Anda di halaman 1dari 3

A.

Konsep
Lembaga Pendidikan Agama Islam yang pertama kali berdiri dikenal dengan sebutan al arqam. Lembaga ini
didirikan pertama kali oleh Rasullah SAW pada tahun 1 Hijriyah. Nama ini diambil dari pemilik rumah yaitu
Muhammad Arqam bin Arqam yang memiliki komitmen tinggi dalam keimanan dan ketaqwaan.Lembaga Pendidikan
Islam ini memiliki tugas membimbing, mengarahkan, membina, dan memberdayakan semua potensi yang ada.
Potensi yang ada dalam diri manusia adalah Kecerdasan Intelektual (IQ), Kecerdasan Emosional (EQ), dan Kecerdasan
Spriritual (SQ)
Islam secara Bahasa diartikan sebagai selamat, pasrah, dan patuh. Secara lebih luas dimaknai sebagai
kepatuhan, keselamatan, kedamaian dan kepatuhan. Artinya semua umat Islam harus memiliki kepatuhan dan
kepasrahan serta kedamaian selama menjalani kehidupan. Tujuan awal dari Islam adalah ujuan awalnya adalah
sebagai agama Rahmatan lil’alamiin yaitu kemampuan Islam untuk mewujudkan kedamaian, kesejahteraan dan
keamanan di dalam kehidupan manusia di dunia.
Makna dari Q. S. Al-Mujadalah (58): 11 adalah bahwa setiap umat Islam harus selalu mengembangkan ilmu
pengetahuan secara terus menerus sehingga umat Islam memiliki derajat atau kemuliaan secara optimal. Dilihat dari
tujuannya, pendidikan agama Islam memiliki makna yang sangat mendalam, yaitu untuk mengenal Sang Pencipta
atau Allah swt dengan harapan tercapai kebahagiaan dan kesejahteraan kehidupan dunia dan akherat. Dan tujuan
utamanya untuk melahirkan profil manusia yang ideal (baik) dan memiliki adab.
Obyek pendidikan Islam minimal ada tiga hal yaitu akal, empiris dan keyakinan. Tiga hal atau potensi yang
dimiliki oleh manusia untuk mengembangkan kualitas kehidupannya adalah adalah
(a) nafsu: yang mengarah kepada jiwa atau semangat manusia untuk mencari keuntungan
(b) Akal rasio: akan mengarah kepada karakter atau semangat untuk melahirkan jiwa kebijaksanaan atau
kedewasaan.
(c) Jiwa/roh/keyakinan: akan mengarah kepada kehormatan bagi manausia
Ada tiga Metode dalam pendidikan agama Islam yaitu; pertama, metode bayani, yaitu metode berfikir atau
pengembangan ilmu yang bersifat tekstualis. Kedua, metode Irfani, yaitu cara berfikir atau pengembangan ilmu
pengetahuan yang didasarkan kepada intuisi atau spiritual. Ketiga, Burhani yaitu cara pengembangan ilmu
pengetahuan yang didasarkan kepada kekuatan akal pikiran atau rasional. Islam juga memiliki dua sisi aspek yang
tidak boleh ditinggalkan, yaitu aspek ta’abudi (keyakinan) dan satu aspek ta’aquli (akal rasional). Artinya Islam
memerlukan optimalisasi keyakinan dan juga optimalisasi kerja akal pikiran. Islam akan dapat memberikan kontribusi
besar kepada umat Islam jika dijelaskan dari aspek keyakinan dan rasio
Problem yang dialami oleh umat Islam adalah problem kultural yaitu belum adanya kesadaran yang dapat
dilaksanakan secara optimal. Manusia setidaknaya memiliki tiga kesadaran, yaitu (a) kesadaran untuk mengetahui (b)
kesadaran untuk meyakini dan (c) kesadaran untuk melaksanakan atau menjalankan. Islam belum mampu
merumuskan postur keilmuan yang bisa menjawab problem tersebut. Hal ini disebabkan oleh salah satu aspek yaitu
karena lembaga pendidikan Islam atau ilmu agama Islam terlalu sibuk melakukan perdebatan epistimologis sehingga
tidak optimal dalam melakukan rumusan ilmu yang memiliki manfaat untuk umat Islam khususnya dan masyarakat
pada umumnya. Problem epistimologi di lingkungan Pendidikan Islam merupakan sebuah keniscayaan, tidak mungkin
dihilangkan namun juga jangan sampai terlalu disibukkan dengan perdebatan epistimologi dan dikotomi.

B. Kontekstualisasi
Dalam suatu lembaga sekolah pastilah tidak luput dari Pendidikan Agama Islam, karena adanya Pendidikan
Agama Islam sangatlah penting untuk ditanamkan kepada anak sejak usia dini. Dengan adanya penanaman nilai-nilai
Islam sejak dini akan membentuk siswa-siswi yang berakhlaqul karimah, beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang
Maha Esa. Maka dengan adanya itu diperlukan untuk pelaksanaan Kegiatan Pendidikan Agama Islam. Ini adalah salah
satu usaha untuk menempatkan sesuatu dalam konteksnya. Dalam implementasinya tentu harus di awali dari
perubahan paradigma sistem Pendidikan Agama Islam sebagai landasan fundamental yang meliputi seluruh elemen
yang terlibat dalam sistem pendidikan tersebut, mulai dari kalangan masyarakat, pemerintah dan sekolah.
C. Refleksi
PAI dapan diterapkan dalam menanamkan budaya religius di sekolah melalui penerapan pembiasaan akhlak
dengan menerapkan budaya religius di sekolah seperti adanya : Jabat tangan dengan guru, berdo’a bersama pada
awal dan akhir kegiatan KBM, sholat dzuhur dan dhuha berjama’ah, 3S (Senyum, Salam, Sapa), membaca surat-surat
pendek dan tadarus Al-Qur’an, dan Istighosah. Dengan adanya penerapan kegiatan atau contoh real di lingkup
sekolah tersebut, siswa dapat meneladani atau memahami, mempraktikkan, mengaktualisasi, dan
mengaplikasikannya di dalam kehidupan kesehariannya.
Konsep
Manusia adalah individu yang terintegrasi unsur jasmani dan ruhani, yang dari kedua unsur ini manusia mendapatkan
bentuk yang sempurna, Jika kesempurnaan itu tidak dijaga maka ia akan dikembalikan pada derajat yang serendah-
rendahnya, seperti dalam QS. 95 (At-Tin) ayat 4-6, “Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam sebaik-baik
kejadian. Kemudian Kami kembalikan ia ke derajat yang se- rendah-rendahnya, kecuali orang-orang yang beriman dan
melakukan amal sholeh”. Meskipun manusia memiliki potensi kesempurnaan sebagai gambaran dari kesempurnaan citra
Ilahi, tetapi kemudian ketika ia terjauh dari proto-type ketuhanan, maka kesempurnaan itu semakin berkurang dan ia menjadi
manusia yang terhina dan rendah. Inilah gambaran manusia sebagai individu yang terintegrasi sifat jiwa yang positif dan
negative.
Al-Ghazali memiliki nama lengkap Abu Hamid bin Muhammad bin Muhammad al-Ghazali ath-Thusi asy-Syafi’i lahir 450
H/1059 M di Thus, salah satu kota di Khurasan (Persia), dan meninggal 1111 H/505 M (Tiam, 2014). Ia adalah salah seorang
pemikir besar Islam yang dianugrahi gelar Hujjatul Islam (argumentator Islam atas bukti-bukti kebenaran agama Islam) dan
zayn ad-din (perhiasan agama) (Tiam, 2014). Sehingga al- Ghazali mendapat predikat sebagai “sosok istimewa”. Berbekal ilmu
agama dan al-Qur’an sejak kecil, al-Ghazali dapat mempelajari ilmu agama (ulum al-ad-diin)
Menurut pandangan al-Ghazali terdiri dari komponen jasad dan ruh. Pendapat ini didasarkan pada teori kebangkitan
jasad pada akhir hayat (kehidupan). Disampaikan bahwa manusia akan dibangkitkan di hari akhir itu jasad dan ruh, karena itu
yang merasakan nikmat dan pedihnya siksa akhirat adalah jiwa dan raganya (Tiam, 2014). Dari teori ini maka manusia adalah
individu yang memiliki unsur jasadi dan ruhani. Kedua unsur ini merupakan satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan, namun
yang memiliki posisi yang tinggi adalah unsur ruhani.
Sedangkan Ruhani adalah jiwa manusia terdiri pada empat unsur; hati, ruh, nafsu (hawa/syahwat), dan akal. Dalam term
al-Ghazali menyebutkan dengan empat term, yakni pertama, al-nafs al-hayawaniyat atau nafs kebinatangan (jiwa sensitif),
berupa dorongan amarah dan syahwat, kedua, al-nafs al-nabatiyat atau jiwa malaikat (jiwa vegetatif), berupa dorongan untuk
melakukan kebenaran atau bebas dari hewani, ketiga, an-nafs an-nathiqoh atau jiwa berpikir, berupa dorongan untuk
memilah dan memilih perbuatan manusia secara realistis. Keempat, al-nafs al-insaniyat atau jiwa kemanusiaan (jiwa
kemanusiaan) berupa dorongan untuk melakukan aktualisasi diri dan pengakuan sehingga ia melakukan perbuatan yang
terintegrasi dari nafs hayawaniat, nabatiayat, dan nathiqoh.
Akal mempunyai empat tingkatan kemampuan; al-‘aql al hayulani (akal material), al’aqal bi al malakat (habitual intellect)
dan al-‘aql bi al fi’il (akal aktual) serta al’aqal al-mustafad (akal perolehan). Akal material merupakan potensi akal untuk
menangkap arti-arti murni yang masih berupa ide. Akal ini untuk mengetahui apa (mahiyah). kal habitual yaitu kesanggupan
untuk berfikir abstrak secara murni mulai kelihatan sehingga dapat menangkap pengertian dan kaidah umum seluruh lebih
besar daripada bagian. Akal aktual yaitu akal yang lebih mudah dan lebih banyak menangkap pengertian dan kaidah umum
yang dimaksud.
Ma’rifatullah berasal dari kata ma’rifah dan Allah. Ma’rifah ini diartikan sebagai pengetahuan yang mendalam dan
mendasar. Pengetahuan ini bersumber dari keyakinan atas sesuatu hal. Konsep ma’rifatullah merupakan pemikiran al-Ghazali
terkait dengan puncak kepuasaan pengetahuan manusia, dan puncak pengetahuan itu adalah mengetahui tentang Allah SWT.
Ma’rifatullah adalah puncaknya kebahagian seorang manusia. Karena ia mampu menemukan pengetahuannya tentang Allah
SWT dan ia bisa merasakan dan melihat- yang terkandung pada kejadian dunia akhirat yang sebenarnya adalah mengenal
Allah SWT (Tuhan)

Kontekstualisasi
Tasawuf dalam islam melewati berbagai fase dan kondisi. Pada tiap fase dan kondisi yang dilewatinya terkandung
sebagian aspek-aspek saja. Meskipun begitu, dalam hal ini ada satu asas tasawuf yang tidak diperselisihkan yaitu bahwa
tasawuf adalah moralitas-moralitas yang berdasarkan Islam. Mengenai aspek moral, dalam al Quran terdapat banyak ayat
yang mendorong asketisme, kesabaran, berserah diri pada Allah, rela, cinta, yakin, hidup sederhana, dan segala hal yang
diniscayakan pada setiap muslim sebagai kesempurnaan iman. Al-Quran sendiri menyatakan, bahwa Rasulullah saw, adalah
suri teladan yang terbaik bagi orang yang hendak menyempurnakan diri dengan keutamaan-keutamaan tersebut dalam
bentuknya yang paling luhur.
Menurut al-Ghazali, dalam mengembalikan tasawuf pada jalan aslinya yaitu tidak menyimpang dari nash dan sunah
Rasul telah membawa perubahan besar pada zamannya. Ia berpendapat bahwa seorang yang ingin terjun dalam dunia
kesufian harus terlebih dahulu menguasai ilmu syariat. Karena praktek-praktek kesufian yang bertentangan dengan syariat
islam tidak dapat dibenarkan. Menurut al–Ghazali tidak seharusnya antara syariat dan tasawuf terjadi pertentangan karena
kedua ilmu ini saling melengkapi.
Refleksi
Ketika guru memberi materi tentang keagamaan khususnya mata kuliah akhlak , perlu mengadakan pemantauan dalam
kegiatan belajar mengajar dan memberikan saran, kemudian untuk meningkatkan motivasi, pembinaan, dan bimbingan
belajar kepada peserta didik agar pembelajaran menjadi lebih baik.
Guru dapat terus berusaha untuk meningkatkan kualitas pembelajaran dengan cara menggunakan metode dan strategi
yang tepat dan proses pelajar mengajar sehingga Peserta didik mampu memahami apa yang disampaikan, aktif dan merasa
senang. Peserta didik bisa mencontoh apa yang telah dicontohkan oleh guru mulai dari cara bertindak, berbicara, berpakaian
dan taat beribadah, agar ilmu yang didapatkan tidak hanya berhenti di dalam ruanagan akan tetapi diterapkan pada
kehidupan sehari-hari.
Orang tua sebagai wali juga harus lebih bijak dalam membimbing anaknya, pemantauan pergaulan anak dan lain
sebagainya, tujuannya agar Peserta didik tetap menjadi pribadi yang berkarakter mulia, baik dalam maupun luar sekolah

Anda mungkin juga menyukai