata pelajaran) perlu diterapkan pembelajaran berbasis
penyingkapan/ penelitian (discovery/inquiry learning). Untuk mendorong kemampuan peserta
didik untuk menghasilkan karya kontekstual, baik individual maupun kelompok maka sangat
disarankan menggunakan pendekatan pembelajaran yang menghasilkan karya berbasis
pemecahan masalah (project based learning).
=> Ulasan yang menarik, memberikan gambaran yang jelas terkait hal-hal yang teknis dan
aplikatif dalam proses pembelajaran materi Pendidikan Agama Islam K13
=> Terwujudnya kepribadian yang Islami sangat ditentukan oleh suasana sekolah yang kondusif. Jika
tidak terpenuhi, maka sebagus apapun kurikulum yang disusun, cita-cita pembelajaran PAI akan
mengalami hambatan. Masalah penciptaan kondisi yang kondusif ini mutlak diperlukan sebelum
berbicara tentang pembelajaran PAI. Hal ini dimaksudkan agar tidak terjadi kontradiksi nilai yang
terjadi di sekolah, yang jika sampai terjadi maka akan secara serius dapat mengakibatkan splite
personality, sebuah pribadi yang pecah, ambivalent. Sekolah dituntut untuk menyediakan kondisi
kondusif (Islami) jika benar-benar menginginkan pendidikan Agama Islam berjalan
dengan maksimal. Sekolah harus dapat menyatukan visi dan misi iptek-imtaq pada segala unsur
pendukung pendidikan di sekolah, baik pada tenaga edukatif, karyawan, maupun peserta didik. Jika
sekolah telah berbenah dengan menyediakan suasana yang kondusif bagi internalisasi nilai-nilai
agama, dua dari tripusat pendidikan lainnya yang merupakan kategori pendidikan luar sekolah, yaitu
keluarga dan masyarakat diharapkan juga dapat mengimbangi.
Assalamualaikum Wr.Wb.
Bapak Dosen yang kami hormati, mohon ijin menanggapi bahan ajar yang telah di sampaikan melalui
video Gus shalah di chanel Kompas TV
Ø Setelah menelaah Bahan Ajar kami dapat menyimpulkan beberapa konsep dan deskripsi
1. Pentingnya ilmu pengetahuan dalam islam
Dalam islam setiap manusia di anjurkan untuk berfikir. Ini adalah bukti bahwa dalam
Dalam surat al Mujadalah yang artinya: Wahai orang-orang yang beriman! Apabila dikatakan
kepadamu, “Berilah kelapangan di dalam majelis-majelis,” maka lapangkanlah, niscaya Allah akan
memberi kelapangan untukmu. Dan apabila dikatakan, “Berdirilah kamu,” maka berdirilah, niscaya
Allah akan mengangkat (derajat) orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi
ilmu beberapa derajat. Dan Allah Mahateliti apa yang kamu kerjakan.
Hal ini sangat berkaitan dengan ilmu pengetahuan, Pengetahuan dalam islam sangatlah penting.
Sedangkan secara filosofis ilmu bisa di bagi menjadi 3 yaitu :
a. Epistemologi ( Saint dan knowledge )
b. Aksiologi ( Akal budi dan etika )
c. Ontologi ( Ilmu tentang ketuhanan )
Setelah mengetahui makna filosofis ilmu pengetahuan, maka tidak ada pertentangan dengan ilmu
agama islam atau dikotomi antara ilmu saint tekhnologi dan ilmu agama. Semuanya berjalan
beriringan, sebab ilmu di dalam agama islam juga mempunyai tujuan maslahah bagi seluruh umat
manusia.
Terminologi tentang pendidikan atau pembelajaran menurut kaca mata Islam dimulai dari lima ayat
pertama kali turun
“Bacalah dengan menyebut nama tuhanmu yang menciptakan, Dia telah menciptakan manusia dari
segumpal darah, Bacalah dan Tuhanmulah Yang Mahamulia, Yang mengajarkan manausia dengan
pena, Dia mengajarkan manusia apa yang tidak diketahui.” (Q. S. Al-Alaq (96): 1-5).
Ayat tersebut mengandung pelajaran atau makna bahwa Allah memerintahkan kepada manusia
membaca (mempelajari, meneliti, menganalisis dan lain sebagainya) dari apa saja yang diciptakan
baik dari peristiwa yang tersurat (qauliyah) maupun realitas yang tersirat yaitu fenomena yang ada di
dunia. Membaca atau mempelajari semua fenomen yang ada didunia ini harus diawali dari kesadaran
adanya kehadiran sang pencipta (Tuhan), sehingga apa yang dipelajari selalu memperhatikan etika
atau norma yang diatur dalam agama. (lebih detail baca Al-Quran dan tafsirnya : Kementerian Agama
RI tahun 2012).
2. Fokus kajian Pendidikan Islam
Pendidikan termasuk di dalamnya pendidikan Islam memiliki ruang lingkup yang berbeda dengan ilmu
lainnya. Dilihat dari tujuannya, pendidikan agama Islam memiliki makna yang sangat mendalam, yaitu
untuk mengenal Sang Pencipta atau Allah swt dengan harapan tercapai kebahagiaan dan
kesejahteraan kehidupan dunia dan akherat. Secara filosofis dalam tujuan ini Pendidikan Agama
islam lebih mengutamakan Aksiologis yaitu menekankan kepada etika dan nilai-keislaman.

3. Hakikat tujuan pendidikan agama Islam


Tujuan pendidikan agama Islam sangat luas dan memiliki makna sangat mendalam. Tujuan
utamanya untuk melahirkan profil manusia yang ideal (baik) dan memiliki adab. Oleh sebab itu, tujuan
pendidikan agama Islam tidak cukup hanya bersifat fisik dan non fisik, tetapi lebih dari itu adalah
untuk penanaman kesadaran hakikat manusia untuk menyadari dari mana dia diciptakan, untuk apa
dia dihidupkan dan bagaimana dia mencapai kebahagiaan. Secara filosofis hakikat tujuan Pendidikan
agama islam adalah ontologi yaitu tetap berpegang teguh kepada nilai-nilai ketuhanan Allah swt.
Melalui Al-qur’an dan Hadist.

4. Perpaduan kajian pendidikan agama Islam dengan Sains dan Technology


Objek atau kajian pendidikan agama Islam memiliki perbedaan dengan pendidikan selain PAI.
Pendidikan atau pengetahuan Barat berasal dari falsafah atau cara fikir Aristoteles, bahwa ilmu
pengetahuan itu bersumber dari empiris dan rasio (akal). Kebenaran adalah apa yang dapat dilihat
dan sesuai dengan rasio manusia. Aristoteles memiliki prinsip “ Nihil est in intellectu Nisi Prius In
Sense”, artinya tidak ada sesuatu yang ada di akal manusia selain yang terlebih dahulu diindera atau
dilihat atau dirasakan”. Sementara di dalam islam ilmu di dasarkan kepada Al-Qur’an yang mana tidak
semua kebenaran bisa di nalar oleh akala tau panca indra, tetapi islam juga menjunjung tinggi akal
dan fikiran agar manusia bisa berkembang dan melakukan penelitian dalam pengembangan ilmu
pengetahuan. Dalam hal ini sains dan Technology.

5. Tiga Metodologi dalam pendidikan agama Islam


Metode pendidikan agama Islam sedikitnya ada tiga macam yaitu; pertama, metode bayani, yaitu
metode berfikir atau pengembangan ilmu yang bersifat tekstualis. Kedua, metode Irfani, yaitu cara
berfikir atau pengembangan ilmu pengetahuan yang didasarkan kepada intuisi atau spiritual. Ketiga,
Burhani yaitu cara pengembangan ilmu pengetahuan yang didasarkan kepada kekuatan akal pikiran
atau rasional. Dari tiga metode tersebut kita dapat menyimpulkan bahwa secara epistemology,
Aksiologi dan ontology bahwa Ilmu Pendidikan agama islam dengan sains dan technology tidak saling
bertentangan dan bahkan kedua disiplin ilmu tersebut saling membutuhkan untuk kemajuan umat
manusia.
Mempelajari ilmu baik ilmu agama ataupun ilmu dunia memang benar semua itu tergantung
dari niat pencari ilmu, terutama niatnya hanya untuk mencari Ridho Allah.
Ø Evaluasi dan Refleksi atas pemaparan materi : kunci suatu pembelajaran adalah kedekatan guu
dengan murid. Di era pandemi ini telah memisahkan guru dan siswa tidak hanya secara fisik, dan
batin, hal ini menuntut kita untuk menjaga keselamatan/ kesehatan siswa dan “ancaman” akan
kehilangan kesempatan belajar dengan tetap menjaga ukhuwah secara daring baik lewat video atau
zoom/ meet bersama anak didik.
Ø Kelebihan: Penjelasannya cukup detail dan referensi cukup luas dan pemaparan pemateri dalam
video cukup jelas.

Ø Kaitannya isi bahan ajar dengan nilai moderasi diantaranya adalah:


a. Keanekaragaman (pluralisme) agama yang hidup di Indonesia membutuhkan
sikap tasammuh (toleransi) yang tinggi, maka dari itu kita harus menjunjung tinngi sikap toleransi ini.
b. Syura (Musyawarah).
Musyawarah diartikan sebaga pembahasan bersama dengan maksud mencapai keputusan atas
penyelesaian masalah bersama.
c. Ishlah
berpijak pada kemaslahatan umum (mashlahah ‘ammah) dengan tetap berpegang pada prinsip: al-
muhafazah ‘ala al-qadimi alsalih wa alakhdzu bi al-jadid al-aslah

Wassalamualaikum Wr. Wb.


Pais 4 Lutfiatul Mutma’inah

Kb 2

Kb 3

ANALISA VIDEO STRUKTUR KEILMUAN PAI KB 3


Indonesia merupakan negara yang berpenduduk majemuk, betapa tidak, negara ini dihuni
oleh suku bangsa yang plural dengan aneka ragam agama atau kepercayaan, suku (yang
tersebar di lebih dari 17 ribu pulau) bahasa daerah yang mencapai lebih dari 500 bahasa dan
budaya. Setiap individu yang hidup di negara ini pasti berhadapan dengan keanekaragaman,
kemajemukan menyusup dan merasuk ke dalam setiap dan seluruh ruang kehidupan, tak
terkecuali dalam hal kepercayaan dan budaya. Pada sisi yang lain, kita pun merasakan bahwa
pendidikan agama yang diberikan di sekolah-sekolah kita pada umumnya tidak
menghidupkan pendidikan multikultural yang baik bahkan cenderung berlawanan. Akibatnya,
konflik sosial sering kali di perkeras oleh adanya legitimasi keagamaan yang diajarkan dalam
pendidikan agama di sekolah-sekolah daerah yang rawan konflik. Ini membuat
konflik mempunyai akar dalam keyakinan keagamaan yang fundamental sehingga konflik
sosial kekerasan semakin sulit di atasi, karena dipahami sebagai bagian dari panggilan
agamanya.
Membangun paradigma pendidikan agama Islam berbasis inklusif dalam kehidupan sosial
beragama multikultur sangat penting dan mempunyai nilai kontribusi pemikiran yang besar
dalam memahami pendidikan Islam dalam kaitannya dengan masalah-masalah peradaban dan
kemanusiaan yang dihadapi manusia Indonesia saat ini khususnya masalah kekerasan yang
disebabkan oleh perbedaan pemahaman ajaran agama maupun perbedaan agama itu sendiri,
kemiskinan, kebodohan dan keterbelakangan. Hal ini menjadi solusi yang relevan, penting
dan menarik karena berusaha mencari terobosan-terobosan baru dalam rangka mensintesiskan
wawasan keislaman dengan konteks keindonesiaan untuk mewujudkan kohesi dengan realitas
dan konsepsi Indonesia sebagai Negara Bangsa.
Pendidikan Islam menurut Ibnu iskawaih dalam kitabnya Tahzibul Ahlak adalah suatu usaha
untuk mewujudkan pribadi susila, mempunyai watak yang luhur atau berbudi pekerti mulia.
Sedangkan menurut al-Ghazali pendidikan Islam suatu proses kegiatan yang sistematis untuk
melahirkan perubahan yang progresif pada tingkah laku manusia, yaitu menghilangkan
akhlak yang buruk dan menanamkan akhlak yang baik.
Pendidikan Islam merupakan usaha sadar untuk mengarahkan pertumbuhan dan
perkembangan anak dengan segala potensi yang dianugerahkan Allah kepadanya agar mampu
mengemban amanat dan tanggung jawab sebagai khalifah Allah di bumi dalam
pengabdiannya kepada Allah. Menurut Abdurrahman Wahid pendidikan Islam yang inklusif
adalah terkait konsep pembaharuan pendidikan Islam dan modernisasi pendidikan
Islam. Ajaran formal Islam itu harus diutamakan dan kaum muslimin harus dididik mengenai
ajaran-ajaran agama mereka, dan dalam ini yang perlu dirubah adalah cara menyampaikan
kepada peserta didik sehingga mereka mampu memahami dan mempertahankan kebenaran.
Hal ini memiliki validitas sendiri, dapat dilihat dari kesungguhan anak muda muslim
terpelajar,untuk menerapkan apa yang mereka anggap sebagai ajaran-ajaran yang benar
tentang Islam
Maka pendidikan Islam berbasis inklusif adalah sebuah alternatif bagi problem
masyarakat Indonseia yang majemuk. melalui membangun paradigma PAI berbasis inklusif
dalam kehidupan sosial beragama multikultur ini, maka lulusan lembaga pendidikan dan
sarjana-sarjana alumni perguruan tinggi diharapkan mampu bersaing dan bersanding secara
positif dan konstruktif demi pengembangan diri mereka

Anda mungkin juga menyukai